HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN KELUARGA DENGAN PERILAKU EMPATI SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 TIBAWA KABUPATEN GORONTALO Oleh : Wahyuni Lahami Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Gorontalo Pembimbing I Pembimbinga II
: Dra. Tuti Wantu M.Pd. Kons : Murhima A. Kau S.Psi M.Psi ABSTRAK
Permasalahan yang dihadapi di SMA Negeri 1 Tibawa adalah rendahnya perilaku empati yang dimiliki oleh siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo. Metode yang digunakan dalam penelitiab ini adalah metode korelasi. Tekhnik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah angket. Anggota populasi yang menjadi objek penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa , sedangkan yang menjadi sampel penelitian adalah 36 orang siswa yaitu 15% dari jumlah populasi. Dari hasil perhitungan diperoleh Yˆ 2,83 0,90 X Hasil ini berarti bahwa terjadi perubahan peningkatan pada variabel X, maka akan di ikuti oleh perubahan peningkatan rata-rata sebesar 0,90 pada variabel Y. Dengan kata lain semakin baik kondisi lingkungan keluarga maka semakin tinggi pula empati siswa. Sebaliknya makin buruk kondisi lingkungan keluarga makin rendah perilaku empati yang dimiliki siswa. Dari hasil uji linieritas diperoleh Fhitung sebesar -1,19 dan Fdaftar (0,95)(15,19) = 2,26. Sesuai dengan kriteria pengujian dapat dikatakan bahwa persamaan regresi adalah benar-benar linier, artinya bahwa perilaku empati memiliki hubungan dengan lingkungan keluarga. Dari hasil perhitungan koefisien korelasi diperoleh harga r = 0,946 dengan koefisien determinasi r2 = 0,89. Hal ini berarti bahwa sekitar 89% variasi yang terjadi pada variable Y (perilaku empati) dapat dijelaskan oleh variabel X. Selanjutnya dari uji keberartian koefisien korelasi diperoleh thitung = 16,62 dan t0,95)(34) = 1,68 Ternyata harga t hitung > t daftar, atau harga t hitung berada di luar daerah penerimaan H0 , sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan menerima H1 . Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis yang berbunyi “terdapat hubungan antara lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo” dapat diterima. Jadi untuk meningkatkan perilaku empati, sangat tepat jika keluarga melatih dan mengajarkan sejak dini kemampuan berempati anak dari lingkungan keluarga. Kata Kunci
: Lingkungan Keluarga dan Perilaku Empati
1
Hakekat manusia pada umumya adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Makhluk sosial di artikan sebagai hidup bermasyarakat atau berdampingan dengan manusia lainnya dalam sebuah lingkungan masyarakat atau yang sering disebut dengan bersosialisasi, seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama lingkungan sosialnya, bahkan seseorang tidak dapat berkembang baik tanpa hidup di dalam lingkungan sosial. Dalam proses berinteraksi manusia ada beberapa hakekat yang menjadikan individu sebagai makhluk sosial. Makhluk yang tidak pernah bisa lepas atau melepaskan diri dari lingkungan maupun aktifitas sosial. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan peran manusia yang juga sebagai makhluk individu. Makhluk yang mempunyai cipta, rasa dan karsa. Taufik (2012 : 41) empati merupakan suatu aktifitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang berempati kepada individu lain terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku empati perlu di miliki oleh setiap individu, karena empati sangat diperlukan dalam kehidupan sehari – hari agar kita bisa mengerti dan memahami keadaan orang lain. Empati juga sangat mempengaruhi perkembangan sosial siswa, karena apabila dalam proses sosialnya siswa tidak memiliki empati maka siswa tidak bisa melihat dan merasakan keadaan orang lain dan berfikir tentang orang lain. Empati bertujuan agar seseorang mampu memasuki dunia orang lain melalui ungkapan-ungkapan yang menyentuh perasaan. Dengan demikian orang lain akan terbuka dan mau mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya baik dalam bentuk perasaan, pengalaman, dan pikiran.
2
Goleman (dalam Taufik, 2012:92) mengatakan bahwa “Empati mungkin lebih penting daripada intelegensi, karena empati lebih kompleks dan lebih diperlukan dalam kehidupan”. Berinteraksi dalam satu keluarga, individu yang dapat berempati dengan salah satu anak dari keluarga itu maka ia akan dapat menerima keberadaan anggota keluarga lainnya. Hal itu juga berlaku dalam lingkup yang lebih luas. Orang tua dan guru ketika menanamkan nilai – nilai empati kepada anak dan siswa – siswanya, siswa lebih suka mengadopsi nilai – nilai empati itu dengan cara mencontoh perilaku orang tua saat dirumah dan sang guru saat disekolah, dan kemudian siswa yang menerapkan nilai – nilai empati yang di ajarkan. Sikap empati memberikan kontribusi terhadap perkembangan moral dan karakter siswa. Merasakan empati berarti beraksi terhadap perasaan orang lain dengan respons emosional yang mirip dengan perasaan orang lain tersebut (Taufik, 2012). Berempati lebih dari sekedar bersimpati kepada orang lain. Dalam menanamkan nilai–nilai empati di lingkungan keluarga, keluarga selalu berusaha menciptakan kondisi lingkungan yang baik, keluarga selalu berinteraksi dengan anak–anaknya, berkomitmen memberikan pendidikan yang baik. Oleh karena itu empati sangat dibutuhkan oleh siswa dan di harapkan dengan empati ini siswa bisa melihat dan menerima dari sudut yang berbeda, memiliki kepekaan terhadap orang lain dan mampu mendengarkan orang lain. Tetapi pada kenyataan masih banyak siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo yang empatinya rendah. Rendahnya empati ini ditunjukan dengan siswa kurang menghargai perasaan orang lain, saling mengejek, dan bertengkar dalam kelas. Berdasarkan latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan satu penelitian yang di formulasikan dalam judul “ Hubungan Antara Lingkungan Keluarga dengan Perilaku Empati Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo “. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah Terdapat Hubungan antara lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa ?. 3
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui “Hubungan antara lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo”. Kajian Teori Istilah “Empati” pada sebagian masyarakat kita barangkali kurang begitu di kenal di bandingkan dengan istilah “Simpati”. Kalaupun dikenal maknanya sering disamakan dengan pengertian simpati. Hal ini tidak mengherankan, karena simpati lebih mudah dipahami dan lebih mudah dilakukan. Para ilmuan sepakat bahwa empati lebih penting dari simpati. Pentingnya empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut : a. Empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif. Fesbach (Dalam Taufik,2012,45). b. Memilki
kontribusi
dalam
perilaku
proporsional
Einsenberg
(Dalam
Taufik,2012,45). c. Berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman, (Dalam Taufik,2012,45).. d. Dapat mereduksi prasangka (Taufik,2012,45). e. Dapat menimbulkan keinginan untuk dapat menolong (Batson & Ahmad, 2010) Empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitifkemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain. Pendapat para ahli tentang empati: a.
Wispe (dalam taufik, 2012:37), kajian empati terfokus pada isu-isu yang terkait dengan perilaku menolong.
b.
Krebs (dalam taufik, 2012:37), menemukan bahwa respons-respons empati dapat dikaitkan dengan perilaku menolong ketika menggunakan pengukuranpengukuran psikologis yang berkaitan dengan empati.
c.
Hoffman (dalam taufik, 2012:37), menjelaskan bahwa dalam penelitianpenelitian sosial empati telah digunakan untuk menjelaskan berbagai macam bentuk perilaku menolong.
4
d.
Allport (dalam taufik, 2012:37), mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Dari berbagai definisi dapat di simpulkan bahwa empati merupakan suatu
aktifitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Menurut Taufik (2012 : 88) Empati semakin menarik ketika pembahasan mengarah kepada keberadaan, pembentukan dan perkembangannya. Dalam kajian filsafat being dimaknai sebagai “mengada”, yaitu seseorang menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah Awt, beserta segenap tugas-tugas, hak dan tanggung jawab. Selain itu juga dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam memahami realitas diri, dalam hal ini seseorang dapat dikatakan telah “meng-ada” apabila ia dapat menerima kondisi dirinya sebagaimana adanya. Sementara becoming dimaknai sebagai “ menjadi “. Yang dimaksud “ menjadi” yaitu setelah seseorang menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah Swt, selanjutnya ia akan melakukan aktualisasi fungsi dirinya. Dengan kata lain, mengada bersifat kodrati, sedangkan menjadi dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman. Kedua konsep tersebut sejalan dengan konsep tempramen dan karakter, keduanya adalah bagian dari kepribadian. Hanya saja karakter bersifat kodrati (mengada) sedangkan karakter dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan lingkungan sekitar (menjadi). Menurut Taufik (2012,61) Kemampuan empati harus selalu dilatih atau diasah sejak dini. Bahkan ada beberapa langkah yang dapat di lakukan agar kemampuan empati dapat terbentuk antara lain : a.
Rekam semua emosi pribadi Setiap orang pernah mengalami perasaan positif dan negative, misalnya sedih,
kecewa, senang, bahagia, marah dan sebagainya. Pengalaman – pengalaman tersebut apabila kita atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang sama pada kondisi tertentu menjumpai kita kembali.
5
b.
Perhatikan lingkungan luar / Orang lain Memperhatikan lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak
informasi tentang kondisin orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk dijadikan panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga dapat dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi, sehingga kita dapar mengetahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai dengan lingkungan sekitarnya. c.
Mendengarkan curhat orang lain Mendengarkan adalah sebuah kempuan penting yang sangat dibutuhkan untuk
memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Kemampuan mendengarkan juga harus dilatih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi sosial kita. d.
Bayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain dan akibatnya untuk diri kita Membayangkan sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri
kita ke dalam sebuah situasi yang hampir sama dengan yang dialami orang tersebut. Refleksi keadaan orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialamimorang tersebut dan mampu membangkitkan suasana emosional. e.
Lakukan bantuan secepatnya Memberikan
bantuan
atau
pertolongan
kepada
orang-orang
yang
membutuhkan dapat membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat terhadap situasi di lingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih kemampuan kita untuk empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama tetapi kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita saat melihat atau menyaksikan orang-orang yang membutuhkan.
6
Menurut Taufik (2012) seseorang dapat dikatakan memiliki karakteristik kemampuan empati, jika mengikuti beberapa syarat berikut : a.
Melibatkan proses pikir secara utuh, dengan segala macam risiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik.
b.
Muncul dalam tindakan-tindakan seperti dinyatakan yaitu : 1) Mampu menerima sudut pandang orang lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan
orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. 2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. 3) Mampu mendengarkan orang lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi. Ahmadi (2002 : 56) menjelaskan bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi seorang anak. Keluarga berfungsi sebagai sarana mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik. Berikut ini definisi keluarga menurut beberapa para ahli, menurut Baylon & Maglay, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi, selanjutnya menurut Friedman, keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, dan menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil
7
yang layak, bertakwa kepada tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Jadi dapat disimpulkan keluarga dalam bentuk yang murni merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak yang belum dewasa. Menurut Friedman (dalam Abu Ahmadi 2002 : 83) mengemukakan beberapa fungsi dalamn keluarga. a.
Fungsi Afektif Berhubungan dengan fungsi internal keluarga dalam pemenuhan kebutuhan
psiko-sosial, fungsi afektif ini merupakan sumber energi kebahagiaan keluarga. b.
Fungsi Sosialisasi Sosialisasi di mulai sejak lahir keberhasilan perkembangan individu dan keluarga
di capai melalui interaksi atau hubungan antar anggota. c.
Fungsi Repreduksi Keluarga berfungsi meneruskan keturunan dan menambahkan sumber daya
manusia. d.
Fungsi Ekonomi Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga seperti
kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. e.
Fungsi Keperawatan Kesehatan Kesanggupan keluarga untuk melakukan pemeliharaan kesehatan. Menurut Dariyo (2007: 206). Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari
bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas.
8
a.
Berdasarkan lokasi 1)
Adat utrolokal yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri.
2)
Adat virilokal yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami.
3)
Adat uxurilokal yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri.
4)
Adat bilokal yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian).
5)
Adat neolokal yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri.
6)
Adat avunkulokal yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak suami.
7)
Adat natalokal yaitu adat yang menentukan bahwa suami dan istri masingmasing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri.
b.
Berdasarkan pola otoritas 1)
Patriarkal yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah).
2)
Matriarkal yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu).
3)
Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.
9
Ahmadi (2002 : 65) mengemukakan faktor–faktor keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan anak yaitu : a.
Perimbangan Perhatian Perimbangan perhatian adalah perhatian orang tua yang tidak seimbang atau
tidak menyeluruh atas tugas-tugasnya. b.
Kebutuhan Keluarga
Keluarga yang utuh adalah keluarga yang dilengkapi dengan anggota-anggota keluarga,ayah,ibu dan anak-anak. c.
Status Sosial
Status sosial orang tua mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku dan pengalaman anak-anaknya. Di maksud sosial ialah kedudukan orang tua dalam kelompoknya. d.
Besar kecilnya Keluarga
Besar kecilnya keluarga mempengaruhi perkembangan sosial anak. Pada keluarga besar anak sudah biasa bergaul dengan orang lain, sudah biasa memperlakukan dan di perlakukan oleh orang lain. Hasil Penelitian Berdasarkan analisis regresi diperoleh
Yˆ 2,83 0,90 X . Hasil ini
mengandung makna bahwa terjadi perubahan peningkatan pada variabel X, maka akan di ikuti oleh perubahan peningkatan rata-rata sebesar 0,90 pada variabel Y. Hal ini berarti jika terjadi perubahan pada variabel lingkungan keluarga, maka diikuti perubahan pada variabel perilaku empati. Berdasarkan perhitungan korelasi antara variabel lingkungan keluarga (X) dan perilaku empati (Y) diperoleh koefisien r = 0,946 dan 𝑟 2 = 0,89. Uji signifikan koefisien korelasi memperoleh hasil perhitungan diperoleh harga t hitung sebesar 16,62. Sedangkan dari daftar distribusi t pada taraf nyata 5% diperoleh t (0,95)(34)=1,68. Ternyata harga t hitung lebih besar dari t daftar, atau harga
10
t hitung berada di luar daerah penerimaan H0 , sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan menerima H1 . Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa hipotesis yang berbunyi hubungan antara lingkungak keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X SMA Negeri 1 tibawa kabupaten gorontalo, dapat diterima. Pembahasan Lingkungan keluarga yang baik akan berpengaruh pada perilaku empati siswa. Keluarga
merupakan
tempat
pertama
dan
utama
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan bagi seorang anak. Menurut Taufik (2012:89) Keluarga berfungsi sebagai sarana mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak. Sikap dan perilaku yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak –anaknya dapat menjadi model atau sarana bagi anak –anak untuk meningkatkan empati dan perilaku prososialnya. Jadi kesimpulannya semakin besar hubungan emosional anak dengan lingkungan keluarga maka semakin tinggi pula perilaku empati seorang anak. Sehingga keluarga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan perilaku empati, artinya pembelajaran empati tidak memerlukan media yang spesifik, melainkan berbagai media pun asalkan mengandung faktor – faktor empati, lebih tepatnya empati di bangun dari tempat tinggal anak, dalam hal ini adalah lingkungan keluarga. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara variabel X lingkungan keluarga dengan variabel Y perilaku empati adalah sebesar 0,89 dengan r2 = 0,89. Ini berarti bahwa 0,89 atau (89%) variasi yang terjadi pada empati siswa dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdesain oleh peneliti. Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis
11
penelitian yaitu “terdapat hubungan antara lingkungan keluarga dengan perilaku siswa kelas X SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo” dapat diterima. Saran Dengan memperhatikan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka perlu dikemukakan beberapa saran sebagai berikut. a. Untuk meningkatkan perilaku empati, sangat tepat jika keluarga melatih dan mengajarkan sejak dini kemampuan berempati anak dari lingkungan keluarga. b. Untuk lebih meningkatkkan perilaku empati siswa, lingkungan keluarga berpengaruh pada hubungan sosial anak khususnya dalam berperilaku empati.
12
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta : PT Rineka Cipta Geldard, David dan Kathryn, Geldard. 2011. Konseling Keluarga. Yokyakarta : Pustaka Pelajar. Jihad, Asep dkk. 2010. Pendidikan Karakter Teori & Aplikasi. Jakarta : Kementrian pendidikan Nasional Riduan. 2005. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung : PT Alfabeta. Santrock, John. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga Semiawan, Conny. 2009. Penerapan Pembelajaran pada Anak. Jakarta : PT Indeks Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung : PT Tarsito Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :Alfabete Taufik. 2012. Empati Perkembangan Psikologi Sosial. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Willis S. Sofyan. 2011. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung :
13