BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
HIMPUNAN
PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014
BUKU I
Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015
DAFTAR ISI 1. UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.
1
2. UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN.
45
3. UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA.
131
4. UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN.
235
5. UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI.
315
SALINAN SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 NOMOR 2 TAHUN 2014
TENTANG TENTANG JABATAN NOTARIS PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA TENTANG JABATAN NOTARIS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, REPUBLIKIndonesia INDONESIA, Menimbang : a. bahwaPRESIDEN Negara Republik sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara negara; Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian,
ketertiban, dan menjamin perlindungankepastian, hukum bagiketertiban, setiap warga b. bahwa untuk dan negara; perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentikmenjamin mengenai perbuatan, perjanjian, b. bahwa untuk kepastian, ketertiban, dan penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulishadapan yang atau oleh pejabat yangmengenai berwenang;perbuatan, bersifat autentik perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan
c. bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan atau oleh pejabat yang berwenang; profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, c.perlu bahwamendapatkan Notaris sebagaiperlindungan pejabat umum dan yang jaminan menjalankan demi profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, tercapainya kepastian hukum; perlu
mendapatkan
perlindungan
dan
jaminan
demi
d. bahwa beberapa dalam Undang-Undang tercapainya kepastianketentuan hukum; Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sudah tidak d. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sudah tidak masyarakat perlu dilakukan perubahan; sesuai lagi sehingga dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat sehingga pertimbangan perlu dilakukan sebagaimana perubahan; e. bahwa berdasarkan dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud membentuk Perubahan atas dalam huruf Undang-Undang a, huruf b, huruftentang c, dan huruf d, perlu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004Perubahan tentang Jabatan membentuk Undang-Undang tentang atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; Notaris;
Mengingat . . .
1
Mengingat . . .
-2Mengingat:
1. Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 1 angka angka2, 2, angka angka 5, 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, 1, angka 5,angka angka 6, angka 8, angka 9, angka 10, angka angka 6, angka7,7,angka angka 8, angka 9, angka 10, 12, angka 12, 13, dan13, angka diubah, serta angka 4 dihapus angka dan14 angka 14 diubah, serta angka 4sehingga dihapus Pasal 1 berbunyi berikut: sehingga Pasal 1sebagai berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. 2. Pejabat . . .
2
-32. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan dari Notaris yang meninggal dunia. 3. Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris. 4. Dihapus. 5. Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan Notaris yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum. 6. Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. 7. Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 8. Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris. 9. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya". 10. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai KUTIPAN". 11. Grosse . . .
3
-411. Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta untuk pengakuan utang dengan kepala Akta "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial. 12. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada suatu Kabupaten/Kota. 13. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
2. Ketentuan Pasal 3 huruf d d dan serta Ketentuan Pasal 3 huruf danhuruf huruf ff diubah, diubah, serta ditambah (satu)huruf, huruf,yakni yakni huruf h sehingga Pasal ditambah 11 (satu) huruf h sehingga Pasal 3 3 berbunyi sebagai berikut: berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 Syarat untuk dapat diangkat menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
Notaris
a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f.
telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan h. tidak . . . 4
-5h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga sebagai Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi berbunyi sebagai berikut: berikut: Pasal 7 (1) Dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib: a. menjalankan jabatannya dengan nyata; b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap atau stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat. (2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat.
4. Ketentuan . . .
5
-64.
Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d diubah dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf e sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. berada di bawah pengampuan; c. melakukan perbuatan tercela; d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau e. sedang menjalani masa penahanan. (2) Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang. (3) Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat. (4) Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
5. Ketentuan PasalPasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai Ketentuan 11 diubah sehingga berbunyi berikut: sebagai berikut: Pasal 11 (1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti. (2) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 6. Ketentuan . . .
6
-76. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 15 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan dengan pembuatan Akta;
hukum
sehubungan
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 7. Ketentuan . . .
7
-87. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1)
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j. mengirimkan . . .
8
-9j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l.
mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n. menerima magang calon Notaris. (2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali. (3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Akta penawaran pembayaran tunai; c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa; e. Akta keterangan kepemilikan; dan f.
Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Akta . . .
9
- 10 (4)
Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA".
(5)
Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6)
Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7)
Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta. (9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. (10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan Akta wasiat. (11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. (12) Selain . . . 10
- 11 (12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. (13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis. 8. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A (1)
Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.
(2)
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta.
9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Notaris dilarang: a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat; f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. merangkap . . .
11
- 12 g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; h. menjadi Notaris Pengganti; atau i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. (2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. 10. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. (2) Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris. (3) Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. (4) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. 11. Ketentuan . . .
12
- 13 11. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 20 diubah serta ayat (3) dihapus sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya. (2) Bentuk persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dihapus. 12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan: a. kegiatan dunia usaha; b. jumlah penduduk; dan/atau c. rata-rata jumlah Akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris setiap bulan. (2) Formasi Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pedoman untuk menentukan kategori daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi Jabatan Notaris dan penentuan kategori daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 13. Ketentuan Pasal 32 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Notaris yang menjalankan cuti wajib menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti. (2) Notaris . . . 13
- 14 (2) Notaris Pengganti menyerahkan kembali Protokol Notaris kepada Notaris setelah cuti berakhir. (3) Serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. (4) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. 14. Judul Bagian Kedua BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris 15. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga negara Indonesia yang berijazah sarjana hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut. (2) Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, kecuali Undang-Undang ini menentukan lain. 16. Pasal 34 . . .
14
- 15 16. Pasal 34 dihapus. 17. Ketentuan ayat (1) Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (3) Apabila Notaris meninggal dunia pada saat menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris Pengganti sebagai Pejabat Sementara Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia. (4) Pejabat Sementara Notaris menyerahkan Protokol Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada Majelis Pengawas Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia. (5) Pejabat Sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat membuat Akta atas namanya sendiri dan mempunyai Protokol Notaris. 18. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. (2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan lisan; b. peringatan tertulis; c. pemberhentian sementara; d. pemberhentian . . . 15
- 16 d. pemberhentian dengan hormat; atau e. pemberhentian dengan tidak hormat. 19. Ketentuan ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 38 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Setiap Akta terdiri atas: a. awal Akta atau kepala Akta; b. badan Akta; dan c. akhir atau penutup Akta. (2) Awal Akta atau kepala Akta memuat: a. judul Akta; b. nomor Akta; c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan Akta memuat: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. keterangan penghadap;
mengenai
kedudukan
bertindak
c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup Akta memuat: a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7); b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada; c. nama . . . 16
- 17 c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya. (5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. 20. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 39 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam Akta. 21. Ketentuan ayat (2) Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. (2) Saksi . . . 17
- 18 (2)
Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta; d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
(3)
Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.
(4)
Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta.
22. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 23. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 43 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
(1) Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. (2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa (2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam dalam Akta, Akta, Notaris Notaris wajib wajib yang digunakan menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. (3) Jika . . . 18
- 19 -
(3) Jika Jikapara parapihak pihakmenghendaki, menghendaki, Akta Akta dapat dapat dibuat dibuat dalam bahasa asing. dalam bahasa asing. (4) Dalam hal Akta dibuat sebagaimana (4) Dalam hal Akta dibuat sebagaimanadimaksud dimaksud pada wajibmenerjemahkannya menerjemahkannya padaayat ayat (3), (3), Notaris Notaris wajib ke kedalam dalam bahasa Indonesia. bahasa Indonesia. (5) Apabila Notaris tidak Apabila Notaris tidakdapat dapatmenerjemahkan menerjemahkan atau atau menjelaskannya, Aktatersebut tersebut diterjemahkan menjelaskannya, Akta diterjemahkan atau atau dijelaskan oleh seorang penerjemah dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. resmi. (6) hal hal terdapat (6) DalamDalam terdapatperbedaan perbedaan penafsiran penafsiran terhadap Aktasebagaimana sebagaimana dimaksud terhadap isi Akta dimaksud padapada ayat ayat maka digunakan Aktadibuat yang (2), (2), maka yangyang digunakan adalahadalah Akta yang dibuat Indonesia. dalam dalam bahasabahasa Indonesia. 24. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 44 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) SegeraSegera setelah dibacakan,Akta Akta tersebut tersebut (1) setelah AktaAkta dibacakan, ditandatangani olehsetiap setiap penghadap, saksi, ditandatangani oleh penghadap, saksi, dan dan Notaris, ada penghadap Notaris, kecualikecuali apabila apabila ada penghadap yang tidak yang dapat membubuhkan tanda tangan dapattidak membubuhkan tanda tangan dengan dengan menyebutkan alasannya. menyebutkan alasannya. (2) AlasanAlasan sebagaimana dimaksudpada pada ayat ayat (1) (1) (2) sebagaimana dimaksud dinyatakan secara tegas pada akhir Akta. dinyatakan secara tegas pada akhir Akta. (3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 (3) Akta dimaksud dalam Pasal 43 ayat sebagaimana (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi. saksi, dan penerjemah resmi. (4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada (4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat (3) penandatanganan sebagaimana dimaksud pada dinyatakan secara tegas pada akhir Akta. ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat (3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta. (5) Pelanggaran . . .
19
- 20 (5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris 25. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 48 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Isi Akta dilarang untuk diubah dengan: a. b. c. d. e. f.
diganti; ditambah; dicoret; disisipkan; dihapus; dan/atau ditulis tindih.
(2) Perubahan isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. 26. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 49 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 49 berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Setiap perubahan atas Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat di sisi kiri Akta. (2) Dalam . . . 20
- 21 (2) Dalam hal suatu perubahan tidak dapat dibuat di sisi kiri Akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir Akta, sebelum penutup Akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. (3) Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. 27. Ketentuan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 50 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Jika dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri Akta. (2) Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. (3) Dalam hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan itu dilakukan pada sisi kiri Akta sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2). (4) Pada penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atas pencoretan. (5) Dalam . . .
21
- 22 (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta dalam Pasal 38 ayat (4) huruf d tidak dipenuhi, Akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. 28. Ketentuan ayat (2) Pasal 51 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1)
Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2)
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.
(3)
Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak.
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. 29. Ketentuan . . .
22
- 23 -
29. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. (2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. 30. Ketentuan ayat (1) Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris Pengganti dicatat dalam daftar akta. (2) Surat di bawah tangan yang disahkan dan surat di bawah tangan yang dibukukan, dicatat dalam daftar surat di bawah tangan yang disahkan dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan. 31. Ketentuan Pasal 63 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) Penyerahan Protokol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris. (2) Dalam . . . 23
- 24 (2) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh ahli waris Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. (3) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf g, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, atau huruf h, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah. (5) Protokol Notaris dari Notaris lain yang pada waktu penyerahannya berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih diserahkan oleh Notaris penerima Protokol Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah. (6) Dalam hal Protokol Notaris tidak diserahkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk mengambil Protokol Notaris. 32. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris. 33. Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 65A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 65A Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 58 dan Pasal 59 dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian . . .
24
- 25 b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. 34. Judul Bab VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIII PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS 35. Ketentuan ayat (1) Pasal 66 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau suratsurat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. (3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. (4) Dalam . . .
25
- 26 (4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan. 36. Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66A (1) Dalam melaksanakan pembinaan, membentuk majelis kehormatan Notaris.
Menteri
(2) Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur: a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; b. Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan c. ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri. 37. Ketentuan ayat (3) dan ayat (6) Pasal 67 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 (1) Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri. (2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas. (3) Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur: a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan c. ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang. (4) Dalam . . . 26
- 27 (4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri. (5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. (6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris. 38. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 69 diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1)
Majelis Pengawas Kabupaten/Kota.
Daerah
dibentuk
di
(2)
Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(2a) Dalam hal di suatu Kabupaten/Kota, jumlah Notaris tidak sebanding dengan jumlah anggota Majelis Pengawas Daerah, dapat dibentuk Majelis Pengawas Daerah gabungan untuk beberapa Kabupaten/Kota. (3)
Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
(5)
Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah. 39. Ketentuan . . .
27
- 28 -
39. Ketentuan Pasal 73 ayat (1) huruf a dan huruf e diubah serta huruf g dihapus sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 (1) Majelis Pengawas Wilayah berwenang: a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah; b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor; e. memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis; f.
mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa: 1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau 2) pemberhentian dengan tidak hormat.
g. dihapus. (2) Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final. (3) Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara. 40. Ketentuan . . .
28
- 29 40. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata kerja, anggaran serta tata cara pemeriksaan Majelis Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri. 41. Ketentuan ayat (2) Pasal 82 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga Pasal 82 berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1)
Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
(2)
Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia.
(3)
Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris.
(4)
Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris.
(5)
Ketentuan mengenai penetapan, pembinaan, dan pengawasan Organisasi Notaris diatur dengan Peraturan Menteri. 42. Ketentuan . . .
29
- 30 42. Ketentuan Bab XI dihapus. 43. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. pengajuan permohonan sebagai Notaris yang sedang diproses, tetap diproses berdasarkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. b. masa magang yang telah dijalani calon Notaris tetap diperhitungkan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 44. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 91A dan Pasal 91B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 91A Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 16 ayat (11) dan ayat (13), Pasal 17 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 32 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 54 ayat (2), dan Pasal 65A diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 91B Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . .
30
- 31 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 3
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, ttd. Wisnu Setiawan
31
PENJELASAN PENJELASAN ATAS ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TENTANG JABATAN NOTARIS I. UMUM I. UMUM Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan bagi setiap warga negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Jaminan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Jaminan perlindungan dan jaminan tercapainya kepastian hukum terhadap perlindungan dan jaminan tercapainya kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas Notaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 pelaksanaan tugas Notaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun, beberapa ketentuan dalam Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan, hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan, yang juga dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan yang juga dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan undang-undang lain. pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan undang-undang lain. Beberapa ketentuan yang diubah dari Undang-Undang Nomor 30 Beberapa ketentuan yang diubah dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, antara lain: Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, antara lain: 1. penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, antara 1. penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, antara lain, adanya surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater serta lain, adanya surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater serta perpanjangan jangka waktu menjalani magang dari 12 (dua perpanjangan jangka waktu menjalani magang dari 12 (dua belas) bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan; belas) bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan; 32
2. penambahan . . . 2. penambahan . . .
-22. penambahan kewajiban, larangan merangkap jabatan, dan alasan pemberhentian sementara Notaris; 3. pengenaan kewajiban kepada calon Notaris yang sedang melakukan magang; 4. penyesuaian pengenaan sanksi yang diterapkan pada pasal tertentu, antara lain, berupa pernyataan bahwa Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, peringatan lisan/peringatan tertulis, atau tuntutan ganti rugi kepada Notaris; 5. pembedaan terhadap perubahan yang terjadi pada isi Akta, baik yang bersifat mutlak maupun bersifat relatif; 6. pembentukan majelis kehormatan Notaris; 7. penguatan dan penegasan Organisasi Notaris; 8. penegasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembuatan Akta autentik; dan 9. penguatan fungsi, wewenang, dan kedudukan Majelis Pengawas. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai Notaris. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . .
33
-3Huruf f Yang dimaksud dengan “prakarsa sendiri” adalah bahwa calon Notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari organisasi Notaris. Yang dimaksud dengan “menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja” ditentukan berdasarkan surat keterangan tanggal pertama kali magang/bekerja di kantor Notaris. Huruf g Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" dan “pejabat negara” adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Yang dimaksud dengan “advokat” adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Huruf h Cukup jelas. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui Notaris yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan nyata. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . . 34
-4Huruf c Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “secara berjenjang” dalam ketentuan ini dimulai dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, sampai dengan Majelis Pengawas Pusat. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . . 35
-5Huruf f Cukup jelas. Huruf g Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pengangkatan Notaris menjadi Pejabat Lelang Kelas II, diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Angka 7 Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kewajiban dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga keautentikan suatu Akta dengan menyimpan Akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Grosse Akta yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan ini adalah Grosse pertama, sedang berikutnya hanya dikeluarkan atas perintah pengadilan. Huruf e . . .
36
-6Huruf e Yang dimaksud dengan "alasan untuk menolaknya" adalah alasan yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang. Huruf f Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan Akta tersebut. Huruf g Akta dan surat yang dibuat Notaris sebagai dokumen resmi bersifat autentik memerlukan pengamanan baik terhadap Akta itu sendiri maupun terhadap isinya untuk mencegah penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Kewajiban yang diatur dalam ketentuan ini adalah penting untuk memberi jaminan perlindungan terhadap kepentingan ahli waris, yang setiap saat dapat dilakukan penelusuran atau pelacakan akan kebenaran dari suatu Akta wasiat yang telah dibuat di hadapan Notaris. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Pencatatan dalam repertorium dilakukan pada hari pengiriman, hal ini penting untuk membuktikan bahwa kewajiban Notaris sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan huruf g telah dilaksanakan. Huruf l Cukup jelas. Huruf m . . . 37
-7Huruf m Bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani Akta di hadapan penghadap dan saksi. Huruf n Penerimaan magang calon Notaris berarti mempersiapkan calon Notaris agar mampu menjadi Notaris yang profesional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Akta in originali” adalah Akta yang dibuat oleh Notaris dengan menyerahkan aslinya kepada pihak yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 16A Cukup jelas. Angka 9 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 10 . . . 38
-8Angka 10 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 16 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . 39
-9Huruf b Yang dimaksud dengan “kedudukan bertindak penghadap” adalah dasar hukum bertindak. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 20 Pasal 39 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 40 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 41 Cukup jelas.
Angka 23 Pasal 43 Ayat (1) Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia yang baku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penerjemah resmi dalam ketentuan ini antara lain penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan terdaftar atau menggunakan staf pada kedutaan besar negara asing jika tidak ada penerjemah tersumpah. Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 24 . . .
40
- 10 Angka 24 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 49 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 51 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 60 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 63 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 65 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 65A Cukup jelas. Angka 34 Cukup jelas.
Angka 35 . . .
41
- 11 Angka 35 Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat(2) Cukup jelas. Ayat (3) Penolakan dalam ketentuan ini disertai dengan alasan yang sesuai dengan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 36 Pasal 66A Cukup jelas. Angka 37 Pasal 67 Cukup jelas. Angka 38 Pasal 69 Cukup jelas. Angka 39 Pasal 73 Cukup jelas. Angka 40 Pasal 81 Cukup jelas. Angka 41 Pasal 82 Cukup jelas. Angka 42 Cukup jelas.
Angka 43 . . .
42
- 12 Angka 43 Pasal 88 Cukup jelas. Angka 44 Pasal 91A Cukup jelas. Pasal 91B Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5491
43
44
SALINAN SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 REPUBLIK TAHUN 2014 UNDANG-UNDANG INDONESIA TENTANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang Menimbang
Mengingat Mengingat
:
PRESIDEN INDONESIA, a. bahwa untukREPUBLIK mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merdeka, bersatu, dan berdaulat berdasarkan : a. Pancasila bahwa untuk masyarakat dan makmur danmewujudkan Undang-Undang Dasaradil Negara Republik yang merdeka, berdaulat pembangunan berdasarkan Indonesia Tahunbersatu, 1945 dan dilaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik nasional berdasar atas demokrasi ekonomi; Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan pembangunan b. bahwa nasionalekonomi; di bidang ekonomi nasionalpembangunan berdasar atas demokrasi dilaksanakan dalam rangka menciptakan struktur b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri dilaksanakan dalam rangka menciptakan struktur yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri didukung olehsebagai kekuatan danpenggerak kemampuan sumberyang daya yang maju motor ekonomi yang tangguh; didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh; c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui struktur Industri sehat, c. bahwa penguatan pembangunan industri yang yang majumandiri, diwujudkan dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber melalui penguatan struktur Industri yang mandiri, sehat, daya secara saing, optimaldengan dan mendayagunakan efisien, serta mendorong dan berdaya sumber daya secara optimal efisien, serta mendorong perkembangan industri dan ke seluruh wilayah Indonesia perkembangan ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjagaindustri keseimbangan kemajuan dan kesatuan dengan menjaga kemajuan dankerakyatan, kesatuan ekonomi nasionalkeseimbangan yang berlandaskan pada ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional; mengutamakan kepentingan nasional; d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang d. Perindustrian bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984perubahan tentang sudah tidak sesuai dengan Perindustrian sudah tidak sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan industri sehingga perlu diganti paradigma pembangunan industri sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; dengan undang-undang yang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang perlu membentuk Undang-Undang tentang Perindustrian; Perindustrian;
: : 1.1. Pasal 20, dan dan Pasal Pasal33 33Undang-Undang Undang-Undang Pasal 55 ayat ayat (1), (1), Pasal Pasal 20, Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan 45 2.2.Ketetapan ... ...
- 2 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri.
2.
Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.
3.
Industri Hijau adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
4.
Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara. 5. Bahan ...
46
- 3 5.
Bahan Baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
6.
Jasa Industri adalah usaha jasa yang terkait dengan kegiatan Industri.
7.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
8.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
9.
Perusahaan Industri adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia.
10. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri. 11. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. 12. Teknologi Industri adalah hasil pengembangan, perbaikan, invensi, dan/atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk termasuk rancang bangun dan perekayasaan, metode, dan/atau sistem yang diterapkan dalam kegiatan Industri. 13. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri. 14. Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Kawasan Industri. 15. Informasi ...
47
- 4 15. Informasi Industri adalah hasil pengolahan Data Industri dan Data Kawasan Industri ke dalam bentuk tabel, grafik, kesimpulan, atau narasi analisis yang memiliki arti atau makna tertentu yang bermanfaat bagi penggunanya. 16. Sistem Informasi Industri Nasional adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau Informasi Industri. 17. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi. 18. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi standar bidang Industri yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. 19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. Pasal 2 Perindustrian diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepentingan nasional; b. demokrasi ekonomi; c. kepastian berusaha; d. pemerataan ...
48
- 5 d. pemerataan persebaran; e. persaingan usaha yang sehat; dan f.
keterkaitan Industri. Pasal 3
Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan: a. mewujudkan Industri nasional penggerak perekonomian nasional;
sebagai
pilar
dan
b. mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri; c. mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau; d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; e. membuka kesempatan kesempatan kerja; f.
berusaha
dan
perluasan
mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
g. meningkatkan kemakmuran masyarakat secara berkeadilan.
dan
kesejahteraan
Pasal 4 Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi: a. penyelenggaraan Perindustrian;
urusan
pemerintahan
di
bidang
b. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional; c. Kebijakan Industri Nasional; d. perwilayahan Industri; e. pembangunan sumber daya Industri; f.
pembangunan sarana dan prasarana Industri;
g. pemberdayaan Industri; h. tindakan ...
49
- 6 h. tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri; i.
perizinan, fasilitas;
penanaman
j.
Komite Industri Nasional;
modal
bidang
Industri,
dan
k. peran serta masyarakat; dan l.
pengawasan dan pengendalian. BAB II
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG PERINDUSTRIAN Pasal 5 (1) Presiden berwenang menyelenggarakan pemerintahan di bidang Perindustrian. (2) Kewenangan sebagaimana dilaksanakan oleh Menteri.
dimaksud
pada
urusan ayat
(1)
(3) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Perindustrian. Pasal 6 (1) Kewenangan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu dilaksanakan oleh menteri terkait dengan berkoordinasi dengan Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan pengaturan yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 7 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Ketentuan ...
50
- 7 (2) Ketentuan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB III RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL Pasal 8 (1) Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan Perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disusun Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (2) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. (3) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri. (4) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 9 (1) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri; b. budaya Industri dan kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat; c. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah; d. perkembangan Industri dan bisnis, baik nasional maupun internasional; e. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional; dan f.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. (2) Rencana ...
51
- 8 (2) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional paling sedikit meliputi: a. visi, misi, dan strategi pembangunan Industri; b. sasaran dan tahapan capaian pembangunan Industri; c. bangun Industri nasional; d. pembangunan sumber daya Industri; e. pembangunan sarana dan prasarana Industri; f.
pemberdayaan Industri; dan
g. perwilayahan Industri. (3) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. (4) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dilaksanakan melalui Kebijakan Industri Nasional. (5) Rencana Induk Pembangunan Industri ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Nasional
Pasal 10 (1) Setiap gubernur Industri Provinsi.
menyusun
Rencana
Pembangunan
(2) Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. (3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ... Pasal 11 ....
52
- 9 Pasal 11 (1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota. (2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. (3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi serta daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Pasal 12 (1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan tindakan untuk melaksanakan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (2) Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi: a. sasaran pembangunan Industri; b. fokus pengembangan Industri; c. tahapan capaian pembangunan Industri; d. pengembangan sumber daya Industri; e. pengembangan sarana dan prasarana; f.
pengembangan perwilayahan Industri; dan
g. fasilitas fiskal dan nonfiskal. (3) Kebijakan ...
53
- 10 (3) Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (4) Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. (5) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden. Pasal 13 (1) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Industri. (2) Rencana Kerja Pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (3) Rencana Kerja Pembangunan Industri disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. (4) Rencana Kerja Pembangunan Industri ditetapkan oleh Menteri. BAB V PERWILAYAHAN INDUSTRI Pasal 14 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri. (2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan: a. rencana tata ruang wilayah; b. pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional; c. peningkatan ...
54
- 11 c. peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber daya yang dimiliki daerah; dan d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai. (3) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui: a. pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri; b. pengembangan kawasan peruntukan Industri; c. pembangunan Kawasan Industri; dan d. pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 15 Pembangunan sumber daya Industri meliputi: a. pembangunan sumber daya manusia; b. pemanfaatan sumber daya alam; c. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri; d. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi; dan e. penyediaan sumber pembiayaan. Bagian Kedua Pembangunan Sumber Daya Manusia Pasal 16 (1) Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri. (2) Pembangunan ...
55
- 12 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat. (3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota. (4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri. Pasal 17 (1) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf a dilakukan untuk menghasilkan wirausaha yang berkarakter dan bermental kewirausahaan serta mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang usahanya meliputi: a.
kompetensi teknis;
b. kompetensi manajerial; dan c.
kreativitas dan inovasi.
(2) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan: a.
pendidikan dan pelatihan;
b. inkubator Industri; dan c.
kemitraan.
(3) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap calon wirausaha Industri dan wirausaha Industri yang telah menjalankan kegiatan usahanya. (4) Kegiatan ...
56
- 13 (4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh: a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. lembaga pendidikan nonformal; atau c. lembaga penelitian terakreditasi.
dan
pengembangan
yang
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 18 (1) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf b dilakukan untuk menghasilkan tenaga kerja Industri yang mempunyai kompetensi kerja di bidang Industri sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia meliputi: a.
kompetensi teknis; dan
b. kompetensi manajerial. (2) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan: a.
pendidikan dan pelatihan; dan
b. pemagangan. (3) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap tenaga kerja dan calon tenaga kerja. (4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh: a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. lembaga pendidikan nonformal; c. lembaga penelitian terakreditasi; atau
dan
pengembangan
yang
d. Perusahaan Industri. Pasal ... Pasal 19 ....
57
- 14 Pasal 19 (1) Tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terdiri atas: a.
tenaga teknis; dan
b. tenaga manajerial. (2) Tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memiliki: a. kompetensi teknis sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan b. pengetahuan manajerial. (3) Tenaga manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memiliki: a. kompetensi manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan b. pengetahuan teknis. Pasal 20 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri. Pasal 21 (1) Pembangunan pembina Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf c dilakukan untuk menghasilkan pembina Industri yang kompeten agar mampu berperan dalam pemberdayaan Industri yang meliputi: a.
kompetensi teknis; dan
b. kompetensi manajerial. (2) Pembangunan pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan: a.
pendidikan dan pelatihan; dan/atau
b. pemagangan. (3) Pembangunan ...
58
- 15 (3) Pembangunan pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aparatur pemerintah di pusat dan di daerah. (4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh: a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. lembaga pendidikan nonformal; c. lembaga penelitian terakreditasi; atau
dan
pengembangan
yang
d. Perusahaan Industri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 22 Pembina Industri dapat bermitra dengan asosiasi Industri dalam melakukan pembinaan dan pengembangan Industri. Pasal 23 (1) Konsultan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf d merupakan tenaga ahli yang berperan untuk membantu, memberi saran, dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi pelaku Industri dan pembina Industri. (2) Konsultan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki keterampilan teknis, administratif, dan manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri. (3) Konsultan Industri asing yang dipekerjakan di Indonesia harus memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri. Pasal 24 (1) Dalam keadaan tertentu Menteri dapat menyediakan konsultan Industri yang kompeten. (2) Ketentuan ...
59
- 16 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan konsultan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 25 (1) Menteri menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri. (2) Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atas usul Menteri. (3) Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima usulan Menteri. (4) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan tidak ditetapkan, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan berlaku oleh Menteri sampai dengan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. (5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib. (6) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. (7)oPerusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan ...
60
- 17 d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. (8)0Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 26 Untuk memenuhi ketersediaan tenaga kerja Industri yang kompeten, Menteri memfasilitasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi dan tempat uji kompetensi. Pasal 27 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri mengutamakan penggunaan tenaga kerja Industri dan konsultan Industri nasional. (2) Dalam kondisi tertentu Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dapat menggunakan tenaga kerja Industri asing dan/atau konsultan Industri asing. (3) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan tenaga kerja Industri asing dan/atau konsultan Industri asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan alih pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga kerja Industri dan/atau konsultan Industri nasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kerja Industri dan konsultan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 28 (1) Tenaga kerja asing yang bekerja di bidang Industri harus memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. (2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperbolehkan bekerja dalam jangka waktu tertentu. (3) Ketentuan ...
61
- 18 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 29 Menteri dapat melakukan pelarangan penggunaan tenaga kerja asing dalam rangka pengamanan kepentingan strategis Industri nasional tertentu. Bagian Ketiga Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pasal 30 (1) Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. (2) Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh: a. Perusahaan Industri pada tahap perancangan produk, perancangan proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan b. Perusahaan Kawasan Industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan Kawasan Industri, termasuk pengelolaan limbah. (3) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyusun rencana pemanfaatan sumber daya alam. (4) Penyusunan rencana pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu kepada Kebijakan Industri Nasional. (5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan ...
62
- 19 e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. (6) Ketentuan mengenai pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 31 Dalam rangka peningkatan nilai tambah sumber daya alam, Pemerintah mendorong pengembangan Industri pengolahan di dalam negeri. Pasal 32 (1) Dalam rangka peningkatan nilai tambah Industri guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, Pemerintah dapat melarang atau membatasi ekspor sumber daya alam. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 33 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri. (2) Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal ... Pasal 34 ....
63
- 20 Pasal 34 (1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai energi wajib melakukan manajemen energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 35 (1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan air baku wajib melakukan manajemen air sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Industri Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri. (2) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri. (3) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. Pasal 37 Menteri menetapkan kebijakan pemilihan, pengadaan, dan pemanfaatan Teknologi Industri dengan memperhatikan aspek kemandirian, ketahanan Industri, keamanan, dan pelestarian fungsi lingkungan. Pasal Pasal 38... ....
64
- 21 Pasal 38 (1) Pemerintah Industri.
dapat
melakukan
pengadaan
Teknologi
(2) Pengadaan Teknologi Industri dilakukan melalui penelitian dan pengembangan, kontrak penelitian dan pengembangan, usaha bersama, pengalihan hak melalui lisensi, dan/atau akuisisi teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Teknologi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 39 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat melakukan pengadaan Teknologi Industri melalui proyek putar kunci. (2) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih teknologi kepada pihak domestik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Teknologi Industri melalui proyek putar kunci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. (4) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci yang tidak melakukan alih teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a.
peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau c.
penghentian sementara.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 40 (1) Pemerintah melakukan penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri yang dikembangkan di dalam negeri. (2) Ketentuan mengenai penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal ... Pasal 41 ....
65
- 22 Pasal 41 (1) Untuk pengendalian pemanfaatan Teknologi Industri, Pemerintah: a.
mengatur investasi bidang usaha Industri; dan
b. melakukan audit Teknologi Industri. (2) Pengaturan investasi bidang usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam melakukan audit Teknologi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai audit Teknologi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 42 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi: a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri; b. promosi alih teknologi dari Industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang Industri. Bagian Kelima Pengembangan dan Pemanfaatan Kreativitas dan Inovasi Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri. (2) Pengembangan ...
66
- 23 (2) Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. (3) Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan: a. penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; b. pengembangan sentra Industri kreatif; c. pelatihan teknologi dan desain; d. konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan e. fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri. Bagian Keenam Penyediaan Sumber Pembiayaan Pasal 44 (1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri. (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang perseorangan. (3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. (4) Pembiayaan sebagaimana diberikan dalam bentuk: a.
dimaksud
pada
ayat
(3)
pemberian pinjaman;
b. hibah; dan/atau c.
penyertaan modal. Pasal ... Pasal 45 ....
67
- 24 Pasal 45 (1) Pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan dan/atau memberikan kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta. (2) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk: a. penyertaan modal; b. pemberian pinjaman; c. keringanan bunga pinjaman; d. potongan harga pembelian mesin dan peralatan; dan/atau e. bantuan mesin dan peralatan. (3) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 46 (1) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. (2) Penetapan kondisi dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden. (3) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 47 (1) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam rangka peningkatan daya saing Industri dalam negeri dan/atau pembangunan Industri pionir. (2) Penetapan ...
68
- 25 (2) Penetapan kondisi dalam rangka peningkatan daya saing Industri dalam negeri dan/atau pembangunan Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 48 (1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan Industri, dapat dibentuk lembaga pembiayaan pembangunan Industri. (2) Lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang Industri. (3) Pembentukan lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang. BAB VII PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 49 Pembangunan sarana dan prasarana Industri meliputi: a. Standardisasi Industri; b. infrastruktur Industri; dan c. Sistem Informasi Industri Nasional. Bagian Kedua Standardisasi Industri Pasal 50 (1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan Standardisasi Industri. (2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara. (3) SNI ...
69
- 26 (3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 51 (1) Penerapan SNI oleh Perusahaan Industri bersifat sukarela. (2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah menerapkan SNI dapat membubuhkan tanda SNI pada barang dan/atau Jasa Industri. (3) Terhadap barang dan/atau Jasa Industri yang telah dibubuhi tanda SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Industri harus tetap memenuhi persyaratan SNI. Pasal 52 (1) Menteri dapat menetapkan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib. (2) Penetapan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk: a. keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan tumbuhan; b. pelestarian fungsi lingkungan hidup; c. persaingan usaha yang sehat; d. peningkatan daya saing; dan/atau e. peningkatan efisiensi dan kinerja Industri. (3) Pemberlakuan SNI secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri berdasarkan SNI yang telah ditetapkan. (4) Pemberlakuan spesifikasi teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri berdasarkan sebagian parameter SNI yang telah ditetapkan dan/atau standar internasional. (5) Pemberlakuan pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri berdasarkan tata cara produksi yang baik. (6) Setiap ...
70
- 27 (6) Setiap barang memenuhi:
dan/atau
Jasa
Industri
yang
telah
a. SNI yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda SNI; b. SNI dan spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian; atau c. spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian. Pasal 53 (1) Setiap Orang dilarang: a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; atau b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib. (2) Menteri dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu. Pasal 54 Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri wajib menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri. Pasal 55 Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait menarik setiap barang yang beredar dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b. Pasal56 ... .... Pasal
71
- 28 Pasal 56 Kewajiban mematuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 oleh importir dilakukan pada saat menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pasal 57 (1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui penilaian kesesuaian. (2) Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi. (3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri. (4) Pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri. Pasal 58 Untuk kelancaran pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib, Menteri: a. menyediakan, meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana laboratorium pengujian standar Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri; dan b. memberikan fasilitas bagi Industri kecil dan Industri menengah. Pasal 59 Menteri mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. Pasal ... Pasal 60 ....
72
- 29 Pasal 60 (1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif. (2) Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri yang tidak menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri. Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai Standardisasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Infrastruktur Industri Pasal 62 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur Industri. (2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri. (3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan Industri; b. fasilitas ...
73
- 30 b. c. d. e. f.
fasilitas fasilitas fasilitas fasilitas fasilitas
jaringan energi dan kelistrikan; jaringan telekomunikasi; jaringan sumber daya air; sanitasi; dan jaringan transportasi.
(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau c.
pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta. Pasal 63
(1) Untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien dan efektif di wilayah pusat pertumbuhan Industri dibangun Kawasan Industri sebagai infrastruktur Industri. (2) Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada pada kawasan peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. (3) Pembangunan kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau koperasi. (4) Dalam hal tertentu, Pemerintah pembangunan kawasan Industri.
memprakarsai
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Sistem Informasi Industri Nasional Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. (2) Data ...
74
- 31 (2) Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data Industri dan mengakses informasi. Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. (2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data Kawasan Industri dan mengakses informasi. Pasal 66 Berdasarkan permintaan Menteri, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memberikan data selain Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 yang terkait dengan: a. data tambahan; b. klarifikasi data; dan/atau c. kejadian luar biasa di Perusahaan Perusahaan Kawasan Industri.
Industri
atau
Pasal67 ... .... Pasal
75
- 32 Pasal 67 (1) Menteri mengadakan data mengenai perkembangan dan peluang pasar serta perkembangan Teknologi Industri. (2) Pengadaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui: a. sensus, pendataan, atau survei; b. tukar menukar data; c. kerja sama teknik; d. pembelian; dan e. intelijen Industri. (3) Pengadaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh satuan kerja di bawah Menteri dan pejabat negara yang ditempatkan di seluruh kantor perwakilan Negara Republik Indonesia di negara lain. (4) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional. Pasal 68 (1) Menteri membangun dan Informasi Industri Nasional.
mengembangkan
Sistem
(2) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. Data Industri; b. Data Kawasan Industri; c. data perkembangan dan peluang pasar; dan d. data perkembangan Teknologi Industri. (3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkoneksi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan sistem informasi di negara lain atau organisasi internasional. (4) Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota. Pasal ... Pasal 69 ....
76
- 33 Pasal 69 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 70 (1) Setiap Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memberikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau f.
pemberhentian dengan tidak hormat. Pasal ... Pasal 71 ....
77
- 34 Pasal 71 Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan tata cara pengenaan sanksi administratif serta besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VIII PEMBERDAYAAN INDUSTRI Bagian Kesatu Industri Kecil dan Industri Menengah Pasal 72 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah yang: a. berdaya saing; b. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional; c. berperan dalam pengentasan kemiskinan perluasan kesempatan kerja; dan
melalui
d. menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor. (2) Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a.
perumusan kebijakan;
b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan c.
pemberian fasilitas. Pasal 73
Dalam rangka merumuskan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a, Menteri menetapkan prioritas pengembangan Industri kecil dan Industri menengah dengan mengacu paling sedikit kepada: a. sumber ...
78
- 35 a. sumber daya Industri daerah; b. penguatan dan pendalaman struktur Industri nasional; dan c. perkembangan ekonomi nasional dan global. Pasal 74 (1) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling sedikit dilakukan melalui: a. peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 75 (1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk: a. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi; b. bantuan dan bimbingan teknis; c. bantuan Bahan Baku dan bahan penolong; d. bantuan mesin atau peralatan; e. pengembangan produk; f.
bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau;
g. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; h. akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; i.
penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau j. pengembangan ...
79
- 36 j. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 76 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Industri Hijau Pasal 77 Untuk mewujudkan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, Pemerintah melakukan: a. perumusan kebijakan; b. penguatan kapasitas kelembagaan; c. Standardisasi; dan d. pemberian fasilitas. Pasal 78 (1) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dilakukan dengan peningkatan kemampuan dalam: a. penelitian dan pengembangan; b. pengujian; c. sertifikasi; dan d. promosi. (2) Penguatan ...
80
- 37 (2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. Pasal 79 (1) Dalam melakukan Standardisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c, Menteri menyusun dan menetapkan standar Industri Hijau. (2) Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. Bahan Baku, bahan penolong, dan energi; b. proses produksi; c. produk; d. manajemen pengusahaan; dan e.
pengelolaan limbah.
(3) Penyusunan standar Industri Hijau dilakukan dengan: a. memperhatikan sistem Standardisasi nasional dan/atau sistem standar lain yang berlaku; dan b. berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, bidang riset dan teknologi, bidang Standardisasi, serta berkoordinasi dengan asosiasi Industri, Perusahaan Industri, dan lembaga terkait. (4) Standar Industri Hijau yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi Perusahaan Industri. Pasal 80 (1) Penerapan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) secara bertahap dapat diberlakukan secara wajib. (2) Pemberlakuan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (3) Perusahaan ...
81
- 38 (3) Perusahaan Industri wajib memenuhi ketentuan standar Industri Hijau yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri. Pasal 81 (1) Perusahaan Industri dikategorikan sebagai Industri Hijau apabila telah memenuhi standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79. (2) Perusahaan Industri yang telah memenuhi standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat Industri Hijau. (3) Sertifikasi Industri Hijau dilakukan oleh lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri. (4) Dalam hal belum terdapat lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat membentuk lembaga sertifikasi Industri Hijau. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 82 Untuk mewujudkan Industri Hijau, Perusahaan Industri secara bertahap: a. membangun komitmen bersama dan menyusun kebijakan perusahaan untuk pembangunan Industri Hijau; b. menerapkan kebijakan pembangunan Industri Hijau; c. menerapkan sistem manajemen ramah lingkungan; dan d. mengembangkan ...
82
- 39 d. mengembangkan jaringan bisnis dalam rangka memperoleh Bahan Baku, bahan penolong, dan teknologi ramah lingkungan. Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan tata cara pengenaan sanksi administratif serta besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Industri Strategis Pasal 84 (1) Industri Strategis dikuasai oleh negara. (2) Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Industri yang: a. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak; b. meningkatkan atau menghasilkan sumber daya alam strategis; dan/atau
nilai
tambah
c. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. (3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengaturan kepemilikan; b. penetapan kebijakan; c. pengaturan perizinan; d. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan e. pengawasan. (4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui: a. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah; b. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah dan swasta; atau c. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing. (5) Penetapan ...
83
- 40 (5) Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi: a.
penetapan jenis Industri Strategis;
b. pemberian fasilitas; dan c.
pemberian kompensasi kerugian.
(6) Izin usaha Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan oleh Menteri. (7) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk. (8) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional dan pengawasan distribusi. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Pasal 85 Untuk pemberdayaan Industri dalam negeri, Pemerintah meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Pasal 86 (1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib digunakan oleh: a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan b. badan ...
84
- 41 b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara. (2) Pejabat pengadaan barang/jasa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a.
peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau c.
pemberhentian dari jabatan pengadaan barang/jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal produk dalam negeri belum tersedia atau belum mencukupi. Pasal 87 (1) Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dilakukan sesuai besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen dalam negeri. (2) Ketentuan dan tata cara penghitungan tingkat komponen dalam negeri merujuk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Tingkat komponen dalam negeri mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh Menteri. (4) Menteri dapat menetapkan batas minimum nilai tingkat komponen dalam negeri pada Industri tertentu.
Pasal 88....... Pasal
85
- 42 Pasal 88 Dalam rangka penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pemerintah dapat memberikan fasilitas paling sedikit berupa: a. preferensi harga dan kemudahan administrasi dalam pengadaan barang/jasa; dan b. sertifikasi tingkat komponen dalam negeri. Pasal 89 Pemerintah mendorong badan usaha swasta dan masyarakat untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Pasal 90 Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan penggunaan produk dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Kerja Sama Internasional di Bidang Industri Pasal 91 (1) Dalam rangka pengembangan Industri, Pemerintah melakukan kerja sama internasional di bidang Industri. (2) Kerja sama internasional di bidang Industri ditujukan untuk: a. pembukaan akses internasional;
dan
pengembangan
pasar
b. pembukaan akses pada sumber daya Industri; c. pemanfaatan jaringan rantai suplai global sebagai sumber peningkatan produktivitas Industri; dan d. peningkatan investasi. (3) Dalam melakukan kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat: a. menyusun rencana strategis; b. menetapkan langkah penyelamatan Industri; dan/atau c. memberikan fasilitas. (4) Dalam ...
86
- 43 (4) Dalam hal kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdampak pada Industri, terlebih dahulu dilakukan melalui konsultasi, koordinasi, dan/atau persetujuan Menteri. Pasal 92 Pemberian fasilitas kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) huruf c paling sedikit meliputi: a. bimbingan, konsultasi, dan advokasi; b. bantuan negosiasi; c. promosi Industri; dan d. kemudahan arus barang dan jasa. Pasal 93 (1) Dalam meningkatkan kerja sama internasional di bidang Industri, Pemerintah dapat menempatkan pejabat Perindustrian di luar negeri. (2) Penempatan pejabat Perindustrian di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebutuhan untuk meningkatkan ketahanan Industri dalam negeri. (3) Dalam hal belum terdapat pejabat Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menugaskan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan kerja sama internasional di bidang Industri. (4) Pejabat Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri. Pasal 94 Pemerintah dapat membina, mengembangkan, dan mengawasi kerja sama internasional di bidang Industri yang dilakukan oleh badan usaha, organisasi masyarakat, atau warga negara Indonesia. Pasal ... Pasal 95 ....
87
- 44 Pasal 95 Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama internasional di bidang Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX TINDAKAN PENGAMANAN DAN PENYELAMATAN INDUSTRI Bagian Kesatu Tindakan Pengamanan Industri Pasal 96 (1) Dalam rangka meningkatkan ketahanan Industri dalam negeri, Pemerintah melakukan tindakan pengamanan Industri. (2) Tindakan pengamanan Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengamanan akibat kebijakan, regulasi, dan/atau iklim usaha yang mengancam ketahanan dan mengakibatkan kerugian Industri dalam negeri; dan b. pengamanan akibat persaingan global yang menimbulkan ancaman terhadap ketahanan dan mengakibatkan kerugian Industri dalam negeri. Pasal 97 Tindakan pengamanan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usulan Menteri. Pasal 98 (1) Penetapan tindakan pengamanan sebagai akibat persaingan global sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf b berupa tarif dan nontarif. (2) Penetapan tindakan pengamanan berupa tarif dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan atas usul Menteri. (3) Penetapan ...
88
- 45 (3) Penetapan tindakan pengamanan berupa nontarif dilakukan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. (4) Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didukung dengan program restrukturisasi Industri. Pasal 99 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan tindakan pengamanan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Tindakan Penyelamatan Industri Pasal 100 (1) Pemerintah dapat melakukan tindakan penyelamatan Industri atas pengaruh konjungtur perekonomian dunia yang mengakibatkan kerugian bagi Industri dalam negeri. (2) Tindakan penyelamatan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui: a. pemberian stimulus fiskal; dan b. pemberian kredit program. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan penyelamatan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB X PERIZINAN, PENANAMAN MODAL BIDANG INDUSTRI, DAN FASILITAS Bagian Kesatu Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri Pasal 101 (1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib memiliki izin usaha Industri. (2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Industri kecil; b. Industri ... 89
- 46 b. Industri menengah; dan c. Industri besar. (3) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri. (4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Industri kepada gubernur dan bupati/walikota. (5) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Izin Usaha Industri Kecil; b. Izin Usaha Industri Menengah; dan c. Izin Usaha Industri Besar. (6) Perusahaan Industri yang telah memperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib:
izin
a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan izin yang dimiliki; dan b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan. Pasal 102 (1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (2) Industri menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. (3) Industri besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. (4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh Menteri. Pasal 103 (1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia. (2) Industri ...
90
- 47 (2) Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia. (3) Industri menengah tertentu dicadangkan untuk dimiliki oleh warga negara Indonesia. (4) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Presiden. Pasal 104 (1) Setiap Perusahaan Industri yang memiliki izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (6) dapat melakukan perluasan. (2) Perusahaan Industri yang melakukan perluasan dengan menggunakan sumber daya alam yang diwajibkan memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan wajib memiliki izin perluasan. Pasal 105 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki izin usaha Kawasan Industri. (2) Izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri. (3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota. (4) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Menteri. (5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan Kawasan Industri. Pasal 106 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri. (2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang: a. belum ...
91
- 48 a. belum memiliki Kawasan Industri; b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis; (3) Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi: a. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau b. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus. (4) Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri. (5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 107 (1) Perusahaan Industri yang tidak memiliki izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1), Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (6), dan/atau Perusahaan Industri yang tidak memiliki izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1), Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (4), Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki izin perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (5), Perusahaan Industri yang tidak berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), Perusahaan Industri yang dikecualikan yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) dikenai sanksi administratif. (3) Sanksi ...
92
- 49 (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c.
penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e.
pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penanaman Modal Bidang Industri Pasal 109 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal di bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri nasional dan peningkatan daya saing Industri. (2) Untuk mendorong penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebijakan yang memuat paling sedikit mengenai: a. strategi penanaman modal; b. prioritas penanaman modal; c. lokasi penanaman modal; d. kemudahan penanaman modal; dan e. pemberian fasilitas. Bagian ...
93
- 50 Bagian Ketiga Fasilitas Industri Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri; b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk; c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal; d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri; e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri; f.
Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor;
g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib; h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan; i.
Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan
j.
Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi. Pasal ... Pasal 111 ....
94
- 51 Pasal 111 (1) Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) berupa fiskal dan nonfiskal. (2) Fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk fasilitas dan tata cara pemberian fasilitas nonfiskal diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XI KOMITE INDUSTRI NASIONAL Pasal 112 (1) Dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dibentuk Komite Industri Nasional. (2) Komite Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh menteri, yang beranggotakan menteri terkait, kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang berkaitan dengan Industri, dan perwakilan dunia usaha. (3) Komite Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan koordinasi dan evaluasi dalam rangka pembangunan Industri yang memerlukan dukungan lintas sektor dan daerah terkait dengan: 1. pembangunan sumber daya Industri; 2
pembangunan sarana dan prasarana Industri;
3. pemberdayaan Industri; 4. perwilayahan Industri; dan 5. pengamanan dan penyelamatan Industri; b. melakukan pemantauan tindak lanjut hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. melakukan koordinasi pelaksanaan kewenangan pengaturan yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pengaturan Industri; dan d. memberi ...
95
- 52 d. memberi masukan dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, dan Rencana Kerja Pembangunan Industri. (4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komite Industri Nasional diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 113 Untuk mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3), Komite Industri Nasional dapat membentuk kelompok kerja yang terdiri dari pakar terkait di bidang Industri yang berasal dari unsur pemerintah, asosiasi Industri, akademisi, dan/atau masyarakat. Pasal 114 (1) Pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional didukung oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. (2) Biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. BAB XII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 115 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau b. penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal Pasal 116.......
96
- 53 Pasal 116 (1) Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dampak negatif kegiatan usaha Industri.
dari
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XIII PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 117 (1) Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. sumber daya manusia Industri; b. pemanfaatan sumber daya alam; c. manajemen energi; d. manajemen air; e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; f. Data Industri dan Data Kawasan Industri; g. standar Industri Hijau; h. standar Kawasan Industri; i. perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri; dan j. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. (4) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri dan/atau lembaga terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri. (5) Pemerintah ...
97
- 54 (5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 118 Dalam hal pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 117 ayat (3) huruf e ditemukan dugaan telah terjadi tindak pidana, pejabat atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) dan ayat (5) melapor kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian. BAB XIV PENYIDIKAN Pasal 119 (1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang: a. menerima laporan dari Setiap Orang tentang adanya dugaan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; c. memanggil ...
98
- 55 c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dalam perkara tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; d. memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; e. meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; f.
melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di tempat tertentu yang diduga menjadi tempat penyimpanan atau tempat diperoleh barang bukti dan menyita benda yang dapat digunakan sebagai barang bukti dan/atau alat bukti dalam tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
g. meminta bantuan tenaga ahli dalam melakukan penyidikan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; h. menangkap pelaku tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; dan/atau i.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Dalam ...
99
- 56 (4) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 120 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 121 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya. BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 122 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang telah beroperasi dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan. BAB ...
100
- 57 BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 123 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; dan c. Izin Usaha Industri dan/atau Izin Perluasan Industri, Tanda Daftar Industri atau izin yang sejenis, yang telah dimiliki oleh Perusahaan Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri dan/atau Izin Perluasan Kawasan Industri yang telah dimiliki oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan masih beroperasi sesuai dengan izin yang diberikan. Pasal 124 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 125 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ...
101
- 58 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 4
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, ttd. Lydia Silvanna Djaman
102
PENJELASAN ATAS PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 3 TAHUN 2014 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 013 TENTANG NOMOR 3 TAHUN 2014 013 PERINDUSTRIAN TENTANG PERINDUSTRIAN I. I.
UMUM Pembangunan nasional harus memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan UMUM makmur di dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan Pembangunan nasional harus memberi manfaat sebesar-besarnya untuk berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan Republik Indonesia Tahun 1945, yang diselenggarakan berdasarkan prinsip makmur di dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan demokrasi ekonomi. berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Pembangunan nasional dilaksanakan memanfaatkan kekuatan dan Republik Indonesia Tahun 1945, yang dengan diselenggarakan berdasarkan prinsip kemampuan sumber daya yang tangguh dan didukung oleh nilai-nilai demokrasi ekonomi. budaya luhur bangsa, guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan Pembangunan nasional dilaksanakan dengan memanfaatkan kekuatan dan ketahanan bangsa untuk kepentingan nasional. Pembangunan nasional di kemampuan sumber daya yang tangguh dan didukung oleh nilai-nilai bidang ekonomi dilaksanakan untuk menciptakan struktur ekonomi yang budaya luhur bangsa, guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan mandiri, sehat dan kukuh dengan menempatkan pembangunan Industri ketahanan bangsa untuk kepentingan nasional. Pembangunan nasional di sebagai penggerak utama. bidang ekonomi dilaksanakan untuk menciptakan struktur ekonomi yang Globalisasi dan dan liberalisasi membawa dinamika perubahan yangIndustri sangat mandiri, sehat kukuh dengan menempatkan pembangunan cepat dan berdampak luas bagi perekonomian nasional. sebagai penggerak utama. Di satu sisi pengaruh yang paling dirasakan adalah terjadi persaingan yang Globalisasi dan liberalisasi membawa dinamika perubahan yang sangat semakin ketat dan di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga cepat dan berdampak luas bagi perekonomian nasional. pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk Di satu sisi pengaruh yang paling dirasakan adalah terjadi persaingan yang perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan semakin ketat dan di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk yang baik. perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan Pembangunan sektor Industri memiliki landasan hukumtata Undangpengelolaan yang efisien dengantelah memperhatikan prinsip-prinsip kelola Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian sebagai penjabaran yang baik. operasional Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33. Namun, Pembangunan sektor Industri telah memiliki landasan hukum Undanglandasan hukum tersebut sudah tidak memadai sehingga perlu diganti Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian sebagai penjabaran dengan undang-undang yang baru guna mengantisipasi dinamika operasional Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33. Namun, perubahan lingkungan strategis, baik yang bersifat internal maupun landasan hukum tersebut sudah tidak memadai sehingga perlu diganti eksternal. dengan undang-undang yang baru guna mengantisipasi dinamika Perubahan ... perubahan lingkungan strategis, baik yang bersifat internal maupun 103 eksternal. Perubahan ...
- 2 Perubahan internal yang sangat berpengaruh adalah dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa konsekuensi pergeseran peran dan misi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pembangunan Industri. Perubahan eksternal yang berpengaruh terhadap pembangunan Industri ditandai dengan telah diratifikasi perjanjian internasional yang bersifat bilateral, regional, dan multilateral yang mempengaruhi kebijakan nasional di bidang Industri, investasi, dan perdagangan. Penyempurnaan Undang-Undang tentang Perindustrian bertujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus mampu menjadi landasan hukum bagi tumbuh, berkembang, dan kemajuan Industri nasional. Undang-Undang tentang Perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrumen pengaturan yang efektif dalam pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pokokpokok pengaturan dalam undang-undang yang baru meliputi penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, perwilayahan Industri, pembangunan sumber daya Industri, pembangunan sarana dan prasarana Industri, pemberdayaan Industri, tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri, perizinan, penanaman modal bidang Industri dan fasilitas, Komite Industri Nasional, peran serta masyarakat, serta pengawasan dan pengendalian. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan melalui kerja sama seluruh elemen bangsa. Huruf b Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah semangat kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dalam kesatuan ekonomi nasional. Huruf ... Huruf c ....
104
- 3 Huruf c Yang dimaksud dengan “kepastian berusaha” adalah iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. Huruf d Yang dimaksud dengan “pemerataan persebaran” adalah upaya untuk mewujudkan pembangunan Industri di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki pada setiap daerah. Huruf e Yang dimaksud dengan “persaingan usaha yang sehat” adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan produksi, distribusi, pemasaran barang, dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara yang jujur dan taat terhadap hukum. Huruf f Yang dimaksud dengan “keterkaitan Industri” adalah hubungan antar-Industri dalam mata rantai pertambahan atau penciptaan nilai untuk mewujudkan struktur Industri nasional yang sehat dan kokoh. Keterkaitan Industri dapat berupa keterkaitan yang dimulai dari penyediaan Bahan Baku, proses manufaktur, jasa pendukung Industri, sampai distribusi ke pasar dan pelanggan, dan/atau keterkaitan yang melibatkan Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g....... Huruf
105
- 4 Huruf g Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan” adalah pembangunan sektor Industri sebagai penggerak ekonomi nasional harus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita nasional. Tujuan utama pembangunan Industri bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga Negara Indonesia. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal Pasal 13.......
106
- 5 Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “rantai nilai” (value chain) adalah serangkaian urutan kegiatan utama dan kegiatan pendukung yang dilakukan Perusahaan Industri untuk mengubah input (Bahan Baku) menjadi output (barang jadi) yang memiliki nilai tambah bagi pelanggan/konsumen. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pembangunan sumber daya manusia Industri” adalah menyiapkan sumber daya manusia di bidang Industri yang mempunyai kompetensi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat ... Ayat (4) ....
107
- 6 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “wirausaha Industri” adalah pelaku usaha Industri. Huruf b Yang dimaksud dengan “tenaga kerja Industri” adalah tenaga kerja profesional di bidang Industri. Huruf c Yang dimaksud dengan “pembina Industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang Industri di pusat dan di daerah. Huruf d Yang dimaksud dengan “konsultan Industri” adalah orang atau perusahaan yang memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “inkubator Industri” adalah lingkungan dan program dengan karakteristik tertentu yang menawarkan bantuan teknis dan manajemen kepada perorangan, perusahaan, atau calon perusahaan untuk menghasilkan perusahaan atau calon perusahaan yang siap berbisnis secara profesional. Huruf c Yang dimaksud dengan “kemitraan” adalah kerja sama pengembangan sumber daya manusia antara Industri kecil dengan Industri menengah dan/atau Industri besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan saling menguntungkan. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat Ayat (4).......
108
- 7 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “pendidikan formal” yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Huruf b Yang dimaksud dengan “pendidikan nonformal” yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Asosiasi Industri merupakan organisasi yang didirikan oleh pelaku usaha Industri di sektor usaha Industri tertentu guna memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah kondisi yang menunjukkan tidak atau belum cukup tersedia tenaga kerja Industri atau konsultan Industri nasional yang kompeten sesuai dengan jenis kegiatan dan keahlian yang dibutuhkan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal Pasal25.......
109
- 8 -
Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “jenis pekerjaan tertentu” adalah jenis pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, baik terhadap pekerja maupun produk yang dihasilkan seperti pekerjaan: pembuatan boiler, operator reaktor nuklir, pengelasan di bawah air, proses penggunaan radiasi, dan pengoperasian bejana bertekanan (pressure vessel). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu belum cukup tersedia tenaga kerja Industri dan/atau konsultan Industri yang kompeten di dalam negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal ... Pasal 28 ....
110
- 9 Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Sumber daya alam dalam ketentuan ini merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai Bahan Baku, bahan penolong, energi, dan air baku untuk Industri. Sumber daya alam dimaksud meliputi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung dari alam, antara lain, mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, kayu, air, dan panas bumi, serta sumber daya lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam” adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan Industri dalam negeri baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.
Ayat ... Ayat (2) ....
111
- 10 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri” adalah pengendalian ekspor atas Bahan Baku yang berasal dari sumber daya alam non hayati seperti bahan galian tambang, logam dan non logam (bijih besi, bauksit, pasir besi, pasir kuarsa dan lain-lain), atau yang bersifat hayati, seperti hasil hutan, dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Ekspor Bahan Baku dimungkinkan hanya apabila kebutuhan Industri dalam negeri sudah tercukupi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perusahaan Industri tertentu” adalah Industri yang rata-rata mengonsumsi energi lebih besar atau sama dengan batas minimum konsumsi energi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan konservasi energi, misalnya Industri semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, petrokimia, pupuk, dan keramik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Yang dimaksud dengan “aspek kemandirian” adalah pemilihan, pengadaan, dan pemanfaatan Teknologi Industri harus memperhatikan hak Perusahaan Industri dalam pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan karakteristik Industri masing-masing tanpa melanggar atau merugikan pihak lain. Yang dimaksud dengan “aspek ketahanan Industri” adalah Industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) .... Ayat ...
112
- 11 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penelitian dan pengembangan” adalah kegiatan yang menghasilkan penemuan baru yang bermanfaat bagi Industri atau pengembangan dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas Industri. Yang dimaksud joint venture.
dengan
“usaha
bersama”
adalah
Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah suatu keadaan dimana kebutuhan pembangunan Industri sangat mendesak sementara teknologi belum dikuasai dalam desain, perekayasaan, pengadaan dan pembangunan (engineering, procurement, construction). Yang dimaksud dengan “proyek putar kunci” adalah pengadaan teknologi dengan membeli suatu proyek teknologi secara lengkap mulai dari pengkajian (asesmen), rancang bangun dan perekayasaan, implementasi (pengoperasian) dan penyerahan dalam kondisi siap digunakan, atau yang selanjutnya dikenal dengan istilah turnkey project. Dalam perjanjian pengadaan teknologi melalui proyek putar kunci juga mencakup pelatihan dan dukungan operasional yang berkelanjutan. Rancang bangun dalam pengertian di atas adalah kegiatan Industri yang terkait dengan perencanaan pendirian Industri/pabrik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. Perekayasaan dalam pengertian di atas adalah kegiatan Industri yang terkait dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan Industri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal ... Pasal 40 ....
113
- 12 Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri” adalah penjaminan kepada Industri yang memanfaatkan teknologi hasil penelitian dan pengembangan teknologi dari dalam negeri (lembaga penelitian, perusahaan, perguruan tinggi, dan sebagainya) yang belum teruji. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengendalian pemanfaatan Teknologi Industri” adalah pembatasan dan pelarangan pemanfaatan teknologi yang dinilai tidak layak untuk Industri, antara lain, boros energi, berisiko pada keselamatan dan keamanan, serta berdampak negatif pada lingkungan. Yang dimaksud dengan “audit Teknologi Industri” adalah cara untuk melaksanakan identifikasi kekuatan dan kelemahan aset teknologi (tangible and intangible asset) dalam rangka pelaksanaan manajemen teknologi sehingga manfaat teknologi dapat dirasakan sebagai faktor yang penting dalam meningkatkan mutu kehidupan umat manusia dan meningkatkan daya saing Industri. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan” adalah peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan bagi penanaman modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat ... Ayat (2) ....
114
- 13 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “budaya Industri” adalah sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat Industri yang sekurang-kurangnya terdiri atas penerapan sikap mental dan moralitas yang diwujudkan dalam nilai-nilai efisiensi, tanggung jawab sosial, kedisiplinan kerja, kepatuhan pada aturan, keharmonisan dan loyalitas, demokrasi ekonomi, nasionalisme, dan kepercayaan diri. Yang dimaksud dengan “kearifan lokal” merupakan gagasangagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Contoh: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Industri kreatif” adalah Industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memberikan kemudahan pembiayaan” adalah memberikan keringanan persyaratan dalam mendapatkan pembiayaan yang digunakan untuk pengembangan Industri dalam rangka antara lain promosi efisiensi energi, pengurangan emisi gas dan rumah kaca, penggunaan Bahan Baku dan bahan bakar terbarukan, serta pengembangan sumber daya manusia dan teknologi. Ayat Ayat (2).......
115
- 14 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “keringanan bunga pinjaman” adalah bantuan Pemerintah kepada Perusahaan Industri dalam bentuk menanggung sebagian biaya bunga dalam pembelian peralatan dan mesin dan/atau modal kerja. Huruf d Yang dimaksud dengan “potongan harga” adalah bantuan Pemerintah kepada Perusahaan Industri dalam bentuk menanggung sebagian biaya dalam pembelian peralatan dan mesin. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Industri pionir” adalah Industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal ... Pasal 51 ....
116
- 15 Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Yang dimaksud dengan “seluruh rangkaian” adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menjamin tersedianya infrastruktur Industri” adalah memprioritaskan program penyediaan infrastruktur bagi kegiatan Industri.
Ayat Ayat (2).......
117
- 16 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kawasan peruntukan Industri” adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tata guna tanah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “hal tertentu” adalah kondisi pada saat pihak swasta tidak berminat atau belum mampu untuk membangun Kawasan Industri, sementara Pemerintah perlu mempercepat industrialisasi di wilayah pusat pertumbuhan Industri dengan mempertimbangkan geoekonomi, geopolitik dan geostrategis. Yang dimaksud dengan “memprakarsai” adalah melakukan investasi langsung untuk membangun kawasan Industri. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Data Industri meliputi Data Industri pada tahap pembangunan dan Data Industri pada tahap produksi/komersial. Data Industri pada tahap pembangunan antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek perencanaan, aspek pembangunan, aspek teknis yang terkait dengan pembangunan, kelengkapan sarana dan prasarana, serta aspek pengelolaan. Data ...
118
- 17 Data Industri pada tahap produksi/komersial antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek kegiatan Industri, aspek teknis, dan aspek pengelolaan. Aspek pengelolaan antara lain meliputi lingkungan, dampak sosial masyarakat, energi, sumber daya, manajemen perusahaan, dan kerja sama internasional di bidang Industri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian Informasi Industri kepada Menteri termasuk hasil pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan Industri di daerah yang bersangkutan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Data Kawasan Industri meliputi Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan dan Data Kawasan Industri pada tahap komersial. Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek perencanaan, aspek pembangunan, aspek teknis yang terkait dengan pembangunan, kelengkapan sarana dan prasarana, serta aspek pengelolaan. Data Kawasan Industri pada tahap komersial antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek kegiatan kawasan Industri, aspek teknis, dan aspek pengelolaan. Aspek pengelolaan antara lain meliputi lingkungan, dampak sosial masyarakat, energi, sumber daya, manajemen perusahaan, dan kerja sama internasional di bidang Industri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 66 Huruf a Cukup jelas. Huruf Huruf ... b ....
119
- 18 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kejadian luar biasa dapat berupa pemogokan dan kecelakaan kerja yang bersifat masif, pemindahan kepemilikan yang menyebabkan terjadinya pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau orang tertentu, individu atau asing. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Sistem Informasi Industri Nasional yang dikembangkan antara lain secara on-line melalui media internet untuk memberikan kemudahan kepada pelaku usaha Industri dalam menyampaikan data kegiatan usahanya dan instansi pembina Industri dan menteri terkait dalam menyampaikan hasil pengolahan Informasi Industri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 69 Data Industri dan/atau Data Kawasan Industri yang dilarang disampaikan atau diumumkan adalah data individu Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang belum diolah. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf ... Huruf b ....
120
- 19 Huruf b Yang dimaksud dengan “berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional” adalah memberikan kontribusi besar dalam perubahan struktur Industri dan memperkuat perekonomian nasional. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Huruf a Perumusan kebijakan untuk pembangunan Industri menuju Industri Hijau ditujukan bagi Perusahaan Industri baru, sedangkan pengembangan Industri menuju Industri Hijau ditujukan bagi Perusahaan Industri yang telah berproduksi dan/atau akan melakukan perluasan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kelembagaan” adalah institusi yang ada di dalam kementerian maupun di luar kementerian. Yang ...
121
- 20 Yang dimaksud dengan “peningkatan kemampuan” adalah optimalisasi kemampuan perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) yang mendukung pengembangan Industri Hijau termasuk sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan “promosi” adalah kegiatan untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat Industri dan konsumen untuk meningkatkan kepedulian dan pengetahuan tentang manfaat Industri Hijau, serta untuk ikut berpartisipasi dalam penerapan Industri Hijau dan mendorong penggunaan produk ramah lingkungan (eco product), termasuk pemberian penghargaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Huruf a Yang dimaksud dengan “membangun komitmen” adalah tekad untuk mewujudkan Industri Hijau sebagai budaya kerja bagi seluruh tenaga kerja Industri. Huruf b Yang dimaksud dengan “menerapkan kebijakan pembangunan Industri Hijau” adalah melakukan proses produksi melalui produksi bersih dan mengurangi, menggunakan kembali, mengolah kembali, dan memulihkan, atau yang dikenal dengan istilah 4R (reduce, reuse, recycle, recovery). Huruf c Yang dimaksud dengan “menerapkan sistem manajemen ramah lingkungan” adalah Perusahaan Industri memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan melaksanakan kegiatan monitoring, evaluasi, dan perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement). Huruf d Yang dimaksud dengan “teknologi ramah lingkungan” adalah teknologi yang hemat dalam penggunaan Bahan Baku, bahan penolong, energi, dan air dalam proses produksi serta meminimalkan limbah, termasuk optimalisasi diversifikasi energi. Pasal ... Pasal 83 ....
122
- 21 Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Usaha patungan antara Pemerintah dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah. Huruf c Yang dimaksud dengan “pembatasan kepemilikan” adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 85 Peningkatan penggunaan produk dalam negeri dilakukan dalam rangka lebih menjamin kemandirian dan stabilitas perekonomian nasional, serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat.
Yang ...
123
- 22 Yang dimaksud dengan “produk dalam negeri” adalah barang/jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, yang menggunakan sebagian tenaga kerja bangsa/warga negara Indonesia, yang prosesnya menggunakan Bahan Baku/komponen dalam negeri dan/atau sebagian impor. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerja sama internasional di bidang Industri” adalah kerja sama yang dilakukan secara bilateral, regional, atau multilateral di bidang Industri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat ... Ayat (3) ....
124
- 23 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan antara lain memuat peluang atau potensi kerja sama Industri, profil Industri unggulan negara yang bersangkutan, serta perkembangan pelaksanaan kerja sama internasional di bidang Industri. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kebijakan, regulasi, dan/atau iklim usaha yang mengancam Industri dalam negeri dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Huruf b Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyelamatan” adalah tindakan atau kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam memulihkan Industri dalam negeri yang mengalami kerugian akibat pengaruh perubahan yang sangat dinamis (konjungtur) perekonomian dunia, seperti gejolak naik turunnya kemajuan dan kemunduran ekonomi dunia yang terjadi secara bergantiganti, sehingga dapat berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Ayat ... Ayat (2) ....
125
- 24 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “nilai investasi” adalah nilai tanah dan bangunan, mesin peralatan, sarana dan prasarana, tidak termasuk modal kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 103 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa” adalah Industri yang memiliki berbagai jenis motif, desain produk, teknik pembuatan, keterampilan, Bahan Baku, yang berbasis pada kearifan lokal misalnya batik (pakaian tradisional), ukirukiran kayu dari Jepara dan Yogyakarta, kerajinan perak, dan patung asmat. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas.
Pasal Pasal 105.......
126
- 25 Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri” adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perwakilan dunia usaha paling sedikit mencakup wakil dari Kamar Dagang dan Industri dan asosiasi Industri terkait. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 113....... Pasal
127
- 26 -
Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Ayat (1) Sepanjang menyangkut kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi Pemerintah yang ruang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang kepabeanan berwenang melakukan penyidikan di bidang Perindustrian yang terkait SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib yang terjadi di kawasan pabean dengan berkoordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian. Ayat (2) ... .... Ayat
128
- 27 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5492
129
130
SALINAN SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 REPUBLIK TAHUN 2014 UNDANG-UNDANG INDONESIA NOMOR 5 REPUBLIK TAHUN 2014 UNDANG-UNDANG INDONESIA TENTANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
APARATUR NEGARA NOMOR 5 SIPIL TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA TENTANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA APARATUR SIPIL NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Menimbang Menimbang Menimbang
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negaracita-cita sebagaimana : a. bahwa dalam rangkaINDONESIA, pelaksanaan bangsa PRESIDEN REPUBLIK tercantum dalam pembukaan Undang-Undang negaracita-cita sebagaimana : a. dan bahwamewujudkan dalam rangkatujuan pelaksanaan bangsa Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tercantum dalam pembukaan Undang-Undang dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana : a.perlu bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa aparatur sipil negara yang memiliki Dasardibangun Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
dan mewujudkan tujuannetral negaradan sebagaimana integritas, profesional, bebas dari perlu dibangun aparatur negara yang memiliki Dasar Negara Republik sipil Indonesia Tahun 1945, tercantum dalam pembukaan Undang-Undang intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, integritas, profesional, netral dan bebas dari perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
kolusi, dan nepotisme, serta bebas mampu intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, integritas, profesional, netral dari perlu dibangun aparatur sipil negaradan yang memiliki menyelenggarakan pelayanan publik bagi kolusi, dan serta mampu intervensi politik, nepotisme, bersih dari praktik korupsi, integritas,
profesional,
netral
dan
bebas
dari
masyarakat dan bersih mampu menjalankan peran menyelenggarakan pelayanan publik bagi kolusi, serta mampu intervensi dan politik, nepotisme, dari praktik korupsi, sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan kolusi, dandan nepotisme, serta publik mampu masyarakat mampu menjalankan peran menyelenggarakan pelayanan bagi bangsa berdasarkan Pancasila danpublik Undang-Undang menyelenggarakan pelayanan bagi sebagai unsurdan perekat persatuan dan kesatuan masyarakat mampu menjalankan peran masyarakat dan mampu menjalankan peran Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan
Republik Indonesia 1945; sipil bangsa berdasarkan Pancasila danTahun Undang-Undang b. Dasar bahwaNegara pelaksanaan manajemen aparatur bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Negara Indonesia Tahun 1945; sipil negara belumRepublik berdasarkan pada perbandingan b. Dasar bahwa pelaksanaan manajemen Dasar Negara Republik Indonesia Tahunaparatur 1945; kompetensi danmanajemen kualifikasi yang diperlukan negara belum berdasarkan pada perbandingan b. b.antara bahwa aparatur bahwa pelaksanaan pelaksanaan manajemen aparatur sipilsipil oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi antara kompetensi dan kualifikasi diperlukan negara belum berdasarkan padayang perbandingan negara belum berdasarkan pada perbandingan
yang dimiliki calon dalam rekrutmen, antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan pengangkatan, penempatan, dan promosi pada oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang jabatan dimiliki calon dalamdan rekrutmen, oleh dengan kompetensi kualifikasi jabatan sejalan dengan kelola pemerintahan yang dimiliki penempatan, calon rekrutmen, pengangkatan, dan promosi pada yang dimiliki calontatadalam dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada yang baik; jabatan sejalan penempatan, dengan tata kelola pemerintahan pengangkatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan
yang baik; jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik;
yang baik;
131
c. bahwa. . . c. bahwa. c. bahwa. .. .. c. bahwa. . .
-2c.
bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang
memiliki
kewajiban
mengembangkan
dirinya
mempertanggungjawabkan menerapkan
prinsip
merit
mengelola dan
wajib
kinerjanya dalam
dan dan
pelaksanaan
manajemen aparatur sipil negara; d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti; e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara;
Mengingat
: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan
: UNDANG-UNDANG
TENTANG
APARATUR
SIPIL
NEGARA. BAB I. . .
132
-3BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 2. Pegawai Aparatur Sipil Negara
yang selanjutnya
disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. 4. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. 5. Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan
Pegawai
ASN
yang
profesional,
memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 6. Sistem. . .
133
-46. Sistem Informasi ASN adalah rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara
sistematis,
menyeluruh,
dan
terintegrasi
dengan berbasis teknologi. 7. Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah. 8. Pejabat Pimpinan Tinggi adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi. 9. Jabatan Administrasi adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. 10. Pejabat Administrasi adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Administrasi pada
instansi
pemerintah. 11. Jabatan Fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. 12. Pejabat
Fungsional
menduduki
Jabatan
adalah
Pegawai
Fungsional
ASN
pada
yang
instansi
pemerintah. 13. Pejabat
yang
mempunyai
Berwenang kewenangan
pengangkatan,
adalah
pejabat
melaksanakan
pemindahan,
dan
yang proses
pemberhentian
Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 14. Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 15. Instansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah. 16. Instansi. . . 134
-516. Instansi
Pusat
pemerintah lembaga
adalah
kementerian,
nonkementerian,
negara,
dan
lembaga
kesekretariatan
kesekretariatan
lembaga
nonstruktural. 17. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. 18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara. 19. Komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. 20. Lembaga
Administrasi
disingkat
LAN
Negara
adalah
yang
lembaga
selanjutnya pemerintah
nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan pengkajian dan pendidikan dan pelatihan ASN sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 21. Badan
Kepegawaian
disingkat
BKN
Negara
adalah
yang
selanjutnya
lembaga
pemerintah
nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan pembinaan dan menyelenggarakan Manajemen ASN secara nasional sebagaimana diatur dalam undangundang ini. 22. Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara
adil
dan
wajar
dengan
tanpa
membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. BAB II. . .
135
-6BAB II ASAS, PRINSIP, NILAI DASAR, SERTA KODE ETIK DAN KODE PERILAKU Pasal 2 Penyelenggaraan
kebijakan
dan
Manajemen
ASN
berdasarkan pada asas: a. kepastian hukum; b. profesionalitas; c. proporsionalitas; d. keterpaduan; e. delegasi; f.
netralitas;
g. akuntabilitas; h. efektif dan efisien; i.
keterbukaan;
j.
nondiskriminatif;
k. persatuan dan kesatuan; l.
keadilan dan kesetaraan; dan
m. kesejahteraan. Pasal 3 ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut: a. nilai dasar; b. kode etik dan kode perilaku; c. komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik; d. kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. kualifikasi akademik; f. jaminan. . . 136
f.
-7jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan
g. profesionalitas jabatan. Pasal 4 Nilai dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. memegang teguh ideologi Pancasila; b. setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
serta
pemerintahan yang sah; c. mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; d. menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; e. membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; f.
menciptakan
lingkungan
kerja
yang
nondiskriminatif; g. memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; h. mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; i.
memiliki
kemampuan
dalam
melaksanakan
kebijakan dan program pemerintah; j.
memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun;
k. mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi; l.
menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama;
m. mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; n. mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan o. meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier. Pasal 5. . . 137
-8Pasal 5 (1) Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. (2) Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN: a. melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi; b. melaksanakan
tugasnya
dengan
cermat
dan
disiplin; c. melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan; d. melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak bertentangan
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan dan etika pemerintahan; f.
menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara;
g. menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien; h. menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; i.
memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan;
j.
tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; k. memegang. . . 138
-9k. memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan l.
melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai disiplin Pegawai ASN.
(3) Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III JENIS, STATUS, DAN KEDUDUKAN Bagian Kesatu Jenis Pasal 6 Pegawai ASN terdiri atas: a. PNS; dan b. PPPK. Bagian Kedua Status Pasal 7 (1) PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional. (2) PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai
dengan perjanjian kerja oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang ini. Bagian. . . 139
- 10 Bagian Ketiga Kedudukan Pasal 8 Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara. Pasal 9 (1) Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah. (2) Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. BAB IV FUNGSI, TUGAS, DAN PERAN Bagian Kesatu Fungsi Pasal 10 Pegawai ASN berfungsi sebagai: a. pelaksana kebijakan publik; b. pelayan publik; dan c. perekat dan pemersatu bangsa. Bagian Kedua Tugas Pasal 11 Pegawai ASN bertugas: a. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat
Pembina
Kepegawaian
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; b. memberikan. . . 140
- 11 b. memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan c. mempererat
persatuan
dan
kesatuan
Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bagian Ketiga Peran Pasal 12 Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan
pengawas
pemerintahan
penyelenggaraan
dan
pembangunan
tugas
umum
nasional
melalui
pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
BAB V JABATAN ASN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 Jabatan ASN terdiri atas: a. Jabatan Administrasi; b. Jabatan Fungsional; dan c. Jabatan Pimpinan Tinggi.
Bagian. . .
141
- 12 Bagian Kedua Jabatan Administrasi Pasal 14 Jabatan Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a terdiri atas: a. jabatan administrator; b. jabatan pengawas; dan c. jabatan pelaksana. Pasal 15 (1) Pejabat dalam jabatan administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. (2) Pejabat
dalam
jabatan
pengawas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf b bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana. (3) Pejabat
dalam
jabatan
pelaksana
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf c bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Pasal 16 Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Pasal 17. . .
142
- 13 Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Administrasi dan
kompetensi
yang
dibutuhkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Jabatan Fungsional Pasal 18 (1) Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan fungsional
keahlian
dan
jabatan
fungsional
keterampilan. (2) Jabatan fungsional keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ahli utama; b. ahli madya; c. ahli muda; dan d. ahli pertama. (3) Jabatan
fungsional
keterampilan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. penyelia; b. mahir; c. terampil; dan d. pemula. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian. . .
143
- 14 Bagian Keempat Jabatan Pimpinan Tinggi Pasal 19 (1) Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas: a. jabatan pimpinan tinggi utama; b. jabatan pimpinan tinggi madya; dan c. jabatan pimpinan tinggi pratama. (2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memimpin dan memotivasi setiap
Pegawai
ASN
pada
Instansi
Pemerintah
melalui: a. kepeloporan dalam bidang: 1. keahlian profesional; 2. analisis dan rekomendasi kebijakan; dan 3. kepemimpinan manajemen. b. pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan c. keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN. (3) Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat
kompetensi,
kualifikasi,
kepangkatan,
pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20. . .
144
- 15 Pasal 20 (1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN. (2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari: a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan UndangUndang
tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Jabatan ASN
tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan tata cara pengisian jabatan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak PNS Pasal 21 PNS berhak memperoleh: a. gaji, tunjangan, dan fasilitas; b. cuti; c. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; d. perlindungan; dan e. pengembangan kompetensi. Bagian. . . 145
- 16 Bagian Kedua Hak PPPK Pasal 22 PPPK berhak memperoleh: a. gaji dan tunjangan; b. cuti; c. perlindungan; dan d. pengembangan kompetensi. Bagian Ketiga Kewajiban Pegawai ASN Pasal 23 Pegawai ASN wajib: a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
dan
pemerintah yang sah; b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; d. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melaksanakan
tugas
kedinasan
dengan
penuh
pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; f.
menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan;
g. menyimpan
rahasia
mengemukakan
jabatan
rahasia
dan
jabatan
hanya sesuai
dapat dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. bersedia. . . 146
- 17 h. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai hak PNS, hak PPPK, dan kewajiban Pegawai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII KELEMBAGAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 25 (1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN. (2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada: a. Kementerian
yang
pemerintahan
menyelenggarakan
di
bidang
urusan
pendayagunaan
aparatur negara, berkaitan dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN; b. KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan
evaluasi
pelaksanaan
kebijakan
dan
Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem
Merit
penerapan
asas
serta serta
pengawasan kode
etik
terhadap dan
kode
perilaku ASN; c. LAN. . . 147
- 18 c. LAN, berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian
kebijakan
pembinaan, dan
Manajemen
ASN,
penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan ASN; dan d. BKN,
berkaitan
dengan
kewenangan
penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN. Pasal 26 (1) Menteri berwenang menetapkan kebijakan di bidang pendayagunaan Pegawai ASN. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kebijakan reformasi birokrasi di bidang sumber daya manusia; b. kebijakan umum pembinaan profesi ASN; c. kebijakan umum Manajemen ASN, klasifikasi jabatan
ASN,
standar
kompetensi
jabatan
Pegawai ASN, kebutuhan Pegawai ASN secara nasional, skala penggajian, tunjangan Pegawai ASN, dan sistem pensiun PNS. d. pemindahan PNS antarjabatan, antardaerah, dan antarinstansi; e. pertimbangan
kepada
Presiden
dalam
penindakan terhadap Pejabat yang Berwenang dan
Pejabat
penyimpangan
Pembina Sistem
Kepegawaian Merit
atas dalam
penyelenggaraan Manajemen ASN; dan f.
penyusunan kebijakan rencana kerja KASN, LAN, dan BKN di bidang Manajemen ASN. Bagian. . .
148
- 19 Bagian Kedua KASN Paragraf 1 Sifat Pasal 27 KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai
ASN
yang
profesional
dan
berkinerja,
memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Paragraf 2 Tujuan Pasal 28 KASN bertujuan: a. menjamin
terwujudnya
Sistem
Merit
dalam
kebijakan dan Manajemen ASN; b. mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, dan berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; d. mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan; e. menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan f.
mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja. Paragraf 3. . . 149
- 20 Paragraf 3 Kedudukan Pasal 29 KASN berkedudukan di ibu kota negara. Paragraf 4 Fungsi Pasal 30 KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Paragraf 5 Tugas Pasal 31 (1) KASN bertugas: a. menjaga netralitas Pegawai ASN; b. melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; dan c. melaporkan
pengawasan
dan
evaluasi
pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden. (2) Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KASN dapat: a. melakukan terhadap
penelusuran pelaksanaan
data
dan
Sistem
informasi
Merit
dalam
kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah; b. melakukan. . . 150
- 21 b. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi Pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa; c. menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; d. melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan e. melakukan
upaya
pencegahan
pelanggaran
norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. Paragraf 6 Wewenang Pasal 32 (1) KASN berwenang: a. mengawasi
setiap
Jabatan
tahapan
Pimpinan
pembentukan
proses
Tinggi
panitia
pengisian
mulai
seleksi
dari
instansi,
pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan
nama
calon,
penetapan,
dan
pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi; b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; c. meminta
informasi
masyarakat
dari
mengenai
pegawai laporan
ASN
dan
pelanggaran
norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan e. meminta. . . 151
- 22 e. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan
dari
Instansi
Pemerintah
untuk
pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. (2) Dalam
melakukan
pengawasan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, KASN berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib ditindaklanjuti. Pasal 33 (1) Berdasarkan
hasil
pengawasan
yang
tidak
ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat
Presiden
(3),
KASN
untuk
merekomendasikan
menjatuhkan
sanksi
kepada terhadap
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan; b. teguran; c. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan keputusan,
dan/atau
pengembalian
pembayaran; d. hukuman disiplin untuk Pejabat yang Berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan e. sanksi untuk Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Sanksi. . . 152
(3) Sanksi
- 23 sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
dilakukan oleh: a. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi pembinaan
ASN,
terhadap
keputusan
yang
ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; dan b. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat yang Berwenang, dan terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 34 KASN melaporkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
termasuk
yang
berkaitan
dengan
kebijakan dan kinerja ASN paling kurang 1 (satu) kali pada akhir tahun kepada Presiden. Paragraf 7 Susunan Pasal 35 (1) KASN terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, dan c. 5 (lima) orang anggota. (2) Dalam hal ketua KASN berhalangan, wakil ketua KASN menjalankan tugas dan wewenang ketua KASN.
Pasal 36. . .
153
- 24 Pasal 36 (1) KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu
oleh
asisten
dan
Pejabat
Fungsional
keahlian yang dibutuhkan. (2) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan
diberhentikan
oleh
ketua
KASN
berdasarkan persetujuan rapat anggota KASN. (3) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari PNS maupun non-PNS yang memiliki kualifikasi akademik paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen publik, manajemen sumber daya manusia, psikologi, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia. (4) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sedang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik,
tidak
merangkap
jabatan,
serta
diseleksi secara terbuka dan kompetitif dengan memperhatikan rekam jejak, kompetensi, netralitas, dan integritas moral. (5) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki dan melaksanakan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku serta diawasi oleh anggota KASN. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian, kode etik dan kode perilaku, dan pengawasan terhadap tugas dan tanggung
jawab
asisten
KASN
diatur
dengan
Peraturan KASN. Pasal 37 (1) KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. (2) Kepala. . . 154
- 25 (2) Kepala sekretariat berasal dari PNS. (3) Kepala sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN. (4) KASN dibiayai belanja negara.
oleh
anggaran
pendapatan
dan
Paragraf 8 Keanggotaan Pasal 38 (1) Anggota KASN terdiri dari dan/atau nonpemerintah.
unsur
pemerintah
(2) Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. setia dan taat kepada Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN; d. tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan politik; e. mampu secara jasmani melaksanakan tugas; f.
dan
rohani
untuk
memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia;
g. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia; h. tidak. . . 155
- 26 merangkap
h. tidak
jabatan
pemerintahan
dan/atau badan hukum lainnya; dan i.
tidak
pernah
putusan
dipidana
pengadilan
penjara yang
berdasarkan
telah
memiliki
kekuatan hukum tetap. (3) Anggota KASN yang berasal dari PNS diberhentikan sementara dari jabatan ASN. (4) Anggota KASN yang berasal dari PPPK diberhentikan statusnya dari PPPK. (5) Anggota KASN yang berasal dari non-pegawai ASN harus mengundurkan diri sementara dari jabatan dan profesinya. Paragraf 9 Seleksi Anggota KASN Pasal 39 (1) Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim seleksi yang beranggotakan 5 (lima) orang yang dibentuk oleh Menteri. (2) Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Menteri dan melakukan tugas selama 3 (tiga) bulan sejak pengangkatan. (3) Anggota tim seleksi harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas moral, dan netralitas. (4) Tim seleksi melakukan proses seleksi anggota KASN dengan mengumumkan secara terbuka lowongan tersebut kepada masyarakat secara luas, melakukan penilaian
pengetahuan,
kompetensi,
integritas
moral, rekam jejak calon, dan uji publik. (5) Tim seleksi menyampaikan 2 (dua) kali jumlah anggota KASN untuk dipilih dan ditetapkan oleh Presiden. (6) Ketentuan. . . 156
- 27 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi dan tata cara
pembentukan
tim
seleksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 10 Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 40 (1) Presiden
menetapkan
ketua,
wakil
ketua,
dan
anggota KASN dari anggota KASN terpilih yang diusulkan oleh tim seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5). (2) Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan
diangkat
oleh
Presiden
selaku
pemegang
kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaan kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN, untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat
diperpanjang
untuk
1
(satu)
kali
masa
jabatan. (3) Anggota KASN berhenti atau diberhentikan oleh Presiden pada masa jabatannya, apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak mampu jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai anggota KASN; d. dihukum
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana umum; atau e. menjadi
anggota
partai
politik
dan/atau
menduduki jabatan negara. Pasal 41. . . 157
- 28 Pasal 41 (1) Anggota KASN yang berhenti pada masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) digantikan oleh calon anggota yang diusulkan oleh tim seleksi. (2) Dalam hal Presiden tidak menyetujui atau yang bersangkutan tidak bersedia, Menteri membentuk tim
seleksi
untuk
menyeleksi
calon
anggota
pengganti. (3) Presiden
mengesahkan
anggota
pengganti
yang
diusulkan tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Masa
tugas
anggota
pengganti
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meneruskan sisa masa kerja anggota yang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) KASN memiliki dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku. (6) Dalam hal terjadi pelangggaran kode etik dan kode perilaku
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(5)
Presiden membentuk majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku. (7) Majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas 5 (lima) orang yang berasal dari luar KASN dan memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kompetensi di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas moral, dan netralitas, serta berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun.
Pasal 42. . .
158
- 29 Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab sekretariat, tata kerja, sistem dan manajemen sumber daya manusia, serta tanggung jawab dan pengelolaan keuangan KASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 41 diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga LAN Paragraf 1 Fungsi dan Tugas Pasal 43 LAN memiliki fungsi: a. pengembangan standar kualitas pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN; b. pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial Pegawai ASN; c. penyelenggaraan
pendidikan
dan
pelatihan
kompetensi manajerial Pegawai ASN baik secara sendiri maupun bersama-sama lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya; d. pengkajian terkait dengan kebijakan dan Manajemen ASN; dan e. melakukan pelatihan
akreditasi Pegawai
lembaga
ASN,
baik
pendidikan sendiri
dan
maupun
bersama lembaga pemerintah lainnya.
Pasal 44. . .
159
- 30 Pasal 44 LAN bertugas: a. meneliti,
mengkaji,
Manajemen
ASN
dan sesuai
melakukan dengan
inovasi
kebutuhan
kebijakan; b. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN berbasis kompetensi; c. merencanakan pendidikan
dan
dan
mengawasi
pelatihan
Pegawai
kebutuhan ASN
secara
nasional; d. menyusun standar dan pedoman penyelenggaraan dan
pelaksanaan
fungsional
dan
pendidikan,
pelatihan
teknis
penjenjangan
tertentu,
serta
pemberian akreditasi dan sertifikasi di bidangnya dengan
melibatkan
kementerian
dan
lembaga
terkait; e. memberikan sertifikasi kelulusan peserta pendidikan dan pelatihan penjenjangan; f.
membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan analis kebijakan publik; dan
g. membina Jabatan Fungsional di bidang pendidikan dan pelatihan. Paragraf 2 Kewenangan Pasal 45 LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 berwenang: a. mencabut izin penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai ASN yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; b. memberikan rekomendasi kepada Menteri dalam bidang kebijakan dan Manajemen ASN; dan c. mencabut. . . 160
- 31 akreditasi
c. mencabut pelatihan
Pegawai
lembaga
ASN
yang
pendidikan tidak
dan
memenuhi
standar akreditasi. Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat BKN Paragraf 1 Fungsi dan Tugas PasaI 47 BKN memiliki fungsi: a. pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN; b. penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang pertimbangan
teknis
formasi,
pengadaan,
perpindahan antarinstansi, persetujuan kenaikan pangkat, pensiun; dan c. penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah dimutakhirkan bertanggung
oleh
Instansi
Pemerintah
serta
jawab
atas
pengelolaan
dan
pengembangan Sistem Informasi ASN. Pasal 48 BKN bertugas: a. mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN; b. membina. . .
161
- 32 dan
b. membina kompetensi penilaian
menyelenggarakan
serta kinerja
mengevaluasi Pegawai
penilaian pelaksanaan
ASN
oleh
Instansi
Fungsional
di
bidang
Pemerintah; c. membina
Jabatan
kepegawaian; d. mengelola dan mengembangkan sistem informasi kepegawaian ASN berbasis kompetensi didukung oleh sistem informasi kearsipan yang komprehensif; e. menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN; f.
menyelenggarakan administrasi kepegawaian ASN; dan
g. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, dan prosedur manajemen kepegawaian ASN. Paragraf 2 Kewenangan Pasal 49 BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berwenang mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN. Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VIII. . .
162
- 33 BAB VIII MANAJEMEN ASN Bagian Kesatu Umum Pasal 51 Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit. Pasal 52 Manajemen
ASN
meliputi
Manajemen
PNS
dan
Manajemen PPPK. Bagian Kedua Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang Paragraf 1 Pejabat Pembina Kepegawaian Pasal 53 Presiden
selaku
pemegang
kekuasaan
tertinggi
pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan
pengangkatan,
pemindahan,
dan
pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada: a. menteri di kementerian; b. pimpinan
lembaga
di
lembaga
pemerintah
nonkementerian; c. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural; d. gubernur di provinsi; dan e. bupati/walikota di kabupaten/kota. Paragraf 2. . . 163
- 34 Paragraf 2 Pejabat yang Berwenang Pasal 54 (1) Presiden
dapat
mendelegasikan
kewenangan
pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang
di
jenderal/sekretariat
kementerian, lembaga
sekretaris
negara,
sekretariat
lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing. (3) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing. (4) Pejabat
yang
pengangkatan,
Berwenang
pemindahan,
dan
mengusulkan pemberhentian
Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masingmasing. Bagian Ketiga Manajemen PNS Pasal 55 (1) Manajemen PNS meliputi: a. penyusunan dan penetapan kebutuhan; b. pengadaan; c. pangkat dan jabatan; d. pengembangan. . . 164
- 35 d. pengembangan karier; e. pola karier; f. promosi; g. mutasi; h. penilaian kinerja; i. penggajian dan tunjangan; j. penghargaan; k. disiplin; l. pemberhentian; m. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan n. perlindungan. (2) Manajemen PNS pada Instansi Pusat dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 1 Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Pasal 56 (1) Setiap
Instansi
kebutuhan
Pemerintah
jumlah
dan
wajib
jenis
menyusun
jabatan
PNS
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. (2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan. (3) Berdasarkan. . .
165
- 36 (3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1),
Menteri
menetapkan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional. Pasal 57 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan
penetapan
kebutuhan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 56 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 Pengadaan Pasal 58 (1) Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemerintah. (2) Pengadaan PNS di Instansi Pemerintah dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3). (3) Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
pengumuman
melalui lowongan,
tahapan
perencanaan,
pelamaran,
seleksi,
pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS. Pasal 59 Setiap Instansi Pemerintah merencanakan pelaksanaan pengadaan PNS. Pasal 60. . .
166
- 37 Pasal 60 Setiap
Instansi
Pemerintah
mengumumkan
secara
terbuka kepada masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS. Pasal 61 Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang
sama
untuk
melamar
menjadi
PNS
setelah
memenuhi persyaratan. Pasal 62 (1) Penyelenggaraan
seleksi
pengadaan
PNS
oleh
Instansi Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan
kompetensi,
kualifikasi,
dan
persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan. (2) Penyelenggaraan
seleksi
pengadaan
PNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang. Pasal 63 (1) Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 diangkat menjadi calon PNS. (2) Pengangkatan calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. (3) Calon PNS wajib menjalani masa percobaan. (4) Masa. . .
167
- 38 (4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral,
kejujuran,
semangat
dan
motivasi
nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang
unggul
dan
memperkuat
bertanggung
profesionalisme
jawab,
serta
dan
kompetensi
bidang. Pasal 64 (1) Masa
percobaan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 63 ayat (3) bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun. (2) Instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan
pelatihan
kepada
calon
PNS
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selama masa percobaan. Pasal 65 (1) Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan: a. lulus pendidikan dan pelatihan; dan b. sehat jasmani dan rohani. (2) Calon
PNS
yang
telah
memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Calon
PNS
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sebagai calon PNS. Pasal 66. . .
168
- 39 Pasal 66 (1) Setiap calon PNS pada saat diangkat menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah/janji. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah; bahwa
saya,
akan
mentaati
perundang-undangan
segala
yang
peraturan
berlaku
dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan pegawai
negara,
negeri
mengutamakan
pemerintah,
sipil,
serta
kepentingan
dan
akan
martabat senantiasa
negara
daripada
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat,
dan
bersemangat
untuk
kepentingan
negara". Pasal 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS dan tata cara sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 66 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3. . . 169
- 40 Paragraf 3 Pangkat dan Jabatan Pasal 68 (1) PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah. (2) Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai. (3) Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja. (4) PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja. (5) PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pangkat atau jabatan disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pangkat, tata cara pengangkatan PNS dalam jabatan, kompetensi jabatan, klasifikasi jabatan, dan tata cara perpindahan antar Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 4. . . 170
- 41 Paragraf 4 Pengembangan Karier Pasal 69 (1) Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi,
kompetensi,
penilaian
kinerja,
dan
kebutuhan Instansi Pemerintah. (2) Pengembangan karier PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas. (3) Kompetensi
sebagaimana
dimaksud
ayat
(1)
meliputi: a. kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi fungsional,
pendidikan, dan
pelatihan
pengalaman
teknis
bekerja
secara
teknis; b. kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan,
pelatihan
struktural
atau
manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan c. kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. (4) Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur
dari
ketentuan
kejujuran, peraturan
kepatuhan
terhadap
perundang-undangan,
kemampuan bekerja sama, dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. (5) Moralitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari penerapan dan pengamalan nilai etika agama, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Pasal 70. . .
171
- 42 Pasal 70 (1) Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi. (2) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus, dan penataran. (3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan dan pengembangan karier. (4) Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan
yang
tertuang
dalam
rencana
kerja
anggaran tahunan instansi masing-masing. (5) Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PNS diberikan kesempatan untuk melakukan praktik kerja di instansi lain di pusat dan daerah dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN. (6) Selain
pengembangan
kompetensi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN.
Paragraf 5. . .
172
- 43 Paragraf 5 Pola Karier Pasal 71 (1) Untuk menjamin keselarasan potensi PNS dengan kebutuhan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan perlu disusun pola karier PNS yang terintegrasi secara nasional. (2) Setiap Instansi Pemerintah menyusun pola karier PNS
secara
khusus
sesuai
dengan
kebutuhan
berdasarkan pola karier nasional. Paragraf 6 Promosi Pasal 72 (1) Promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif
antara
kompetensi,
kualifikasi,
dan
persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerja sama, kreativitas, kinerja
dan
PNS
membedakan
pertimbangan
pada
Instansi
jender,
suku,
dari
tim
penilai
Pemerintah, agama,
tanpa
ras,
dan
golongan. (2) Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi. (3) Promosi
Pejabat
Administrasi
dan
Pejabat
Fungsional PNS dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian setelah mendapat pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah. (4) Tim penilai kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Pejabat yang Berwenang. Paragraf 7. . . 173
- 44 Paragraf 7 Mutasi Pasal 73 (1) Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri. (2) Mutasi PNS dalam satu Instansi Pusat atau Instansi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. (3) Mutasi PNS antarkabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN. (4) Mutasi PNS antarkabupaten/kota antarprovinsi, dan antar provinsi ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN. (5) Mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat atau sebaliknya, ditetapkan oleh kepala BKN. (6) Mutasi PNS antar-Instansi Pusat ditetapkan oleh kepala BKN. (7) Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. (8) Pembiayaan sebagai dampak dilakukannya mutasi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Instansi Pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk Instansi Daerah. Pasal 74. . .
174
- 45 Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 8 Penilaian Kinerja Pasal 75 Penilaian
kinerja
PNS
bertujuan
untuk
menjamin
objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier. Pasal 76 (1) Penilaian
kinerja
PNS
dilakukan
berdasarkan
perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS. (2) Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. Pasal 77 (1) Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing. (2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS. (3) Penilaian. . .
175
- 46 (3) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya. (4) Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim penilai kinerja PNS. (5) Hasil
penilaian
kinerja
PNS
digunakan
untuk
menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan
dijadikan
pengangkatan
sebagai
jabatan
dan
persyaratan
dalam
kenaikan
pangkat,
pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. (6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja dikenakan sanksi administrasi
sampai
dengan pemberhentian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 77 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 9 Penggajian dan Tunjangan Pasal 79 (1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS. (2) Gaji
sebagaimana
dibayarkan
sesuai
dimaksud dengan
pada
ayat
beban
(1)
kerja,
tanggungjawab, dan resiko pekerjaan. (3) Gaji
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. (4) Gaji. . . 176
- 47 (4) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. (5) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 80 (1) Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, PNS juga menerima tunjangan dan fasilitas. (2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tunjangan
kinerja
dan
tunjangan
kemahalan. (3) Tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan sesuai pencapaian kinerja. (4) Tunjangan kemahalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
dibayarkan
sesuai
dengan
tingkat
kemahalan berdasarkan indeks harga yang berlaku di daerah masing-masing. (5) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. (6) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji, tunjangan kinerja, tunjangan
kemahalan,
dan
fasilitas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 dan Pasal 80 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 10. . .
177
- 48 Paragraf 10 Penghargaan Pasal 82 PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam
melaksanakan
tugasnya
dapat
diberikan
penghargaan. Pasal 83 Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dapat berupa pemberian: a. tanda kehormatan; b. kenaikan pangkat istimewa; c. kesempatan
prioritas
untuk
pengembangan
kompetensi; dan/atau d. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan. Pasal 84 PNS yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat dicabut haknya untuk memakai tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 85 Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan terhadap PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 11. . .
178
- 49 Paragraf 11 Disiplin Pasal 86 (1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS. (2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan disiplin. (3) PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12 Pemberhentian Pasal 87 (1) PNS diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan
organisasi
atau
kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. (2) PNS. . .
179
- 50 (2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan berdasarkan
karena putusan
dihukum pengadilan
penjara yang
telah
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana. (3) PNS
diberhentikan
dengan
hormat
tidak
atas
permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat. (4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan
yang
telah
memiliki
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan
yang
ada
hubungannya
dengan
jabatan dan/atau pidana umum; c. menjadi
anggota
dan/atau
pengurus
partai
politik; atau d. dihukum
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana. Pasal 88 (1) PNS diberhentikan sementara, apabila: a. diangkat menjadi pejabat negara; b. diangkat
menjadi
komisioner
atau
anggota
lembaga nonstruktural; atau c. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. (2) Pengaktifan. . . 180
- 51 (2) Pengaktifan kembali
PNS
yang
diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Pasal 89 Ketentuan
lebih
pemberhentian,
lanjut
mengenai
pemberhentian
tata
cara
sementara,
dan
pengaktifan kembali PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 90 Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c yaitu: a. 58
(lima
puluh
delapan)
tahun
bagi
Pejabat
Administrasi; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi; c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan bagi Pejabat Fungsional. Paragraf 13 Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua Pasal 91 (1) PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) PNS diberikan jaminan pensiun apabila: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu; c. mencapai. . . 181
- 52 c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan
organisasi
atau
kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. (3) Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan
sebagai
perlindungan
kesinambungan
penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS. (4) Jaminan
pensiun
dan
jaminan
hari
tua
PNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup
jaminan
tua
pensiun
dan
jaminan
hari
yang
diberikan dalam program jaminan sosial nasional. (5) Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS yang bersangkutan. (6) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengelolaan
program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 14 Perlindungan Pasal 92 (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan kematian; dan d. bantuan hukum.
(2) Perlindungan. . .
182
- 53 (2) Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja,
dan
jaminan
kematian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. (3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Manajemen PPPK Paragraf 1 Umum Pasal 93 Manajemen PPPK meliputi: a. penetapan kebutuhan; b. pengadaan; c. penilaian kinerja; d. penggajian dan tunjangan; e. pengembangan kompetensi; f.
pemberian penghargaan;
g. disiplin; h. pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan i.
perlindungan.
Paragraf 2. . .
183
- 54 Paragraf 2 Penetapan Kebutuhan Pasal 94 (1) Jenis jabatan yang dapat diisi oleh PPPK diatur dengan Peraturan Presiden. (2) Setiap
Instansi
kebutuhan
Pemerintah
jumlah
dan
wajib
jenis
menyusun
jabatan
PPPK
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. (3) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan. (4) Kebutuhan
jumlah
dan
jenis
jabatan
PPPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Paragraf 3 Pengadaan Pasal 95 Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan. Pasal 96 (1) Pengadaan calon PPPK merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pada Instansi Pemerintah.
(2) Pengadaan. . .
184
- 55 (2) Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman
lowongan,
pengumuman
hasil
pelamaran,
seleksi,
dan
seleksi,
pengangkatan
menjadi PPPK. Pasal 97 Penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah berdasarkan Instansi
melalui
penilaian
kompetensi,
Pemerintah,
dan
secara
objektif
kualifikasi,
kebutuhan
persyaratan
lain
yang
dibutuhkan dalam jabatan. Pasal 98 (1) Pengangkatan
calon
PPPK
ditetapkan
dengan
keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. (2) Masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja. Pasal 99 (1) PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. (2) Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4. . .
185
- 56 Paragraf 4 Penilaian Kinerja Pasal 100 (1) Penilaian
kinerja
PPPK
bertujuan
menjamin
objektivitas prestasi kerja yang sudah disepakati berdasarkan Pembina
perjanjian
Kepegawaian
kerja dengan
antara
Pejabat
pegawai
yang
bersangkutan. (2) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi dengan
memperhatikan
target,
sasaran,
hasil,
manfaat yang dicapai, dan perilaku pegawai. (3) Penilaian kinerja PPPK dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. (4) Penilaian kinerja PPPK berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing. (5) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PPPK. (6) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya. (7) Hasil penilaian kinerja PPPK disampaikan kepada tim penilai kinerja PPPK. (8) Hasil penilaian kinerja PPPK dimanfaatkan untuk menjamin
objektivitas
perpanjangan
perjanjian
kerja, pemberian tunjangan, dan pengembangan kompetensi. (9) PPPK. . .
186
- 57 (9) PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja PPPK tidak mencapai target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian kerja diberhentikan dari PPPK. Paragraf 5 Penggajian dan Tunjangan Pasal 101 (1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PPPK. (2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan. (3) Gaji
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara untuk PPPK di Instansi Pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk PPPK di Instansi Daerah. (4) Selain gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPPK dapat menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Pengembangan Kompetensi Pasal 102 (1) PPPK diberikan kesempatan untuk pengembangan kompetensi. (2) Kesempatan
untuk
pengembangan
kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direncanakan setiap tahun oleh Instansi Pemerintah. (3) Pengembangan. . .
187
- 58 (3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk perjanjian kerja selanjutnya. Paragraf 7 Pemberian Penghargaan Pasal 103 (1) PPPK
yang
pengabdian,
telah
menunjukkan
kecakapan,
kejujuran,
kesetiaan, kedisiplinan,
dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian: a. tanda kehormatan; b. kesempatan
prioritas
untuk
pengembangan
kompetensi; dan/atau c. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan. (3) PPPK yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa pemutusan hubungan perjanjian kerja tidak dengan hormat dicabut haknya untuk memakai tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini. Paragraf 8 Disiplin Pasal 104 (1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran
pelaksanaan
tugas,
PPPK
wajib
mematuhi disiplin PPPK. (2) Instansi. . .
188
- 59 (2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin terhadap PPPK serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan disiplin. (3) PPPK yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin. Paragraf 9 Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja Pasal 105 (1) Pemutusan
hubungan
perjanjian
kerja
PPPK
dilakukan dengan hormat karena: a. jangka waktu perjanjian kerja berakhir; b. meninggal dunia; c. atas permintaan sendiri; d. perampingan
organisasi
atau
kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati. (2) Pemutusan
hubungan
perjanjian
kerja
PPPK
dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena: a. dihukum
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan tidak berencana; b. melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; atau c. tidak. . .
189
c. tidak
- 60 memenuhi
target
kinerja
yang
telah
disepakati sesuai dengan perjanjian kerja. (3) Pemutusan
hubungan
perjanjian
kerja
PPPK
dilakukan tidak dengan hormat karena: a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan
yang
telah
memiliki
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan
yang
ada
hubungannya
dengan
jabatan dan/atau pidana umum; c. menjadi
anggota
dan/atau
pengurus
partai
politik; atau d. dihukum
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana. Paragraf 10 Perlindungan Pasal 106 (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. jaminan hari tua; b. jaminan kesehatan; c. jaminan kecelakaan kerja; d. jaminan kematian; dan e. bantuan hukum. (2) Perlindungan. . . 190
- 61 (2) Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional. (3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. Pasal 107 Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI Bagian Kesatu Umum Pasal 108 (1) Pengisian
jabatan
pimpinan
tinggi
utama
dan
madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat nasional. (3) Pengisian. . . 191
- 62 jabatan
(3) Pengisian
pimpinan
tinggi
pratama
dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pengisian
jabatan
dilakukan
secara
pimpinan terbuka
dan
tinggi
pratama
kompetitif
pada
tingkat nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. Pasal 109 (1) Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat
berasal
dari
kalangan
non-PNS
dengan
persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden. (2) Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. (3) Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia
berdasarkan
sesuai
ketentuan
dengan
peraturan
kompetensi perundang-
undangan.
Pasal 110. . .
192
- 63 Pasal 110 (1) Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi Pemerintah. (2) Dalam membentuk panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pembina Kepegawaian berkoordinasi dengan KASN. (3) Panitia seleksi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi Pemerintah yang bersangkutan. (4) Panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kompetensi, rekam jejak, integritas moral, dan netralitas melalui proses yang terbuka. (5) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan seleksi dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, integritas, dan penilaian uji kompetensi melalui pusat penilaian (assesment center) atau metode penilaian lainnya. (6) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan tugasnya untuk semua proses seleksi pengisian jabatan terbuka untuk masa tugas yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Pasal 111 (1) Ketentuan mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Pasal 109, dan Pasal 110 dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN dengan persetujuan KASN. (2) Instansi. . .
193
- 64 (2) Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan secara berkala
kepada
KASN
untuk
mendapatkan
persetujuan baru. Bagian Kedua Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat Pasal 112 (1) Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. (2) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau
madya
yang
terpilih
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. (3) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden. (4) Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya. Pasal 113 (1) Pengisian dilakukan
jabatan oleh
pimpinan
Pejabat
tinggi
Pembina
pratama
Kepegawaian
dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. (2) Panitia seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
(3) Tiga. . .
194
- 65 (3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang. (4) Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan pertimbangan
Pejabat
yang
Berwenang
untuk
ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama. Bagian Ketiga Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Daerah Pasal 114 (1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi
dilakukan
oleh
Pejabat
Pembina
Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. (2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memili 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi madya untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. (3) Tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. (4) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama
calon
sebagaimana
pejabat dimaksud
pimpinan pada
tinggi
ayat
(3)
madya kepada
Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (5) Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya. Pasal 115. . .
195
- 66 Pasal 115 (1) Pengisian dilakukan
jabatan oleh
pimpinan
Pejabat
tinggi
Pembina
pratama
Kepegawaian
dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. (2) Panitia seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. (3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang. (4) Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama. (5) Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin
sekretariat
daerah
kabupaten/kota
sebelum
ditetapkan
oleh
bupati/walikota
dikoordinasikan dengan gubernur. Bagian Keempat Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi Pasal 116 (1) Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dan
tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan. (2) Penggantian. . .
196
- 67 (2) Penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden. Pasal 117 (1) Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. (2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN. Pasal 118 (1) Pejabat Pimpinan Tinggi harus memenuhi target kinerja tertentu sesuai perjanjian kinerja yang sudah disepakati dengan pejabat atasannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pejabat Pimpinan Tinggi yang tidak memenuhi kinerja yang diperjanjikan dalam waktu 1 (satu) tahun pada suatu jabatan, diberikan kesempatan selama 6 (enam) bulan untuk memperbaiki kinerjanya. (3) Dalam hal Pejabat Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunjukan perbaikan kinerja maka pejabat yang bersangkutan harus mengikuti seleksi ulang uji kompetensi kembali. (4) Berdasarkan hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pejabat Pimpinan Tinggi dimaksud dapat dipindahkan pada jabatan lain sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian. . . 197
- 68 Bagian Kelima Pejabat Pimpinan Tinggi yang Mencalonkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota Pasal 119 Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil
bupati/wakil
pengunduran
diri
walikota
secara
wajib
tertulis
menyatakan
dari
PNS
sejak
mendaftar sebagai calon. Bagian Keenam Pengawasan dalam Proses Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pasal 120 (1) Dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Pejabat Pembina Kepegawaian memberikan laporan proses pelaksanaannya kepada KASN. (2) KASN melakukan pengawasan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian maupun atas inisiatif sendiri. (3) Dalam melakukan pengawasan proses pengisian jabatan
pimpinan
tinggi
utama
dan
jabatan
pimpinan tinggi madya di Instansi Pusat dan jabatan pimpinan
tinggi
madya
di
Instansi
Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 114, KASN berwenang memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal: a. pembentukan. . .
198
- 69 a. pembentukan panitia seleksi; b. pengumuman jabatan yang lowong; c. pelaksanaan seleksi; dan d. pengusulan nama calon. (4) Dalam melakukan pengawasan pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama di Instansi Pusat dan Instansi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dan Pasal 115, KASN berwenang memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal: a. pembentukan panitia seleksi; b. pengumuman jabatan yang lowong; c. pelaksanaan seleksi; d. pengusulan nama calon; e. penetapan calon; dan f.
pelantikan.
(5) Rekomendasi KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) bersifat mengikat. (6) KASN menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden.
BAB X PEGAWAI ASN YANG MENJADI PEJABAT NEGARA Pasal 121 Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara.
Pasal 122. . .
199
- 70 Pasal 122 Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua,
wakil
ketua,
dan
anggota
Majelis
Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f.
Ketua, wakil Konstitusi;
ketua,
dan
anggota
Mahkamah
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i.
Ketua dan Korupsi;
wakil
ketua
Komisi
Pemberantasan
j.
Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l.
Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan n. Pejabat negara lainnya Undang-Undang.
yang
ditentukan
oleh
Pasal 123. . .
200
- 71 Pasal 123 (1) Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS. (2) Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS. (3) Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Pasal 124 (1) PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia lowongan jabatan. (2) Dalam
hal
tidak
tersedia
lowongan
jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat. Pasal 125. . . 201
- 72 Pasal 125 Ketentuan
lebih
pemberhentian,
lanjut
mengenai
pengaktifan
pengangkatan,
kembali,
dan
hak
kepegawaian PNS yang diangkat menjadi pejabat negara dan pimpinan atau anggota lembaga nonstruktural diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XI ORGANISASI Pasal 126 (1) Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia. (2) Korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia memiliki tujuan: a. menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN; dan b. mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa. (3) Dalam mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) korps profesi ASN Republik Indonesia memiliki fungsi: a. pembinaan dan pengembangan profesi ASN; b. memberikan perlindungan hukum dan advokasi kepada anggota korps profesi ASN Republik Indonesia terhadap dugaan pelanggaran Sistem Merit dan mengalami masalah hukum dalam melaksanakan tugas; c. memberikan rekomendasi kepada majelis kode etik Instansi Pemerintah terhadap pelanggaran kode etik profesi dan kode perilaku profesi; dan d. menyelenggarakan. . . 202
- 73 d. menyelenggarakan kesejahteraan
usaha
anggota
untuk
peningkatan
korps
profesi
ASN
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
korps
profesi
Pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII SISTEM INFORMASI ASN Pasal 127 (1) Untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. (2) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
diselenggarakan
secara
nasional
dan
terintegrasi antar-Instansi Pemerintah. (3) Untuk menjamin keterpaduan dan akurasi data dalam
Sistem
Informasi
ASN,
setiap
Instansi
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memutakhirkan data secara berkala dan menyampaikannya kepada BKN. (4) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berbasiskan teknologi informasi yang mudah diaplikasikan, mudah diakses, dan memiliki sistem keamanan yang dipercaya. Pasal 128 (1) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) memuat seluruh informasi dan data Pegawai ASN. (2) Data. . .
203
- 74 (2) Data Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. data riwayat hidup; b. riwayat pendidikan formal dan non formal; c. riwayat jabatan dan kepangkatan; d. riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan; e. riwayat pengalaman berorganisasi; f.
riwayat gaji;
g. riwayat pendidikan dan latihan; h. daftar penilaian prestasi kerja; i.
surat keputusan; dan
j.
kompetensi.
BAB XIII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 129 (1) Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif. (2) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
terdiri
dari
keberatan
dan
banding
administratif. (3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum. (4) Banding administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada badan pertimbangan ASN. (5) Ketentuan. . .
204
- 75 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif dan
badan
pertimbangan
ASN
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 130 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 2906) dan peraturan
pelaksanaannya
tetap
berlaku
sampai
ditetapkannya peraturan pelaksanaan dari UndangUndang ini yang mengatur mengenai program pensiun PNS. Pasal 131 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan: a. jabatan
eselon
Ia
kepala
lembaga
pemerintah
nonkementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama; b. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya; c. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama; d. jabatan
eselon
III
setara
dengan
jabatan
administrator; e. jabatan. . .
205
- 76 e. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan f.
jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana,
sampai
dengan
berlakunya
peraturan
pelaksanaan
mengenai Jabatan ASN dalam Undang Undang ini.
BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 132 Kebijakan dan Manajemen ASN yang diatur dalam Undang-Undang
ini
dilaksanakan
dengan
memperhatikan kekhususan daerah tertentu dan warga negara dengan kebutuhan khusus. Pasal 133 Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan Pasal 128 paling lama tahun 2015 dilaksanakan secara nasional. Pasal 134 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 135 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, PNS Pusat dan PNS Daerah disebut sebagai Pegawai ASN. Pasal 136. . .
206
- 77 Pasal 136 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 137 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Kepegawaian Daerah yang diatur dalam Bab V Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 138 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kode etik dan penyelesaian pelanggaran terhadap kode etik bagi jabatan fungsional tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 139. . .
207
- 78 Pasal 139 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan
yang
merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974
tentang
Pokok-Pokok
Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
55,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan
masih
tetap
berlaku
sepanjang
tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini.
Pasal 140 KASN dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 141 Undang-Undang
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar. . .
208
Agar
setiap
- 79 orang mengetahuinya,
pengundangan
Undang-Undang
penempatannya
dalam
Lembaran
memerintahkan ini Negara
dengan Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 6 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
209
PENJELASAN PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANGATAS REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG INDONESIA NOMOR 5 REPUBLIK TAHUN 2014 NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA APARATUR SIPIL NEGARA I. UMUM I. UMUM Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum Dalam mencapai tujuan nasional sebagaimana dalam alinearangka ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negaratercantum Republik dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, Indonesia 1945politik, (UUD 1945), yang profesional, bebas dariTahun intervensi bersih diperlukan dari praktikASN korupsi, kolusi, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, bagi dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik nepotisme, mampu pelayanan publik bagi masyarakat dan mampumenyelenggarakan menjalankan peran sebagai perekat persatuan masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan dan kesatuan bangsa berdasarkan dan UUD UUD 1945. nasional seperti tercantum dalam Pancasila Pembukaan 1945 Tujuan adalah nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah adalah darah melindungi bangsakesejahteraan Indonesia dan umum, seluruh tumpah darah Indonesia, segenap memajukan mencerdaskan Indonesia, memajukan kesejahteraan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakanumum, ketertiban dunia yang kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilandunia sosial.yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan Pegawai ASN pemerintahan, diserahi tugasdan untuk melaksanakan pelayanan publik, tugas tugas pembangunantugas tertentu. Tugas publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayananTugas atas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan barang, jasa, Adapun dan/atau administratif yang disediakan Pegawai ASN. tugaspelayanan pemerintahan dilaksanakan dalam rangka Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu Sedangkan pelaksanaan tugas (cultural pembangunan dilakukan dalam melaluirangka pembangunan bangsa and tertentu political dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan and social development) diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruhyang masyarakat. dan kemakmuran seluruh masyarakat. Untuk. . . 210 Untuk. . .
Untuk
dapat
-2menjalankan tugas
pelayanan
publik,
tugas
pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, Pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Manajemen ASN terdiri atas Manajemen PNS dan Manajemen PPPK yang perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur. Adapun Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penilaian kinerja,
penggajian
pemberhentian, perlindungan.
dan
jaminan
tunjangan,
pensiun
Sementara
penetapan
kebutuhan,
tunjangan,
pengembangan
itu,
dan
untuk
pengadaan,
penghargaan, jaminan
hari
Manajemen penilaian
kompetensi,
pemberian
tua,
PPPK
kinerja,
disiplin, dan
meliputi gaji
dan
penghargaan,
disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan. Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Untuk meningkatkan produktivitas dan menjamin kesejahteraan ASN, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN berhak memperoleh jaminan sosial.
Dalam. . .
211
-3Dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN, dibentuk KASN yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik dan kode perilaku ASN. KASN beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan. Selain itu KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat oleh Presiden selaku kepala pemerintahan untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk menyalurkan aspirasi dalam rangka pembinaan dan pengembangan profesi ASN, Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang bertujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN serta mewujudkan jiwa korps ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Dalam rangka menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sistem Informasi ASN merupakan rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi yang diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi. Untuk membentuk ASN yang mampu menyelenggarakan pelayanan publik dan menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. II. PASAL. . .
212
-4II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN,
mengutamakan
landasan
peraturan
perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas proporsionalitas” adalah mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Pegawai ASN. Huruf d Yang
dimaksud
dengan
“asas
keterpaduan”
adalah
pengelolaan Pegawai ASN didasarkan pada satu sistem pengelolaan yang terpadu secara nasional. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas delegasi” adalah bahwa sebagian kewenangan pengelolaan Pegawai ASN dapat didelegasikan
pelaksanaannya
kepada
kementerian,
lembaga pemerintah nonkementerian, dan pemerintah daerah. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh
manapun
dan
tidak
memihak
kepada
kepentingan siapapun. Huruf g. . .
213
-5Huruf g Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas efektif dan efisien” adalah bahwa dalam menyelenggarakan Manajemen ASN sesuai dengan target atau tujuan dengan tepat waktu sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN bersifat terbuka untuk publik. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas nondiskriminatif” adalah bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN, KASN tidak membedakan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan. Huruf k Yang dimaksud dengan “asas persatuan dan kesatuan” adalah
bahwa
Pegawai
ASN
sebagai
perekat
Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Huruf l Yang dimaksud dengan “asas keadilan dan kesetaraan” adalah bahwa pengaturan mencerminkan
rasa
penyelenggaraan ASN harus
keadilan
dan
kesamaan
untuk
memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN. Huruf m Yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” adalah bahwa penyelenggaraan
ASN
diarahkan
untuk
mewujudkan
peningkatan kualitas hidup Pegawai ASN. Pasal 3. . .
214
-6Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15. . .
215
-7Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelia” adalah Pegawai ASN
yang
diangkat
pendidikan,
berdasarkan
dan
melaksanakan
fungsi
keterampilan,
pengalamannya
untuk
koordinasi
dalam
penyelenggaraan jabatan fungsional keterampilan. Huruf b Yang dimaksud dengan “mahir” adalah Pegawai ASN yang
diangkat
berdasarkan
keterampilan,
pendidikan,
dan
pengalamannya
melaksanakan
fungsi
utama
dalam
untuk Jabatan
Fungsional. Huruf c Yang dimaksud dengan ”terampil” adalah Pegawai ASN
yang
diangkat
berdasarkan
keterampilan,
pendidikan,
dan
pengalamannya
melaksanakan
fungsi
lanjutan
dalam
untuk jabatan
fungsional keterampilan. Huruf d. . .
216
-8Huruf d Yang dimaksud dengan ”pemula” adalah Pegawai ASN yang diangkat berdasarkan keterampilan, pendidikan, dan pengalamannya untuk pertama kali dan melaksanakan fungsi dasar dalam jabatan fungsional keterampilan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi utama” adalah kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Huruf b Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Huruf c Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi pratama” meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara. Ayat (2). . . 217
-9Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Huruf a Yang dimaksud dengan “gaji” adalah kompensasi dasar berupa honorarium sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab jabatan dan resiko pekerjaan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26. . .
218
- 10 Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Skala
pengajian
dan
tunjangan
Pegawai
ASN
ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang keuangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32. . .
219
- 11 Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”pejabat fungsional keahlian” antara
lain
auditor
kepegawaian,
peneliti,
perancang
perundang-undangan, dan analis kebijakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39. . .
220
- 12 Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51. . .
221
- 13 Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Penyusunan
kebutuhan
PNS
merupakan
analisis
kebutuhan jumlah, jenis, dan status PNS yang diperlukan untuk melaksanakan tugas utama secara efektif dan efisien untuk mendukung beban kerja Instansi Pemerintah. Ayat (2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS ditetapkan sesuai dengan siklus anggaran. Ayat (3) Penetapan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS oleh Menteri dengan memperhatikan pendapat menteri yang menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
di
bidang
keuangan dan pertimbangan teknis dari kepala BKN. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59. . . 222
- 14 Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Syarat sehat jasmani bagi penyandang disabilitas disesuaikan
dengan
kebutuhan
pelaksanaan
pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67. . .
223
- 15 Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Instansi Pemerintah memberikan kesempatan kepada PNS untuk menduduki jabatan tertentu di instansi lain yang sesuai dengan persyaratan kompetensi paling lama 1 (satu) tahun. Ayat (6) Instansi Pemerintah memberikan kesempatan kepada PNS untuk menduduki jabatan tertentu di sektor swasta sesuai dengan
persyaratan
kompetensi.
Untuk
memperkuat
profesionalisme PNS, instansi juga membuka kesempatan secara terbatas dan tertentu kepada pegawai swasta untuk menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72. . .
224
- 16 Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Mutasi PNS dari Instansi Pusat ke Instansi Daerah dan sebaliknya setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Untuk mencegah konflik kepentingan PNS yang memiliki hubungan tali perkawinan dan hubungan darah secara langsung dalam satu unit kerja dapat dimutasi pada unit yang berbeda berdasarkan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77. . . 225
- 17 Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “secara bertahap”, antara lain bahwa proses perubahan sistem penggajian yang semula berbasis pangkat golongan dan masa kerja menuju ke sistem berbasis pada harga jabatan sehingga memerlukan kesiapan menyusun peta jabatan dan analisis harga jabatannya secara menyeluruh sehingga dibutuhkan waktu yang cukup. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83. . .
226
- 18 Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2). . . 227
- 19 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK ditetapkan sesuai dengan siklus anggaran. Ayat (4) Penetapan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK oleh Menteri dengan memperhatikan pendapat menteri yang menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
di
bidang
keuangan dan pertimbangan teknis dari kepala BKN. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas.
Pasal 102. . .
228
- 20 Pasal 102 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengembangan kompetensi antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus, dan penataran. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3). . .
229
- 21 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Instansi Pemerintah tertentu” adalah
sebagaimana
disebutkan
dalam
Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur mengenai Tentara Nasional
Indonesia
dan
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia. Jabatan Pimpinan Tinggi pada Instansi Pemerintah tersebut di atas diisi melalui penugasan dan penunjukan Presiden, Panglima
Tentara
Nasional
Indonesia,
atau
Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam memilih 1 (satu) nama calon pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya, Presiden dapat dibantu oleh tim. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi” adalah sekretaris daerah provinsi. Ayat (2). . . 230
- 22 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Dalam memilih 1 (satu) nama calon pejabat pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi, Presiden dapat dibantu oleh tim. Pasal 115 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi pratama” adalah sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas provinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119. . .
231
- 23 Pasal 119 Pernyataan pengunduran diri tidak dapat ditarik kembali. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pernyataan pengunduran diri tidak dapat ditarik kembali. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129. . .
232
- 24 Pasal 129 Ayat (1) Yang dimaksud ”sengketa Pegawai ASN” adalah sengketa yang diajukan oleh Pegawai ASN terhadap keputusan yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian terhadap seorang pegawai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Yang dimaksud dengan ”daerah tertentu” misalnya: daerah yang memiliki otonomi khusus, daerah tertinggal, daerah perbatasan, daerah konflik, daerah terpencil, dan daerah istimewa. Yang dimaksud dengan ”warga negara dengan kebutuhan khusus” adalah individu yang memiliki keterbatasan fisik (disable citizen) antara lain: a. tunanetra, adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan, diklasifikasikan dalam buta total (blind) atau rabun (low vision); b. tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik yang permanen maupun yang tidak permanen; dan/atau c. tunadaksa. . . 233
- 25 c. tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, amputasi, dan polio. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5494
234
SALINAN SALINAN SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 NOMOR 7 TAHUN 2014 NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG TENTANG TENTANG PERDAGANGAN PERDAGANGAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN PRESIDEN REPUBLIK REPUBLIK INDONESIA, INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan Menimbang pembangunan di bidang ekonomi diarahkan Menimbang : : a.a. bahwa bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan dan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan dan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan dan dilaksanakan untuk demokrasi memajukanekonomi kesejahteraan umum melalui pelaksanaan dengan umum pelaksanaan demokrasi ekonomi dengan umum melalui melalui pelaksanaan demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi ekonomi berkeadilan, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,kemajuan kemandirian, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan serta dengan dengan menjaga menjaga keseimbangan keseimbangan kemajuan dan serta kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan kesatuan ekonomi ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan kesatuan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Undang-Undang Republik Indonesia IndonesiaTahun Tahun 1945; 1945; 1945; b. ekonomi yang yang dilakukan dilakukan b. bahwa bahwa pelaksanaan pelaksanaan demokrasi demokrasi ekonomi b. bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi yang penggerak dilakukan melalui kegiatan Perdagangan merupakan melalui kegiatan kegiatan Perdagangan Perdagangan merupakan penggerak melalui merupakan penggerak utama perekonomian nasional nasional yang yang utama dalam dalam pembangunan pembangunan perekonomian utama dalam pembangunan perekonomian nasional yang dapat memberikan daya dukung dalam meningkatkan dapat memberikan memberikan daya daya dukung dalam meningkatkan dapat dukung dalam produksi pendapatan sertameningkatkan memperkuat produksi dan dan memeratakan memeratakan pendapatan serta produksi dan memeratakan pendapatan serta memperkuat memperkuat daya dayasaing saing Produk Produk Dalam Dalam Negeri; daya saing Produk Dalam Negeri; c.c. bahwa sangat penting penting dalam dalam bahwa peranan peranan Perdagangan Perdagangan sangat c. bahwa perananpembangunan Perdagangan ekonomi, sangat penting dalam meningkatkan ekonomi, tetapi dalam dalam meningkatkan pembangunan tetapi meningkatkan pembangunan ekonomi, tetapi dalam perkembangannya belum memenuhi perkembangannya memenuhi kebutuhan kebutuhan untuk untuk perkembangannya belum memenuhi kebutuhan untuk menghadapi tantangan tantangan pembangunan pembangunan nasional menghadapi nasional sehingga sehingga menghadapi tantangan pembangunan nasional sehingga diperlukan keberpihakan keberpihakan politik yang lebih diperlukan politik ekonomi ekonomi yang lebih diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, kesempatan, dukungan, memberikan dukungan, dan dan pengembangan pengembangan memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi serta usaha ekonomi rakyat yang mencakup koperasi serta usaha ekonomi rakyat dan yang menengah mencakup sebagai koperasi pilar serta utama usaha mikro, kecil, kecil, dan menengah mikro, sebagai pilar utama mikro, kecil, dan menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional; pembangunan ekonomi nasional; pembangunan ekonomi nasional; d. bahwa peraturan peraturan perundang-undangan perundang-undangan di d. bahwa di bidang bidang Perdagangan mengharuskan adanya harmonisasi d. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan mengharuskan adanya harmonisasi ketentuan di bidang Perdagangan dalamharmonisasi kerangka Perdagangan adanya ketentuan di mengharuskan bidang Perdagangan dalam kerangka kesatuan diekonomi nasional guna menyikapi ketentuan bidang Perdagangan dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional era guna menyikapi perkembangan situasi Perdagangan globalisasi pada kesatuan ekonomi nasional guna menyikapi perkembangan situasi Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan; perkembangan situasi Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan; masa kini dan masa depan; e. bahwa ... e. bahwa ... e. bahwa ... 235
- 2 e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perdagangan; Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.
2.
Perdagangan Dalam Negeri adalah Perdagangan Barang dan/atau Jasa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak termasuk Perdagangan Luar Negeri.
3.
Perdagangan Luar Negeri adalah Perdagangan yang mencakup kegiatan Ekspor dan/atau Impor atas Barang dan/atau Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah negara. 4. Perdagangan ...
236
- 3 4.
Perdagangan Perbatasan adalah Perdagangan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di daerah perbatasan Indonesia dengan penduduk negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
5.
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.
6.
Jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang diperdagangkan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.
7.
Produk Dalam Negeri adalah Barang yang dibuat dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha di Indonesia.
8.
Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan pada masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
9.
Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak.
10. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang Standardisasi. 11. Distribusi adalah kegiatan penyaluran Barang secara langsung atau tidak langsung kepada konsumen. 12. Pasar adalah lembaga ekonomi tempat bertemunya pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan transaksi Perdagangan. 13. Gudang ...
237
- 4 13. Gudang adalah suatu ruangan tidak bergerak yang tertutup dan/atau terbuka dengan tujuan tidak untuk dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan Barang yang dapat diperdagangkan dan tidak untuk kebutuhan sendiri. 14. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan. 15. Daerah Pabean adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. 16. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari Daerah Pabean. 17. Eksportir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Ekspor. 18. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean. 19. Importir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor. 20. Promosi Dagang adalah kegiatan mempertunjukkan, memperagakan, memperkenalkan, dan/atau menyebarluaskan informasi hasil produksi Barang dan/atau Jasa untuk menarik minat beli konsumen, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan penjualan, memperluas pasar, dan mencari hubungan dagang. 21. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri adalah Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan Pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima atau di organisasi internasional. 22. Kerja ...
238
- 5 22. Kerja Sama Perdagangan Internasional adalah kegiatan Pemerintah untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan Perdagangan dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional. 23. Sistem Informasi Perdagangan adalah tatanan, prosedur, dan mekanisme untuk pengumpulan, pengolahan, penyampaian, pengelolaan, dan penyebarluasan data dan/atau informasi Perdagangan yang terintegrasi dalam mendukung kebijakan dan pengendalian Perdagangan. 24. Perdagangan melalui Sistem Elektronik Perdagangan yang transaksinya dilakukan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
adalah melalui
25. Komite Perdagangan Nasional adalah lembaga yang dibentuk untuk mendukung percepatan pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan di bidang Perdagangan. 26. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Kebijakan Perdagangan disusun berdasarkan asas: a.
kepentingan nasional;
b.
kepastian hukum;
c.
adil dan sehat;
d.
keamanan berusaha; e. akuntabel ...
239
- 6 e.
akuntabel dan transparan;
f.
kemandirian;
g.
kemitraan;
h.
kemanfaatan;
i.
kesederhanaan;
j.
kebersamaan; dan
k.
berwawasan lingkungan. Pasal 3
Pengaturan kegiatan Perdagangan bertujuan: a.
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b.
meningkatkan penggunaan dan Perdagangan Produk Dalam Negeri;
c.
meningkatkan kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan;
d.
menjamin kelancaran Distribusi dan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan Barang penting;
e.
meningkatkan Perdagangan;
f.
meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta Pemerintah dan swasta;
g.
meningkatkan daya saing produk dan usaha nasional;
h.
meningkatkan citra Produk Dalam Negeri, akses pasar, dan Ekspor nasional;
i.
meningkatkan Perdagangan produk berbasis ekonomi kreatif;
j.
meningkatkan pelindungan konsumen;
k.
meningkatkan penggunaan SNI;
l.
meningkatkan pelindungan sumber daya alam; dan
m.
meningkatkan pengawasan Barang dan/atau Jasa yang diperdagangkan.
fasilitas,
sarana,
dan
prasarana
BAB ...
240
- 7 BAB III LINGKUP PENGATURAN Pasal 4 (1)
(2)
Lingkup pengaturan Perdagangan meliputi: a.
Perdagangan Dalam Negeri;
b.
Perdagangan Luar Negeri;
c.
Perdagangan Perbatasan;
d.
Standardisasi;
e.
Perdagangan melalui Sistem Elektronik;
f.
pelindungan dan pengamanan Perdagangan;
g.
pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah;
h.
pengembangan Ekspor;
i.
Kerja Sama Perdagangan Internasional;
j.
Sistem Informasi Perdagangan;
k.
tugas dan wewenang Perdagangan;
l.
Komite Perdagangan Nasional;
m.
pengawasan; dan
n.
penyidikan.
Pemerintah
di
bidang
Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur Jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: a.
Jasa bisnis;
b.
Jasa distribusi;
c.
Jasa komunikasi;
d.
Jasa pendidikan;
e.
Jasa lingkungan hidup;
f.
Jasa keuangan;
g.
Jasa konstruksi dan teknik terkait;
h.
Jasa kesehatan dan sosial; i. Jasa ...
241
- 8 -
(3)
i.
Jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga;
j.
Jasa pariwisata;
k.
Jasa transportasi; dan
l.
Jasa lainnya.
Jasa dapat diperdagangkan baik di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara. BAB IV PERDAGANGAN DALAM NEGERI Bagian Kesatu Umum Pasal 5
(1)
Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Negeri melalui kebijakan dan pengendalian.
(2)
Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada:
(3)
Dalam
a.
peningkatan efisiensi dan efektivitas Distribusi;
b.
peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha;
c.
pengintegrasian dan perluasan Pasar dalam negeri;
d.
peningkatan akses Pasar bagi Produk Dalam Negeri; dan
e.
pelindungan konsumen.
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengatur: a.
pengharmonisasian peraturan, Standar, dan prosedur kegiatan Perdagangan antara pusat dan daerah dan/atau antardaerah;
b.
penataan prosedur perizinan bagi kelancaran arus Barang; c. pemenuhan ...
242
- 9 -
(4)
c.
pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan Barang kebutuhan pokok masyarakat;
d.
pengembangan dan penguatan usaha di bidang Perdagangan Dalam Negeri, termasuk koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah;
e.
pemberian fasilitas Perdagangan;
f.
peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri;
g.
Perdagangan antarpulau; dan
h.
pelindungan konsumen.
pengembangan
sarana
Pengendalian Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
perizinan;
b.
Standar; dan
c.
pelarangan dan pembatasan. Pasal 6
(1)
Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Distribusi Barang Pasal 7
(1)
Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri secara tidak langsung atau langsung kepada konsumen dapat dilakukan melalui Pelaku Usaha Distribusi.
(2)
Distribusi Barang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan rantai Distribusi yang bersifat umum: a. distributor dan jaringannya; b. agen dan jaringannya; atau c. waralaba. (3) Distribusi ... 243
- 10 (3)
Distribusi Barang secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan pendistribusian khusus melalui sistem penjualan langsung secara: a. single level; atau b. multilevel. Pasal 8
Barang dengan hak Distribusi eksklusif yang diperdagangkan dengan sistem penjualan langsung hanya dapat dipasarkan oleh penjual resmi yang terdaftar sebagai anggota perusahaan penjualan langsung. Pasal 9 Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang. Pasal 10 Pelaku Usaha Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 melakukan Distribusi Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta etika ekonomi dan bisnis dalam rangka tertib usaha. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Sarana Perdagangan Pasal 12 (1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengembangkan sarana Perdagangan berupa: a. b.
Pasar rakyat; pusat perbelanjaan;
244
c. toko ...
- 11 c. d. e. f. g. h. (2)
toko swalayan; Gudang; perkulakan; Pasar lelang komoditas; Pasar berjangka komoditi; atau sarana Perdagangan lainnya.
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha dalam mengembangkan sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13
(1)
Pemerintah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah melakukan pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar rakyat dalam rangka peningkatan daya saing.
(2)
Pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk: a. pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar rakyat; b. implementasi manajemen pengelolaan yang profesional; c. fasilitasi akses penyediaan Barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing; dan/atau d. fasilitasi akses pembiayaan kepada pedagang Pasar di Pasar rakyat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar rakyat diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengaturan tentang pengembangan, penataan dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. (2) Pengembangan ... 245
- 12 (2)
Pengembangan, penataan, dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan perizinan, tata ruang, zonasi dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian, kemitraan, dan kerja sama usaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan perizinan, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 15
(1)
Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
(2)
Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh setiap pemilik Gudang sesuai dengan penggolongan Gudang menurut luas dan kapasitas penyimpanannya.
(3)
Setiap pemilik Gudang yang tidak melakukan pendaftaran Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa penutupan Gudang untuk jangka waktu tertentu dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
(5)
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 16
(1)
Di luar ketentuan Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyediakan Gudang yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan Barang kebutuhan pokok rakyat. (2) Gudang ...
246
- 13 (2)
Gudang yang disediakan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tertutup dan jumlah Barang kebutuhan pokok rakyat yang disimpan dikategorikan sebagai data yang digunakan secara terbatas. Pasal 17
(1)
Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melakukan penyimpanan Barang yang ditujukan untuk diperdagangkan harus menyelenggarakan pencatatan administrasi paling sedikit berupa jumlah Barang yang disimpan dan jumlah Barang yang masuk dan yang keluar dari Gudang.
(2)
Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang tidak menyelenggarakan pencatatan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan administrasi Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 18
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan penataan, pembinaan, dan pengembangan terhadap Pasar lelang komoditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f.
(2)
Ketentuan mengenai penataan, pembinaan, dan pengembangan Pasar lelang komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 19
(1)
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengembangan Pasar berjangka komoditi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf g. (2) Ketentuan ...
247
- 14 (2)
Ketentuan mengenai Pasar berjangka komoditi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi. Bagian Keempat Perdagangan Jasa Pasal 20
(1)
Penyedia Jasa yang bergerak di bidang Perdagangan Jasa wajib didukung tenaga teknis yang kompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Penyedia Jasa yang tidak memiliki tenaga teknis yang kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 21
Pemerintah dapat memberi pengakuan terhadap kompetensi tenaga teknis dari negara lain berdasarkan perjanjian saling pengakuan secara bilateral atau regional. Bagian Kelima Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Pasal 22 (1)
Dalam rangka pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan Perdagangan Dalam Negeri, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pemangku kepentingan lainnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengupayakan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri. (2) Peningkatan ...
248
- 15 (2)
Peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan keberpihakan melalui promosi, sosialisasi, atau pemasaran dan menerapkan kewajiban menggunakan Produk Dalam Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Perdagangan Antarpulau Pasal 23
(1)
Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan antarpulau untuk integrasi Pasar dalam negeri.
(2)
Pengaturan sebagaimana diarahkan untuk:
(3)
dimaksud
pada
ayat
(1)
a.
menjaga keseimbangan antardaerah yang surplus dan daerah yang minus;
b.
memperkecil kesenjangan harga antardaerah;
c.
mengamankan Distribusi Perdagangannya;
d.
mengembangkan setiap daerah;
e.
menyediakan sarana dan prasarana Perdagangan antarpulau;
f.
mencegah masuk dan selundupan di dalam negeri;
g.
mencegah penyelundupan Barang ke luar negeri; dan
h.
meniadakan hambatan Perdagangan antarpulau.
Barang
pemasaran
yang
produk
beredarnya
dibatasi unggulan
Barang
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perdagangan antarpulau diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian ...
249
- 16 Bagian Ketujuh Perizinan Pasal 24 (1)
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan Perdagangan wajib memiliki perizinan di Perdagangan yang diberikan oleh Menteri.
usaha bidang
(2)
Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan kepada Pemerintah Daerah atau instansi teknis tertentu.
(3)
Menteri dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban memiliki perizinan di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan di bidang Perdagangan sebagaimana pada ayat (1) dan pengecualiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedelapan
Pengendalian Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting Pasal 25 (1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong peningkatan dan melindungi produksi Barang kebutuhan pokok dan Barang penting dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional.
(3)
Barang kebutuhan pokok dan Barang penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Pasal ... Pasal 26 ....
250
- 17 Pasal 26 (1)
Dalam kondisi tertentu yang dapat menganggu kegiatan Perdagangan nasional, Pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting.
(2)
Jaminan pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan melindungi pendapatan produsen.
(3)
Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan Impor. Pasal 27
Dalam rangka pengendalian ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Pemerintah dapat menunjuk Badan Usaha Milik Negara. Pasal 28 Dalam rangka melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pemerintah mengalokasikan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 29 (1)
Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.
(2)
Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan. (3) Ketentuan ...
251
- 18 (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 30
(1)
Menteri dapat meminta data dan/atau informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(2)
Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting. Pasal 31
Dalam hal Pemerintah Daerah mengatur mengenai langkah pemenuhan ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting, Pemerintah Daerah harus mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 32 (1)
Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup wajib: a.
mendaftarkan Barang yang diperdagangkan kepada Menteri; dan
b.
mencantumkan nomor tanda pendaftaran pada Barang dan/atau kemasannya.
(2)
Kewajiban mendaftarkan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh produsen atau Importir sebelum Barang beredar di Pasar.
(3)
Kewajiban Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan terhadap Barang yang telah diatur pendaftarannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Kriteria atas keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan berdasarkan SNI atau Standar lain yang diakui yang belum diberlakukan secara wajib. (5) Barang ...
252
- 19 (5)
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(6)
Dalam hal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah diberlakukan SNI secara wajib, Barang dimaksud harus memenuhi ketentuan pemberlakuan SNI secara wajib. Pasal 33
(1)
Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan Perdagangan Barang dan menarik Barang dari: a. distributor; b. agen; c. grosir; d. pengecer; dan/atau e. konsumen.
(2)
Perintah penghentian kegiatan Perdagangan dan penarikan dari Distribusi terhadap Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3)
Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) serta penghentian kegiatan Perdagangan Barang dan penarikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Bagian Kesembilan Larangan dan Pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa Pasal 35 (1)
Pemerintah menetapkan larangan atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan: a. melindungi ...
253
- 20 -
(2)
a.
melindungi kedaulatan ekonomi;
b.
melindungi keamanan negara;
c.
melindungi moral dan budaya masyarakat;
d.
melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup;
e.
melindungi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan untuk produksi dan konsumsi;
f.
melindungi neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan;
g.
melaksanakan dan/atau
h.
pertimbangan Pemerintah.
peraturan tertentu
perundang-undangan; sesuai
dengan
tugas
Barang dan/atau Jasa yang dilarang atau dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Pasal 36
Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). Pasal 37 (1)
Setiap Pelaku Usaha wajib memenuhi ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2)
Setiap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.
BAB ...
254
- 21 BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI Bagian Kesatu Umum Pasal 38 (1)
Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor.
(2)
Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
(3)
(4)
a.
peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
b.
peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri; dan
c.
peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal.
Kebijakan meliputi:
Perdagangan
Luar
Negeri
paling
sedikit
a.
peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor;
b.
pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang;
c.
penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri;
d.
pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan
e.
pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri.
Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi: a.
perizinan;
b.
Standar; dan
c.
pelarangan dan pembatasan. Pasal ... Pasal 39 ....
255
- 22 Pasal 39 Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah negara dilakukan dengan cara: a. pasokan lintas batas; b. konsumsi di luar negeri; c. keberadaan komersial; atau d. perpindahan manusia. Pasal 40 (1)
Dalam rangka meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional, Pemerintah dapat mengatur cara pembayaran dan cara penyerahan Barang dalam kegiatan Ekspor dan Impor.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai cara pembayaran dan cara penyerahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 41
(1)
Menteri dapat menunda Impor atau Ekspor jika terjadi keadaan kahar.
(2)
Presiden menetapkan keadaan dimaksud pada ayat (1).
kahar
sebagaimana
Bagian Kedua Ekspor Pasal 42 (1)
Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai Eksportir, kecuali ditentukan lain oleh Menteri.
(2)
Ketentuan mengenai penetapan sebagai Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 43
(1)
Eksportir bertanggung Barang yang diekspor.
jawab
sepenuhnya
terhadap
(2) Eksportir ...
256
- 23 (2)
Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan di bidang Perdagangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 44
Eksportir yang melakukan tindakan penyalahgunaan atas penetapan sebagai Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembatalan penetapan sebagai Eksportir. Bagian Ketiga Impor Pasal 45 (1)
Impor Barang hanya dapat dilakukan oleh Importir yang memiliki pengenal sebagai Importir berdasarkan penetapan Menteri.
(2)
Dalam hal tertentu, Impor Barang dapat dilakukan oleh Importir yang tidak memiliki pengenal sebagai Importir.
(3)
Ketentuan mengenai pengenal sebagai Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 46
(1)
Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor.
(2)
Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan di bidang Perdagangan. (3) Ketentuan ...
257
- 24 (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 47
(1)
Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.
(2)
Dalam hal tertentu Menteri dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.
(3)
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 48
Surat persetujuan Impor atas Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) diserahkan pada saat menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan. Bagian Keempat Perizinan Ekspor dan Impor Pasal 49 (1)
Untuk kegiatan Ekspor dan Impor, Menteri mewajibkan Eksportir dan Importir untuk memiliki perizinan yang dapat berupa persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau pengakuan.
(2)
Menteri mewajibkan Eksportir dan Importir untuk memiliki perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan Ekspor sementara dan Impor sementara. (3) Menteri ...
258
- 25 (3)
Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah atau instansi teknis tertentu.
(4)
Dalam rangka peningkatan daya saing nasional Menteri dapat mengusulkan keringanan atau penambahan pembebanan bea masuk terhadap Barang Impor sementara.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima
Larangan dan Pembatasan Ekspor dan Impor Pasal 50 (1)
Semua Barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undangundang.
(2)
Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan: a.
untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat;
b.
untuk melindungi dan/atau
c.
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
hak
kekayaan
intelektual;
Pasal 51 (1)
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor.
(2)
Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor.
(3)
Barang yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal ... Pasal 52 ....
259
- 26 Pasal 52 (1)
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor.
(2)
Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
(3)
Barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4)
Setiap Eksportir yang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(5)
Setiap Importir yang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(6)
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 53
(1)
Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Menteri. Pasal 54
(1)
Pemerintah dapat membatasi Ekspor dan Impor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan: a.
untuk melindungi keamanan kepentingan umum; dan/atau
nasional
atau
b.
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup. (2) Pemerintah ... 260
- 27 (2)
(3)
Pemerintah dapat membatasi Ekspor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan: a.
menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;
b.
menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri;
c.
melindungi kelestarian sumber daya alam;
d.
meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam;
e.
mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas Ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau
f.
menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.
Pemerintah dapat membatasi Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan: a.
untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri; dan/atau
b.
untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan. BAB VI PERDAGANGAN PERBATASAN Pasal 55
(1)
Setiap warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain dapat melakukan Perdagangan Perbatasan dengan penduduk negara lain yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan.
(2)
Perdagangan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di wilayah perbatasan darat dan perbatasan laut yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
(3)
Perdagangan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ... Pasal 56 ....
261
- 28 Pasal 56 (1)
Perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) paling sedikit memuat: a.
tempat pemasukan atau pengeluaran lintas batas yang ditetapkan;
b.
jenis Barang yang diperdagangkan;
c.
nilai maksimal transaksi pembelian Barang di luar Daerah Pabean untuk dibawa ke dalam Daerah Pabean;
d.
wilayah tertentu yang dapat dilakukan Perdagangan Perbatasan; dan
e.
kepemilikan identitas orang Perdagangan Perbatasan.
yang
melakukan
(2)
Pemerintah melakukan pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan cukai, imigrasi, serta karantina di pos lintas batas keluar atau di pos lintas batas masuk dan di tempat atau di wilayah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Menteri melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan menteri terkait sebelum melakukan perjanjian Perdagangan Perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perdagangan Perbatasan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB VII STANDARDISASI Bagian Kesatu Standardisasi Barang Pasal 57
(1)
Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi: a.
SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau
b.
persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. (2) Pelaku ...
262
- 29 (2)
Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
(3)
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
(4)
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek: a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.
(5)
Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah.
(6)
Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.
(7)
Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa penarikan Barang dari Distribusi. Pasal 58
(1)
Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam ...
263
- 30 (2)
Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.
(3)
Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 59
Standar atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antarnegara. Bagian Kedua Standardisasi Jasa Pasal 60 (1)
Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib.
(2)
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
(3)
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek: a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau e. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal. (4) Jasa ...
264
- 31 (4)
Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah.
(5)
Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan usaha. Pasal 61
(1)
Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.
(3)
Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 62
Standar, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antarnegara. Pasal 63 Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan Perdagangan Jasa. Pasal ... Pasal 64 .... 265
- 32 Pasal 64 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pemberlakuan Standardisasi Barang dan/atau Standardisasi Jasa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB VIII PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK Pasal 65 (1)
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
(2)
Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
(4)
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
(5)
a.
identitas dan legalitas Pelaku Usaha produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b.
persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c.
persyaratan ditawarkan;
d.
harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
e.
cara penyerahan Barang.
teknis
atau
kualifikasi
sebagai
Jasa
yang
Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. (6) Setiap ...
266
- 33 (6)
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin. Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB IX PELINDUNGAN DAN PENGAMANAN PERDAGANGAN Pasal 67 (1)
Pemerintah menetapkan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan.
(2)
Penetapan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a.
pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap Ekspor Barang nasional;
b.
pembelaan terhadap Eksportir yang Barang Ekspornya dinilai oleh negara mitra dagang telah menimbulkan lonjakan Impor di negara tersebut;
c.
pembelaan terhadap Ekspor Barang nasional yang dirugikan akibat penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain;
d.
pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi praktik Perdagangan yang tidak sehat;
e.
pengenaan tindakan pengamanan untuk mengatasi lonjakan Impor; dan
f.
pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait Perdagangan yang ditentang oleh negara lain.
Perdagangan
Pasal Pasal 68 ... .... 267
- 34 Pasal 68 (1)
Dalam hal adanya ancaman dari kebijakan, regulasi, tuduhan praktik Perdagangan tidak sehat, dan/atau tuduhan lonjakan Impor dari negara mitra dagang atas Ekspor Barang nasional, Menteri berkewajiban mengambil langkah pembelaan.
(2)
Dalam mengambil langkah dimaksud pada ayat (1):
pembelaan
sebagaimana
a.
Eksportir yang berkepentingan berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan; dan
b.
kementerian/lembaga Pemerintah nonkementerian terkait berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan. Pasal 69
(1)
Dalam hal terjadi lonjakan jumlah Barang Impor yang menyebabkan produsen dalam negeri dari Barang sejenis atau Barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan Perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud.
(2)
Tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau kuota.
(3)
Bea masuk tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.
(4)
Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.
Pasal Pasal 70.......
268
- 35 Pasal 70 (1)
Dalam hal terdapat produk Impor dengan harga lebih rendah daripada nilai normal yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian pada industri dalam negeri terkait atau menghambat berkembangnya industri dalam negeri yang terkait, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan antidumping untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.
(2)
Tindakan antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk antidumping.
(3)
Bea masuk antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri. Pasal 71
(1)
Dalam hal produk Impor menerima subsidi secara langsung atau tidak langsung dari negara pengekspor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri atau menghambat perkembangan industri dalam negeri, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan imbalan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.
(2)
Tindakan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk imbalan.
(3)
Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri. Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, tindakan antidumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, dan tindakan imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB ...
269
- 36 BAB X PEMBERDAYAAN KOPERASI SERTA USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Pasal 73 (1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan.
(2)
Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan promosi, dan pemasaran.
(3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak lain.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan koperasi sertausaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. BAB XI PENGEMBANGAN EKSPOR Bagian Kesatu Pembinaan Ekspor Pasal 74
(1)
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promosi dan pemasaran untuk pengembangan Ekspor. (3) Menteri ...
270
- 37 (3)
Menteri dapat mengusulkan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri.
(4)
Pemerintah dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pihak lain.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Promosi Dagang Pasal 75
(1)
Untuk memperluas akses Pasar bagi Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memperkenalkan Barang dan/atau Jasa dengan cara: a. menyelenggarakan Promosi Dagang di dalam negeri dan/atau di luar negeri; dan/atau b. berpartisipasi dalam Promosi Dagang di dalam negeri dan/atau di luar negeri.
(2)
Promosi Dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pameran dagang; dan b. misi dagang.
(3)
Promosi Dagang yang berupa pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. pameran dagang internasional; b. pameran dagang nasional; atau c. pameran dagang lokal.
(4)
Pemerintah dalam melakukan pameran dagang di luar negeri mengikutsertakan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
(5) Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam bentuk pertemuan bisnis internasional untuk memperluas peluang peningkatan Ekspor. (6) Misi ...
271
- 38 (6)
Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui kunjungan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan/atau lembaga lainnya dari Indonesia ke luar negeri dalam rangka melakukan kegiatan bisnis atau meningkatkan hubungan Perdagangan kedua negara. Pasal 76
Pelaksanaan kegiatan Promosi Dagang di luar negeri oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha dilakukan berkoordinasi dengan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri di negara terkait. Pasal 77 (1)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang.
(2)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri wajib mendapatkan izin dari Menteri.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan. Pasal 78
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas dan/atau kemudahan untuk pelaksanaan kegiatan pameran dagang yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan/atau lembaga selain Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemberian ...
272
- 39 (2)
(3)
Pemberian fasilitas dan/atau kemudahan pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a.
penyelenggara Promosi Dagang nasional; dan
b.
peserta lembaga selain Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha nasional.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah saling mendukung dalam melakukan pameran dagang untuk mengembangkan Ekspor komoditas unggulan nasional. Pasal 79
(1)
Selain Promosi Dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), untuk memperkenalkan Barang dan/atau Jasa, perlu didukung kampanye pencitraan Indonesia di dalam dan di luar negeri.
(2)
Pelaksanaan kampanye pencitraan Indonesia dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(3)
Pelaksanaan kampanye pencitraan Indonesia oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha di luar negeri berkoordinasi dengan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri di negara terkait.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kampanye pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 80
(1)
Untuk menunjang pelaksanaan kegiatan Promosi Dagang ke luar negeri, dapat dibentuk badan Promosi Dagang di luar negeri.
(2)
Pembentukan badan Promosi Dagang di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk fasilitasnya dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal Pasal 81.......
273
- 40 Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan, dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XII KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL Pasal 82 (1)
Untuk meningkatkan akses Pasar serta melindungi dan mengamankan kepentingan nasional, Pemerintah dapat melakukan kerja sama Perdagangan dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional.
(2)
Kerja sama Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan internasional. Pasal 83
Pemerintah dalam melakukan perundingan perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 84 (1)
Setiap perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah penandatanganan perjanjian.
(2)
Perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Keputusan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja pada masa sidang dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dalam ...
274
- 41 a.
Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.
b.
Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional tidak menimbulkan dampak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden.
(4)
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja pada masa sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(5)
Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling lama 1 (satu) kali masa sidang berikutnya.
(6)
Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional dapat membahayakan kepentingan nasional, Dewan Perwakilan Rakyat menolak persetujuan perjanjian Perdagangan internasional.
(7)
Peraturan Presiden mengenai pengesahan perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 85
(1)
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian Perdagangan internasional yang persetujuannya dilakukan dengan undang-undang berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional.
(2)
Pemerintah dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian Perdagangan internasional yang pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional. (3) Ketentuan ...
275
- 42 (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peninjauan kembali dan pembatalan perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemeritah. Pasal 86
(1)
Dalam melakukan perundingan perjanjian Perdagangan internasional, Pemerintah dapat membentuk tim perunding yang bertugas mempersiapkan dan melakukan perundingan.
(2)
Ketentuan mengenai pembentukan tim perunding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 87
(1)
Pemerintah dapat memberikan preferensi Perdagangan secara unilateral kepada negara kurang berkembang dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara pemberian preferensi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. BAB XIII SISTEM INFORMASI PERDAGANGAN Pasal 88
(1)
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga Pemerintah nonkementerian.
(2)
Sistem informasi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) digunakan untuk kebijakan dan pengendalian Perdagangan.
Pasal Pasal 89.......
276
- 43 Pasal 89 (1)
Sistem Informasi Perdagangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penyampaian, pengelolaan, dan penyebarluasan data dan/atau informasi Perdagangan.
(2)
Data dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri.
(3)
Data dan informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara akurat, cepat, dan tepat guna serta mudah diakses oleh masyarakat. Pasal 90
(1)
Menteri dalam menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan dapat meminta data dan informasi di bidang Perdagangan kepada kementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya.
(2)
Kementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya berkewajiban memberikan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mutakhir, akurat, dan cepat. Pasal 91
Data dan informasi Perdagangan bersifat terbuka, kecuali ditentukan lain oleh Menteri. Pasal 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Perdagangan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB ...
277
- 44 BAB XIV TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DI BIDANG PERDAGANGAN Pasal 93 Tugas Pemerintah di bidang Perdagangan mencakup: a.
merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang Perdagangan;
b.
merumuskan Standar nasional;
c.
merumuskan dan menetapkan norma, prosedur, dan kriteria di bidang Perdagangan;
d.
menetapkan sistem perizinan di bidang Perdagangan;
e.
mengendalikan ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting;
f.
melaksanakan Kerja sama Perdagangan Internasional;
g.
mengelola informasi di bidang Perdagangan;
h.
melakukan pembinaan dan pengawasan kegiatan di bidang Perdagangan;
i.
mendorong pengembangan Ekspor nasional;
j.
menciptakan iklim usaha yang kondusif;
k.
mengembangkan logistik nasional; dan
l.
tugas lain sesuai perundang-undangan.
dengan
ketentuan
Standar,
terhadap
peraturan
Pasal 94 Pemerintah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 mempunyai wewenang: a.
memberikan perizinan kepada Pelaku Usaha di bidang Perdagangan;
b.
melaksanakan harmonisasi kebijakan Perdagangan di dalam negeri dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem Distribusi nasional, tertib niaga, integrasi Pasar, dan kepastian berusaha; c. membatalkan ...
278
- 45 c.
membatalkan kebijakan dan regulasi di bidang Perdagangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang bertentangan dengan kebijakan dan regulasi Pemerintah;
d.
menetapkan larangan dan/atau Perdagangan Barang dan/atau Jasa;
e.
mengembangkan logistik nasional guna memastikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting; dan
f.
wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
pembatasan
Pasal 95 Pemerintah Daerah bertugas: a.
melaksanakan Perdagangan;
kebijakan
b.
melaksanakan daerah;
c.
mengendalikan ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting;
d.
memantau pelaksanaan Internasional di daerah;
e.
mengelola informasi di bidang Perdagangan di daerah;
f.
melakukan pembinaan dan pengawasan kegiatan di bidang Perdagangan di daerah;
g.
mendorong pengembangan Ekspor nasional;
h.
menciptakan iklim usaha yang kondusif;
i.
mengembangkan logistik daerah; dan
j.
tugas lain di bidang Perdagangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
perizinan
Pemerintah di
bidang
Kerja
di
bidang
Perdagangan
Sama
di
Perdagangan
terhadap
dengan
Pasal 96 (1)
Pemerintah Daerah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mempunyai wewenang: a. menetapkan ...
279
- 46 -
(2)
a.
menetapkan kebijakan dan strategi di bidang Perdagangan di daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah;
b.
memberikan perizinan kepada Pelaku Usaha di bidang Perdagangan yang dilimpahkan atau didelegasikan oleh Pemerintah;
c.
mengelola informasi Perdagangan di daerah dalam rangka penyelenggaraan Sistem Informasi Perdagangan;
d.
melakukan pembinaan dan pengawasan kegiatan Perdagangan di daerah setempat; dan
e.
wewenang lain di bidang Perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan wewenang Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. BAB XV KOMITE PERDAGANGAN NASIONAL Pasal 97
(1)
Untuk mendukung percepatan pencapaian tujuan pengaturan kegiatan Perdagangan, Presiden dapat membentuk Komite Perdagangan Nasional.
(2)
Komite Perdagangan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Menteri.
(3)
Keanggotaan Komite Perdagangan Nasional terdiri atas unsur: a. Pemerintah; b. lembaga yang bertugas melaksanakan penyelidikan tindakan antidumping dan tindakan imbalan; c. lembaga yang bertugas melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan pengamanan Perdagangan; d. lembaga yang bertugas memberikan rekomendasi mengenai pelindungan konsumen; e. Pelaku Usaha atau asosiasi usaha di bidang Perdagangan; dan f. akademisi atau pakar di bidang Perdagangan. (4) Komite ...
280
- 47 (4)
Komite Perdagangan Nasional bertugas: a.
memberikan masukan dalam penentuan kebijakan dan regulasi di bidang Perdagangan;
b.
memberikan pertimbangan pembiayaan Perdagangan;
c.
memberikan pertimbangan kepentingan nasional terhadap rekomendasi tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan Perdagangan;
d.
memberikan masukan dan pertimbangan dalam penyelesaian masalah Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri;
e.
membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan kebijakan dan praktik Perdagangan di negara mitra dagang;
f.
memberikan masukan dalam menyusun posisi runding dalam Kerja sama Perdagangan Internasional;
g.
membantu Pemerintah melakukan sosialisasi terhadap kebijakan dan regulasi di bidang Perdagangan; dan
h.
tugas lain yang dianggap perlu.
atas
kebijakan
(5)
Biaya pelaksanaan tugas Komite Perdagangan Nasional bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Perdagangan Nasional diatur dengan Peraturan Presiden. BAB XVI PENGAWASAN Pasal 98
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.
(2)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah menetapkan kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan. Pasal ... Pasal 99 .... 281
- 48 Pasal 99 (1)
Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan oleh Menteri.
(2)
Menteri dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang melakukan: a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik Barang dari Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan; dan/atau b. pencabutan perizinan di bidang Perdagangan. Pasal 100
(1)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Menteri menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
(2)
Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus membawa surat tugas yang sah dan resmi.
(3)
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit melakukan pengawasan terhadap: a. perizinan di bidang Perdagangan; b. Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur; c. Distribusi Barang dan/atau Jasa; d. pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; e. pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib; f. pendaftaran Gudang; dan g. penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat: a. merekomendasikan ...
282
- 49 a.
(5)
(6)
(1) (2) (3)
merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan Barang; b. merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau c. merekomendasikan pencabutan perizinan di bidang Perdagangan. Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti. Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan instansi terkait. Pasal 101 Pemerintah dapat menetapkan Perdagangan Barang dalam pengawasan. Dalam hal penetapan Barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menerima masukan dari organisasi usaha. Barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XVII PENYIDIKAN
(1)
Pasal 103 Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini. (2) Penyidik ...
283
- 50 (2)
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang: a.
menerima laporan atau pengaduan mengenai terjadinya suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana di bidang Perdagangan;
b.
memeriksa kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
c.
memanggil orang, badan usaha, atau badan hukum untuk dimintai keterangan dan alat bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Perdagangan;
d.
memanggil orang, badan usaha, atau badan hukum untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau sebagai tersangka berkenaan dengan dugaan terjadinya dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
e.
memeriksa pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
f.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
g.
melakukan pemeriksaan dan penggeledahan tempat kejadian perkara dan tempat tertentu yang diduga terdapat alat bukti serta melakukan penyitaan dan/atau penyegelan terhadap Barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
h.
memberikan tanda pengaman dan mengamankan Barang bukti sehubungan dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
i.
memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, Barang, sarana pengangkut, atau objek lain yang dapat dijadikan bukti adanya dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan; j. mendatangkan ...
284
- 51 j.
mendatangkan dan meminta bantuan atau keterangan ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan; dan
k.
menghentikan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal tertentu sepanjang menyangkut kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kepabeanan berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan di bidang Perdagangan berkoordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.
(4)
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(5)
Pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang Perdagangan dapat dikoordinasikan oleh unit khusus yang dapat dibentuk di instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.
(6)
Pedoman pelaksanaan penanganan tindak pidana di bidang Perdagangan ditetapkan oleh Menteri. BAB XVIII KETENTUAN PIDANA Pasal 104
Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal ... Pasal 105 ....
285
- 52 Pasal 105 Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 106 Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki perizinan di bidang Perdagangan yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 107 Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 108 Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal ... Pasal 110 ....
286
- 53 Pasal 110 Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 111 Setiap Importir yang mengimpor Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(1)
(2)
Pasal 112 Eksportir yang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Importir yang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 113 Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal ... Pasal 114 ....
287
- 54 Pasal 114 Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 115 Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 116 Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 117 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai Perdagangan dalam Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934, Staatsblad 1938 Nomor 86 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 118 .... Pasal ...
288
- 55 Pasal 118 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Undang-Undang Nomor 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 14) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2759); b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2210); dan c. Undang-Undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2469), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 119 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perdagangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 120 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua kewenangan di bidang Perdagangan yang diatur dalam undang-undang lain sebelum Undang-Undang ini berlaku pelaksanaannya berkoordinasi dengan Menteri. Pasal 121 Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 122 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ...
289
- 56 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.T td. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 45 4
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, ttd. Lydia Silvanna Djaman
290
PENJELASAN PENJELASAN ATAS ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 013 NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG 013 TENTANG PERDAGANGAN PERDAGANGAN I.
UMUM
I.
Pembangunan nasional di bidang ekonomi disusun dan dilaksanakan UMUM untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi Pembangunan nasional di bidang ekonomi disusun dan dilaksanakan ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional Indonesia Tahun 1945. Dalam perspektif landasan konstitusional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik tersebut, Perdagangan nasional Indonesia mencerminkan suatu rangkaian Indonesia Tahun 1945. Dalam perspektif landasan konstitusional aktivitas perekonomian yang dilaksanakan untuk mewujudkan tersebut, Perdagangan nasional Indonesia mencerminkan suatu rangkaian kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. aktivitas perekonomian yang dilaksanakan untuk mewujudkan Kegiatan Perdagangan penggerak utama kesejahteraan umum dan merupakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatpembangunan Indonesia. perekonomian nasional yang memberikan daya dukung dalam Kegiatan Perdagangan merupakan penggerak utama pembangunan meningkatkan produksi, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan perekonomian nasional yang memberikan daya dukung dalam Ekspor dan devisa, memeratakan pendapatan, serta memperkuat daya meningkatkan produksi, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan saing Produk Dalam Negeri demi kepentingan nasional. Ekspor dan devisa, memeratakan pendapatan, serta memperkuat daya Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian saing Produk Dalam Negeri demi kepentingan nasional. tidak hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian transaksi Barang dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik tidak hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara, tetapi aktivitas transaksi Barang dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik perekonomian yang harus dilaksanakan dengan mengutamakan di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara, tetapi aktivitas kepentingan nasional Indonesia yang diselaraskan dengan konsepsi perekonomian yang harus dilaksanakan dengan mengutamakan pengaturan di bidang Perdagangan sesuai dengan cita-cita pembentukan kepentingan nasional Indonesia yang diselaraskan dengan konsepsi negara Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana pengaturan di bidang Perdagangan sesuai dengan cita-cita pembentukan diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana Indonesia Tahun 1945. diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Sejak kemerdekaan Indonesia Tahun 1945. Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, belum ada undang-undang yang mengatur tentang Perdagangan Sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, secara menyeluruh. Produk hukum yang setara undang-undang di bidang belum ada undang-undang yang mengatur tentang Perdagangan Perdagangan adalah hukum kolonial Belanda Bedrijfsreglementerings secara menyeluruh. Produk hukum yang setara undang-undang di bidang Ordonnantie 1934 yang lebih banyak mengatur perizinan usaha. Perdagangan adalah hukum kolonial Belanda Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 yang lebih banyak mengatur perizinan usaha. Berbagai ... 291 Berbagai ...
- 2 Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun dan mengganti Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 berupa peraturan perundangundangan di bidang Perdagangan yang bersifat parsial, seperti UndangUndang tentang Barang, Undang-Undang tentang Pergudangan, UndangUndang tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan, Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang, dan Undang-Undang tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Oleh karena itu, perlu dibentuk undang-undang yang menyinkronkan seluruh peraturan perundangundangan di bidang Perdagangan untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur serta dalam menyikapi perkembangan situasi Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan. Pengaturan dalam Undang-Undang ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan. Berdasarkan tujuan dan asas tersebut, Undang-Undang tentang Perdagangan memuat materi pokok sesuai dengan lingkup pengaturan yang meliputi Perdagangan Dalam Negeri, Perdagangan Luar Negeri, Perdagangan Perbatasan, Standardisasi, Perdagangan melalui Sistem Elektronik, pelindungan dan pengamanan Perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah, pengembangan Ekspor, Kerja Sama Perdagangan Internasional, Sistem Informasi Perdagangan, tugas dan wewenang pemerintah di bidang Perdagangan, Komite Perdagangan Nasional, pengawasan, serta penyidikan. II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah setiap kebijakan Perdagangan harus mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundangundangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan pengendalian di bidang Perdagangan. Huruf ... Huruf c ....
292
- 3 Huruf c Yang dimaksud dengan “asas adil dan sehat” adalah adanya kesetaraan kesempatan dan kedudukan dalam kegiatan usaha antara produsen, pedagang, dan Pelaku Usaha lainnya untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga menjamin adanya kepastian dan kesempatan berusaha yang sama. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keamanan berusaha” adalah adanya jaminan keamanan bagi seluruh Pelaku Usaha di setiap tahapan kegiatan Perdagangan, mulai dari persiapan melakukan kegiatan Perdagangan hingga pelaksanaan kegiatan Perdagangan. Huruf e Yang dimaksud dengan ”asas akuntabel dan transparan” adalah pelaksanaan kegiatan Perdagangan harus dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah setiap kegiatan Perdagangan dilakukan tanpa banyak bergantung pada pihak lain. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah adanya kerja sama dalam keterkaitan usaha di bidang Perdagangan, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar dan antara Pemerintah dan swasta. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah seluruh pengaturan kebijakan dan pengendalian Perdagangan harus bermanfaat bagi kepentingan nasional, khususnya dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas kesederhanaan” adalah memberikan kemudahan pelayanan kepada Pelaku Usaha serta kemudahan dalam memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. Huruf ... Huruf j ....
293
- 4 Huruf j Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah penyelenggaraan Perdagangan yang dilakukan secara bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan masyarakat. Huruf k Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan” adalah kebijakan Perdagangan yang dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf ... Huruf k ....
294
- 5 Huruf k Cukup jelas. Huruf l Jasa lainnya dimaksudkan untuk mengantisipasi kebutuhan dan perkembangan Perdagangan pada masa depan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “label berbahasa Indonesia” adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Distribusi tidak langsung” adalah kegiatan pendistribusian Barang yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi kepada konsumen melalui rantai Distribusi yang bersifat umum sehingga setiap Pelaku Usaha Distribusi dapat memperoleh: a. margin (distributor, subdistributor, produsen pemasok, pengecer, dan pedagang keliling ); dan/atau b. komisi (agen, sub-agen, dan pedagang keliling). Yang dimaksud dengan “Distribusi langsung” adalah kegiatan kegiatan pendistribusian Barang dengan sistem penjualan langsung atau menggunakan sistem pendistribusian secara khusus. Yang dimaksud dengan “Pelaku Usaha Distribusi” adalah Pelaku Usaha yang menjalankan kegiatan Distribusi Barang di dalam negeri dan ke luar negeri, antara lain distributor, agen, Eksportir, Importir, produsen pemasok, subdistributor, subagen, dan pengecer. Ayat Ayat (2).......
295
- 6 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penjualan langsung” adalah sistem penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran. Yang dimaksud dengan “penjualan langsung secara single level” adalah penjualan Barang tertentu yang tidak melalui jaringan pemasaran berjenjang. Yang dimaksud dengan “penjualan langsung secara multilevel” adalah penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran berjenjang yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada konsumen. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “hak Distribusi eksklusif” adalah hak untuk mendistribusi Barang yang dimiliki oleh hanya satu perusahaan dalam wilayah Indonesia yang didapatkan dari perjanjian dengan pemilik merek dagang atau dari kepemilikan atas merek dagang. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “skema piramida” adalah isitilah/nama kegiatan usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan Barang. Kegiatan usaha itu memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut. Pasal 10 Yang dimaksud dengan “etika ekonomi dan bisnis” adalah agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis oleh Pelaku Usaha Distribusi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur dan berkeadilan, serta mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi, dan kemampuan saing guna terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan.
Pasal ... Pasal 11 ....
296
- 7 Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Pasar rakyat” adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan proses jual beli Barang melalui tawar-menawar. Huruf b Yang dimaksud dengan “pusat perbelanjaan” adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal yang dijual atau disewakan kepada Pelaku Usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan Perdagangan Barang. Huruf c Yang dimaksud dengan “toko swalayan” adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis Barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, departement store, hypermarket, ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “Pasar lelang komoditas” adalah Pasar fisik terorganisasi bagi pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi komoditas melalui sistem lelang dengan penyerahan komoditas. Huruf g Yang dimaksud dengan “Pasar berjangka komoditi” adalah sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual beli komoditi berdasarkan kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya. Huruf ... Huruf h ....
297
- 8 Huruf h Sarana Perdagangan lainnya antara lain berupa terminal agribisnis, pusat Distribusi regional, pusat Distribusi provinsi, atau sarana Perdagangan lainnya sebagai pusat transaksi atau pusat penyimpanan Barang yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman pada masa depan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemasok” adalah Pelaku Usaha yang secara teratur memasok Barang kepada pengecer dengan tujuan untuk dijual kembali melalui kerja sama usaha. Yang dimaksud dengan “pengecer” adalah perseorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tata ruang” adalah wujud struktur ruang dan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Penataan Ruang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal ... Pasal 20 ....
298
- 9 Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tenaga teknis yang kompeten” adalah tenaga teknis yang melaksanakan Jasa tertentu diwajibkan memiliki sertifikat sesuai dengan keahliannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Perizinan di bidang Perdagangan termasuk izin izin khusus, pendaftaran, pengakuan, dan persetujuan.
usaha,
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengecualian terhadap kewajiban memiliki perizinan di bidang Perdagangan diberikan kepada usaha mikro. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Barang kebutuhan pokok” adalah Barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium. Yang ...
299
- 10 Yang dimaksud dengan “Barang penting” adalah Barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, seperti pupuk, semen, serta bahan bakar minyak dan gas. Yang dimaksud dengan “jumlah yang memadai” adalah jumlah Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting yang diperlukan masyarakat tersedia di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penetapan kebijakan harga” adalah pedoman Pemerintah dalam menetapkan harga di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Yang dimaksud dengan “sumber lain” adalah anggaran yang diperoleh dari hibah atau bantuan yang tidak mengikat dan yang tidak mengganggu kedaulatan negara. Pasal 29 Ayat (1) Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan Barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal Pasal 30.......
300
- 11 -
Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Pendaftaran Barang hanya dilakukan untuk produk selain makanan, minuman, obat, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT), alat kesehatan, dan Barang kena cukai karena pendaftaran Barang tersebut telah diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Huruf b Barang yang beredar di pasar dalam negeri dengan tidak mencantumkan tanda pendaftaran ditarik dari Distribusi karena Barang tersebut merupakan Barang ilegal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Standar lain yang diakui antara lain Standar atau spesifikasi teknis selain SNI, sebagian persyaratan SNI, Standar International Organization for Standardization (ISO) atau International Electrotechnical Commision (IEC), dan Standar/pedoman internasional terkait keamanan pangan yang diterbitkan oleh CODEX Alimentarius. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal ... Pasal 35 ....
301
- 12 Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Huruf a Yang dimaksud dengan “pasokan lintas batas (cross border supply)” adalah penyediaan Jasa dari wilayah suatu negara ke wilayah negara lain, seperti pembelian secara online (dalam jaringan) atau call center. Huruf b Yang dimaksud dengan “konsumsi di luar negeri (consumption abroad)” adalah penyediaan Jasa di dalam wilayah suatu negara untuk melayani konsumen dari negara lain, seperti kuliah di luar negeri atau rawat rumah sakit di luar negeri. Huruf c Yang dimaksud dengan “keberadaan komersial (commercial presence)” adalah penyediaan Jasa oleh penyedia Jasa dari suatu negara melalui keberadaan komersial di dalam wilayah negara lain, seperti bank asing yang membuka cabang di Indonesia atau hotel asing yang membuat usaha patungan dengan Pelaku Usaha Indonesia untuk membuka hotel di Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “perpindahan manusia (movement of natural persons)” adalah penyediaan Jasa oleh perseorangan warga negara yang masuk ke wilayah negara lain untuk sementara waktu, seperti warga negara Indonesia pergi ke negara lain untuk menjadi petugas keamanan, perawat, atau pekerja di bidang konstruksi. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41....... Pasal
302
- 13 Pasal 41 Ayat (1) Keadaan kahar antara lain perang, huru-hara, dan bencana alam. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Eksportir yang dikecualikan dari kewajiban untuk mendapatkan penerapan sebagai Eksportir antara lain perwakilan negara asing, instansi pemerintah untuk tujuan kemanusiaan, Barang contoh untuk pameran atau pemasaran, dan Barang untuk kepentingan penelitian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diekspor” adalah Eksportir bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul atas Barang yang diekspor. Dalam praktik dimungkinkan Eksportir melakukan Ekspor melalui agen perantara atau melibatkan pihak lain dalam mengekspor Barang, tetapi tanggung jawab terhadap Barang yang diekspor tetap berada pada Pelaku Usaha yang telah ditetapkan sebagai Eksportir oleh Menteri. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor” adalah Eksportir yang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan kontrak. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat Ayat (2).......
303
- 14 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah Impor yang dilakukan tidak untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan dan tidak dilakukan secara terus-menerus. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor” adalah Importir dianggap sebagai produsen atas Barang yang diimpornya sehingga Importir bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul atas Barang yang diimpor. Dalam praktik dimungkinkan Importir melakukan Impor melalui agen perantara atau melibatkan pihak lain dalam mengimpor Barang, tetapi tanggung jawab terhadap Barang yang diimpor tetap berada pada Pelaku Usaha yang memiliki pengenal sebagai Importir. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali. Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta Barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal Pasal48 .......
304
- 15 Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ditentukan lain oleh Menteri dimaksudkan agar Menteri dapat membuat diskresi dengan menetapkan tindakan lain selain dari dimusnahkan atau diekspor kembali seperti Barang ditetapkan sebagai Barang dikuasai oleh negara. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal ... Pasal 61 ....
305
- 16 Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Mekanisme penyelesaian sengketa lainnya antara lain konsultasi, negosiasi, konsiliasi, mediasi, atau arbitrase sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pembelaan” adalah upaya yang dilakukan untuk melindungi dan mengamankan industri dalam negeri dari adanya ancaman kebijakan, regulasi, tuduhan praktik Perdagangan tidak sehat, dan/atau tuduhan lonjakan Impor dari negara mitra dagang atas Barang Ekspor nasional. Ayat ... Ayat (2) ....
306
- 17 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pemberian fasilitas” adalah pemberian sarana kepada koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah untuk melancarkan usaha, antara lain perbaikan toko atau warung, pemberian gerobak dagangan, coolbox, dan tenda. Insentif dalam hal ini antara lain percepatan pemberian izin usaha, keringanan biaya pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual, sertifikasi halal, serta fasilitas pameran di dalam dan di luar negeri. Yang dimaksud dengan “bimbingan teknis” adalah bimbingan yang diberikan kepada koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan teknis untuk mengembangkan produk dan usahanya, antara lain di bidang pengemasan, pengelolaan keuangan, kewirausahaan, dan pelatihan Ekspor. Bantuan promosi dan pemasaran antara lain mengikutsertakan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dalam pameran, temu usaha antara koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan toko swalayan/buyers, serta kegiatan misi dagang. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Ayat Ayat(4) ... ....
307
- 18 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Yang dimaksud dengan “berkoordinasi” adalah kegiatan memberitahukan dan membahas mengenai penyelenggaraan atau keikutsertaan dalam Promosi Dagang di luar negeri dengan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri di negara tempat Promosi Dagang dilakukan dimulai sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi guna terwujudnya kelancaran Promosi Dagang. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “fasilitas” adalah sarana yang dapat disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan pameran dagang. Fasilitas dimaksud dapat berupa tempat, data, informasi pembayaran Perdagangan, pemberian kredit, dan konektivitas. Yang ...
308
- 19 Yang dimaksud dengan “kemudahan” adalah upaya Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang diberikan untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan pameran dagang. Kemudahan dimaksud antara lain kelancaran dalam memperoleh persetujuan penyelenggaraan pameran dagang dan persetujuan Ekspor untuk Barang promosi jika diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “saling mendukung” adalah kerja sama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk saling memberikan dukungan dalam penyelenggaraan kegiatan pameran dagang. Pasal 79 Ayat (1) Kampanye pencitraan Indonesia dimaksudkan untuk membangun image negara dalam nation branding dan untuk itu pelaksanaanya berkoordinasi dengan Menteri dan sekaligus dapat dilakukan bersamaan dengan koordinasi kegiatan Promosi Dagang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Pembentukan badan Promosi Dagang di luar negeri dimaksudkan untuk mempromosikan Barang dan/atau Jasa produk Indonesia serta mendorong peningkatan investasi dan pariwisata. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menteri terkait” adalah Menteri Luar Negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, serta menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Pasal ... Pasal 81 ....
309
- 20 Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pembahasan dalam rangka pengambilan keputusan terhadap perjanjian Perdagangan internasional di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh komisi yang menangani urusan Perdagangan dan persetujuannya melalui Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal ... Pasal 89 ....
310
- 21 Pasal 89 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Data dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri termasuk pasokan dan harga Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting, peluang Pasar dalam dan luar negeri, Ekspor, Impor, profil Pelaku Usaha, potensi Perdagangan daerah, produk, dan perizinan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal ... Pasal 100 ....
311
- 22 Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “organisasi usaha” adalah organisasi yang diatur dengan undang-undang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas.
Pasal Pasal 118.......
312
- 23 Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5512
313
314
SALINAN
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2014 NOMOR 21 TAHUN 2014
TENTANG TENTANG
PANAS BUMI PANAS BUMI DENGAN YANGMAHA MAHAESA ESA DENGANRAHMAT RAHMAT TUHAN TUHAN YANG PRESIDENREPUBLIK REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN INDONESIA, bahwa Panas Panas Bumi Bumi merupakan Menimbang : : a.a.bahwa merupakan sumber sumberdaya dayaalam alam Menimbang terbarukan dan merupakan kekayaan alam yang berada terbarukan dan merupakan kekayaan alam yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting untuk menunjang pembangunan peranan untuk menunjang pembangunan nasional penting yang berkelanjutan guna mewujudkan nasional yangrakyat; berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan kesejahteraan rakyat; b. bahwa Panas Bumi merupakan energi ramah lingkungan
b. bahwa Bumi besar merupakan energi ramah lingkungan yang Panas potensinya dan pemanfaatannya belum optimal sehingga besar perlu dan didorong dan ditingkatkan yang potensinya pemanfaatannya belum secara terencana optimal sehingga dan perluterintegrasi didorong guna dan mengurangi ditingkatkan ketergantungan terhadap fosil; secara terencana dan energi terintegrasi guna mengurangi fosil;keberlanjutan dan c. ketergantungan bahwa dalam terhadap rangka energi menjaga
ketahanan energirangka nasional menjaga serta efisiensi dan efektifitas c. bahwa dalam keberlanjutan dan penyelenggaraan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak ketahanan energi nasional serta efisiensi dan efektifitas langsung sebagai pembangkit tenaga listrik, kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak penyelenggaraannya perlu dilaksanakan oleh Pemerintah; langsung sebagai pembangkit tenaga listrik, kewenangan d.penyelenggaraannya bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahunoleh 2003 tentang perlu dilaksanakan Pemerintah; Panas Bumi belum mengatur pemanfaatan Panas Bumi
Nomor 27diganti; Tahun 2003 tentang d. bahwa secara Undang-Undang komprehensif sehingga perlu Panas Bumi belum mengatur pemanfaatan Panas Bumi e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana secara komprehensif sehingga perlu diganti; dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Panas Bumi; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Panas Bumi; Mengingat …
Mengingat … 315
-2-
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi.
2.
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
3.
Wilayah Kerja Panas Bumi yang selanjutnya disebut Wilayah Kerja adalah wilayah dengan batas-batas koordinat tertentu digunakan untuk pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
4.
Izin Panas Bumi adalah izin melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung pada Wilayah Kerja tertentu. 5. Izin …
316
-35.
Izin Pemanfaatan Langsung adalah izin melakukan pengusahaan Panas Bumi Pemanfaatan Langsung pada lokasi tertentu.
untuk untuk
6.
Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidak adanya sumber daya Panas Bumi.
7.
Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi.
8.
Studi Kelayakan adalah kajian untuk memperoleh informasi secara terperinci terhadap seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan Panas Bumi yang diusulkan.
9.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada Wilayah Kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan penunjangnya, serta operasi produksi Panas Bumi.
10. Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi secara langsung tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan nonlistrik. 11. Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik. 12. Badan Usaha adalah badan hukum yang berusaha di bidang Panas Bumi yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau perseroan terbatas dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 13. Setiap …
317
-413. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. 14. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Panas Bumi.
Pasal 2 Penyelenggaraan kegiatan Panas Bumi menganut asas: a. manfaat; b. efisiensi; c.
keadilan;
d. pengoptimalan ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi; e.
keterjangkauan;
f.
berkelanjutan;
g.
kemandirian;
h. keamanan dan keselamatan; dan i.
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan Panas Bumi bertujuan: a. mengendalikan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; b. meningkatkan …
318
-5b. meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan berupa Panas Bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional; dan c.
meningkatkan pemanfaatan energi bersih yang ramah lingkungan guna mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pasal 4 (1) Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan.
BAB II KEWENANGAN PENYELENGGARAAN PANAS BUMI Pasal 5 (1) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan terhadap: a. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: 1. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; 2. Kawasan Hutan konservasi; 3. kawasan konservasi di perairan; dan 4. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.
b. Panas …
319
-6b. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kawasan Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan konservasi, dan wilayah laut. (2) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a.
lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
b.
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(3) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a.
wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
b.
wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi.
Pasal 6 (1) Kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi: a.
pembuatan kebijakan nasional;
b.
pengaturan di bidang Panas Bumi;
c.
pemberian Izin Panas Bumi;
d.
pemberian Izin Pemanfaatan Langsung wilayah yang menjadi kewenangannya;
e.
pembinaan dan pengawasan;
f.
pengelolaan data dan potensi Panas Bumi;
informasi
geologi
pada
serta
g. inventarisasi …
320
-7-
g.
inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi;
h. pelaksanaan Eksplorasi, Eksploitasi, pemanfaatan Panas Bumi; dan i.
dan/atau
pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan dan kemampuan perekayasaan.
(2) Kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 7 Kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi: a.
pembentukan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung;
b.
pemberian Izin Pemanfaatan Langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;
c.
pembinaan dan pengawasan;
d.
pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada wilayah provinsi; dan
e.
inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi pada wilayah provinsi.
Pasal 8 Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi: a.
pembentukan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung;
b.
pemberian Izin Pemanfaatan Langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya; c. pembinaan …
321
-8c.
pembinaan dan pengawasan;
d.
pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota; dan
e.
inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota.
BAB III PENGUSAHAAN PANAS BUMI Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1)
(2)
Pengusahaan Panas Bumi terdiri atas: a.
pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; dan
b.
pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk: a.
wisata;
b.
agrobisnis;
c.
industri; dan
d.
kegiatan lain yang menggunakan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.
(3)
Dalam hal pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di dalam Kawasan Hutan konservasi, pengusahaan Panas Bumi hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam.
(4)
Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan umum. Pasal 10 …
322
-9Pasal 10 Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung menjadi prioritas utama dalam pengusahaan Panas Bumi. Bagian Kedua Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung Pasal 11 (1)
Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memiliki Izin Pemanfaatan Langsung.
(2)
Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
(3)
(4)
a.
lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung;
b.
Kawasan Hutan konservasi;
c.
kawasan konservasi di perairan; dan
d.
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.
Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh gubernur untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a.
lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
b.
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh bupati/wali kota untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a. wilayah …
323
- 10 -
a.
wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
b.
wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi.
(5)
Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan berdasarkan permohonan dari Setiap Orang.
(6)
Izin Pemanfaatan Langsung diberikan setelah Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mendapat izin lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(7)
Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berada di Kawasan Hutan, pemegang Izin Pemanfaatan Langsung wajib mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
Pasal 12 (1)
Dalam hal pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung dilakukan pada wilayah yang ditetapkan sebagai Wilayah Kerja, gubernur atau bupati/wali kota sebelum memberikan Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) wajib mendapatkan persetujuan Menteri.
(2)
Dalam hal akan dilaksanakan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung pada wilayah yang belum ditetapkan sebagai Wilayah Kerja, gubernur atau bupati/wali kota sebelum memberikan Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) harus berkoordinasi dengan Menteri. Pasal 13 …
324
- 11 Pasal 13 (1)
Setiap Orang yang memegang Izin Pemanfaatan Langsung wajib melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung pada lokasi yang ditetapkan dalam izin.
(2)
Setiap Orang yang memegang Izin Pemanfaatan Langsung wajib melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 14 Harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur oleh Pemerintah.
Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 serta pengaturan harga energi Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung Paragraf 1 Wilayah Kerja Pasal 16 (1)
Menteri menetapkan Wilayah Kerja pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
(2)
Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan pada tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, kawasan perairan, dan/atau Kawasan Hutan. Pasal 17 … 325
- 12 -
Pasal 17 (1)
Penetapan Wilayah Kerja oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi.
(2)
Menteri melakukan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi.
(3)
Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh gubernur atau bupati/wali kota.
(4)
Dalam melakukan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menugasi pihak lain.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Survei Pendahuluan atau Eksplorasi dan tata cara penugasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 18 (1)
Menteri melakukan penawaran Wilayah Kerja secara lelang.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara, syarat penawaran, prosedur, penyiapan dokumen, dan pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19 (1)
Luas Wilayah Kerja ditetapkan dengan memperhatikan sistem Panas Bumi.
(2)
Ketentuan mengenai luas Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 …
326
- 13 -
Paragraf 2 Kegiatan Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung Pasal 20 (1) Kegiatan pengusahaan Panas Bumi Pemanfaatan Tidak Langsung meliputi: a.
Eksplorasi;
b.
Eksploitasi; dan
c.
pemanfaatan.
untuk
(2) Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi wajib melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Wilayah Kerjanya. (3) Kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu atau secara terpisah. (4) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan umum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21 Dalam melaksanakan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi harus mengikuti kaidah keteknikan, keuangan, dan pengelolaan yang sesuai dengan standar nasional serta menjunjung tinggi etika bisnis. Pasal 22 …
327
- 14 Pasal 22 (1)
Harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan harga keekonomian.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara penetapan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Izin Panas Bumi Pasal 23 (1)
Badan Usaha yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memiliki Izin Panas Bumi.
(2)
Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri kepada Badan Usaha berdasarkan hasil penawaran Wilayah Kerja.
Pasal 24 (1)
(2)
Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) harus memuat ketentuan paling sedikit: a.
nama Badan Usaha;
b.
nomor pokok wajib pajak Badan Usaha;
c.
jenis kegiatan pengusahaan;
d.
jangka waktu berlakunya Izin Panas Bumi;
e.
hak dan kewajiban pemegang Izin Panas Bumi;
f.
Wilayah Kerja; dan
g.
tahapan pengembalian Wilayah Kerja.
Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Izin Panas Bumi wajib: a. mendapatkan …
328
- 15 a.
mendapatkan: 1.
izin pinjam pakai untuk menggunakan Kawasan Hutan produksi atau Kawasan Hutan lindung; atau
2.
izin untuk memanfaatkan Kawasan Hutan konservasi,
dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan; dan b.
(3)
melaksanakan kegiatan pengusahaan Panas Bumi dengan memperhatikan tujuan utama pengelolaan hutan lestari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Izin memanfaatkan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 dilakukan melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan.
Pasal 25 Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada pada wilayah konservasi di perairan, pemegang Izin Panas Bumi wajib mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.
Pasal 26 (1)
Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi wajib menggunakan izin sesuai dengan peruntukannya.
(2)
Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi wajib mengembalikan secara bertahap sebagian atau seluruh Wilayah Kerja kepada Pemerintah.
Pasal 27 (1)
Izin Panas Bumi dilarang dialihkan kepada Badan Usaha lain. (2) Pemegang …
329
- 16 (2)
Pemegang Izin Panas Bumi dapat mengalihkan kepemilikan saham di bursa Indonesia setelah selesai melakukan Eksplorasi.
(3)
Pengalihan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 28 Pemerintah dalam melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan dapat menugasi badan layanan umum atau badan usaha milik negara yang berusaha di bidang Panas Bumi.
Pasal 29 (1)
Izin Panas Bumi memiliki jangka waktu paling lama 37 (tiga puluh tujuh) tahun.
(2)
Menteri dapat memberikan perpanjangan Izin Panas Bumi untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun setiap kali perpanjangan.
(3)
Pemegang Izin Panas Bumi dapat mengajukan perpanjangan Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum Izin Panas Bumi berakhir.
(4)
Menteri wajib memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan perpanjangan Izin Panas Bumi paling lambat 1 (satu) tahun sejak persyaratan permohonan diajukan secara lengkap.
Pasal 30 Izin Panas Bumi diberikan untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan. Pasal 31 …
330
- 17 -
Pasal 31 (1)
Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 memiliki jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Izin Panas Bumi diterbitkan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing selama 1 (satu) tahun.
(2)
Jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk kegiatan Studi Kelayakan.
(3)
Sebelum melakukan pengeboran sumur Eksplorasi, pemegang Izin Panas Bumi wajib memiliki izin lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 32 (1)
Eksploitasi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 memiliki jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak Studi Kelayakan disetujui oleh Menteri.
(2)
Sebelum melakukan Eksploitasi dan pemanfaatan, pemegang Izin Panas Bumi wajib: a.
memiliki izin lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang termasuk dalam Studi Kelayakan; dan
b.
menyampaikan hasil Studi Kelayakan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan.
Pasal 33 Izin Panas Bumi berakhir karena: a.
habis masa berlakunya;
b.
dikembalikan; c. dicabut …
331
- 18 -
c.
dicabut; atau
d.
dibatalkan.
Pasal 34 Izin Panas Bumi berakhir karena habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a jika: a.
permohonan perpanjangan Izin Panas Bumi tidak diajukan; atau
b.
permohonan perpanjangan Izin Panas Bumi diajukan tetapi ditolak.
Pasal 35 (1)
Izin Panas Bumi berakhir karena dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b dilakukan melalui permohonan tertulis dari pemegang Izin Panas Bumi kepada Menteri disertai alasan yang jelas.
(2)
Pengembalian Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri.
Pasal 36 (1)
Menteri dapat mencabut Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c jika pemegang Izin Panas Bumi: a.
melakukan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan yang tercantum dalam Izin Panas Bumi; dan/atau
b.
tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Sebelum …
332
- 19 (2)
Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri terlebih dahulu memberikan kesempatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan kepada pemegang Izin Panas Bumi untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Pasal 37 Menteri dapat membatalkan Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika: a.
pemegang Izin Panas Bumi memberikan data, informasi, atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan; atau
b.
Izin Panas Bumi dinyatakan putusan pengadilan.
batal
berdasarkan
Pasal 38 (1)
Dalam hal Izin Panas Bumi berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pemegang Izin Panas Bumi wajib memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Kewajiban pemegang Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri.
(3)
Menteri menetapkan persetujuan pengakhiran Izin Panas Bumi setelah pemegang Izin Panas Bumi melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 39 Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Panas Bumi diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 4 …
333
- 20 Paragraf 4 Sanksi Administratif Pasal 40 (1)
Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (3), dan/atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa:
(3)
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau
c.
pencabutan Izin Panas Bumi.
pada
seluruh kegiatan atau pemanfaatan;
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV PENGGUNAAN LAHAN Pasal 41
Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
Pasal 42 (1)
Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang Izin Pemanfaatan Langsung atau pemegang Izin Panas Bumi harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau izin di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam … 334
- 21 -
(2)
Dalam hal Menteri melakukan Eksplorasi untuk menetapkan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), sebelum melakukan Eksplorasi, Menteri melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau izin di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak.
(4)
Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi dilakukan oleh badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, penyediaan tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 (1) Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung atau Pemegang Izin Panas Bumi sebelum melakukan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan harus: a.
memperlihatkan: 1.
Izin Pemanfaatan Langsung atau salinan yang sah; atau
2.
Izin Panas Bumi atau salinan yang sah;
b.
memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; dan
c.
melakukan penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (2) Jika …
335
- 22 -
(2) Jika pemegang Izin Pemanfaatan Langsung atau pemegang Izin Panas Bumi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak wajib mengizinkan pemegang Izin Pemanfaatan Langsung atau pemegang Izin Panas Bumi untuk melaksanakan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 44 Dalam hal pemegang Izin Panas Bumi telah diberi Wilayah Kerja terhadap bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk pengusahaan Panas Bumi dan area pengamanannya, pemegang Izin Panas Bumi diberi hak pakai atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45 Penyelesaian penggunaan tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46 Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang: a.
Izin Pemanfaatan Langsung; atau
b.
Izin Panas Bumi
dan telah menyelesaikan dimaksud dalam Pasal 42.
kewajiban
sebagaimana
BAB V …
336
- 23 BAB V HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung Pasal 47 Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan izin yang diberikan.
Bagian Kedua Kewajiban Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung Pasal 48 Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung wajib: a.
memahami dan menaati peraturan perundangundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku;
b.
melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup;
c.
menyampaikan rencana kerja dan rencana anggaran kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya; dan
d.
menyampaikan laporan tertulis secara berkala atas pelaksanaan rencana kerja dan rencana anggaran serta kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 49 …
337
- 24 -
Pasal 49 (1) Pemegang Izin Pemanfaatan memenuhi kewajiban berupa: a.
iuran produksi;
b.
pajak daerah; dan
c.
retribusi daerah.
Langsung
wajib
(2) Kewajiban pemenuhan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50 (1) Setiap Orang pemegang Izin Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b, huruf c, huruf d, dan/atau Pasal 49 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa:
pada
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; dan/atau
c.
pencabutan Izin Pemanfaatan Langsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian …
338
- 25 Bagian Ketiga Hak Pemegang Izin Panas Bumi Pasal 51 Pemegang Izin Panas Bumi berhak: a.
melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang berupa Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan di Wilayah Kerjanya sesuai dengan Izin Panas Bumi yang diberikan;
b.
menggunakan data dan informasi selama jangka waktu berlakunya Izin Panas Bumi di Wilayah Kerjanya.
Bagian Keempat Kewajiban Pemegang Izin Panas Bumi Pasal 52 (1) Pemegang Izin Panas Bumi wajib: a.
memahami dan menaati peraturan perundangundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku;
b.
melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup;
c.
melaksanakan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan sesuai dengan kaidah teknis yang baik dan benar;
d.
mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing;
e.
memberikan dukungan terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi; f. memberikan …
339
- 26 f.
memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi;
g.
melaksanakan program pengembangan pemberdayaan masyarakat setempat;
h.
menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan kepada Menteri yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan;
i.
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya; dan
j.
menyampaikan laporan tertulis pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung kepada Menteri secara berkala atas: 1.
rencana kerja dan rencana anggaran; dan
2.
realisasi pelaksanaan rencana anggaran.
rencana
kerja
dan
dan
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 53 (1) Pemegang Izin Panas Bumi wajib memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah yang wilayah administratifnya meliputi Wilayah Kerja yang bersangkutan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi secara komersial. (2) Ketentuan mengenai besaran dan tata cara pemberian bonus produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 54 …
340
- 27 Pasal 54 (1) Pemegang Izin Panas Bumi wajib memenuhi kewajiban berupa pendapatan negara dan pendapatan daerah. (2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. (3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah, bea masuk, dan pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Penerimaan negara bukan pajak dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
sebagaimana
a. iuran tetap; b. iuran produksi; dan c. pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.
pajak daerah;
b.
retribusi daerah; dan
c.
pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) serta pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 55 Pemerintah dapat memberikan kemudahan fiskal dan nonfiskal kepada Badan Usaha untuk mengembangkan dan memanfaatkan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 56 …
341
- 28 Pasal 56 (1) Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j, Pasal 53 ayat (1), dan/atau Pasal 54 ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa: a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian Eksplorasi, dan/atau
c.
pencabutan Izin Panas Bumi.
sementara Eksploitasi,
pada
seluruh kegiatan dan pemanfaatan;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI DATA DAN INFORMASI Pasal 57 (1) Semua data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi merupakan milik negara yang pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah. (2) Setiap Orang dilarang mengirim, menyerahkan, dan/atau memindahtangankan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa izin Pemerintah.
Pasal 58 Ketentuan mengenai penyerahan, pengelolaan, dan pemanfaatan data dan informasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VII …
342
- 29 -
BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 59 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 60 (1) Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang dilakukan oleh pemegang Izin Pemanfaatan Langsung. (2) Gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung setiap tahun kepada Menteri.
Pasal 61 Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang dilakukan oleh pemegang Izin Panas Bumi.
Pasal 62 …
343
- 30 -
Pasal 62 Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dalam Pasal 60 ayat (1) paling sedikit meliputi: a.
dimaksud
keselamatan dan kesehatan kerja; dan
b. lindungan lingkungan.
Pasal 63 Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dalam Pasal 61 paling sedikit meliputi:
dimaksud
a. Eksplorasi; b. Studi Kelayakan; c. Eksploitasi dan pemanfaatan; d. keuangan; e. pengolahan data Panas Bumi; f.
keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lindungan lingkungan dan reklamasi; h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; i.
pengembangan tenaga kerja Indonesia;
j.
pengembangan setempat;
dan
pemberdayaan
masyarakat
k. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Panas Bumi; l.
penerapan kaidah keteknikan yang baik dan benar; dan
m. kegiatan lain di bidang pengusahaan Panas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Pasal 64 …
344
- 31 -
Pasal 64 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
dan
BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 65 (1) Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Panas Bumi, masyarakat mempunyai peran serta untuk: a.
menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian wilayah kegiatan pengusahaan Panas Bumi; dan
b.
menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan di wilayah kegiatan pengusahaan Panas Bumi.
(2) Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Panas Bumi masyarakat berhak untuk: a.
memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengusahaan Panas Bumi melalui Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya;
b.
memperoleh manfaat atas kegiatan pengusahaan Panas Bumi melalui kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau pengembangan masyarakat sekitar;
c.
memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam kegiatan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d.
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat kegiatan pengusahaan Panas Bumi yang menyalahi ketentuan. BAB IX …
345
- 32 BAB IX PENYIDIKAN Pasal 66 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengusahaan Panas Bumi diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam pengusahaan Panas Bumi;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam pengusahaan Panas Bumi;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana pengusahaan Panas Bumi;
d.
menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam pengusahaan Panas Bumi;
e.
melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana pengusahaan Panas Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f.
menyegel dan/atau menyita alat pengusahaan Panas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam pengusahaan Panas Bumi; dan h. menghentikan …
346
- 33 h.
menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam pengusahaan Panas Bumi.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam pelaksanaan penyidikan wajib berkoordinasi dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana. (5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 67 Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 68 Setiap Orang yang memegang Izin Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). Pasal 69 …
347
- 34 Pasal 69 Setiap Orang yang memegang Izin Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 70 Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
Pasal 71 Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 72 Badan Usaha pemegang Izin Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Izin Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 73 …
348
- 35 Pasal 73 Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung terhadap pemegang Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 74 Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung terhadap pemegang Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
Pasal 75 Setiap Orang yang dengan sengaja mengirim, menyerahkan, dan/atau memindahtangankan data dan informasi tanpa izin Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Pasal 76 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 74 dan Pasal 75 dilakukan oleh Badan Usaha, selain pidana penjara atau pidana denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Badan Usaha tersebut ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda. Pasal 77 …
349
- 36 Pasal 77 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 76, pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
c.
kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 78
(1)
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. semua kuasa pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak diundangkannya Undang-Undang ini; b.
semua kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ditandatangani sebelum berlakunya UndangUndang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa kontrak; dan
c.
semua izin pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin,
dengan ketentuan harus melakukan Eksploitasi paling lambat tanggal 31 Desember 2014. (2)
Kuasa pengusahaan sumber daya Panas Bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya Panas Bumi, dan izin pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berakhir masa berlakunya dapat diperpanjang menjadi Izin Panas Bumi dan kegiatan usahanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 79 … 350
- 37 -
Pasal 79 (1)
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua izin usaha pertambangan Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi yang ditetapkan oleh Menteri, dan tetap berlaku sampai berakhirnya izin.
(2)
Dalam rangka penyesuaian menjadi Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya wajib menyerahkan dokumen izin usaha pertambangan Panas Bumi yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 80 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini dianggap telah memiliki izin dan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UndangUndang ini wajib disesuaikan menjadi Izin Pemanfaatan Langsung.
Pasal 81 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Badan Usaha yang telah ditetapkan sebagai pemenang lelang Wilayah Kerja dan belum mendapatkan izin usaha pertambangan Panas Bumi, proses pemberian Izin Panas Bumi selanjutnya dilakukan oleh Menteri.
Pasal 82 …
351
- 38 Pasal 82 Kuasa pengusahaan sumber daya Panas Bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya Panas Bumi, dan izin pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan izin usaha pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dapat melakukan kegiatan di Kawasan Hutan konservasi melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan. Pasal 83 Kuasa pengusahaan sumber daya Panas Bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya Panas Bumi, dan izin pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan izin usaha pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 wajib memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah yang wilayah administratifnya meliputi Wilayah Kerja yang bersangkutan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan kotor dengan ketentuan: a.
yang telah berproduksi, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2015; dan
b.
yang belum berproduksi, terhitung pertama berproduksi secara komersial.
sejak
unit
Pasal 84 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a.
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kuasa pengusahaan sumber daya Panas Bumi, kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya Panas Bumi, dan izin pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah tetap berada pada Pemerintah.
b.
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan izin usaha pertambangan Panas Bumi yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah sejak Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi. Pasal 85 … 352
- 39 -
Pasal 85 Badan Usaha yang telah melakukan perjanjian jual beli uap atau tenaga listrik Panas Bumi sebelum berlakunya Undang-Undang ini dapat melakukan negosiasi ulang berdasarkan kelaziman bisnis dengan prinsip saling menguntungkan.
BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 86 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 87 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 88 Undang-Undang diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar …
353
- 40 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 217
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, ttd. Lydia Silvanna Djaman
354
PENJELASAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANGATAS REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG INDONESIA NOMOR 21REPUBLIK TAHUN 2014 NOMORTENTANG 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI PANAS BUMI I. UMUM I. UMUM Indonesia sebagai negara yang dilalui jalur sabuk gunung api aktif memiliki potensi Panas Bumi yang besar. Panas Bumi merupakan energi sebagai negara yang dilalui gunung apiuntuk aktif yangIndonesia ramah lingkungan dan merupakan asetjalur yangsabuk dapat digunakan memiliki potensi Panas Bumi yang besar. Panas Bumi merupakan energi menunjang pembangunan nasional. Sesuai dengan amanat Undang-Undang yang lingkungan merupakan aset yang digunakan Dasarramah Negara Republikdan Indonesia Tahun 1945 dapat kekayaan alam untuk yang menunjang pembangunan nasional. Sesuai dengan amanat Undang-Undang terkandung di dalam bumi dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 demikian kekayaanPanas alam Bumi yang besarnya untukRepublik kemakmuran rakyat. Dengan terkandung di dalam bumi dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan dikelola untuk besarnya untukkesejahteraan kemakmuranrakyat. rakyat. Tanggung Dengan demikian Panas dalam Bumi sebesar-besar jawab negara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan dikelola untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah sebesar-besar kesejahteraan Panas rakyat.Bumi. Tanggung jawab negara dalam dalam bentuk penyelenggaraan mewujudkan kesejahteraan rakyat tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Panas Bumi merupakan Panas energiBumi. ramah lingkungan karena dalam dalam bentuk penyelenggaraan pemanfaatannya hanya sedikit menghasilkan unsur-unsur yang berdampak Panaslingkungan Bumi merupakan energi ramah lingkungan karena dalam terhadap atau masih berada dalam batas ketentuan yang pemanfaatannya hanya sedikit menghasilkan unsur-unsur yang berdampak berlaku. Dengan demikian, pemanfaatan Panas Bumi dapat turut terhadap atau masihuntuk berada dalam batas ketentuan yang membantulingkungan program Pemerintah pemanfaatan energi bersih yang berlaku. Dengan demikian, pemanfaatan Panas Bumi dapat turut sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. membantu program Pemerintah untuk pemanfaatan energi bersih yang Panasmengurangi Bumi saatemisi ini gas belum dimanfaatkan secara optimal karena sekaligus rumah kaca. sebagian besar berada pada daerah terpencil dan Kawasan Hutan yang Panas Bumiprasarana saat ini penunjang belum dimanfaatkan secara optimal karena belum memiliki serta infrastruktur yang memadai. sebagian besar berada pada daerah terpencil dan Kawasan Hutan yang Keberadaan Panas Bumi di Kawasan Hutan konservasi sama sekali belum belum memiliki prasarana penunjang serta infrastruktur yang memadai. dapat dimanfaatkan sehingga pemanfaatan Panas Bumi perlu ditingkatkan Keberadaan Panasdan Bumi di Kawasan Hutan konservasi sama sekali belum secara terencana terintegrasi guna mengurangi ketergantungan energi dapat dimanfaatkan sehingga pemanfaatan Panas Bumi perlu ditingkatkan fosil. Selain itu, pemanfaatan Panas Bumi diharapkan dapat menumbuhkan secara dan terintegrasi gunaakan mengurangi ketergantungan energi pusat terencana pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan perekonomian fosil. Selain itu, pemanfaatan Panas Bumi diharapkan dapat menumbuhkan masyarakat. pusat pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kebutuhan … 355 Kebutuhan …
-2-
Kebutuhan Indonesia akan energi (energy demand) terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk, tetapi kebutuhan energi ini tidak diimbangi oleh penyediaan energinya (energy supply). Sementara itu, sumber energi fosil semakin berkurang ketersediaannya dan tidak dapat diperbaharui serta dapat menimbulkan masalah lingkungan sehingga pemanfaatan energi terbarukan khususnya Panas Bumi terutama yang digunakan untuk pembangkitan tenaga listrik perlu ditingkatkan. Dalam perkembangan lebih lanjut, pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung atau untuk pembangkitan tenaga listrik bersifat sangat strategis dalam menunjang ketahanan energi nasional karena listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik Panas Bumi dapat dimanfaatkan lintas batas administratif. Dalam jangka panjang harga listrik yang dihasilkan dari Panas Bumi lebih kompetitif dan lebih andal jika dibandingkan dengan pembangkit listrik dari fosil sehingga Pemerintah memandang perlu meletakkan kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi ke Pemerintah. Pemerintah fokus melakukan penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang digunakan sebagai pembangkitan tenaga listrik. Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung dibagi kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka mempercepat pengembangan Panas Bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, Pemerintah selain diberi kewenangan melakukan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi juga diberi kewenangan untuk melakukan Eksploitasi dan Pemanfaatan. Landasan hukum yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dan peraturan pelaksanaannya belum dapat menjawab tantangan dalam pengembangan Panas Bumi secara optimal. Hal itu antara lain terkait dengan istilah kegiatan penambangan/pertambangan yang membawa konsekuensi bahwa kegiatan Panas Bumi yang dikategorikan sebagai kegiatan penambangan/pertambangan tidak dapat diusahakan di Kawasan Hutan konservasi karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain itu, belum adanya pengaturan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang komprehensif. Berdasarkan …
356
-3-
Berdasarkan hal di atas, perlu dibentuk suatu undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan Panas Bumi. Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku sektor Panas Bumi secara seimbang dan tidak diskriminatif. Adapun materi pokok yang diatur dalam undang-undang ini antara lain: penyelenggaraan Panas Bumi; pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung dan Pemanfaatan Tidak Langsung; penggunaan lahan; hak dan kewajiban; data dan informasi; pembinaan dan pengawasan; dan peran serta masyarakat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa penyelenggaraan kegiatan Panas Bumi harus bermanfaat sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi harus dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi harus dapat dinikmati secara proporsional oleh rakyat. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas pengoptimalan ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi harus dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan sumber energi yang dimanfaatkan secara optimal. Huruf e …
357
-4-
Huruf e Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi dapat terjangkau dari aspek harga energi dan aksesibilitas oleh masyarakat. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi harus dikelola dengan baik agar dapat menghasilkan energi secara berkesinambungan. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi dapat memperkuat kemandirian energi nasional. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas keamanan dan keselamatan” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi harus memperhatikan keamanan, keselamatan, dan lingkungan hidup. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas kelestarian fungsi lingkungan hidup” adalah bahwa penyelenggaraan Panas Bumi harus memperhatikan dan memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang sekaligus menjaga kesinambungan dari energi itu sendiri. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kawasan hutan konservasi” adalah kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam yang meliputi daratan dan perairan. Yang …
358
-5Yang dimaksud dengan “kawasan konservasi di perairan” adalah kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa: 1.
pembuatan dan penetapan standardisasi;
2.
penetapan kebijakan pemanfaatan dan konservasi Panas Bumi;
3.
penetapan kebijakan kerja sama dan kemitraan;
4.
penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi; dan
5.
perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi.
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h …
359
-6Huruf h Cukup jelas. Huruf i Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah produksi kegiatan penyelenggaraan panas bumi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi wisata, antara lain berupa perhotelan, pemandian air panas, dan terapi kesehatan. Huruf b Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi agrobisnis, antara lain berupa pengeringan teh, kopra, jagung, dan green house. Huruf c Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi industri, antara lain berupa pengolahan kayu, kulit, dan rotan. Huruf d Ketentuan mengenai kegiatan lainnya dimaksudkan untuk mengakomodasi pemanfaatan Panas Bumi seiring dengan perkembangan teknologi. Ayat (3) …
360
-7Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Persetujuan dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan sistem Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung pada Wilayah Kerja, sehingga perlu adanya persetujuan dari Menteri. Ayat (2) Koordinasi dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan sistem Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sehingga perlu adanya pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 … 361
-8Pasal 17 Ayat (1) Eksplorasi dalam ketentuan ini dilakukan dalam rangka menambah kualitas data sehingga menarik untuk dikembangkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perguruan tinggi, atau lembaga penelitian.
Badan
Usaha,
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengaturan pelaksanaan lelang juga memuat hak bagi pelaku penugasan Survei Pendahuluan dan/atau Eksplorasi dalam proses lelang.
Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sistem Panas Bumi” adalah sistem yang terdiri atas sumber panas, reservoir, area penyerapan, batuan tudung (cap rock), dan aliran atas (upflow) atau aliran luar (outflow), yang memenuhi kriteria geologi, hidrogeologi, dan pemindahan panas (heat transfer) yang cukup, terutama terkonsentrasi di reservoir untuk membentuk sumber daya energi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 …
362
-9Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengusahaan Panas Bumi secara terpadu” adalah kegiatan yang meliputi Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan yang dilakukan oleh Badan Usaha. Yang dimaksud dengan “pengusahaan Panas Bumi secara terpisah” adalah Eksplorasi yang dilakukan oleh Pemerintah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Harga energi Panas Bumi dalam ketentuan ini berupa harga uap dan harga listrik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) …
363
- 10 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengelolaan hutan lestari dilakukan sesuai dengan fungsi hutan yang meliputi: a.
hutan produksi untuk kelestarian hasil hutan;
b.
hutan lindung untuk fungsi perlindungan tata air; dan
c.
hutan konservasi hayati.
untuk
kelestarian
keanekaragaman
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “izin pemanfaatan jasa lingkungan” adalah izin yang diperoleh dari pemanfaatan kondisi lingkungan dalam Kawasan Hutan konservasi, antara lain dalam bentuk potensi ekosistem dari Panas Bumi. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 … 364
- 11 -
Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Huruf a Yang dimaksud dengan “masa berlakunya” adalah masa yang diberikan untuk Izin Panas Bumi termasuk perpanjangannya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 … 365
- 12 -
Pasal 39 Dalam Peraturan Pemerintah diatur mengenai: a.
pengembalian Wilayah Kerja secara bertahap;
b.
Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan yang dilakukan oleh Pemerintah;
c.
Studi Kelayakan serta persetujuan Studi Kelayakan; dan
d.
syarat dan tata cara permohonan dan penyerahan Izin Panas Bumi.
Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Yang dimaksud dengan “menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi” adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil. Pasal 47 …
366
- 13 Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “iuran produksi” adalah iuran yang dibayarkan kepada negara berupa penerimaan negara bukan pajak atas hasil yang diperoleh dari usaha Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b …
367
- 14 -
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Penyampaian rencana kegiatan jangka panjang bersifat memberikan informasi dimaksudkan untuk menyelaraskannya dengan program pembangunan jangka panjang Pemerintah dan Pemerintah Daerah, termasuk jumlah investasi. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 53 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Wilayah Kerja yang bersangkutan” adalah Wilayah Kerja yang terdapat kegiatan pengusahaan Panas Bumi.
Ayat (2) …
368
- 15 -
Ayat (2) Dalam ketentuan lebih lanjut diatur mengenai penetapan besaran, tata cara penyetoran dan bagi hasil, serta tata cara penghitungan bonus produksi. Besaran bonus produksi ditetapkan mempertimbangkan keekonomiannya.
antara
lain
dengan
Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “iuran tetap” adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja. Huruf b Yang dimaksud dengan “iuran produksi” adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Huruf c Pungutan negara lainnya, antara lain, berupa jasa pendidikan dan pelatihan serta jasa penelitian dan pengembangan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 55 …
369
- 16 -
Pasal 55 Kemudahan fiskal dapat berupa fasilitas pajak dan/atau bea masuk. Kemudahan nonfiskal dapat berupa pemberian jaminan kelayakan usaha dari Pemerintah dan perlakuan khusus untuk pengembangan Panas Bumi. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Dalam ketentuan lebih lanjut diatur mengenai data dan informasi yang tidak boleh dimiliki, disimpan, dan/atau diserahkan serta dialihkan kepada pihak lain tanpa izin Pemerintah.
Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Cukup jelas. Huruf b …
370
- 17 Huruf b Yang dimaksud dengan “lindungan lingkungan” adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau menanggulangi kerusakan di lingkungan kerja Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.
Pasal 63 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “pengelolaan lindungan lingkungan” adalah upaya sistematis dan terpadu untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau penanganan kerusakan di lingkungan kerja Panas Bumi yang disebabkan oleh kegiatan usaha Panas Bumi, antara lain pembukaan lahan, pekerjaan infrastruktur, pekerjaan konstruksi, dan kegiatan pengeboran. Yang dimaksud dengan “reklamasi” adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha Panas Bumi agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai dengan peruntukannya. Huruf h Cukup jelas. Huruf i …
371
- 18 Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Kegiatan lain di bidang pengusahaan Panas Bumi antara lain berupa pembuatan infrastruktur jalan, irigasi, dan pembibitan pohon untuk penghijauan kembali, serta kegiatan yang terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 …
372
- 19 Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 …
373
- 20 Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen izin usaha pertambangan Panas Bumi antara lain berupa dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pelelangan, penetapan pemenang pelelangan, laporan pembinaan dan pengawasan, laporan kewajiban keuangan, serta izin usaha pertambangan Panas Bumi. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 …
374
- 21 Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5585
375
376