HUBUNGAN ANTARA PENCAHAYAN PADA SAAT BERMAIN GAME ONLINE DENGAN TIMBULNYA COMPUTER VISION SYNDROME (ASTHENOPIA) PADA PEMAIN GAME ONLINE DI KOTA DENPASAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penggunaan komputer yang begitu pesat di zaman ini, tentu saja tak menutup kemungkinan akan muncul berbagai macam produk yang baru dari perkembangan teknologi tersebut. Teknologi berkembang dengan seiring waktu berjalan, semakin maju semakin mudah saja hidup ini. Teknologi tidak hanya dalam bidang otomotif, atau yang lainnya namun di bidang kedokteran teknologi pun menjadi dampak yang positif. Semua kecanggihan tersebut ada menggunakan komputer. Komputer digunakan oleh 100 juta orang di Amerika pada pekerjaan seharihari. Sejak tahun 1999, menurut the National Center for Educational Statistic, 95% dari sekolah dan 63% dari semua kelas memiliki akses internet (Sheedy, 2007). Tentunya komputer menjadi sebuah jendela untuk melihat kedunia luar dengan keterbatasan yang ada.
1
Computer Vision Syndrome adalah keluhan yang sering timbul pada pekerja akibat penggunaan layar komputer dalam jangka waktu lama setelah berkerja. American Optometric Association (AOA) mendefinisikan hal ini sebagai masalah utama kesehatan kerja yang berhbungan dengan pemakaian komputer dalam waktu lama di tempat kerja, dengan gejala yang bervariasi mulai dari mata kering, rasa panas di mata, iritasi mata, mata kabur, mata lelah, yang timbul setelah lama bekerja dengan monitor komputer selama tiga jam atau lebih dalam sehari. Bermain komputer memang mengasyikan, apalagi dengan teman-teman. Semakin berkembangnya
teknologi
makin
baru juga permanian
yang.
Berdasarkan sumber berita dari Detiknet pada tanggal 6 Februari 2009 lalu, memberitakan bahwa pengguna game online di Indonesia untuk produk Lyto (Salah satu penyedia layanan game online di Indonesia) sudah mencapai 6 juta orang. Jumlah yang fantastis untuk ukuran indrustri yang baru muncul di Indonesia. Bahkan dapat di katakan bahwa industri ini belum memiliki tempat yang jelas di negara kita. Jumlah 6 juta pemain di bandingkan 25 juta pengguna internet sudah menunjukkan hal tersebut. Persentasenya sekitar 24% dari jumlah seluruh pengguna internet di Indonesia. Diperkirakan jumlah pelajar/mahasiswa pengguna internet adalah setengah dari jumlah pengguna internet secara keseluruhan. Jadi secara mudah kita hitung bahwa jumlah pemain game online hampir mencapai 50% dari seluruh pelajar/mahasiswa yang terkoneksi di internet. Jumlah sebenarnya memang bisa saja lebih sedikit karena yang memainkan game online tidak hanya pelajar/mahasiswa saja. Tapi jumlah ini sangat besar
2
lonjakannya dibanding dengan tahun 2007 dimana diprediksi jumlah pemain game online paling banyak hanya 2,5 juta pemain. Dari data tersebut diyakini bahwa pengguna atau pemakai game online telah menjamur di masyarakat dimana pun, golongan apa pun. Data sementara mengatakan bahwa bermain game online layak disamakan dengan pekerja kantoran dimana harus menghadap ke komputer selama berjam-jam, begitu pula para “gamers” ini. Mereka duduk selama berjam-jam bermain tanpa mengenal waktu. Dari hal itu muncul pertanyaan “Bagaimana kondisi sebenarnya di warung-warung internet yang menyediakan game online dan tidak memperhatikan terjadinya Computer Eye Syndrome?”. Oleh karena itu di perlukan penelitian dengan sampel lebih besar tentang hubungan antara bermain game online dengan timbulnya computer eye syndrome. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1.
Bagaimana hubungan antara pencahayaan pada saat bermain game online dengan timbulnya computer vision syndrome (Asthenopia) pada pengguna komputer di kota Mataram?.
3
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan pada saat bermain game online dengan timbulnya computer vision syndrome (Asthenopia) pada pengguna komputer di kota Mataram.
1.3.2.
Tujuan Khusus 1.
Mengetahui karakteristik demografi warung internet tempat pengguna komputer bermain game online di kota Mataram.
2.
Mengetahui karekteristik perilaku pengguna komputer saat bermain game online di kota Mataram.
3.
Mengetahui dampak pencahayaan ruangan dan monitor komputer terhadap mata.
4.
Mengetahui karakteristik pengguna komputer yang terkena gejala computer vision syndrome di kota Mataram.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1.
Hasil penelitian ini menyediakan informasi tentang hubungan pencahayan saat bermain game online dengan timbulnya computer eye syndrome pada pemain game online di kota Mataram.
4
1.4.2.
Menghubungkan antara pencayahaan pada saat bermain game online yang lama dengan timbulnya computer eye syndrome yang dapat mengganggu aktivitas para penggunanya ditempat kerja atau tempat umum lainnya.
1.4.3.
Memberikan informasi yang baru bagi dunia teknologi agar dapat mengurangi dampak yang terjadi pada mata.
1.4.4.
Sebagai referensi kepustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram Nusa Tenggara Barat dan memberikan informasi bagi mahasiswa yang akan meneliti tentang kesehatan mata.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi Mata Menurut Riordan-Eva P dan Whitcher (2010), mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif : ektoderm permukaan, termasuk derivatnya-crista neruralis; ektoderm neural; dan mesoderm. Endoderm tidak ikut dalam pembentukan mata. Mesenkim, yang berasal dari mesoderm atau crista neuralis, adalah istilah untuk jaringan ikat embrional. Sebagian besar mesenkim dikepal dan leher berasal dari crista neuralis. Ektoderm permukaan membentuk lensa; kelenjar lakrimal; epitel kornea, konjungtiva, dan kelenjar-kelenjar adneksa; serta epidermis palpebra. Crista neuralis, yang bersala dari ektoderm permukaan di daerah tepat di sebelah plica neuralis (neural folds) ektoderm nerural, berfungsi membentuk keratosit kornea, endotel kornea dan anyaman trabekula, stroma iris dan koroid, muskulus ciliaris, fibroblas sklera, vitreus, dan meinges nervus opticus. Crista neuralis juga terlibat dalam pembentukan tulang dan tulang rawan orbita, jaringan ikat dan saraf orbita, otot-otot ekstraokular, dan lapisam-lapisan subepidermal palpebra. Ektoderm neural menghasilkan vesikel optik dan cawan optik sehingga berfungsi membentuk retina dan epitel pigmen retina, lapisan-lapisan berpigmen dan tidak berpigmen epitel siliaris, epitel posterior, musculus dilatator pupil dan sphingter pupillae pada iris, serat –serat nervus opticus dan glia.
6
Mesoderm berkontribusi membentuk vitrreus, otot-otot palpebra dan ektraokular, serta endotel vaskular orbita dan okular. Embriologi mata terjadi dalam 2 tahapan menurut Eva dan Whitcher (2010) yaitu : 1.
Tahap Vesikel Optik Lempeng
embrional
adalah
tahap
paling
awal
dalam
perkembangan janin yang struktur-struktur matanya sudah dapat dikenali. Pada usia 2 minggu, tepian sulcus neuralis (neural groove) menebal membentuk plica neuralis. Lipatan ini kemudian menyatu membentuk tuba neuralis, yang tenggelam ke dalam mesoderm di bawahnya dan melepaskan diri dari epitel permukaan. Tempat sulcul opticus (optic groove) adalah dalam plica neuralis cephalica, parallel pada kedua sisi sulcus neuralis. Sulcus ini terbentuk saat plica neuralis mulai menutup pada minggu ke-3. Pada usia 4 minggu, sesaat sebelum bagian anteriot tuba neuralis menutup seluruhnya, ektoderm neural bertumbuh ke luar dan ke arah ektoderm permukaan di kedua sisi untuk membentuk vesikel optik yang bulat. Vesikel optik berhubungan dengan otak-depan melalui tangkai optik. Pada tahap ini pula mulai terjadi penebalan ektodermpermukaan (lempeng lensa) yang berhadapan dengan ujung-ujung vesikel optik.
7
2.
Tahap Cawan Optik Saat vesikel optik berinvaginasi membentuk cawan optik, dinding luar vesikel mendekati dinding dalamnya. Invaginasi permukaan ventral tangkai optik dan invaginasi vesikel optik terjadi bersamaan dan menghasilkan alur, yaitu fissura opticum (embrional). Tepian cawan optik kemudian tumbuh mengelilingi fissura opticum. Pada saat yang sama, lempeng lensa bervaginasi-pertama-tama membentuk cawan, kemudian bola berongga yang dikenal sebagai vesikel lensa. Setelah 6 minggu, vesikel lensa memisahkan diri dari ektoderm permukaan dan terletak bebas di tepian cawan optik. Fissura
opticum
memnungkinkan
mesekim
mosoderm
memasuki tangkai optik dan akhirnya membentuk sistem hyaloid rongga vitreus. Setelah invaginasi selesai, fissura opticum menyempit dan menutup, menyisakan lubang permanesn yang kecil di ujung anterior tangkai optik, yang dilalui anteria hyaloidea. Pada usia 4 bulan, arteria dan venae retinae melalui lubang ini Setelah fissura opticum tertutup, bentuk umum akhir mata telah ditetapkan. Perkembangan selanjutnya adalah differensiasi struktur optik individual. Umumnya, perkembangan struktur optik terjadi lebih cepat di segmen posterior daripada anteriot mata pada tahap awal kehamilan dan lebih cepat di segmen anterior pada tahap akhir kehamilan.
8
2.2. Pertumbuhan dan Perkembangan Mata Pertumbuhan dan perkembangan bagian-bagian dari mata akan sangat mempengaruhi fungsinya. Riordan-Eva P dan Whitcher (2010) menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan itu dari bagian per bagian. 2.2.1.
Bola Mata Saat lahir, mata relatif lebih besar untuk ukuran tubuh dibandingkan dengan ukurannya pada masa kanak-kanak dan dewasa. Dibandingkan dengan ukuran sebenarnya (yang dicapai pada usia 7-8 tahun), mata saat itu relatif pendek; rata-rata diameter antero-posteriornya 16,5 mm (satu-satunya dimensi yang bermakna secara optik). Hal ini menyebabkan mata sangat hiperopik jika saja tidak diimbangi daya refraktif lensa yang hampir bulat itu.
2.2.2.
Kornea Bayi yang baru lahir memiliki kornea yang relatif bear dan mencapai ukuran dewasa usia 2 tahun. Kornea ini lebih datar daripada kornea dewasa dan kurvatura perifer lebih besar daripada pusat. (Pada orang dewasa, sebaliknya.)
2.2.3.
Lensa Saat
lahir,
lensa
berbentuk
lebih
mendekati
bulat
dibandingkan di kemudian hari, menghasilkan daya refraksi yang
9
lebih kuat sebagai kompensasi diameter antero-posterior mata yang pendek. Lensa terus bertumbuh seumur hidup dengan penambahan serat-serat baru di perifer, membuatnya lebih datar. Konsistensi materi lensa berubah selama hidup. Saat lahir, ia seperti plastik lunak; pada usia lanjut, konsistensinya mirip kaca. Hal ini menjadi penyebab sukarnya mengubah bentuk lensa saat akomodasi dengan semakin tuanya seseorang. 2.2.4.
Iris Saat lahir, pada permukaan anterior iris tidak ada atau hanya ada sedikit pigmen; lapisan pigmen posterior yang terbanyang melalui jaringan translusen membuat mata kebanyakan bayi berwarna kebiruan. Dengan bertambahnya pigmen pada permukaan anterior, iris mendapat warna definitifnya. Jika banyak pigmen diendapkan, mata tampak coklat. Pigmentasi stroma iris yang kurang menghasilkan warna iris yang biru, coklat muda (hazel), atau hijau.
2.3. Fisiologi Penglihatan Mata menangkap pola iluminasi dalam lingkungan sebagai suatu “gambaran optik” pada lapisan sel-sel peka cahaya, yaitu retina, seperti sebuah kamera menangkap banyangan pada film. Seperti film yang dapat dicuci-cetak untuk menghasilkan gambar yang mirip dengan bayangan asli, demikian juga citra yang
10
dikodeka di retina disalurkan melalui serangkaian pengolahan visual yang semakin kompleks setiap langkahnya sampai akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai gambar yang mirip dengan gambar asli. (Sherwood, 2001; 160) Mata memiliki sistem lensa, sistem arpertura yang dapat berubah-ubah (pupil), dan retina yang dapat disamakan dengan film. Sistem lensa mata terdiri atas empat perbatasan refraksi: (1) perbatasana antara permukaan anterior kornea dan udara, (2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dan humor aquosus, (3) perbatasan antara humor aquosus dan permukaan anterior lensa mata, dan (4) perbatasan antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous. Indeks internal udara adalah 1; kornea 1,38; humor aquosus 1,33; lensa kristalina (rata-rata) 1,40; dan humor vitreous 1,34. (Guyton, 2008; 645) 2.4. Refraksi, Refleksi, dan Optik Suatu berkas cahaya yang akan melewati medan akan terjadi refraksi dan juga refleksi yang bergantung pada media tertentu. Menurut Sherwood pembelokan suatu berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika berkas berpindah dari suatu medium dengan kepadatan (densitas) tertentu ke medium kepadatan yang berbeda. Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media tranparan lain, misalnya air dan kaca. Menurut Sherwood juga dua faktor berperan dalam derajat refraksi: densitas komparatif antara dua media (semakin besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan).
11
Untuk mengatahui pemahaman yang tepat pada gejala ini kita akan mempelajari tentang optik geometri menurut Riordan-Eva P dan Whitcher (2010). 2.4.1.
Optik Geometri Kecepatan, frekuensi, dan panjang gelombang cahaya saling berhubungan sesuai dengan lambang berikut:
Di media optis yang berbeda, kecepatan dan panjang gelombang cahaya berubah, tetapi frekuensinya tetap. Warna tergantung pada frekuensi sehingga warna dari seberkas cahaya tidak diubah sewaktu melewati media optis, kecuali oleh fluoresensi atau nontransmittance yang selektif. Karakteristik optis suatu bahan hanya dapat di tetapkan menurut frekuensi cahaya yang jelas spesifikasinya. Suatu bahan yang akan digunakan lensa untuk membiaskan cahaya-tampak biasanya di uji dengan cahaya natrium kuning (garis D) serta garis biru (garis F) dan merah (garis C) dari tabung lucutan hidrpgen yang dimurnikan. Dalam hampa udara, kecepatan samua frekuensi cahaya sama, yakni 299.792,46 kilometer per detik (186.282,40 statute mile per second). Karena frekuensi garis D kuning adalah sekitar 5,085 x 1014 Hz, panjang gelombang garis ini dalam hampa udara adalah 0,5896 µm. Demikian juga, panjang gelombang garis biru F
12
dan merah C dalam hampa udara masing-masing adalah 0,4861 µm dan 0,6563 µm. Jika Kecepatan suatu berkas cahaya berubah akibat perubahan optis, akan terjadi pula pembiasan/ refraksi berkas cahaya tersebut. Efek suatu bahan optis terhadap kecepatan cahaya dinyatakan oleh indeks refraksinya (indeks bias), n. Semakin tinggi indeks, semakin lambat kecepatan, dan semakin besar efek pembiasannya. Dalam hampa udara, n memiliki 1,00000. Indeks refraksi absolut suatu bahan adalah rasio kecepatan cahaya dalam hampa udara terhadap kecepatan cahaya dalam bahan. Indeks refraksi relatif dihitung dengan mengacu kepada kecepatan cahaya di udara. Indeks refraksi absolut udara bervariasi, tergantung pada suhu, tekanan, dan kelembaban udara serta frekuensi cahaya, tetapi nilainya sekitar 1,00032. Pada optik, n dianggap sebagai indeks relatif terhadap udara, kecuali dinyatakan sebagai absolut. Hukum-hukum
refleksi
(pemantulan)
dan
refraksi
(pembiasan) diformulasikan pada tahun 1621 oleh ahli astronomi dan matematika Belanda Willebrod Snell di Universitas Leyden. Hukum-hukum ini, bersama dengan prinsip Fermat, membentuk dasar optik geometri terapan. Hukum-hukum tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut.
13
1.
Berkas cahaya yang datang, dipantulkan, dan dibiaskan semua terletak pada bidang yang dikenal sebagai bidang datang, yang normal (tegak lurus) terhadap permukaan.
Table 20–1. Indices of Refraction and Dispersion Values of Some Substances of Ophthalmologic Interest. Substance (20 °C unless noted)
Indices of Refraction
Dispersion Values
(nD)
(V)
Water
1.33299
Water 37 °C
1.33093
Sea water
1.344
Sea water, 11,000 meters' depth
1.361
Polymethylmethacrylate
1.49166
Polymethylmethacrylate 37 °C
1.48928
Acrylonitrile styrene copolymer
1.56735
34.87
Polystyrene
1.59027
30.92
Fluorite
1.4338
95.2
Spectacle crown glass
1.523
58.8
Flint glass
1.617
36.6
Aqueous and vitreous 37 °C
1.3337
55.6
Hydroxyethylmethacrylate
1.43
55.6
57.37
(HEMA) Cellulose acetate butyrate (CAB) 1.47 Silicone
1.439
14
2.
Sudut datang sama dengan sudut refleksi tetapi memiliki tanda yang berlawanan: I = -I’.
3.
Hasil kali indeks refraksi medium berkas cahaya datang dan sinus sudut datang berkas cahaya yang datang sama dengan hasil kali besaran-besaran yang sama pada berkas cahaya biasan. Berkas cahaya yang dibiaskan dinyatakan oleh: n sin I = n’ sin I’ (hukum Snell).
4.
Berkas cahaya yang berjalan dari satu titik ke titik lain mengikuti lintasan yang memerlukan waktu paling singkat untuk dijalani (prinsip Fermat). Panjang lintasan optis adalah indeks refraksi dikali panjang lintasan sebenarnya.
15
Pada gambar di bawah ini, berkas cahaya yang datang terletak pada medium yang kurang padat (udara) dan dibiaskan menuju normal ke dalam medium yang lebih padat (gelas).
16
Sebaliknya bila berkas cahaya datang terletak di medium yang lebih padat, berkas tersebut akan dibiaskan menjauhi normal. Pada situasi ini, bila sudut datang makin diperbesar, sudut kritis akan dicapai sewaktu cahaya di pantulkan secara tiba-tiba, total, dan sempurna (refleksi internal total) dan sinus berkas cahaya datang di medium yang lebih padat mencapai nilai –n’/n. Ini adalah salah satu metode yang digunakan untuk menentukan indeks refraksi. Untuk air, dengan indeks refraksi 1,330, sudut kritis memiliki sinus -1/1,330 atau -48,75 derajat. Refleksi total mengikuti hukum-hukum refleksi biasa, yakni, I = -I’. Hal ini memungkinkan terjadinya refleksi sempurna tanpa
17
pelapisan dan digunakan secara luar dalam prisma dan serat optik (fiberopttics).
2.5. Pencahayaan Ruangan 2.5.1.
Pengertian Cahaya Menurut Depkes tahun 1992, Cahaya merupakan gejala fisis. Suatu sumber cahaya memancarkan energi, sebagian dari energi ini diubah menjadi cahaya tampak. Perambatan cahaya di ruang bebas dilakukan oleh gelombang-gelombang elektro magnetik. Jadi cahaya merupakan suatu gejala getaran, gejala getaran ini serupa dengan gelombang tv, radio, mikrowave dan sebagainya. Hal yang membedakan adalah frekuensinya. Karena
hanya
berbeda
frekuensi
maka
panjang
gelombangnya dapat di hitung dengan rumus = V/f. Karena sangat kecil, panjang gelombang cahaya dinyatakan dalam satuan mikro atau milimeter. 1 mikro (1 mikro) = l03 mm. 1 mili rnikro (lmm) = l06 mm. Panjang gelombang cahaya berkisar dari 380 s.d. 780 milimikro.
18
Cahaya adalah suatu bentuk radiasi elektromagnetik yang teridiri dari paket-paket individual energi seperti partikel yang disebut foton yang berjalan menurut cara-cara gelombang. Jarak antara dua puncak gelombang itu dikenal sebagai panjang gelombang. (Sherwood, 2001; 162) 2.5.2.
Intensitas Cahaya, Luminasi, dan Flux Kawat tahanan yang dialiri arus listrik akan berpijar dan memancarkan cahaya. sumber cahaya demikian, misal lampu pijar dinamakan pemancar lampu pijar memancarkan energi cahaya kesemua jurusan, tetapi energi radiasinya tidak merata. Jumlah energi yang dipancarkan sebagai cahaya ke suatu jurusan tertentu disebut intensitas cahaya dan dinyatakan dalam satuan candela (cd). Sumber cahaya yang ditempatkan dalam bola memancarkan cd ke setiap jurusan jadi permukaan haya akan mendapat penerangan merata. Suatu sumber cahaya yang memancar sama kuat ke setiap jurusan dinamakan sumber cahaya serangan. Luminasi ialah satuan ukuran terang suatu benda. Luminasi yang besar akan menyilaukan mata seperti sebuah lampu pijar tanpa armatur. Luminasi suatu sumber cahaya atau .suatu permukaan yang memantulkan cahaya ialah intensitas cahayanya dibagi dengan luas semua permukaan.
19
2.5.3.
Sistem Penerangan Penyebaran cahaya di suatu sumber cahaya tergantung pada konstruksi sumber cahaya itu sendiri dan pada konstruksi armatur yang digunakan. Konstruksi,Armatur ditentukan oleh : a.
Cara pemasangannya pada dinding atau langit-langit.
b.
Cara pemasangan biting didalam armatur.
c.
Pelindungan sumber cahayanya.
d.
Penyesuaian bentuknya dengan lingkungan.
e.
Penyebaran cahayanya.
2.6. Computer Vision Syndrome 2.6.1.
Definisi Computer Vision Syndrome menggambarkan sejumlah masalah yang terjadi pada mata dan penglihatan yang berhubungan dengan penggunaan pada pemakaian komputer yang terus-menerus. Setiap Individu memiliki tinggkat paparan yang berbeda, dan meningkata pada pemakain komputer yang terus menerus.
2.6.2.
Etiologi Melihat monitor komputer terlalu lama dapat membuat mata bekerja lebih. Sehingga hasilnya di dapatkan karakteristik yang unik dan juga meningkatnya pneggunaan pada komputer yang menyebabkan suatu individu dikatakan terkena gejala CVS.
20
2.6.3.
Gejala Gejalanya berupa sakit kepala, penglihatan yang kabur, mata kering, sakit bahu, dan mata lelah. Gejala ini biasanya disebabkan oleh pencahayaan yang buruk, silau terhadap cahaya dari layar monitor, cara duduk yang salah, jarak pandang dari monitor, dan kombinasi dari gejala-gejala di atas.
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik yaitu peneliti mencoba untuk mencari hubungan antar variabel faktor resiko dan efek yang analisisnya untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar variabel itu sehingga perlu disusun hipotesisnya. Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam satu periode tertentu dan setiap subyek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian. Studi cross sectional bisa menjadi deskripsi dan bisa menjadi analitik tergantung dari variabel yang akan di pakai (Sastroasmoro, 1995). 3.2. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di kota Denpasar dengan pertimbangan banyak warung internet di kota Denpasar pada tahun 2013. 3.3. Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan sekitar bulan Februari sampai dengan bulan Maret.
22
3.4. Variable dan Definisi Operasional 3.4.1.
Variable Penelitian dan Definisi Operasional 1.
Variable dependent (terikat)
: CVS
Computer Vision Syndrome adalah suatu kumpulan dan masalah penglihatan yang terjadi karena penggunaan komputer jangka panjang atau terus menerus. (AOA,2006) Masing-masing individu memiliki tingkat yang berbeda pada paparan terhadap komputer ini. Menurut Sheedy (2003) keluhan yang paling banyak di rasakan oleh pengguna komputer, yaitu : 1.
Eyestrain (sore eyes or eye fatique)
2.
Headache
3.
Near blurred vision
4.
Slowness in changing the focus of the eyes
5.
Blur in the distance after near work
6.
Glare (light) sensitivity
7.
Eye irritation (burning, dryness, redness)
8.
Contact lens discomfort
9.
Neck and shoulder pain
10.
Back pain
23
Untuk mengetahui keseluruhan dan mengecilkan variabel penelitian menjadi Astenophia, digunakan cara sebagai berikut: 1.
Alat Ukur
: Kuisioner
2.
Hasil Pengukuran : Skoring dari kuesioner yang berisi pertanyaan tentang kelelahan mata yang diberi nilai sendiri di setiap pilihan jawaban.
3. 2.
Skala Pengukuran : Interval
Variable independent (bebas) : Pencahayaan Ruangan Menurut buku pedoman pencahayan di rumah sakit tahun 1992, penghitungan pencanyaan di bagi menjadi beberapa cara dari menghitung intensitas cahaya, flux cahaya, intensitas cahaya, intensitas penerangan dan sudut ruangan. Satuan penting yang digunakan adalah : 1.
Satuan untuk intensitas cahaya
: Candela (Cd)
2.
Satuan untuk flux cahaya
: lumen (Im)
3.
Satuan untuk intensitas penerangan : lux (lx)
4.
Satuan untuk sudut ruang
: steradian (sr)
Cara penentuan cahaya dengan menggunakan cara sebagai berikut: 1.
Alat Ukur
: Lux Meter
24
2.
Satuan
: Lux
3.
Hasil Pengukuran : besarnya nilai cahaya
4.
Skala Pengukuran : Interval
Menurut Illuminating Engineering Society (IES) dan American
National
Standards
Institute
(ANSI)
telah
memutuskan dalam menentukan luminasi yang membuat mata silau, berikut akan di tampilkan pada tabel di bawah ini.
Visual Object
Luminance (candle/m2)
3.
Dark background display
20-25
Light background display 1. A Reference material with 75 footcandles 2. Reference material with auxiliary light
80-120
Blue sky (window)
2500
Concrete in sun (window)
6000-12000
Fluorecent light (poor design)
1000-5000
Auxiliary lamp (direct)
1500-10000
200 400
Variabel Pengganggu 1.
Usia Usia adalah perhitungan waktu yang dihitung dari tahun kelahiran sampai hari pada tahun saat dilakukan
25
penelitian. Data diperoleh dari hasil wawancara. Dalam penelitian yang menjadi sampel berkisar dari umur 15 s.d. 25 tahun.
2.
Lama bermain Lama bermain adalah waktu yang diperlukan para pemain game dalam bermain game di game center setempat. Data diperoleh dari pengamatan langsung di tempat penelitian. Dalam penelitian ini lama waktu bermain yang di ambil adalah minimal 3 jam.
3.
Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang sangat berpengaruh adalah penyakit infeksi mata, penyakit mata karena hipertensi dan diabetes. Data diperoleh dari wawancara dan observasi. Dalam penelitian ini diteliti sample yang tidak memiliki penyakit tersebut.
4.
Jumlah Armatur Jumlah armatur adalah jumlah pencayahan yang ada di dalam ruangan tempat bermain game center. Data diperoleh dari observasi lapangan. Dalam penelitian ini jumlah armatur yang di inginkan empat armatur. 26
3.5. Populasi dan Sample 3.5.1.
Populasi Populasi sampel penelitian ini adalah para pemain games atau disebut juga gamers yang tergolong usia remaja di areal Kelurahan Renon Denpasar Bali. Karakteristik pertama sampel penelitian adalah usia. Berdasarkan data demografis tentang pemain games di Indonesia dan pemain jenis MMORPG yang diketahui, maka batasan usia yang digunakan untuk sampel penelitian adalah remaja yang berusia 15 tahun hingga dewasa 25 tahun. Oleh karena itu populasi penelitian ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
3.5.2.
1.
Usia 15 s.d. 25 tahun
2.
Bermain game online
3.
Tidak memiliki kelainan refraksi
4.
Bermain game minimal 3 jam sehari
5.
Ruangan tempat bermain memiliki penerangan
Sample Dalam pemilihan sample penelitian ini peneliti menggunakan cara Purposive Random sampling. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau
27
sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya, itulah Purposive Sampling (Tongco, 2007). 3.6. Instrumen dan Bahan Penelitian Instrumen penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Lux Meter Lux meter digunakan untuk mengukur intensitas penerangan dengan satuan lux. Pengukuran penerangan ini dilakukan secara penerangan setempat (lokal illumination), penerangan umum (general illumination) dan reflaktan menggunakan Lux Meter tipe KW06-288.
2.
Kuisioner Kuisioner adalah intrumen data dalam bentuk beberapa pertanyaan yang berisi tentang Computer Vision Syndrome terutama untuk Asthenopia.
3.7. Cara Penelitian (Alur Penelitian)
Populasi Purposive Random Sampling Subjek
Pencahayaan Ruangan Korelasi Person Product Moment CVS
28
3.8. Analisis Hasil
29
REFERENCES Depkes. 1992. Pedoman Pencahayaan di Rumah Sakit. Jakarta ; Departemen Kesehatan. Guyton, Arthur., Hall, John. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 645. Riordan-Eva, Paul., Whitcher, John. 2010. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury, Ed. 17. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 23, 26, 382. Sastroasmoro, Sudigdo., Ismael, Sofyan. 1995. Dasar-Dasar Metologi Penelitian Klinis. Jakarta; Binarupa Aksara. Hlm 66-67. Sheedy, James E., McMinn, Peter G., 2003. Diagnosing and Treating ComputerRelated Vision Problems. Burlington; Butterworth Heinemann. Hlm 1. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, E/2. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 160, 162.
30
BIBLIOGRAFI
Anomin. 2004. Computer Vision Syndrome: Survey: Americans concerned about vision problem from computer use. Atlanta ; Helath & Medicine Week. Hlm. 197. Chandra, Arvin. 2006. Gambaran Perilaku dan Motivasi Pemain Online Games. Jakarta; Jurnal Pendidikan Penabur – No. 07/Th.V/Desember 2006. Depkes. 1992. Pedoman Pencahayaan di Rumah Sakit. Jakarta ; Departemen Kesehatan. Firmansyah, Fathoni. 2010. Pengaruh Intensitas Penerangan Terhadap Kelelahan Mata Pada Tenaga Kerja di Bagian Pengepakan PT. Ikapharmindo Putramas Jakarta Timur. Jakarta Timur; Universitas Sebelas Maret Surakarta. Guyton, Arthur., Hall, John. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 645. K, Smitha V. 2012. Problem Oriented Medical Diagnosis. Thalassery; Kerala Journal of Ophthalmology. Levin, Leonard., Nilsson, Siv., Ver Hoeve, James., Wu, Samuel., Alm, Albert., & Kaufman, Paul. Adler’s Physiology of the Eye, Eleventh Edition. Edinburgh; Saunders Elsevier.
31
Maria R.M., Rosa, dkk. 2009. Catagorization of Factor Causing Asthenopia in Research Professors at the ITCJ by Reading with VDT: A Shared Experience. Mexico; Instituto Tecnologico de Ciudad Juarez. NG, Brian D., Wiemer-Hastings, Peter. 2005. Addiction to the Internet and Online Gaming. Illinois; CyberPsychology & Behavior Volume 8, Number 2, 2005. Rikiyanto. 2011. Pengaruh Game Online Terhadap Perilaku Remaja Studi kasus : 5 orang remaja pelaku Game Online di Kelurahan Air Tawar Barat, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Padang; Universitas Andalas. Riordan-Eva, Paul., Whitcher, John. 2010. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury, Ed. 17. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 23, 26, 382. Rosenfield, Mark. 2011. Computer Vision Syndrome: a Riview of Ocular Causes and Potential Treatments. New York; OPO (Ophthalmic & Physiological Optics The Journal of The College of Optometrists. Sastroasmoro, Sudigdo., Ismael, Sofyan. 1995. Dasar-Dasar Metologi Penelitian Klinis. Jakarta; Binarupa Aksara. Hlm 66-67. Sheedy, James E., McMinn, Peter G., 2003. Diagnosing and Treating ComputerRelated Vision Problems. Burlington; Butterworth Heinemann. Hlm 1. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, E/2. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 160, 162.
32
Suharyanto, Frans X., Safari, Erizone. 2010. Asthenopia pada Pekerja Wanita di Call Center X. Jakarta; Bul. Penelit. Kesehat. Vol. 38, No.3; 119-130. Wimalasundera, Saman. 2006. Computer Vision Syndrome.Galle; Vol 11: No. 1, September 2006.
33