HUBUNGAN ANTARA JILBAB DAN PERILAKU ISLAMI (STUDI KASUS SANTRIWATI PESANTREN MADINATUNNAJAH TANGERANG)
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Anwar Musaddad NIM: 104051001854
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008
HUBUNGAN ANTARA JILBAB DAN PERILAKU ISLAMI (STUDI KASUS SANTRIWATI PESANTREN MADINATUNNAJAH TANGERANG)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk memenuhi syarat-syarat mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Anwar Musaddad NIM: 104051001854
Di bawah bimbingan:
Prof. Dr. Ismah Salman, M.Hum NIP: 150096770
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya pribadi yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 1 Desember 2008 M
Anwar Musaddad
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Hubungan Antara Pemakaian Jilbab dan Perilaku Islami (Studi atas Siswi Pesantren Madinatunnajah Tangerang)” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 15 Desember 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua
Sekretaris
Dr. Murodi, M.A NIP: 150254102
Dra. Umi Musyarafah, M.A NIP: 150281980
Penguji I
Penguji II
Drs. M. Luthfi Jamal, M.Ag. NIP: 150254102
M. Hudri, M.Ag NIP: 150289437
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Hj. Ismah Salman, M.Hum NIP: 150096770
ABSTRAK
Hubungan Antara Jilbab dan Perilaku Islami: Studi Kasus Santriwati Pesantren madinatunnajah Tangerang. Jilbab merupakan kewajiban agama Islam yang disyariatkan kepada Nabi Muhammad saw. yang tersurat dalam Al-Quran surat Al-Ahzab: 59 dan surat Al-Nur: 31. Fungsi pakaian ini sebagai simbol agama menyulut kontroversi di dunia modern karena dianggap sebagai lambang pembelengguan kebebasan kaum wanita. Namun demikian, pada dasarnya jilbab tidak hanya berfungsi sebatas itu. Jilbab mempunyai efek psikologis yang mendorong pemakainya untuk menyesuaikan perilakunya dengan perilaku yang diajarkan Islam. Teori yang dijadikan dalam melandasi argumentasi ini adalah teori Kefgen dan Touchie-Specht mengenai fungsi perilaku pada pakaian. Menurut teori ini, pakaian mendorong dan mengingatkan pemakainya akan peranan seseorang dalam pakaian yang dipakainya. Sebab, setiap pakaian merupakan simbol akan kelompok sosial tertentu. Teori lainnya yang menjadi premis mayor dalam memperkuat penelitian ini adalah teori Quraish Shihab mengenai efek psikologis yang sama. Shihab mendasarkan argumentasinya pada modernisme di Turki pada masa Kemal Attaturk dengan melarang penggunaan Torbusy (sejenis topi) yang dianggap sebagai lambang kekolotan. Shihab juga mendasarkan argumentasinya pada surat Al-A’raf: 26. Berdasarkan sampel 50 orang siswi Pesantren Madinatunnajah yang diambil dengan metode stratified random sampling, ditemukan bahwa terdapat hubungan linear yang cukup signifikan antara pemakaian jilbab dan intensitas melakukan ibadah sosial dan ritual pada santriwati pesantren tersebut. Dengan perhitungan statistik product moment pearson, ditemukan bahwa hubungan tersebut sebesar 0,51 yang berarti cukup signifikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya frekuensi berjilbab diikuti dengan tingginya frekuensi berperilaku Islami, kendati fakta ini tidak berarti bahwa jilbab merupakan faktor perilaku Islami pada santriwati Madinatunnajah. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, jilbab sebagai simbol agama bukan hanya berperan sebatas sebagai simbol. Jilbab juga mempunyai fungsi perilaku yang mendorong pemakainya untuk memainkan peranan seorang muslimah yang baik. Di mana, secara statistik dorongan tersebut bernilai sebesar 51 persen. Dengan demikian, kecil alasan untuk menolak jilbab hanya karena jilbab dianggap ketinggalan zaman.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan atas Nabi Muhammad saw., keluarganya, dan para sahabatnya yang setia. Semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Amin !
Penulis sangat menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini banyak sekali hambatan dan rintangan yang menghadang, mulai dari persoalan teknis pengumpulan data sampai perasaan malas yang kerap kali menghinggapi diri penulis. Namun pada akhirnya penulis dapat mengatasi semua persoalan tersebut. Selain karena rahmat-Nya, penyalesaian
skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
beberapa pihak yang dengan tulus memberi bimbingan dan motivasi. Tanpa semua itu, upaya penulis tak akan pernah berarti apa-apa. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
Bapak Dr.Murodi,MA,selku Dekan Fakultas Dakwah dan komunikasi.
2.
Bapak Drs. Wahaidn saputra, M.Ag,selaku ketua jurusan komunikasi dan penyiran islam yang tak kenal lela bekerja demi kemajuan jurusan komunikasi dan penyiaran islam.
3.
Ibu umi musyarrafah, MA, terima kasih banyak atas segala perhatian kelembutan dan nasihat yang telah diberikan.
4.
ibu prof.Dr. ismah salman, M.Hum, selaku dosen pembimbing saya ucapkan trima kasih banyak dan yang sebesar-besarnya karena telah meluangkan waktunya ditengah-tengah kesibukan serta kesabarannya dalam membimbing penulis sampai denga selesai.
5.
seluruh Dosen fakultas Dakwah dan Komunikasi atas kesabarannya dalam memberikan ilmu yang sangat berharga.
6.
Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah jakarta dan Perpustakaan fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah membeikan pelyanan dan fasilitas buku-buku referensi.
7.
KH.Muhammad Agus Abdul Ghofur, M.Pd,selaku pimpinan pesantren Madinatinnjah Tangerang, terima kasih banyak atas bantuannya yang telah meluangkan watu untuk wawancara dan memberikan seputar pesantren Madinatunnjah untuk melengkapi penulisan skripsi ini.
8.
Bapak M. Syukron Djalaluddin, S.Th.I, selaku kepala sekolah Madrasah Aliyah Pesantren Madinatunnajah, terima kasih banyak atas bantuannya yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian pada santriwati Pesantren Madinatunnajah.
9.
Ahmad Fahrurozi, S.Pd.I, selaku kepala biro pengasuhan santri, terima kasih banyak atas bantuannya yang telah meluangkan waktu untuk wawancara dan memberikan informasi seputar disiplin di Pesantren Madinatunnajah.
10.
Kedua orang tua penulis tercinta, ayahanda H. M. Nurhasan Djidah dan ibunda Hj. Amanah, yang dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya senantiasa memanjatkan doa yang tulus untuk kebahagiaan dan keberhasilan penulis dan mencurahkan kasih sayangnya tidak hanya sebagai orang tua tetapi juga sebagai sahabat tempat berbagi rasa dan keluh kesah.
11.
Untuk Kakak penulis, Teh Yulianty Nurhasanah, S.Ag., teh Yuliani Nurhidayah, S.Pd., Abang Ramadhan Habibie, Lc., terima kasih untuk dukungan moril dan motivasinya. Untuk keponakan-keponakan penulis, Rumaisha Fetriana Shabrina, Muhammad Averroes, Muhammad Erkan El Hakim, Asma Habibie, Vaza Shabrina, dan Muhammad Ezzart El-Fath, perjuangan kalian masih panjang; jangan pernah lelah untuk menggapai citacita.
12.
Untuk teman-teman di Pesantren Madinatunnajah, Ust. Ramadhanus, Ahmadi, Sobar, Eco, Hata, Ardy. Terima kasih atas supportnya selama penulisan skripsi ini berjalan.
13.
Teman-teman di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Angkatan 2004, khususnya anak-anak kelas D, yaitu: Bung Arie Murthaza, Bung Herdiawan, Bung Arul, Bung Delon, Bung Zek Al-Anshory, Bung Yayan serta temanteman seperjuangan di kampus. Terima kasih atas semua bantuan dan sumbangsih kaliah yang tak terhitung banyaknya.
14.
Kepada mereka—yang turut andil dalam penyelesaian skripsi ini—yang tidak penulis sebutkan namanya satu persatu di tempat ini, penulis sampaikan terima kasih.
Barangkali skripsi ini banyak kekurangannya, namun penulis berharap siapapun dapat menjadikan skripsi ini sebagai batu loncatan, perbandingan, atau dasar argumentasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Sekali lagi, terima kasih atas dukungan kalian.
Jakarta, Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..............................................................................
ii
DAFTAR ISI.............................................................................................
v
DAFTAR TABEL ....................................................................................
vi
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................
7
C. Tujuan Penelitian...........................................................
7
D. Manfaat Penelitian ........................................................
7
E. Metodologi Penelitian ...................................................
8
F. Sistematika Penulisan ....................................................
9
LANDASAN TEORI A. Landasan Memakai Jilbab dalam Al-Quran ..................
11
B. Pengertian Jilbab ..........................................................
19
C. Tujuan Perintah Jilbab ..................................................
21
D. Perilaku yang Islami ......................................................
24
E. Efek Psikologis Jilbab terhadap Perilaku........................
32
SEKILAS TENTANG PESANTREN MADINATUNNAJAH A. Sejarah Berdirinya Pesantren Madinatunnajah ..............
35
B. Disiplin Berpakaian di Pesantren Madinatunnajah .........
38
HUBUNGAN
ANTARA
PEMAKAIAN
JILBAB
DAN
PERILAKU ISLAMI B. Temuan dan Pengolahan Data........................................
41
C. Interpretasi Data ............................................................
60
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................
62
B. Saran .............................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Contoh Perilaku yang Islami menurut Murtadha Muthahari .........
28
Tabel 2: Jenis Pakaian Santri Pesantren Madinatunnajah ...........................
38
Tabel 3: Skor Perilaku Islami Santriwati Madinatunnajah...........................
40
Tabel 4: Saya merasa Allah senantiasa memperhatikan dan mengawasi perbuatan saya ...................................................................................................................
42
Tabel 5: Kalau ada masalah saya mengadu kepada Allah dengan shalat, berdoa, dsb. ...................................................................................................................
42
Tabel 6: Ketika Mendapat Rizki saya mengucapkan "Al-hamdulillah" .......
43
Tabel 7: Ketika melihat kebesaran Allah, seperti gunung, laut, menonton keajaiban Allah di TV, hati saya tersentuh dan seraya mengucapkan pujian kepada Allah
43
Tabel 8: Saya melaksanakan sholat 5 Waktu...............................................
43
Tabel 9: Saya Berpuasa pada bulan Ramadhan ...........................................
44
Tabel 10: Saya Mengajak Adik, Teman dll. untuk Berpuasa .......................
45
Tabel 11: Saya Menyiram tanaman yang ada di sekitar saya ......................
45
Tabel 12: Saya MenjagaTanaman Tetap Hidup (Tidak Memetik Daunnya dan Tidak Mencabut Akarnya) ....................................................................................
46
Tabel 13: Saya Memberi Makan/ Minum Binatang di Sekitar Saya ( Kucing, ayam, dll.) ............................................................................................................
47
Tabel 14: Saya Masuk Kamar Orang Lain dengan Mengucapkan Salam .....
47
Tabel 15: Saya Memutar Keran Sedikit Untuk Menghemat Air ..................
48
Tabel 16: Saya Berdoa Sebelum Makan/ Minum .......................................
48
Tabel 17: Saya Mencuci Baju-Baju Kotor Saya .........................................
49
Tabel 18: Saya Mengunci Lemari Saya ......................................................
49
Tabel 19: Saya Menjaga Tembok Agar Tetap Bersih .................................
50
Tabel 20: Saya Memungut Sampah Yang Saya Temukan di Jalan ..............
50
Tabel 21: Saya Memberikan Sedekah Kepada Pengemis.............................
51
Tabel 22: Hati Saya Tersentuh Ingin Membantu Pengemis dan Orang-Orang Terlantar di Jalan ......................................................................................................
51
Tabel 23: Saya Mengucapkan ”bismillah” Sebelum dan/ atau Sesudah Melakukan Kegiatan Saya ...........................................................................................
52
Tabel 24: Saya Mengangkat Kedua Tangan Saya Ketika Berdoa ................
52
Tabel 25: Saya Menjalankan Perintah Orang Tua Saya Sekalipun Sedang Sibuk dengan Pekerjaan Saya ..............................................................................
53
Tabel 26: Terdektik dalam pikiran ingin membahagiakan orang tua saya jika kelak menjadi orang sukses..................................................................................
53
Tabel 27: Saya menjawab soal-soal ujian dengan kemampuan saya sendiri, tidak menyontek..................................................................................................
54
Tabel 28: Saya mencium tangan guru ........................................................
54
Tabel 29: Saya menepati janji pada teman setiap kali berjanji ....................
55
Tabel 30: Saya memaafkan orang yang sudah menyakiti saya.....................
55
Tabel 31: Kalau Mudhif, saya mengajak teman-teman saya makan bersama
56
Tabel 32: Saya menjenguk setiap kali teman saya sakit ..............................
56
Tabel 33: Skor Pemakaian Jilbab ...............................................................
57
Tabel 34: Analisis Korelasi Variabel Pemakaian Jilbab (x) dan Variabel Perilaku Islami .........................................................................................................
58
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Para nabi membawa ajaran Islam sepanjang sejarah dengan membawa tata nilai yang sesuai dengan kebutuhan fitri individual sekaligus sosial. Islam tidak hanya mengatur urusan sholat dan zakat; islam juga mengatur semua aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang diaturnya adalah aspek berpakaian bagi wanita.1 Dalam Islam, wanita muslimah diharuskan untuk menutup kepala dan dadanya dengan kerudung. Perintah itu diturunkan dalam dua surat: Al-Ahzab ayat 59 dan AlNur ayat 31. Dalam surat Al-Ahzab disebutkan demikian: “hai, nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanita, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Penyayang.”2 Dalam surat An-Nur ayat 31 disebutkan demikian: ” Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang [biasa] nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau 1 2
1 Seeking God’s Mercy, tp, tt) h. 111 Hammudah Abdallati, Islam in Focus (One Al-Quran, surat Al-Ahzab: 59
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang yang beriman supaya kamu beruntung.3 Saat ini, sebagian besar muslimah di dunia mengenakan jilbab, dan jilbab didesain sedemikian rupa sehingga membuat pemakainya terlihat anggun dan sopan. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, jilbab merupakan simbol kesopanan kaum wanita. Tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan kaum wanita, bukan untuk membelenggu mereka. Karena itu, model jilbab dapat diperindah dan bahannya dapat menggunakan apa saja, selama tidak merusak keimanan dan kesopanan kaum muslimah.4 Menurut
Murtadha
Muthahari,
perintah
berjilbab
bukan
sekadar
mencerminkan budaya Arab-Islam. Sebab, secara historis, jilbab telah digunakan oleh bangsa-bangsa lain selain bangsa Arab.5 Dahulu, jilbab
merupakan lambang
ketinggian derajat dan kemerdekaan wanita. Para budak tidak berjilbab, demikian juga pelacur. Karena itu, sebetulnya perintah jilbab tidak pernah ditujukan untuk merendahkan dan membelenggu kebebasan wanita muslimah seperti yang dituduhkan para orientalis Barat. Justru Islam mengharuskan pemakaian jilbab untuk mengangkat derajat wanita.6 Namun dewasa ini, larangan penggunaan jilbab bagi wanita justru lebih sering mencuat ke muka, terutama, setelah paham sekularisasi politik mulai mempengaruhi dunia Barat—dan kini seluruh dunia. Trauma akan dominasi agama 3
Al-Quran, surat An-Nur: 31 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: tp, tt) Juz XXII h. 125 5 Murtadha Muthahari, Wanita dan Hijab (Jakarta: Lentera, 2003) h. 10 6 Fadhilah Suralaya dan Eri Rossatria (ed.) Perempuan: Dari Mitos ke Realitas (Jakarta: PSW UIN Jakarta dan McGill-I, 2002) h. 9 4
(Gereja) atas politik pada abad pertengahan berimplikasi pada munculnya cita-cita untuk mewujudkan dunia tanpa intervensi agama, termasuk dalam bentuk penggunaan simbol-simbol agama. Pada beberapa negara agama masih dapat digunakan sebagai simbol politik, termasuk Indonesia, tetapi pada tingkat yang lebih ekstrim, agama disingkirkan dan dianggap sebagai ancaman bagi perumusan hukum berdasarkan konsensus. Karena itu simbol-simbol agama dilarang digunakan di tempat-tempat umum. Ada beberapa kasus yang terkenal. Sebagai contoh, di Perancis diberlakukan undang-undang penggunaan jilbab di sekolah yang mengakibatkan beberapa siswi muslimah Perancis terpaksa keluar sekolah karena ia tetap bersikap konsisten dengan jilbabnya. 7 Kasus jilbab menarik perhatian di Eropa sejak Prancis tahun 2004 melarang Muslimah mengenakan di jilbab di tempat-tempat umum seperti sekolah dan lembaga lainnya. Beberapa negara Eropa kemudian mengikuti langkah Prancis tersebut dan "memasung" para Muslimah dengan dua ultimatum: memakai jilbab tapi terkurung atau melepas jilbab.8 Peristiwa memprihatinkan lainnya juga terjadi pada Mervi Kavakci, salah seorang muslimah Turki. Ia ditekan secara mental dan prosedural ketika akan dilantik menjadi anggota dewan legislatif Turki lantaran ia mengenakan jilbab. Akibatnya, ia harus meninggalkan jabatannya dan kini pindah ke Amerika.9 Kampanye sekularisasi yang menolak jilbab seperti di atas sebetulnya merupakan sebuah analisis yang didasarkan atas asumsi yang keliru. Mereka berasumsi bahwa agama membawa kehancuran bagi politik, bukan sebaliknya. Padahal, psikologi sosial dewasa ini sebetulnya, sejak lama, sudah menekankan fungsi 7
Majalah Hidayatullah, edisi September 2004, h. 15 http://www.mualaf.com/islam-is-not-the-enemy/Dunia%20Islam/34-Dunia%20Islam/5527menggoyang-rancangan-uu-hijab-di-italia di-download pada 17 Agustus 2008 M 9 http://www.mualaf.com/islam-is-not-the-enemy/Dunia%20Islam/34-Dunia%20Islam/5527menggoyang-rancangan-uu-hijab-di-italia di-download pada 17 Agustus 2008 M 8
pakaian bagi psikologi pemakainya. Dalam hal simbol agama, seperti penggunaan busana muslimah, mengutip Kefgen dan Touchie-Specht, Jalaluddin Rakhmat menulis tentang tiga fungsi busana muslimah.
Busana mempunyai tiga fungsi (1) diferensiasi, (2) perilaku, (3) emosi. Dengan busana, orang membedakan dirinya, kelompoknya, atau golongannya dari orang lain… busana muslimah memberikan identitas keislaman, dengan itu, seorang muslimah membedakan dirinya dari kelompok wanita lain… busana muslimah mendorong pemakainya untuk berperilaku yang sesuai dengan citra diri mulsimah… busana muslimah—lebih-lebih kalau dipakai secara massal—akan mendorong emosi keagamaan yang konstruktif.10 Menurut Prof. Quraish Shihab, salah satu fungsi pakaian adalah perlindungan (taqwa). Menurutnya, pakaian mampu memberikan pengaruh psikologis bagi pemakainya. Jilbab merupakan pakaian khas muslimah, karena itu, seperti halnya topi, celana jeans, dan pakaian jenis lainnya, jilbab mempunyai efek psikologis yang sama terhadap orang yang memakainya. Shihab mengatakan: “…Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan, Kemal Ataturk di Turki melarang pemakaian Tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya, pun, demikian. Kaum sufi sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.11
Pengaruh pakaian secara psikologis memang diakui dalam psikologi sosial. Dan menurut Quraish Shihab, pengaruh inilah yang merupakan salah satu dari tujuan Islam memerintahkan kaum wanitanya mengenakan jilbab. Lebih jauh Shihab berkomentar:
10 11
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1986) h. 56 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1998) h. 169
Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus menceganya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.”12
Pendapat profesor lulusan Al-Azhar Mesir itu didasarkan atas Al-Quran surat Al-A’raf (7): 26 yang menjelaskan dua fungsi pakaian:
ًَََ اــَسُ َْ اَََْْـ ََُْ ْ ِ َـــً ُ"َارى َ"ْءَ ُِ ْ وَرِْـ َُوْن% اتِ ا)ِ َ(َُ ْ َ'آ+ ْ ِ, َ-ٌِ ذا%َْ0 ِ-ِْ"َى ذَا12وَِ َـسُ ا “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”13 Prof. Quraish Shihab menegaskan secara terus terang bahwa pengaruh jilbab terhadap perilaku pemakainya bersifat mendorong secara psikologis. Demikian halnya Kefgen dan Touchie-Specht melihat busana secara psikologis memberikan pengaruh pada pemakainya untuk berperilaku sesuai dengan peranan normatif di balik busana itu. Tetapi seberapa besar korelasi antara keduanya, perlu dibuktikan secara empiris. Inilah dasar pemikiran mengapa penelitian tentang Hubungan Pemakaian Jilbab dan Perilaku Islami (Studi atas Siswi Pesantren Madinatunajah Tangerang) ini penting untuk dilakukan.
B.
Pembatasan Masalah 12 13
Ibid Ibid. h. 159
Penelitian ini dibatasi pada siswi Madrasah Aliyah Madinatunnajah Tangerang. Perilaku yang Islami dibatasi pada intensitas siswi-siswi tersebut dalam melakukan ibadah ritual seperti shalat dan ibadah sosial seperti sedekah. C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dirumuskan masalah penelitian: Apakah tingginya intensitas pemakaian jilbab pada siswi Pesantren Madinatunnajah Tangerang diikuti dengan tingginya frekuensi melakukan ibadah ritual dan sosial?
D.
Tujuan Penelitian
1. Menemukan hubungan antara pemakaian jilbab dan perilaku yang Islami. 2. Menemukan hubungan antara pemakaian jilbab pada
siswi Pesantren
Madinatunnajah dan intensitas melakukan ibadah ritual dan sosial.
E.
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini berguna bagi para juru dakwah sebagai rasionalisasi dan bukti empiris atas syari’at Islam mengenai pemakaian jilbab. 2. Penelitian ini berguna sebagai bacaan ilmiah untuk memperteguh keyakinan para muslimah dalam berjilbab. 3. Penelitian ini dapat menjadi landasan teoritis bagi penelitian efek busana Islam pada disiplin psikologi sosial.
F.
Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode korelasional.14 Dua variabel yang dihubungkan dalam penelitian ini adalah jilbab dan perilaku Islami. Dengan penelitian ini maka akan ditemukan secara kuantitatif nilai hubungan
pengaruh
jilbab
dan
perilaku
yang
islami.
Dengan
membandingkan hasil perhitungan tersebut dengan tabel nilai korelasi, maka akan ditemukan nanti, apakah hubungan antara jilbab dan perilaku yang Islami itu kuat, cukup signifikan, atau mungkin lemah.
2.
Populasi dan Sampel Populasi
penelitian
ini
adalah
siswi-siswi
Madrasah
Aliyah
Madinatunnajah. Sampel akan diambil sebanyak 30 orang dengan metode stratified random sampling. Dengan metode ini maka pengambilan sampel akan dilakukan dengan langkah-langkah berikut: a. Populasi dibagi-bagi berdasarkan kelas: kelas satu, dua, tiga, empat, dan lima. b. Dari setiap kelas diambil 10 orang. Jumlah keseluruhan 50 orang.
3.
Teknik Pengumpulan Data
14
Jalaluddin Rakhmat membagi metode penelitian menjadi lima macam: Metode deskriptif, Metode Historis, Metode Korelasional, Metode Kuasi-Eksperimental, dan Metode Eksperimental. Metode Korelasional didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam penelitian yang mencari hubungan antara dua variabel atau lebih. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Remadja Rosdakarya, 1984) h. 19
Pengumpulan data dilakukan dengan angket. Angket akan disusun secara sistematis
berdasarkan
perumusan
masalah.
Langkah-langkah
pengumpulan data dilakukan sebagai berikut: a. Semua siswi dari setiap kelas akan dikumpulkan secara terpisah dalam waktu yang bersamaan, kemudian diberi angket. b. Angket akan dikumpulkan pada hari yang sama, tidak diinapkan, untuk mencegah terjadinya kompromi jawaban antar-siswi.
4.
Teknik pengolahan dan Analisis Data Hasil angket akan diolah dengan melakukan scoring atas hasil angket. Kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Setelah itu, analisis data dilakukan dengan statistik korelasi product moment pearson (r). Statistik ini memberikan nilai korelasi antara pemakaian jilbab dan perilaku yang islami.
G.
Sistematika Tulisan BAB I : PENDAHULUAN. Berisi latar belakang masalah penelitian ini.
Kemudian diikuti dengan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Terakhir, metodologi penelitian pada bagian ini akan menerangkan secara rinci bagaimana penelitian ini dilakukan. BAB II: KERANGKA TEORI, berisi definisi jilbab dan dalil-dalil serta pandangan yang mengemukakan wajibnya penggunaan jilbab. Kemudian akan dibahas pengertian mengenai perilaku yang Islami dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Di sini, lagi-lagi akan dikemukakan pandangan Quraish Shihab dan teori psikologi sosial Kefgen dan Touchie-Specht mengenai pengaruh pakaian pada psikologi pemakainya.
BAB III: PROFIL PESANTREN MADINATUNNAJAH, berisi sekilas tentang sejarah Pesantren Madinatunnajah, visi-misinya, dan kegiatan pembelajaran dan peraturannya. BAB IV: HUBUNGAN ANTARA PEMAKAIAN JILBAB DAN PERILAKU YANG ISLAMI, berisi uraian hasil penelitian di pesantren tersebut. Pertama-tama, akan dikemukakan hasil penemuan data yang dikumpulkan dengan angket dan wawancara. Lalu, hasil temuan tersebut akan dianalisis secara kuantitatif dengan statistik korelasional. Di sini, digunakan koefisien korelasi Pearson (r) untuk mencari nilai hubungan antara dua variabel tersebut. BAB V: KESIMPULAN, berisi kesimpulan umum mengenai hasil penelitian dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
A.
Perintah untuk Memakai Jilbab dalam Al-Quran
Perintah memakai jilbab diterangkan dalam dua surat dalam Al-Quran, yakni, surat Al-Ahzab ayat 59 dan surat An-Nur ayat 31. Dalam surat Al-Ahzab 59 Allah berfirman:
َ+ُِْْ َ+ِِْ,ْ3ُ4َءِ ا5ِ ََ و-ِ َََ وَ ﺏ-ِ7َزْوَا9 ْ:ُ ;ِ َاََ ا ََ وَ آَن+َْْذ3ُ َ<َ= َ+ْ=َ%ْ(ُ َْ اَدْ? أَن-ِ ذ+ِِ ْ َ7 ْ+ِ, +َِِْ ًـ4ِْCَُ"ْرًا رAَB ُ)ا Artinya, “hai, nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanita, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Penyayang.” Para ahli tafsir, termasuk Buya Hamka,15 berpendapat bahwa alasan wajibnya memakai jilbab yang ditegaskan dalam surat Al-Ahzab—yang turun belakangan— adalah lantaran dahulu, menjelang malam, banyak orang munafik bertebaran di jalanjalan dan tempat-tempat penyeberangan jalan untuk mengganggu para budak wanita. Pada waktu itu, lazimnya dalam kultur Arab di mana nabi hidup, budak-budak tidak mengenakan penutup sebagaimana wanita merdeka melakukannya. Akibatnya, ketika 11 15
Lihat HAMKA, Tafsir Al-Azhar Surat Al-Ahzab (Jakarta: Panjimas, tt) h. 75
lelaki pengganggu itu mengganggu wanita merdeka, mereka dapat berkilah bahwa mereka mengira yang mereka ganggu adalah wanita-wanita budak. Berdasarkan peristiwa ini, maka akhirnya turun penegasan perintah berjilbab dalam surat Al-Ahzab—yang sudah disinggung sebelumnya dalam surat Al-Nur. Dari asbabun nuzul tersebut nampak jelas bahwa tujuan perintah jilbab adalah justru karena Islam bermaksud menghormati kaum wanita, melindungi mereka dari gangguan orang-orang munafik, dan bukan untuk mengekang atau membelenggu kebebasan seperti yang dituduhkan orang-orang Barat. Islam memberikan kewajibankewajiban bagi wanita yang justru, menurut Hamudah Abdalati dalam Islam in Focus, “suit her nature and, at the same time, cautions her against anything that might abuse or upset her nature.”16 Selain itu, menurut Murtadha Muthahari, para ahli tafsir sebagian besar sependapat bahwa alasan mengapa kaum wanita mukmin diharuskan berjilbab adalah untuk menjaga kehormatan dirinya. Disebutkan dalam Wanita dan Hijab demikian: Semua ahli tafsir sependapat bahwa ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di Madinah yang berhubungan dengan ayat ini. Ada sekelompok orang munafik dan orang yang berpenyakit dalam hatinya. Mereka mengganggu masyarakat, khususnya budak-budak wanita dan juga lain-lainnya. Lalu bila mereka ditanya mengapa mereka melakukan ini, mereka mengatakan, ”kami sangka mereka itu budak wanita. Budak wanita termasuk yang dikecualikan. Ia tidak perlu mengenakan penutup di hadapan laki-laki yang bukan muhrim, dan bila mengenakan pakaian luar, ia tidak mengenakannya sampai menutupi rambutnya.17 Dalam surat An-Nur (31) disebutkan bahwa kaum wanita mukmin diperbolehkan memperlihatkan
auratnya hanya kepada orang-orang tertentu dari
kerabatnya. Berikut keterangannya:
16 Terjemah: “Cocok dengan kodratnya, dan pada saat yang sama, menjaganya dari apapun yang dapat menyalewengkan atau merusak kodratnya.” Hamudah Abdalati, Islam in Focus (Riyadh: One Seeking Mercy of Allah, tt) h. 111 17 Murtadha Muthahari, Wanita dan Hijab (Jakarta: Lentera, 2003) h. 10
+َُ7ُْو%ُ= َ+ْDَAْEَ َ و+َرِ ِهGْْ اَﺏ+ِ, َ+ْHُHْIَ َِِت,ْ3ُ4ْ ْ:َُو +ِِه%ُ4ُJَِ ﺏ+ِْﺏ%ْHََِْ وَ ا, َ%ََK َ, Lِ ا+َُ2ََِْ ز+ِْْ َُLَو +ِ اَوْ اﺏــءِه+ِِ2َْ"ُ(ُ ِ L ا+َُ2ََِْ ز+ِْْ ُ َLَ و+ُُِِ"ْﺏ7 َ?َ +ِِْ"َا0ِ اَوْ ا+ِِ2َْ"ُ(ُ اَوْ اَﺏَْ ِء ﺏ+ِ اَوْ اَﺏَْءِه+ِِ2َْ"ُ(ُاَوْ اﺏَءِ ﺏ ْMَََ, َ, ْ اَو+ِـَءِه5ِ ْ اَو+ِِ ْ"َا0َ اَوْ ﺏَِ? ا+ِِْ"َا0ِاَوْ ﺏَِ? ا َِلِ او7P%َ ا+ِ, ِQَِرْﺏNِ اُوْ?ِ ا%َْB َ+ِْ(ِﺏ2 اَوا+ُُ َـــ4َْا َ+ْﺏ%ِ ْHَ َLََــــءِ و5Pُوْا َ?َ َ"ْرَاتِ ا%َْDَ ْ َ+ِْ'َِ ا:ْAPRا ِْ(ًـ4َ7 ِ) وَ ُ"ْﺏُ"ْا ا?َ ا+ِِ2َِْْ ز+ِ, َ+ِْAْJُ َ, َ َْ(ُِ +ُِِ7ْﺏَِر َُ"ْنEِْAُ ْ َُ(َ َُِ"ْن,ْ3ُ4اََ ا Artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Sebagian besar ulama sepakat bahwa perintah memakai jilbab adalah wajib, hanya saja mereka berbeda pendapat soal batasan-batasan bagian tubuh yang harus ditutup wanita dengan jilbab itu. Ada yang melihat seluruh tubuh wanita adalah aurat dan karena itu—kecuali mata—seluruhnya harus ditutup. Ada juga yang berpendapat bahwa aurat wanita dikecualikan pada wajah dan telapak tangan dan karena itu mereka tidak perlu menggunakan cadar.18 Karena itu, pada prakteknya, di Indonesia pada masa kini, ada sebagian muslimah berjilbab mengikuti mode pakaian yang trend—seperti yang ditampilkan Zaskya Adya Mecca di televisi, ada yang hanya menutup normal sampai ke dada saja, ada yang menutup tubuh dengan gamis dan jilbab yang lebar—yang populer disebut “jilbaber,” ada juga yang dengan ketat sampai menutup wajahnya dengan cadar. Keberagaman pemakaian jilbab di Indonesia terjadi karena Islam sudah sedemikian mengakar dengan kultur bangsa Indonesia, sehingga agama dan tradisi menjadi ibarat dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Namun perbedaan sudut pandang dan metodologi dalam memahami Islam membuat berbagai kelompok dalam masyarakat di Indonesia berbeda-beda satu sama lain dalam memakai jilbab. Perbedaan pada mode jilbab seperti pada beberapa model di atas mungkin sudah lazim ditemukan jauh sebelum masyarakat Indonesia merdeka. Tetapi model-model jilbab dengan mengenakan cadar (penutup wajah) agaknya baru berkembang sejak beberapa dekade ke belakang, ketika gelombang modernisme dan pembaharuan melanda berbagai masyarakat Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia.19
18 19
Ibid. h. 76 Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3S, 1988) Bab 1.
Baik yang berpihak pada pamakaian cadar maupun yang tidak, keduanya berpegang kepada Al-Quran dan Hadits dengan ijtihad yang sangat hati-hati. Muthahari menganalisis polemik cadar ini sebagai berikut:20 Dalam sejarah Islam sudah biasa wanita muslimah keluar rumah dengan menggunakan jilbab dan cadarnya. Karena itu, hukum menggunakan cadar adalah wajib berdasarkan sumber sejarah. Bertentangan dengan pendapat ini, sebagian ulama melihat bahwa wanita yang menggunakan cadar dalam sejarah adalah bangsa-bangsa non-Arab yang memeluk Islam. Mereka masih meneruskan tradisi lamanya menggunakan cadar. Hal ini merupakan fakta sejarah bahwa wanita Romawi dan Persia menutup wajahnya dengan cadar. Karena itu, sumber sejarah juga dapat membuktikan bahwa cadar bukanlah tradisi Islam yang perlu ditiru.21 Selain berdasarkan bukti sejarah, polemik cadar juga didasarkan atas penggunaan qias. Dalam islam, segala sesuatu yang dapat menodai ‘iffah (harga diri) serta kesucian adalah dilarang.menutup rambut, dada, dan lekuk-lekuk tubuh wanita dilarang karena dapat memancing syahwat, maka sangat tidak masuk akal jika menutup wajah tidak diwajibkan. Karena wajah dapat memancing syahwat, maka menggunakan cadar menjadi wajib. Bertentangan dengan pendapat tersebut, sebagian ulama melihat wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk beraktivitas, seperti pria—secara sosial, budaya, atau politik. Jika wanita muslimah wajib memakai cadar, otomatis kesempatan yang diberikan kepada wanita untuk beraktivitas menjadi semakin sempit dan cenderung membelenggu.22 Berdasarkan riwayat hadis, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw pernah berjalan di belakang al-Fadhl bin Abbas dalam perjalanannya yang melelahkan. Al-Fadhl adalah seorang lelaki tampan. Lalu nabi Muhammad berhenti di 20
Muthahhari, Op.cit. h. 179-196 Ibid. 179 22 Ibid. 21
tengah masyarakat dan menyampaikan suatu fatwa. Saat itu datanglah seorang wanita cantik dari Khats’am menanyakan sesuatu kepada Rasulullah saw. mata al-Fadhl terus memandangi wanita itu dan mengagumi kecantikannya. Maka nabi saw menoleh kepada Al-Fadhl yang sedang memandangi wanita itu, lalu beliau julurkan tangannya ke dagu Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari pandangannya kepada wanita tersebut…”(Lihat Shahih Bukhari jilid VIII hal. 63)23 Hadis tentang Khitbah (pinangan) Dari Abu Hurairah: “Aku pernah berada di sisi Nabi, lalu seorang laki-laki mendatanginya memberi kabar bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar. Maka rasulullah menoleh kepadanya, ‘sudahkah engkau melihat dia?’ laki-laki itu menjawab, ‘belum.’ Beliau berkata: ‘pergi dan lihatlah ia, karena sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu.’” (Lihat Shahih Muslim jilid IV hal. 142)24 Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ketika dia akan melamar seorang wanita, maka nabi saw berkata, “lihatlah dia, karena sesungguhnya itu sangat penting untuk kelanggengan kalian berdua.” (Lihat Jami’ Al-Tirmidzi h. 175) Melihat wajah wanita ketika akan dinikahi hukumnya boleh. Maka dengan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik), melihat wajah wanita ketika tidak punya maksud menikahi adalah haram. Logikanya, dibolehkan melihat wajah wanita ketika meminang adalah karena sebelumnya dilarang melihat.25 Berseberangan dengan pendapat di atas, dengan menggunakan logika para ulama mengemukakan bahwa jika wanita wajib memakai cadar, maka bagaimana mungkin para lelaki muslim dilarang untuk menahan padangannya terhadap perempuan? (seperti yang diperintahkan dalam surat Al-Nur ayat 30).
23
Ibid. h. 191 Ibid. h. 193 25 Ibid. h. 195 24
Sebagai tambahan, sebagian ulama berpendapat bahwa “Melihat wanita” ketika ingin melamarnya berbeda dengan “melihat” yang biasanya. Dibolehkan melihat wanita dalam khitbah adalah lebih dari sekadar melihat.26
Abdullah bin Sinan berkata: “saya pernah katakan kepada Abu Abdillah as (Ja’far Shadiq): ‘seorang lelaki ingin menikahi wanita. Bolehkah ia melihat rambutnya?’ beliau menjawab: ‘ya. Jika ia benar-benar ingin membelinya dengan harga termahal.’” (lihat Al-Wasa’il jilid III hal. 12 dan kitab Al-Tahdzib Jilid VII hal. 435)27 Dari Rajul, dari Abu Abdillah as. Berkata: ”saya pernah katakan kepadanya, ’bolehkah seorang lelaki melihat seorang wanita yang ingin dinikahinya, lalu melihat rambutnya dan keindahan tubuhnya?’ dia menjawab, ’hal itu tidak mengapa jika tidak bermaksud menikmati.’”(Lihat kitab Al-Kafi jilid V hal. 365 dan Al-Wasa’il jilid III hal. 11)28 Memang, di luar konteks khitbah, melihat wajah wanita dilarang, tapi dalam arti dilarang menikmatinya. Mafhum mukhalafah dari hadis khitbah hanya menegaskan larangan melihat wajah wanita, bukan perintah menutup wajah wanita dengan cadar. Terakhir, argumentasi dari polemik cadar ini didasarkan atas ayat Al-Quran. Al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf dan tafsir Al-Shafi, mengatakan, bahwa kata ”menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” dalam ayat jilbab (Al-Nur: 31)) di atas adalah kiasan dari menutup wajah dengan jilbab.29 Selain itu, dalam ayat jilbab (An-Nur: 31) disebutkan, ”dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” perhiasan 26
Ibid. Ibid. 28 Ibid. 29 Ibid. 27
yang dikecualikan hanyalah selendang. Maka yang boleh dilihat hanya selendang itu dan yang lainnya harus ditutup.30 Sementara itu, ulama yang menafikan kewajiban menggunakan cadar melihat bahwa kain kerudung dalam surat Al-Nur: 31 menggunakan kata ”khimar”, bukan ”jilbab”. Khimar adalah penutup kepala yang kecil, sedangkan jilbab yang lebar. Jadi tidak mungkin maksud menjulurkan ke seluruh tubuh juga termasuk ke wajah.31 Selain itu, perhiasan yang dikecualikan bukan hanya selendang. Kutek, gelang, cincin, dan celak untuk mata adalah perhiasan yang biasa nampak pada wanita. Maka dari itu, wajah (di mana ada celak mata), dan tangan (di mana ada cincin dan gelang) boleh diperlihatkan, tidak wajib ditutupi.32
B.
Pengertian Jilbab
Murtadha Muthahhari dalam Wanita dan Hijab mengatakan bahwa jilbab yang dimaksud dalam kedua ayat di atas masih menjadi perdebatan oleh para ahli tafsir. “karena banyaknya versi bahasa sehingga agak sulit mengetahui maksud sebenarnya dari kata ‘jilbab’.”33 Dalam kamus Al-Munjid, “jilbab” adalah gamis atau baju panjang. Sementara itu menurut Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradatnya—sebuah kitab yang secara khusus menjelaskan lafal-lafal al-Quran secara rinci—mengatakan bahwa “al-Jalabib” (jamak dari jilbab) artinya adalah baju dan kerudung. Dalam Lisanul Arab disebutkan demikian: “Jilbab adalah kerudungan wanita yang menutupi kepala dan wajahnya apabila ia keluar untuk suatu keperluan. Dan dalam tafsir ayat tersebut dikatakan yang
30
Ibid. Ibid. 32 Ibid. 3333 Ibid. h. 151 31
artinya, katakanlah kepada mereka, hendaklah mereka menutupi bagian dada dengan jilbab, yaitu baju panjang yang menyelimuti seluruh tubuh wanita.”34 Sampai di sini, ”jilbab” dalam bahasa Arab berbeda secara semantik dengan ”kerudung” dalam bahasa Indonesia. Sebetulnya, ikhtilaf mengenai apa dan bagaimana jilbab memiliki kaitan yang erat dengan apakah jilbab termasuk menutup wajah dengan cadar atau tidak, seperti telah dikemukakan dalam tabel 1 di atas. Betapapun demikian, ikhtilaf tersebut tidak terjadi pada dataran hukum yang dianut mayoritas ulama (jumhur) bahwa jilbab merupakan sebuah kewajiban bagi setiap wanita. Dan yang terpenting di atas semua itu, seperti pandangan Prof. Hamka, jilbab mestinya merupakan sebuah lambang kesopanan, yang tentunya layak diterima di manapun dan kapanpun.35 Lambang kesopanan akan berubah menjadi lambang teror ketika perilaku pemakai jilbab menebar teror. Dewasa ini, citra gamis dan janggut lebat menjadi menakutkan bagi masyarakat Barat. Sebab, media massa menghubung-hubungkan peristiwa black september dengan Osama bin Laden yang berjanggut dan bergamis seperti lazimnya orang Arab. Karena itu, secara logis bisa dimengerti bahwa pentingnya jilbab sebagai lambang kesopanan dan kehormatan wanita tidak berhenti pada pemakaian jilbab saja. Lambang kesopanan jilbab, secara implisit, menghendaki pemakai jilbab untuk berperilaku sopan dan terhormat, atau dalam istilah yang kini populer, berperilaku Islami.
C.
Tujuan Perintah Jilbab
Di dalam Islam, kaum wanita ditempatkan pada status yang terhormat sebagaimana kaum pria. Karena itu, dalam al-Quran, wanita dan pria mendapatkan 34 35
Ibid. Hamka, op.cit. h. 24
hak yang sama secara sosial. Wanita mendapatkan apa-apa sesuai dengan prestasinya. Dalam surat Al-Nisa ayat 32 disebutkan: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi ornag-orang lakilaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Menurut Maulana Wahiduddin Khan, penghormatan Islam kepada wanita dapat dilihat dalam ritual sa’i dalam prosesi ibadah haji. Orang-orang yang melakukan sa’i berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa. Dan hal ini dilakukan baik oleh orang kaya maupun orang miskin, berpendidikan atau awam, raja maupun rakyat. Dalam ritual sa’i, mereka melakukan hal yang sama dan memakai pakaian yang sama. Mereka mengikuti apa yang dilakukan Hajar, istri Ibrahim.36 Pada dasarnya, kewajiban mengenakan jilbab bukan kewajiban yang membelenggu wanita. Sebab, posisi sosial wanita dalam Islam tidak berbeda dari pria. Keduanya mempunyai peranan masing-masing dalam ranah sosial—sekalipun berbeda. Hanya saja, hak dan tanggung jawab tersebut disesuaikan dengan kodratnya masing-masing. Mohsin Araki, seorang intelektual Islam, mengatakan: ”baik perempuan maupun pria memiliki sebuah tanggung-jawab terhadap masyarakat, tempat mereka hidup. Keduanya memiliki tugas yang sama untuk melindungi masyarakat dari polusi dan kontaminasi. Sebagaimana pria mengambil peran aktif dan menikmati hak-hak sosialnya, perempuan juga memiliki hak dan tanggung-jawab yang sama.”37
36
Maulana Wahiduddin Khan, Woman in Islamic Shari’ah (New Delhi: Al-Risala Books,
1995) h.69 37
Ali Hosein Hakeem, et.al., Membela Perempua: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama (Jakarta: Al-Huda, 2005) h.42
Hak dan tanggung-jawab yang diberikan oleh Islam kepada wanita, bahkan, pada kenyataannya sangat layak dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan bangsa Yunani, umat Kristen pada abad pertengahan, Hindu, atau Yahudi. Justru Islam lebih toleran dan memuliakan kaum wanita. Quraish Shihab menggambarkan sebagai berikut: Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanitawanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wnaita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan sedangkan yang berumah-tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abak ke-7 Masehi. Petuah sejarah kuno mengatakan: ”racun, ular, dan api, tidak lebih jahat daripada wanita.” Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Dalam pandangan sementara pemuka/ pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan pria. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atau tidak.38
Berbeda dengan peradaban di atas, dalam Islam, wanita mempunyai hak sosial yang sesuai dengan kodratnya, antara lain hak untuk bekerja dan belajar. ”Raithah, istri sahabat nabi yang bernama Abdullah ibnu Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu, Al-Syifa, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Khatthab sebagai petugas yang menangai pasar kota Madinah.”39 Islam amat menjunjung tinggi kemanusiaan. Karena itu, perintah jilbab dalam Al-Quran tidak ditujukan melainkan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Para
38 39
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1997) h. 296-297 Ibid. h 307
ulama ushul menggariskan beberapa tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah) yang dijadikan pedoman untuk mengambil hukum islam, yaitu:
D.
1.
Islam menjaga keselamatan jiwa
2.
Islam menjaga keselamatan agama
3.
Islam menjaga keturunan
4.
Islam menjaga harga milik
5.
Islam menjaga martabat dan kehormatan
Perilaku Yang Islami
Apa yang dimaksud dengan perilaku? Apa bedanya perilaku dengan akhlak? Apa yang dimaksud dengan Perilaku yang Islami? Dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary, berperilaku, didefinisikan sebagai act in a particular way, bertindak dengan cara tertentu.40 Contoh perilaku jumlahnya sebanyak perbuatan manusia. Makan, minum, menangis, tertawa, berkumpul, adalah perilaku. Tak ada perdebatan penting tentang apa itu perilaku. Yang menjadi perdebatan filosofis dan ilmiah adalah, apakah dasar perilaku manusia? Mengapa manusia berperilaku tertentu? Memahami dasar perilaku manusia sangat penting untuk sampai kepada pemahaman tentang apa itu akhlak dan perilaku yang islami. Perilaku, yang merupakan terjemahan dari bahavior, dalam sains modern pernah menjadi nama salah satu mazhab psikologi yang bernama behaviorism. Aliran ini melihat manusia sebagai makhluk yang perilakunya bisa dimanipulasi. Teorinya yang terkenal adalah classic conditioning (pengondisian klasik). Sebuah penelitian 40
Martin, H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1996) h. 33
pernah dilakukan. Seekor anjing dibiasakan menerima makanan ketika bel dibunyikan. Karena makanan itu, air liurnya menetes keluar. Pembiasaan ini dilakukan beberapa kali, sampai suatu ketika, makanan tidak lagi datang ketika bel berbunyi. Air liur anjing itu masih keluar.41 Mereka berhasil mengondisikan (mengendalikan) perilaku anjing, dan yakin mampu mengendalikan perilaku manusia. Paham bahwa perilaku manusia dapat dimanipulasi diperkuat oleh suatu penelitian, yang bukan hanya menegaskan kekuatan lingkungan dalam memanipulasi manusia, tetapi juga membantah pepatah kuno, ”buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, sebuah kepercayaan bahwa perilaku dan kecerdasan manusia sudah ditetapkan secara genetis. Berikut penelitian tersebut:
Tahun 1960 para psikolog dari Wisconsin University mengambil 40 orang bayi, yang seluruhnya mempunyai ibu dengan IQ 70 atau kurang (lemah pikiran—feeble minded). Lazimnya, bila bayi itu tidak ”diintervensi”, pada usia 16 tahun, kecerdasannya rata-rata sama dengan ibunya (lemah pikiran, 70). Sekarang mereka dibawa ke Universitas, diasuh dan dididik oleh para psikolog. Fikirannya dilatih dan kreativitasnya dikembangkan. Pada usia empat tahun, mereka diukur. Menakjubkan! Rata-rata IQ mereka 128 pada satu tes dan 132 pada tes lain—jadi, pada kelompok yang, oleh psikolog, disebut ”intellectually gifted”, mereka lebih cerdas daripada anak-anak kelompok menengah yang berpendidikan. Penelitian yang kemudian dikenal dengan operation babysnatch ini menunjukkan bahwa lingkungan lebih perkasa daripada keturunan.42 Menurut mazhab
behavioris,
perilaku
manusia
merupakan bentukan
lingkungan. Sampai di sini, manusia baru sampai pada tahap di mana dirinya menjadi pasif dan deterministis.43 Tak bedanya dengan pandangan mazbab lain dalam
41
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Rosdakarya, 2002) h. 23 Jalaluddin Rakhmat, “Pengantar” dalam Alexis Carrel, Misteri Manusia, terjemahan Man The Unknown (Bandung: Remadja Karya CV) h. vi 43 Istilah “Deterministis” dalam Islam tergambar dalam konsep yang dikenal dengan “jabariyah”, lawan dari “Qodariyah”. Perdebatan antara “jabariyah” dan “qodariyah” adalah perdebatan klasik yang sampai saat ini sudah terlibat jauh dengan penelitian-penelitian ilmiah dan konsep-konsep filosofis yang rumit. Psikologi psikoanalisis, behaviorisme, asumsi-asumsi Cartesian dan Newtonian yang mekanistik, mendasarkan teori mereka di atas asumsi determinisme ini. Belakangan asumsi ini diruntuhkan oleh penelitian-penelitian mutakhir di bidang Biologi dan Fisika. Sebagai contoh, penelitian Masaru Emoto tentang kristal air yang menyehatkan (air heksagonal) ternyata hanya 42
psikologi, psikoanalisis, yang melihat manusia sebagai makhluk biologis. Perilakunya dianggap didorong tak lain oleh syahwat biologis dan naluri. Bahkan, menurut Freud—pendiri mazhab ini, dalam bukunya, Civilization and its Discontent, manusia bukanlah makhluk yang lemah lembut dan bersahabat, yang ingin menyayangi, dan hanya mempertahankan diri bila diserang... tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif harus diakui sebagai watak manusia yang asli. Akibatnya ialah tetangganya buat mereka bukan hanya calon pembantu atau objek seksual, tetapi juga godaan untuk memenuhi hasrat agresifnya... untuk dirampas hartanya, untuk dihina, untuk disakiti, disiksa, dan dibunuh...44 Perilaku alami manusia itu jahat dan agresif menurut psikoanalisis. Para filsuf lain, pun, banyak yang sependapat dengan Freud. Thomas Hobbes, misalnya, melihat manusia sebagai makhluk yang suka ’memangsa’ manusia lainnya, homo homini lupus. Makanya, untuk mengendalikan tabi’at dasar perilaku ini, hubungan antarmanusia harus diatur dengan konstitusi, hukum yang disepakati bersama. Filsuf Eksistensialis seperti Jean P. Sartre dan Karl Jaspers, psikolog humanis semacam Abraham Maslow dan Carl Rogers, mengkritik asumsi deterministis di atas. Menurut mereka, manusia mempunyai kehendak bebas, free will, untuk menentukan perilakunya. Kepercayaan ini dirumuskan dalam doktrin tiga ”rukun iman” eksistensialisme—seperti diuraikan oleh Morris dalam Existensialism and Education: 1. I am a Choosing Agent, unable to avoid choosing my way through life. 2. I am a free Agent, absolutely free to set the goals of my own life
terbentuk jika manusia memberikan stimuli positif pada air tersebut. Lihat Masaru Emoto, The True Power of Water (Bandung: MQ Publishing, 2006). Penelitian ini menguatkan bahwa secara fisikawi, Tuhan mengatur alam agar manusia memilih, bertanggungjawab, dan menanggung sendiri akibat dari perbuatannya. Implikasinya, asumsi bahwa manusia itu “terpaksa” dalam perbuatannya (determined) adalah salah. Temuan baru di bidang Biologi juga membuktikan bahwa DNA manusia dapat berubah ketika manusia memilih untuk berpikir positif. Artinya, manusia bukan makhluk yang perilakunya dikekang “takdir”. 44 Jalaluddin Rakhmat, “Muthahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama”, dalam Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1989) h. 30-31
3. I am a responsible agent, personally accountable for my free choices as they are revealed in how I live my life.45
Dalam pandangan kebebasan kehendak inilah kata akhlak mengambil peran. Sebab, seorang penjahat mustahil perilakunya disebut jahat bila ia berbuat jahat karena ”dipaksa” oleh takdir. Jika pada dasarnya perilaku manusia tidak bebas, mungkin kelak di depan pintu neraka para penjahat akan protes, ”ya, Allah, mengapa aku harus menanggung dosa atas perbuatan yang tidak aku kehendaki untuk aku perbuat?” Artinya, seharusnya akhlak tidak dipahami sebatas sebagai perbuatan keseharian yang dianggap baik. Tetapi ia harus dimengerti sebagai sebuah pilihan bebas manusia atas perilakunya, bukan perilaku yang dipaksakan lingkungan, bukan pula perilaku yang didasarkan atas naluri (yang deterministis). ”perasaan halus orang tua (seorang ibu) dan kehangatan kasih sayangnya tidak bisa dikatakan sebagai akhlaki. Karena ibu tersebut tidak mempunyai perasaan yang sama terhadap anak tetangganya. Perasaan seperti ini tidak didapat dengan usaha, melainkan anugerah Sang Pencipta Yang Maha Bijak untuk mengatur urusan sosial manusia,” tegas Muthahhari dalam Filsafat Moral Islam.46 Karena itu, tidak semua perilaku baik disebut dengan akhlak. Akhlak hanya berangkat dari kesadaran dan kebebasan. Kemuliaan akhlak tidaklah mungkin terwujud tanpa sebuah pemikiran dan pertimbangan memilih yang sehat. Beberapa contoh akhlak yang mulia menurut Muthahari adalah sebagai berikut:
45
Ibid, h. 34-35 artinya, 1. saya adalah seorang agen memilih, tidak mampu menghindar dari memilih jalan hidupku 2. saya adalah seorang agen yang bebas, sepenuhnya bebas untuk menentukan tujuan hidupku sendiri. 3. saya adalah seorang agen yang bertanggungjawab, secara pribadi bertanggungjawab atas pilihan-pilihan bebas yang terjelma dalam bagaimana saya menjalani hidup saya (pen.) 46 Murtadha Muthahhari, Filsafat Moral Islam (Jakarta: Al-Huda, 2004) h. 44
Tabel 1 Contoh Akhlak Yang Mulia Menurut Murtadha Muthahhari47 No. 1.
Akhlak Yang Mulia Memaafkan
2.
Membalas Budi Baik
3.
Menyayangi Binatang
4.
Peduli Pada Orang lain
Contoh Seseorang memberi maaf kepada orang lain yang sudah menuduh dirinya melakukan suatu perbuatan jahat dan ternyata tak terbukti Seseorang diberikan bantuan. Ia mengingat terus kebaikan orang itu dan membalasnya seumur hidupnya. Seseorang melihat seekor anjing kehausan di padang pasir. Saking hausnya, anjing itu menjilati tanah yang basah. Di situ terdapat sebuah sumur. Hati orang itu tersentuh, dan ia mengambil air dari sumur dan memberikannya kepada anjing itu. (Abu Al-Hasan) Sirri (bin Mughlis) AlSiqthi, salah seorang sufi di Baghdad (w. 245 H), mempunyai sebuah toko di pasar. Suatu hari terjadi kebakaran di pasar itu. Ia panik. Tapi dari orang lain ia ketahui bahwa tokonya tidak terbakar. Kontan ia mengucapkan, alhamdulillah.. tapi justru sejak itu hidupnya tidak tenang. Ia berpikir, memang tokonya tidak terbakar, tapi toko-toko yang lainnya terbakar. Artinya, ucapan ”alhamdulillah”nya berarti ia bersyukur api tidak membakar tokonya, meski membakar toko orang lain. Sejak peristiwa itu, selama 30 tahun ia bertobat atas keegoisannya.
Dari contoh-contoh di atas, nampak jelas bahwa akhlak yang mulia adalah perbuatan yang, seperti dikatakan Muthahhari,48 mengundang pujian pada pelakunya. Mungkin itulah alasan perbuatan itu disebut mulia, karena luar biasa. Di luar naluri. Dalam sebuah riwayat, seorang nenek-nenek biasa menganiaya rasulullah dengan melempari kepalanya dengan kotoran setiap kali melewati rumah sang nenek. Suatu hari rasulullah saw. lewat tapi tak ada yang melemparinya kotoran. Rasulullah 47 48
Ibid. h. 22-26 Ibid. h. 20
bertanya-tanya, ke mana sang nenek gerangan? Dari kabar, diketahui, rupanya sang nenek sakit. Rasulullah, pun, menjenguknya. Sang nenek terkejut, ia dijenguk seseorang yang setiap hari dianiayanya. Kagum akan kemuliaan perilaku sang Nabi, akhirnya nenek itu memeluk Islam. Sampai di sini, telah jelas, bahwa akhlak adalah sebuah perilaku berdasarkan prinsip kebebasan kehendak (free will), bukan berdasarkan naluri atau paksaan (seperti dikemukakan Freud). Jelas pula, bahwa akhlak yang mulia adalah perilaku yang extraordinary, mengagumkan. Karena itu orang yang melakukan perbuatan mulia patut diberikan pujian. Lantas, apakah akhlak yang mulia ini pengertiannya sama dengan perilaku yang islami? Istilah apapun yang dibubuhi suffix ”i” atau ”wi”, dalam bahasa Indonesia, biasanya mengandung makna ”bersifat atau berhubungan dengan”. Orang-orang yang zuhud berprinsip, ”kami harus menjauhi perbuatan-perbuatan duniawi. Artinya, mereka menjauhi perbuatan yang berhubungan dan bersifat keduniaan. Istilah ”islami” maknanya juga demikian. Kata ”islami” merupakan kata yang kerap terdengar ketika umat Islam ingin kembali kepada Islam yang benar. Istilah ini sering digunakan oleh kelompok Islam fundamental49 di Indonesia yang mulai bermunculan sebagai imbas dari pembaruan pemikiran Islam yang digagas Jamaluddin Al-Afghani di berbagai negara, Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1787) di Arab, Muhammad bin Ali Al-Sanusi (w. 1860) di Libya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (1865-1935) di Mesir, atau Muhammad Asad (1900-1992).50 Wahabi (jama’ah Islam yang mengikuti pemikiran
49
Istilah “fundamental” pada asalnya merupakan sebuah konsep untuk menyebut kelompok Kristen penginjil Amerika, yang pada abad ke sembilan belas secara serius mengusahakan pemahaman harfiah dan menerapkan Bibel secara murni. Dan, yang, terutama sebagai ‘Kreasionis’, menolak teori evolusi temuan Darwin yang populer. Lihat Murad W. Hoffman, Menengok Kembali Islam Kita (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) h. 117 50 Ibid.
dan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah kelompok Islam fundamental, tak bedanya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL),51 hanya saja metodologi yang dianut wahabi adalah pemahaman harfiah, literer, sedangkan yang dianut JIL adalah pemahaman rasional, penafsiran, kontekstual. Alhasil, yang disebut perilaku yang Islami oleh Wahabi tidak sama dengan JIL. Bagi Wahabi memakai baju putih adalah sunnah nabi, jadi, Islami, tapi bagi JIL tidak. Itu adalah budaya Arab. Bagi jama’ah Nahdhatul Ulama (NU)52 ziarah ke kuburan wali dan tahlil itu perilaku yang Islami, tapi bagi sebagian modernis itu bid’ah. Karena itu, istilah ”perilaku yang Islami” pada prakteknya—seperti yang nampak dewasa ini—berbeda dengan pengertian akhlak sebagaimana yang diterangkan Muthahhari. Menurut pengertian ini, ”perilaku yang Islami” adalah segala perilaku yang didasarkan atas ajaran Islam, yang bersumber pada Al-Quran dan sunnah rasulullah saw., sedangkan akhlak hanya meliputi perilaku-perilaku yang mulia (karimah), extraordinary, mengagumkan. Akhlak yang mulia sudah pasti Islami, tetapi perilaku yang Islami belum tentu disebut akhlak yang mulia. Makan dengan tangan kanan itu Islami, tetapi bukan akhlak yang mulia. Sahabat nabi yang sedang sekarat, yang mendahulukan orang sekarat lainnya di medan perang, adalah seorang yang memiliki akhlak yang mulia; sudah pasti itu islami. Namun, berbeda dengan Muthahari, Prof. Quraish Shihab, pengarang tafsir AlMishbah, menyebut perilaku Islami semacam itu ”akhlak”—jadi akhlak menurut Shihab tidak terbatas pada perilaku yang mulia dan mengagumkan seperti yang diketengahkan Muthahhari.
51
Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah salah satu kelompok Islam di Indonesia yang menghidupkan kembali pemikiran mu’tazilah pada masa silam. Makanya, mereka kerap disebut neomu’tazilah. JIL tidak identik dengan pemikir-pemikir liberal Islam yang lain, seperti Cak Nur, Jalaluddin Rakhmat, dan sebagainya. Tetapi secara metodologis sama: rasional dan kontekstual (pen.). 52 Nahdhatul Ulama adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, basisnya di Jawa Timur. Pendirinya K.H. Hasyim Asy’ari.
Shihab membagi membagi akhlak ke dalam tiga bagian: Akhlak terhadap Allah, Akhlak terhadap sesama manusia, dan Akhlak terhadap lingkungan.53 Akhlak terhadap Allah dapat berwujud sikap keyakinan untuk menjadikan Allah sebagai satusatunya pelindung, wakil, yang Esa dan Suci. Akhlak terhadap sesama manusia dapat berwujud perilaku meminta izin sebelum memasuki rumah orang lain atau mengorbankan diri sendiri untuk kebahagiaan orang lain. Sedangkan Akhlak terhadap lingkungan dapat berwujud perilaku menyayangi binatang, tumbuhan, dan menjaga kebersihan. Namun pastinya, baik pengertian akhlak menurut Muthahhari maupun menurut Shihab, keduanya masuk ke dalam pengertian ”perilaku yang Islami”. Artinya, akhlak adalah perilaku yang Islami, karena bagaimanapun, akhlak didasarkan atas ajaran-ajaran Islam. Betapapun perbedaan cara dalam memahami sumber-sumber hukum Islam, semua kelompok agama ingin kembali kepada ajaran Islam yang benar dan murni. Keyakinan ini didasarkan atas kepercayaan absolut bahwa Al-Quran itu adalah firman Allah, tidak mungkin keliru, apalagi menyesatkan. Keyakinan itu mustahil membahayakan, sebab pada dasarnya, ”jika diperas dan dicari intisarinya, maka tujuan-tujuan utama syari’at adalah ’kemaslahatan’”54. Apa yang diajarkan Islam pasti ada manfaatnya bagi manusia, sekalipun belum dipahami. Contoh kecil, dahulu mungkin orang-orang melihat larangan memakan daging babi secara dogmatis. Tapi kini, dengan berkembangnya zoologi dan biologi, akhirnya mereka tahu bahwa daging babi mengandung cacing pita yang membahayakan. Larangan yang dahulu dogmatis kini menjadi rasional. 53 54
Shihab, op.cit. h. 261-272 Mun’im A. Sirry (ed.), Fikih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004) h. 10
E.
Efek Psikologis Jilbab terhadap Perilaku
Mengutip Kefgen dan Touchie-Specht, psikolog sosial, Jalaluddin Rakhmat menulis tentang tiga fungsi busana muslimah. Busana mempunyai tiga fungsi (1) diferensiasi, (2) perilaku, (3) emosi. Dengan busana, orang membedakan dirinya, kelompoknya, atau golongannya dari orang lain… busana muslimah memberikan identitas keislaman, dengan itu, seorang muslimah membedakan dirinya dari kelompok wanita lain… busana muslimah mendorong pemakainya untuk berperilaku yang sesuai dengan citra diri muslimah… busana muslimah—lebih-lebih kalau dipakai secara massal—akan mendorong emosi keagamaan yang konstruktif.55 Busana yang menjadi simbol wanita Islam adalah jilbab. Dalam kerangka fungsional di atas, maka jilbab memiliki fungsi diferensiasi, perilaku, dan emosi. Jilbab membedakan seorang muslimah dari wanita lainnya. Ia menjadi semacam identitas untuk dikenali. Menurut Prof. Quraish Shihab, salah satu fungsi pakaian adalah perlindungan (taqwa). Menurutnya, pakaian mampu memberikan pengaruh psikologis bagi pemakainya. Lanjutnya,
“…Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan, Kemal Ataturk di Turki melarang pemakaian Tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya, pun, demikian. Kaum sufi sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.56
55 56
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1986) h. 56 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1998) h. 169
Pengaruh pakaian secara psikologis memang diakui dalam psikologi sosial. Dan menurut Quraish Shihab, pengaruh inilah yang merupakan salah satu dari tujuan Islam memerintahkan kaum wanitanya mengenakan jilbab. Lebih jauh beliau berkomentar: Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus menceganya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.”57
Pendapat profesor lulusan Al-Azhar Mesir itu didasarkan atas Al-Quran surat Al-A’raf (7): 26 yang menjelaskan dua fungsi pakaian: “Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling baik”58
57 58
Ibid Ibid. h. 159
BAB III SEKILAS TENTANG PESANTREN MADINATUNNJAH
A.
Sejarah Berdirinya Pesantren Madinatunnajah Pesatren Madinatunnjah didrikan oleh K.H Mahrus Amin. Beliau juga
merupakan salah satu pendiri pondok pesantren Daarunnajah. Semangat berdakwah ini nampak pula dalam upaya beliau dalam mengembangkan dan membina sebuah pondok pesantren ditempat kelahirnnya yaitu Kalimukti, Cileduk, Cirebon. Keinginan mendirikan sebuah pondok pesantren seperti Madinatunnjah ini baru terwujudkan pada tahaun 1989. Madinatunnajah berdiri dengan berbagai fasilitas, disiplin, dan sistemnya yang modern. Pesantren ini terus berkembang. Luas tanah Pesantren Madinatunnajah semakin berkembang, dengan upaya cucuran keringat yang tidak sedikit. Pada awalnya, pesantren ini hanya dibangun di atas sebidang tanah seluas 300 meter persegi, peninggalan orang tuanya. Namun kemudian, tanah tersebut diperluas menjadi lebih dari 2 hektar. Lokasinya cukup strategis, terletak di antara dua kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) dan Bintaro Jaya. Pengembangan lahan ini memang teramat penting, terutama untuk dunia pendidikan, di mana sistem pendidikan modern saat ini semakin mensyaratkan adanya fasilatas tempat yang memadai. Hal ini memang amat disadari oleh Kyai Mahrus Amin. Karena itu, beliau ingin mengembangkan semacam pesantren dengan kekhususan yang memberi nilai tambah kepada santri atau pesantren itu sendiri, dan Madinatunnjah yang berlokasi di desa jombang, Ciputat, Tangerang, Banten ini 35
adalah implementasinya, sebuah pesantren yang bernilai tambah bagi dunia pendidikan anak.59 Menurut pimpinan umum K.H Mahrus Amin dan pimpinan harian Drs. K.H Muhammad Agus Abdul Ghofur, M.Pd, nama Madinatunnajah mengandung filosofi dan makna yang tinggi, yang diambil dari dua kata dalam Bahasa Arab yaitu madinah yang berarti ”negri” atau
”kota”60 dan an-ajah yang berarti ”keberhasilan” atau
”kesuksesan.”61 jadi bisa digabungkan mejadi ”kota keberhasilan” atau ”kota kesuksesan ”62 Dengan kata lain, Madinatunnajah merupakan sebuah pesantren yang diharapkan menjadi kota keberhasilan bagi para penuntut ilmu, yang akan melahirkan kader-kader ummat yang tangguh dan berintelektual tinggi, sehingga mampu berkiprah di tengah masyarakat, sesuai dengan motto pondok pesantren itu sendiri yaitu Berakhlak Mulia, Berwawasan Cendikia dan Berbudaya Madina63 Menurut pimpinan umum Pesantren Madinatunnajah, salah satu faktor yang melatar belakangi berdirinya pesantren ini adalah keprihatinan dan kepedulian beliau dengan kondisi masyarakat setempat di mana gereja didirikan sementara kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakat banyak sekali yang bertentangan dengan syari’at islam, seperti minum-minman, judi, dan hibur-hiburan yang kurang medidik generasi mudanya. Beliau ingin merubah masa depan desa ini mejadi masyarakat yang mengenal agama islam, mengenal ilmu pengetahuan dan mencegah usaha kristenisasi melalui didirikannya pesantren madinatunnjah .64 59
Mahrus Amin , dakwah melalui pondok pesantren pengalaman merintis dan membangun darunnjah jakarta (jakarta: group dana ,2008) h.81-82 60 Mahmud yunus, kamus arab-indonesia .(jakarta: PT.Hidayah Agung 1989),h.414 61 Ibid. 62 Amin, op.cit, h. 17 63 Agus Abdul Ghofur (pimpinan harian pesantren madinatunnajh ), Wawancara pribadi, (Pesantren Madinatunnajah, 20 Juni 2008) 64 Mahrus Amin (pimpinan umum pesantren madinaunnajah ), wawancara pribadi, (Pesantren Madinatunnajah ,15 Juni 2008 )
Pondok pesantren Madinatunnajah berada di bawah naungan yayasan pendidikan dan wakaf Islamiyah, An-Najah, yang mempunyai visi rabbi zidni ilman yang berarti, ”ya, Allah, tambahkanlah aku karunia ilmu-Mu”. berawal dari visi itulah dikembangkan intergrated educational system dari jenjang pendidkan dasar sampai pendidikan tinggi. Untuk itu, Madinatunnajah menempatkan dirinya sebagai Islamic Boarding School. Dengan sistem boarding diharapkan pendidikan anak didik dapat dikontrol dengan sedemikian rupa dan pengawasan dapat dilakukan secara langsung. Selain itu, untuk memberikan pendidikan yang komprehensif, maka dikembangkan program pembinaan mental dan disipln seperti latihan pidato, kepramukaan, kemampuan berbahasa arab dan inggris, bimbingan ibadah, olahraga, serta kesenian. Untuk itu, dirumuskan misi pesantren ini:
1. menyiapkan kader-kader calon pemimpin umat dan bangsa yang bertaqwa, cerdas,kuat,terampil dan ulet . 2. menjadikan Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai keunggulan kompetitif dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.65
B.
Disiplin Berpakaian di Pesantren Madinatunnajah
Madintunnajah adalah sebuah lembaga pendidikan sistem pondok pesantren (boarding school). Maka seperti pada umumnya pondok pesantren yang lain, siswa atau santri berada dalam pengawasan guru atau pendidik selama 24 jam. Untuk mengarahkan dan membimbing mereka disusunlah tata tertib pesantren yang harus ditaati oleh setiap santrinya. 65
http://madinatunnajah.com Diakses pada 17 juni 2008
Dalam hal berpakaian, santri Madinatunnajah dikondisikan untuk memakai pakaian yang tidak bertentangan dengan agama, tidak menimbulkan kesombongan, tidak menyulut perbedaan kelas sosial, dan sebagainya. Pakaian di Pondok Pesantren Madinatunnajah dapat dikelompokkan menurut fungsinya sebagai berikut: 1. Penutup Kepala 2. Penutup Atas 3. Penutup Bawah 4. Perhiasan Tabel 2 Jenis Pakaian Santri Pesantren Madinatunnajah No.
Pakaian
Laki-laki
Perempuan
1.
Penutup Kepala
Peci Hitam
Jilbab, Bergo
2.
Penutup Atas
Kemeja
Kemeja
Kaos
Kaos
Baju Koko
Blus/ Daster
Piama
Piama
Jas Almamater
Jas Almamater
Celana bahan
Celana Bahan
Celana Training
Celana Training
Sarung shalat
Sarung
3.
Penutup Bawah
shalat/
Mukena 4.
Perhiasan Yang
Jam Tangan
Jam Tangan
Diperbolehkan
Mereka tidak diperkenankan membuat seragam selain seragam sekolah, olah raga, almamater. Mereka juga tidak diperkenankan menggunakan atribut atau pakaian militer dan kepolosian. Celana jeans dan perhiasan seperti cincin emas, gelang,
kalung, juga dilarang dikenakan, sebab hal-hal tersebut dapat memicu kesombongan dan terjadinya kelas-kelas sosial. Demikian juga aksesoris lainnya yang berlebihan. Hal ini menunjukan pendidikan yang demikian mendidik kesederhanaan. Adapun untuk santri wanita peraturan tersebut lebih diperhatikan. Mereka di wajibkan berpakaian secara sopan : berkerudung yang rapi. Mereka juga tidak diperkanakan
memakai
pakaian
ketat,
sobek,
terbalik,
melebihi
pinggul,
transparan,bergambar, bertulis seronok, berkantong besar, atau terlalu panjang sehangga menyapu lantai- seperti halnya yang biasa dilihat pada wanita-wanita luar.
BAB IV HUBUNGAN ANTARA PEMAKAIAN JILBAB DAN PERILAKU ISLAMI
A.
Temuan dan Pengolahan Data Hubungan antara simbol agama dengan perilaku pemeluk agama itu
sebetulnya merupakan masalah yang sudah dibicarakan sejak lama. Namun secara khusus riset mengenai jilbab dan perilaku pemeluknya masih mengundang pertanyaan. Untuk penelitian ini sebetulnya penelitian ini dilaksanakan. Semua santriwati di Pesantren Madinatunnaah mengenakan jilbab. Di lembaga pendidikan Islam tersebut memakai jilbab menjadi sebuah keharusan bagi setiap santriwati, di mana hal ini didasarkan atas perintah dalam Al-Quran surat AlAhzab:59 dan An-Nur: 31. Berdasarkan angket yang diberikan kepada 50 santriwati pesantren tersebut— yang berisi 42 butir pertanyaan, maka ditemukan bahwa skor perilaku islami santriwati Pesantren Madinatunnajah adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Skor Perilaku Islami Santriwati Pesantren Madinatunnajah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 40 13
Skor 119 90 125 87 107 89 89 88 108 89 93 122 120
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 50
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 50
116 86 87 90 88 80 118 89 90 127 121 90 90 126 88 128 81 88 93 101 108 87 87 82 89 108 82 99 126 118 83 121 88 88 89 89 108
Rincian jawabannya sebagai berikut: Tabel 4 Saya merasa Allah senantiasa memperhatikan dan mengawasi perbuatan saya Derajat
Frekuensi
Persentase
Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
3 19 28 50
6% 38% 56% 100 %
Merasa diawasi oleh Allah merupakan indicator keimanan yang tinggi da merupakan perilaku Islami yang penting. Berdasarkan jumlah di atas, nampak bahwa santriwati Madinatunnajah yang sering merasa diperhatikan dan diawasi oleh Allah perbuatannya berjumlah 56 persen. Angka ini termasuk besar dibandingkan dengan angka santriwati yang tidak merasakan hal tersebut. Tabel 5 Kalau ada masalah saya mengadu kepada Allah dengan shalat, berdoa, dsb. Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 8 25 2 15 50
Persentase 16% 50% 4% 30% 100 %
Berdasarkan data di atas, nampak bahwa frekuensi santriwati yang mengadu kepada Allah dengan shalat dan berdoa ketika mereka ditimpa masalah, musibah, dsb., adalah berjumlah 50 persen. Angka selalu mencapai 30 persen.
Tabel 6 Ketika Mendapat Rizki saya mengucapkan "Al-hamdulillah" Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu
Frekuensi 10 31 9
Persentase 20% 62% 18%
N
50
100 %
Mengucapkan Al-Hamdulillah merupakan perilaku Islami yang bersifat lahiriah.
Namun perbuatan lahir
tentunya
mencerminkan perbuatan batin.
Sebagaimana pepatah mengatakan, "teko menumpahkan isinya". Berdasarkan data di atas ditemukan bahwa santriwati Madinatunnajah sebagian besar (62%) mengucapkan "Al-hamdulillah" ketika mendapatkan rizki. Tabel 7 Ketika melihat kebesaran Allah, seperti gunung, laut, menonton keajaiban Allah di TV, hati saya tersentuh dan seraya mengucapkan pujian kepada Allah Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 30 15 5 50
Persentase 60% 30% 10% 100 %
Perilaku Islami tidak terbatas pada perbuatan fisik seorang muslim, tetapi juga meliputi perbuatan dan sikap hati yang condong kepada keimanan kepada Allah. Dari data di atas, nampak bahwa santriwati Pesantren Madinatunnajah ”Kadang-Kadang” merasakan getaran hati ketika melihat atau menyaksikan kebesaran Allah. Berdasarkan data di atas nampak bahwa rasa untuk membesarkan dan memuji Allah (ketika melihat kebesarannya) pada santriwati Madinatunnajah tergolong besar, mencapai angka 60 persen.
Tabel 8 Saya melaksanakan sholat 5 Waktu (kecuali ketika berhalangan) Derajat Tidak Pernah Pernah
Frekuensi -
Persentase -
Kadang-Kadang Sering Selalu N
2 48 50
4% 96% 100 %
Sholat 5 waktu merupakan tiang agama, karena itu, tanpa sholat 5 waktu maka agama ini akan mundur. 96 persen santriwati Madinatunnajah melaksanakan sholat 5 waktu. Sekalipun faktor disiplin pesantren mungkin menjadi pendorongnya, namun sedikit banyak kebiasaan ini dapat menjadi karakter yang pada diri santriwati tersebut. Pepatah Inggris menyebutkan, "Watch your habits, they'll become your character" (Awasi kebiasaanmu, karena itu bisa menjadi karaktermu). Tabel 9 Saya Berpuasa pada bulan Ramadhan Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 39 11 50
Persentase 78% 22% 100 %
Puasa Ramadhan merupakan salah satu indikator perilaku Islami (ibadah ritual). Dari data di atas, nampak bahwa sebagian besar santriwati Pesantren Madinatnnajah melakukan puasa pada bulan Ramadhan.
Tabel 10 Saya Mengajak Adik, Teman dll. untuk Berpuasa Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 15 17 18 50
Persentase 30% 34% 36% 100 %
Bukan hanya puasa yang dapat dijadikan indikator perilaku Islami, tetapi juga mengajak orang lain untuk berpuasa. Ini disebut dakwah. Dari data di atas, nampak bahwa persentase mengajak berpuasa rata-rata sebesar 30 persen dari tingkat ”kadangkadang” sampai tingkat ”selalu”. Tabel 11 Saya Menyiram tanaman yang ada di sekitar saya Derajat Frekuensi Persentase Tidak Pernah 2 4% Pernah 5 10% Kadang-Kadang 42 84% Sering 1 2% Selalu N 50 100 % Menyiram tanaman adalah bagian dari perilaku Islami, sebab tanaman adalah juga merupakan ciptaan Tuhan. Di pondok pesantren tanaman hijau banyak yang tumbuh, menjadi hiasan atau tumbuh liar. Namun dari data di atas, nampak bahwa sebagian besar santriwati (84%) menyiram tanaman hanya ”kadang-kadang”, bahkan 10 % dari mereka ”pernah”, tak ada yang selalu menyiram tanaman.
Tabel 12 Saya MenjagaTanaman Tetap Hidup (Tidak Memetik Daunnya dan Tidak Mencabut Akarnya) Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 11 33 6 50
Persentase 22% 66% 12% 100 %
Memetik daun atau mencabut tanaman tanpa manfaat yang ingin diambil adalah perbuatan yang sia-sia. Bagian dari perilaku Islami adalah merawat tanaman agar tetap terpelihara. Dari data di atas, nampak bahwa seringkali (66%) santriwati pesantren Madinatunnajah dapat menjaga diri dari melakukan perbuatan sisa-sia tersebut. Namun sebesar 22 persen, kadang-kadang, mereka melakukannya.
Tabel 13 Saya Memberi Makan/ Minum Binatang di Sekitar Saya ( Kucing, ayam, dll.) Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 2 20 25 3
Persentase 4% 40% 50% 6%
50
100 %
Binatang yang dapat dipelihara adalah ciptaan Tuhan yang mesti disayangi dan banyak hadis yang telah menyebutkan keutamaan menyayangi bintangan, bahkan anjing yang dianggap najis. Karena itu, menyayangi binatang dengan memberinya makan adalah salah satu dari perilaku Islami. Dari data di atas nampak bahwa kadang-kadang (50 %) santriwati Pesantren Madinatunnajah memberi makan/ minum binatang di sekitar mereka, tapi 4 persen dari mereka tidak pernah melakukan itu.
Tabel 14 Saya Masuk Kamar Orang Lain dengan Mengucapkan Salam Derajat
Frekuensi
Persentase
Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
9 40 1 50
18 % 80% 2% 100 %
Mengucapkan salam sebelum memasuki kamar orang lain adalah salah satu sopan santun. Dari data di atas nampak bahwa seringkali santriwati Pesantren Madinatunnajah seringkali (80%) memasuki kamar orang lain dengan mengucapkan salam. Tabel 15 Saya Memutar Keran Sedikit Untuk Menghemat Air Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 12 32 6 50
Persentase 24% 64% 12% 100 %
Menghemat air adalah salah satu perilaku Islami yang banyak membawa manfaat bagi lingkungan. Apalagi, mengingat air saat ini tengah mengalami krisis, baik dalam hal kuantitasnya maupun tingkat kebersihannya. Karena itu, menggunakan keran dengan memutarnya tidak sampai full (sedikit) adalah salah satu upaya untuk menghemat air. Berdasarkan data di atas, nampak bahwa santriwati Pesantren Madinatunnajah menghemat air hanya sampai pada tingkat ”kadang-kadang”. 12 % selalu, dan 24 % pernah. Tabel 16 Saya Berdoa Sebelum Makan/ Minum Derajat Tidak Pernah
Frekuensi
Persentase
Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
8 15 17 10 50
16% 30% 34% 20% 100 %
Berdasarkan data di atas nampak bahwa santriwati Pesantren Madinatunnajah membaca doa sebelum makan/ minum pada tingkat ”kadang-kadang” (30%), pada tingkat ”Sering” (34%) dan ”selalu” (34%). Tak ada yang tidak pernah berdoa. Hanya saja persentase yang jarang (pernah) mencapai 16%.
Tabel 17 Saya Mencuci Baju-Baju Kotor Saya Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 41 9 50
Persentase 82% 18% 100 %
Menjaga kebersihan adalah sebagian daripada Iman. Oleh karena itu, menjaga kebersihan pakaian adalah salah satu perilaku Islami yang penting. Berdasarkan data di atas nampak bahwa santriwati Pesantren Madinatunnajah mencuci baju-baju kotor mereka agar bersih pada tingkat yang cukup sering (82%).
Tabel 18 Saya Mengunci Lemari Saya Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 1 2 47 50
Persentase 2% 4% 94 % 100 %
Menjaga harta peribadi adalah salah satu bentuk tanggung-jawab yang diajarkan dalam Islam. Karena itu, mengunci lemari merupakan salah satu bentuk perilaku Islami yang banyak membawa manfaat. Berdasarkan data di atas, nampak bahwa sebagian besar siswi Pesantren Madinatunnajah selalu mengunci lemarinya.
Tabel 19 Saya Menjaga Tembok Agar Tetap Bersih (Tidak Mencorat-Coret) Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 19 12 15 4
Persentase 38% 24% 30% 8%
50
100 %
Menjaga keindahan adalah salah satu perilaku Islami yang penting. Berdasarkan data di atas nampak bahwa tidak terdapat angka yang mencolok antara yang tidak pernah mencorat-coret tembok, yang jarang melakukannya, dan kadangkadang melakukannya. Namun demikian 4 % di antara mereka sering mencorat-coret tembok.
Tabel 20 Saya Memungut Sampah Yang Saya Temukan di Jalan Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 32 7 11 50
Persentase 64% 14% 22% 100 %
Berdasarkan data di atas nampak bahwa tidak banyak santriwati yang memungut sampah yang mereka temukan di jalan. Frekuensi ”tidak pernah” mencapai 64%. Tabel 21 Saya Memberikan Sedekah Kepada Pengemis Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 2 37 6 5 50
Persentase 4% 74% 12% 10% 100 %
Dari data di atas nampak bahwa ”kadang-kadang” santriwati Pesantren Madinatunnajah memberikan sedekah kepada pengemis (74%).
Tabel 22 Hati Saya Tersentuh Ingin Membantu Pengemis dan Orang-Orang Terlantar di Jalan Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 10 33 7 50
Persentase 20% 66% 14% 100 %
Rasa Empati kepada orang yang susah hidup adalah awal dari beramal baik. Karena itu empati untuk membantu mereka adalah perilaku Islami. Berdasarkan data di atas nampak bahwa 66 persen santriwati berempati kepada orang miskin dan ingin membantu mereka.
Tabel 23
Saya Mengucapkan ”bismillah” Sebelum dan/ atau Sesudah Melakukan Kegiatan Saya Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 36 5 9 50
Persentase 72% 10% 18% 100 %
Berdoa sebelum melakukan kegiatan merupakan sebuah perilaku Islami. Berdasarkan data di atas nampak bahwa santriwati Pesantren Madinatunnajah mengucapkan bismillah sebelum dan/ atau sesudah melakukan kegiatan mereka pada tingkat ”kadang-kadang” (72%).
Tabel 24 Saya Mengangkat Kedua Tangan Saya Ketika Berdoa Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 50 50
Persentase 100% 100 %
Mengangkat kedua tangan adalah salah satu adab lahir dalam berdoa, karena itu ia disebut perilaku Islami. Berdasarkan data di atas nampak bahwa tak seorangpun di antara santriwati Pesantren Madinatunnajah yang tidak mengangkat kedua tangannya di saat berdoa. Seluruhnya melakukan itu (100 %). Tabel 25 Saya Menjalankan Perintah Orang Tua Saya Sekalipun Sedang Sibuk dengan Pekerjaan Saya Derajat Tidak Pernah
Frekuensi -
Persentase -
Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
11 29 4 6 50
22% 58% 8% 12% 100 %
Mendahulukan orang tua di atas kesibukan pribadi adalah salah satu kemuliaan yang disebut itsar (altruisme). Dari data di atas nampak bahwa kadangkadang (58%) santriwati Pesantren Madinatunnajah menjalankan perintah orang tua di atas kesibukan pribadi mereka.
Tabel 26 Terdektik dalam pikiran ingin membahagiakan orang tua saya jika kelak menjadi orang sukses
Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 4 12 34 50
Persentase 8% 24% 68% 100 %
Berbakti pada orang tua bukan saja dilakukan hari ini (tabel 24) tapi juga pada hari esok. Sebagian besar santriwati ingin membahagiakan orang tua mereka (68%)
Tabel 27 Saya menjawab soal-soal ujian dengan kemampuan saya sendiri, tidak menyontek. Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 9 11 30 50
Persentase 18% 22% 60% 100 %
Berbakti kepada guru dapat diwujudkan dengan berlaku jujur saat ujian. Dan perbuatan tersebut merupakan perilaku Islami yang diajarkan Allah. Berdasarkan data di atas, nampak bahwa 60 persen santriwati tidak menyontek dalam ujian.
Tabel 28 Saya mencium tangan guru Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 5 35 4 6 50
Persentase 10% 70% 8% 12% 100 %
Mencium tangan guru merupakan tradisi yang baik dan mencerminkan penghormatan pada seorang yang diberikan amanah oleh Allah untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Karena itu mencium tangan guru merupakan perilaku Islami. Dan berdasarkan data di atas, nampak bahwa kadang-kadang santriwati Pesantren Madinatunnajah mencium tangan gurunya (35%). Tabel 29 Saya menepati janji pada teman setiap kali berjanji Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 3 20 27 50
Persentase 6% 40 % 54 % 100 %
Menepati janji dengan teman merupakan perilaku mulia yang diajarkan dalam Al-Quran dan karenanya merupakan perilaku Islami. Berdasarkan data di atas, setengah dari santriwati (54%) menepati janji mereka.
Tabel 30 Saya memaafkan orang yang sudah menyakiti saya Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 6 2 5 37 50
Persentase 12% 4% 10% 54% 100 %
Memaafkan orang lain merupakan perilaku yang diajarkan dalam Al-Quran dan merupakan ciri orang yang bertakwa. Berdasarkan data di atas, nampak bahwa angka santriwati yang mampu memaafkan orang yang menyakiti diri mereka terbilang tinggi, mencapai 50 %. Namun ada pula, 12 % yang tidak pernah memaafkan orang yang telah menyakiti hati mereka. Tabel 31 Kalau Mudhif, saya mengajak teman-teman saya makan bersama Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering Selalu N
Frekuensi 4 36 10 50
Persentase 8% 72% 20% 100 %
Berbagi makanan di pesantren merupakan perilaku Islami yang mencerminkan kebersamaan dan solidaritas. Berdasarkan data di atas, nampak bahwa angka 72 persen cukup tinggi untuk menggambarkan solidaritas santriwati Madinatunnajah. Tabel 32 Saya menjenguk setiap kali teman saya sakit Derajat Tidak Pernah Pernah Kadang-Kadang Sering
Frekuensi 22 20
Persentase 44% 40%
Selalu N
8 50
16% 100 %
Menjenguk orang sakit merupakan salah satu hak muslim yang menjadi kewajiban muslim lain untuk memenuhinya, karena itu menjenguk teman yang sakit merupakan perilaku Islami yang sangat mulia. Berdasarkan data di atas, nampak bahwa sebagian santriwati Madinatunnajah menjenguk temannya yang sakit dan sebagian lainnya kadang-kadang. Adapun nilai pemakaian jilbab adalah sebagai berikut: Tabel 33 Skor Pemakaian Jilbab
Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
X 80 73 85 73 77 73 81 70 85 78 81 83 81 76 86 76 74 82 76 74 83 82 82 83 83 74 87
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 Jumlah
75 83 69 75 74 75 86 71 71 82 90 86 74 79 87 73 72 78 83 76 82 84 88 3951
Nilai tersebut diperoleh berdasarkan skoring angket yang diberikan kepada santriwati dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pemakaian jilbab. Skor tinggi diberikan ketika motivasi berjilbab santriwati semakin intrinsik (faktor dalam) dan nilai berjilbab semakin rendah ketika motivasi berjilbab semakin mendekati motivasi ekstrinsik (faktor luar). Berdasarkan tabel di atas, maka untuk mencari nilai korelasi antara pemakaian jilbab dengan perilaku Islami, maka akan digunakan rumus product moment (r) pearson, dan terlebih dahulu, akan dilakukan analisis korelasional antara kedua variabel tersebut dengan tabel sebagai berikut: Tabel 34 Analisis Korelasi Variabel Pemakaian Jilbab (x) dan Variabel Perilaku Islami Subjek
X
Y
X2
Y2
XY
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
80 73 85 73 77 73 81 70 85 78 81 83 81 76 86 76 74 82 76 74 83 82 82 83 83 74 87 75 83 69 75 74 75 86 71 71 82 90 86 74 79 87 73 72 78 83 76 82
119 90 125 87 107 89 89 88 108 89 93 122 120 116 86 87 90 88 80 118 89 90 127 121 90 90 126 88 128 81 88 93 101 108 87 87 82 89 108 82 99 126 118 83 121 88 88 89
6400 5329 7225 5329 5929 5329 6561 4900 7225 6084 6561 6889 6561 5776 7396 5776 5476 6724 5776 5476 6889 6724 6724 6889 6889 5476 7569 5625 6889 4761 5625 5476 5625 7396 5041 5041 6724 8100 7396 5476 6241 7569 5329 5184 6084 6889 5776 6724
49 36 64 36 49 36 36 36 49 36 49 64 49 49 36 36 36 36 36 49 36 36 64 64 36 36 64 36 64 36 36 49 49 49 36 36 36 36 64 36 36 64 49 36 64 36 36 36
560 438 680 438 539 438 486 420 595 468 567 664 567 532 516 456 444 492 456 518 498 492 656 664 498 444 696 450 664 414 450 518 525 602 426 426 492 540 688 444 474 696 511 432 624 498 456 492
49 50 Jumlah
84 88 3951
89 108 4955
7056 7744 313653
36 49 2208
504 616 26164
Berdasarkan analisis di atas, maka digunakanlah rumus product moment (r) pearson berikut: N xy- ( x) ( x) (N∑x2-{x}2) (N∑y2-{y}) Dengan rumus tersebut, dengan melakukan perkalian silang antara variable x dan y, maka diperoleh hasil nilai korelasi sebesar 0,51 (teknis perhitungan terlampir). B.
Interpretasi Data Angka 0,51 berdasarkan tabel korelasi (terlampir), tergolong cukup signifikan.
Angka tersebut berada pada rentang 0,41-0,70. ini artinya, terdapat hubungan linear yang dapat dipercaya antara pemakaian jilbab dengan perilaku Islami. Cukup signifikan artinya mempunyai pengaruh, meskipun tidak banyak. Sumbangan pengaruh tersebut berada pada derajat 51 persen. Santriwati Madinatunnajah mungkin melakukan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam, namun menurut penelitian ini, hal tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh jilbab. Penelitian ini hanya membuktikan bahwa secara statistik, dorongan itu menyumbang cukup besar namun faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terwujudnya perilaku Islami masih banyak kemungkinannya. Menurut penelitian ini, jilbab bukanlah faktor perilaku Islami. Dengan menggunakan metode korelasional, penelitian ini hanya melihat bahwa tingginya angka pemakaian jilbab, yang ditandai dengan semakin tingginya motivasi memakai jilbab secara intrinsik, diikuti dengan cukup tingginya angka perilaku Islami, sehingga bisa dikatakan terdapat hubungan linear. Dalam istilah lain dapat dikatakan bahwa jilbab berkorelasi positif dengan perilaku Islami.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal : 1.
Tingginya intensitas pemakaian jilbab di Pesantren Madinatunnajah diikuti dengan cukup tingginya intensitas santriwati di pesantren tersebut dalam melakukan ibadah ritual dan sosial.
2.
Nilai hubungan antara pemakaian jilbab dengan perilaku islami sebesar 0,51. Artinya, sebesar 51 % dorongan jilbab pada terwujudnya perilaku yang islami dan itu cukup signifikan.
3.
Karena nilai hubungan antara pemakaian jilbab bersifat cukup signifikan, maka artinya banyak pula faktor-faktor lain yang mendorong terwujudnya perilaku Islami. Jilbab salah satu di antaranya saja.
B.
Saran 1. Pemakaian jilbab dapat dianjurkan kepada anak-anak perempuan mislimah sejak dini. Sedikit atau
banyak,
jilbab berpengaruh
memberikan identitas kepada pemakainya. 2. Penelitian ini agar tidak dilihat sebagai rasionalisasi agama dengan ilmu pengetahuan-betapapun keduanya mempunyai tujuan yang sama. Sebab, dikuatirkan ketiadaan dukungan ilmu pengetahuan malah justru mengikiskan keimanan. 62
terhadap agama
DAFTAR PUSTAKA
Abdallati, Hammudah. Islam
in
Focus. One
Seeking
God’s Mercy, tp, tt
Amin, Mahrus. Dakwah melalui Pondok Pesantren: Pengalaman Merintis dan Membangun Daarunnajah Jakarta. Jakarta: Group Dana, 2008 Carrel, Alexis. Misteri Manusia. Bandung: Remadja Karya CV
Hamka,
Tafsir
Al-Azhar. Jakarta:
Panjimas, tt
Hakeem, Ali Hosein et.al. Membela Perempua: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. Jakarta: Al-Huda, 2005 Hamudah Abdalati, Islam in Focus. Riyadh: One Seeking Mercy of Allah, tt
Khan, Maulana Wahiduddin. Woman in Islamic Shari’ah. New Delhi: Al-Risala Books, 1995 Muthahari, Murtadha.
Hijab. Jakarta:
Wanita dan
Penerbit Lentera,
2003
---------------------------- Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam. Bandung: Mizan, 1995 Martin, H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1996 Masaru Emoto,
The True Power of Water. Bandung: MQ Publishing, 2006
Muthahhari, Murtadha. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama Bandung: Mizan, 1989 --------------------------- Filsafat
Moral
Islam: Kritik Atas Filsafat Materialisme.
Jakarta: Al-Huda, 2004 Murad W. Hoffman, Menengok Kembali Islam Kita Bandung: Pustaka Hidayah, 2002 Mun’im A. Sirry (ed.), Fikih Lintas Agama Jakarta: Paramadina, 2004 Noor, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3S, 1988
Shihab,
Rakhmat,
Quraish.
Wawasan
Jalaluddin.
Al-Quran.
Islam Alternatif.
Bandung:
Mizan,
1998
Bandung:
Mizan,
1986
------------------------- Psikologi Komunikasi Bandung: Rosdakarya, 2002 ------------------------- Islam Alternatif
Bandung:
Mizan,
1986
-------------------------Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remadja Rosdakarya, 1984 Suralaya, Fadhilah dan Eri Rossatria (ed.) Perempuan: Dari Mitos ke Realitas. Jakarta: PSW UIN Jakarta dan McGill-I, 2002
Internet http://www.mualaf.com/islam-is-not-the-enemy/Dunia%20Islam/34Dunia%20 Islam/5527-menggoyang-rancangan-uu-hijab-di-italia di-download pada 17 Agustus 2008 M http://www.mualaf.com/islam-is-not-the-enemy/Dunia%20Islam/34Dunia%20Islam/5527-menggoyang-rancangan-uu-hijab-di-italia di-download pada 17 Agustus 2008 M
Majalah Majalah Hidayatullah, edisi September 2004
BERITA WAWANCARA
Hari/ Tanggal
: Kamis, 10 April 2008 M
Nara Sumber
: K.H. Muhammad Agus Abdul Ghoffur, M.Pd
Jabatan
: Pimpinan Harian Pesantren Madinatunnajah
Pokok Wawancara
: Sejarah Berdirinya Pesantren Madinatunnajah Misi dan Visi Pesantren Madinatunnajah Disiplin Berpakaian di Pesantren Madinatunnajah Alasan Berdirinya Pesantren Madinatunnajah Nama Pesantren Madinatunnajah
Hasil Wawancara
•
Pesantren Madinatunajah berdiri pada tanggal 14 Februari 1997 oleh Drs. K.H. Mahrus Amin di atas lahan seluas 2,5 Ha, Jombang Kec. Ciputat, Kab. Tangerang, Propinsi Banten.
•
Visi Pesantren Madinatunnajah dapat disimpulkan dalam sebuah doa yang terkenal: ”Robbi Zidni Ilma” (Tuhanku, tambahkanlah ilmuku)
•
Misi Pesantren Madinatunnajah adalah 1). Menyiapkan kader-kader pemimpin umat dan bangsa yang bertakwa, cerdas, kuat, terampil, dan ulet. 2). Menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai keunggulan kompetitif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
•
Pesantren Madinatunnajah didirikan karena alasan-alasan tertentu di antaranya: karena ada pendirian gereja dan dikhawatirkan terjadi konversi agama Islam-Kristen, karena kondisi masyarakat yang masih awam tentang ajaran Islam, dan karena ingin mendirikan pesantren yang bernuansa alam dan tidak terlalu padat santrinya.
•
Nama Madinatunnajah bersangkutan dengan nama pesantren yang telah didirikan oleh Drs. K.H. Mahrus Amin, yaitu Daarunnajah yang berarti tempat kesuksesan. Madinatunnajah maka berarti kota kesuksesan. Nama ini pada awalnya hanya An-Najah saja, tanpa kata ”madinah”. Tapi menurut saran
seorang
ahli
hikmah,
kata
tersebut
hendaknya
dijadikan
”madinatunnajah”. Demikian sejarah penamaan pesantren Madinatunnajah.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ANGKET
PENELITIAN TENTANG HUBUNGAN ANTARA PEMAKAIAN JILBAB DAN PERILAKU ISLAMI ANGKET INI BUKAN PENILAIAN ATAS DIRI KALIAN, ANGKET INI ADALAH DEMI TUGAS PENELITIAN SEMATA-MATA (UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS AKHIR KULIAH) DAN HASILNYA DIJAMIN TIDAK AKAN BERPENGARUH APA-APA PADA DIRI KALIAN. 1. Isilah data diri kalian dengan jelas dan lengkap 2. Jawablah angket ini sejujur-jujurnya, tanpa meminta pertimbangan dari temanteman kalian 3. Jawablah berdasarkan fakta yang ada (mis. Kalau baju kalian “hijau”, maka bilang “hijau”, jangan bilang “kuning”) 4. Jika ada suatu poin angket yang tidak kalian pahami, JANGAN SEGANSEGAN UNTUK BERTANYA MAKSUDNYA kepada petugas pembawa angket. 5. Jawaban kalian terjaga dan kami rahasiakan. 6. Jawaban kalian dijamin tidak akan berdampak apapun, sedikitpun, pada kalian 7. Semoga Allah memberikan rahmatnya atas kejujuran kalian 8. TERIMA KASIH.
Anwar Musaddad Peneliti DATA DIRI RESPONDEN Nama Lengkap
: _______________________________________
Kelas
: _______________________________________
Alamat Tinggal
: _______________________________________
Cita-Cita
: _______________________________________
Ranking Terakhir
: _______________________________________
Singkatan TP = Tidak Pernah ( dari 5 kesempatan, tidak pernah melakukan sama sekali) P = Pernah (dari 5 kesempatan, hanya melakukan sekali) J = Jarang (dari 5 kesempatan, hanya melakukan dua kali) KK = Kadang-Kadang (dari 5 kesempatan, hanya melakukan tiga kali) S = Sering (dari 5 kesempatan, melakukan empat kali) SL = Selalu (dari 5 kesempatan, selalu melakukan)
JILBAB PEMAKAIAN JILBAB BERDASARKAN MOTIVASI INTRINSIK No. Pernyataan TP 1 Saya memakai jilbab karena kesadaran saya untuk menjalankan perintah agama (alasan memakai jilbab) 2 Saya memakai jilbab (untuk keluar rumah) sewaktu liburan, bukan hanya di pesantren 3. Saya memakai jilbab meskipun teman-teman dan orang-orang di sekitar saya banyak yang tidak memakainya. 4 Jilbab itu berfungsi untuk menjaga kehormatan perempuan 5 Saya memakai jilbab dengan kesadaran bahwa jilbab merupakan identitas muslimah yang harus diwujudkan dalam akhlak yang mulia. 6. Saya merasa cantik dengan memakai jilbab 7. Saya ingin mengamalkan ajaran Islam secara benar dengan memakai jilbab 8 Saya dihukum di Pesantren karena ketangkap basah tidak memakai jilbab di luar kamar 9 Saya suka membeli jilbab baru ketika mendapat uang 10 Jilbab membuat saya lebih percaya diri 11 Saya merasa nyaman dengan memakai jilbab 12 Saya merasa sedang mengikuti ajaran Islam ketika memakai jilbab
P
KK S
SL
PEMAKAIAN JILBAB BERDASARKAN MOTIVASI EKSTRINSIK
No. SL Pernyataan 13 Orang tua atau guru saya menyuruh saya memakai jilbab 14 Saya mendapatkan pujian karena memakai jilbab 15 Sewaktu liburan saya tidak memakai jilbab ketika keluar rumah 16 Orang tua saya memarahi saya ketika saya tidak mengenakan jilbab di luar rumah 17 Jilbab itu benteng dari perbuatan yang tercela 18 Saya memakai jilbab karena ikut-ikutan 19 Saya senang orang-orang memperhatikan saya karena jilbab saya 20 Saya senang ketika dipuji karena saya sudah memakai jilbab
S
KK P
TP
21 22 23
Saya suka merasa, orang yang berjilbab lebih mudah mendapat pacar Saya suka menghias jilbab saya dengan pernakpernik yang Indah Saya merasa, saya berjilbab karena mengikuti peraturan pesantren saja
Keterangan STS=Sangat Tidak Setuju TS=Tidak Setuju TT=Tidak Tahu S= Setuju SS=Sangat Setuju
PERILAKU YANG ISLAMI
1. Tauhid No. Pernyataan TP 1. Saya merasa Allah selalu memperhatikan gerakgerik saya 2. Ketika mendapat masalah, saya sholat dan ‘mengadu’ (berdoa minta pertolongan) kepada Allah
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
2. Tahmid Pernyataan TP No. 1. Ketika mendapat rejeki saya mengucap al-Hamdu li-llah 2. Ketika ke pantai, ke puncak gunung, atau ketika melihat pemandangan Indah, hati saya tersentuh, kagum dengan kebesaran Allah. 3. Shalat No. Pernyataan TP 1. Saya melaksanakan sholat 5 waktu 2. Saya mengajak orang lain (kawan, adik, dsb.) untuk shalat
4. Puasa No. Pernyataan TP 1. Saya berpuasa pada bulan Ramadhan 2. Saya mengajak orang lain (adik, teman, dll.) berpuasa pada bulan Ramadhan 5. Doa No. Pernyataan TP 1. Saya berdoa kepada Allah sebelum dan/ atau sesudah melakukan semua kegiatan saya 2. Saya mengangkat kedua tangan saya (kurang lebih setinggi pundak) ketika berdoa
1. Kepada Orang Tua No. Pernyataan TP 1. Saya melakukan apa yang disuruh orang tua saya, meskipun harus meninggalkan pekerjaan yang saat itu sedang saya kerjakan. 2. Terdektik dalam pikiran ingin membahagiakan orang tua saya, di atas ambisi dan keinginan lainnya, jika kelak menjadi orang sukses
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
2. Kepada Guru No. Pernyataan TP 1. Saya menjawab soal-soal ujian dengan kemampuan saya sendiri, tidak menyontek. 2. Saya cium tangan ketika menemui guru 3. Kepada Teman No. Pernyataan TP 1. Saya menjenguk teman saya yang sakit 2. Saya menepati janji saya kepada teman saya— kalau berjanji 4. Kepada orang lain No. Pernyataan TP 1. Saya memaafkan orang yang sudah menyakiti saya 2. Kalau mudhif (kedatangan orang tua), saya mengajak teman-teman saya makan bersama
5. Kepada Fakir Miskin (Dermawan, Empati) No. Pernyataan TP 1. Hati saya merasa sedih sekali dan ingin membantu melihat pengemis di pinggir jalan 2. Saya memberikan sedekah kalau ada pengemis menghampiri atau sedang saya lewati.
1. Tumbuhan No. Pernyataan TP 1. Saya menyiram tanaman yang ada di sekitar saya 2. Saya menjaga kehidupan tanaman (misalnya
dengan tidak memetik daunnya, mematahkan batangnya, atau mencabut akar-akarnya) 2. Hewan No. Pernyataan TP 1. Saya memberi makan/ minum binatang di sekitar saya (seperti kucing, ayam, dsb.) 2. Saya masuk kamar orang lain (di pesantren) dengan “mengucapkan salam” terlebih dahulu 3. Air No. Pernyataan TP 1. Saya memutar keran tidak sampai “full” ketika berwudhu 2. Saya berdoa sebelum minum 4. Peralatan Pribadi No. Pernyataan TP 1. Saya langsung mencuci baju-baju saya kalau sudah kotor 2. Saya mengunci lemari saya dengan 5. Peralatan Umum No. Pernyataan TP 1. Saya menjaga tembok di sekitar saya tetap bersih (tidak suka mencorat-coret tembok) 2. Kalau melihat sampah di jalan, langsung saya pungut dan saya buang ke tempat sampah.
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL
P
KK
S
SL