Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Osteoarthritis dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat Periode Juni 2014 Heni Ezzawina*, Basirah Anati*, dan Yuniasih* ABSTRAK Osteoarthritis pada sendi panggul dan lutut merupakan kelainan muskuloskeletal yang sering pada dewasa. Dari Riskesdas 2013, angka prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di DKI Jakarta didapatkan prevalensi sebesar 21,8%. Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi obesitas laki-laki dan perempuan dewasa meningkat berbanding pada tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar resiko Indeks Massa Tubuh dengan kejadian Osteoarthritis serta faktor-faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan menggunakan metode survei dan wawancara dengan pendekatan studi cross-sectional yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas dari tanggal 12 Juni - 21 Juni 2014. Populasi terjangkau adalah laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas. Sample adalah 88 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih secara multistage random sampling dimana dilakukan randomisasi sebanyak dua kali yaitu pada pemilihan RW dan seterusnya pada pemilihan RT di wilayah kerja Puskesmas. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara, kuisioner, pengukuran berat badan dan tinggi badan. Hasil analisis statistik dengan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan program SPSS v.16. Uji statistik menunjukan terdapat hubungan bermakna antara Indeks Massa Tubuh (p=0,008), usia (p=0,003) dan pekerjaan (p=0,002) dengan kejadian Osteoarthritis dan tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin (p=1,000), olahraga (p=0,683), pendidikan (p=0,500), penyakit Diabetes Mellitus (p=0,085) dan gaya hidup merokok (0,442) dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas. Kata Kunci : Osteoarthritis, Indeks Massa Tubuh, lansia, muskuloskeletal. *Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
1
The Risk Size of Body Mass Index (BMI) towards Osteoarthritis and Other Related Factors in Working Region of Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, West Jakarta on June, 2014 Heni Ezzawina*, Basirah Anati*, dan Yuniasih* ABSTRACT Osteoarthritis on hip and knee is a musculoskeletal disorder that is usually found in adult. Data from Riskesdas 2013 shows that prevalence for joint disease according to diagnosis from health workers in DKI Jakarta is as large as 21,8%. Riskesdas 2013 also states that prevalence of obese men and women is increasing compared to year 2010. This research is to assess the risk size of body mass index (BMI) towards osteoarthritis and other related factors in working region of Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan. The type of this study is observational crosssectional study using survey and interview method that was conducted in working region of the Puskesmas from 12 June- 21st June 2014. Reachable population is men and women aged ≥ 45 years old. Samples are 88 people that fulfil inclusion criteria and was selected using multistage random sampling. Randomisation was done twice, which are during selection of Rukun Warga (RW) and selection of Rukun Tetangga (RT) in working region of Puskesmas. Data was collected with interview, questionnaire, measurement of body weight and body height. In statistical analysis with chi-squared test with 95% confidence level using SPSS v.16 program shows that there is significant relation between BMI (p=0,008), age (p=0,003) and workload (p=0,002). There is no significant relation between sex (p=1,00), exercises (p=0,683), education level (0,500), Diabetes Mellitus (p=0,085) and smoking (p=0,442) towards osteoarthritis. Keywords: Osteoarthritis, Body Mass Index, old age, musculosceletal.
*Universitas Kristen Krida Wacana, Faculty of Medicine
Bab I 2
Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Angka umur harapan hidup (UHH) di Indonesia yang pada tahun 1995 – 2000 sebesar 64,71 tahun meningkat menjadi 67,68 tahun pada tahun 2000 – 2005. Proporsi penduduk lansia (di atas 60 tahun) meningkat dari 16 juta jiwa (7,6%) pada tahun 2000 menjadi 18,4 juta jiwa (8,4%) pada tahun 2005. Sedangkan dari data USA – Bureau of the Cencus, Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%. Umur Harapan Hidup orang Indonesia diperkirakan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-2020. Transisi epidemiologi terjadi karena pemerintah berhasil menekan angka penyakit infeksi, namun di sisi lain penyakit yang berkaitan dengan faktor penuaan pun meningkat, seiring dengan semakin banyaknya proporsi warga lansia di Indonesia. Penyakit yang berkaitan dengan faktor penuaan sering disebut penyakit degeneratif, di antaranya Osteoartritis, yang selanjutnya akan disingkat OA.1 Secara global, indeks massa tubuh (IMT) telah meningkat sejak tahun 1980. Trend pada tahun 1980 dengan populasi mean pada tahun 2008 bervariasi menurut negara. Intervensi dan kebijakan untuk mengurangi kenaikan ini, dampak IMT yang tinggi terhadap kesehatan adalah dibutuhkan pada banyak negara. Sebagian menyatakan peningkatan IMT ini adalah pandemik, yang boleh memendekkan anggaran jangka hayat hidup. 2 Jumlah penderita obesitas di Indonesia pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Tiga belas provinsi dengan prevalensi obesitas di atas prevalensi nasional, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Papua Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, Maluku Utara, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Gorontalo dan Sulawesi Utara.3 Osteoarthritis adalah jenis penyakit sendi tersering dan merupakan salah satu penyebab kecacatan utama di negara-negara maju. Di seluruh dunia, diperkirakan 9,6% pria dan 18% wanita di atas usia 60 tahun menderita osteoarthritis. Angka ini kedepannya akan terus meningkat akibat bertambahnya usia harapan hidup, obesitas 3
dan kebiasaan merokok. Di Indonesia sendiri osteoarthritis merupakan penyakit rematik yang paling banyak ditemui dibanding kasus penyakit rematik lainnya, tercatat terdapat 8,1% penduduk indonesia yang terkena penyakit ini. Osteoartritis juga merupakan penyakit sendi yang menduduki rangking pertama penyebab nyeri dan disabilitas (ketidakmampuan) pada lansia yang umumnya menyerang sendi – sendi penopang berat badan terutama sendi lutut.1 Kelainan musculoskeletal yang sering pada orang dewasa biasanya adalah degeneratif dan penyakit poligenik yang dipengaruhi oleh kedua- dua genetic dan factor lingkungan. Osteoarthritis pada sendi panggul dan lutut merupakan kelainan musculoskeletal yang sering pada dewasa. Dari data Riskesdas 2013, didapatkan angka prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis nakes (tenaga kesehatan) di Indonesia 11,9 persen dan berdasar diagnosis atau gejala 24,7 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Bali (19,3%), diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%). Di DKI Jakarta sendiri didapatkan prevalensi sebesar 21,8% untuk penyakit sendi.3 Hasil penelitian longitudinal selama 14 tahun yang dilakukan oleh Shiozaki dan kawan-kawan mengatakan IMT yang lebih tinggi pada saat pertama kali survei meningkatkan resiko baik inisiasi maupun progresivitas dari osteoartritis lutut. Wanita obese (BMI ≥25,0) dengan penurunan IMT sebesar dua unit atau lebih selama 14 tahun, mempunyai resiko yang lebih rendah untuk mengalami perburukan gambaran sendi lutut secara radiologis. Meskipun demikian, penambahan berat badan tidak mengubah resiko secara signifikan. 2 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1.2.1 Masalah Umum 1.2.1.1 Apakah ada hubungan Obesitas dengan Osteoartritis (OA) di Kelurahan Tanjung Duren Selatan di Kecamatan Grogol Pertamburan ? 1.2.1.2 Apakah faktor-faktor penyebab OA di Kelurahan Tanjung Duren Selatan ?
4
1.2.1.3 Apakah faktor predisposisi (demografi, gaya hidup, metabolik) dan faktor presipitasi biomekanik merupakan faktor resiko osteoartritis lutut ? 1.2.2 Masalah Khusus 1.2.2.1 Apakah jenis kelamin perempuan merupakan faktor resiko osteoartritis lutut? 1.2.2.2 Apakah kebiasaan merokok merupakan faktor resiko osteoarthritis lutut? 1.2.2.3 Apakah tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D merupakan faktor resiko osteoartritis lutut ? 1.2.2.4 Apakah obesitas merupakan faktor resiko osteoartritis lutut ? 1.2.2.5 Apakah riwayat trauma lutut merupakan faktor resiko osteoarthritis lutut ? 1.2.2.6 Apakah kebiasaan bekerja dengan beban berat merupakan faktor resiko osteoartritis lutut ? 1.2.2.7 Apakah aktivitas fisik berat merupakan faktor resiko osteoarthritis lutut ? 1.2.2.8 Apakah kebiasaan olah raga benturan keras merupakan faktor resiko osteoartritis lutut ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui tentang besar resiko indeks massa tubuh dengan kejadian Osteoarthritis dan faktor-faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Diketahuinya sebaran karateristik penderita Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2.2 Diketahui hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 5
1.3.2.3 Diketahui
hubungan
antara
jenis
kelamin
dengan
kejadian
Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2.4 Diketahui hubungan antara pendidikan dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.3.5 Diketahui hubungan antara olahraga dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah
kerja
Puskesmas
Kelurahan
Tanjung
Duren
Selatan,
Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2.6 Diketahui hubungan antara usia dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah
kerja
Puskesmas
Kelurahan
Tanjung
Duren
Selatan,
Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2.7 Diketahui hubungan antara penyakit dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah
kerja
Puskesmas
Kelurahan
Tanjung
Duren
Selatan,
Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2.8 Diketahui hubungan antara gaya hidup (kebiasaan merokok) dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 1.3.2.9 Diketahui
hubungan
antara
pekerjaan
berat
dengan
kejadian
Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain : 1.4.1 Pelayanan Kesehatan 1.4.1.1 Memberikan informasi mengenai faktor resiko Osteoartritis, sehingga dapat direncanakan program kesehatan, misalnya upaya sosialisasi Osteoarthritis dan faktor-faktor resikonya serta tindakan-tindakan pencegahan timbulnya Osteoartritis. 1.4.1.2 Merupakan sumber masukan sebagai bahan informasi bagi kepala Puskesmas, dokter, perawat, dan kader. 1.4.1.3 Hasil penelitian ini merupakan dasar bagi penelitian selanjutnya di Puskesmas. 6
1.4.2
Untuk Universitas
1.4.2.1 Merupakan bahan masukan dan informasi untuk kepentingan pendidikan dan tambahan kepustakaan dalam penelitian mengenai hubungan antara indeks massa tubuh dengan osteoarthritis dan faktor yang berhubungan 1.4.2.2 Mewujudkan kampus sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang kesehatan. 1.4.3 Masyarakat 1.4.3.1 Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor risiko osteoartritis
lutut,
sehingga
masyarakat
mengetahui
faktor
risiko
osteoartritis lutut dan dapat melakukan tindakan-tindakan pencegahan timbulnya osteoartritis lutut. 1.4.3.2 Meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang berbasis kesehatan perorangan dan lingkungan. 1.4.3.3 Menambah pengetahuan masyarakat mengenai hubungan antara indeks massa tubuh dan osteoarthritis. 1.4.4 Peneliti Lain 1.4.4.1 Sebagai bahan kajian pustaka bagi peneliti lain, terutama peneliti yang karena pertimbangan tertentu ingin melakukan penelitian lanjutan atau melakukan penelitian yang sejenis. 1.4.4.2 Menambah pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan osteoarthritis. 1.4.4.3 Melatih kemampuan dalam melaksanakan penelitian di masyarakat. 1.4.4.4 Meningkatkan kemampuan berkomunikasi langsung dengan masyarakat. 1.4.4.5 Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Osteoarthritis 2.1.1. Definisi Osteoartitis merupakan penyakit sendi degeneratif dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas serta mengenai populasi luas. Pada umumnya penderita osteoarthritis berusia di atas 40 tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik, genetik, humoral dan faktor kebudayaan. Osteoartritis merupakan suatu 7
penyakit dengan perkembangan slow progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi. Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoartritis primer disebut idiopatik, disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak. Sedangkan osteoarthritis sekunder adalah osteoarthritis yang didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma, imobilitas yang terlalu lama serta faktor risiko lainnya, seperti obesitas dan sebagainya. 5 2.1.2. Patofisiologi Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu: 6,7 2.1.2.1 Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (range of motion) sendi. 2.1.2.2 Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi. 2.1.2.3 Ligamen, bersama dengan kulit dan
tendon,
mengandung
suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak. 2.1.2.4 Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima. 8
2.1.2.5 Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya osteoarthritis dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago. Secara garis besar, proses patologis yang terjadi pada osteoarthritis adalah 6-8 a. Destruksi kartilago oleh enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan matriks dari kartilago. b. Inflamasi membran sinovial dimana terjadinya fibrilasi dan erosi permukaan kartilago dan pelepasan produk degradasi dari cairan sinovial. c. Remodelling tulang subchondral yang terjadi apabila
sel-sel
sinovial
mengkonsumsi produk degradasi. Terjadi juga produksi protease dan sitokin inflamasi. Kartilago atau tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan tersebut elastis dan air (70% bagian) yangmenjadi bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi.Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik. Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis osteoarthritis, terutama setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akanterangsang dan menghasilkan enzim proteolitik. Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam matriks rawan sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase 1 (ADAMTs-4) dan agrekanase 2 (ADAMTs-11). MMPs diproduksi oleh kondrosit, 9
kemudian diaktifkan melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator plasminogen, plamsinogen, plasmin), radikal bebas dan beberapa MMPs tipe membran. Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMPs dan inhibitor aktifator plasminogen. Enzim lain yang turut berperan merusak kolagen tipe II dan proteoglikan adalah katepsin, yang bekerja pada pH rendah, termasuk proteinase aspartat (katepsin D) dan proteinase sistein (katepsin B, H, K, L dan S) yang disimpam di dalam lisosom kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam rawan sendi, tetapi glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan. Berbagai sitokin turut berperan merangsang kondrosit dalam menghasilkan enzim perusak rawan sendi. Sitokin-sitokin pro-inflamasi akan melekat pada reseptor di permukaan kondrosit dan sinoviosit dan menyebabkan transkripsi gene MMP sehingga produksi enzim tersebut meningkat. Sitokin yang terpenting adalah IL-1, selain sebagai sitokin pengatur (IL-6, IL-8, LIFI) dan sitokin inhibitor (IL-4, IL-10, IL-13 dan IFN-γ). Sitokin inhibitor ini bersama IL-Ira dapat menghambat sekresi berbagai MMPs dan meningkatkan sekresi TIMPs. Selain itu, IL-4 dan IL-13 juga dapat melawan efek metabolik IL-1. IL-1 juga berperan menurunkan sintesis kolagen tipe II dan IX dan meningkatkan sintesis kolagen tipe I dan III, sehingga menghasilkan matriks rawan sendi yang buruk. 6,8
berkualitas
Gambar 1: Sendi
normal dan
sendi dengan osteoarthritis Sumber: http://www.sciencebasedmedicine.org/wp-content/uploads/2014/11/OA.jpg
2.1.3. Gejala klinis 10
Pada umumnya, pasien osteoarthritis mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien: 6,9 2.1.3.1 Nyeri sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski osteoarthritis masih tergolong dini (secara radiologis). Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada osteoarthritis berasal dari luar kartilago. Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi (sinovitis), efusi sendi, dan edema sumsum tulang. Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang. Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial band. 2.1.3.2 Hambatan gerakan sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri. 2.1.3.3 Kaku pagi Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari. Jika terjadi kekakuan pada pagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit (tidak lebih dari 30 menit). 11
2.1.3.4 Krepitasi Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien osteoarthritis lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu. 2.1.4.4 Pembesaran sendi (deformitas) Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar serta kecacatan dari gaya berdiri dan perubahan pada permukaan tulang dan sendi (bentuk varus dan valgus)
2.1.4. Diagnosis Diagnosa osteoarthritis dilakukan dari gejala klinis tergantung lokasi, penyebab keluhan membaik atau memburuk dan pemeriksaan radiologik. Beberapa metode untuk mendeteksi manifestasi klinis osteoarthritis.10 2.1.4.1 Measuring pain/ mengukur nyeri i. Kata (wawancara) seperti nyeri, nyeri sedikit, nyeri sedang, nyeri berat, dan nyeri sangat berat. Atau pasien dapat mengisi dan mengevaluasi nyeri dengan skala seperti Huskisson’s Visual Analogue Scale (VAS) di mana pasien menilai rasa nyeri dari angka 1 sampai 10 atau 0 (no pain) ii.
sampai 100 (unbearable pain). The WOMAC (Western Ontario
and
McMaster
Universities)
Osteoarthritis Index yang memiliki bagian dengan lima pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien untuk mengevaluasi nyeri mereka sendiri. 2.1.4.2 Mengukur status fungsional: indeks yang berbeda tersedia berdasarkan i.
lokasi osteoarthritis: Lequesne Algofunctional Index: diindikasikan untuk gonarthritis dan coxarthrosis. Terdiri dari kuesioner yang akan diisi oleh pasien dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang rasa sakit dan kapasitas fungsional. ii. WOMAC Index: juga berisi bagian yang harus diisi oleh pasien untuk mengevaluasi kapasitas fungsional mereka.
12
iii. Indeks Fungsional Dreiser untuk arthropathies tangan: kuesioner untuk diisi oleh pasien yang mencakup pertanyaan tentang kemampuan mereka untuk melakukan gerakan-gerakan tangan sehari-hari. 2.1.4.3Ada alat pengukuran lain yang belum divalidasi tetapi yang teratur digunakan dalam praktek untuk mendeteksi manifestasi klinis osteoarthritis: ukuran sendi kekakuan, peradangan, mobilitas sendi, deformasi sendi, dampak estetika, gangguan fungsional, kualitas hidup dan penggunaan perawatan simtomatik (analgetik, NSAID, dll). 2.1.4.3 Terdapat juga metode yang digunakan untuk menentukan i.
perkembangan (progression) osteoarthritis dalam berbagai sendi: Metode yang dikembangkan oleh Gust Verbruggen untuk menentukan perkembangan osteoarthritis pada sendi jari. Menurut skala ini, perkembangan ini dapat ditentukan dengan evolusi melalui penjelasan sebelumnya menggunakan fase anatomi: "N" (not affected )"S" (classic osteoarthritis), "J" (loss of joint space), "E" (erosive
ii.
osteoarthritis) dan "R" (remodeled joint). Metode yang dikembangkan oleh Vignon et al. untuk menentukan perkembangan osteoarthritis pada sendi lutut. Hal ini didasarkan pada evaluasi reduksi ruang artikular lutut menggunakan radiologi kuantitatif. X-foto diambil dari kedua lutut dengan kaki dalam posisi standar dan lutut dalam posisi Schuss (tertekuk pada 20%) di awal dan setelah sejumlah waktu. X-foto dianalisis menggunakan digital image analysis system yang divalidasi untuk mengamati perkembangan: mean thickness, minimum width of the joint space dan surface area.
Ahli rheumatologi dapat melakukan serangkaian tes untuk mengkonfirmasi diagnosis awal dan untuk mendapatkan ide dari tingkat keparahan atau severity penyakit dan perkembangannya di tingkat struktural. Tes-tes ini seperti:10 Joint-fluid aspiration: Cairan sinovial dapat dianalisis ketika viskositas tinggi dan cellularity rendah. Analisis ini sangat berguna untuk menolak proses inflamasi dan mikrokristalin lain. i. Analisis darah: Kelainan darah jarang pada pasien osteoarthritis, kecuali ada penyakit terkait. Laju endap darah biasanya normal kecuali dalam kasus osteoarthritis primer, di mana hasilnya cukup tinggi. Hasil analisis sistematis (hemogram, urine, parameter biokimia, dll) adalah normal. 13
ii. Radiologi: Pada tahap awal, sedikit atau tidak ada gangguan yang terdeteksi. Namun gejala berikut secara bertahap muncul seiring progresivitas penyakit: i) Penyempitan ruang sendi sebagai akibat dari hilangnya kartilago atau tulang rawan. ii) Sclerosis subchondral, terdeteksi sebagai peningkatan densitas tulang di bawah tulang rawan sendi, hasil dari respon reaktif dari tulang. iii) Osteophytes, gejala yang paling spesifik osteoarthritis yaitu bone spur yang diproduksi dan menjadi deposit di daerah osteoarticular akibat dari pembentukan sekunder tulang karena stress pada tulang sendi. iv) Kista subchondral atau geodes, yang muncul dalam tahap-tahap intermediate osteoarthritis. v) Luksasi, dislokasi sendi yang ditemukan dalam stadium lanjut. Tes lain meliputi: resonansi magnetik nuklir (NMR), USG, gammagram tulang, CT scan, dan arthroscopy. Sebuah sistem grading radiografi osteoarthritis juga digunakan. Ini dikembangkan oleh Kellgren dan Lawrence dan merupakan kunci dalam penilaian radiologi saat osteoarthritis: Tabel 1: Grading osteoarthritis menurut Kellgren & Lawrence 10
Grade 0
Classification Normal
Description No characteristic symptoms
1
Doubtful
2 3
Minimal Moderate
of osteoarthritis Indications of osteophytes Significance doubtful Definite osteophytes Moderate narrowing of joint
Severe
space Joint space very narrow,
4
with
subchondral-bone
sclerosis 2.1.5. Faktor risiko 2.1.5.1 Demografis i. Usia Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63 –70 tahun memiliki bukti radiografik menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih. Studi lain membuktikan bahwa risiko 14
seseorang mengalami gejala timbulnya OA lutut adalah mulai usia 50 tahun.14 Studi mengenai kelenturan pada OA telah menemukan bahwa ii.
terjadi penurunan kelenturan pada pasien usia tua dengan OA lutut. 6,10 Jenis kelamin Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50 – 80 tahun wanita
iii.
mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan. Ras / Etnis Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia. Suatu studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit putih. 6,10
2.1.5.2 Aktifitas Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan penigkatan resiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olahraga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko OA yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya OA masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitas tertentu dapat menjadi predisposisi OA cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidakstabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu faktor penentu lokasi pada orang-oarang yang mempunayi predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA. Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita OA lutut ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada pekerja yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut seperti pekerja administrasi. Terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan yang menggunakan kekuatan lutut dan kejadian OA lutut. 15
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg –50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko OA lutut. Kebiasaan olah raga pada atlit olah raga dimana benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA lutut. Kelemahan otot kuadrisep primer merupakan faktor risiko bagi terjadinya OA dengan proses menurunkan stabilitas sendi dan mengurangi shock yang menyerap materi otot. Tetapi, di sisi lain seseorang yang memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA lutut. Ketika seseorang tidak melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan.10-11 2.1.5.3 Metabolik Berat badan yang terlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan OA sendi lain (tangan atau sternoklaivikula). Oleh karena itu di samping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner.1, 11 i. Osteoporosis Hubungan antara OA lutut dan osteoporosis mendukung teori bahwa gerakan mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan tulang rawan sendi. Suatu studi menunjukkan bahwa terdapat kasus OA lutut tinggi pada penderita osteoporosis. ii. Diabetes Mellitus Berdasarkan beberapa penelitian, didapatkan bahwa DM tipe 2 merupakan faktor prediktor terhadap OA berat, independen terhadap faktor umur dan IMT. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa terdapat komponen 16
metabolik yang kuat sebagai patogenesis OA. Didapatkan kadar gula darah puasa adalah tinggi secara signifikan bagi pasien OA berbanding kontrol normal. 2.1.5.4 Obesitas Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA lutut secara radiografik meningkat sebesar 1,36 poin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan meningkatkan risiko menderita OA lutut. Kehilangan 5 kg berat badan akan mengurangi risiko OA lutut secara simtomatik pada wanita sebesar 50%. Demikian juga peningkatan risiko mengalami OA lutut yang progresif tampak pada orang-orang yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu. Berdasarkan penelitian, risiko hidup (lifetime risk) bagi pasien yang obese adalah tinggi berbanding orang yang dengan berat badan normal/ berat badan berlebihan. Rang dengan IMT > 25kg/m 2 pada usia tua mmepunyai asosiasi yang kuat terhadap OA.13 2.1.5.5 Genetik Kelainan musculoskeletal yangs sering pada orang dewasa biasanya adalah degenerative dan penyakit poligenik yang dipengaruhi oleh kedua- dua genetic dan factor lingkungan. Osteoarthritis pada sendi panggul dan lutut merupakan kelainan musculoskeletal yangs erring pada dewasa dan terdapat banyak studi genetic termasuk studi asosiasi genome menunjukkan beberapa calon gen predisposisi bagi kelainan ini. Hasil dari studi keturunan/ heritabilitas pada kembar, saudara kandung dan keluarga, factor genetic dianggarkan menyumbang kepada 50% risiko untuk mendapatkan OA pada sendi panggul dan lutut. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus herbenden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anak perempuannya cenderung mempunyai 3 kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuan-perempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya 17
mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (terutama OA banyak sendi). GDF5 yang dikenali sebagai CDMP1 (cartilage- derived morphogenic protein 1), adalah factor pertumbuhan dengan spesifisitas artikuler yang tinggi serta merupakan bagian dari BMP (bone morphogenic protein) yang terdapat dalam TGF-B (transforming growth factor B) superfamily. GDF5 terlibat dalam pembentukan sendi. Hingga kini, gen HomeoboxB9, collagen typeI a1, Distal-less homeobox3 didapatkan pada kelainan musculoskeletal lain dan didapatkan juga gen ini saling overlap dengan OA.2 Salah satu mekanisme degradasi cartilage adalah proteolysis enzimatik dari MMP-1 yang diproduksi oleh kondrosit dan sel synovial. Genotype ditentukan menggunakan teknik PCR- RLFP. Penelitian terkini mendapatkan MMP11607 mungkin merupakan factor risiko osteoarthritis pada lutut dalam populasi Greek. 2,14 2.1.5.6 Gaya hidup i. Kebiasaan Merokok Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara merokok dengan OA lutut. Merokok meningkatkan kandungan racun dalam darah
dan
mematikan
jaringan
akibat
kekurangan
oksigen,
yang
memungkinkan terjadinya kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat merusakkan sel tulang rawan sendi. Hubungan antara merokok dengan hilangnya tulang rawan pada OA lutut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1,11 -
Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang
-
rawan sendi. Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi
-
hilangnya tulang rawan. Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida dalam darah,
menyebabkan
jaringan
kekurangan
oksigen
dan
dapat
menghambat pembentukan tulang rawan. Di sisi lain, terdapat penelitian yang menyimpulkan bahwa merokok memiliki efek protektif terhadap kejadian OA lutut. Hal tersebut diperoleh setelah mengendalikan variabel perancu yang potensial seperti berat badan. 18
ii. Konsumsi Vitamin D Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D memiliki peningkatan risiko 3 kali lipat menderita OA lutut. 1,11 2.1.5.7 Biomekanis i. Riwayat trauma lutut Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan meniskus merupakan faktor risiko timbulnya osteoarthritis lutut. Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita osteoarthritis lutut. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran. ii. Kelainan anatomis Faktor risiko timbulnya OA lutut antara lain kelainan lokal pada sendi lutut seperti genu varum, genu valgus, Legg – Calve – Perthes disease dan displasia asetabulum. Kelemahan ototkuadrisep dan laksiti ligamentum pada sendi lutut termasuk kelainan lokal yang juga menjadi faktor risiko OA lutut. 1, 13
2.1.6. Penatalaksanaan Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami osteoarthritis adalah untuk edukasi pasien, pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang dan menghambat penyakit supaya tidak menjadi lebih parah. Penatalaksanaan osteoarthritis terdiri dari terapi non obat (edukasi, penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi kerja), terapi obat, terapi lokal dan tindakan bedah. 7,8,9 2.1.6.1 Terapi Non Obat Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk dapat mandiri, tidak selalu tergantung pada orang lain. Walaupun osteoarthritis tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting, terutama pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada sendi yang terserang osteoarthritis dan meningkatkan kelincahan pasien waktu bergerak. Suatu studi mengikuti 21 penderita osteoarthritis yang 19
mengalami obesitas, kemudian mereka melakukan penurunan berat badan dengan cara diet dan olah raga. Setelah diikuti selama 6 bulan, dilaporkan bahwa pasien-pasien tersebut mengalami perbaikan fungsi sendi serta pengurangan derajat dan frekuensi rasa sakit. Terapi fisik dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas optimal dan tidak tergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan latihan penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi kerja dianjurkan latihan yang bersifat penguatan otot, memperluas lingkup gerak sendi dan latihan aerobik. Latihan tidak hanya dilakukan pada pasien yang tidak menjalani tindakan bedah, tetapi juga dilakukan pada pasien yang akan dan sudah menjalani tindakan bedah, sehingga pasien dapat segera mandiri setelah pembedahan dan mengurangi komplikasi akibat pembedahan. 7,8,9 2.1.6.2 Terapi Obat Parasetamol merupakan analgesik pertama yang diberikan pada penderita OA dengan dosis 1 gram 4 kali sehari, karena cenderung aman dan dapat ditoleransi dengan baik, terutama pada pasien usia tua. Kombinasi parasetamol / opiat seperti coproxamol bisa digunakan jika parasetamol saja tidak membantu. Tetapi jika dimungkinkan, penggunaan opiat yang lebih kuat hendaknya dihindari. Kelompok obat yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri penderita OA adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS). OAINS bekerja dengan cara menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada kaskade inflamasi. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS tradisional bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX2, sehingga dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang tradisional. 2.1.6.3 Terapi Lokal Terapi lokal meliputi pemberian injeksi intra artikular steroid atau hialuronan (merupakan molekul glikosaminoglikan besar dan berfungsi sebagai viskosuplemen) dan pemberian terapi topikal, seperti krem 20
OAINS, krem salisilat atau krem capsaicin. Injeksi steroid intra artikular diberikan bila didapatkan infeksi lokal atau efusi sendi. 2.1.6.4 Operasi Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan tindakan yang efektif.43 Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic debridement, joint debridement, dekompresi tulang, osteotomi
dan
artroplasti.
Walaupun
tindakan
operatif
dapat
menghilangkan nyeri pada sendi OA, tetapi kadang-kadang fungsi sendi tersebut tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga terapi fisik pre dan pasca operatif harus dipersiapkan dengan baik. 7,8,10 2.1.6.5 Tindakan Alternatif Lain Perkembangan penatalaksanaan OA yang terbaru adalah penggunaan glukosamin dan kondroitin untuk pengobatan OA, yang digolongkan dalam makanan suplemen, namun hasilnya masih kontroversial. Terapi lain yang masih dalam tahap eksperimen adalah cartilage repair dan transplantasi rawan sendi. Kedua model penatalaksanaan tersebut belum dapat digunakan untuk pengobatan OA secara umum.7,8,10 2.2. Indeks Massa Tubuh 2.2.1. Definisi Secara global, indeks massa tubuh (IMT) telah meningkat sejak tahun 1980. Trend pada tahun 1980 dengan populasi mean pada tahun 2008 bervariasi menurut Negara. Intervensi dan kebijakan untuk mengurangi kenaikan ini, dampak IMT yang tinggi terhadap kesehatan adalah dibutuhkan pada banyak negara. Sebagian menyatakan peningkatan IMT ini adalah pandemic, yang boleh memendekkan anggaran jangka hayat hidup. Indeks Masa Tubuh (IMT) diperoleh dari berat badan dalam kg dibagi dengan tinggi badan kuadrat dalam m dan dibagi menjadi tiga kategori menurut batas ambang IMT untuk Indonesia yaitu kurus (<17,0- 18,5), normal (>18,5-25,0), dan gemuk (>25,0). Akan tetapi, panduan terbaru dari WHO tahun 2000 mengkategorikan Body Mass Index (BMI) untuk orang Asia dewasa menjadi underweight (BMI <18.5), normal range (BMI 18.5-22.9), dan overweight (BMI ≥23.0). Overweight dibagi menjadi tiga yaitu at risk (BMI 23.0- 24.9), obese 1 (BMI 25-29.9), dan obese 2 (BMI ≥30.0). Berat badan berlebihan merupakan factor risiko penting terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit 21
kardiovaskuler, diabetes, kanker dan kelainan musculoskeletal, menyebabkan kematian hampir 3 juta orang tiap tahun. Hasil penelitian longitudinal selama 14 tahun yang dilakukan oleh Shiozaki dan kawan-kawan mengatakan IMT yang lebih tinggi pada saat pertama kali survei meningkatkan resiko baik inisiasi maupun progresivitas dari osteoartritis lutut. Wanita obese (BMI ≥25,0) dengan penurunan IMT sebesar dua unit atau lebih selama 14 tahun, mempunyai resiko yang lebih rendah untuk mengalami perburukan gambaran sendi lutut secara radiologis. Meskipun demikian, penambahan berat badan tidak mengubah resiko secara signifikan. 16 Tabel 2: Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan BMI menurut WHO untuk orang Asia.15
Klasifikasi
BMI (kg/m2) cut off points
Kurang gizi
<18,50
Normal
18,50 – 22,9
Berat badan berlebih
≥23,00
Risiko obese
23,00 – 24,9
Obese grade I
25 – 29,9
Obese grade II
≥30,0
2.2.2. Faktor risiko 2.2.2.1 Genetik Obesitas dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti :genetik, lingkungan, kebiasaan makan dan kurangnya aktivitas fisik (Sidartawan, 2006). Menurut Curtis dalam Maharani (2007), berdasarkan morfologi jaringan adiposa yang dijadikan tumpuan obesitas dibedakan menjadi obesitas hiperplastik yang berkorelasi dengan munculnya obesitas pada kanak – kanak atau remaja dan obesitas hipertropik yang berkorelasi dengan obesitas umur dewasa, dimana terjadi pembesaran ukuran sel tanpa diikuti oleh perubahan jumlah sel lemak. Secara garis besar obesitas dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah obesitas jenis android atau central atau tipe apel, ditandai dengan adanya penumpukan jaringan lemak terutama didaerah perut. Jenis 22
kedua adalah obesitas tipe ginecoid atau tipe pear, peniumpukan jeringan lemak didaerah pantat (Samsulhadi, 2005). Parental fatness merupakan factor genetic yang berperanan besar. Bila kedua orangtua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas, kejadian obesitas 14%.16 2.2.2.2 Pengetahuan gizi terhadap IMT Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan dalam keluarga. Ketersediaan bahan makanan dalam rumah tangga tergantung dari pendidikan, kemampuan untuk membeli dan ketersediaan bahan makanan di pasaran dan produksi (Tabor, et al, 2000). Faktor pengetahuan tidak kalah pentingnya menjadi pengaruh terhadap terjadinya obesitas. Pengetahuan ibu tentang pengaturan makanan, cara pengolahan makanan, dan kandungan gizi dalam bahan makanan sangat mempengaruhi asupan makan seseorang dan memberikan resiko yang sangat besar terjadinya obesitas.15 2.2.2.3 Sosial ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.15 2.2.2.4 Asupan energi/kalori Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan dalam keluarga. Ketersediaan bahan makanan dalam rumah tangga tergantung dari pendidikan, kemampuan untuk membeli dan ketersediaan bahan makanan di pasaran dan produksi (Tabor, et al, 2000). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang optimal apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang dapat digunakan secara efisien (Almatsier, 2003). Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktivitas fisik. Seseorang yang kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan atau obesitas walaupun asupan energi lebih rendah dari kebutuhan energi yang direkomendasikan. Hasil penelitian di Barat menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi orang gemuk sama atau sedikit lebih kecil dari konsumsi energi rata-rata penduduk yang berbadan normal. Tetapi penggunaan energinya lebih rendah daripada rata-rata orang yang berbadan 23
normal. Mereka lebih tidak aktif sehingga keseimbangan energinya tetap surplus (Wiramihardja, 2007). Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi (Hardinsyah dan Tampubolon 2004). Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan Tampubolon 2004). Untuk menilai kecukupan konsumsi pangan maka didekati dengan menghitung tingkat kecukupan gizinya atau besarnya persentase angka kecukupan gizi. Pada penelitian ini tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dinyatakan sebagai tingkat kecukupan energi, protein, karbohidrat, lemak dan serat. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam Muhilal & Hardinsyah 2004). Tingkat kecukupan energi dinyatakan sebagai hasil perbandingan antara konsumsi energi aktual (Susenas) dengan kecukupan energi yang direkomendasikan oleh WNPG tahun 2004, dan dinyatakan dalam persen. Demikian pula untuk menghitung tingkat kecukupan protein, dinyatakan sebagai perbandingan antara konsumsi protein aktual dengan kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi). Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut:15 -
Tingkat kecukupan energi TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100% Tingkat kecukupan protein 24
TKP : [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100% Selanjutnya dari perhitungan tersebut tingkat kecukupan energi dan protein diklasifikasikan menurut Departemen Kesehatan sebagaimana dikutip oleh Badan Ketahanan Pangan 2006 yaitu: - TKE: < 70% adalah defisit berat - TKE: 70 - 79% adalah defisit sedang - TKE: 80 – 89% adalah defisit ringan - TKE: 90 -119% adalah normal, dan - TKE > 120% adalah kelebihan. Karbohidrat merupakan zat gizi utama sumber energi bagi tubuh. Dalam1gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. Terpenuhinya kebutuhan tubuh akan karbohidrat menentukan jumlah energi yang tersedia bagi tubuh setiap hari. Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) kecukupan karbohidrat yang baik adalah setengah dari kebutuhan energi (50-60%). Jika lebih dari itu, kemungkinan zat-zat lain akan sulit terpenuhi kebutuhannya. Lemak terdiri dari fosfolipid, sterol, dan trigliserida. Sebagian besar lemak (99%) terdiri dari trigliserid yang terdiri dari asam lemak dan gliserol (Hardinsyah & Tambunan 2004). Fungsi lemak dan minyak dalam makanan adalah membantu penyerapan vitamin A, D, E, K, menambah energi dan melezatkan makanan. Lemak dikelompokkan menjadi 3 menurut tingkat pencernaanya asam lemak jenuh yang sulit dicerna, asam lemak tidak jenuh tunggal yang mudah dicerna, dan asam lemak tidak jenuh ganda yang paling mudah dicerna (Depkes, 2002). Lemak merupakan penyumbang energi terbesar dibandingkan zat gizi lainnya. 1 gram lemak mengandung 9 kkal, dibandingkan karbohidrat dan protein yang menghasilkan 4 kkal per gramnya. Anjuran konsumsi lemak tidak melebihi 30% dari total energi yang dianjurkan (Soedjiningsih, 2004). Serat makanan didefinisikan sebagai karbohidrat yang resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia (karena itu tidak dapat dicerna) dan lignin. Termasuk didalamnya adalah selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin,
gum,
β-glukan,
fruktan
dan
resistant
starch.
Para
ahli
mengelompokkan serat makanan sebagai salah satu jenis polisakarida yang lebih lazim disebut karbohidrat kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang. Akibatnya, rantai kimia tersebut sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Arisman, 2004). 25
Serat makanan sering juga disebut sebagai ”unavailable carbohydrate”, sedangkan yang tergolong sebagai ”available carbohydrate” adalah gula, pati dan dekstrin, karena zat-zat tersebut dapat dihidrolisa dan diabsorpsi manusia, yang kemudian di dalam tubuh diubah menjadi glukosa dan akhirnya menjadi energi atau disimpan dalam bentuk lemak (Muchtadi, 2005). Serat makanan (fiber) terdapat di dalam bahan makanan nabati, seperti sayuran dan buah-buahan, merupakan bagian tumbuhan (dinding sel, daun, kulit buah, selaput biji-bijian, dan lain-lain) yang memiliki struktur berupa karbohidrat kompleks. Serat makanan dapat diperoleh dari berbagai sumber makanan, seperti serealia, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan . Rekomendasi untuk Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang pasti untuk konsumsi serat makanan belum ada. Namun, untuk diet 2000 kalori pada orang dewasa, paling sedikit 1000 sampai 2000 kalori harus berasal dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 25 sampai 30 gram per hari untuk orang dewasa dan 10 sampai 15 gram untuk anak-anak cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan (Baliwati et al, 2004). Menurut beberapa literatur terdapat beberapa hal yang memungkinkan asupan berpengaruh terhadap keseimbangan energi, yakni sebagai berikut: i.
Kebiasan mengonsumsi makanan Apabila seseorang tidak memiliki kebiasaan mengonsumsivsarapan pagi atau tidak mengonsumsi makanan sebelum beraktvitas pagi hari, cenderung akan makan lebih banyak atau dalam porsi besar/frekuensi makan ringan yang lebih sering, sehubungan dengan rasa lapar yang dialami bila di pagi hari tidak mengonsumsi makanan yang cukup energi, minimal mengandung ± 300 Kal atau 25% kebutuhan energi per hari.
(Lesson, 2009). Menurut Bray (2004), pada sebagian besar penderita obesitas diketahui memiliki riwayat night-eating syndrome atau kebiasaan makan di malam hari yakni diantara makan malam dan menjelang dini hari, yang umumnya turut menyumbang minimal 25% (umumnya > 50%) asupan energi per hari. Ini merupakan salah satu gangguan pola makan yang terkait dengan kesulitan tidur dan merupakan bagian dari sleep apnea sehingga sering terjaga di malam hari.15,16 2.2.2.5 Frekuensi makan 26
Hubungan antara frekuensi makan dan obesitas/kegemukan belum diketahui secara pasti, namun telah banyak dikaji bahwa frekuensi makan berpengaruh pada metabolisme lemak dan glukosa. Apbila seseorang makan dengan porsi kecil dan frekuensi beberapa kali per hari (cenderung memiliki kandungan energi rendah per sekali makan), memiliki kadar kolesterol serum yang lebih rendah daripada yang makan dengan frekuensi sedikit. Demikian halnya, rata-rata kadar gula darah cenderung lebih rendah ketika makan dengan frekuensi beberapa kali. Penilaian jumlah dan jenis makanan yang di konsumsi individu dapat dikelompokkan menjadi: - Mengingat makanan (food recall) yang dimakan oleh individu selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Contoh makanan (food model) dapat dipakai sebagai alat bantu. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi diperkirakan atau dihitung dengan ukuran rumah tangga yang kemudian dikonversikan ke dalam ukuran berat. Pemakaian metode food recall ini digunakan untuk mengukur rata- rata konsumsi -
makanan dan zat gizi kelompok masyarakat yang jumlahnya besar. Pencatatan makanan yang dimakan (food records) oleh individu dalam jangka waktu tertentu, jumlahnya ditimbang dan diperkirakan dengan
-
ukuran rumah tangga. Frekuensi konsumsi makanan (food frequency questionaire) adalah recall makanan yang dimakan pada waktu lalu. Kuesioner terdiri dari daftar bahan makanan dan frekuensi makan. Cara ini merekam keterangan tentang berapa kali konsumsi bahan makanan dalam sehari,
-
seminggu, sebulan, tiga bulan atau jangka waktu tertentu. Riwayat makan (dietary history) yaitu mencatat apa saja yang dimakan dalam waktu lama. Cara ini memerlukan petugas wawancara yang terlatih. Periode yang diukur biasanya adalah selama 6 bulan atau 1 tahun yang lalu. Metode wawancara ini merupakan modifikasi dari cara recall 24 jam untuk dapat memperoleh informasi tentang makanan yang dikonsumsi, frekuensi dan kebiasaan makan.
2.2.2.6 Aktivitas fisik Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh. Oleh karena itu berkurangnya aktivitas akibat dari kehidupan yang semakin modern dengan kemajuan teknologi yang mutakhir akan menimbulkan 27
kegemukan. PAGAC Report (2008), olahraga merupakan subkategori dari aktivitas fisik yang dirancang, berstruktur, dan diulangi serta bertujuan untuk memperbaiki satu atau lebih komponen fitness fisik. Olahraga dan latihannya sering juga dikenal sebagai aktivitas fisik waktu lapang dengan tujuan primer untuk menjaga fitness fisik, tingkat prestasi fisik atau kesehatan. Aktivitas fisik dilaporkan merupakan 20-40% total pengeluaran energi. Energi yang digunakan untuk aktivitas fisik sangat ditentukan oleh jenis aktivitas dan lama waktu melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas yang melibatkan kerja otot dan dilakukan lebih lama akan memerlukan energi lebih besar (Dwiriani, 2008). Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik diperlukan untuk membakar energi dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk. Aktifitas fisik remaja diukur sebagai pengeluaran kalori (caloric cost), tetapi tidak selalu sesuai karena keuntungan dan efek kesehatan aktivitas fisik melalui pengeluaran energi sebagai contoh lari dengan suatu intensitas tertentu, sedangkan pengeluaran energi rendah contohnya latihan peregangan tidak berhubungan dengan besarnya penegeluaran kalori (Subardja, 2004). Peningkatan rata-rata pemakaian energi sebanyak 418,4 kJ (100 kkal) per hari oleh satu populasi akan dicapai hanya dengan meningkatkan aktivitas fisik mereka (Azwar, 2004). Aktivitas fisik tingkat sedang seperti berjalan kaki selama tiga jam seminggu, didapati sangat mengurangi insidens dan risiko terjadinya pelbagai penyakit kronik, terutama diabetes mellitus tipe 2, obesitas, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, depresi, kegelisahan dan banyak jenis kanker. 2.2.2.7 Jenis kelamin Secara rata-rata, lelaki mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita. Lelaki menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, perempuan lebih mudah bertambah berat badan berbanding lelaki dengan asupan kalori yang sama (Gayle Galletta, 2005).
28
Untuk kesehatan tubuh yang optimal range lemak tubuh untuk laki-laki adalah 10-25%, perempuan 18-30% didasari atas beberapa penelitian epidemiologis untuk masyarakat umum. Berdasarkan Nieman suatu persen lemak tubuh yang optimal pada laki-laki dewasa adalah 15% dan pada perempuan 23%. Sedangkan menurut Gibson, rata-rata persen Lemak tubuh laki-laki dewasa adalah 14,7% dan pada perempuan 26,9%. 15, 16 Sedangkan berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia/IDI dikatakan bahwa persentase lemak tubuh yang normal adalah laki-laki 15-25%, untuk perempuan 20-25% dari total berat badan. 2.2.2.8 Metabolik Metabolisme basal adalah metabolisme yang dilakukan oleh organ-organ tubuh dalam keadaan istirahat total (tidur). Kecepatan metabolisme basal setiap orang berbeda, ada yang tinggi dan ada juga yang rendah. Seseorang yang mempunyai kecepatan metabolisme rendah akan cenderung lebih mudah gemuk jika dibandingkan dengan orang yang mempunyai kecepatan metabolisme tinggi. Pada umumnya, berat badan akan semakin meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Secara alami, metabolisme basal pada usia yang semakin senja akan semakin menurun. Sejalan dengan itu, aktifitas fisiknya pun juga semakin berkurang. 2.2.2.9 Hormon Hormon adalah salah satu faktor obesitas. Hormon leptin, estrogen dan hormon pertumbuhan mempengaruhi nafsu makan, metabolisme dan distribusi lemak tubuh. Orang obesitas memiliki kadar hormon ini yang mendorong akumulasi lemak tubuh.Pada
wanita yang telah mengalami
menopause, fungsi hormon tiroid di dalam tubuhnya akan menurun. Akibatnya, kemampuan untuk menggunakan energi akan berkurang. Apalagi pada usia lanjut terjadi penurunan metabolisme basal tubuh sehingga mempunyai kecenderungan untuk meningkat berat badan. Selain hormon tiroid, hormon insulin juga dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas. Hormon insulin mempunyai peranan dalam menyalurkan energi ke dalam selsel tubuh. Seseorang yang mengalami peningkatan hormon insulin akan meningkat pula timbunan lemak di dalam tubuhnya. 17 29
2.2.2.10 Obat – Obatan Terdapat beberapa obat yang dapat merangsang pusat lapar di dalam tubuh. Dengan demikian, seseorang yang mengkonsumsi obat tersebut akan meningkatkan nafsu makannya. Apalagi jika digunakan dalam waktu yang relatif lama, seperti dalam keadaan penyembuhan suatu penyakit. Misalnya pemberian obat oral antidiabetes (OAD) pada penderita diabetes mellitus tipe II dapat menyebabkan penambahan berat badan. Oleh karena itu, penggunaan obat ini sebaiknya bila diperlukan saja. Obat yang dapat merangsang nafsu makan lainnya yaitu pil kontrasepsi, kortikosteroid, dan antidepresan trisiklik.18
2.3 Kerangka Teori
30
Gambar 2. Kerangka Teori
2.4 Kerangka Konsep
Gambar 3. Kerangka Konsep 31
Bab III Metodologi Penelitian 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional mengenai Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Osteoarthritis dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat dari tanggal 12 Juni sampai 21 Juni 2014. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, pada tanggal 12 Juni sampai tanggal 21 Juni 2014. 3.3. Populasi Populasi target
: Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
32
Populasi terjangkau : Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014. 3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi Kriteria Inklusi adalah: 3.4.1.1 Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014 yang menderita osteoarthritis dan bersedia mengikuti penelitian.
3.4.2 Kriteria Eksklusi Kriteria Eksklusi adalah: 3.4.2.1 Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014 dengan penyakit sendi lain seperti arthritis rheumatoid dan arthritis gout. 3.4.2.2 Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014 yang sedang mengonsumsi obat-obatan anti nyeri (analgesik) seperti paracetamol dan golongan NSAID (non-steroid antiinflammatory drugs). 3.4.2.3 Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014 yang sedang sedang atau telah mendapat terapi osteoarthritis seperti intraarticular injections, operasi seperti total knee/hip replacement, dan fisioterapi. 3.5. Sampel 3.5.1 Besar sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang ingin kita teliti. Penelitian dilakukan terhadap laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat dengan mengukur indeks massa tubuh dan berbagai faktor-faktor yang berhubungan dari periode 12 Juni 33
hingga 21 Juni 2014 dengan jumlah sampel 85 orang. Sampel yang akan diambil berasal dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Perhitungan sampel adalah sebagai berikut: N1 = (Zα2) x P x Q L2 N2 = N + ( 10% . N1 )
Diketahui : N1 N2
= jumlah sampel minimum = jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen
responden yang mungkin drop out) Zα2 = nilai Z pada tabel sesuai nilai α = 1,96 L = presisi (bergantung pelepasan absolut yang dikehendaki) = 10% P = proporsi dari variabel yang ingin diteliti, adalah 28,1 % Nilai p yang diambil yaitu 28,1 % karena ditemukan prevalensi osteoarthritis di DKI Jakarta sebesar 28,1% menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 Q = 100% - 28,1% = 71,9% Jadi: N1 = (1,96)2 x 0,281 x 0,719) = 77,615 0,12 N2 = N1 + (10%. N1) = 77 + (10% . 77) = 85,376 dibulatkan menjadi 85 orang 3.5.2
Teknik pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel adalah dengan probability sampling secara multistage random sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni sehingga 21 Juni 2014 sebanyak 88 orang yang memenuhi kriteria inklusi.
3.5.3
Sumber Data Sumber data ini terdiri dari data primer, yaitu data yang diperoleh oleh peneliti yang diambil dari sampel dengan menggunakan kuesioner, melalui wawancara, 34
melakukan pengukuran BB (berat badan) dan TB (tinggi badan) pada laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat yang menderita osteoarthritis yang bersedia mengikuti penelitian menjadi sampel pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014. 3.5.2. Instrumen Penelitian Alat dan bahan yang diperlukan: i. ii. iii. iv. v.
Kuesioner Alat tulis Timbangan Pita ukur (300 cm) Penggaris (30 cm)
3.6. Cara Kerja 3.6.1 Peneliti meminta izin dan persetujuan dengan Kepala Puskesmas, Kepala Posyandu Lansia, dan Sekretaris Posyandu Lansia untuk melakukan penelitian pada RW 01, RT yaitu wilayah kerja Puskemas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamboran setelah dilakukan multistage random sampling dengan cara:
35
Tanjung Duren Selatan
Populasi LANSIA 11 org/RT x 14 RT x 7 RW = 1.078 org 11 org/RT x 14 RT = RW 01 * 154 org RT 01 *
RT 02 *
RT 03 *
RT 04
RT 05 *
RT 06 *
RT 07 *
RT 08 *
RT 09 *
RT 10
RT11 *
RT 12
RT 13 *
RT 14
RT 15 RW 02 RW 03 RW 04 RW 05 RW 06 RW 07
*Randomisasi dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pemilihan RW dan seterusnya pada pemilihan RT yang akan diteliti. Sebanyak 10 RT dipilih secara random berdasarkan jumlah penduduk laki-laki dan wanita ≥ 45 tahun yang didapatkan daripada data sensus di Posyandu Lansia RW 01. Sample frame subjek yang akan diteliti juga didapatkan dari Posyandu Lansia RW 01. 1. Pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi: a. Melakukan pengukuran indeks massa tubuh dengan mengukur tinggi badan dan berat badan subjek. b. Mewawancara subjek. c. Subjek mengisi kuesioner. 2. Dilakukan pengumpulan data: a. Diagnosa osteoarthritis b. Faktor yang berhubungan yaitu indeks massa tubuh, usia, jenis kelamin, gaya hidup, olahraga, sosioekonomi dan penyakit. 36
3. Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data. 4. Penulisan laporan penelitian. 5. Pelaporan penelitian. 3.7
Identifikasi Variabel Dalam penelitian ini digunakan variabel dependen (terikat) dan variabel independen (tidak terikat). 3.7.1 Variabel dependen adalah kejadian osteoarthritis yang diukur dengan cara wawancara, kuesioner, dan pemeriksaan fisik pada laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 3.7.2
Juni sehingga 21 Juni 2014. Variabel independen berupa indeks massa tubuh dan faktor yang berhubungan pad laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan
Tanjung
Duren
Selatan,
Kecamatan
Grogol
Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni sehingga 21 Juni 2014 yaitu usia, jenis kelamin, gaya hidup, olahraga, sosio ekonomi, dan penyakit. 3.8. Manajemen dan Analisis Data 3.8.1. Definisi Operasional 3.8.1.1 Subjek penelitian Definisi: Laki-laki dan wanita berumur ≥ 45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014 yang bersedia mengikuti penelitian. 3.8.1.2 Osteoarthritis Definisi: Subjek didiagnosis osteoarthritis berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) yaitu (1) nyeri lutut, dan memenuhi 3 dari hal berikut yaitu: (2) kaku sendi < 30 menit, (3) krepitus, (4) nyeri tulang, (5) pembengkakan tulang dan (6) tidak terasa hangat pada perabaan. Hal-hal ini dilakukan dengan cara mewawancara subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni hingga 21 Juni 2014. Cara ukur Alat ukur
: Wawancara : Kuesioner 37
Koding Skala
: Osteoarthritis (1) Tidak osteoarthritis (2) : Ordinal
3.8.1.3 Usia Definisi: Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung dari hari penelitian dikurangi tanggal lahir yang tertera dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni hingga 21 Juni 2014 yang masih berlaku. Bila terdapat kelebihan usia kurang dari enam bulan dibulatkan ke bawah, dan bila terdapat kelebihan usia lebih atau sama dengan enam bulan dibulatkan ke atas. Cara ukur : Wawancara dan KTP (kartu tinggal penduduk) Alat ukur : Kuesioner Koding
: Old aged, ≥ 75 tahun (1) Elderly aged, 60 – 74 tahun (2) Middle aged, 45 – 59 tahun (3)
Skala
: Interval
3.8.1.4 Jenis Kelamin Definisi: Sifat atau karakteristik sekunder yang dapat membedakan antara perempuan dan laki-laki pada subjek penelitian di subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni hingga 21 Juni 2014. Cara ukur : Wawancara, KTP (Kartu Tanda Penduduk) Alat ukur : Kuesioner Koding : Perempuan (1) Laki-laki (2) Skala
: Nominal
3.8.1.5 Indeks massa tubuh Definisi: Kondisi gizi subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni hingga 21 Juni 2014 yang penilaiannya diperoleh dari menimbang BB (berat badan) dalam nilai kilogram (kg) dibagi dengan TB (tinggi badan) dalam meter kuadrat (m2). Cara ukur: Diukur dengan menggunakan pengukuran BB dan TB, dan dihitung dengam rumus Indeks Massa Tubuh (IMT). Cara pengukuran berat badan: 38
1. 2.
Peneliti menyiapkan alat dan ditera terlebih dahulu. Pasien yang akan ditimbang harus memakai pakaian seminimal
3.
mungkin, sepatu atau sandal, isi kantong atau selendang harus dilepas. Pada saat ditimbang, pasien berdiri tepat di tengah timbangan dan
4.
menghadap ke depan. Pembacaan berat badan dilakukan dari depan persis di atas timbangan (mendekat ke jarum penunjuk) dan jangan melakukan pembacaan dari samping dengan ketelitian 0,1 kg.
Cara pengukuran tinggi badan : 1. Peneliti menyiapkan pita ukur yang sesuai standard (angka harus 2. 3. 4. 5. 6. 7.
jelas, mulai dari nol, tidak boleh elastis, di tempat yang rata) Lepaskan alas kaki dan topi atau penutup kepala yang dipakai pasien. Pasien yang diukur berdiri tegak lurus rapat ke dinding Posisi kepala, bahu belakang, pantat, tumit rapat ke dinding. Pandangan rata lurus ke depan sesuai bidang Frankfurt. Perhatikan kaki harus tegak tidak boleh bengkok. Tarik pita ukur dari tumit sampai kira-kira dibatas atas kepala, lalu ambil penggaris sebagai alat bantu dimana diletakan di atas kepala lalu samakan dengan tinggi pita ukur. Pastikan sisi pita ukur tetap
8. 9.
menempel rapat ke dinding. Lalu baca petunjuk di pita ukur. Pembacaan tinggi tersebut dilakukan dari arah depan tegak lurus dengan pita ukur dengan ketelitian 0,1 cm.
Penghitungan IMT adalah berdasarkan rumus IMT : Tinggi (m2) Berat (kg) Alat ukur Koding Skala
: pita ukur dan timbangan yang sudah ditera. : Obesity; ≥ 25,00 (1) Overweight; 23,00 – 24,90 (2) Normal; ≤ 22,90 (3) : Interval
3.8.1.6 Olahraga Definisi: Kebiasaan olahraga yaitu aktivitas fisik di luar pekerjaan dan aktivitas rutin sehari-hari berdasarkan tipe, frekuensi dan durasi olahraga di mana olahraga ideal adalah minimal 3 kali seminggu dan durasi 30 – 90 menit, manakala olahraga tidak ideal adalah kurang dari 3 kali seminggu atau durasi > 90 menit pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas 39
Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni hingga 21 Juni 2014. Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Koding : Tidak biasa olahraga (1) Tidak ideal (2) Ideal; (3) Skala : Ordinal 3.8.1.7 Pendidikan Definisi : Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal dari suatu institusi tertentu yang, mencakup tingkat SD yang sederajat, SMP atau yang sederajat, SMA atau yang sederajat, dan akademi/perguruan tinggi atau yang sederajat yang terakhir diselesaikan oleh responden. Pendidikan dibuat menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: pendidikan rendah, pendidikan sedang dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah jika responden mempunyai pendidikan mulai dari tidak bersekolal, tidak tamat sekolah dasar, tamat sekolah dasar dan tamat sekolah menengah pertama (SI\tr). Pendidikan menengah jika responden mempunyai pendidikan tamat sekolah menengah atas (SMA). Kategori pendidikan tinggi jika responden telah lulus dari perguruan tinggi. Cara ukur Alat ukur Koding
: Wawancara : kuesioner : pendidikan rendah (1) pendidikan sedang (2) pendidikan tinggi (3)
3.8.1.8 Pekerjaan Berat Kebiasaan melakukan pekerjaan yang sering berjongkok/ berlutut lebih 1 jam per hari, memanjat lebih 1 jam per hari, berdiri lebih 2 jam per hari, mengangkat beban lebih 10 kg atau lebih sekurang- kurangnya 1 kali per minggu, berjalan lebih 3 km per hari, naik turun tangga lebih 15 lantai per hari. Cara ukur Alat ukur Koding Skala
: Wawancara sama ada subjek ada melakukan faktor- faktor okupasional seperti yang telah disebutkan. : Kuesioner : Berisiko (1) Tidak berisiko (2) : Nominal
40
3.8.1.9 Gaya hidup Definisi : gaya hidup yang memperhatikan segala aspek kondisi kesehatan, mulai dari aspek makanan, minuman, nutrisi yang dikonsumsi dan perilaku kita sehari-hari yang dinilai pada subjek penelitian wilayah kerja Puskesmas Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat selama periode 12 Juni hingga 21 Juni 2014. Salah satu gaya hidup yang merupakan faktor resiko terjadinya osteoarthritis adalah merokok karena meningkatkan kandungan racun dalam darah dan mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, yang memungkinkan terjadinya kerusakan tulang rawan. Pada orang yang merokok memiliki resiko 2 kali lebih dari pada non-merokok untuk terjadinya Osteoarthritis. Perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang/hari. Perokok sedang mengisap 10–19 batang/hari, perokok berat 20-29 batang/hari dan perokok sangat berat jika lebih 30 batang/hari. Cara Ukur
: Wawancara
Alat Ukur
: Kuesioner
Koding
: Merokok = Berisiko (1) Tidak Merokok = Tidak berisiko (2)
Skala
: Nominal
3.8.1.10 Penyakit Definisi: Diabetes Mellitus: Anamnesis didapatkan ada riwayat DM sama ada tipe 1 ataupun tipe 2. Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Koding : Diabetes mellitus (1) Tidak diabetes mellitus (2) Skala : Nominal
3.8.2. Pengolahan data Terhadap data-data yang telah dikumpulkan akan dilakukan pengolahan berupa proses editing, verifikasi, dan coding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program komputer, yaitu program SPSS Version 16.00. 41
3.8.3. Penyajian data Data yang didapat disajikan dengan tekstular dan tabular. 3.8.4. Analisis data Terhadap data yang telah diolah akan dilakukan analisis data secara univariat, dan bivariat
dengan menggunakan cara uji non-parametrik, yaitu dengan
menggunakan Chi-Square test. 3.8.5. Interpretasi data Data diinterpretasikan secara deskriptif analitik antar variabel-variabel yang telah ditentukan. 3.8.6. Pelaporan data Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan dipresentasikan di hadapan Staf Pengajar Program Pendidikan Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (FK UKRIDA) pada hari Jum’at tanggal 27 Juni 2014, dalam forum pendidikan Ilmu Kesehatan Komunitas FK UKRIDA. 3.9
Etika Penelitian Pada penelitian ini subjek di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada periode 12 Juni sampai 21 Juni 2014 diberikan jaminan bahwa data-data yang mereka berikan dijamin kerahasiaannya dan berhak menolak untuk menjadi sampel.
Bab IV Hasil Penelitian 4.1 Gambran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan adalah Puskesmas Kelurahan yang terletak di Kelurahan Tanjung Duren Selatan Kecamatan Grogol Petamburan, daerah Jakarta Barat. Wilayah kerjanya mencakupi penduduk dari Kelurahan Tanjung Duren Selatan yang mana memiliki 7 RW dan masing-masing RW mengetuai kurang lebih 15 42
sampai 20 RT. Sampel penelitian yang diambil sebanyak 88 subjek setelah dilakukan multistage random sampling. 4.2 Analisis Univariat Gambaran Karakteristik Sampel Berdasarkan hasil pengukuran variabel dan hasil kuesioner, diperoleh hasil gambaran karakteristik responden yang terdapat pada tabel-tabel di bawah ini. Tabel 4.2.1. Sebaran Indeks Massa Tubuh pada Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan dari tanggal 12 Juni sampai 21 Juni 2014. Indeks massa tubuh Obesity Overweight Normal
Frekuensi 25 27 36
Persentase (%) 28,4 30,7 40,9
Tabel 4.2.2. Sebaran Kejadian Osteoarthritis pada Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan dari tanggal 12 Juni sampai 21 Juni 2014. Kejadian osteoarthritis Osteoarthritis Tidak osteoarthritis
Frekuensi 38 50
Persentase (%) 43,2 56,8
Tabel 4.2.3. Sebaran Usia, Jenis Kelamin, Kebiasaan Olahraga, Pendidikan, Pekerjaan, Gaya Hidup, dan Penyakit pada Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan dari tanggal 12 Juni sampai 21 Juni 2014. Variabel
Frekuensi 11
Persentase (%) 12,5
Elderly aged
20
22,7
Jenis kelamin
Middle aged Perempuan
57 51
64,8 58,0
Kebiasaan olahraga
Laki-laki Tidak biasa
37 35
42,0 39,8
olahraga
29
33,0
Tidak ideal
24
27,3
Ideal Rendah
41
46,6
Usia
Pendidikan
Old aged
43
Sedang
26
29,5
Pekerjaan
Tinggi Berisiko
21 47
23,9 53,4
Gaya hidup
Tidak berisiko Berisiko
41 23
46,6 26,1
Penyakit
Tidak berisiko Diabetes mellitus
65 17
73,9 19,3
71
80,7
Tidak diabetes mellitus
4.3. Analisis Bivariat Tabel 4.3.1. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Osteoarthritis pada Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan dari tanggal 12 Juni sampai 21 Juni 2014. Variabel
Kejadian osteoarthritis Osteoarthritis Tidak
Total
Uji
P
Ho
25
X2 =
P<0,05
Ditolak
0,008
Indeks
Obese
16
osteoarthritis 9
massa tubuh
Overweight
13
14
27
Normal
9
27
36
38
50
88
Total
44
Tabel 4.3.2. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Kebiasaan Olahraga, Pendidikan, Pekerjaan, Gaya Hidup, dan Penyakit dengan Kejadian Osteoarthritis pada Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan dari tanggal 12 Juni sampai 21 Juni 2014. Variabel
Kejadian osteoarthritis Osteoarthritis Tidak
Total
Uji
Old aged
8
osteoarthritis 3
Elderly aged
13
7
20
X2 =
Middle aged
17
40
57
0,003
Perempuan
22
29
51
X2 =
Laki-laki
16
21
37
1,000
Kebiasaan
Tidak biasa
17
18
35
olahraga
Tidak ideal
11
18
29
X2 =
Ideal
10
14
24
0,683
Rendah
15
26
41
Sedang
13
13
26
X2 =
Tinggi
10
11
21
0,500
Usia
Jenis kelamin
Pendidikan
45
11
P
Ho
P<0,05
Ditolak
P>0,05
Diterima
P>0,05
Diterima
P>0,05
Diterima
Pekerjaan
Berisiko
28
19
47 X2 =
Tidak
Gaya hidup
berisiko
10
31
41
Berisiko
12
11
23
P<0,05
Ditolak
P>0,05
Diterima
P>0,05
Diterima
X2 =
Tidak
Penyakit
0,002
berisiko
26
39
65
0,442
DM
11
6
17
X2 =
Tidak DM
27
44
68
0,085
Bab V Pembahasan 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan tabel 4.2.1, diketahui frekuensi dan persentase subjek penelitian berdasarkan indeks massa tubuh. Sebanyak 28,4% subjek dengan obesitas, 30,7% subjek dengan berat badan berlebihan (overweight), dan 40,9% subjek dengan indeks massa tubuh normal. Persentase ini lebih tinggi dari data Riskesdas 2013, yaitu prevalensi overweight dan obesitas Indonesia masing-masing 13,5% dan 15,4%. Perbedaan angka ini mungkin disebabkan perbedaan lokasi atau tempat, serta perbedaan populasi terjangkau penelitian ini yang merupakan laki-laki dan perempuan ≥ 45 tahun manakala untuk Riskesdas, populasi terjangkau adalah laki-laki dan perempuan ≥ 18 tahun. Berdasarkan tabel 4.2.2 diketahui frekuensi dan persentase kejadian osteoarthritis pada subjek penelitian adalah 43,2%. Persentase ini lebih tinggi yaitu dua kali lipat dari prevalensi osteoarthritis nasional (Riskesdas 2013) yaitu 21,8%. Perbedaan angka ini dapat disebabkan disebabkan populasi terjangkau penelitian ini yang merupakan lakilaki dan perempuan ≥ 45 tahun manakala untuk Riskesdas, populasi terjangkau adalah laki-laki dan perempuan ≥ 25 tahun. Terdapat juga faktor-faktor yang dapat berpengaruh ke atas populasi terjangkau penelitian ini seperti tempat penelitian, 46
pekerjaan, pendidikan, penyakit, kebiasaan olahraga, dan gaya hidup yang mungkin berbeda dari populasi terjangkau pada Riskesdas 2013. Berdasarkan tabel 4.2.3, diketahui frekuensi dan persentase subjek penelitian menurut usia, jenis kelamin, kebiasaan olahraga, pendidikan, pekerjaan, gaya hidup, dan penyakit. Menurut usia, didapatkan subjek penelitian old aged (≥75 tahun) 12,5%, elderly aged (60-74 tahun) 22,7% dan middle aged (45-59 tahun) 64,8%. Menurut jenis kelamin didapatkan 58,0% perempuan dan 42,0% laki-laki. Menurut kebiasaan olahraga, 39,8% tidak biasa olahraga, 33,0% dengan olahraga tidak ideal, dan 27,3% subjek dengan olahraga ideal,. Menurut tingkat pendidikan, 46,6% subjek dengan tingkat pendidikan rendah, 29,5% pendidikan sedang, dan 23,9% dengan tingkat pendidikan tinggi. Menurut pekerjaan, persentase subjek dengan pekerjaan berisiko dan tidak berisiko masing-masing didapatkan 53,4% dan 46,6%. Menurut gaya hidup, persentase subjek dengan gaya hidup berisiko dan tidak berisiko masing-masing didapatkan 26,1% dan 73,9%. Manakala menurut penyakit, persentase subjek yang diabetes mellitus dan tidak diabetes mellitus masing-masing 19,3% dan 80,7%. 5.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan dan besar risiko dari masingmasing faktor risiko (variabel bebas) dengan kejadian OA (variabel terikat). Berdasarkan table 4.3.1, dengan menggunakan analisis Chi Squared Test, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) terbukti berhubungan dengan OA dengan nilai X2 = 0,008, yaitu P<0,05, maka kita menolak hipotesis nol. Berat badan yang semakin tinggi terbukti sebagai faktor risiko OA apabila didapatkan odd ratio bagi berat badan obese (5.33) adalah lebih besar berbanding overweight (2.79). Perhitungan OR ini dilakukan dengan menjadikan indeks massa tubuh normal sebagai baseline. Hasil statistik ini sesuai dengan studi di Chingford menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA lutut secara radiografik meningkat sebesar 1,36 poin.15 Dari penelitian didapatkan usia lanjut merupakan factor risiko untuk OA. Berdasarkan tabel 4.3.2, hasil analisis statistik didapatkan X2 = 0,003, yaitu P<0,05, maka hipotesis nol ditolak. Usia yang lebih muda merupakan factor protektif OA apabila didapatkan odd ratio untuk old age adalah lebih besar berbanding elderly age. Dapat dilihat bahwa 47
semakin lanjut usia, risiko untuk OA semakin tinggi. Hasil analisis statistik yang didapatkan adalah sesuai dengan hasil penelitian Riskesdas 2013 yang menyatakan prevalensi penyakit sendi meningkat seiring dengan pertambahan umur, demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala. 3 Hasil ini juga sesuai dengan studi Framingham menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63 –70 tahun memiliki bukti radiografik menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih. Studi lain membuktikan bahwa risiko seseorang mengalami gejala timbulnya OA lutut adalah mulai usia 50 tahun.
Hasil analisis statistic menunjukkan jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian OA. Berdasarkan tabel 4.3.2, menunjukkan nilai X2 = 1,00 yaitu P>0,05, maka hipotesis nol diterima. Jenis kelamin perempuan maupun laki- laki tidak terbukti sebagai factor protektif terhadap OA, apabila didapatkan nilai odd ratio kurang dari 1. Hasil penelitian yang didapatkan ini berbeda dengan hasil yang didapatkan pada Riskesdas 2013 yang menyatakan prevalensi lebih tinggi pada perempuan (13,4% ) berbanding laki- laki (10,3%), demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala pada perempuan (27,5%) lebih tinggi dari laki-laki (21,8%). Walau bagaimanapun, hasil yang didapatkan Riskesdas antara laki-laki dan perempuan ini tidak banyak perbedaan persentasenya (5,7%).3 Hasil penelitian yang didapatkan bisa juga terjadi karena kita tidak mengkategorikan jenis kelamin dengan umur, karena menurut refernsi, prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun.7,11 Dari table 4.3.2, kebiasaan olahraga tidak berhubungan dengan OA. Dari analisis statistik didapatkan X2 = 0,683, yaitu P>0,05, maka hipotesis nol diterima. Walaupun tidak ada hubungan dengan OA, namun dari perhitungan odd ratio didapatkan berolahraga walaupun secara tidak ideal merupakan faktor protektif terhadap OA, berbanding individu yang memang tidak biasa berolahraga. Nilai odd ratio yang didapatkan adalah untuk olahraga walaupun tidak ideal adalah 0,86 (OR<1) berbanding yang tidak biasa berolahraga 1,32 (OR>1). Factor protektif yang 48
didapatkan ini sesuai dengan data Riskesdas 2013 yang menyatakan kecenderungan prevalensi penyakit sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara tahun 2013 (24,7%) lebih rendah dibanding tahun 2007 (30,3%). Kecenderungan penurunan prevalensi diasumsikan kemungkinan perilaku penduduk yang sudah lebih baik, seperti berolah raga dan pola makan. Di sini terjadi kesalahan tipe β, apabila olahraga merupakan faktor risiko, namun didapatkan tidak ada hubungan. Kesalahan tipe ini terjadi mungkin karena nilai α yang digunakan (5%) adalah tidak begitu kecil.3 Faktor pendidikan juga didapatkan tidak berhubungan dengan OA. Berdasarkan table 4.3.2, hasil analisis statistik menunjukkan faktor pendidikan dengan nilai X2 = 0,50, yaitu P>0,05, maka hipotesis nol diterima, yang menunjukkan tidak ada hubungan dengan variable dependen (OA). Dari perhitungan odd ratio pendidikan sedang maupun pendidikan tinggi tidak terbukti sebagai faktor protektif terhadap OA apabila kedua- dua OR didapatkan kurang dari 1. Perhitungan odd ratio adalah dengan menggunakan pendidikan rendah sebagai baseline. Hal ini tidak bersesuaian dengan hasil yang didapatkan dari Riskesdas 2013 yang menyatakan prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (24,1%) maupun diagnosis nakes atau gejala (45,7%).3 Hasil yang didapatkan ini bias jadi karena adanya factor perancu lain. Sebagai contoh, walaupun sampel berpendidikan tinggi tapi sekiranya dia berusia lanjut (OR lebih besar), akan mempengaruhi hasil penelitian.
Riwayat pekerjaan berat didapatkan ada hubungan dengan OA (p<0,05) dari hasil analisis statistic pada table 4.3.2, didapatkan X2 = 0,002, dengan nilai P<0,05. Hipotesis nol ditolak, maka terdapatnya hubungan antara riwayat pekerjaan berat dengan OA. Pekerjaan berat merupakan faktor risiko untuk OA apabila didapatkan odd ratio 4,57. Hasil ini sesuai dengan yang didapatkan dari Riskesdas 2013 yang mendapatkan prevalensi tertinggi pada individu dengan pekerjaan berat seperti pekerjaan petani/nelayan/buruh baik yang didiagnosis nakes (15,3%) maupun diagnosis nakes atau gejala (31,2%). Gaya hidup merokok secara statistic tidak mempunyai hubungan dengan OA. Hal ini ditunjukkan pada tabel 4.3.2, apabila nilai X2 = 0,442, dengan P>0,05, maka hipotesis 49
nol diterima. Walau bagaimanapun, gaya hidup yang tidak merokok merupakan faktor protektif terhadap OA dengan odd ratio 1,64. Riwayat adanya penyakit Diabetes Mellitus (DM) secara statistik didapatkan tidak berhubungan dengan OA apabila hasil uji statistic X2 = 0,085, yaitu nilai P>0,05. Maka hipotesis nol diterima, yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara riwayat DM dengan OA. Tidak pernah memiliki riwayat DM merupakan faktor protektif terhadap OA apabila didapatkan nilai odd ratio 2,99 sekiranya DM. Faktor protektif yang diperoleh ini sesuai dengan beberapa penelitian yang mendapatkan bahwa DM tipe 2 merupakan faktor prediktor terhadap OA berat, independen terhadap faktor umur dan IMT. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa terdapat komponen metabolik yang kuat sebagai patogenesis OA.12 Ringkasan hasil perhitungan odd ratio ditampilkan pada jadwal di bawah ini: No
Variable
Odd ratio (OR)
1
IMT obese
5,33
IMT overweight
2,79
Usia old age
6,27
Usia elderly age
4,37
3
Jenis kelamin perempuan
0,996
4
Tidak biasa berolahraga
1,32
2
Kebiasaan olahraga tidak 0,86 ideal 5
Pendidikan sedang
0,57
Pendidikan tinggi
0,63
6
Pekerjaan berat
4,57
7
Gaya hidup merokok
1,64
8
Riwayat DM
2,99
50
Bab VI Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan 6.1.1 Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan
Grogol
Petamburan,
Jakarta
Barat
mempunyai
kejadian
Osteoarthritis sebesar 43,2%, dan yang tidak Osteoarthritis sebesar 56,8%. 6.1.2 Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat memiliki indeks massa tubuh (IMT) sebanyak 40,9% normal, 30,7% overweight dan 28,4% obesitas. 6.1.3 Mayoritas Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat adalah berusia antara 45 s/d 59 tahun 64,8%, 58,0% jenis kelamin perempuan, 39,8% tidak biasa melakukan olahraga, 46,6% berpendidikan rendah, 53,4% melakukan pekerjaan yang berisiko mengalami Osteoarthritis, 73,9% memiliki gaya hidup tidak merokok, dan 80,7% tidak memiliki penyakit Diabetes Mellitus. 6.1.4 Ada hubungan bermakna antara Indeks Massa Tubuh, pekerjaan, dan usia dengan kejadian Osteoarthritis di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. 6.1.5 Tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin, olahraga, pendidikan, penyakit dan gaya hidup di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. 6.2 Saran 6.2.1 Saran terhadap penduduk Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan ; 6.2.1.1 Bagi seluruh penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, diharapkan dapat mengurangi asupan makanan yang tinggi lemak dalam satu hari sehingga resiko osteoarthritis dapat dicegah dan lebih mengamati pola 51
makan sehari-hari dengan menerapkan prinsip “3 J” yaitu jenis, jumlah dan jadwal makan supaya dapat mencapai serta mempertahankan berat badan normal. 6.2.1.2 Bagi seluruh peduduk yang mempunyai faktor resiko yang tidak dapat diubah seperti usia ≥45 tahun seharusnya menghindari faktor-faktor resiko yang lainnya agar mengurangi resiko untuk terjadinya osteoarthritis. 6.2.1.3 Bagi seluruh penduduk, diharapkan dapat menerapkan pola hidup yang baik yaitu dengan berolahraga secara ideal >30 menit setiap hari. 6.2.1.4 Bagi seluruh penduduk, diharapkan untuk mengurangi membawa beban berat pada pekerjaan sehari-hari agar mengurangi kejadian osteoarthritis. 6.2.2 Saran yang diberikan kepada Kepala Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan Kecamatan Grogol Petamburan. 6.2.2.1 Perlunya peningkatan peran serta program promosi kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan penduduk terhadap indeks massa tubuh dan kejadian osteoarthritis. 6.2.2.2 Perlunya peningkatan usaha puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam pengukuran berat badan serta tinggi badan terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas. 6.2.2.3 Agar dapat meningkatkan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya indeks massa tubuh melalui cara edukasi terhadap pasien yang datang berobat dan penyuluhan perkelompok.
52
Daftar Pustaka 1. Louise M, Todd AS, Charles GH, Jordan BR. Lifetime risk of symptomatic knee osteoarthritis. Arthritis & Rheumatism. Vol.59, No.9, September 15, 2008. 2. Mariel MF, Gretchen AS, Melanie JC, Goodarz D. National, regional, and global trends in body-mass index since 1980: systematic analysis of health examination surveys and epidemiological studies with 960 country-years and 9·1 million participants. The Lancet. Vol 377, February 2011. 3. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan pemgembangan kesehatan kementrian kesehatan RI; 2013. 4. Poole A.R. Cartilage in Health and Disease. In : Arthritis and Allied Conditions. Text Book of Rheumatology. 4th Edition. Editor : Koopman W.J. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia, 2001 : 226 – 284 5. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States of America: McGraw-Hill; 2008. p. 2158-65 6. Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diagnosis & Treatment 2013. United States of America: Lange McGraw Hill; 2013. P. 729-31 7. Haq I., Murphy E., Dacre J. Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 2003; 79 : 377 – 383 8. Price SA, Wilson LM. Patophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes, 6th Edition. United States of America: Elsevier Science; 2003. p. 1218-23 9. Moskowitz RW. Osteoarthritis: Diagnosis and Medical/surgical Management. United States of America: Lippincott Wilkins & Wilkins; 2007. p. 140-62 10. Susan V Garstand, MD and Todd P Stitik. American Journal of Physical Medicine and Rehabilitation November 2006; Vol. 85, No. 11: pp. S2-S11 11. Dunlop DD, Song J, Semanik PA. Relation of physical activity time to incident disability in community dwelling adults with or at risk of knee arthritis: prospective cohort study. British Medical Journal 2014; 348: g2472 12. Heidari B. Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and features: Part I. Caspian J Intern Med 2011; 2(2):205-212 13. Yoo JH, Sawan H, Parvizi J. Genetics of common musculoskeletal disorders in adults. Orthopedic Muscul Sys S2:S2- 009. Doi: 10.4172/2161-0533.S2-009. 14. Panagiotis L, Andreas P, Emmanouil K, Maria T, Dimitrios K. Association of MMP-11607 1G/2G (rs1799750) polymorphism with primary knee osteoarthritis in the Greek population. Journal of Orthopaedic Research. May 2014. Doi: 10.1002/jor.22647. 15. Bonnie JB, Randy JS, Stephen RD, David AD. A rendomized trial comparing a very low carbohydrate diet and a calorie- restricted low fat diet on body weight and 53
cardiovascular risk factors in healthy women. The Journal of clinical endocrinology & metabolism. . July 02, 2013 16. Daniel Bessesen, MD, James Hill, MD, and Holly Wyatt, MD. Hormones and Obesity. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. Volume 89. Issue 4 - April 1, 2004 17. Abramof N, Apovian CM. Drug-induced weight gain. Timely Top Med Cardiovasc Dis. 2005 Oct 28;9:E31
54
Lampiran
Lembar Kuesioner Penelitian Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Osteoarthritis dan Faktor yang Berhubungan di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat, Periode Juni 2014 No. Kuesioner: Tanggal: 55
Jawaban pada kuesioner ini akan dirahasiakan. Mohon Ibu/Bapak menjawab dengan sejujurnya. Data Umum Responden 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Jenis Kelamin Tanggal lahir/Umur Alamat : Pekerjaan: PNS
Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Indeks massa tubuh
: : :
(kg/m2)
Pegawai Swasta Wiraswasta Pensiun Lain-lain………………………………… (tuliskan) Tidak bekerja
Berikan tanda ceklist pada jawaban yang anda pilih di kolom yang sudah disediakan. Osteoarthritis 1. Apakah anda merasakan nyeri pada lutut? 2
Ya
Tidak Apakah anda merasakan kekakuan pada sendi? Jika ya, < 30 menit
selama berapa menit? ≥ 30 menit 3. Apakah anda merasakan seperti bunyi kretek-kretek Ya ketika berjalan atau beraktivitas? 4. Apakah anda merasakan nyeri tulang?
Tidak Ya
5. Apakah anda merasakan pembengkakan pada sendi?
Tidak Ya
6. Apakah sendi tersebut terasa hangat pada perabaan?
Tidak Ya Tidak
Gaya hidup 7. Apakah Anda mempunyai kebiasaan merokok ?
1. Ya 2. Dulu merokok 3. Tidak Jika 1 atau 2, tanyakan sejak kapan ? Tahun ............ s/d ............. ( ............ th )
56
Olahraga 8.
Apakah Anda biasa melakukan kegiatan olah raga? (jika tidak, lanjut ke pertanyaan nomor 14) Apabila ya, berapa kali seminggu?
Ya Tidak 9. < 3 kali/minggu 3 kali seminggu > 3 kali seminggu 10. Setiap kali olahraga, berapa lama waktu yang < 30 menit digunakan? 30– 90 menit >90 menit 11. Jenis olahraga apa yang sering dilakukan? (joging, Sebutkan……………... senam, lari, jalan kaki, tenis, bersepeda, badminton, ………………………. renang, fitness, dll) ………………………. ………………………. 12. Berapa lama/ sejak kapan anda melakukan olahraga Sebutkan……………... tersebut? ……………………….. Tingkat pendidikan Pendidikan terakhir (tanda salah satu): Tidak bersekolah (
)
SD (
)
D3 (
)
S2 (
)
)
S1 (
SMP/ SLTP ( )
SMA/ SMK/ SLTA ( )
Pekerjaan 13. Adakah anda sering bekerja mengangkat beban berat?
Jarang Sering
14. Berat beban yang biasa dibawa
< 10 kg 10- 50 kg
15. Adakah anda sering membawa berat tersebut lebih dari 1 kali setiap minggu?
Ya Tidak
16. Adakah anda sering bekerja dengan berjongkok/ berlutut lebih 1 jam per hari?
Ya Tidak
17. Adakah anda sering memanjat lebih dari 1 jam per hari?
Ya Tidak
18. Adakah anda sering berdiri lebih 2 jam per hari?
Ya
57
Tidak 19. Adakah anda sering berjalan lebih 3 km per hari?
Ya Tidak
20. Adakah anda sering naik turun tangga sehingga 15 lantai tiap hari?
Ya Tidak
Penyakit Adakah anda pernah didiagnosa penyakit Diabetes Mellitus? Ya (
)
tidak
(
)
Data SPSS
58
IMT Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
18.7
5
5.7
5.7
5.7
18.8
2
2.3
2.3
8.0
19
2
2.3
2.3
10.2
19.8
3
3.4
3.4
13.6
20
1
1.1
1.1
14.8
20.1
1
1.1
1.1
15.9
20.3
1
1.1
1.1
17.0
20.4
1
1.1
1.1
18.2
20.5
3
3.4
3.4
21.6
20.8
1
1.1
1.1
22.7
21.2
3
3.4
3.4
26.1
21.6
3
3.4
3.4
29.5
22
1
1.1
1.1
30.7
22.1
3
3.4
3.4
34.1
22.4
4
4.5
4.5
38.6
22.5
2
2.3
2.3
40.9
22.8
3
3.4
3.4
44.3
22.9
1
1.1
1.1
45.5
23
5
5.7
5.7
51.1
23.4
3
3.4
3.4
54.5
23.7
1
1.1
1.1
55.7
24
3
3.4
3.4
59.1
24.1
2
2.3
2.3
61.4
24.2
1
1.1
1.1
62.5
24.3
2
2.3
2.3
64.8
24.4
4
4.5
4.5
69.3
24.6
1
1.1
1.1
70.5
24.7
1
1.1
1.1
71.6
25.5
1
1.1
1.1
72.7
25.7
1
1.1
1.1
73.9
59
IMT Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Obese
25
28.4
28.4
28.4
Over weight
27
30.7
30.7
59.1
Normal
36
40.9
40.9
100.0
Total
88
100.0
100.0
IMT Descriptive Statistical Analysis
N
Valid
88
Missing
0
Mean
24.0750
Median
23.0000 18.70a
Mode Std. Deviation Variance
4.06536 16.527
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
OA Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Osteoarthritis
38
43.2
43.2
43.2
Tidak Osteoarthritis
50
56.8
56.8
100.0
Total
88
100.0
100.0
60
Usia Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
45
6
6.8
6.8
6.8
47
6
6.8
6.8
13.6
48
2
2.3
2.3
15.9
49
6
6.8
6.8
22.7
50
4
4.5
4.5
27.3
51
5
5.7
5.7
33.0
52
2
2.3
2.3
35.2
53
3
3.4
3.4
38.6
54
2
2.3
2.3
40.9
55
7
8.0
8.0
48.9
56
3
3.4
3.4
52.3
57
5
5.7
5.7
58.0
58
5
5.7
5.7
63.6
59
1
1.1
1.1
64.8
60
1
1.1
1.1
65.9
63
1
1.1
1.1
67.0
65
4
4.5
4.5
71.6
68
2
2.3
2.3
73.9
69
2
2.3
2.3
76.1
70
3
3.4
3.4
79.5
71
3
3.4
3.4
83.0
72
2
2.3
2.3
85.2
73
2
2.3
2.3
87.5
75
1
1.1
1.1
88.6
76
1
1.1
1.1
89.8
77
2
2.3
2.3
92.0
78
2
2.3
2.3
94.3
81
1
1.1
1.1
95.5
83
2
2.3
2.3
97.7
85
1
1.1
1.1
98.9
61
Usia Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Old aged
11
12.5
12.5
12.5
Elderly aged
20
22.7
22.7
35.2
Middle aged
57
64.8
64.8
100.0
Total
88
100.0
100.0
Usia Descriptive Statistical Analysis
N
Valid
88
Missing
0
Mean
59.1364
Median
56.0000
Mode
55.00
Std. Deviation Variance
1.12180E1 125.843
JenisKelamin Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Perempuan
51
58.0
58.0
58.0
Laki-laki
37
42.0
42.0
100.0
Total
88
100.0
100.0
62
Olahraga Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Tidak biasa
35
39.8
39.8
39.8
Tidak ideal
29
33.0
33.0
72.7
Ideal
24
27.3
27.3
100.0
Total
88
100.0
100.0
Pendidikan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Pendidikan rendah
41
46.6
46.6
46.6
Pendidikan sedang
26
29.5
29.5
76.1
Pendidikan tinggi
21
23.9
23.9
100.0
Total
88
100.0
100.0
GayaHidup Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Berisiko
23
26.1
26.1
26.1
Tidak berisiko
65
73.9
73.9
100.0
Total
88
100.0
100.0
Penyakit Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Diabetes Mellitus
17
19.3
19.3
19.3
Tidak Diabetes Mellitus
71
80.7
80.7
100.0
Total
88
100.0
100.0
63
IMT* OA Crosstab Tidak Osteoarthritis IMT
Osteoarthritis
Obese
16
9
25
Over weight
13
14
27
9
27
36
38
50
88
Normal Total
IMT*OA Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
9.538a
2
.008
Likelihood Ratio
9.800
2
.007
Linear-by-Linear Association
9.330
1
.002
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.80.
Usia*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis Usia
Old aged
Osteoarthritis 8
3
11
Elderly aged
13
7
20
Middle aged
17
40
57
38
50
88
Total
Usia*OA Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
11.939a
2
.003
Likelihood Ratio
12.095
2
.002
Linear-by-Linear Association
10.819
1
.001
N of Valid Cases
88
64
Usia*OA Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
11.939a
2
.003
Likelihood Ratio
12.095
2
.002
Linear-by-Linear Association
10.819
1
.001
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.75.
JenisKelamin*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis JenisKelamin
Total
Osteoarthritis
Perempuan
22
29
51
Laki-laki
16
21
37
38
50
88
65
JenisKelamin*OA Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
.000a
1
.992
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.000
1
.992
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.000
N of Valid Casesb
1
.992
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.98. b. Computed only for a 2x2 table
Olahraga*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis Olahraga
Osteoarthritis
Tidak biasa
17
18
35
Tidak ideal
11
18
29
Ideal
10
14
24
38
50
88
Total
Olahraga*OA Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
.763a
2
.683
Likelihood Ratio
.763
2
.683
Linear-by-Linear Association
.354
1
.552
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.36.
66
.582
Pendidikan*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis Pendidikan
Osteoarthritis
Pendidikan rendah
15
26
41
Pendidikan sedang
13
13
26
Pendidikan tinggi
10
11
21
38
50
88
Total
Pendidikan*OA Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
df
sided)
1.388a
2
.500
1.394
2
.498
.927
1
.336
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.07.
Pekerjaan*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis Pekerjaan
Total
Osteoarthritis
Berisiko
28
19
47
Tidak berisiko
10
31
41
38
50
88
67
Pekerjaan*OA Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
11.049a
1
.001
9.661
1
.002
11.377
1
.001
Fisher's Exact Test
.001
Linear-by-Linear Association
10.923
N of Valid Casesb
1
.001
.001
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.70. b. Computed only for a 2x2 table
GayaHIdup*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis GayaHidup
Osteoarthritis
Berisiko
12
11
23
Tidak berisiko
26
39
65
38
50
88
Total
GayaHIdup*OA Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
1.026a
1
.311
.590
1
.442
1.020
1
.313
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.337 1.015
1
.314
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.93. b. Computed only for a 2x2 table
68
.221
Penyakit*OA Crosstab Tidak Osteoarthritis Penyakit
Osteoarthritis
Diabetes Mellitus
11
6
17
Tidak Diabetes Mellitus
27
44
71
38
50
88
Total
Penyakit*OA Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
3.979a
1
.046
Continuity Correctionb
2.966
1
.085
Likelihood Ratio
3.961
1
.047
Fisher's Exact Test
.059
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
3.933
1
.043
.047
88
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.34. b. Computed only for a 2x2 table
Data SPSS Tabel 5.2.1 Odd Ratio antara IMT Overweight dengan IMT Normal pada Kejadian Osteoarthritis IMT
Total
Odd ratio
Overweight
Osteoarthritis + 13 14
27
2.79
Normal
9
27
36
Total
22
41
63
Tabel 5.2.2 Odd Ratio antara IMT Obese dengan IMT Normal pada Kejadian Osteoarthritis IMT
Osteoarthritis 69
Total
Odd ratio
Obese
+ 16
9
25
Normal
9
27
36
Total
25
36
61
5.33
Tabel 5.2.3 Odd Ratio antara Usia Old Age dengan Usia Middle Age pada Kejadian Osteoarthritis Usia tua
Total
Odd ratio
Old age
Osteoarthritis + 8 3
11
6.27
Middle age
17
40
57
Total
25
43
68
Tabel 5.2.4 Odd Ratio antara Usia Elderly Age dengan Usia Middle Age pada Kejadian Osteoarthritis pada Kejadian Osteoarthritis Usia tua
Total
Odd ratio
Elderly age
Osteoarthritis + 13 7
20
4.37
Middle age
17
40
57
Total
30
47
77
Tabel 5.2.5 Odd Ratio antara Jenis Kelamin Perempuan dengan Jenis Kelamin Laki-laki pada Kejadian Osteoarthritis pada Kejadian Osteoarthritis
Jenis kelamin
Osteoarthritis + -
Total
Odd
Perempuan
22
29
51
ratio 0.996
Laki- laki
16
21
37
Total
38
50
88
Tabel 5.2.6 Odd Ratio antara Tidak Biasa Olahraga dengan Olahraga Ideal Kejadian Osteoarthritis
Olahraga Tidak biasa
Osteoarthritis + -
Total
Odd
17
35
ratio 1.32
18 70
Ideal
10
14
24
Total
27
32
59
Tabel 5.2.7 Odd Ratio antara Olahraga Tidak Ideal dengan Olahraga Ideal Kejadian Osteoarthritis
Olahraga
Osteoarthritis + -
Total
Odd
Tidak ideal
11
18
29
ratio 0.86
Ideal
10
14
24
Total
21
32
53
Tabel 5.2.8 Odd Ratio antara Pendidikan Tinggi dengan Pendidikan Rendah Kejadian Osteoarthritis
Pendidikan
Osteoarthritis
Total
Odd ratio
+
-
Rendah
15
26
41
Tinggi
10
11
21
Total
35
37
62
0.63
Tabel 5.2.9 Odd Ratio antara Pendidikan Sedang dengan Pendidikan Rendah Kejadian Osteoarthritis
Pendidikan
Osteoarthritis
Total
ratio
+
-
Rendah
15
26
41
Sedang
13
13
26
Total
28
39
67
71
Odd
0.57
Tabel 5.2.10 Odd Ratio antara Pekerjaan Berat dengan Pekerjaan Tidak Berat Rendah Kejadian Osteoarthritis
Pekerjaan berat Osteoarthritis + -
Total
Odd
Berat
28
19
47
ratio 4.57
Tidak berat
10
31
41
Total
38
50
88
Tabel 5.2.11 Odd Ratio antara Gaya Hidup Merokok dengan Gaya Hidup Tidak Merokok Rendah Kejadian Osteoarthritis
Gaya hidup
Osteoarthritis
Total
Odd ratio
+
-
Merokok
12
11
23
Tidak merokok
26
39
65
Total
38
50
88
1.64
Tabel 5.2.10 Odd Ratio antara Penyakit Diabetes Mellitus dengan Tidak Diabetes Mellitus Kejadian Osteoarthritis
Riwayat DM
Osteoarthritis + -
Total
Odd
DM
11
6
17
ratio 2.99
Tidak DM
27
44
71
Total
38
50
88
72