perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DENGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN DI POLI RAWAT JALAN SARAF RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Amaliah G.0006039
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2010
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan gangguan kesehatan yang sering dijumpai dan termasuk problem kesehatan masyarakat yang perlu segera ditanggulangi, sebelum timbul komplikasi dan akibat-akibat jelek lainnya (Soeparman, 1991). Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 juta sisanya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Andra, 2007). Pada tahun 2025 penyandang hipertensi diperkirakan hampir mencapai 1,6 milyar orang. Di Inggris, 34% pria dan 30% wanita menderita tekanan darah tinggi atau sedang mendapat pengobatan tekanan darah tinggi (Palmer, 2007). Prevalensi di Vietnam pada tahun 2004 mencapai 34,5%, Thailand (1989) 17%, Malaysia (1996) 29,9%, Philippina (1993) 22%, dan Singapura (2004) 24,9%. Di Amerika, prevalensi tahun 2005 adalah 21,7% (Karyadi, 2002). Menurut Indonesian Society of Hypertension (InaSH), tahun 2000 hipertensi menyumbang 12,8% dari seluruh kematian dan 4,4% dari semua kecacatan (disabilitas). Hospital based study yang melibatkan 28 rumah sakit di Indonesia dengan 3.273 pasien tercatat bahwa 40,4% kasus hipertensi commit to user 1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditemukan, sebanyak 33,5% tidak mendapat terapi dan 31,5% mendapat terapi (Andra, 2007). Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi. Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3%. Survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh proyek WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 13,6% (1988), 16,5% (1993), dan 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi mencapai 16% (1988), 17% (1993), dan 12,2% (2000). Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20%. Survei di pedesaan Bali (2004) menemukan prevalensi pria sebesar 46,2% dan 53,9% pada wanita. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Karyadi, 2002). Bila hipertensi tidak dikontrol dengan baik, maka dapat terjadi serangkaian komplikasi serius seperti angina dan serangan jantung, stroke, kerusakan ginjal, masalah mata. Hipertensi yang persisten dapat pula menimbulkan masalah di sistem sirkulasi seperti penyakit arteri perifer, klaudikasio
intermiten,
aneurisma
aorta
dan
gangguan
pada
otak
(Palmer,2007). Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting pada penyakit jantung koroner
dan
kecelakaan
serebrovaskuler commit to user
(Kumar,
1999).
Penyakit
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
serebrovaskuler meningkat ketika berumur 40 tahun atau lebih (Toole,1984). Prevalensi usia (per 100.000) untuk penyakit serebrovaskuler paling tinggi pada usia lebih dari 65 tahun lalu diikuti usia 45-64 tahun (Hennerici, 1991). Sementara itu hipertensi kronis juga dapat menimbulkan berbagai gangguan neurologi pada sistem saraf pusat, antara lain hipertensi ensefalopati, stroke, aneurisma intrakranial dan arteriosklerosis pada otak (Chusid, 1994). Sirkulasi darah menurun sejalan dengan usia karena perubahan pada jantung dan pembuluh darah yang tentu saja dipengaruhi oleh proses arteriosklerosis (Isbagio dan Setiati, 2006). Arteriosklerosis yang berat, cukup untuk menimbulkan insufisiensi vaskuler terdapat pada 2% kasus usia 30-40 tahun dan sebanyak 6-8% pada pasien yang berusia 60-70 tahun (Chusid, 1994). Arteriosklerosis pada arteri karotis maupun arteri vertebralis dapat mengakibatkan otak menerima lebih sedikit oksigen dan nutrisi yang selanjutnya berdampak buruk pada status fungsionalnya (Price, 2005). PSV (Peak Systolic Velocities) pada arteri carotis komunis menurun 7 mm/detik/tahun sedangkan EDV (End Diastolic Velocities) turun 2,31 mm/detik/tahun. Pada arteri vertebralis PSV turun sekitar 0,91 mm/detik/tahun dan EDV turun 0,86 mm/detik/tahun (Kalvacha, 2007). Arteriosklerosis dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketika terjadi lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein, 2006). Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menimbulkan disabilitas dan commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga meningkatkan resiko disabilitas dibanding dengan yang normotensi (Hajjar, 2007). Laporan Sidang Dunia Kedua tentang Lanjut Usia (2002) memperkirakan jumlah lansia di Indonesia menempati urutan ke empat terbesar di dunia. SKRT 2001 menunjukkan angka disabilitas 88,9% lansia, termasuk disabilitas ringan (gangguan keseimbangan), yang merupakan masalah besar bagi Indonesia (Trihandini, 2007). Belum banyak penelitian mengenai gangguan keseimbangan di Indonesia serta berdasarkan latar belakang diatas penulis terdorong untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui adanya hubungan antara hipertensi dengan gangguan keseimbangan.
B. Perumusan Masalah Apakah ada hubungan antara hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan?
C. Tujuan Penelitian Penelitian
dilaksanakan
untuk
mengetahui
hubungan
antara
hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan.
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis a. Dengan
adanya
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pengetahuan tentang hipertensi commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan gangguan keseimbangan. b. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. 2. Praktis Dengan mengetahui adanya hubungan antara hipertensi dan gangguan keseimbangan pada pasien, maka diharapkan pengobatan dari gangguan keseimbangan tidak hanya simtomatis tapi juga kausatif.
commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi Tekanan darah berarti kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam milimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sebagai rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah. Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapatkan dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung relaksasi (diastolik) (Guyton, 1997). Tekanan darah tinggi (hipertensi) dikenal sebagai peningkatan tekanan darah abnormal, umumnya berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi banyak organ, antara lain pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal. Sampai saat ini tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi hipertensi.
commit to user 6
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa Menurut WHO Kategori
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Sistolik
Diastolik
Normal
Di bawah 130 mmHg
Di bawah 85 mmHg
Normal tinggi
130-139 mmHg
85-89 mmHg
Stadium1 (Hipertensi 140-159 mmHg
90-99 mmHg
ringan) Stadium2 (Hipertensi 160-179 mmHg
100-109 mmHg
sedang) Stadium3 (Hipertensi 180-209 mmHg
110-119 mmHg
Berat) Stadium4 (Hipertensi 210 mmHg atau lebih
120
mmHg
maligna)
lebih
atau
(Mubin, 2008) Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya
berhubungan
dengan
tekanan
darah
tinggi
(padahal
sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan, yang bisa saja terjadi pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal (Andra, 2007). Tidak ada tanda dan gejala spesifik yang dapat dihubungkan dengan penyakit hipertensi, selain commit to user penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa (Chung, 1995).
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keluhan pokok pada hipertensi antara lain sefalgi, pusing, migren, insomnia, rasa berat di tengkuk, epitaksis, tinitus, penglihatan berkunang-kunang, palpitasi, nokturi, sering marah (Mubin, 2008). Bila tidak merasakan satu gejalapun tekanan darah tinggi, tidak berarti tekanan darah tinggi tidak merusak sistem sirkulasi. Oleh karena itu tekanan darah tinggi sering disebut sebagai The Silent Killer (Palmer, 2007). Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) ³120 mmHg dan/ atau tekanan darah sistolik (TDS) ³ 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD ³ 90 mmHg dan/ atau TDS ³ 140 mmHg (Ganiswarna, 2001). Dari berbagai penelitian dapat dilihat bahwa tekanan darah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan, lingkungan hidup, suku bangsa (Singgih, 1989). Selain itu hasil pengukuran tekanan darah juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain adalah aktifitas pasien sebelum melakukan pengukuran, tekanan (stres) yang dialami, posisi saat pengukuran-berdiri atau duduk, dan waktu pengukuran (Palmer, 2007). Menurut
buku
acuan
“Penuntun
Praktis
Penyakit
Kardiovaskuler”, ada dua macam jenis hipertensi berdasar etiologinya, yaitu :
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Hipertensi Primer Yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Tidak ada sebab spesifik yang dikenal untuk peningkatan tekanan arteri pada kebanyakan pasien. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini (Ganiswarna, 2001). Dengan kemajuan pemahaman masalah hipertensi, maka kebanyakan ahli tiba pada kesimpulan bahwa masalah multifaktorial ini suatu “disregulasi” fisiologi (Chung, 1995). Diduga hipertensi primer (esensial) sering disebabkan oleh : 1) kelainan genetik ekskresi natrium oleh ginjal 2) kelainan genetik pada transpot natrium atau kalsium dalam otot polos vaskuler 3) variasi gen yang mengkode angiotensinogen dan protein lain pada sistem renin-angiotensin 4) pengaruh meningkatnya vasokonstriktor lain : tabiat, neurogen, hormonal (Ganiswarna, 2001). b. Hipertensi Sekunder Dari sisa 5 sampai 10% pasien hipertensi arterial, bisa diidentifikasi suatu sebab yang dapat dikenali atau penyakit yang dikenal. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh : 1) Penyakit Ginjal (Hipertensi Renal) dapat disebabkan karena lesi pada arteri ginjal atau lesi pada parenkim ginjal 2) Penyakit Endokrin (Hipertensi Endokrin), terjadi misalnya oleh akibat kelainan korteks adrenal, tumor di medula adrenal, commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akromegali, hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, dan lain-lain 3) Penyakit Lain, yang dapat menimbulkan hipertensi adalah koarktasio aorta, kelainan neurologik, stres akut, polisitemia, dan lain-lain 4) Beberapa obat, misalnya kontrasepsi hormonal (paling sering), hormon adrenokortikotropik, kortikosteroid, simpatomimetik amin, kokain, siklosporin, dan eritropoetin (Ganiswarna, 2001). Jangan disesatkan dengan pemikiran bahwa hanya karena sebab hipertensi dikenal, maka hipertensi dapat disembuhkan (Chung, 1995). Faktor resiko tekanan darah tinggi antara lain yaitu genetik, kelebihan berat badan, kurang olah-raga, mengkonsumsi makanan berkadar garam tinggi, kurang mengkonsumsi buah dan sayuran segar (Palmer, 2007). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 10 tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi dengan kemungkinan komplikasinya. Terapi umum pada penderita hipertensi antara lain adalah istirahat, diet (diet rendah garam, diet tinggi magnesium, diet tinggi kalium seperti pisang, melon, kurma), penurunan berat badan, olah-raga teratur, menghindari faktor resiko misalnya rokok, alkohol, hiperlipidemi, commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
stres, serta medika mentosa (Mubin, 2008). Pada prinsipnya pengobatan hipertensi dilakukan secara bertahap (Ganiswarna, 2001).
2. Sirkulasi Darah Otak Berat otak kira-kira hanya 2% dari total berat badan, namun otak menerima 15% dari total curah jantung
dan
menggunakan 20%
dari konsumsi energi tubuh (Hennerici, 1991). Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis interna dan sistem vertebral. Arteri karotis interna setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga kranium melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan a.oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: a.serebri anterior dan a.serebri media. Untuk otak sistem ini memberi aliran darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis. Sistem vertebral dibentuk oleh a.vertebralis yang berpangkal di a.subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang a.inferior posterior serebeli. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi a.basilaris
yang mempercabangkan a.inferior anterior
serebeli dan berakhir sebagai sepasang a serebri posterior, yang melayani commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. Sedangkan arteria untuk daerah otak tertentu antara lain, serebelum diperdarahi oleh a.superior serebeli, a.inferior anterior serebeli dan a.inferior posterior serebeli. Talamus mendapat cabang dari a.komunikan posterior, a.basilaris dan a.serebri posterior. Mesenceflon diperdarahi oleh a.serebri posterior, a.serebeli superior, a.basilaris. Pons diperdarahi oleh a.basilaris serta a.inferior anterior dan superior serebeli (Snell, 2007). Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang mengumpulkan darah ke vena Galeni dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui vena-vena jugulares, dicurahkan menuju ke jantung (Harsono, 1996).
3. Keseimbangan Tubuh Keseimbangan merupakan komponen penting dalam stabilitas gerak makhluk hidup. Tiga sistem informasi sensoris digunakan oleh sistem saraf untuk menjaga keseimbangan yaitu penglihatan, proprioseptif yang ada di seluruh tubuh dan sistem vestibular di dalam telinga (Barr,1984). Ketiga hal tersebut disebut sebagai equilibrial triad (Noback, 1981). commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Penglihatan Penglihatan berperan penting dalam menjaga keseimbangan. Sesudah kerusakan aparatus vestibular dan bahkan sebagian besar informasi proprioseptif dari tubuh hilang, ternyata penderita masih dapat menggunakan mekanisme visualnya secara efektif untuk menjaga keseimbangan. Bahkan gerakan linier atau gerakan rotasi tubuh akan segera menggeser bayangan penglihatan yang ada di retina, dan
selanjutnya
informasi
ini
akan
dipancarkan
ke
pusat
keseimbangan. Namun, bila pergerakan cepat sekali atau bila mata penderita ditutup, maka keseimbangan akan segera hilang (Guyton, 1997). Pemasok arteri utama ke orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteria oftalmika, cabang besar pertama dari bagian intra kranial arteri karotis interna. Cabang intra orbital pertama adalah arteri retina sentralis (Snell, 2007). Sumbatan arteri atau vena retina sentralis atau kelainan arteriosklerotik di dalam saraf optikus itu sendiri yang mengganggu pasokan darah atau destruksi sel-sel ganglion sebagai akibat dari penyakit degeneratif sistemik dapat menyebabkan atrofi saraf optikus. Temuan klinis berupa hilangnya ketajaman penglihatan, lapang pandang, dan penglihatan warna adalah satu-satunya gejala. Perubahan fungsi penglihatan belangsung sangat lambat dalam beberapa minggu atau bulan. commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Arteriosklerosis ditandai oleh peningkatan refleksi cahaya, pelemahan fokal dan iregularitas kaliber pembuluh. Gambaran pada pembuluh retina yaitu produk-produk lemak kuning keabu-abuan yang terdapat di dinding pembuluh bercampur dengan warna merah kolom darah dan menghasilkan gambaran khas “kawat tembaga” (copperwire), hal ini mengisyaratkan arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis berlanjut, refleksi cahaya dinding pembuluh kolom darah mirip dengan “kawat perak”, yang mengisyaratkan arteriosklerosis berat, kadang-kadang bahkan dapat terjadi sumbatan suatu cabang arteriol (Vaughan, 2000). Hipertensi dapat menyebabkan penyempitan arteriol fokal dan rusaknya sawar darah retina yang menyebabkan munculnya tanda kebocoran vaskuler. Ini terutama terlihat bila hipertensi bukan disebabkan oleh penyakit ginjal. Pasien sering mengeluhkan penglihatan kabur dan episode hilangnya penglihatan temporer. Terapi hipertensi dan menghindari penurunan yang dapat mempresipitasi oklusi vaskuler akan menghasilkan resolusi tanda retina. Hal ini dapat memakan waktu beberapa bulan (James, 2006). Cara menilai status kesehatan mata: 1) Anamnesa : gejala okuler yang dirasakan, onset, riwayat okuler, riwayat medis lain yang mempengaruhi okuler (DM, hipertensi), riwayat pengobatan terhadap mata, riwayat penyakit keluarga, alergi.
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Tes tajam penglihatan 3) Tes lapang pandang 4) Oftalmoskop b. Proprioseptif Proprioseptif merupakan bagian dari sistem sensorik yang berespon terhadap perubahan posisi dan pergerakan terutama berhubungan dengan sistem muskuloskeletal. Proprioseptor adalah reseptor yang menerima impuls primer berasal dari kumparan otot dan organ tendon, misal: otot, tendon, sendi (Kurnia, 2009). Sebagian besar informasi proprioseptif penting yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dijalarkan oleh reseptor-reseptor sendi leher. Selain dari leher, informasi juga dapat berasal dari tapak kaki. Impuls dijalarkan oleh proprioseptor di leher dan bagian tubuh lainnya langsung ke nuklei vestibuler dan nuklei retikuler batang otak dan secara tak langsung ke serebelum (Guyton, 1997). c. Vestibular Salah satu organ yang mendeteksi sensasi keseimbangan adalah
aparatus vestibular (Guyton, 1997). Bagian vestibula dari
labirintus membranakeus terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus dan sakulus. Dimana terdapat sel-sel siliaris yang menangkap rangsang keseimbangan yang bersifat gelombang (Sidharta, 1997). Secara umum arus informasi berlangsung intensif bila ada gerakan dari kepala atau tubuh. Akibat gerakan ini menimbulkan commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya silia dari sel rambut menekuk menyebabkan permeabilitas membran sel berubah sehingga ion kalsium menerobos masuk ke dalam sel (influks) dengan akibat terjadi depolarisasi yaitu pelepasan neurotransmiter eksitator (glutamat) yang selanjutnya impuls diteruskan ke pusat di nukleus vestibularis terus ke otak kecil, korteks serebri, hipotalamus dan pusat otonomik di formasio retikularis. Selanjutnya sebagai hasilnya dikeluarkan perintah ke efektor melalui neurotransmiter inhibitor (gamalat, dopamin) (Sodeman, 1974). Gangguan vestibular dan hubungan sentralnya, pertama-tama menghasilkan vertigo, memberikan perasaan seseorang berputar pada aksisnya sendiri atau semua disekelilingnya berputar dengan cepat. Perasaan ini menimbulkan rasa tidak mantap pada waktu berjalan dan berdiri, serta kecenderungan untuk jatuh (Duus, 1996). Vertigo dinyatakan sebagai pusing, pening, rasa berputar-putar, sempoyongan, rasa seperti melayang atau merasakan badan atau dunia sekelilingnya berputar-putar dan berjungkir balik (Sidharta, 1997). Pengaturan keseimbangan tubuh dilakukan oleh pusat-pusat yang terletak pada semua tingkatan susunan saraf pusat, mulai dari medula spinalis hingga korteks serebri (Wibowo, 2008). Struktur dalam sistem saraf pusat yang mengendalikan berdiri dan berjalan adalah ganglia basalis, “daerah lokomotor” dalam mesensefalon, serebelum dan medula spinalis. Korteks serebral pasti penting dalam beberapa aspek berdiri dan commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berjalan, tapi pada binatang percobaan, pengangkatan korteks serebral seluruhnya selama periode neonatal, dengan melindungi ganglia basalis, talamus, dan struktur dibawahnya, tetap meninggalkan cara berdiri dan gaya gerak pada dasarnya normal. Sedangkan medula spinalis terdiri dari sirkuit neural yang mengkoordinasikan otot-otot untuk daya gerak. Ringkasnya sikap berdiri dan gaya berjalan adalah hasil aktivitas yang terintegrasi dari ganglia basalis, mesensefalon, serebelum dan medula spinalis (Harrison, 1962). Serebelum merupakan komponen terpenting dalam menjaga keseimbangan tubuh. Untuk tujuan klinis, serebelum dibagi menjadi tiga garis longitudinal yang tersusun dari medial ke lateral, termasuk korteks serebelaris, substansia alba dibawahnya, dan nuklei serebelaris profunda: 1) Zona garis tengah, terdiri dari daerah vermal dengan nukleus fastigial. Lesi pada zona ini menyebabkan gangguan cara berdiri dan berjalan, ataksia tubuh, dan titubation, serta sikap kepala terputar atau terangkat. 2) Zona intermedia, daerah paravermal, dengan interposed nuklei. Lesi pada zona ini menyebabkan gejala khas terkenanya zona garis tengah maupun lateral. 3) Zona lateral terdiri dari hemisfer serebelaris dengan nukleus dentata. Lesi pada zona ini mengakibatkan gangguan pada gerakan tungkai yang terkoordinasi (ataksia), disartria, hipotonia, nistagmus, dan tremor kinetik (Harrison, 1962). Stimulasi silia di aparatus vestibuler mengaktifkan saraf sensoris commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada saraf vestibulokoklear (VIII). Serabut saraf ini mentransmisikan impuls ke serebelum dan ke nukleus vestibularis di medula oblongata. Serabut saraf nukleus vestibuler juga menuju ke pusat okulomotor di otak dan ke sumsum tulang. Pergerakan mata dan tubuh dihasilkan jaras tersebut untuk keseimbangan tubuh (Fox, 2002). Gambar 1. Jaras Mekanisme Keseimbangan Tubuh
Mata Sendi, tendo, otot, reseptor kulit
Aparatus Vestibuler
Serebelum
Pusat okulomotor
Nukleus vestibuler
Sumsum Tulang Belakang
(Fox, 2002). Pemeliharaan sikap berdiri dan gaya berjalan yang normal juga merupakan hasil kerja dari sejumlah respon refleks postural, antara lain: 1) Reaksi statik lokal yang bekerja pada tungkai itu sendiri Meliputi refleks regangan dan reaksi penopang positif. Refleks regangan yang paling sederhana digambarkan oleh respon regangan otot, kedutan otot yang singkat dicetuskan oleh regangan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cepat dari tendo otot. Reaksi penopang positif terjadi akibat kontak kutaneus ringan dari kulit kaki dan juga oleh stimulasi proprioseptif karena regangan otot interoseus.
2) Reaksi statik segmental yang menghubungkan ekstremitas secara bersamaan Termasuk reflek ekstensi menyilang dan koordinasi antar tungkai. 3) Reaksi statik umum akibat posisi kepala dalam ruangan Terdiri dari reflek leher tonik dan labirintin, yang bersamasama berfungsi menyesuaikan sikap tubuh ketika kepala bergerak dihubungkan terhadap tubuh dalam ruangan. Pada waktu berjalan normal tubuh dipertahankan agar tegak, kepala sebaiknya lurus ke depan, dengan lengan bebas disamping tubuh, setiap gerakan ritmik dengan gerakan tungkai yang berlawanan. Bahu dan pinggul sejajar dan lengan berayun seimbang. Langkah sebaiknya lurus dan sama panjang. Pada setiap langkah pinggul dan lutut fleksi secara halus, pergelangan tangan dorsofleksi, dan kaki melintasi tanah dengan mudah. Mula-mula tumit mencapai tanah dan berat badan dialihkan secara berturut-turut pada telapak kaki dan selanjutnya pada jari kaki. Kepala dan tubuh agak berotasi pada setiap langkah tanpa terhuyung-huyung atau gerakan jatuh (Harrison, 1962). commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Gangguan Keseimbangan Tubuh Ketidakseimbangan atau disequilibrium, yang juga disebut ketidakmantapan,
ketidakstabilan,
dan
inkoordinasi,
tanpa vertigo
merupakan ‘dizziness’ tersering (Thane, 1991). Gangguan keseimbangan dinyatakan sebagai pasien merasa tidak seimbang (subyektif) dan atau pasien terlihat tidak seimbang (obyektif) (Bronstein, 2006). Pasien sering mengeluhkan pusing untuk menyatakan perasaan tidak seimbang sewaktu berdiri atau berjalan serta dirasakan tidak ada hubungan dengan sakit kepalanya (Joesoef, 2002). Pusing dapat merupakan manifestasi berbagai gangguan atau penyakit di bidang neurologi, otologi, kardiologi, oftalmologi, psikiatri atau kelainan iatrogenik. Oleh sebab itu keluhan pusing harus dievaluasi secara sistematis dan komprehensif untuk mencari penyebab yang mendasarinya
agar pengobatan
dapat
optimal
(Mansjoer,
2000).
Contohnya keadaan setelah sembuh dari penyakit demam, operasi, gizi buruk. Selain itu bisa disebabkan oleh anemia, hipotensi, hipertensi, mengeluarkan tenaga sambil membungkuk, sewaktu menderita menstruasi bagi wanita, dan setelah minum alkohol sedikit terlalu banyak (Sidharta, 1997). a. Patogenesis Kondisi yang mengganggu baik input sensorik maupun output motorik dapat menimbulkan ketidakseimbangan tubuh. commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Etiologi Ketidakseimbangan umumnya multifaktorial, pasien mungkin mempunyai kombinasi abnormalitas minor yang menghasilkan ketidakseimbangan yang signifikan, walaupun setiap abnormalitas yang ada sepertinya tidak menimbulkan masalah yang serius (Gelb, 1995). c. Klasifikasi Berdasarkan
episode
gejala
yang
timbul,
gangguan
keseimbangan dibagi menjadi: 1) Ketidakseimbangan kronis Dapat disebabkan oleh gangguan sistem vestibular dan juga tidak jarang disebabkan oleh kelainan nonvestibular. Kelainan vestibular yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan kronis antara lain ataksia herediter. Sedangkan kelainan nonvestibular yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan kronis adalah degenerasi subakut, sebab-sebab psikogen. 2) Episode ketidakseimbangan tunggal spontan dan berlangsung lama 3) Serangan gangguan keseimbangan spontan berulang, antara lain iskemia arteria vertebrobasilaris 4) Ketidakseimbangan sikap Terdiri dari ketidakseimbangan sikap idiopatik dan akibat kelainan komplek nukleus vestibularis serebelum (Gelb, 1995). Adapun klasifikasi yang lain : commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Gangguan serebelum Gangguan terjadi akibat lesi intrinsik pada serebelum atau dari lesi pada jalur penghubung ke dan dari serebelum. Orang yang terkena biasanya berdiri dengan tungkai bawah terpisah, dan berdiri dapat mencetuskan titubation, tremor badan yang kasar ke depan dan belakang. Usaha berdiri dengan kaki rapat menyebabkan badan bergoyang atau jatuh. Jika terdapat gangguan gaya berjalan ringan, berjalan akan memburuk ketika berusaha berjalan tandem dalam garis lurus. Jika penyakit terbatas pada bagian garis tengah (vermal), gangguan cara berdiri dan gaya berjalan dapat terjadi tanpa tanda disfungsi selebelar lainnya seperti ataksia atau nistagmus. Sebaliknya, penyakit hemisfer serebelum, baik unilateral maupun bilateral, seringkali menyebabkan ataksia tungkai yang nyata dan nistagmus dalam hubungannya dengan gangguan gaya berjalan. 2) Ataksia sensoris Gangguan gaya berjalan yang khas akibat hilangnya sensasi pada ekstrimitas bawah disebabkan oleh proses penyakit pada saraf-saraf perifer, radiks dorsalis, kolumna dorsalis medula spinalis atau lemnikus medialis. Pasien tidak sadar akan posisi ekstrimitas bawahnya dan akibatnya adalah kesulitan pada waktu berdiri dan berjalan. Pasien berjalan dengan tungkai bawah terpisah lebar, memperhatikan tanah dengan hati-hati. Jika penglihatan commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terganggu atau pasien berusaha berjalan dalam gelap, gangguan gaya berjalan memburuk. Pasien tetap stabil jika diminta berdiri dengan kaki rapat dan mata terbuka tetapi bergoyang dan sering kali jatuh (tanda Romberg positif) jika mata ditutup. 3) Ataksia lobus frontalis Penyakit lobus frontalis bilateral menyebabkan gaya berjalan yang khas yang biasanya disertai dengan demensia dan lobus frontalis melepaskan tanda, meliputi refleks memegang, mengisap dan mencucur. Pasien berdiri secara khas dengan kaki terpisah lebar dan hanya melakukan langkah pertama setelah lama. Keraguan ini diikuti dengan langkah kaki diseret sangat kecil dan selanjutnya dengan beberapa langkah dengan amplitudo sedang. Pasien
biasanya
hanya
dapat
melakukan
gerakan
ekstrimitas ketika berbaring terlentang. Gangguan gaya berjalan dengan penyakit lobus frontalis adalah bentuk apraksia, misalnya gangguan dalam penampilan fungsi motorik tanpa adanya kelemahan otot yang diperlukan untuk berfungsi. 4) Gangguan pada lansia Perubahan gaya berjalan dan kesulitan keseimbangan terjadi dengan bertambahnya usia. Pria tua mengalami fleksi ke depan dari tubuh bagian atas dengan fleksi lengan dan lutut, ayunan lengan berkurang, dan panjang langkah memendek. Wanita commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tua mengalami gaya berjalan melenggang dengan panjang langkah memendek. Abnormalitas gaya berjalan dan keseimbangan menyebabkan orang tua jatuh. 5) Gangguan neuron motorik bawah Penyakit pada neuron motorik bawah atau saraf perifer secara khas menyebabkan kelemahan tungkai distal. Drop Foot adalah manifestasi umum. Pasien biasanya tidak dapat melakukan dorsofleksi kaki dan mengkompensasikannya dengan mengangkat lutut lebih tinggi dari biasanya. Jika otot proksimal terkena, gaya berjalan juga diseret. 6) Gangguan keseimbangan histerikal (mendadak) Gangguan gaya berjalan histerikal biasanya terjadi dalam hubungannya dengan paralisis histerik dari satu tungkai atau lebih. Pasien biasanya mengkontraksikan otot-ototnya dengan dengan sangat lambat ketika diminta, menunjukkan konsentrasi dan usaha yang kuat untuk menimbulkan kontraksi. Tanda obyektif dari penyakit neurologik tidak ada. Pasien histeris dapat jatuh ketika berjalan, tetapi hanya jika dokter atau anggota keluarga berdiri di dekatnya sehingga dapat menangkap pasien atau jika tersedia benda lunak mengurangi rasa sakit jika jatuh. Gangguan gaya berjalan biasanya dramatik jika ada penonton, dan pasien dapat menunjukkan ketangkasan dalam penyesuaian sikap tubuh cepat yang terjadi. commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7) Distrofi muskularis Kelemahan otot-otot yang nyata dari tubuh dan bagian proksimal tungkai bawah yang menyebabkan cara berdiri dan gaya berjalan yang khas. Ketika berusaha bangkit dari posisi duduk, individu yang terkena akan membungkuk ke depan, tubuh fleksi pada pinggul, meletakkan tangan pada lutut, dan mendorong tubuh ke atas dengan menggerakkan tangan keatas pada paha. 8) Khorea Gerakan khoreik terdiri dari gerakan cepat intermiten wajah, tubuh, leher dan tungkai. Gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi dari leher terjadi bersamaan dengan gerakan wajah menyeringai, gerakan melingkar dari tubuh dan tungkai, dan gerakan jari-jari bermain piano yang cepat. Pasien mengerutkan dahi, merengut dan tersenyum secara tidak sadar. Berjalan biasanya menambah gejala khoreik. 9) Kelumpuhan serebral Istilah ini meliputi sejumlah abnormalitas motorik yang berbeda, sebagian besar dari abnormalitas ini akibat cidera iskemik hipoksia pada sistem saraf pusat dalam periode perinatal. Beratnya gangguan berjalan bervariasi dengan sifat dan luasnya lesi. Atetosis sering terjadi dan terdiri dari gerakan berkelok-kelok lambat atau agak cepat dari lengan dan tungkai bawah, dengan commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sikap tubuh berubah antara fleksi berlebihan dengan supinasi dan ekstensi dengan pronasi. Lesi terbatas ringan dapat mengakibatkan meningkatnya refleks tendo profunda dan respons ekstensor plantaris dengan derajat talipes equinovarus ringan, tanpa gangguan gaya berjalan yang jelas. Lesi yang lebih berat dan luas biasanya mengakibatkan hemiparesis bilateral. Pasien berdiri dan berjalan dengan sikap tubuh dan gaya berjalan paraparetik. Lengan adduksi pada bahu dan fleksi pada siku dan pergelangan tangan (Harrison, 1962). d. Gejala Klinik Ketidakseimbangan bisa bervariasi dari ringan dan hampir tidak terlihat pengamat sampai ataksia hebat dengan inkoordinasi gerakan volunter yang jelas, antara lain : 1) ketidakseimbangan sewaktu berdiri atau berjalan 2) ketidakseimbangan kronis akibat kelainan otak biasanya disertai dengan nistagmus kasar di semua lapang pandang 3) terdapat kelemahan gaya berjalan mantap (‘tandem’) 4) tidak mantap sewaktu memutar tubuh 5) gaya berjalan dengan jarak kedua kaki yang lebar 6) tidak dapat mempertahankan keseimbangan di tempat gelap 7) dapat disertai dengan gejala serupa seperti vertigo yang meliputi nausea, vomitus, diare, pucat, berkeringat banyak tetapi gejala penyerta ini kurang jelas dibandingkan vertigo. Dengan kata lain, commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
satu-satunya perbedaan penting bahwa pasien tidak menceritakan halusinasi gerakan selama serangan ‘dizziness’ (Gelb, 1995). e. Tes-Tes Penunjang untuk Menentukan Gangguan Keseimbangan 1) Tes romberg Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya kelainan di funikulus dorsalis. Penderita berdiri tegak dengan mata terbuka atau tertutup. Tangan dan kaki rapat berimpit samping lalu berdiri selama 20 sampai 30 detik. Tes Romberg dinilai positif bila dengan mata terbuka atau tertutup penderita bergoyang atau jatuh. 2) Modifikasi romberg Jalan di tempat, mata tertutup, tangan lurus ke depan, angkat kaki setinggi-tingginya selama satu menit. 3) Babinsky well Berjalan dengan mata tertutup tiga langkah atau 30 detik lurus ke depan, lalu disuruh berbalik. 4) Barany Penderita duduk di kursi, mata tertutup menunjukkan sesuatu sampai 20 kali, tidak boleh bersandar. Modifikasi dari Barany yaitu dengan menyatukan kedua ujung telunjuk tangan kanan dan kiri (Sudarman, 1994). 5) Finger to Finger Test Dengan mata terbuka atau tertutup kedua tangan direntangkan lalu saling mempertemukan kedua telunjuk. Pada commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penderita dengan kelainan serebelum akan mengalami kesukaran dalam mempertemukan ujung telunjuk tangannya satu sama lain. 6) Writing Test Dengan mata tertutup, kepala menghadap ke muka, penderita diminta untuk menulis huruf-huruf sepanjang 20 cm atau 15 kata. Pada garis vertikal yang lurus, posisi kepala bisa berubah menjadi ekstensi atau fleksi menurut tujuannya. Pada waktu menulis tangan harus bebas tidak boleh mengendur. Pada penderita dengan gangguan serebelum akan tampak gambaran seperti bentuk huruf yang kacau (ataksia). 7) Tes Kalori Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya gangguan di pons atau untuk mengetahui refleks okulovestibularis. Caranya yaitu dengan merangsang meatus akustikus internus dengan air panas (44°C). Tes ini dinilai positif bila ada gerakan mata cepat kearah telinga yang dirangsang. Ahli THT yang memiliki Elektronistagmografi (ENG) dapat melakukan tes kalori bitermal. (Cody, 1981).
5. Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gangguan Keseimbangan Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor yaitu tekanan untuk memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, tahanan perifer pembuluh darah otak dan faktor darah itu sendiri commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(viskositas dan koagulobilitas) (Harsono, 1996). Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arteriolar-kapiler otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak konstriksi, derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung dalam periode singkat dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya. Namun bila berlangsung bulan sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan diameter lumen menjadi tetap. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyakit degeneratif yang merupakan salah satu penyebab penyakit saraf. Pada gangguan ini, satu atau lebih komponen sistem saraf menjadi malfungsi setelah berfungsi normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus dan progresif (Gelb, 1995). Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketika terjadi lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein, 2006). Dimana pengaturan keseimbangan merupakan fungsi gabungan dari bagian serebelum, substansia retikuler dari medula, pons, dan mesensefalon (Guyton, 1997).
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2. Ilustrasi autoregulasi sirkulasi otak dan dipengaruhi oleh tekanan CO2 arterial dan hipertensi.
80
Normotensi
Cerebral perfusion (me/min/100 g)
Hipertensi Hipocapinea
70
Normokapnea Hipercapnea
60
50
100
150
200
( mean ) blood pressure (mm Hg)
(Hennerici, 1991). Dari
diagram
diatas
terlihat
bahwa
hipertensi
kronis
menyebabkan penurunan perfusi darah ke otak. Jika perfusi turun, membrane potensial juga akan turun. Hipoksia dan hipoglikemia akan mempunyai konsekuensi patologis. Karena kurangnya oksigen, produksi energi melalui siklus asam sitrat untuk memproduksi ATP akan turun. Selain itu akan menimbulkan asidosis yang mempengaruhi fungsi enzim di otak (Hennerici, 1991).
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Hipertensi Kronis
Jumlah curah jantung ke otak meningkat
Dinding arteriol kecil dan kapiler otak menebal serta tetap terkonstriksi sepanjang waktu Berlangsung bertahun-tahun
Penurunan aliran darah ke otak
Hipoglikemi dan hipoksia menahun menurunkan fungsi neuron otak
Gangguan pusat keseimbangan
Gangguan Keseimbangan
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan antara hipertensi kronis dan gangguan keseimbangan dengan mekanisme penurunan fungsi neuron pada pusat keseimbangan.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam satu periode tertentu dan setiap subyek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian.
B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
C. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan tanggal 01-30 Agustus 2009.
D. Subyek Penelitian Yang dimaksud populasi adalah semua pasien di poli rawat jalan saraf RSUD. Dr. Moewardi Surakarta.
E. Teknik Sampling Sampel diambil dengan cara Purposive Random Sampling dimana semua individu yang memenuhi kriteria dalam populasi secara sendiri-sendiri commit to user 33
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau bersama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel, dengan kriteria inklusi sebagai berikut : 1. Penderita hipertensi dan normotensi 2. Usia 40-80 tahun 3. Tidak mempunyai faktor resiko gangguan keseimbangan yang lain, seperti: gangguan telinga, penglihatan, proprioseptif maupun penyakit yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan seperti neuropati perifer, miopati, stroke, diabetes melitus, parkinson, trauma kapitis, trauma medula spinalis, Atrial fibrilasi. 4. Bersedia ikut dalam penelitian Penentuan besar sampel pada penelitian ini menurut Slovin dengan rumus sebagai berikut : n = Za2.p.q d2 Keterangan : p
= perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi
q
= 1-p
d
= presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi
Za2= nilai statistik pada kurve normal standar pada tingkat kemaknaan (Murti, 2003). Dengan rumus diatas maka sampel yang digunakan pada penelitian ini, dengan menggunakan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 8.3% (Karyadi, 2002) adalah 116 sampel, yang pada penelitian ini digunakan 120 sampel.
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Rancangan Penelitian
Populasi
Hipertensi
Normotensi
Wawancara dan Pemeriksaan Tekanan Darah Tidak menderita gangguan penglihatan, gangguan vestibuler, gangguan proprioseptif, DM, stroke, neuropati, miopati, parkinson, trauma kapitis, trauma medula spinalis, atrial fibrilasi
Tes Romberg
Gangguan Keseimbangan +
commit to user
Gangguan Keseimbangan -
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas : Hipertensi kronis 2. Variabel Terikat : Gangguan keseimbangan 3. Variabel Pengganggu a. Terkendali : Usia,
gangguan penglihatan, gangguan proprioseptif,
gangguan vestibuler, diabetes, stroke, neuropati, miopati, parkinson, trauma kapitis, trauma medula spinalis b. Tidak terkendali : Genetik, subyektifitas respoden dalam menjawab pertanyaan dalam wawancara.
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Hipertensi Kronis Kriteria hipertensi adalah kenaikan tekanan darah dimana TDS ³ 140mmHg dan TDD ³ 90mmHg selama beberapa tahun. Dibuktikan dengan pengukuran tekanan darah. Skala pengukuran adalah nominal. 2. Gangguan Keseimbangan Pasien mengalami gangguan keseimbangan sentral yang dibuktikan dengan tes Romberg. Dimana pasien yang mengalami gangguan keseimbangan sentral, maka saat dilakukan tes romberg pasien akan goyah ke arah depan dan belakang. 3. Usia Saat mencapai usia 40 tahun, komplikasi hipertensi mulai tampak. Sumber : rekam medik.
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Gangguan penglihatan Gangguan penglihatan yang dapat mempengaruhi keseimbangan berupa kurangnya ketajaman penglihatan dan lapang pandang. Gangguan penglihatan pada pasien dilihat dari apakah ada strabismus atau tidak, serta perbedaan visus mata kanan dan kiri. Sumber : rekam medik. Jika data rekam medik mengenai gangguan penglihatan tidak ada maka dilakukan tes lapang pandang untuk mengetahui adanya gangguan penglihatan. 4. Gangguan vestibular Manifestasi
gangguan
vestibuler
yang
mempengaruhi
keseimbangan, terutama berupa vertigo yaitu pasien merasa dirinya atau lingkungan sekelilingnya berputar. Dibuktikan dengan tes Romberg. Jika pasien mengalami gangguan vestibuler, maka pasien akan goyah ke arah kanan dan kiri. 5. Diabetes Melitus (DM) Pasien dinyatakan menderita diabetes mellitus jika glukosa darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dl. Sumber: rekam medik/Hasil pemeriksaan laboratorium. 5. Stroke Pasien stroke mempunyai gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat menimbulkan kematian atau commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskuler. Sumber: rekam medik. 6. Neuropati perifer Pada neuropati perifer, pasien merasa kulit pada tangan dan kaki menebal serta terdapat parestesi. Sumber: rekam medik. Jika tidak terdapat data mengenai neuropati perifer pada rekam medik maka dilakukan Froments Sign Test dan Finger Flexion Sign Test. Pasien dengan neuropati perifer, pada kedua tes tersebut tidak dapat menahan kertas diantara dua jarinya. 7. Miopati Pasien dengan miopati mempunyai gejala utama berupa otot-otot proksimal (otot yang dekat sumbu tubuh) menjadi lemah dan atrofi. Sumber: rekam medik. Jika data rekam medik mengenai miopati tidak ada maka dilakukan tes untuk mengetahui adanya miopati. Bila ada kelemahan otot terjadi penurunan tangan atau kaki saat saat dilakukan tes ini (mengangkat tangan dan kaki pada posisi duduk dengan mata tertutup). 8. Parkinson Penyakit ini ditandai dengan kekakuan pada banyak otot tubuh, tremor involunter, kesulitan yang serius dalam memulai gerakan (akinesia).
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sumber: rekam medik. 9. Trauma kapitis Pasien dikatakan menderita trauma kapitis apabila terdapat perlukaan di bagian luar atau dalam kepala, serta terdapat riwayat trauma kepala masa lalu. Sumber: rekam medik. 10. Trauma medula spinalis Terdapat perlukan pada medula spinalis maupun adanya manifestasi luka traumatik medula spinalis. Sumber: rekam medik. 12. Atrial fibrilasi (AF) Gejala yang umum terjadi pada AF adalah palpitasi, detak jantung yang tidak teratur dan cepat. Gejala lain yang dapat terjadi berupa pusing, lemah, nafas pendek dan angina. Sumber: rekam medik. Jika tidak terdapat data mengenai adanya atrial fibrilasi pada rekam medik maka dilakukan pemeriksaan nadi dan denyut jantung. Pasien dengan atrial fibrilasi, pada pemeriksaan tersebut terjadi denyut nadi yang tidak teratur serta denyut nadi tidak sinkron dengan detak jantung. I. Instrumen Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Sphygnomanometer air raksa merk ABN dengan satuan mmHg 2. Stetoskop ABN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
J. Cara Kerja 1. Melihat riwayat penyakit yang diderita pasien dalam buku rekam medis untuk mengetahui apakah menderita DM, penyakit jantung (atrial fibrilasi), stroke, parkinson. 2. Pengukuran secara langsung tekanan darah pasien di Poliklinik Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Cara pengukuran tekanan darah : a. Pasien berbaring santai di kamar yang tenang sedikitnya 5 menit sebelum pengukuran. Mereka tidak boleh merokok atau minum kopi minimal 30 menit sebelumnya. b. Memasang manset (cuff) menutup sedikitnya 80% dari lingkar lengan penderita denagn lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi jantung. c. Meraba denyut nadi arteri brakhialis, kemudian stetoskop diletakkan di daerah tersebut. d. Mengencangkan sekrup pada balon lalu cuff dipompa sampai 20-30 mmHg diatas TDS, kemudian tekanan diturunkan 3 mmHg per detik. Sebagai TDD diambil Korotkoff fase V. e. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran tersebut dan rekam medis diperoleh nilai rata-rata TDD ³ 90 mmHg dan/ atau TDS ³ 140 mmHg (Ganiswarna, 2001). 3. Wawancara Memberikan pertanyaan mengenai commit toriwayat user hipertensi kronis yang dialami
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serta riwayat minum obat anti hipertensi. 4. Pemeriksaan Fisik a. Tes Penglihatan Menggunakan pemeriksaan lapang pandang. b. Tes Vestibular Adanya kelainan vestibular ditunjukkan dengan hasil tes Romberg positif saat mata tertutup, dimana pasien bergoyang ke arah kanan-kiri. c. Tes Proprioseptif Pasien diminta untuk duduk dengan mengangkat kedua lengan dan kedua kaki serta mata tertutup, maka pada kelainan proprioseptif akan terjadi kenaikan lengan atau kaki. d. Neuropati Dilakukan Froments Sign Test yaitu pasien diminta meletakkan lengan di meja sambil mengekstensikan tangan secara maksimal kemudian diminta menahan kertas dengan jari-jarinya. Selain itu juga dilakukan Finger Flexion Sign Test yaitu dengan cara pasien diminta meletakkan lengan dengan relaks kemudian menahan kertas diantara kedua jarinya. e. Miopati Pasien diminta duduk di kursi dan angkat kedua lengan serta kedua kaki dengan mata tertutup. Bila ada kelemahan otot terjadi penurunan tangan atau kaki. commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah dilaksanakan penelitian, maka dilakukan tabulasi terhadap data yang diperoleh untuk mengelompokkan dari subyek penelitian mana yang tergolong
gangguan
keseimbangan
dan
tidak
mengalami
gangguan
keseimbangan.
K. Teknik Analisa Data Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan uji chi square. Batas kemaknaan yang dipakai adalah taraf signifikasi (µ) = 0,05 atau dalam tabel interval kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat hubungan antara hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan menggunakan metode ukuran asosiasi dengan Odds Rasio serta uji kontingensi. 1) Tabel hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan Tidak Gangguan Sampel
Gangguan
Total
Keseimbangan Keseimbangan Hipertensi Kronis
a
b
a+b
c
d
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
Tidak Hipertensi Kronis Total Keterangan : a = Pasien hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan b = Pasien hipertensi kronis tanpa gangguan keseimbangan commit to user c = Pasien tanpa hipertensi dengan gangguan keseimbangan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d = Pasien tanpa hipertensi tanpa gangguan keseimbangan 2) Uji Chi Square ( x2 ) n (ad-bc)2 2
x = (a+b)(c+d)(a+c)(b+d) Dengan : x2
: nilai chi square
a, b, c, d : frekuensi kebebasan Ketentuan : Ho ditolak bila x2 hitung > x2 tabel Ho diterima bila x2 hitung < x2 tabel
3) Odds Rasio Untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan antara hipertensi menahun dengan gangguan keseimbangan. OR = ad bc Dengan : OR
: Nilai ODDS Rasio
a, b, c, d : frekuensi kebebasan Ketentuan : Ada
hubungan
antara
hipertensi
keseimbangan jika OR > 2.
commit to user
kronis
dengan
gangguan
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Uji Kontingensi X2 C = N + X2
Dengan : C : Nilai kontingensi N : Jumlah sampel X2 : Nilai uji chi square
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 01-30 Agustus 2009. Subyek penelitian sebanyak 120 orang dengan perincian 66 orang subyek penelitian kasus dan 54 orang subyek penelitian kontrol. Penentuan sampel menggunakan cara purposive random sampling yang disajikan sebagai berikut Tabel 2. Distribusi hipertensi kronis dan normotensi menurut jenis kelamin. Jenis Hipertensi Kronis Kelamin Jumlah % Laki-laki 28 42.4 Perempuan 38 57.6 Jumlah 66 100 (Data Primer, Agustus 2009)
Normotensi Jumlah % 17 31.5 37 68.5 54 100
Jumlah Jumlah % 45 37.5 75 62.5 120 100
Berdasar tabel 2 diatas tampak bahwa menurut jenis kelamin didapatkan kejadian hipertensi kronis pada laki-laki sebanyak 28 sampel (42.4%) dan pada perempuan sebanyak 38 sampel (57.6%). Sedangkan pada kejadian normotensi pada laki-laki sebanyak 17 sampel (31,5%) dan perempuan sebanyak 37 sampel (68.5%). Tabel 3. Distribusi hipertensi kronis dan normotensi menurut umur. Umur Hipertensi kronis Normotensi Jumlah Jumlah % Jumlah % Jumlah % 40-49 12 18.2 15 27.8 27 22.5 50-59 21 33.3 18 31.8 39 32.5 60-69 25 37.9 14 25.9 39 32.5 70-79 8 12.1 7 13 15 12.5 Jumlah 66 100 to user 54 100 120 100 commit (Data Primer, Agustus 2009) 45
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan tabel 3 diatas tampak bahwa kejadian hipertensi kronis terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun sebanyak 25 sampel dengan persentase 37.9% dan paling sedikit pada kelompok usia 40-49 tahun dan 7079 tahun dengan persentase masing-masing 18.2% dan 12.1%. Pada kelompok normotensi, persentase terbanyak pada kelompok usia 50-59 tahun dengan persentase 31.8% dan persentase paling kecil pada kelompok usia 70-79 tahun dengan persentase sebanyak 13%. Tabel 4. Distribusi gangguan keseimbangan dan tidak gangguan keseimbangan menurut jenis kelamin. Jenis Gangguan Tidak gangguan Jumlah Kelamin keseimbangan keseimbangan Jumlah % Jumlah % Jumlah % Laki-laki 26 43.3 19 31.7 45 37.5 Perempuan 34 56.7 41 68.3 75 62.5 Jumlah 60 100 60 100 120 100 (Data Primer, Agustus 2009) Berdasar tabel 4 diatas tampak bahwa menurut jenis kelamin didapatkan kejadian gangguan keseimbangan pada laki-laki sebanyak 26 sampel (43.3%) dan pada perempuan sebanyak 34 sampel (56.7%). Sedangkan pada kejadian yang tidak mengalami gangguan keseimbangan pada laki-laki sebanyak 19 sampel (31.7%) dan perempuan sebanyak 41 sampel (68.3%).
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 5. Distribusi gangguan keseimbangan dan tidak gangguan keseimbangan menurut umur. Umur Gangguan Tidak gangguan Jumlah keseimbangan keseimbangan Jumlah % Jumlah % Jumlah % 40-49 12 20 15 25 27 22.5 50-59 18 30 21 35 39 32.5 60-69 19 31.7 20 33.3 39 32.5 70-79 11 18.3 4 6.7 15 12.5 Jumlah 60 100 60 100 120 100
Berdasarkan tabel 5 diatas tampak bahwa kejadian gangguan keseimbangan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun dengan persentase 31.7% dan paling sedikit pada kelompok usia 70-79 tahun dan 40-49 tahun dengan persentase masing-masing 18.3% dan 20%. Pada kelompok yang tidak mengalami gangguan keseimbangan, persentase terbanyak pada kelompok usia 50-59 tahun dengan persentase 35% dan persentase paling kecil pada kelompok usia 70-79 tahun dengan persentase sebanyak 6.7%. Tabel 6. Distribusi kejadian gangguan keseimbangan pada hipertensi kronis dan normotensi. Gangguan Tidak gangguan Jumlah keseimbangan keseimbangan Jumlah % Jumlah % Jumlah % Hipertensi 39 65 27 45 66 55 Kronis Normotensi 21 35 33 55 54 45 Jumlah 60 100 60 100 120 100 (Data Primer, Agustus 2009) Berdasarkan tabel 6 diatas tampak bahwa penderita hipertensi kronis yang mengalami gangguan keseimbangan ada 39 sampel (65%), dan yang tidak mengalami gangguan keseimbangan 27 sampel (45%). Sedangkan penderita normotensi yang mengalami gangguan keseimbangan ada 21 sampel (35%), dan yang tidak mengalami gangguan keseimbangan 33 sampel (55%). commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Analisa Data Analisa data dengan taraf signifikansi alfa = 0,05 dan interval kepercayaan 95% didapatkan : 1. Uji Chi Square a. Dari hasil penelitian didapatkan data sebanyak 120 sampel. Besar sampel diperoleh dari penghitungan dengan rumus serta sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu sebanyak 66 sampel hipertensi kronis dan 54 sampel normotensi. b. Dari hasil penelitian Tabel 7. Tabel Uji Chi Square Sampel
Gangguan
Tidak gangguan
keseimbangan
keseimbangan
Hipertensi kronis
39
27
66
Normotensi
21
33
54
Total
60
60
120
Derajat kebebasan (dk) = (b-1) (k-1) = (2-1) (2-1) =1 Didapatkan : n (ad-bc)2 x2 = (a+b)(c+d)(a+c)(b+d) commit to user = 4.848
Total
Titik kritis = 3,841
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketentuan : Ho = tidak ada hubungan bermakna H1 = ada hubungan bermakna c. Pengambilan keputusan Bila x2 hitung > x2 tabel maka Ho ditolak Bila x2 hitung < x2 tabel maka Ho diterima d. Keputusan statistik x2 dihitung adalah 4.848 sedangkan x2 tabel adalah 3,841 sehingga x2 hitung > x2 tabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan : Secara statistik, ada hubungan yang bermakna antara hipertensi kronis dengan kejadian gangguan keseimbangan. 2. Odds Ratio Untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan antara hipertensi kronis terhadap normotensi dengan kejadian gangguan keseimbangan digunakan rumus Odds Ratio. OR = ad bc = 39x33 27x21 = 2.269 Ketentuan : Ada
hubungan
antara
hipertensi
keseimbangan jika OR > 2. commit to user
kronis
dengan
gangguan
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
OR hitung adalah 2.269 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipertensi kronis memiliki resiko mengalami gangguan keseimbangan sebesar 2.67 kali lebih besar daripada normotensi. 3. Koefisien Kontingensi (C) Untuk mengetahui kuat atau lemahnya hubungan antara hipertensi kronis terhadap normotensi dengan kejadian gangguan keseimbangan digunakan rumus koefisien kontingensi. X2 C = N + X2
Persentase = 0.197 x 100% = 19.7 % Dapat dilihat bahwa hipertensi kronis berpengaruh sebesar 19.7% untuk terjadinya gangguan keseimbangan di RSUD Dr.Moewardi Surakarta.
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di bagian poli rawat jalan saraf RSUD Dr.Moewardi Surakarta dan penghitungan statistik serta dari penelitian terdahulu, maka penelitian ini dapat dibahas sebagai berikut. Pada tabel 2, distribusi kejadian hipertensi kronis dan normotensi menurut jenis kelamin, didapatkan sampel dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Persentase wanita yang hipertensi kronis sebanyak 38 sampel (57.6%) sedangkan pada laki-laki sebanyak 28 sampel (42.4%). Hal tersebut sesuai dengan pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa hipertensi lebih sering terjadi pada wanita, yang berlawanan dengan masalah jantung, yang pada umumnya dialami oleh kaum pria. Namun keadaannya lebih berat komplikasinya (Knight, 1995). Hipertensi sering disebabkan oleh stres dalam kehidupan modern. Perempuan yang sebelumnya tidak mempunyai keluhan hipertensi dapat mengalaminya setelah menopause. Pada usia lanjut perempuan cenderung mengalami hipertensi dibanding laki-laki. Pada perempuan hormon estrogen dianggap memiliki proteksi terhadap penyakit kardiovaskuler karena estrogen meningkatkan kadar HDL dan menurunkan LDL. Namun saat menopause produksi estrogen secara drastis berkurang. Hal tersebut didukung dengan adanya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa penyakit atherosklerotik lebih banyak terjadi pada wanita yang dibuang ovariumnya commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
sebelum usia lima puluh tahun dibanding dengan wanita lain yang normal (Yatim, 2001). Perempuan yang mengkonsumsi pil kontrasepsi dan merokok, mempunyai tingkat resiko lebih tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsinya (Soeharto, 2004). Pada normotensi, wanita juga lebih banyak yaitu 37 sampel (68.5%) dibanding dengan laki-laki yang hanya 17 sampel (31.5%). Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa pada usia lanjut hipertensi lebih sering terjadi pada wanita. Ketidaksesuaian pendapat para ahli dengan hasil penelitian yang diperoleh dapat disebabkan karena faktor penyebaran jumlah penduduk dan distribusi jenis kelamin dalam populasi tertentu. Selain itu juga dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang kurang sehingga belum dapat mewakili keadaan populasi sebenarnya. Pada tabel 3, yaitu tabel distribusi kejadian hipertensi kronis dan normotensi menurut usia. Diketahui bahwa sampel hipertensi kronis terbanyak terdapat pada interval usia 60-69 tahun sebanyak 25 sampel (37.9%) sedangkan sampel terkecil yaitu pada usia 70-79 tahun (12.1%). Hasil penelitian sesuai dengan pendapat (Soeharto, 2004), bahwa insiden hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Aminoff (1996), hal ini dapat diterangkan dengan proses arteriosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah. Proses ini sebenarnya terjadi sejak usia dini dengan kecepatan berbeda-beda pada setiap orang. Sejalan dengan penambahan umur maka daerah yang mengalami arteriosklerosis semakin luas. Keadaan ini tampak nyata pada pembuluh darah serebral. Pada pembuluh darah yang mengalami commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
arteriosklerosis, tempat atau daerah tersebut elastisitasnya menurun. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang menemukan fatty streaks di aorta pada 35 anak remaja yang berusia 10 tahun. Pola hidup yang salah dikombinasikan dengan faktor genetik dapat mempercepat proses atherosklerosis dan terjadinya penyakit kardiovaskuler dimasa dewasa atau tua (Soeharto, 2004). Selain itu, dari hasil penelitian terlihat jika elastisitas pembuluh darah yang berusia tujuh puluh tahun, dibandingkan dengan usia dua puluh tahun, maka elastisitasnya menurun kurang lebih lima puluh persen (Mangoenprasodjo, 2005). Kebanyakan orang diatas usia enam puluh tahun sering mengalami hipertensi.
Bagi
mereka
yang
mengalami
hipertensi
resiko
penyakit
kardiovaskuler meningkat apabila tidak ditangani dengan baik (Soeharto, 2004). Pada umumnya penyakit ini ketahuan pada usia empat sampai lima puluhan. Orang pada usia lima puluhan adalah masa usia penuh resiko (Knight, 1995). Namun pada interval usia 70-79 tahun didapatkan sebanyak 8 sampel (12.1%), jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada interval usia 60-69 tahun dan usia 50-59 yaitu sebanyak 21 sampel (33.3%). Hal ini tidak sesuai dengan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa insiden hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan pendapat para ahli diatas dapat disebabkan karena jumlah sampel yang kurang sehingga belum dapat menggambarkan keadaan populasi sebenarnya. Selain itu karena tingginya angka kematian akibat hipertensi kronis yang mengalami komplikasi menyebabkan berkurangnya jumlah pasien yang mencapai usia tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
Pada tabel 4, yaitu distribusi kejadian gangguan keseimbangan dan tidak gangguan keseimbangan menurut jenis kelamin, didapatkan sampel dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami gangguan keseimbangan lebih banyak daripada laki-laki. Persentase wanita yang gangguan keseimbangan sebanyak 34 sampel (56.7%) sedangkan laki-laki sebanyak 26 sampel (43.3%). Hasil penelitian sesuai dengan pendapat para ahli yaitu wanita lebih mengalami disabilitas dibanding dengan pria. Hipertensi prevalensinya lebih tinggi pada wanita, hal ini mendukung penjelasan bahwa predisposisi disabilitas pada wanita lebih tinggi. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa wanita lebih mengalami gangguan keseimbangan dibanding pria (Hajjar, 2007). Pada yang tidak mengalami gangguan keseimbangan, persentase pada wanita juga lebih besar yaitu sebanyak 41 sampel (68.3%) dibanding pada lakilaki yang hanya 19 sampel (31.7%). Hal ini tidak sesuai dengan pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi dalam disabilitas. Ketidaksesuaian pendapat para ahli dengan hasil penelitian yang diperoleh dapat disebabkan karena faktor penyebaran jumlah penduduk dan distribusi jenis kelamin dalam populasi tertentu dimana pada penelitian ini sampel wanita lebih banyak daripada pria. Selain itu juga dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang kurang sehingga belum dapat mewakili keadaan populasi sebenarnya. Pada tabel 5, yaitu distribusi kejadian gangguan keseimbangan dan tidak gangguan keseimbangan menurut umur. Diketahui bahwa sampel gangguan keseimbangan terbanyak terdapat pada interval usia 60-69 tahun sebanyak 19 commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampel (31.7%) sedangkan sampel terkecil yaitu pada usia 70-79 tahun sebanyak 11 sampel (18.3%). Hal tersebut sesuai dengan pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa disabilitas meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Berkembangnya disabilitas dengan proses penuaan merupakan proses yang komplek dan menyangkut interaksi antara kemampuan individual itu sendiri dan lingkungan sekitar. Peningkatan tekanan darah sistolik dihubungkan dengan resiko disabilitas pada usia lanjut (Hajjar, 2007). Pada tabel 6, yaitu distribusi kejadian hipertensi kronis terhadap normotensi dengan kejadian gangguan keseimbangan. Didapatkan bahwa persentase sampel hipertensi kronis yang mengalami gangguan keseimbangan sebanyak 39 sampel (65%) sedangkan persentase hipertensi yang tidak mengalami gangguan keseimbangan sebanyak 27 sampel (45%). Untuk yang normotensi, yang tidak mengalami gangguan keseimbangan lebih banyak yaitu 33 sampel (55%) dibanding dengan sampel yang mengalami gangguan keseimbangan yang hanya 21 sampel (35%). Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa pada penderita hipertensi mempunyai resiko gangguan keseimbangan yang lebih besar dan meningkatkan disabilitas yang telah ada bila dibanding yang normotensi. Penderita hipertensi yang terkontrol dengan baik mempunyai resiko gangguan keseimbangan lebih kecil dibanding dengan yang tidak terkontrol (Hajjar, 2007). commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Dari hasil penelitian
yang telah dilaksanakan di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara hipertensi kronis dan gangguan keseimbangan. B. Saran 1. Hasil penelitian ini belum cukup untuk mengetahui lebih jauh mengenai
hubungan
antara
hipertensi
dengan
gangguan
keseimbangan mengingat keterbatasan waktu dan sarana penelitian. Sehingga untuk lebih menyempurnakan penelitian diharapkan adanya penelitian serupa dengan jangkauan populasi yang lebih luas serta menggunakan kriteria hipertensi yang lebih spesifik. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan tes keseimbangan lain, misal tes barany, tes kalori atau pemeriksaan yang lain yang lebih spesifik. 2. Pengelolaan hipertensi memerlukan jangka waktu yang relatif lama, sehingga kerja sama antara unit pelayanan kesehatan sangat diperlukan agar pasien dapat menerima terapi yang tepat dan menghindari terjadinya resiko sekunder akibat hipertensi, termasuk resiko terjadinya gangguan keseimbangan. commit to user 56