HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (Eh) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI
OLEH DINA ALVA PRASTIWI A24104098
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SUMMARY DINA ALVA PRASTIWI. Correlation between Redox Potential (Eh) with Fate of Mn and Fe in Paddy Soil and its Relation to Potential of Mn Toxicity in Rice. Supervised by Darmawan and Basuki Sumawinata. Rice plantation using SRI technique gives higher yield production than conventional rice plantation system, but its application does not grow well in Indonesia. In some areas, SRI was reported to have almost similar yield with the conventional. It was particularly occurred in plantation in rainy season with high dosage of organic material. In that field, the plant shows reddish yellow colored leaves. This symptom is regarded as specific indicator of manganese toxicity in rice. Organic material addition in high dosage decreases soil Eh and increases Fe and Mn solubility. However, Fe and Mn solubility does not always correlate with soil Eh and Fe2O3 and MnO2 content in soil. There were some areas which were estimated to have low content of MnO2 but the symptom is still observed. Therefore, the correlation of redox potential with Mn and Fe behavior in paddy soils which are enriched by organic material should be studied in order to determine measuring rod of potential Mn toxicity on rice. Soil samples in this research were taken from Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), and Kaserangan (Serang). Organic material was added in various comparison into each sample, then the mixtures were flooded for several days. Eh and pH measurements were done during the flooding period. Fe and Mn contents in dry soil were determined with extraction using citric acid 2%, DTPA 0.005M, HCl 0.1N, and DCB. After flooding, Fe and Mn contents in soil were determined with DTPA 0.005M and HCl 0.1N. Fe and Mn contents in soil solution were also determined by AAS. The results showed that the decreasing of Eh was happened faster in soil having high value of pe+pH and low content of Fe2O3. Paddy soil of Cihideung (Bogor) which was added with organic material such as in SRI application has high potent to cause Mn toxicity in rice due to its high content of Mn and low Fe/Mn ratio. Fe and Mn in paddy soil from Margakaya (Karawang) and Kaserangan (Serang) were relatively low, so that those soils do not have potent to cause Mn toxicity on rice plant. Keywords: Mn toxicity, SRI, paddy field
RINGKASAN DINA ALVA PRASTIWI. Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi. Di bawah bimbingan Darmawan dan Basuki Sumawinata. Penanaman padi metode SRI memberikan hasil yang jauh lebih tinggi daripada cara konvensional, namun perkembangan aplikasinya tidak menggembirakan. Di beberapa daerah produksi padi SRI relatif sama dengan konvensional. Hal ini terlihat pada padi yang ditanam di awal musim hujan dengan pemberian bahan organik yang tinggi dimana tanaman menunjukkan gejala daun tanaman berwarna kuning kemerahan. Gejala tersebut merupakan indikator khas keracunan mangan pada tanaman padi. Penambahan bahan organik dalam dosis tinggi menurunkan nilai Eh tanah dan meningkatkan kelarutan Fe dan Mn. Namun, kelarutan Fe dan Mn tidak selalu berkorelasi langsung dengan nilai Eh dan kadar Fe2O3 dan MnO2 tanah. Ada tanah yang memiliki kadar Fe2O3 dan MnO2 yang diduga rendah tetapi muncul gejala keracunan Mn pada tanaman, sehingga perlu dipelajari hubungan antara potensial redoks dengan perilaku Mn dan Fe pada beberapa tanah sawah yang diperkaya bahan organik sebagai upaya mencari tolok ukur potensi keracunan Mn pada tanaman padi. Bahan tanah untuk penelitian ini diambil dari daerah Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Masingmasing tanah ditambahkan bahan organik dengan berbagai perbandingan dan digenangi selama beberapa hari. Selama penggenangan dilakukan pengukuran Eh dan pH. Kadar Fe dan Mn dalam tanah kering ditetapkan dengan pengekstrak asam sitrat 2%, DTPA 0,005 M, HCl 0,1 N, dan DCB. Setelah penggenangan, ditetapkan kadar Fe dan Mn dalam tanah dengan pengekstrak DTPA 0,005 M dan HCl 0,1 N. Selain Fe dan Mn dalam tanah ditetapkan juga Fe dan Mn dalam larutan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan Eh lebih cepat terjadi pada tanah dengan pe+pH tinggi dan kadar Fe2O3 rendah. Tanah sawah di Cihideug (Bogor) yang ditambahkan bahan organik seperti pada aplikasi SRI berpotensi menyebabkan keracunan mangan pada tanaman padi karena memiliki kadar Mn tinggi dan rasio Fe/Mn rendah. Sementara kadar Fe dan Mn pada tanah Margakaya (Karawang) dan Kaserangan (Serang) relatif rendah sehingga kedua tanah tersebut tidak berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi. Kata kunci : keracunan Mn, SRI, tanah sawah
HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (Eh) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
OLEH DINA ALVA PRASTIWI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn Dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi
Nama Mahasiswa
: Dina Alva Prastiwi
Nomor Pokok
: A24104098
Menyetujui, Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Darmawan M.Sc NIP. 131 879 335
Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr NIP. 130 937 095
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 25 Februari 1986, dari Ayahanda Adi Santoso dan Ibunda Nina Wiyantina, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik penulis ialah Ramadhani Dwi Santoso dan Dini Ratu Fitria. Pada tahun 1991 penulis memulai pendidikan di SDN Panaragan 2 Bogor dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 6 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo) dan lulus pada tahun 2004. Pada bulan Agustus 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah di IPB, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Survei Tanah dan Evaluasi Lahan tahun ajaran 2007-2008. Penulis juga bergabung dalam beberapa kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) dan BEM Fakultas Pertanian.
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman. Skripsi ini mengambil judul “Hubungan antara Potensial Redoks (Eh) dengan Perilaku Mn dan Fe pada Tanah Sawah dan Kaitannya dengan Potensi Keracunan Mn pada Tanaman Padi”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Darmawan M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi serta Bapak Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan, saran, motivasi, dan bantuannya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, MSc. selaku dosen penguji atas saran dan masukannya.
2.
Keluarga yang selalu mendukung penulis, terutama mama dan papa atas segala doa, kasih sayang, pengorbanan, bimbingan, kepercayaan, kesabaran, serta perjuangan yang tulus dan tiada hentinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S1.
3.
Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
4.
Ibu Oktori K. Zaini dan Ibu Yani Maryani atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.
5.
Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan atas segala dukungan, bantuan, dan canda tawa selama ini.
6.
Soilers lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, Januari 2009
Dina Alva Prastiwi
DAFTAR ISI Teks
Hlm
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3 2.1 Penanaman Padi dengan Metode SRI ................................................. 3 2.2 Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum ......................................... 6 2.3 Potensial Redoks Tanah ...................................................................... 10 2.4 Besi di Dalam Tanah ........................................................................... 12 2.5 Mangan di Dalam Tanah ..................................................................... 13 III. METODOLOGI ........................................................................................ 16 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 16 3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan ........................................................ 16 3.3 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 19 4.1 Kadar Fe dan Mn dalam Tanah Kering ............................................... 19 4.2 Nilai Eh dan pe+pH Tanah pada Berbagai Kondisi Reduksi .............. 22 4.3 Ketersediaan Fe dan Mn pada Berbagai Kondisi Reduksi .................. 25
V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 32 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 32 5.2 Saran.................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 33 LAMPIRAN ..................................................................................................... 35
DAFTAR TABEL No.
Teks
Hlm
1.
Kadar Fe dalam Masing-masing Contoh Tanah ..................................... 19
2.
Kadar Mn dalam Masing-masing Contoh Tanah ................................... 20
3.
Kadar Fe dan Mn Oksida (Ekstraksi dengan Metode DCB) .................. 21
4.
Nilai Eh Tanah Selama Beberapa Hari Setelah Penggenangan .............. 23
5.
Kadar Fe dan Mn dalam Tanah Setelah Direduksi ................................. 28
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Hlm
1.
Diagram Alir Perlakuan Tanah untuk Memperoleh Berbagai Nilai Eh .. 17
2.
Hasil Penghitungan Nilai pe+pH pada Masing-masing Tanah .............. 24
3.
Kadar Fe dalam Larutan Tanah .............................................................. 25
4.
Kadar Mn dalam Larutan Tanah ............................................................. 26
5.
Kadar Fe dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl 0.1N) ....................................................................................................... 29
6.
Kadar Mn dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl 0.1N) ....................................................................................................... 30
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penanaman padi dengan metode SRI (System of Rice Intensification)
berkembang di Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Metode SRI sangat berbeda dengan penanaman padi secara konvensional (sawah), tetapi memberikan hasil yang jauh lebih banyak. Pada SRI, penambahan bahan organik lebih banyak daripada penanaman konvensional, pemberian air minimum, dan bibit ditanam secara tunggal ketika bibit berumur 7 – 15 hari. Dalam perkembangannya, aplikasi SRI di berbagai daerah dilaporkan memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dari penanaman konvensional dengan produksi rata-rata mencapai 8 – 15 ton/ha. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Darmawan dan Sastiono (2007), aplikasi SRI di Sindang Barang dan Cihideung, Bogor, memberikan hasil yang berbeda-beda. Ketika padi ditanam di akhir musim hujan menuju musim kemarau, tanaman tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi, ketika padi ditanam di awal musim hujan, produksi yang dihasilkan relatif sama dengan sistem konvensional; dan pada masa tanamnya, tanaman menunjukkan gejala berupa daun tanaman berwarna kuning kemerahan. Beberapa ahli penyakit tanaman menyatakan bahwa tanaman tersebut terserang penyakit tungro, tetapi pendapat tersebut tidak terbukti karena gejala ini hanya muncul pada tanaman yang ditanam pada lahan dengan dosis bahan organik tinggi dan tidak menulari tanaman lain yang ditanam pada lahan dengan dosis bahan organik rendah.
Secara ilmu tanah, gejala tersebut sangat mirip dengan gejala keracunan mangan pada tanaman padi. Setelah dilakukan analisis kimia, kadar mangan yang terdapat di dalam tanah tidak melebihi batas kritis kadar mangan yang dapat meracuni tanaman. Akan tetapi, berdasarkan gejala yang muncul, tetap diyakini bahwa tanaman mengalami keracunan mangan. Mangan di dalam tanah memiliki karakteristik yang unik, kelarutannya sangat dipengaruhi oleh nilai potensial redoks (Eh), bentuk mangan dalam tanah dan penambahan bahan organik. 1.2
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara potensial
redoks dengan perilaku Mn dan Fe sebagai upaya mencari tolok ukur potensi keracunan Mn pada tanaman padi pada tanah-tanah sawah yang diperkaya bahan organik.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Penanaman Padi dengan Metode SRI Metode SRI (System of Rice Intensification) dikembangkan oleh Henri de
Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun 1980. Di Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, dengan metode SRI bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001). Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM di Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008). Penyebaran SRI dibawa oleh Norman Uphoff, ketua CIIFAD, ke luar Madagaskar pada tahun 1997. Uphoff meyakini SRI sebagai salah satu pilihan dalam metodologi intensifikasi pertanian yang murah, mudah, dan ramah lingkungan. Setelah turut mengamati perkembangan petani Madagaskar menerapkan SRI, Uphoff memutuskan untuk mempopulerkannya di belahan bumi lain. Hingga saat ini, SRI telah diterapkan di India, Sri Lanka, Polandia, Vietnam, Jepang, dan Kuba. Di Indonesia, SRI berkembang sejak awal tahun 2000, antara laindi daerah Cianjur yang diprakarsai oleh Medco Foundation dan Yayasan Alik. Metode SRI, seperti dijelaskan Uphoff, adalah pilihan yang bisa membantu manajemen pertanian baik dari sisi alam maupun materi pertanian itu
sendiri. SRI mampu menghasilkan produksi padi hingga dua kali lipat dari hasil produksi padi non SRI. Pengelolaan lahan sawah pun menjadi lebih bijak. Air dan tanah dapat dikelola dengan lebih bijaksana dan ramah lingkungan (Anonim 2008). Menurut Rabenandrasana (1999) dalam Uphoff dan Randriamiharisoa (2002), pada SRI terdapat beberapa cara yang berbeda dengan penanaman yang biasa dilakukan oleh para petani, di antaranya yaitu: 1.
Bibit dipindah lapang (trasplantasi) lebih awal. Transplantasi bibit muda, biasanya ketika berumur 8 – 12 hari, dan kurang dari 15 hari. Sebenarnya, masa transplantasi ini lebih ditentukan oleh proses biologi yang diukur dengan munculnya pilokron dan bukan oleh hitungan kalender. Petani melakukan transplantasi ketika terdapat dua daun kecil pada bibit. Tranplantasi awal mempertahankan kemampuan pertumbuhan akar yang dapat hilang jika transplantasi dilakukan ketika pilokron keempat telah muncul.
2.
Bibit ditanam satu tiap lubang. Penanaman bibit tunggal pada setiap lubang tanam. Pada kondisi tanah tertentu, terkadang dilakukan juga penanaman dua bibit pada satu lubang. Hal ini bertujuan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
3.
Jarak tanam yang lebar. Penanaman bibit dilakukan dengan bentuk persegi dalam jarak yang cukup lebar. Jarak tanam yang direkomendasikan mulai dari 25 x 25 cm, tetapi, pada
tanah yang kaya akan sumber biologi, jarak tanam yang lebih lebar (30 x 30 cm atau 40 x 40 cm, sampai 50 x 50 cm) dengan jumlah tanaman lebih sedikit per m2 memberikan hasil yang lebih tinggi. Menurut Berkelaar (2001), sebaiknya petani mencoba berbagai jarak tanam, karena jarak tanam yang optimum tergantung pada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi tanah yang lain. 4.
Penanaman dilakukan dengan posisi akar horizontal secara cepat, dangkal dan hati-hati. Saat menanam, bibit dibenamkan dalam posisi horizontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi jika bibit ditanam vertikal ke dalam tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah. Transplantasi bibit muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif.
5.
Kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak tergenang air. Secara tradisional, penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Padi memang mampu bertahan dalam lahan yang tergenang, akan tetapi sebenarnya penggenangan itu membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Dengan SRI, tanah cukup dijaga tetap lembab selama fase vegetatif untuk memberikan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali tanah harus dikeringkan sampai retak agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Kondisi tidak tergenang akan
menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. 6.
Pendagiran Pendagiran (membersihkan gulma dan rumput) dilakukan minimal sebanyak 2x. Pendagiran pertama dilakukan 10 – 12 hari setelah transplantasi dan diulangi pada 10 – 12 hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah.
7.
Asupan organik Pada awalnya, SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah.
2.2
Karakteristik Tanah Sawah Secara Umum Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan
untuk penanaman padi. Berdasarkan definisi tersebut, setiap tanah pada zona iklim apa pun dengan suhu yang sesuai untuk menanam padi satu masa tanam dalam setahun dapat disebut tanah sawah jika tersedia air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang pertumbuhannya (Kyuma 2004a). Tanah sawah bukan merupakan salah satu jenis tanah, akan tetapi istilah ini lebih merupakan salah satu jenis penggunaan lahan (Dudal 1958 dalam De Datta 1981). Tanah sawah dapat berasal dari lahan kering dan lahan rawa. Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978) dalam De Datta (1981) menyatakan bahwa
di Indonesia, tanah sawah yang berasal dari bahan aluvial dan Regosol memiliki keragaman dalam bahan induk dan berada pada daerah humid dan subarid. Selain itu, tanah sawah juga tersebar pada tanah-tanah Regosol, Grumusol, Podsolik, dan Latosol, serta sebagian lagi pada tanah Andosol dan Mediteranian. Menurut Kyuma (2004b), pada umumnya tanah sawah digenangi selama beberapa bulan dalam setahun, baik itu disebabkan oleh proses alami atau pun karena perbuatan manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proses penggenangan pada tanah sawah di antaranya adalah: 1.
Peningkatan ketersediaan nitrogen, basa-basa dan silika.
2.
Peningkatan P tersedia dalam tanah.
3.
Adanya perubahan sifat fisik tanah.
4.
Detoksifikasi kelebihan unsur-unsur hara.
5.
Detoksifikasi senyawa-senyawa kimia pertanian.
6.
Tahan terhadap erosi tanah.
7.
Relatif aman dari gulma. Tanah yang disawahkan memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang
berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan. Menurut De Datta (1981), perbedaan yang nyata dalam hal ini adalah munculnya horison berwarna keabuan akibat proses reduksi di dalam tanah. Menurut Moorman dan van Breemen (1978), perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan sifat tanah yang bersifat sementara dipengaruhi oleh pelumpuran dan reduksi oksidasi (redoks). Keuntungan proses pelumpuran di antaranya yaitu penanggulangan gulma relatif mudah, meningkatkan daya menahan air dan meningkatkan
kelarutan basa-basa. Tetapi, pelumpuran juga menimbulkan kerugian seperti menurunkan laju perkolasi, menurunkan nilai potensial redoks dan merusak struktur tanah. Penurunan nilai Eh menyebabkan mobilitas besi dan mangan lebih tinggi. Perubahan yang bersifat permanen terdiri dari perubahan sifat tanah akibat penerasan, perubahan sifat fisik akibat pengolahan tanah, perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah akibat pengaruh air, dan perubahan regim kelembaban tanah. De Datta (1981) mengemukakan bahwa beberapa sifat fisik, kimia fisik, dan biokimia mengalami perubahan seiring dengan proses penggenangan tanah. Beberapa perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting akibat penggenangan tanah yaitu: 1.
Keterbatasan oksigen dalam tanah. Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Selain pada lapisan tipis di permukaan tanah, dan terkadang di lapisan bawah tapak bajak, kebanyakan lapisan tanah berada dalam kondisi bebas oksigen dalam beberapa jam setelah penggenangan. Pada kondisi seperti ini, mikroorganisme tanah menggunakan bagian oksidatif tanah dan beberapa metabolit organik untuk menggantikan peran oksigen sebagai aseptor elektron pada proses respirasi mikroorganisme tersebut sehingga membentuk kondisi reduktif dalam tanah. Kondisi anaerob ini mempengaruhi ketersediaan beberapa unsur hara dan zat-zat bersifat racun dalam tanah.
2.
Penurunan potensial redoks tanah. Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan menurunkan nilai potensial redoks tanah hingga stabil dengan nilai Eh +0,2 sampai +0,3 V
tergantung pada tanah, tetapi nilai Eh di permukaan air dan beberapa mm dari top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V (Ponnamperuma 1972 dalam De Datta 1981). 3.
Perubahan nilai pH tanah Penggenangan tanah dalam beberapa minggu menyebabkan peningkatan pH pada tanah masam dan penurunan pH tanah berkapur dan tanah sodik. Perubahan pH ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu perubahan ferri menjadi ion Fe2+, akumulasi amonium, perubahan sulfat menjadi sulfida, dan perubahan karbon dioksida menjadi metana dalam kondisi reduksi.
4.
Reduksi Fe(III) menjadi Fe(II) Setelah proses penggenangan, Fe(III) oksida hidrat tereduksi menjadi senyawa Fe(II). Hal ini menyebabkan warna tanah mengalami perubahan dari cokelat menjadi abu-abu, dan sejumlah besar Fe(II) terlarut ke dalam larutan tanah. Faktor lain yang mempengaruhi kadar Fe(II) dalam tanah tergenang yaitu alam dan kadar Fe(III) oksida hidrat, pH tanah, dan suhu.
5.
Reduksi Mn(IV) menjadi Mn(II) Pada tanah tergenang, reduksi mangan dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi terjadi secara simultan dengan proses denitrifikasi. Dalam hal ini, mangan
berperan
sebagai
aseptor
elektron
dari
proses
respirasi
mikroorganisme dan oksidan bagi produk reduksi. 6.
Peningkatan ketersediaan nitrogen. Ketersediaan nitrogen dalam tanah tergenang lebih tinggi daripada tanah yang tidak digenangi. Ketersediaan nitrogen tersebut mengalami peningkatan
seiring dengan peningkatan kadar nitrogen dalam tanah, pH tanah, suhu dan lama waktu pengeringan tanah pada periode sebelumnya (Ponnamperuma 1965 dalam De Datta 1981). 2.3
Potensial Redoks Tanah Oksidasi-reduksi merupakan reaksi pemindahan elektron dari donor
elektron kepada aseptor elektron. Donor elektron akan teroksidasi karena pelepasan elektron, sedangkan aseptor elektron akan terduksi karena penambahan elektron. Proses ini berlangsung secara simultan, sehingga sering disebut sebagai reaksi redoks (Kyuma 2004a). Menurut Tan (1982), keseimbangan redoks biasanya dinyatakan dengan konsep potensial redoks (Eh). Secara umum, reaksi sel-paruh dari suatu sistem oksidasi-reduksi dapat digambarkan sebagai berikut: Bentuk teroksidasi + ne-
Bentuk tereduksi
Potensial sel-paruh dari reaksi di atas dapat dirumuskan menurut hukum Nernst sebagai berikut: Eh = E0 + RT/nF log (bentuk teroksidasi)/(bentuk tereduksi) Potensial redoks (Eh) adalah potensial elektroda standar sel-paruh diukur terhadap suatu elektroda penunjuk standar, yaitu elektroda hidrogen. Sedangkan E0 adalah suatu tetapan, yang disebut potensial redoks baku dari sistem, dan RT/F=0.0592 pada 25oC. Jika aktivitas dari spesies-spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu, rasio tersebut menjadi=1, dan nilai log-nya = 0, maka Eh = E0. Oleh karena itu, potensial redoks baku didefinisikan sebagai potensial redoks dari sistem dengan aktivitas spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu (Tan 1982).
Selain Eh, reaksi redoks juga dicirikan oleh aktivitas elektron, e-. Jumlah eatau aktivitas elektron menentukan proses oksidasi-reduksi. Berdasarkan reaksi di atas, jika proses reduksi dominan, maka jumlah elektron akan meningkat. Hubungan antara potensial redoks dengan aktivitas elektron dapat dirumuskan sebagai berikut: Eh = (2,3RT/F) pe Aktivitas elektron dinyatakan dengan pe, dimana pe = -log [e-], R = konstanta gas, T = temperatur absolut(K), dan F = tetapan Faraday. Pada suhu 298 K (25oC), maka rumus tersebut menjadi: Eh = 0.059 pe Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh atau pe yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh atau pe yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif. Potensial redoks mempengaruhi status N dalam tanah, ketersediaan P dan Si, kadar Fe2+, Mn2+, dan SO42- secara langsung dan kadar Ca2+, Mg2+, Cu2+, Zn2+ dan MoO42- secara tidak langsung, dan dekomposisi bahan organik dan H2S. Pengukuran Eh pada tanah-tanah reduktif memiliki beberapa keterbatasan. Sistem tanah sangat heterogen dan sulit untuk memperoleh potensial keseimbangan yang tepat. Selain itu, beberapa pasangan redoks yang penting, seperti NO3-/ NH4+, SO42-/S2-, CO2/CH4, dan pasangan redoks organik, tidak bersifat
elektroaktif,
tetapi
dapat
mengganggu
pengukuran
Eh
dengan
menghasilkan potensial campuran (Kyuma 2004a). Menurut Stumm dan Morgan (1970) dalam Kyuma (2004a), pengukuran Eh hanya dapat dilakukan dengan tepat untuk pasangan Fe3+/Fe2+ dan Mn4+/Mn2+
dengan kadar lebih tinggi dari 10-5 M dalam air alami. Menurut Lindsay (1979), elektroda platina biasa digunakan untuk pengukuran potensial redoks dalam tanah. Akan tetapi, elektroda tersebut tidak berfungsi dengan baik pada tanah yang berada pada kondisi oksidatif. Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah. Biasanya, reaksi oksidasi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan mangan. 2.4
Besi di Dalam Tanah Senyawa besi di dalam tanah terdiri dari berbagai bentuk. Besi merupakan
unsur utama berbagai mineral dan bahan organik tanah. Sumber unsur Fe di dalam tanah bisa berupa batuan yang mengandung Fe-silikat, mineral sulfida, dan senyawa Fe oksida atau hidroksida. Selain itu, pada beberapa bagian di dalam tanah, Fe ditemukan di lapisan alumino-silikat: nontronit, montmorilonit, vermikulit, dan klorit (Orlov 1992). Senyawa Fe di dalam tanah diklasifikasikan oleh Zonn dalam Orlov (1992), sebagai berikut: 1.
Fe-silikat
2.
Fe-nonsilikat (bebas) Senyawa Fe terkristalisasi; terkristalisasi kuat dan lemah; Senyawa Fe amorf; berikatan dan tidak berikatan dengan humus. Reaksi senyawa Fe yang terjadi di dalam tanah yaitu mobilisasi senyawa
Fe melalui proses dekomposisi (pelapukan) mineral-mineral Fe dan mineralisasi
senyawa organik, reaksi oksidasi-reduksi, pembentukan senyawa organomineral (umumnya merupakan senyawa kompleks), interaksi adsorpsi, dan pembentukan senyawa-senyawa hidroksida, sulfida, dan fosfat. Umumnya, Fe dalam bentuk Fe (II) dan Fe(III), ion hidroksida, beberapa fosfat dan sulfida menjadi bagian dalam reaksi oksidasi-reduksi. Nilai potensial oksidasi normal untuk Fe3+ - Fe2+ yaitu 0,771 V pada suhu 25oC. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1.
Fe(OH)3 + 4H+ + e-
Fe2+ + 3H2O
2.
α-FeOOH + 3H+ + e-
Fe2+ + H2O
3.
α-Fe2O3 + 6H+ + 2e-
2Fe2+ + 3H2O
Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan membatasi difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mereduksi Fe oksida dan meningkatkan kadar Fe(II) dalam larutan tanah dari 0,07 sampai 6600 ppm. Peningkatan kadar Fe2+ yang terlarut dalam tanah memberikan keuntungan pada tanah sawah karena mengatasi defisiensi Fe dan menekan keracunan Mn2+ pada tanah masam. 2.5
Mangan di Dalam Tanah Mangan memiliki bilangan oksidasi yang bervariasi dengan kisaran +2
sampai +7. Mangan yang terdapat di alam umumnya yaitu mangan dengan bilangan oksidasi +2, +3, dan +4 (Kyuma 2004a). Menurut Orlov (1992), mangan ditemukan di dalam tanah dalam bentuk ion (Mn2+) dan oksida (MnO2). Sedangkan Mn3+ bersifat kurang stabil di dalam tanah. Senyawa Mn dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi seperti +5, +6, dan +7 tidak ditemukan di dalam tanah.
Mn menyusun mineral-mineral dalam bentuk oksida, karbonat, silikat, dan sulfat (Taylor et al. 1964 dalam Lindsay 1979). Sedangkan di dalam tanah, selain terdapat sebagai senyawa oksida dan hidroksida yang mudah larut, Mn juga membentuk garam-garam dengan senyawa organik dan silikat dengan berbagai tingkat kelarutan (Orlov 1992). Senyawa Mn(II) meliputi garam-garam mudah larut dan Mn2+ dapat dipertukarkan, yang umumnya ditemukan pada tanah-tanah masam dan agak masam. Senyawa Mn juga dipengaruhi oleh sistem oksidasi-reduksi yang terjadi di dalam tanah, terutama jika tanah berada dalam kondisi anaerob seperti tanah-tanah yang tergenang (tanah sawah). Van Breemen dan Brinkman (1976) dalam Tan (1982), menyatakan bahwa penggenangan tanah pada awalnya akan mereduksikan NO3- dalam tanah, setelah NO3- hilang, Mn akan direduksi, kamudian disusul oleh Fe. Sistem Mn4+/Mn2+ mempunyai nilai Eh +1510 mV dan sistem Fe3+/Fe2+ mempunyai nilai Eh +771 mV, sehingga Mn lebih mudah tereduksi daripada Fe. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1.
MnO2 + 4H+ + 2e- = Mn2+ + H2O
2.
Mn2O3 + 6H+ + 2e- = 2Mn2+ + 3H2O
3.
Mn3O4 + 3H+ + 2e- = 3Mn2+ + 4H2O Sebagaimana Fe, kelarutan Mn dalam tanah meningkat seiring dengan
peningkatan kemasaman dan kondisi reduksi. Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan dapat meningkatkan kadar Mn2+ dalam larutan tanah dari 1 sampai 100 ppm. Peningkatan kadar Mn dalam kondisi reduktif dapat bersifat racun bagi tanaman, terutama apabila kadar Mn mudah direduksi di dalam tanah mencapai 300 ppm (Kyuma 2004a) dan Mn2+ dalam larutan tanah melebihi 2 ppm
(IRRI 2000 dalam FFTC 2001). Tanaman yang mengalami keracunan Mn, khususnya padi, menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 mst, klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah.
III. METODOLOGI 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Bahan tanah yang digunakan sebagai contoh diambil dari Desa Cihideung
(Kec. Ciampea, Kab.Bogor), Desa Bobojong (Kec. Mande, Kab. Cianjur), Desa Margakaya (Kec. Telukjambe, Kab. Karawang), dan Desa Kaserangan (Kec. Kragilan, Kab. Serang). Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei - Desember 2008 di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2
Bahan dan Alat yang Digunakan Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari contoh tanah, pereaksi untuk
analisis kimia, dan bahan organik. Contoh-contoh tanah yang diambil dari berbagai tempat tersebut di atas dipilih untuk mewakili tanah-tanah dengan kadar Fe dan Mn yang berbeda. Tanah Bobojong (Cianjur) merupakan tanah Latosol dengan bahan induk batuan sedimen dan batuan volkanik kuarter yang berasal dari erupsi Gunung Gede, tanah Cihideung (Bogor) merupakan tanah Latosol dengan bahan induk batuan volkanik kuarter muda yang berasal dari erupsi Gunung Salak, tanah Margakaya (Karawang) merupakan tanah Aluvial yang bahannya berasal dari Sungai Citarum dan Cimalaya, sedangkan tanah Kaserangan (Serang) merupakan tanah Planosol dengan bahan induk batuan Formasi Tufa Banten yang berasal dari erupsi Gunung Danau (Yogaswara 1977). Bahan organik yang digunakan yaitu kotoran sapi yang belum matang. Alat-alat yang digunakan untuk persiapan perlakuan tanah yaitu ember, gelas plastik dengan volume 240 ml, botol plastik dengan volume 80 ml, plastik
wrap, plastik hitam, sedotan, dan kain kasa. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis kimia di antaranya yaitu alat-alat gelas, Eh-meter, pH-meter, water-bath, dan AAS. 3.3 Pelaksanaan Penelitian Penelitan ini dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu: a.
Pengukuran kadar Fe dan Mn dalam tanah kering.
b.
Perlakuan penambahan bahan organik dan penggenangan.
c.
Pengukuran kadar Mn dan Fe dalam tanah dan larutan tanah pada berbagai nilai Eh. Sebagai persiapan, bahan tanah dikeringudarakan, kemudian ditumbuk
dan diayak sehingga diperoleh bahan tanah lolos saringan 2 mm. Analisis awal yang dilakukan yaitu pengukuran kadar Fe dan Mn dalam tanah kering setelah tanah diekstrak dengan dithionite-citrate-bicarbonate (DCB), asam sitrat 2%, DTPA 0,005M, dan HCl 0,1N. Selanjutnya, nilai Eh yang berbeda-beda diperoleh setelah penambahan bahan organik dan penggenangan tanah. Secara ringkas, tahapan ini digambarkan pada Gambar 1. Bahan tanah dilumpurkan
Kotoran sapi diencerkan
Dicampurkan dengan perbandingan 1:1 sampai 1:10
Ditempatkan ke dalam wadah, digenangi dan ditutup
Pengukuran Eh dilakukan mulai hari pertama (H+1) setelah perlakuan
Diperoleh tanah dengan berbagai nilai Eh
Gambar 1. Diagram Alir Perlakuan Tanah untuk Memperoleh Berbagai Nilai Eh
Sekitar 6 - 7 kg bahan tanah dilumpurkan dengan ± 4 liter air. Disiapkan juga kotoran sapi yang telah diencerkan. Kedua bahan tersebut kemudian dicampurkan dengan berbagai perbandingan, mulai dari 1 : 10 (1 bagian kotoran sapi dicampur dengan 10 bagian tanah) sampai 1 : 1 (1 bagian kotoran sapi dicampur dengan 1 bagian tanah). Selain itu juga disiapkan kontrol, yaitu bahan tanah yang telah dilumpurkan tanpa penambahan kotoran sapi. Campuran bahan tanah dan kotoran sapi tersebut ditempatkan pada gelas plastik, digenangi air sebanyak ± 30 ml (setinggi ± 2 cm di atas permukaan campuran bahan tanah dan kotoran sapi) dan ditutup dengan plastik wrap. Begitu juga dengan kontrol. Penggenangan dan penambahan bahan organik bertujuan untuk menurunkan nilai Eh tanah. Nilai Eh masing-masing perlakuan diukur dengan Eh-meter mulai hari pertama setelah perlakuan (H+1) selama beberapa hari sampai diperoleh nilai Eh yang bervariasi. Setelah tanah direduksi, dilakukan pengambilan larutan tanah dan tanah dengan nilai Eh yang berbeda-beda. Larutan tanah yang diperoleh selanjutnya disaring, diasamkan, dan diukur kadar Fe dan Mn dengan AAS. Sementara itu, pengukuran kadar Fe dan Mn dalam tanah dilakukan setelah tanah diekstrak dengan larutan DTPA 0,005M dan HCl 0,1N.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Kadar Fe dan Mn dalam Tanah Kering Analisis awal yang dilakukan yaitu pengukuran kadar Fe dan Mn dalam
tanah dengan pengekstrak DCB, asam sitrat 2%, HCl 0,1N, dan DTPA 0,005M. DCB mengekstrak Fe dan Mn oksida yang mudah tereduksi. Asam sitrat 2%, DTPA 0,005M, dan HCl 0,1N merupakan pengekstrak yang umum digunakan dalam analisis tanah. Asam sitrat digunakan pada penetapan P dalam tanah karena P terlarut di zona perakaran yang suasananya mirip dengan pH yang dihasilkan asam sitrat 2%. Jika P tersedia dalam suasana tersebut, maka seharusnya Fe dan Mn pun juga diserap tanaman dalam suasana yang sama. Akan tetapi, pengekstrak yang biasa digunakan untuk penetapan unsur mikro tanah kering adalah HCl 0,1N dan DTPA 0,005M, analisis awal dengan berbagai pengekstrak ini dimaksudkan untuk membandingkan kadar Fe dan Mn terekstrak dalam hubungannya dengan Fe dan Mn tersedia ketika tanah direduksi. Hasil analisis awal disajikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Kadar Fe dalam Masing-masing Contoh Tanah Asal Contoh Bobojong (Cianjur) Cihideung (Bogor) Margakaya (Karawang) Kaserangan (Serang)
DCB 19478.19 33947.06 15727.26 1738.03
Kadar Fe (ppm) Asam Sitrat 2% HCl 0,1N 3479.13 1237.54 370.24 138.55 932.47 264.16 242.86 117.58
DTPA 0,005M 668.67 77.32 236.83 41.45
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa untuk setiap tanah, DCB mengekstrak Fe dalam jumlah tertinggi, kemudian diikuti asam sitrat 2%, HCl 0,1N, dan DTPA 0,005M. DCB mengekstrak Fe oksida bebas total yang direduksi dengan natrium ditionit dalam suasana buffer natrium bikarbonat dan natrium
sitrat, karena itu, Fe yang terekstrak jauh lebih banyak daripada ketiga pengekstrak lainnya. Asam sitrat dan HCl bersifat asam dan keduanya dapat melarutkan Fe dalam tanah, akan tetapi asam sitrat juga membentuk senyawa kompleks organo logam dengan Fe sehingga Fe yang terekstrak asam sitrat lebih tinggi daripada HCl. DTPA hanya membentuk chelat dengan Fe sehingga Fe yang terekstrak DTPA lebih sedikit daripada pengekstrak lainnya. Tabel 2. Kadar Mn dalam Masing-masing Contoh Tanah Asal Contoh Bobojong (Cianjur) Cihideung (Bogor) Margakaya (Karawang) Kaserangan (Serang)
Kadar Mn (ppm) DCB 510.64 546.33 231.77 893.74
Asam Sitrat 2% 175.53 179.64 42.33 416.83
HCl 0,1N 262.51 78.81 103.61 113.21
DTPA 0,005M 156.42 69.70 76.67 69.94
Merujuk pada Tabel 2, diketahui bahwa kadar Mn yang terekstrak dari setiap tanah memiliki pola yang bervariasi. Pada tanah Bobojong (Cianjur), kadar Mn yang terekstrak DCB > HCl 0,1N > asam sitrat 2% > DTPA 0,005M. Pada tanah Cihideung (Bogor) dan Kaserangan (Serang), kadar Mn yang terekstrak DCB > asam sitrat 2% > HCl 0,1N > DTPA 0,005M. Pada tanah Margakaya (Karawang), Kadar Mn yang terekstrak DCB > HCl 0,1N > DTPA 0,005M > asam sitrat 2%. Perbedaan yang nyata terlihat pada tanah Bobojong (Cianjur) dan Margakaya (Karawang). Pada kedua tanah tersebut, kadar Mn yang terekstrak asam sitrat relatif rendah. Hal ini dikarenakan asam sitrat telah membentuk kompleks lebih dulu dengan Fe sehingga asam sitrat yang mengkompleks Mn hanya sedikit.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 2, pengekstrak yang dapat mencerminkan kadar Fe dan Mn dalam kondisi reduktif adalah DCB, karena Fe dan Mn oksida akan tereduksi pada kondisi tersebut. Hasil penghitungan kadar Fe dan Mn oksida ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Kadar Fe dan Mn Oksida (ekstraksi dengan metode DCB) Asal Contoh
% Fe2O3
% MnO2
Bobojong (Cianjur)
2.783
0.079
Cihideung (Bogor)
4.850
0.084
Margakaya (Karawang)
2.247
0.036
Kaserangan (Serang)
0.248
0.138
Berdasarkan data pada tabel 3, diketahui bahwa kadar Fe2O3 tertinggi terdapat pada tanah Cihideung (Bogor), diikuti tanah Bobojong (Cianjur), Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Kadar Fe2O3 pada tanah Kaserangan (Serang) sangat rendah, bahkan dapat dikatakan bahwa tanah tersebut mengalami defisiensi Fe karena hanya mengandung 0,248% Fe2O3. Menurut Kyuma (2004a), apabila tanah hanya mengandung 1 % Fe2O3, maka tanah tersebut mengalami defisiensi Fe. Kadar MnO2 tertinggi terdapat pada tanah Kaserangan (Serang), diikuti tanah Cihideung (Bogor), Bobojong (Cianjur), dan Margakaya (Karawang). Tingginya kadar Fe2O3 dan MnO2 ini dapat mengindikasikan adanya kemungkinan terganggunya pertumbuhan tanaman akibat tersedianya unsur mikro dalam jumlah yang berlebih, dalam hal ini yaitu unsur Mn. Seperti yang telah dicantumkan sebelumnya, tanah Bobojong (Cianjur) dan Cihideung (Bogor) merupakan tanah Latosol yang mempunyai distribusi liat tinggi. Warna kedua tanah tersebut coklat kemerahan yang dapat menunjukkan
kandungan Fe di dalamnya. Tanah Margakaya (Karawang) merupakan tanah aluvial dengan karakteristik mempunyai susunan berlapis atau kadar C-organik tidak teratur dan tidak memiliki horison diagnostik. Tanah Margakaya (Karawang) yang dijadikan contoh juga berwarna merah kecoklatan. Ketiga contoh berasal dari lahan yang digunakan sebagai area pesawahan secara intensif. Sedangkan tanah Kaserangan (Serang) merupakan tanah Planosol. Tanah Planosol merupakan tanah yang mempunyai horison E albik terletak di atas horison dengan permeabilitas lambat (Hardjowigeno 1993). Horison E adalah horison mineral yang telah kehilangan liat silikat, besi, atau alumunium atau kombinasinya sehingga meninggalkan partikel debu dan pasir. Karakteristik tersebut menyebabkan rendahnya kadar Fe2O3 di dalam tanah Kaserangan (Serang). Warna tanahnya pun pucat, dan hal ini juga menunjukkan rendahnya kadar Fe di dalam tanah tersebut. Sedangkan kadar MnO2 dalam tanah Kaserangan (Serang) cukup tinggi jika dibandingkan dengan ketiga tanah lainnya. Hal ini disebabkan karena tanah ini berasal dari lahan yang hanya sesekali saja disawahkan, akibatnya kadar MnO2 di dalamnya masih cukup tinggi karena tanah tidak berada dalam kondisi reduktif yang dapat melarutkan senyawa tersebut. 4.2
Nilai Eh dan pe+pH Tanah pada Berbagai Kondisi Reduksi Bahan organik yang digunakan berupa kotoran sapi yang masih segar
karena aktivitas mikroorganisme di dalamnya dapat membantu pembentukan kondisi reduksi dalam tanah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lindsay (1979), tanah bersifat lebih reduktif karena organisme di dalamnya melepaskan elektron secara simultan melalui proses respirasi. Nilai Eh yang rendah menunjukkan
kondisi tanah yang semakin reduktif. Kondisi reduksi tanah akibat penambahan bahan organik dan penggenangan selama beberapa hari dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Nilai Eh Tanah Selama Beberapa Hari setelah Perlakuan Perbandingan BO : Tanah
Tanah Bobojong Tanah Cihideung Tanah Margakaya Tanah Kaserangan (Cianjur)
(Bogor)
(Karawang)
(Serang)
H+1 H+2 H+3 H+1 H+2 H+3 H+1 H+2 H+3 H+1 H+2 H+3
1:1
79
-90 -156
78
-25
-92
7
-200 -206 -135 -286 -236
1:2
105
-46 -125
80
10
-68
32
-191 -197 -135 -286 -249
1:3
142
-37
-85
115
32
-60
69
-175 -191 -145 -289 -256
1:4
151
-24
-84
130
42
-41
96
-148 -187 -146 -285 -253
1:5
173
10
-50
138
45
-30
134 -128 -172 -147 -289 -240
1:6
170
4
-45
146
49
-23
148 -114 -164 -144 -287 -244
1:7
188
21
-24
145
66
-5
171
-86 -144 -141 -273 -232
1:8
188
22
-17
130
60
11
181
-74 -119 -112 -256 -226
1:9
199
30
-25
105
63
26
202
-58 -104 -73 -236 -213
1 : 10
205
40
2
127
100
39
220
-16
-76
-1
-174 -180
Kontrol
272
113
88
211
149
76
297
150
42
96
115
102
Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa secara umum, semakin lama tanah digenangi, maka Eh tanah semakin rendah. Tetapi, dapat juga dilihat pada tanah Kaserangan (Serang), setelah menurun secara drastis, nilai Eh kembali meningkat. Selain itu, diketahui bahwa kecepatan penurunan Eh masing-masing tanah berbeda-beda. Pada perlakuan dan hari penggenangan yang sama, terlihat bahwa penurunan nilai Eh pada tanah Kaserangan (Serang), Margakaya (Karawang) dan Bobojong (Cianjur) lebih cepat daripada tanah Cihideung (Bogor). Selanjutnya, dilakukan pengukuran pH tanah pada hari ke-3. Nilai Eh dan pH merupakan variabel untuk memperoleh konstanta pe+pH masing-masing tanah. Sebagaimana pH, pe merupakan fungsi dari aktivitas elektron di dalam
tanah yang diperoleh dari penghitungan Eh (mV)/59,2 (Lindsay 1979). Konstanta pe+pH tanah pada kondisi alami berbeda dengan kondisi reduktif. Semakin tinggi pe+pH tanah pada kondisi alami menunjukkan kemampuan tanah berperan sebagai oksidator, sementara semakin tinggi pe+pH pada kondisi tanah yang direduksikan menunjukkan kemampuan tanah untuk bertahan dalam kondisi oksidatif. Nilai pe+pH tanah pada kondisi oksidatif diperoleh dari pengukuran Eh dan pH kontrol, sedangkan nilai pe+pH tanah pada kondisi reduktif diperoleh dari pengukuran Eh dan pH masing-masing perlakuan pada hari ketiga setelah perlakuan. Hasil penghitungan tersebut disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil Penghitungan Nilai pe+pH pada Masing-masing Tanah Selanjutnya, Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai pe+pH tanah Kaserangan (Serang) pada kondisi oksidatif jauh lebih tinggi daripada ketiga tanah lainnya, sehingga tanah berperan sebagai oksidator kuat yang ketika ditambahkan bahan organik mengakibatkan peningkatan jumlah elektron bebas dalam tanah. Tingginya jumlah elektron dalam tanah memudahkan tercapainya kondisi reduksi tanah (Eh rendah).
Setelah direduksi, diketahui bahwa pe+pH tanah Cihideung (Bogor) > tanah Bobojong (Cianjur) > tanah Margakaya (Karawang) > tanah Kaserangan (Serang). Urutan nilai pe+pH tersebut menunjukkan bahwa tanah Cihideung (Bogor) lebih sulit direduksi daripada ketiga tanah lainnya. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa kadar Fe2O3 tanah Cihideung (Bogor) > tanah Bobojong (Cianjur) > tanah Margakaya (Karawang) > tanah Kaserangan (Serang). Tanah dengan kadar Fe2O3 yang tinggi memiliki daya sangga untuk mempertahankan kondisi oksidatifnya ketika tanah ditambahkan bahan organik. Dengan demikian, ada indikasi bahwa kecepatan penurunan Eh dipengaruhi oleh kadar Fe2O3 dan nilai pe+pH tanah pada kondisi oksidatif. 4.3 Ketersediaan Fe dan Mn pada Berbagai Kondisi Reduksi Pada berbagai nilai Eh, larutan tanah dan tanah masing-masing contoh dianalisis. Hasil analisis larutan tanah dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Kadar Fe dalam Larutan Tanah
Gambar 4. Kadar Mn dalam Larutan Tanah Secara umum, penurunan nilai Eh diikuti dengan peningkatan kadar Fe dan Mn terlarut. Peningkatan kadar Fe dan Mn terlarut ini disebabkan karena dalam kondisi tersebut, Fe dan Mn dalam tanah akan direduksikan menjadi Fe2+ dan Mn2+. Kadar Fe2+ tanah Margakaya (Karawang) lebih tinggi daripada ketiga tanah lainnya, hal ini disebabkan nilai pe+pH tanah Margakaya (Karawang) pada kondisi oksidatif cukup tinggi sehingga ketika ditambahkan bahan organik, Fe yang tereduksi lebih banyak daripada tanah Bobojong (Cianjur) dan Cihideung (Bogor). Walaupun pe+pH tanah Kaserangan (Serang) lebih tinggi, kadar Fe2O3 tanah Kaserangan (Serang) sangat rendah sehingga Fe yang terlarut sedikit. Kadar Mn2+ pada tanah Bobojong (Cianjur), Cihideung (Bogor), dan Margakaya (Karawang) pada nilai Eh tertentu berpotensi meracuni tanaman padi karena kadarnya > 2 ppm (IRRI 2000 dalam FFTC 2001). Pada Eh yang sama, kadar Fe2+ untuk tanah Cihideung (Bogor) dan Bobojong (Cianjur) lebih rendah daripada kadar Mn2+, pada tanah Margakaya (Karawang) kadar Fe2+ lebih tinggi daripada kadar Mn2, sedangkan untuk tanah Kaserangan (Serang), pada Eh tertentu, kadar Fe2+ lebih tinggi daripada Mn2+ dan
pada kondisi sangat reduktif (Eh < -200 mV), kadar Mn2+ lebih tinggi daripada kadar Fe2+. Jika dibandingkan dengan penelitian Nursyamsi (2000), penurunan Eh diikuti dengan peningkatan kandungan Fe2+ dan Mn2+, pada Eh yang sama, kandungan Fe2+ lebih rendah daripada Mn2+. Menurut Tan (1982), pada kondisi tanah yang digenangi, Mn akan direduksi lebih dulu daripada Fe sehingga kadar Mn2+ akan lebih tinggi daripada Fe2+. Sedangkan menurut Bohn (1979), pada kondisi reduktif, kadar Fe2+ dalam larutan tanah dapat berkisar antara subppm sampai ratusan ppm. Peningkatan kadar Mn2+ dalam larutan tanah juga dapat mencapai ratusan ppm, akan tetapi peningkatan ini tidak sebanyak Fe2+. Ketersediaan Fe dan Mn dalam tanah diekstrak dengan DTPA 0,005M dan dibandingkan dengan HCl 0,1N. Data hasil analisis tanah dengan pengekstrak DTPA 0,005M dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan hasil analisis tanah dengan pengekstrak HCl 0,1N ditampilkan pada Gambar 5 dan 6.
Tabel 5. Kadar Fe dan Mn dalam Tanah setelah Direduksi (Ektraksi dengan DTPA 0,005M) Asal Tanah Bobojong (Cianjur)
Cihideung (Bogor)
Margakaya (Karawang)
Kaserangan (Serang)
Perbandingan Kontrol1 Kontrol2 1 : 10 1:9 1:8 1:6 1:2 1:1 Kontrol 1 : 10 1:9 1:8 1:6 1:5 1:4 1:2 1:1 Kontrol1 Kontrol2 1 : 10 1:9 1:4 1:1 Kontrol1 Kontrol2 1 : 10 1:9 1:8 1:7 1:5
Eh (mV) 189 91 -84 -101 -125 -164 -189 -204 247 79 62 25 -16 -97 -125 -165 -196 42 29 -76 -144 -187 -206 82 42 -141 -200 -215 -231 -243
ppm Fe 222.45 217.59 1153.18 1332.68 1283.93 1481.98 1758.42 1964.78 182.59 112.22 276.77 337.47 611.19 1120.41 1219.84 1588.70 1766.47 526.78 604.75 646.11 717.21 735.78 824.14 15.95 26.23 17.49 105.53 106.73 148.54 156.72
ppm Mn 158.60 359.35 878.87 777.13 761.99 774.24 511.07 515.45 230.33 257.12 312.98 346.91 573.33 585.17 565.76 504.04 490.44 140.51 141.61 139.75 132.14 127.98 129.18 133.39 195.37 224.51 437.63 380.28 445.60 416.81
Fe/Mn 1.40 0.61 1.31 1.71 1.68 1.91 3.44 3.81 0.79 0.44 0.88 0.97 1.07 1.91 2.16 3.15 3.60 3.75 4.27 4.62 5.43 5.75 6.38 0.12 0.13 0.08 0.24 0.28 0.33 0.38
DTPA mengekstrak Fe dan Mn yang terdapat sebagai Fe dan Mn tersedia, termasuk Fe dan Mn terlarut, dapat dipertukarkan, dan mudah tereduksi. Menurut Orlov (1992), Mn terlarut dan Mn dapat dipertukarkan merupakan Mn tersedia bagi tanaman. Senyawa Mn potensial tersedia merupakan Mn yang mudah tereduksi dan mudah terkonversi menjadi bentuk mobile.
Berdasarkan Tabel 5, secara umum kadar Fe dalam tanah mengalami peningkatan seiring dengan penurunan nilai Eh. Setelah direduksi, kadar Fe tertinggi ditemukan pada tanah Bobojong (Cianjur), kemudian tanah Cihideung (Bogor), Margakaya (Karawang), dan Kaserangan (Serang). Sementara kadar Mn dalam tanah meningkat sampai Eh tertentu kemudian mengalami penurunan pada kondisi sangat reduktif (Eh < -180). Kadar Mn pada tanah Bobojong (Cianjur) dan Cihideung (Bogor) cukup tinggi sehingga berpotensi meracuni tanaman padi. Kadar Mn dalam tanah Margakaya (Karawang) relatif rendah (120 - 142 ppm). Sedangkan kadar Mn tersedia dalam tanah Kaserangan (Serang) memiliki kisaran yang cukup besar (133 – 446 ppm). Jika merujuk pada Eh tanah sawah secara umum (> -200 mV), maka Mn tersedia pada tanah Kaserangan (Serang) masih dalam batas normal karena < 300 ppm (Kyuma 2004a). Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah Margakaya (Karawang) dan tanah Kaserangan (Serang) tidak berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi.
Gambar 5. Kadar Fe dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl)
Gambar 6. Kadar Mn dalam Tanah pada Berbagai Nilai Eh (Ekstraksi dengan HCl 0,1N) Hasil ekstraksi menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara hasil ekstraksi dengan DTPA dan HCl, hal ini dikarenakan HCl akan melarutkan Fe dan Mn yang ada di dalam tanah, sedangkan DTPA membentuk chelat dengan kedua unsur tersebut. Hasil ekstraksi menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara hasil ekstraksi dengan DTPA dan HCl, hal ini dikarenakan HCl akan melarutkan Fe dan Mn yang ada di dalam tanah, sedangkan DTPA membentuk chelat dengan Fe dan Mn yang terdapat sebagai Fe dan Mn tersedia, termasuk Fe dan Mn terlarut, dapat dipertukarkan, dan mudah tereduksi. Terdapat indikasi bahwa Fe dan Mn dalam tanah tidak membentuk chelat dengan DTPA. Menurut Motomura (1969) dalam Kyuma (2004a), senyawa Fe dalam tanah dapat berupa fraksi inaktif yang terjerap partikel tanah dan hanya bisa terekstrak dengan HCl. Hasil ekstraksi DTPA lebih mencerminkan kadar Mn yang dapat diserap tanaman, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada hasil ekstraksi tanah dengan DTPA.
Pada kondisi lapang, bahan organik biasa ditambahkan dengan dosis 5 - 10 ton/ha. Akan tetapi, penambahan bahan organik tersebut tidak merata, di beberapa titik sangat mungkin dijumpai kondisi pencampuran yang hampir setara dengan perbandingan 1 : 10 sampai 1 : 8 pada penelitian ini. Sebagaimana yang ditampilkan Tabel 5, pada tanah Bobojong (Cianjur), penambahan bahan organik dalam dosis tersebut mampu mereduksikan tanah sampai Eh nya < -20. Walaupun Mn tersedia sangat tinggi dan berpotensi meracuni tanaman (> 300 ppm), tidak pernah dilaporkan adanya keracunan Mn pada padi yang ditanam di Bobojong (Cianjur). Menurut Ponnamperuma (1978), tingginya kadar Fe dalam tanah dapat menekan keracunan Mn. Setelah dianalisis, diketahui kadar Fe tersedia pada tanah Bobojong (Cianjur) pun tinggi sehingga mampu mengimbangi jumlah Mn yang dapat terserap tanaman. Dengan kata lain, potensi Mn meracuni tanaman pada tanah Bobojong (Cianjur) relatif rendah. Pada tanah Cihideung (Bogor), Eh yang dicapai tanah dengan penambahan bahan organik pada perbandingan 1 : 10 sampai 1 : 8 masih bernilai positif atau mendekati nol. Pada kondisi tersebut, Mn yang tersedia cukup tinggi, sedangkan Fe tersedia lebih rendah daripada Mn, sehingga tanah ini berpotensi menyebabkan keracunan pada tanaman padi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian, diketahui bahwa kecepatan penurunan Eh setiap
tanah berbeda-beda. Penurunan Eh lebih cepat terjadi pada tanah dengan pe+pH tinggi dan kadar Fe2O3 rendah. Setelah direduksi, kadar Fe dan Mn tanah terekstrak DTPA dan HCl serta dalam larutan tanah meningkat sejalan dengan penurunan Eh, kecuali Mn pada tanah Margakaya (Karawang). Kadar Mn tanah sawah di Cihideung (Bogor) dan Bobojong (Cianjur) tergolong tinggi tapi tanah sawah Cihideung (Bogor) lebih berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi ketika ditambahkan bahan organik seperti pada aplikasi SRI karena memiliki rasio Fe/Mn rendah. Kadar Mn pada tanah Margakaya (Karawang) dan Kaserangan (Serang) relatif rendah sehingga tidak berpotensi menyebabkan keracunan Mn pada tanaman padi. 5.2
Saran Penambahan bahan organik pada aplikasi SRI perlu dilakukan secara
merata agar tidak terjadi akumulasi bahan organik di beberapa titik yang dapat menimbulkan keracunan Mn pada tanaman padi. Selain itu, jika penanaman dilakukan pada musim hujan, pengaturan air perlu diperhatikan agar tidak menggenangi lahan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008. SRI, Teknologi Ramah Lingkungan. //www.portalhr.com/cetak.php?cid=1&id=1033&url=http%3A%2F%2Fw ww.portalhr.com%2Fmajalah%2Fedisiterbaru%2Fteknologi%2F1id1033. html [09.01.09] Berkelaar, D., 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification – SRI): Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak. www.elsppat.or.id/download/file/SRI-echo%20note.htm [05 Jan 2009] Bohn, H. L., McNeal, B. L., and O’Connor, G. A., 1979. Soil Chemistry. John Wiley & Sons, Canada. Darmawan dan Sastiono, A., 2007. Uji Keunggulan Sistem Tanam Padi “SRI” (System of Rice Intensification) dalam Rangka Peningkatan Produksi Padi. LPPM, IPB. De Datta, S. K., 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons, Singapore. FFTC,
2001. Asian Crops and Micronutrient //www.agnet.org/library/bc/51008/ [19 Jan 2009].
Toxicity.
Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo, Jakarta. Kyuma, K., 2004a. Paddy Soil Science. Kyoto University Press and Trans Pasific Press, Tokyo and Melbourne. Kyuma, K., 2004b. Paddy Soils Around The World. In Rice is Life: Scientific Perspective for The 21st Century. Proceedings of The World Rice Research Conference, Tsukuba-Japan. Lindsay, W. L., 1979. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley & Sons, New York. Moorman, F. R., and van Breemen, N., 1978. Rice: Soil, Water, Land. International Rice Research Institute, Los Banos – Philippines. Mutakin, J., 2008. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification). www.garutkab.go.id/download_files/article/ARTIKEL%20SRI.pdf [10 Jan 2009] Nursyamsi, D., dan Suryadi, M. E., 2000. Pengaruh Drainase Terputus dan Pemupukan Terhadap pH, Eh, Fe dan Mn pada Sawah Baru di Ultisol Bandar Abung (Lampung) dan Tapin (Kalsel). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan: 3(2): 8 – 17.
Orlov, D. S., 1992. Soil Chemistry. A. A. Balkema Publishers, Brookfield. Ponnamperuma, F. N., 1976. Physicochemical Properties of Submerged Soils in Relation to Fertility. In The Fertility of Paddy Soils and Fertilizer Appplications For Rice. Food and Fertilizer Technology Center, Taipei. Tan, K. H., 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. Uphoff, N. and Randriamiharisoa, R., 2002. Reducing Water Use in Irrigated Rice Production with The Madagaskar System of Rice Intensification (SRI). In Water-wise Rice Production. IRRI, Phillipines. Yogaswara, S. A., 1977. Seri-seri Tanah di Tujuh Tempat di Jawa Barat. Tesis. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas PertanianInstitut Pertanian Cihideung (Bogor).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Eh Tanah Sawah di Lapang Titik Eh Titik ke- (mV) ke1 91 21 2 68 22 3 63 23 4 55 24 5 53 25 6 53 26 7 48 27 8 42 28 9 36 29 10 23 30 11 21 31 12 14 32 13 4 33 14 1 34 15 -14 35 16 -17 36 17 -17 37 18 -18 38 19 -19 39 20 -21 40
Eh Titik Eh Titik (mV) ke- (mV) ke-26 41 -66 61 -28 42 -68 62 -30 43 -70 63 -33 44 -72 64 -36 45 -73 65 -39 46 -74 66 -39 47 -76 67 -40 48 -76 68 -45 49 -76 69 -45 50 -78 70 -48 51 -80 71 -48 52 -84 72 -49 53 -84 73 -51 54 -86 74 -53 55 -86 75 -53 56 -87 76 -55 57 -88 77 -57 58 -88 78 -57 59 -88 79 -58 60 -88 80
Eh Titik (mV) ke-90 81 -90 82 -90 83 -94 84 -94 85 -97 86 -98 87 -98 88 -98 89 -100 90 -100 91 -101 92 -102 93 -105 94 -105 95 -107 96 -107 97 -108 98 -110 99 -110 100
Eh (mV) -112 -114 -117 -121 -121 -122 -123 -125 -128 -129 -132 -136 -140 -141 -147 -156 -157 -165 -169 -175
Lampiran 2. Hasil Analisis Larutan Tanah Tanah
Bobojong (Cianjur)
Cihideung (Bogor)
Margakaya (Karawang)
Kaserangan (Serang)
Eh
Fe (ppm)
Mn (ppm)
-26
0.63
3.08
-122
0.31
3.36
-159
0.73
9.92
-197
1.11
10.04
-215
3.33
10.20
-85
0.19
2.42
-120
0.41
3.42
-154
1.56
3.46
-206
1.77
4.64
-231
1.41
5.78
-76
4.30
1.79
-172
5.59
3.20
-187
5.86
3.02
-197
7.60
3.89
-206
9.07
3.20
82
0.65
0.04
-141
0.93
0.22
-206
1.35
4.76
-239
0.61
7.28
-246
0.73
9.64
Gambar 7. Proses Pelumpuran Tanah
Gambar 8. Kotoran Sapi yang Telah Diencerkan
Gambar 9. Pencampuran Tanah dengan Kotoran Sapi
Gambar 10. Penempatan Masing-masing Perlakuan Tanah
Gambar 11. Pengukuran Nilai Eh Tanah
Gambar 12. Pengambilan Larutan Tanah
Gambar 13. Tanaman Padi dengan Gejala Keracunan Mangan