HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA AKHIR (LATE CHILDHOOD)
Hazhira Qudsyi Uly Gusniarti
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir (late childhood). Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir. Semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi tingkat penalaran moral pada anak. Begitupun sebaliknya, semakin rendah tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin rendah pula tingkat penalaran moral anak. Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia 10-12 tahun, laki-laki dan atau perempuan, tidak bersekolah di sekolah dasar yang berbasis keagamaan, dan memiliki kategori inteligensi rata-rata ke atas. Penelitian ini mengambil subjek siswa-siswi kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri Perumnas Condong Catur Sleman Yogyakarta sebanyak 94 siswa. Adapun skala yang digunakan adalah hasil modifikasi skala Keberfungsian Keluarga yang disusun oleh Moos dan Moos (Mandara dan Murray, 2002; Schultz, 2005) serta pembuatan aitem oleh peneliti dengan mengacu pada aspek-aspek yang ada pada skala tersebut hingga dihasilkan aitem sebanyak 27 aitem, dan Skala Penalaran Moral Anak dari Rachmawati (2002) yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Brooks dan Kann (Elliott, dkk., 2000; Elliott, dkk. dalam Rachmawati, 2002). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan fasilitas program SPSS 12.0 for Windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir. Korelasi Product Moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0.306 dengan taraf signifikansi sebesar p = 0.005 (p<0.01). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir (late childhood). Semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi pula tingkat penalaran moral pada anak usia akhir. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin rendah pula tingkat penalaran moral pada anak usia akhir. Dengan demikian, hiptesis penelitian ini dapat diterima. Kata Kunci : Keberfungsian Keluarga, Penalaran Moral, Anak Usia Akhir (Late Childhood)
HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA AKHIR (LATE CHILDHOOD)
Pengantar Latar Belakang Masalah Hurlock (2002) mengemukakan bahwa setiap orang memiliki tugas perkembangan
dalam
hidupnya,
dimana
tugas-tugas
perkembangan
itu
memegang peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal, termasuk pada perkembangan anak-anak. Mengenai tugas-tugas perkembangan yang ada pada masa anak-anak, Havighurst (Hurlock, 2002) menjelaskan bahwa tugas perkembangan pada akhir masa anak-anak diantaranya adalah mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, serta mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai. Dapat dilihat disini bahwa perkembangan dan pengertian moral menjadi tugas tersendiri dalam proses perkembangan yang terjadi pada akhir masa anak-anak (late childhood). Proses perkembangan moral memang tidak bisa dijauhkan dari rentang perkembangan yang terjadi pada masa anak-anak, karena perkembangan moral memang menjadi satu fase tersendiri dalam perkembangan seorang individu, terutama pada anak-anak. Menurut Santrock (2002), perkembangan moral adalah salah satu dimensi penting dalam perkembangan sosioemosional anak. Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh individu dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 2002).
Pada dasarnya, menurut Piaget (Santrock, 2002), anak-anak berpikir dengan dua cara yang jelas-jelas berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan anak-anak tersebut. Piaget (Santrock, 2002) mengungkapkan bahwa anak-anak dengan usia kira-kira 10 tahun dan lebih memiliki tahap perkembangan yang dinamakan autonomous morality, dimana anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia
dan
dalam
mempertimbangkan
menilai
maksud-maksud
suatu pelaku
tindakan, dan
seseorang
juga
harus
akibat-akibatnya.
Dikemukakan pula oleh Piaget (Clarke-Stewart dan Koch, 1983), bahwa anakanak yang berada pada usia 10 hingga 11 tahun memiliki suatu kesadaran akan perasaan-perasaan orang lain dan dapat tersakiti ataupun merasa kecewa atas apa yang dilakukan oleh individu tersebut. Idealita di atas tampaknya belum sejalan dengan kenyataan yang ada di masyarakat dimana banyak sekali terjadi kasus-kasus kriminalitas dan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak. Misalnya saja dari apa yang diberitakan oleh Republika, bahwa ada empat orang anak yakni DMS (12 tahun), SND (11), PTT (11), dan KKH (11), yang sudah terhitung beberapa bulan merasakan dinginnya sel hotel prodeo di Lembaga Permasyarakatan (LP) Trenggalek, Jawa Timur. Anak-anak tersebut dimasukkan sel karena menjadi terdakwa atas kasus pemerkosaan. Keempat siswa kelas VI SD Negeri Gandusari, Trenggalek itu menggilir teman sekolah anak-anak tersebut, sebut saja namanya Kuntum. Sejak pertengahan Mei 2006, perbuatan itu berulang kali dilakukakan oleh anak-anak tersebut. Tempatnya di ruang kelas, perpustakaan, dan kamar mandi sekolah, hingga rumah Kuntum (Republika, 4 Februari 2007). Tidak hanya itu, diberitakan
pula oleh Republika bahwa seperlima kasus kekerasan seksual yang ada dilakukan oleh anak (Republika, 4 Februari 2007). Banyak hal yang menjadi pemicu dan mempengaruhi munculnya kasus kenakalan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak. Dikemukakan oleh Sirait (2007), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi itu dapat berupa tontonan atau tayangan media, trauma masa kecil akan kekerasan, kekerasan dalam rumah tangga, disfungsi keluarga, faktor ekonomi, dan pandangan keliru orang tua terhadap anak. Dapat dilihat di sini bahwa begitu banyak faktor yang mempengaruhi seorang anak bertindak tidak sesuai dengan tindakan moral yang ada, dan salah satunya adalah disfungsi keluarga. Keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama bagi sang anak dalam proses perkembangannya, termasuk bagi proses perkembangan moral anak. Keluarga, yang paling tidak terdiri dari orang tua dan anak, harus mampu menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dalam proses perkembangan anak, agar anak dapat tumbuh menjadi sosok yang sesuai dengan harapan keluarga dan masyarakat. Menurut Loutzenhiser (Agustina, 2006), lingkungan keluarga yang seperti itu dikatakan sebagai family functioning (keberfungsian keluarga). Beberapa ahli pun memiliki penamaan istilah yang berbeda-beda mengenai keberfungsian keluarga itu sendiri, seperti keluarga sehat (healthy family), keluarga fungsional (functional family), keluarga normal (normal family), ataupun keluarga kokoh atau kuat (strong family). Pada dasarnya, keluarga yang fungsional adalah keluarga yang dapat bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik dan benar (MacArthur, 2000). Senada dengan apa yang didefinisikan oleh Walsh (2003) mengenai keluarga
sehat, yaitu suatu kondisi keluarga yang memiliki ciri dan sifat yang ideal yang mana keluarga tersebut dapat menjalankan fungsi secara optimal. Gunarsah (Fajarwati, 2004) pun mengatakan bahwa orang tua di sini sangat berperan penting dalam perkembangan anak, dan orang tualah yang menjadi faktor utama dalam penanaman nilai-nilai dasar moral anak kelak menginjak dewasa nanti. Berangkat dari kenyataan dan idealita yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pertanyaan selanjutnya adalah, “Apakah ada hubungan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir (late childhood) ?”. Tinjauan Pustaka Perkembangan Moral Nashori (1995) mengemukakan bahwa berbicara mengenai hal yang baik dan buruk adalah berbicara mengenai moral. Menurut Lillie (Budiningsih, 2004), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang artinya merupakan tata cara dalam kehidupan atau suatu adat istiadat. Sementara itu, Berns (2004) mengungkapkan bahwa moral itu meliputi evaluasi individu atas sesuatu yang benar dan salah. Moral ini juga menyangkut penerimaan individu akan suatu peraturan dan menentukan bagaimana seorang individu itu berperilaku terhadap orang lain. Dan pelanggaran terhadap moral itu sendiri akan dapat menimbulkan berbagai macam konsekuensi, diantaranya adalah adanya berbagai macam pendapat dan respon-respon emosi (Damon, 1988 dan Turiel, 1998; dalam Berns, 2004). Selain itu, moralitas juga meliputi suatu penalaran, yang mana mencakup kemampuan untuk memahami peraturan, membedakan suatu hal yang benar
dan yang salah, dan mengambil perspektif dari orang lain (Kohlberg, 1976; Piaget, 1965; dan Selman, 1980; dalam Berns, 2004). Terkait konsep penalaran moral itu sendiri, dapat didefinisikan bahwa penalaran (reasoning) adalah proses berpikir, khususnya proses berpikir logis atau berpikir memecahkan masalah (Chaplin, 2004). Menurut Shaffer (1994), penalaran moral menunjukkan proses penentuan seseorang apakah berbagai macam tindakan itu termasuk tindakan benar atau salah. Menurut Kohlberg (1995), perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut : a.
Tingkat Prakonvensional Pada tingkat ini, anak sudah tanggap terhadap label-label budaya mengenai yang baik dan yang buruk, namun anak menafsirkan semua label tersebut hanya dari segi akibat fisiknya, yakni seperti hukuman dan ganjaran kebaikan (pujian). Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu : 1) Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan Akibat fisik tindakan, terlepas dari arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. 2) Tahap 2 : Orientasi Relativis-Instrumental Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental dapat memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di tempat umum.
b.
Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini, sering digambarkan sebagai tingkat konformis, yang tampak pada upaya mempertahankan harapan-harapan dan peraturan dari keluarga, kelompok, atau bangsanya. Tingkat ini juga ada dua tahap : 1) Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis” Pada tahap ini, perilaku yang dianggap baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh orangorang tersebut. 2) Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban Pada tahap ini, perilaku yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. c.
Tingkat Pasca Konvensional Pada tingkat ini, terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan. Tingkat ini pun memiliki dua tahap, yakni : 1) Orientasi kontrak sosial legalitas Pada tahap ini, perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. 2) Orientasi prinsip etika universal Tahap ini berorientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis menyeluruh, universalitas dan konsistensi.
Sementara itu, menurut Berns (2004), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi perkembangan moral, yakni konteks (keadaan) situasional; sifat, kontrol diri, dan penghargaan diri; usia, kecerdasan, faktor-faktor sosial, dan emosi; keluarga; teman sebaya; sekolah; media massa; masyarakat (komunitas). Keberfungsian Keluarga Menurut Agustina (2005), dalam mendefinisikan keberfungsian keluarga tidak dapat dilepaskan dari istilah keluarga fungsional yang diartikan sebagai keluarga yang dapat menjalankan fungsi-fungsi yang ada pada keluarga tersebut dengan sebaik-baiknya. MacArthur (2000) pun secara sederhana mengartikan keluarga fungsional (functional family) sebagai keluarga yang dapat bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Sementara itu, menurut Smith, dkk. (2004), keberfungsian keluarga (family
functioning)
adalah
suatu
istilah
luas
yang
digunakan
untuk
menggambarkan karakteristik yang bermacam-macam pada lingkungan keluarga seperti kesejahteraan orang tua, kualitas perkawinan, hubungan antara orang tua dan anak, kohesi (kepaduan), pernyataan perasaan, konflik, dan sebagainya. Sementara itu, Hartmann (2002) mendefinisikan keberfungsian keluarga sebagai keluarga yang sehat dimana memiliki ciri-ciri seperti sifat dasar peraturan, batas, pola-pola komunikasi, dan peran. Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur keberfungsian keluarga adalah Family Environment Scale (FES) yang disusun oleh Moos dan Moos. FES ini merupakan bentuk skala yang digunakan untuk menggali persepsi seseorang mengenai sepuluh area keberfungsian keluarga (Moos & Moos dalam Mandara & Murray, 2002). Skala FES ini memiliki tiga dimensi yang kemudian terinci dalam sepuluh subskala (Moos & Moos dalam Mandara & Murray, 2002), yakni
Relationship Dimensions yang meliputi aspek Cohesion, Expressiveness, Conflict,
kemudian
Personal-Growth
Dimensions
yang
meliputi
aspek
Independence – Autonomy, Achievement Orientation, Intellectual Orientation, Active Recreation, Moral – Religious Emphasis, dan terakhir SystemMaintenance Dimensions yang meliputi aspek Family Organization danControl. Inteligensi dan Penalaran Moral Penalaran (reasoning) adalah proses berpikir, khususnya proses berpikir logis atau berpikir memecahkan masalah (Chaplin, 2004). Selain itu, Shaffer (1994) mengemukakan bahwa penalaran moral menunjukkan proses penentuan seseorang apakah berbagai macam tindakan itu termasuk tindakan benar atau salah. Artinya, dalam konsep penalaran moral, terdapat proses berpikir dan penentuan (evaluasi dan penilaian) dari individu. Terkait dengan proses berpikir individu itu sendiri, seringkali hal tersebut dikaitkan dengan masalah inteligensi (kecerdasan) seseorang. Inteligensi ini sendiri dikatakan sebagai proses berpikir konvergen (Munandar dalam Diana, 1998). Menurut Aiken, pemikiran konvergen yang merupakan penalaran logis adalah pemikiran yang menuju pada satu jawaban yang benar (Adiyanti dalam Diana, 1998). Terkait dengan hubungan antara inteligensi dan penalaran moral itu sendiri, ada beberapa penelitian yang dapat menunjukkan bahwa antara inteligensi dan penalaran moral memiliki hubungan (korelasi).
Kohlberg dan
koleganya melaporkan data dari studi longitudinal selama 20 tahun mengenai penilaian moral pada anak laki-laki berusia 10, 13, dan 16 pada saat pertama diassess. Data tersebut mendukung teori bahwa penalaran moral secara siginifikan berhubungan dengan usia, IQ, pendidikan, dan status sosial ekonomi (Berns, 2004). Dikatakan pula oleh Mason dan Gibbs (Berns, 2004), proses
berpikir secara kritis dan adanya diskusi-diskusi yang dilakukan, dapat menaikkan penalaran moral seseorang. Terdapat penemuan empiris yang menunjukkan bahwa kematangan penilaian moral berkorelasi dengan kematangan kognitif seseorang, dimana pada anak-anak dari usia tertentu korelasi antara IQ dan kematangan moral adalah 0,35 hinggan 0,50 dalam berbagai macam sampel yang mewakili kira-kira seperempat dari seluruh variasi dalam pertimbangan moral (Kohlberg, 1995). Dikatakan pula dalam penemuan tersebut, bahwa sebagian besar anak yang lebih tua biasanya lebih matang dalam pertimbangan moral, sebab pada umumnya anak-anak tersebut lebih matang secara kognitif (Kohlberg, 1995). Lee (Sjarkawi, 2006) menegaskan bahwa perkembangan moral tumbuh bersamaan antara kognisi dengan tingkat perkembangan moral, dimana pertumbuhan tingkat pertimbangan moral memerlukan keselarasan antara perkembangan kemampuan berpikir dan inteligensi. Sejalan pula dengan yang disampaikan Blasi (Sjarkawi, 2006) bahwa perkembangan tingkat pertimbangan moral berhubungan secara positif dengan inteligensi. Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Penalaran Moral pada Anak Usia Akhir (Late Childhood) Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, kepribadian, moral, dan pendidikan bagi anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga juga akan menentukan pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat (Soesilo dalam Kartono, 1985). Dengan demikian, berbagai macam kondisi yang ada dalam keluarga, bagaimana kemudian keluarga dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, turut mempengaruhi proses perkembangan anak. Dalam hal ini, keberfungsian keluarga pun mengambil peranan dalam
perkembangan anak. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Curran (Berns, 2004) bahwa salah satu masalah signifikan yang dapat muncul dalam keberfungsian keluarga adalah terkait dengan perilaku anak. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Saydam dan Gencöz (2005) yang menyatakan bahwa keberfungsian keluarga menjadi faktor penting lain yang turut mempengaruhi masalah perilaku pada anak dan remaja. Selain itu, L’Abate (Catharina, 1999) mengatakan bahwa secara umum keberfungsian keluarga dianggap memiliki hubungan dan pengaruh yang kuat dengan perilaku individu. Dikemukakan oleh Coie dan Dodge (Catharina, 1999) bahwa munculnya perilaku bermasalah pada anak ini juga disebabkan oleh proses perkembangan moral anak. Dapat dilihat di sini bahwa perkembangan moral anak turut mempengaruhi munculnya perilaku yang bermasalah atau tidak pada diri anak. Penelitian yang dilakukan oleh Holstein (Kohlberg, 1995) memperlihatkan bahwa anak-anak yang telah maju dalam pertimbangan moral memiliki orang tua yang juga maju dalam hal pertimbangan moral. Hal ini dilakukan dengan jalan adanya kesempatan untuk mengambil peran moral, yang mana menjadi sesuatu hal yang paling penting dalam sumbangan yang diberikan oleh keluarga bagi perkembangan moral anak (Kohlberg, 1995). Dikemukakan pula oleh Kohlberg (1995) bahwa orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak serta mendorong terjadinya perbandingan pandangan lewat dialog-dialog yang dilakukan, akan membuat anak memiliki perkembangan moral yang lebih maju. Pengambilan peran yang dilakukan dalam keluarga sang anak dapat pula dilihat dalam bentuk-bentuk seperti partisipasi keluarga, komunikasi, kehangatan emosional, andil dalam pengambilan keputusan, pemberian tanggung jawab
kepada anak, serta memperlihatkan pelbagai akibat tindakan terhadap orang lain (Kohlberg, 1995). Sebuah keluarga yang fungsional pada dasarnya dapat memberikan kesempatan pada seluruh anggota keluarga untuk saling mencurahkan perasaan, saling berkomunikasi, dan saling berdiskusi secara terbuka. Selain itu, sebuah keluarga yang fungsional juga memiliki suatu ikatan yang hangat serta memiliki suatu sikap saling mendukung satu sama lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Walker dan Taylor (Shaffer, 1994) ditunjukkan bahwa seorang anak yang memiliki perkembangan moral yang bertumbuh lebih tinggi daripada yang lain adalah seorang anak yang memiliki orang tua dimana orang tua tersebut mendorong sang anak dengan cara yang hangat dan supportive dalam melewati proses perkembangan moral anak tersebut. Upaya orang tua dalam mendorong tersebut dilakukan melalui proses-proses diskusi moral yang dilakukan dalam berbagai pola dan gaya (Walker dan Taylor dalam Shaffer, 1994). Selain itu, dikatakan oleh Wahyuning, dkk. (2003), nilai-nilai untuk tingkatan anak-anak adalah membedakan baik dan buruk. Hal tersebut adalah sesuatu yang abstrak untuk dikatakan dengan cara apapun, apalagi hanya secara verbal atau kata-kata. Padahal, menurut Wahyuning, dkk. (2003), anakanak belum mempunyai kemampuan menerjemahkan kata-kata verbal. Oleh karena itulah, mengkomunikasikan nilai-nilai moral dengan tepat kepada anakanak menjadi suatu hal yang penting. Salah satu bentuk komunikasi moral yang dapat dilakukan adalah memperlihatkan dan menggambarkan lewat suatu peristiwa. Anak kemudian membuat imajinasi dalam pikirannya. Imajinasi inilah
yang dapat membantu anak dalam memahami apakah suatu tindakan itu benar atau salah (Wahyuning, dkk., 2003). Salah satu faktor yang turut mempengaruhi perkembangan moral anak adalah
iklim
dan
suasana
keluarga
yang
dibangun.
Daradjat
(1977)
mengemukakan bahwa tidak rukunnya ibu-bapak maupun antar anggota keluarga akan menyebabkan kegelisahan dan kecemasan pada anak-anak. Anak-anak yang gelisah dan cemas itu akan mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan rasa hati sang anak, yang biasanya dapat mengganggu ketenteraman orang lain (Daradjat, 1977). Oleh karena itulah, menurut penulis, anak-anak yang merasa kurang mendapat perhatian, kasih sayang, pemeliharaan orang tua, serta tentunya anak yang hidup dalam kondisi keluarga yang penuh konflik, akan mengalihkan perasaan kurang tersebut dengan perbuatan-perbuatan yang mungkin saja dianggap tidak baik oleh orang lain demi memuaskan rasa yang kurang dalam kehidupan sang anak dengan keluarga. Menurut Walker dan Taylor (Berns, 2004), beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang berdiskusi mengenai beragam persoalan dengan anaknya, beserta nilai dibalik persoalan tersebut, cenderung untuk menaikkan lebih lanjut pemikiran moral dari anak-anak tersebut. Selain itu, keluarga juga dapat memanfaatkan momen-momen tertentu untuk dapat mengajarkan nilai tertentu pada anak. Momen-momen ini, menurut Wahyuning, dkk. (2003), bukanlah momen yang direncanakan, tetapi biasanya muncul secara tidak terduga. Isu-isu moral yang dibicarakan dapat dicari saat isu tersebut muncul.
Konsep moral yang dimiliki oleh anak juga dapat dikembangkan melalui dorongan atau penguatan pada perilaku moral yang dilakukan oleh anak. Saat sang anak dapat bertindak secara moral, keluarga atau orang tua dapat memberitahukan tentang perilaku baik sang anak dan menggambarkan apa hal baik yang telah dilakukan oleh anak serta mengapa keluarga atau orang tua menghargai sang anak (Wahyuning, dkk., 2003). Dengan adanya sikap anggota keluarga atau orang tua yang demikian, dapat memacu sang anak untuk senantiasa melakukan perbuatan dan perilaku yang baik. Daradjat (1977) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kemorosotan moral adalah kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang (leisure time) dengan cara yang baik dan yang membawa pada pembinaan moral. Inilah yang kemudian menjadi hal penting pada keluarga dalam mengembangkan konsep moral pada anak. Keluarga harus dapat memberikan alternatif-alternatif hiburan dan rekreasi yang dapat meningkatkan perkembangan moral pada anak. Jadi tidak sekedar mengisi waktu luang dengan hal-hal yang justru dapat menyebabkan konsep moral pada anak menjadi hilang. Salah satu faktor penting yang dapat mengembangkan konsep moral dalam keluarga adalah peran kebiasaan dan peraturan dalam keluarga itu sendiri. Peraturan itu dibuat sebagai pedoman dalam tingkah laku seseorang (Hurlock, 1993). Jadi, peraturan berfungsi sebagai pedoman perilaku anak dan sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan sosial (Hurlock, 1993). Dalam pelaksanaan peraturan pada tiap-tiap anggota keluarga ini tentunya dibutuhkan komitmen bersama dalam menjalankannya.
Berdasarkan pemaparan yang sudah dikemukakan sebelumnya, maka dengan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa secara umum keberfungsian keluarga mungkin saja berpengaruh pada penalaran moral anak. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir (late childhood). Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mencari hubungan antara dua variabel (korelasional) Variabel Penelitian Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Variabel Tergantung
: Penalaran Moral
2.
Variabel Bebas
: Keberfungsian Keluarga
3.
Variabel Kontrol
: Inteligensi Subjek Penelitian
Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah : 1.
Anak-anak berusia antara sepuluh hingga 12 tahun
2.
Laki-laki dan atau perempuan
3.
Berpendidikan sekolah dasar (SD)
4.
Memiliki tingkat inteligensi minimal masuk ke dalam kategori rata-rata (SPM)
Metode Pengumpulan Data Metode
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
dengan
menggunakan data primer, yakni dengan menggunakan skala psikologi, alat tes psikologi, dan wawancara. 1.
Skala Penalaran Moral Anak Skala penalaran moral dalam penelitian ini menggunakan skala
penalaran moral anak dari Rachmawati (2002) yang terdiri dari cerita-cerita yang mengandung dilemma moral, yang mana dilemma moral dalam cerita tersebut diambil dari konsep-konsep moral yang universal bagi anak. Menurut Brooks dan Kann (Elliott, dkk., 2000), konsep moral universal ini terdiri dari unsur honesty (kejujuran), kindness (kebaikan hati), respect (rasa menghormati), dan responsibility (tanggung jawab). Skala ini memiliki koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0.7224. Distribusi skala penalaran moral lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Distribusi Skala Penalaran Moral Anak Untuk Penelitian Aspek Nomor Butir Jumlah Honesty 2, 6, 12, 13 4 Kindness 3, 5, 7, 11 4 Respect 8, 10, 14 3 Responsibility 1, 4, 9 3
2.
Prosentase 28.57 % 28.57 % 21.43 % 21.43 %
Skala Keberfungsian Keluarga Skala keberfungsian keluarga dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui sejauhmana keberfungsian keluarga subjek penelitian. Skala keberfungsian keluarga ini dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang ada pada alat ukur Family Environment Scale (FES) yang disusun oleh Moos dan Moos (Mandara & Murray, 2002). Aspek-aspek keberfungsian keluarga yang terdapat dalam alat ukur ini adalah cohesion, expressiveness, conflict,
independence-autonomy, achievement orientation, intellectual orientation, active recreation, moral-religious emphasis, family organization, dan control. Distribusi butir skala keberfungsian keluarga sesudah uji coba (try out) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Distribusi Butir Aitem Skala Keberfungsian Keluarga Sesudah Uji Coba Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek Nomor Butir Jumlah Nomor Butir Jumlah Cohesion 1 1 11, 21 2 Expressiveness 2, 12 2 22 1 Conflict 23 1 3, 13 2 Independence4*, 24 2 14 1 Autonomy Achievement 5, 15, 25 3 0 Orientation Intellectual 6, 16 2 26 1 Orientation Active Recreation 17, 27* 2 7 1 Moral-Religious 8, 28 2 18 1 Emphasis Family Organization 9, 29* 2 19 1 Control 10, 20 2 30 1 Jumlah 19 11 Keterangan : Angka yang bertanda * adalah nomor aitem yang direvisi 3.
Tes Standard Progressive Matrics (SPM) Tes SPM ini merupakan tes kemampuan seseorang untuk memahami
figur-figur bermakna yang diberikan dalam pengamatan subjek, melihat relasi antar figur, menyusun dan memahami sifat dalam melengkapi figur, serta mengembangkan metode penalaran yang sistematis (Raven, 1972). Tes SPM yang dibuat oleh Raven ini dapat digunakan untuk individu yang berusia enam hingga 65 tahun. Tes SPM ini terdiri atas 60 permasalahan (butir tes) yang terbagi ke dalam lima subtes dengan jumlah masing-masing subtes sebanyak 12 butir tes. Skoring untuk tes SPM ini adalah dengan memberikan nilai satu (1) untuk jawaban yang benar dan nilai nol (0) untuk jawaban yang salah. Tes SPM
ini memiliki reliabilitas (re-tes), dengan variasi berbagai usia, yang bergerak antara 0.83 sampai 0.93. Selain itu, tes SPM ini memiliki korelasi sebesar 0.86 dengan skala dari tes inteligensi yang dibuat oleh Terman-Merrill (Raven, 1972). Dalam penelitian ini, tes SPM digunakan untuk dapat menentukan siswa SDN Perumnas Condong Catur yang dapat dijadikan subjek penelitian. Individu yang dinyatakan sebagai subjek penelitian adalah siswa SDN Perumnas Condong Catur yang memiliki skor persentil SPM di atas 25 atau memiliki tingkat inteligensi minimal masuk ke dalam kategori rata-rata. 4.
Wawancara Untuk mendukung dan menunjang data penelitian yang ada, penulis
melengkapi metode skala, terutama untuk skala keberfungsian keluarga, dengan melakukan wawancara. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara penilaian anak terhadap keberfungsian keluarga yang ada dalam skala dengan penilaian anggota keluarga yang lain, dan dalam hal ini pada orang tua subjek. Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesis penelitian, yakni dengan teknik korelasi Product Moment Pearson. Untuk mempermudah proses perhitungan statistik, maka keseluruhan perhitungan dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 12.0 for Windows.
Hasil Penelitian Deskripsi Subjek Penelitian Tabel 3 Deskripsi Subjek Penelitian No Faktor 1 Jenis Kelamin 2
Kelas
3
Usia
4
Jumlah Saudara Kandung
a. b. a. b. c. a. b. c. a. b. c. d.
Kategori Laki-laki Perempuan V-A V-B V-C 10 tahun 11 tahun 12 tahun 0-1 orang 2-3 orang 4-5 orang > 6 orang
Jumlah 35 47 32 29 29 14 63 5 46 31 4 1
Deskripsi Data Penelitian Tabel 4 Deskripsi Data Penelitian Variabel Hipotetik Min Max Mean Penalaran 14 42 28 Moral Keberfungsian Keluarga
0
27
13.5
SD 4.667
Min 21
4.5
11
Empirik Max Mean 41 34.07
27
21.76
SD 4.216
3.494
Subjek penelitian kemudian dikelompokkan ke dalam lima kategori pada masing-masing variabel, yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini. Tabel 5 Kategorisasi Subjek Pada Variabel Penalaran Moral Kategori Rentang Skor Jumlah Sangat Rendah X < 27,746 7 Rendah 27,746 < X < 31,962 9 Sedang 31,962 < X < 36,178 43 Tinggi 36,178 < X < 40,394 21 Sangat Tinggi 40,394 < X 2
Prosentase 8,537 % 10,976 % 52,439 % 25,610 % 2,439 %
Tabel 6 Kategorisasi Subjek Pada Variabel Keberfungsian Keluarga Kategori Rentang Skor Jumlah Sangat Rendah X < 16,519 5 Rendah 16,519 < X < 20,013 19 Sedang 20,013 < X < 23,507 30 23,507 < X < 27,001 Tinggi 28 Sangat Tinggi 27,001 < X 0
Prosentase 6,098 % 23,171 % 36,585 % 34,146 % 0%
Uji Asumsi Uji Normalitas Hasil uji normalitas menunjukkan sebaran yang normal pada skala keberfungsian keluarga dengan koefisien KS-Z 1.246 dan p = 0.090 (p > 0.05). Sedangkan pada skala penalaran moral juga menunjukkan sebaran yang normal dengan koefisien KS-Z 1.053 dan p = 0.217 (p > 0.05). Dengan hasil uji normalitas yang demikian, maka uji asumsi normalitas untuk kedua skala terpenuhi dengan distribusi yang normal. Uji Linieritas Hasil uji linieritas menunjukkan hasil dengan koefisien F = 7.779 dan p = 0.007 (p < 0.05). Dengan hasil tersebut dapat diperlihatkan bahwa hubungan antara keberfungsian keluarga dan penalaran moral memenuhi asumsi linieritas. Uji Hipotesis Uji hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson. Hasil analisa menunjukkan kofisien korelasi r sebesar 0.306 dengan p=0.005 (p < 0.01) pada uji dua sisi (two-tailed). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa terdapat korelasi positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi tingkat
penalaran moral pada anak usia akhir (late childhood). Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya dapat diterima. Analisis Tambahan Analisis tambahan terhadap data penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan masing-masing aspek dalam variabel keberfungsian keluarga terhadap variabel penalaran moral. Rangkuman hasil analisa tambahan dapat dilihat lebih jelas pada tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Deskripsi Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Penalaran Moral Subjek Penelitian ditinjau dari Aspek-aspek Keberfungsian Keluarga Aspek r Sig Keterangan Cohesion 0.147 0.093 Tidak signifikan Expressiveness 0.366 0.000 Sangat signifikan Conflict 0.256 0.010 Signifikan Independence-Autonomy 0.026 0.408 Tidak signifikan Achievement Orientation 0.074 0.254 Tidak signifikan Intellectual Orientation 0.143 0.099 Tidak signifikan Active Recreation 0.204 0.033 Signifikan Moral-Religious Emphasis 0.055 0.311 Tidak signifikan Family Organization 0.016 0.444 Tidak signifikan Control 0.107 0.169 Tidak signifikan
Berdasarkan hasil analisa tambahan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek keberfungsian keluarga yang memiliki hubungan positif paling besar pada tingkat penalaran moral subjek penelitian adalah aspek expressiveness dengan koefisien korelasi r sebesar 0.366 dan p=0.000 (p < 0.01). Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa aspek expressiveness memiliki pengaruh yang paling besar dan dapat berfungsi sebagai prediktor bagi variabel penalaran moral. Melihat hasil analisis regresi yang dilakukan, diketahui bahwa aspek expressiveness memberikan sumbangan efektif untuk dapat memprediksi variabel penalaran moral sebesar 13.4 %. Sumbangan ini dapat dilihat dari nilai R Square (R2) sebesar 0.134 yang dihasilkan dari uji regresi.
Pembahasan Melihat hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang positif antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir (late childhood), dapat dipahami jika sebuah keluarga yang berfungsi maupun sebuah keluarga yang tidak berfungsi akan memberikan pengaruh pada pembentukan moral anak dan penalaran moral. Dalam keluarga inilah konsep anak terhadap moral mulai dibangun. Keluarga, yang pada umumnya terdiri atas ayah, ibu, serta anak (saudara kandung) tersebut, mau tidak mau memiiliki peran yang sangat penting dalam proses perkembangan sang anak. Meskipun tidak menutup bahwa peran tersebut masih akan terus berlanjut hingga sang anak remaja, bahkan mungkin hingga dewasa, namun peran keluarga tersebut akan sangat dibutuhkan dan penting saat sang anak masih berada pada masa kanakkanak. Konsep moral pada anak dikembangkan pertama kali melalui keluarga, terutama melalui ayah dan ibu. Orangtua inilah yang secara langsung memiliki ikatan kepada sang anak karena melalui orangtua inilah sang anak dapat berada di dunia ini. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Huxley (2006), bahwa moral anak dikembangkan sebagai sebuah hasil dari interaksi orangtua dengan anak, dimana sang anak belajar tentang konsep dasar moral, belajar mengenai sesuatu yang benar maupun salah melalui pengalaman paling awal dari sang anak. Hubungan yang terjalin erat antara anggota keluarga akan memberikan suasana yang positif untuk menumbuhkan dan mengembangkan konsep moral pada masing-masing anggota keluarga, termasuk salah satunya adalah bagi anak-anak. Dalam hal ini, hubungan antara anggota keluarga dapat menjadi
tempat bagi anggota keluarga untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tengah dihadapi, dimana masalah tersebut bisa terkait dengan masalah perilaku atau sikap pada anak-anak yang umumnya merupakan bentuk implikasi dari rendahnya tingkat moral anak. Huxley (2006) menyatakan bahwa berbicara moral pada anak adalah berbicara mengenai kemampuan anak-anak untuk membedakan sesuatu yang benar dan salah, atau membedakan perilaku mana saja yang benar dan salah. Sesuai yang disampaikan Afiatin (2005), bahwa relasi atau hubungan dalam keluarga menjadi konsep penting yang memiliki beberapa tujuan positif, yakni bentuk saling ketergantungan antar pasangan dan anggota keluarga, untuk memecahkan masalah, untuk memahami latar belakang pasangan dan anggota keluarga, dan untuk kompensasi keterbatasan personal. Adanya masalahmasalah
yang
dihadapi
oleh
individu,
termasuk
didalamnya
adalah
penyalahgunaan NAPZA yang dicontohkan oleh Afiatin (2005), menunjukkan indikasi relasi yang tidak berkembang dalam keluarga tersebut, demikian juga dengan adanya masalah pada perilaku anak. Adanya hubungan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral anak, dimana hal ini dapat ditunjukkan melalui perilaku anak yang tidak sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku, didukung dengan hasil penelitian Pudjibudojo dan Soenarjo (2005) yang menyatakan bahwa dari 10 orang subjek penelitian yang merupakan anak-anak, ditemukan bahwa 90 % subjek tersebut melakukan tindak asusila (pemerkosaan) karena adanya ketidakharmonisan dalam keluarga. Selain menunjukkan adanya hubungan yang positif antara keberfungsian keluarga dan penalaran moral pada anak, dari hasil analisis tambahan (analisis
regresi)
yang
telah
dilakukan
dapat
dilihat
bahwa
dari
aspek-aspek
keberfungsian keluarga, hanya aspek expressiveness yang memiliki peranan paling besar dalam mempengaruhi penalaran moral dan dapat berfungsi sebagai prediktor. Menurut pendapat penulis, hal ini kemudian menunjukkan bahwa adanya komunikasi dan sikap saling terbuka serta bebas untuk mengekspresikan perasaan
masing-masing,
apapun
bentuknya,
dapat
membantu
proses
pembentukkan konsep moral pada anak dalam keluarga. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Setiono (Nashori, 1995), bahwa orangtua yang memberi kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan alasan-alasan tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh sang anak dan orangtua tersebut sekaligus menyampaikan pertimbangannya, akan memungkinkan terjadinya alih peran pada diri anak. Alih peran (role taking) di sini pulalah yang kemudian turut mempengaruhi perkembangan moral pada anak, dimana alih peran ini merupakan kemampuan untuk seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga dapat mengerti pikiran dan perasaan orang lain (Nashori, 1995). Hubungan alih peran dalam kaitannya dengan perkembangan moral dan peningkatannya, menurut Nashori
(1995)
adalah
bagaimana
penyelesaian
situasi
konflik
antara
kepentingan diri dan orang lain, dimana dengan pengambilalihan peran, situasi konflik tersebut dapat diselesaikan secara adil, atas dasar pertimbangan dari dua belah pihak. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Kohlberg (1995) pun berpendapat bahwa kesempatan untuk mengambil peran moral terlihat menjadi sesuatu hal yang paling penting dalam sumbangannya oleh keluarga bagi perkembangan moral anak. Kohlberg (1995) pun mengemukakan, bahwa berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Holstein, diperlihatkan hasil bahwa anak-anak yang telah maju dalam pertimbangan moral memiliki orang tua yang juga maju dalam hal pertimbangan moral. Orang tua yang berusaha untuk mengenal pandangan sang anak, serta mampu mendorong terjadinya perbandingan pandangan melalui dialog-dialog yang dibangun antara orang tua dengan anak, akan memiliki anak yang lebih maju dalam hal moral (Kohlberg, 1995). Terkait dengan komunikasi itu sendiri, komunikasi terbuka yang terjalin antara anggota keluarga merupakan media yang sangat efektif dalam proses membangun nilai-nilai dalam sebuah keluarga. Adanya saling memahami lewat komunikasi tersebut akan memudahkan tiap-tiap anggota keluarga memahami nilai-nilai mana sajakah yang sesuai dengan norma masyarakat. Komunikasi terbuka seperti ini pun sangat baik bila diterapkan pada anak-anak, karena komunikasi (terutama komunikasi antar orang tua dan anak) merupakan unsur yang penting dalam perkembangan anak. Mengenai pentingnya komunikasi dalam keluarga ini juga didukung dari hasil wawancara dengan salah satu orang tua subjek, bahwa komunikasi terbuka ini penting dalam mengetahui perkembangan anak. Hal ini terungkap dari pernyataan orang tua subjek. “He...ehm... Ya...walopun...apa ya...saya nggak pinter-pinter amat, saya kan tetep seorang pendidik tho mbak... Jadi ya harus tahu perkembangan anaknya gimana... Jadi harus terus saya pantau...”
“Ya...seneng... Iya... Kan lebih baik anak kan harus terbuka dengan orang tua... Karena nanti kan anak nek diem saja kan...di samping orang tua nggak tahu masalah anak kan, nanti kan efeknya malah nggak bagus...” “Ya...dibiasakan untuk selalu mengemukakan pendapat anak... Atau anak itu mau gimana... Gitu memang dibiasakan...”
Secara ringkas, penulis menggambarkan dinamika di atas seperti yang diperlihatkan pada gambar 1. Keberfungsian Keluarga
Expressiveness
Kesempatan mengungkapkan pendapat dan alasan perilaku pada anak
Penalaran Moral
Alih peran (role taking)
Komunikasi terbuka
Timbal balik ? orang tua menyampaikan pertimbangan
Kebebasan mengekspresikan pendapat dan perasaan
Gambar 1. Dinamika hubungan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral ditinjau dari aspek expressiveness
Meskipun secara empiris hipotesis penelitian telah terbukti, namun pada kenyataannya, sumbangan efektif keberfungsian keluarga terhadap penalaran moral anak hanyalah sebesar 9.4 % dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.306. Sumbangan ini dapat dilihat dari nilai R Square (R2) sebesar 0.094 yang dihasilkan dari uji regresi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 90.6 % sisanya adalah faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi perkembangan penalaran moral anak. Kecilnya pengaruh keberfungsian keluarga terhadap penalaran moral anak mungkin saja karena ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi secara signifikan. Salah satu faktor yang dirasa turut mempengaruhi perkembangan penalaran moral pada anak usia akhir adalah faktor media hiburan, terutama media hiburan visual seperti televisi, buku cerita (komik), games, maupun media-
media hiburan lainnya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, anak cenderung menangkap segala sesuatu apa adanya, tanpa tahu maksud yang terkandung di dalamnya, sehingga hal tersebut secara tidak langsung turut mempengaruhi perilaku anak. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Berns (2004), bahwa saat anak melakukan identifikasi melalui model dalam televisi, anak-anak meniru perilaku yang tampak dan menerima sikap dan perbuatan dari model tersebut. Anak-anak memiliki kecenderungan memiliki sosok untuk dikagumi. Menurut Hurlock (1993), bila anak mengidentifikasi orang yang dikagumi, anakanak akan meniru pola perilaku dari orang tersebut, yang bisanya dilakukan secara tidak sadar dan tanpa tekanan. Sejalan dengan social-learning theory yang menyatakan bahwa modelling dan imitasi memainkan peran dalam penalaran moral anak (Vasta dkk., 1992). Pada masa sekarang yang penuh dengan kemudahan memperoleh berbagai macam informasi dari segala fasilitas, bukan tidak mungkin jika kemudian anak akan memiliki sosok idola (yang dikagumi) dari apa yang dilihat di media, meskipun pada kenyataannya sosok itu hanyalah semu. Selain media, faktor lain yang mungkin secara efektif mempengaruhi perkembangan penalaran moral anak adalah faktor teman sebaya. Meskipun pada anak-anak masih sangat membutuhkan pendampingan dari orang tua dan keluarga, namun anak-anak tidak hanya berinteraksi dengan keluarga saja, anak-anak sudah mulai bersosialisasi dan bergaul dengan orang lain yang memiliki usia yang relatif setara dengan anak tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Elliott, dkk. (2000) yang menyatakan bahwa anak-anak yang berusia 611 tahun mulai mengembangkan interaksi dengan saudara kandung, teman
sekolah dalam pengalaman sekelas, dan dengan teman bermain atau aktivitas sosial lainnya. Pada lingkungan inilah anak akan menemui lagi kenyataan dari peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, peraturan yang tidak dibangun oleh orangtua. Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, penelitian Kohlberg (Kohlberg, 1995) pun menunjukkan bahwa meskipun keluarga itu memegang peranan penting dalam perkembangan moral, namun akibat-akibat positif terhadap proses perkembangan moral itu sendiri juga disebabkan karena adanya kesempatan bagi anak untuk mengambil peran yang juga diberikan oleh kelompok atau teman sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas. Dalam penelitian tersebut, diperlihatkan bahwa kelompok sebaya dan sekolah memiliki kemampuan yang kuat dalam merangsang perkembangan moral tanpa adanya pengaruh dari keluarga. Kesimpulan Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga dan perkembangan moral pada anak usia akhir (late childhood). Semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi tingkat perkembangan moral pada anak usia akhir (late childhood). Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya dapat diterima. Saran Bagi Orangtua Para orangtua hendaknya lebih mengembangkan komunikasi terbuka dan menunjukkan sikap saling terbuka antara anggota keluarga, agar antar anggota keluarga dapat mengekspresikan pendapat dan perasaan masing-masing secara terbuka pula, dimana nantinya akan ada proses penanaman dan berbagi nilai-
nilai moral, sehingga tiap anggota keluarga dapat memiliki dan memahami makna nilai moral secara bersama. Orang tua dapat memulainya dengan selalu memantau aktivitas anak setelah pulang sekolah. Misalnya, orang tua dapat menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan di sekolah, ada permasalahan dengan teman atau tidak, atau aktivitas yang lain. Orang tua dapat mengajak anak untuk saling berdiskusi dan berdialog tentang segala aktivitas yang telah dilakukan. Hal yang sama dapat dilakukan saat orang tua menemani anak belajar. Adakalanya anak membutuhkan teman berdiskusi tentang pelajaran yang dipelajarinya, dan hal ini dapat menjadi momen yang tepat untuk memberikan pemahaman-pemahaman tentang konsep moral bila dapat dikaitkan dengan materinya. Bagi Sekolah Adanya proses bimbingan kepada anak didik secara berkala dari pihak sekolah akan dapat meminimalisir adanya perilaku-perilaku yang menyimpang dari anak didik. Pihak sekolah juga hendaknya senantiasa menjalin kerja sama dan keterikatan dengan orangtua atau wali murid yang dapat diwadahi dalam bentuk komite sekolah atau POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru). Dengan adanya wadah seperti komite sekolah ini, harapannya segala permasalahan yang dihadapi baik oleh anak didik, guru, maupun para orangtua, dapat
terdiskusikan
secara
bersama
sehingga
dapat
dicari
langkah
penyelesainnya secara bersama pula. Dengan begini, ada proses komunikasi dan diskusi yang terbuka antara wali murid dengan sekolah. Bagi Masyarakat Penting adanya sebuah kesepakatan antar anggota masyarakat yang menyatakan bahwa keluarga saya adalah keluarga anda juga. Dengan konsep
seperti ini, akan memungkinkan terjadinya proses pemantauan terhadap anggota keluarga yang tidak hanya dilakukan oleh suatu keluarga itu sendiri, melainkan dapat melalui keluarga yang lain dalam masyarakat tersebut. Seperti misalnya, dalam sebuah desa, ada beberapa RT dan bahkan ada beberapa kawasan tempat tinggal. Dalam kawasan tempat tinggal tersebut, dapat dibentuk suatu wadah seperti dasawisma, dimana beberapa keluarga dalam wilayah kecil tersebut memiliki komitmen tertentu untuk saling menjaga dan memberikan perhatian. Dengan demikian, jikalau sebuah keluarga itu kurang mampu ataupun belum cukup mampu untuk memberikan perhatian yang lebih pada anggota keluarganya dan bahkan pada anak-anaknya, maka keluarga yang lain (tetangga) dalam masyarakat tersebut dapat memberikan perhatian dan pemantauan tersendiri pada sang anak. Dengan begitu, hal tersebut dapat meminimalisir munculnya masalah perilaku yang terjadi pada anak dan dapat memberikan pedoman nilai-nilai masyarakat (universal) yang ada pada anak, karena antar tetangga bisa saling mengingatkan dan menjaga. Bagi Peneliti Selanjutnya Saran bagi peneliti selanjutnya, bila masih ingin menggunakan variabel keberfungsian keluarga sebagai variabel bebas, dan anak-anak sebagai subjek penelitian, maka hendaknya peneliti selanjutnya dapat melakukan proses elisitasi terlebih dahulu saat menyusun alat ukur. Proses elisitasi ini dimaksudkan agar aitem-aitem yang dibuat nantinya lebih sesuai dengan indikator perilaku dari aspek yang ada. Selain itu, untuk respon jawaban dalam alat ukur tersebut dapat dibuat seperti alternatif jawaban yang “bercerita”, sehingga lebih memudahkan subjek anak-anak dalam memberikan jawaban. Jadi tidak sekedar respon “Ya” atau
“Tidak” saja, dimana seringkali masih ada bias unsur kuantitas atau frekuensi didalamnya. Bila masih ingin menggunakan variabel bebas yang sama, maka peneliti selanjutnya dapat menggunakan subjek penelitian yang berbeda, seperti pada remaja, dan dapat menggunakan alat ukur yang berbeda. Bila masih ingin menggunakan subjek penelitian yang sama, yakni anak-anak, maka peneliti selanjutnya dapat menggunakan metode penelitian yang berbeda. Misalnya dengan metode eksperimental, seperti dengan mendongeng, permainan, atau pelatihan, metode kuantitatif-komparatif, seperti antara siswa sekolah negeri dengan siswa sekolah berbasis keagamaan, ataupun dengan metode kualitatif dengan fokus penelitian yang lebih khusus lagi. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan variabel bebas yang berbeda, seperti religiusitas, kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga, faktor teman sebaya (peer group), dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Afiatin, T. 2005. Peran Keluarga Dalam Prevensi Penyalahgunaan NAPZA. Jurnal Psikologika, Nomor 20 Tahun X Juli 2005. Yogyakarta Agustina, I. 2006. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Andayani, B. 2000. Profil Keluarga Anak-Anak Bermasalah. Jurnal Psikologi Tahun XXVII Nomor 1. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Azwar, S. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Berns, R.M. 2004. Child, Family, School, Community : Socialization and Support. United States of America : Thomson Learning, Inc.
Budiningsih, C.A. 2004. Pembelajaran Moral : Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta. Chatarina, N.M. 1999. Family Functioning and Child Behavior Problems. Disertasi (Tidak diterbitkan). Katholieke Universiteit Nijmegen. Clarke-Steward, A., dan Koch, J.B. 1983. Children : Development Through Adolescence. Canada : John Wiley and Sons, Inc. Daradjat, Z. 1977. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta : Penerbit Bulan Bintang. Diana, R.R. 1998. Hubungan antara Religiusitas dan Kreativitas Siswa SMU Negeri III Sukabumi. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Elliot, S.N., Kratochwill, T.R., Cook, J.L., Travers, J.F. 2000. Educational Psychology : Effective Teaching, Effective Learning. Singapore : McGrawHill Book Co. Fajarwati, I. 2004. Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Moral Pada Anak Usia Sekolah 6-12 (th) (Kajian Metori dan Metode). Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia. Hartmann, P.B. 2002. Family Functioning and Anorexia Nervosa : The Issue of Control. Tesis (Tidak diterbitkan). School of Applied Psychology, Griffith University. Hurlock, E.B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hurlock, E.B. 2002. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga. Huxley, R. 2006. Moral Development of Children : Knowing Right From Wrong. Pioneer Development Resources, Inc. Kartono, K. 1985. Seri Psikologi Terapan : Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta : Penerbit CV Rajawali. Kohlberg, L. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. MacArthur, J.D. 2000. The Functional Family. Utah : Brigham Young University. Mandara, J., dan Murray, C.B. 2002. Development of an Empirical Typology of African American Family Functioning. Journal of Family Psychology, Vol. 16, No. 3, 318-337. American Psychological Association, Inc.
Nashori, F. 1995. Efektivitas Rangsangan Simulasi Moral untuk Meningkatkan Penalaran Moral Siswa Putri. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Pudjibudojo, J.K., dan Soenarjo, J.B. 2005. Mengapa Anak Memperkosa ? Studi Kasus di Lembaga Permasyarakatan Anak Blitar. Jurnal Psikodinamik, Volume 7, Tahun IV. Universitas Muhammadiyah Malang. Rachmawati. 2002. Mendongeng dan Penalaran Moral Anak. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Raven, J. C. 1972. Guide to The Standard Progressive Matrics Sets A, B, C, D, and E. Diusahakan oleh Fakultas Psychologi UGM Yogyakarta. Santrock, J.W. 2002. Edisi Kelima : Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup. Jakarta : Penerbit Erlangga. Saydam, R.B., dan Gencöz, T. 2005. Summary : The Association of Family Functioning, Parental Attitudes, and Self-Esteem with the Adolescents’ Self Rated Behavioral Problems. Türk Psikoloji Dergisi, 2005, 20 (55), 7577. Shaffer, D.R. 1994. Third Edition : Social and Personality Development. California : Brooks / Cole Publishing Company. Sirait, A.M. 2007. Laporan Utama : Mata Rantai Yang Perlu Diputuskan. Jakarta : Harian Umum Republika 4 Februari 2007. Sjarkawi. 2002. Pembentukan Kepribadian Anak : Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara. Wahyuning, W., Jash, dan Rachmadiana, M. 2003. Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputido. Walsh, F. 2003. Normal Family Processes, Third Edition : Growing Diversity and Complexity. New York : Guilford Publication. _______________. 2007. Laporan Utama : Ada Apa Dengan Anak ?. Jakarta : Harian Umum Republika 4 Februari 2007.