Kajian Umum Masjid Namira, 25 Safar 1438H/ 25 November 2016
Hidayah Allah, Sebab Datang dan Hilangnya Oleh: Ust. Abdullah Taslim, MA Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah untuk meraihnya, maka sungguh dia telah meraih keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang mampu mencelakakannya. Allah berfirman:
ْ ُِيو َم ْني َ س ُر {َون ِ ض ِل ْلفَأُولَئِ َك ُه ُم ْال َخا َ } َم ْنيَ ْهدِاللَّ ُهفَه َُو ْال ُم ْهتَد “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)” (QS al-A’raaf:178). Dalam ayat lain, Dia juga berfirman:
ْ ُ} َمنيَ ْهدِاللَّ ُهفَه َُو ْال ُم ْهتَد َِو َم ْني {شدًا َِ َض ِل ْل َفلَ ْنت ِ جدَلَه َُو ِليًّا ُم ْر “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS alKahf:17).
Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah Allah memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepadaNya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam al-Qur-an[1], karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah .Allah berfirman:
ْ االص َرا َط ْال ُم {َستَ ِقي َم ِ َ}ا ْه ِدن “Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada
keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah ) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)”[2]. Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini dengan lebih terperinci, beliau berkata: “Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya. Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak bisa lepas darinya: – Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah ) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut. – Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayahsecara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut. – Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya. – Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya. – Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkaraperkara tersebut). – Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju. – Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu. – Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkaraperkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benardalam perkara-perkara tersebut.
– Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut. – Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya”[3]. Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: bagaimana mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, padahal dia telah mendapatkan hidayah, apakah ini termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya atau tidak demikian? Imam Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya: tidak demikian, kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di siang dan malam untuk memohon hidayah maka Allah tidak akan memerintahkan hal itu kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan keadaan sangat membutuhkan (pertolongan) Allah untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya.Sungguh seorang hamba tidak memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri kecuali dengan kehendak-Nya, maka Allah membimbingnya untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah untuk (selalu) memohon kepadanya, karena Allah telah menjamin pengabulan bagi orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya, terutama seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di tepitepi siang”[4].
Makna, hakikat dan macam-macam hidayah Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)[5]. Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah menjadi empat macam: 1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
{}قَالَ َربُّ َناالَّذِيأ َ ْع َطى ُكلَّش َْيءٍ َخ ْل َقهُث ُ َّم َهدَى “Musa berkata: “Rabb kami (Allah ) ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).
Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah berikan kepada semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk kelangsungan hidup di dunia. 2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan kebinasaan. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna, karena ini hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti melahirkan (hidayah Allah yang sempurna). Inilah makna firman Allah:
ْ َعل ْ ستَ َحب ْ } َوَأ َ َّماَث َ ُمودَُفَ َهدَ ْي َنا ُه ْمَ َفا {ىَال ُهدَى َ َُّواَالعَ َمى “Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17). Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk. Hidayah inilah yang mampu dilakukan oleh manusia, yaitu dengan berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah, serta menjelaskan kepada mereka jalan yang benar dan memperingatkan jalan yang salah, akan tetapi hidayah yang sempurna (yaitu taufik) hanya ada di tangan Allah , meskipun tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah dengan taufik-Nya. Allah berfirman tentang Rasul-Nya:
ْ ىَص َراطٍ َ ُم {َيم ٍ ستَ ِق َ ِ َ}و ِإنَّ َكَلَت َ ْهدِيَ ِإل “Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah ) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52). 3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang benar) dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta memilihnya. inilah hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang meraihnya akan mengikuti petunjuk Allah . Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:
{َعلَ ْي ِه ْم َ ََُو َي ْهدِيَ َم ْنَ َيشَاءَُفَالَت َ ْذ َهبْ َنَ ْفس َُك َ فإنَهللاَي ُِض ُّلَ َم ْنَ َيشَاء ٍَ س َرا ت َ } َح “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8). Dan firman-Nya:
{َِل وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِين ُّ }إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اَّللََّ ال يَهْدِي مَنْ يُض
“Jika engkau (wahai Muhammad ) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan mereka tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37). Juga firman-Nya:
َ َُو ُه َوَأَ ْعلَ ُمَ ِب ْال ُم ْهتَد َّ َولَ ِك َّن {َِين َ َاَّللََيَ ْهدِيَ َم ْنَيَشَاء َ َ}إِنَّ َكَالَت َ ْهدِيَ َم ْنَأ َ ْحبَ ْبت “Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad ) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS alQashash: 56). Maka dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari Rasulullah dan menetapkan bagi beliau hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:
ْ ىَص َراطٍ َ ُم {َيم ٍ ستَ ِق َ ِ َ}و ِإنَّ َكَلَت َ ْهدِيَ ِإل “Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah ) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52). 4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika penghuninya digiring kepadanya. Allah berfirman tentang ucapan penghuni Surga:
َّ ََِّلل َّ َِيَلَوْ الَأَ ْنَ َهدَان َّ ِ َُوقَالُواَ ْالحَمْ د {َاَاَّللَُلَقَ ْد ََ اَو َماَ ُكنَّاَ ِلنَ ْهتَد َ ََالذِيَ َهدَانَاَ ِل َهذ َِ َر ِب َناَ ِب ْال َح ق ُ َر ُ } َجا َء ْت َ س ُل “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43). Adapun tentang penghuni Neraka, Allah berfirman:
ُ اح َ َُو َماَكَانُواَيَ ْعبُد َ ش ُرواَالَّذ ْ {َِونَهللا ِ ون َ واَوأَ ْز َوا َج ُه ْم َ ِينَ َظلَ ُم ِ َُم ْنَد. ْ اط َِ َال َج ِح يم ِ ىَص َر ِ }فَا ْهدُو ُه ْمَإِ َل “Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman-teman yang bersama mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat: 22-23)”[6]. Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
1-Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim. 2-Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui perincian cabangcabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin di siang dan malam”[7].
Sebab datang dan hilangnya hidayah Allah Dikarenakan inti dan hakikat hidayah adalah taufik dari Allah , sebagaimana penjelasan di atas, maka berdoa dan memohon hidayah kepada Allah merupakan sebab yang paling utama untuk mendapatkan hidayah-Nya. Dalam hadits Qudsi yang shahih, Allah berirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian”[8]. Oleh karena itu, Allah yang maha sempurna rahmat dan kebaikannya, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu berdoa memohon hidayah taufik kepada-Nya, yaitu dalam surah al-Fatihah:
ْ االص َرا َط ْال ُم {َستَ ِقي َم ِ َ}ا ْه ِدن “Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”. Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Doa (dalam ayat ini) termasuk doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi manusia, oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berdoa kepada-Nya dengan doa ini di setiap rakaat dalam shalatnya, karena kebutuhannya yang sangat besar terhadap hal tersebut”[9]. Dalam banyak hadits yang shahih, Rasulullah mengajarkan kepada kita doa memohon hidayah kepada Allah . Misalnya doa yang dibaca dalam qunut shalat witir:
(( ))اللَّ ُه َّما ْه ِدنَا ِفي َم ْن َهدَ ْيت “Ya Allah, berikanlah hidayah kepadaku di dalam golongan orang-orang yang Engkau berikan hidayah”[10]. Juga doa beliau :
(( و ْال ِعفَّةَ َو ْال ِغنَى،ى َ ََىوالتُّق َ )) اللَّ ُه َّم ِإ ِنيأَسْأَلُكَا ْل ُهد “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari segala keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-Mu)”[11].
Sebaliknya, keengganan atau ketidaksungguhan untuk berdoa kepada Allah memohon hidayah-Nya merupakan sebab besar yang menjadikan seorang manusia terhalangi dari hidayah-Nya. Oleh karena itu, Allah sangat murka terhadap orang yang enggan berdoa dan memohon kepada-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah : “Sesungguhnya barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allah maka Dia akan murka kepadanya”[12]. Hal-hal lain yang menjadi sebab datangnya hidayah Allah selain yang dijelaskan di atas adalah sebagai berikut: 1. Tidak bersandar kepada diri sendiri dalam melakukan semua kebaikan dan meninggalkan segala keburukan. Artinya selalu bergantung dan bersandar kepada Allah dalam segala sesuatu yang dilakukan atau ditinggalkan oleh seorang hamba, serta tidak bergantung kepada kemampuan diri sendiri. Ini merupakan sebab utama untuk meraih taufik dari Allah yang merupakan hidayah yang sempurna, bahkan inilah makna taufik yang sesungguhnya sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Ahlus sunnah. Coba renungkan pemaparan Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri. Telah bersepakat al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (makna) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan kebaikan/keburukan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah )”[13]. Inilah yang terungkap dalam doa yang diucapkan oleh Rasulullah : “(Ya Allah), jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata”[14]. Oleh karena inilah makna dan hakikat taufik, maka kunci untuk mendapatkannya adalah dengan selalu bersandar dan bergantung kepada Allah dalam meraihnya dan bukan bersandar kepada kemampuan diri sendiri.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya di tangan Allah (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufik adalah (selalu) berdoa, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allah telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin membukakan (pintu taufik) kepadanya.Dan ketika Allah memalingkan kunci (taufik) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup baginya”[15].
2. Selalu mengikuti dan berpegang teguh dengan agama Allah secara keseluruhan lahir dan batin. Allah berfirman:
ْ ََوالَي {ش َقى ِ }فَ ِإ َّماَ َيأْتِيَنَّ ُك ْم َ َايَفَالَيَ ِض ُّل َ َمنِيَ ُهدًىَفَ َم ِنَاتَّبَ َعَ ُهد “Maka jika datang kepadamu (wahai manuia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya)” (QS Thaahaa: 123). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuk Allah yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya , dengan mengikuti semua perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka dia tidak akan tersesat dan sengsara di Dunia dan Akhirat, bahkan dia selalu mendapat bimbingan petunjuk-Nya, kebahagiaan dan ketentraman di Dunia dan Akhirat[16]. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
َ ِْينَا ْهتَدَو َ }والَّذ {َىَوآتَا ُه ْمَتَ ْق َوا ُه ْم َ ًاَزادَ ُه ْمَ ُهد َ “Dan orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk (agama Allah ) maka Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya” (QS Muhammad: 17).
3. Membaca al-Qur-an dan merenungkan kandungan maknanya. Allah berfirman:
ْ َنَ َهذ َ ُِينَيَ ْع َمل َ ينَالَّذ َ ِِرَ ْال ُم ْؤ ِمن َ اَالقُ ْر {َون َُ َويُبَش ََّ ِإ َ آنَيَ ْهدِيَ ِللَّتِيَ ِه َيَأ َ ْق َو ُم َّ }ال يرا ً ِصا ِل َحاتَِأَ َّنَلَ ُه ْمَأ َ ْج ًراَ َكب “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’: 9).
Imam Ibnu Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah memuji kitab-Nya yang mulia yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya , yaitu al-Qur-an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan jelas”[17]. Maksudnya: yang paling lurus dalam tuntunan berkeyakinan, beramal dan bertingkah laku, maka orang yang selalu membaca dan mengikuti petunjuk al-Qur-an, dialah yang paling sempurna kebaikannya dan paling lurus petunjuknya dalam semua keadaannya[18].
4.Mentaati dan meneladani sunnah Rasulullah . Allah menamakan wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah sebagai al-huda (petunjuk) dan dinul haq (agama yang benar) dalam firman-Nya:
ْ ِين َّ َو َكفَىَ ِب {اَّللَِش َِهيدًا َ } ُه َوَالَّذِيَأ َ ْر َ ق َ َرسُولَهَُ ِب ْال ُهد َ س َل ِ َىَود ِ َال َح “Dialah (Allah ) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS al-Fath: 28). Para ulama Ahli Tafsir menafsirkan al-huda (petunjuk) dalam ayat ini dengan ilmu yang bermanfaat dan dinul haq (agama yang benar) dengan amal shaleh[19]. Ini menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah adalah sebaik-baik petunjuk yang akan selalu membimbing manusia untuk menetapi jalan yang lurus dalam ilmu dan amal. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah (al-Qur-an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah , dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (baru dalam agama)”[20]. Inilah makna firman Allah :
َ سنَةٌَ ِل َم ْنَك َّ يَرسُو ِل َ لَ َق َْدَك {ََو ْاليَوْ َم َ َاَّللَِأُس َْوةٌَ َح َ ََانَيَ ْرجُوَا ََّّلل َ َِانَلَ ُك ْمَف َّ َوذَك ََر يرا ً َِاَّللََ َكث ِ َ }اآلخ َر “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
5. Mengikuti pemahaman dan pengamalan para Shahabat dalam beragama. Allah berfirman:
{َاق ِ َاَو ِإ ْنَت َ َولَّوْ اَفَ ِإنَّ َماَ ُه ْمَفِي َ ْ}فَ ِإ ْنَآ َمنُواَ ِب ِمثْ ِلَ َماَآ َم ْنت ُ ْمَ ِب ِهَفَقَدَِا ْهتَدَو ٍ َشق “Jika mereka beriman seperti keimanan yang kalian miliki, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam perpecahan” (QS al-Baqarah: 137). Ayat ini menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman para Shahabat y dalam keimanan, ibadah, akhlak dan semua perkara agama lainnya, karena inilah sebab untuk mendapatkan petunjuk dari Allah . Para Shahabat y adalah yang pertama kali masuk dalam makna ayat ini, karena merekalah orang-orang yang pertama kali memiliki keimanan yang sempurna setelah Rasulullah [21].
6. Meneladani tingkah laku dan akhlak orang-orang yang shaleh sebelum kita. Allah berfirman:
ْ َىَاَّللَُفَ ِب ُهدَا ُه ُم َّ َ }أُولَئِ َكَالَّذ {ََاقت َ ِد ِه ِينَ َهد “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (QS al-An’aam: 90). Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk meneladani petunjuk para Nabi u yang diutus sebelum beliau , dan ini juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad [22].
7. Mengimani takdir Allah dengan benar.
َّ َو َّ َو َم ْنَي ُْؤ ِم ْنَ ِب َّ َم ْنَ ُم ِصيبَةٍَ ِإ َّالَ ِب ِإ ْذ ِن {َاَّللَُ ِب ُك ِل َ َ َماَأ ِ اب َ ص َ ُاَّللَِيَ ْهدَِقَ ْلبَه َ َِاَّلل ع ِلي ٌَم َ َ ٍ}ش َْيء “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11). Imam Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan
yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[23].
8. Berlapang dada menerima keindahan Islam serta meyakini kebutuhan manusia lahir dan batin terhadap petunjuknya yang sempurna. Allah berfirman:
ْ ََِاَّللَُأ َ ْنَيَه ِديَهَُي َّ نَي ُِرد {َنَي ُِر ْدَأَ ْنَي ُِض َّلهَُيَ ْجعَ ْل َْ َو َم َْ فَ َم َ َش َر ْح َ ْالم ِ ص ْد َرهَُ ِلإلس َّ اءَ َكذَ ِل َكَيَ ْجعَ ُل َ َُص ْد َره َّ َاَح َرجًاَكَأَنَّ َماَي َعَلَى َ َس َّ ص َّعدَُ ِفيَال َ ًض ِيق َ ِ س َم َ َالر ْج ِ َُاَّلل َ }الَّذ ََ ُِينَالَي ُْؤ ِمن ون “Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam: 125). Ayat ini menunjukkan bahwa tanda kebaikan dan petunjuk Allah bagi seorang hamba adalah dengan Allah menjadikan dadanya lapang dan lega menerima Islam, maka hatinya akan diterangi cahaya iman, hidup dengan sinar keyakinan, sehingga jiwanya akan tentram, hatinya akan mencintai amal shaleh dan jiwanya akan senang mengamalkan ketaatan, bahkan merasakan kelezatannya dan tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan[24].
9. Bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah dan selalu berusaha mengamalkan sebab-sebab yang mendatangkan dan meneguhkan hidayah Allah . Allah berfirman:
ْ َاَّللََلَ َم َع َّ اَو ِإ َّن َ } َوالَّذ {ين ََ س ِن ُ َِينَ َجا َهدُواَ ِفينَاَلَنََ ْه ِد َينَّ ُه ْم ِ َال ُم ْح َ َسبُلَن “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS al-‘Ankabuut: 69). Imam Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah ) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”[25]. Demikianlah pemaparan ringkas tentang sebab-sebab datangnya hidayah Allah , dan tentu saja kebalikan dari hal-hal tersebut di atas itulah yang merupakan sebab-sebab
hilangnya/tercabutnya hidayah Allah , semoga Allah melindungi kita dari segala keburukan dan fitnah.
Penutup Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat mengusahakn sebab-sebab datangnya hidayah dari Allah . Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan semua nama-Nya yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan, menyempurnakan dan menjaga taufik-Nya kepada kita semua sampai kita berjumpa denganNya di surga-Nya kelak, sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengabulkan doa.
ََوآخر،وصلىَهللاَوسلمَوباركَعلىَنبيناَمحمدَوآلهَوصحبهَأجمعين دعواناَأنَالحمدَهللَربَالعالمين Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Sebagaimana dalamHR Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah t dengan sanad yang shahih. [2] Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (14/37). [3] Kitab “Risaalatu Ibnil Qayyim” (hal. 8-9). [4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/50). [5] Lihat kitab “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 1733). [6] Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/271-273) dengan ringkasan dan tambahan. [7] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 225). [8] HSR Muslim (no. 2577). [9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 39). [10] HR Abu Dawud (no. 1425), at-Tirmidzi (no. 464) dan an-Nasa-i (3/248), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[11] HSR Muslim (no. 2721). [12] HR at-Tirmidzi (no. 3373) dan al-Hakim (1/667), dinyatakan hasan oleh syaikh alAlbani. [13] Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H). [14] HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227). [15] Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H). [16]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 515). [17]Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/39). [18]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 454). [19]Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/209) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 335). [20]HSR Muslim (no. 867). [21]Demikian makna penjelasan yang penulis pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah, Arab Saudi. [22]Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/208). [23]Tafsir Ibnu Katsir (8/137). [24]Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 272). [25] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 59).