31
Edisi
The WAHID Institute
Monthly Report
Februari 2011
on Religious Issues
Pengantar Redaksi
Minggu Berdarah di Cikeusik Oleh: Nurun Nisa’ dan Alamsyah M. Dja’far
Rasanya belum habis duka kita untuk tragedi Cikeusik, sudah meledak kerusuhan di Temanggung. Disusul lagi dengan penyerangan Pesantren YAPI di Bangil. Tiga Jawa—Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur— benar-benar dilanda prahara. Di antara mereka terdapat korban meninggal, puluhan terluka, dan beberapa aset rusak. Sungguh menyesakkan dada karena semua terjadi di antara sesama bangsa Indonesia. Aparat harus bertindak tegas dalam soal ini. Jika tidak, bukan mustahil peristiwa ini bisa merembet kemana-mana. Pemerintah juga mesti melaksanakan tanggung jawabnya untuk melindungi seluruh warganya tanpa membedakan perbedaan agama dan keyakinan. Upaya aparat dan pemerintah daerah Tasikmalaya yang sigap dalam sweeping Ahmadiyah layak mendapat perhatian. Dari mereka terbit harapan kita bahwa di masa depan akan lahir aparat yang melindungi perbedaan. Selain mengulas berbagai peristiwa, MRoRI edisi Februari juga menyorot soal ‘fatwa’ MUI. Seperti bulan Februari tahun lalu, MUI mengeluarkan ‘fatwa’ haram kepada perayaan hari Valentine. Seperti tahun yang lalu juga, perayaan tiap tanggal 14 Februari ini masih marak dirayakan muda-mudi. Bedanya, tahun ini terdapat razia coklat di sekolah dengan dalil MUI mengharamkan selebrasi hari kasih sayang. Sungguh miris. Akhirnya, selamat membaca.
H
ati siapa tak bergidik nyeri melihat dua orang dianiaya begitu rupa sampai meninggal dunia. Belum puas, mereka terus memukulinya bahkan setelah korban tak bernyawa. Seperti tanpa dosa, mereka memukulinya berganti-ganti dengan bersemangat sekali. Lalu dada mendadak sesak seketika mendengar pekikan takbir mengiringi aksi mereka. Sementara, para aparat bertindak sekedarnya saja, dengan jumlah personel yang tak seberapa. Tak terperikan lagi kejadian yang menimpa satu korban lagi: dicincang. Aset mereka juga dihancurkan. Benar-benar disangsikan bahwa para pemukul itu masih memiliki sifat kemanusiaan yang memiliki sifat kasih dan sayang kepada sesama. Ini hanya sepotong cerita dalam tragedi di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang pada Minggu (06/02). Korbannya adalah
Foto.Detik Foto
jemaat Ahmadiyah yang tak bersalah. Banyak cerita lainnya yang miris untuk ditonton—sumber kesaksian adalah video yang direkam pada saat kejadian. Akibat kejadian ini jemaat Ahmadiyah tewas di tempat. Mereka adalah Roni, warga Jakarta Utara (34), Adi Mulyadi, warga Cikuesik (24), dan Tarno warga Cikuesik (33). Empat orang lainnya luka berat dan satu orang luka ringan. Ferdiaz (30) terkena luka bacok di punggung dan betis kanan. Ia juga kena luka lebam di sekujur badan karena memakai helm. “Saya dibacok golok. Digebukin pakai batu bata, batu koral. Punggung terasa remuk,”jelas Ferdiaz sebagaimana dimuat dalam pers rilis yang dikeluarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada Minggu (06/02). Sementara itu, Deden Sujana (45) menderita luka bacok di pergelangan tangan kanan bagian luar dengan kondisi nyaris terputus. Luka bacok juga menimpa kaki, paha, dan tangan kirinya.
Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Alamsyah M. Dja’far | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far | Staf Redaksi: M. Subhi Azhari, Nurun Nisa’, Badrus Samsul Fata | Desain & Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Noor Rahman (DKI Jakarta), Suhendy, Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal Ad’han (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantowi (NTB) | Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Mata Baby (45) dari Jelambar mengalami bengkak dan mengalami luka dalam. Sementara itu, dari hidung dan mulutnya keluar darah. Masihudin menderita luka bacok di beberapa bagian tubuh, selain wajahnya bengkak, mata lebam, dan mulut jontor. Sebelum dipukuli di sawah, ia ditelanjangi. Bersama Afip, yang menderita luka ringan, keempat orang ini dilarikan ke rumah sakit di Serang.
“Saya dibacok golok. Digebukin pakai batu bata, batu koral. Punggung terasa remuk,” jelas Ferdiaz, seorang korban tragedi Ciekusik. Rangkaian tragedi ini bermula sehari sebelumnya. Parman, mubaligh Ahmadiyah kelahiran Ciekusik, dan istri Parman serta Tatep yang merupakan ketua Pemuda Ahmadiyah Cikeusik dibawa ke Polres Pandeglang dengan alasan untuk meminta keterangan soal status imigrasi sitri Parman yang merupakan warga Filipina. Rupanya, pemanggilan ini terkait dengan kabar serangan kepada Ahmadiyah di Cikeusik. Warga Ahmadiyah lainnya kemudian diungsikan ke rumah keluarga Parman. Jumlanya 25 orang yang kebanyakan adalah orang tua dan anak-anak. Berdasarkan informasi ini, pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang meluncur menuju lokasi demi melakukan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah yang masih berada di Cikeusik. Tiba di Cikeusik pada pukul delapan pagi, ke-18 pemuda itu bersama 3 warga Cikeusik berjaga-jaga di rumah Parman. Pada saat yang sama, terdapat 6 petugas polisi dari reserse kriminal di lokasi. Sejam setelahnya, datang satu mobil pick up polisi dan dua truk dalmas (pengendali massa). Aparat dan warga Ahmadiyah kemudian makan bersama dan ngobrol. Mereka makan pagi bersama dan mengobrol. Dalam kesempatan tersebut, terjadi dialog antara warga Ahmadiyah dan polisi.
Polisi meminta agar masyarakat segera meninggalkan lokasi dan tidak perlawanan jika diserang tetapi warga Ahmadiyah menolak. Perwakilan polisi meninggalkan lokasi karena menerima telepon. Sejak saat itu tidak ada dialog kembali, warga Ahmadiyah berkumpul di dalam rumah. Jam 10 pagi, datang massa dari arah utara ke rumah Parman di mana warga Ahmadiyah Cikeusik berkumpul. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. “Ahmadiyah hanguskan!” , “Ahmadiyah bubarkan”, “Polisi minggir! Kami yang berkuasa di sini!”, demikian bunyi teriakan mereka. Bukannya menindak, polisi di sekitar malah mendiamkan saja. Ketika mendekati halaman rumah, wakil Ahmadiyah yang berjaga-jaga keluar. Massa makin beringas. Mereka melakukan serangan dan pihak Ahmadiyah melakukan pembelaan. Massa kemudian mundur karena melihat 21 orang Ahmadiyah yang bertahan di luar rumah. Namun, kejadian ini hanya sesaat karena massa dari belakang datang lagi dari arah belakang dan aras selatan. Jumlahnya mencapai 1.500 orang. “Kita bertahan. Terjadi hujan batu. Mereka makin mendesak. Kita terpojok. Kita masuk ke sawah. Kita bubar. Kita dikejar. Dipukulin,” demikian keterangan dari seorang saksi mata sebagaimana kronologi peristiwa Cikeusik yang dirilis JAI (06/02). Mereka yang tertangkap ditelanjangi lalu dipukuli bersama-sama secara brutal. Golok, pedang, dan tombak dibawa penyerang sebagai senjata. Selain itu juga digunakan batu-batu. Yang tertangkap empat orang: 3 orang tewas dan 1 orang berhasil selamat dengan luka yang parah. Kejadian tidak manusiawi ini secara serentak dikecam oleh berbagai kelompok, dalam dan luar negeri. Pemerintah, masyarakat sipil, dan pemerhati HAM memberikan reaksi. Forum Bandung Plural menyatakan bahwa insiden di Cikeusik merupakan puncak dari euforia tindakan kekerasan dan intoleransi atas nama agama, yang mulai menguat sejak tahun 2005. “Sepanjang sejarah tindakan kekerasan dan intoleransi atas nama agama berlangsung, belum ada upaya kongkrit terhadap perlindungan dan penegakkan HAM. Hal ini jadi bukti bahwa negara gagal melindungi warganya,” terang Koordinator Bandung Plural, Reggi Kayong Munggaran, membacakan pernyataan sikap Dari Bandung untuk Pluralisme Indonesia seperti ditulis detik.com (08/02). Forum ini juga meminta polisi mengusut tuntas pelaku kekerasan dengan serius. Kepada
para tokoh agama, Forum Bandung Plural mengharapkan agar mereka menghentikan berbagai tindakan yang dapat memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Sementara itu Aliansi Kerukunan Antar Umat Beragama (Akur) Jawa Barat meminta agar seluruh masyarakat Jawa Barat tidak terprovokasi oleh peristiwa di Cikeusik. “Diimbau semua elemen masyarakat di Jawa Barat agar tak terprovokasi. Selain itu, pihak-pihak yang selama ini keberatan dengan keberadaan Ahmadiyah, bisa menahan diri dan menjaga kondusifitas,”ujar juru bicara Akur, Yaman Didu seperti ditulis detik.com (07/02). Untuk dapat meredam suasana, Akur menyatakan akan segera melakukan konsolidasi dengan sejumlah elemen masyarakat dan lintas agama di seleuruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Kepada pihak kepolisian, kata Yaman, juga harus menyelesaikan kasus ini secara tuntas. Selain itu, Akur akan mendorong pihak kepolisian mengamankan dan mengantisipasi agar peristiwa Cikeusik tidak merember ke tempat lain, termasuk ke Jawa Barat. Jaringan Masyarakat Sipil, misalnya, mendesak Presiden SBY untuk mengambil langkah tegas serta jaminan perlindungan kepada warga negara, khususnya jemaat Ahmadiyah. Mereka juga mengambil langkah-langkah hukum yang konstitusional atas kesengajaan pembiaraan dan kelalaian yang dilakukan Presiden dan pemerintah atas kekerasan yang masih terus berlangsung. “Begitu banyak janji dari pemerintah untuk melindungi warga Ahmadiyah. Tapi pemerintah begitu ambigu dalam melindungi warganya,” ujar Todung Mulya Lubis, praktisi hukum yang turut hadir seperti ditulis mediaindonesia. com (07/02). Jaringan ini juga menilai bahwa SKB 3 Menteri [telah] menjadi alat untuk melegitimasi kekerasan yang terjadi masyarakat. Jaringan Masyarakat Sipil merupakan koalisi gabungan LBH Jakarta, YLBHI, Elsam, Kontras, HRWG, ILRC, Imparsial, ICRP, Praxis, Madia, Wahid Institute, ANBTI, Maarif Institute, ICIP, dan LBH Masyarakat. Solidaritas Perempuan (SP) menyatakan bahwa peristiwa di Cikeusik membuktikan negara melakukan pengingkaran hak asasi warganya untuk melaksanakan kehidupan keagamannya. Negara, menurut SP, juga telah melakukan pembiaran terhadap perkembangan parktik kekerasan atas nama agama, pembunuhan iklim pluralitas di Indonesia, dan arogansi kelompok yang berujung pada eksklusifisme sosial. Karenanya, SP meminta tanggung
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 jawab pemerintah. “[SP meminta] segera mengusut tuntas dan menindak secara hukum pelaku penyerangan Jamaat Ahmadiyah di Cikeusik dan di berbagai wilayah lainnya, menindak secara hukum segala organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan atas nama agama,” terang Ketua Badan Eksekutif Nasional, Risma Umar, dalam rilis pers SP bertajuk Tegakkan Hak Keyakinan dan Beragama di Indonesia (07/02). Risma juga meminta pemerintah mencabut SKB 3 menteri yang dinilai diskriminatif dan tidak menghargai Bhineka Tunggal Ika karena bertentangan dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, UU No 10 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Amnesty International, lembaga pemantau pelanggaran hak asasi manusia,menyerukan untuk menegaskan ulang komitmennya melindungi hak kebebasan beragama dalam menghadapi desakan kelompok-kelompok garis keras yang melarang komunitas agama minoritas. Pemerintah Indonesia harus menyatakan secara jelas dan terbuka bahwa ia akan melindungi hak semua warga negara Indonesia, terlepas dari agamanya, dan itu termasuk hak bagi komunitas Ahmadiyah,” tegas Sam Zarifi, Direktur Asia-Pasifik Amnesty Internasional seperti ditulis wahidinstitute.org (23/02). Presiden, kata Sam, juga harus mengecam pernyataan publik yang menghasut untuk berbuat kekerasan terhadap Ahmadiyah dan mengambil langkah untuk menjamin semua agama minoritas dilindungi dan diperbolehkan untuk mempraktikkan kepercayaan mereka dengan bebas dari rasa takut, intimidasi dan penganiayaan. Daam hal ini, Amnesty mencatat pernyataan dalam sebuah wawancara yang dipublikasi di situs FPI (18/02), Ketua Umum DPP FPI Rizieq Syihab menyatakan: “...Jika hari ini, baru tiga Kafir Ahmadiyah yang dibunuh, mungkin besok atau lusa akan ada ribuan Kafir Ahmadiyah yg disembelih umat Islam.” Selain itu, Amnesty International menyerukan agar Indonesia mencabut semua undang-undang dan peraturan yang menghambat hak atas kebebasan beragama yang memicu pelecehan dan serangan kepada komunitas Ahmadiyah. Misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dikeluarkan tahun 2008. Pihak internasional yang turut mengecam peristiwa minggu berdarah di Cikesuik adalah Amerika Serikat. Dalam pernyataan yang dikirim oleh Asisten Sekretaris Biro Urusan Publik, Philip J.
The WAHID Institute
Crowley menyatakan sangat concern dengan kekerasan yang menimpa Ahmadiyah [di Cikeusik] dan pembakaran gereja di Jawa Tengah. “Kami bergabung dengan mayoritas bangsa Indonesia yang ingin mengusut aksi kekerasan tersebut,” terang Philip dalam notanya tertanggal 09 Februari 2011. Philip juga menyatakan bahwa reaksi SBY untuk menindak keras pelaku kekerasan menggarisbawahi komitmen Indonesia untuk menegakkan hukum dan melindungi hak semua komunitas (Lihat: Presiden SBY Minta Bubarkan Ormas Pro Kekerasan). Di samping pengutukan atas kekerasan, muncul pendapat untuk mengganti Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali karena dianggap memperburuk suasana, terutama komentarnya dalam pembubaran Ahmadiyah (Lihat: Menag Tegaskan Lagi Pembubaran Ahmadiyah). Pendeta Albertus Patty dari GKI menyatakan bahwa pernyataan Menag justru memperburuk konflik. “Presiden seharusnya berbuat lebih konkret. Jika ingin keadaan ini menjadi kondusif, seharusnya Menag diganti. Sikap dan pandangan Menag yang menyalahkan Ahmadiyah itu mempersubur konflik,” jelas Albertus seperti ditulis vhrmedia.com (09/02). Ahmadiyah sendiri langsung merespons Cikeusik pada hari kejadian. Menurut JAI, aksi-aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah selama ini sudah mengarah pada penyiksaan dan pembunuhan. Karenanya, JAI meminta aparat bertindak. “Kami meminta agar aparat pemerintahan dan kepolisian di lapangan segera melakukan tindakan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah selaku warganegara di manapun mereka berada dan melakukan langkah-langkah yang merujuk pada pernyataan Bapak Kapolri untuk mengusut dan menindak pelaku penyerangan,” demikian pernyataan Zafrullah A. Pontoh, Juru Bicara JAI, dalam rilis pers (06/02). Kekerasan berakibat meninggalnya jemaat Ahmadiyah ini bukan yang pertama kalinya di Indonesia. Pada tahun 2001, Papu Hasan meninggal di Sambielen, Lombok. Pontoh juga menegaskan beberapa hal mengenai Jemaat Ahmadiyah. Pertama, Jemaat Ahmadiyah selalu mengedepankan hukum dan mempercayakan keamanan setiap warganya kepada negara yang telah mengamanatkan penjaminan keamanan setiap warga negara kepada aparat keamanan. Kedua, Jemaat Ahmadiyah selalu berupaya membina anggota Ahmadiyah menjadi warga negara yang baik dan muslim yang berakhlak mulia, beradab serta berbudi pekerti. Ketiga, Jemaat Ahmadiyah
tidak pernah melakukan penyerangan terlebih dahulu kepada warga masyarakat dan hanya mempertahankan diri dan aset jika dirasa perlu. Keempat, Jemaat Ahmadiyah tidak berwenang menghentikan proses hukum terhadap para pelaku penyerangan namun selalu membuka pintu maaf yang sebesarbesarnya. Kelima, Jemaat Ahmadiyah selalu menjunjung tinggi konstitusi Republik Indonesia dan Pancasila. Keenam, Jemaat Ahmadiyah selalu membina warganya untuk mengamalkan rukun Iman dan rukun Islam sesuai Sunnah Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ketujuh, moto Jemaat Ahmadiyah adalah Love for All, Hatred for None (Kasih sayang untuk semua, tiada kebencian terhadap siapapun). Pontoh juga menghimbau kepada sesama anak bangsa untuk mengedepankan hidup harmonis antar sesama anak manusia. Juga kepada sesama umat Islam. “Menghimbau sesama umat Islam untuk bersama-sama kita semua memperlihatkan keindahan Islam dengan mencontohkan keindahan akhlak suci Yang Mulia Nabi Muhammad saw untuk terciptanya masyarakat aman damai dan berbudi pekerti luhur,” tandasnya. Kepada warga Ahmadiyah, Pontoh menghimbau mereka agar tetap melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara dan umat Islam serta selalu berkoordinasi dengan pihak keamanan dan sesama kelompok masyarakat untuk terus menciptakan masyarakat yang harmonis dan beradab serta mengedepankan sikap persaudaraan. Dari penyelidikan polisi, kini sudah terdapat 12 tersangka. “Jadi ada 12 totalnya. 11 Ditahan di Polda Banten, 1 di balai pemasyarakatan. Mereka ikut dalam tindak pidana penganiayaan,” jelas Kabag Penum Mabes Polri, Kombes Boy Rafli Amar seperti ditulis detik.com (28/02). Mereka adalah UJ (20) warga Desa Umbulan Cikeusik, YA (22) warga Kecamatan Cibaliung, dan E alias KE (30) serta KM warga Cikeusik. Dua tersangka lain adalah M warga Cikeusik dan S warga Cibaliung yang menyerahkan diri ke polisi. Tersangka lainnya adalah I dan AD yang merupakan warga Pandeglang. “Dua orang yang ditetapkan tersangka adalah dari pihak warga. Mereka bisa dikenai pasal 170 KUHP Jo Undang-Undang Darurat No 12 tahun 1951,” kata Kabid Humas Polda Banten AKBP Gunawan seperti ditulis ANTARA News (18/02). KHU yang juga merupakan warga Pandeglang turut dijadikan tersangka karena diduga menjadi penggerak massa dan pelaku kerusakan.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Jika terbukti, KHU bisa dikenakan pasal 170 dan 160 KUHP. Tersangka lainnya adalah D dari jemaat Ahmadiyah. R dan D yang menyerahkan diri kepada polisi turut memperpanjang daftar tersangka. D masih berusia 17 tahun sehingga ditahan terpisah dengan R. Di luar jumlah itu, masih ada 4 orang yang masuk kategori DPO (Daftar Pencarian Orang). Sampai Jumat (18/02), sudah diperiksa saksi sebanyak 95 orang yang berasal dari kalangan masyrakat, anggota Polri, dan jemaat Ahmadiya. Pemeriksanya adalah tim penyidik gabungan dari Bareskrim Mabes Polri, Polda Banten, dan Polres Pandeglang. Khusus saksi dari jemaat Ahmadiyah diperiksa oleh dilakukan oleh tim khusus yang dipimpin oleh seorang perwira Polri. NU menyatakan bahwa negara wajib melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan
maupun suku dan sebagainya. Kewajiban ini harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar. “Kalau perlu Nahdlatul Ulama (NU) siap membantu dan amankan segenap warga,” terang KH. Masdar Farid Mas’udi, Ketua PBNU seperti ditulis detik.com (10/02). Jika diperlukan, kata Masdar, NU siap membantu mengamankan segenap warga. Selain itu, pembunuhan tidak dibenarkan tanpa alasan pembunuhan, misalnya karena masalah keyakinan. “Jadi membiarkan seorang warga negara terbunuh tanpa alasan pembunuhan, maka sebenarnya sama saja membiarkan seluruh warga negara ini terbunuh. Bahkan di dalam Alquran bukan hanya seluruh warga negara, tapi seluruh umat manusia, bila ada nyawa seorang dibiarkan melayang tanpa alasan yang setimpal,” tambahnya. Cara yang tepat untuk memperlakukan Ahmadiyah adalah dengan cara saling
menghormati seperti pernah dipraktekkan oleh KH. Ilyas Ruhiyat, pengasuh pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Di sekitar pesantren ini, sudah puluhan tahun yang terdapat masjid Ahmadiyah. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah ada santri yang menggeruduk atau mengejek anggota jemaat Ahmadiyah. “Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Itulah yang terjadi di lingkungan NU sebenarnya,” tambahnya. NU sendiri hanya memiliki kewajiban moral untuk berdakwah dengan cara bijaksana kepada kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan akidah yang dipegangi NU dan jamaahnya. Jika tujuan ini tidak tercapai, jelas Masdar, maka kewajiban ini sudah selesai. Dengan demikian, NU tidak mengenal kekerasan untuk mencapai tujuan.
Temanggung Rusuh, Gereja dan Kantor Polisi Dirusak Oleh: Nurun Nisa’
T
emanggung yang biasanya adem ayem mendadak rusuh. Garagara rusuh ini, sembilan warga, satu di antaranya perempuan, mengalami luka-luka dan dalam perawatan di RSUD Temanggung. Selain itu, tiga gereja dirusak dan satu truk dalmas (pengendali massa) polisi dibakar. Sebuah
“Jadi dari beberapa informasi yang ditindaklanjuti memang bukan hanya saja masyarakat Temanggung, tetapi termasuk lingkungan geografis Jawa Tengah,” terang Kapolri, Jenderal Pol Pradopo Timur.
sekolah dan sebuah kantor polisi turut menjadi sasaran massa. Adalah pembacaan tuntutan vonis pengadilan PN Temanggung yang menjadi awal meledaknya kerusuhan kepada terdakwa bernama Antonius Richmond Bawengan. Antonius adalah pemilik KTP Jakarta yang sedang mengunjungi ke tempat saudaranya di Dusun Kenalan, Desa/ Kecamatan Kranggan, Temanggung pada awal Oktober. Di sela-sela kunjungannya, Andreas membagikan selebaran yang dianggap menista agama tertentu. Di dalam pamphlet itu, misalnya, dinyatakan bahwa Allah dan Nabi Muhamamd adalah pembohong. Umat Islam yang shalat Jum’at di masjid dianggap sama dengan menyembah dewa Bulan karena di atas kubah masjid terdapat lambang bulan-bintang. Selebaran ini sampai di tangan warga Muslim. Warga bernama Bambang Suryoko kemudian melaporkannya kepada Ketua RT setempat, Fakhrurozi, dan dilanjutkan laporan ke polisi. “Warga ini lantas melaporkan ke RT, Fachrurozi, kemudian dilaporkan ke Polres Temanggung,” terang Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian, Brigjen Untung Yoga Ana seperti ditulis VIVANews (08/02). Selebaran ini juga menyinggung pemeluk agama Kristen. Sebab, selebaran Antonius berisi pernyataan yang bersifat anti-Maria. Anti-Maria merupakan pengingkaran iman Katolik, dan pengingkaran
ini dilakukan dengan menggunakan dalil dari al-Qur’an. “Provokasi yang dilakukan Antonius itu sangat merugikan iman Katolik dan juga iman saudara kami yang Muslim,” kata Romo Aloysius Budi Purnomo. Namun, gereja Katolik setempat tidak ikut melaporkan permasalahan ini kepada polisi. Dengan keadaan yang sama tersinggungnya, Romo Budi mengaku heran jika hanya gereja yang turut menjadi sasaran amuk massa. Antonius kemudian ditahan per 23 Oktober 2010. Setelah itu, ia melalui persidangan sampai divonis pada tanggal 08 Februari 2011. Sejak Januari, Andreas menjalani sidang selama 3 kali: 20 Januari, 27 Januari, dan 08 Februari 2011. Sidang yang disebut terakhir ini merupakan sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa. Sebelum sidang pembacaan vonis, pada sidang sebelumnya terdakwa juga diburu massa. Waktu itu ia dikejar dan dipukuli sejumlah massa yang mengenakan atribut organisasi massa Islam. Aksi ini terus berlanjut sampai terdakwa dimasukkan ke dalam mobil tahanan. Dalam kesempatan ini, polisi berkali-kali mengeluarkan tembakan peringatan ke udara karena kalah jumlah dengan massa. Massa bertindak demikian karena menurut mereka Andreas sengaja menyebarkan selebaran kepada Desa Kranggan untuk menista agama, terutama agama Islam. Karenanya, tidak heran, jika aparat bersiaga menjaga sidang terakhir: sidang
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 pembacaan vonis. Vonis maksimum yang dijatuhkan kepada terdakwa ternyata tidak memuaskan massa. Sebagian besar massa memakai atribut GPK, sebagiannya lagi mengaku berasal dari FPI. Massa ini kemudian meluruk pengadilan. Aparat bersiaga penuh tetapi tampak kewalahan. Sekitar 640 personel keamanan yang terjun untuk mengamankan sidang ini. Mereka, kata Brigjen Ketut, juga diback-up oleh Polda Jateng. Dugaan ini benar. Mulanya, Jaksa Siti Manahim pada sidang hari Selasa (08/02) kemudian membacakan tuntutan hukuman 5 tahun penjara kepada terdakwa yang dianggap melakukan penistaan agama sebagaimana tertera dalam pasal 156a KUHP. Ketika Hakim Dwi Dayanto hendak mengetuk palu, pengunjung mengamuk, meminta Andreas dihukum seberat-beratnya. Mereka langsung menyerbu terdakwa. Begitu terdakwa berhasil diamankan dengan mobil barracuda, massa yang berada di luar pengadilan melakukan pelampiasan dengan melempar batu ke bangunan pengadilan. Seperti ditulis inilah.com (08/02), kondisi menjadi tidak terkendali ketika semakin banyak massa merapat ke gedung pengadilan dan melakukan pembakaran. Akibatnya, kaca jendela pecah dan sebagian tembok PN Temanggung rusak. satu truk dalmas yang berada di dekat pengadilan dibakar. Menjelang pukul setengah sebelas, ratusan person Brimob (Brigade Mobil) memaksa massa mundur ke luar arena pengadilan. Massa yang masih tersulut emosi kemudian mencari sasaran lain: Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Pantekosta. Sebuah sekolah di kompleks Gereja Bethel juga dibakar. Gereja Santo Petrus turut menjadi sasaran. Sasaran amuk massa masih bertambah: kantor polisi di dekat pengadilan. Polisi baru berhasil menguasai situasi pada pukul dua belas siang. Konsentrasi massa sudah tidak ada, dan hanya tersisa batu-batu di PN Temanggung. Polisi kemudian memblokade jalan menunju Temanggung untuk menutup masuknya massa dari luar Temanggung. Mendengar kerusuhan ini, tak kurang PGI, KWI, MUI Pusat, dan MUI Jawa Tengah mengutuk kejadian ini dan meminta aparat mengusut tuntas pelakunya. PGI melalui Pendeta Andreas Yewangoe meminta umat Kristiani tenang dan tidak membalas aksi massa dan meminta agar aparat betulbetul menjaga keamanan. “Jangan biarkan kewibawaan negara dikuasai sekelompok orang. Ini bisa menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Menjaga keamanan adalah tugas kepolisian,” terang Pdt Yewan-
The WAHID Institute
goe seperti ditulis VIVANews (08/02). Yewangoe juga menyayangkan massa yang bertindak rusuh padahal prosedur hukum yang lain masih bisa ditempuh jika tidak puas dengan vonis yang sudah diputuskan pengadilan—selain kejadian ini tidak menolong Indonesia dalam merawat kemajemukan yang selama ini menjadi ciri khasnya. “KWI meminta agar pemerintah menindak tegas pelaku kerusuhan, kalau tidak, berarti pemerintah absen dan akan menjadi Barbar,” ujar Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI Romo Benny Susetyo seperti ditulis inilah.com (08/02). Tindakan tegas ini akan memberi efek jera kepada pelaku kekerasan, terutama kekerasan tempat ibadah. Jika tidak, hukum akan menjadi rusak. Perlindungan kepada pelaku adalah perlu, karena kekerasan tidak dapat dibenarkan apapun bentuknya. Uskup Keuskupan Agung Semarang Mgr Johanes Pujosumarta juga prihatin dan mengecam tindakan brutal dan anarkis yang dilakukan sekelompok massa. “Semuanya bisa diselesaikan secara damai tanpa merusak properti milik orang lain, tindakan seperti ini dilakukan mereka yang tidak bermoral dan gereja Katolik sangat mengecam kekerasan yang terjadi,” jelas Mgr Pujo seperti ditulis Cyber News (08/02). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Antarumat Beragama, Slamet Effendi Yusuf, mendesak hal yang sama. “Jangan tolerir kekerasan,” ujarnya seperti dikutip Tempo Interaktif (10/2). Selain itu, Slamet meminta pemerintah mencari tahu latar belakang Antonius yang dianggap sengaja datang ke Temanggung untuk mengadu domba umat Islam dan Katolik. ‘Kewajiban’polisi untuk mencari dalang yang sesungguhnya juga dikemukakan oleh Sekretaris MUI Jateng, Ahmad Rofiq. Dari tanya jawab dengan Kapolda diketahui banyak isu tak jelas, termasuk isu pasca kerusuhan sehingga Rofiq menyimpulkan ada pihak yang bertujuan memperkeruh. “Ini menunjukkan ada yang sengaja memperkeruh situasi,” terang Rofiq seperti ditulis detik.com (20/02). Kecaman juga datang dari kalangan luar. Pejabat dari pemerintahan Italia, yang mayoritasnya beragama Katolik Roma, turut mengutuk aksi ini. Kerusuhan di Temanggung, bagi pemerintahan Italia, merupakan demonstrasi fanatisme yang sangat serius. Demikian juga, kerusuhan di Temanggung adalah serangan terhadap kebebasan beragama. “Juga serangan kebebasan berkeyakinan seseorang,” Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini seperti
ditulis VIVANews (09/02). Frattini berharap agar Indonesia yang dikenal giat melakukan dialog antar-agama merespons peristiwa dengan melakukan langkah yang benar. The Asian Human Rights Commission (AHRC), komisi HAM Asia, menyatakan bahwa eskalasi penggunaan kekerasan oleh kelompok fundamentalis agama merupakan akibat dari dual: tidak tegasnya aparat keamanan dalam menyikapi kasus-kasus yang serupa di masa lalu dan adanya kelalaian pemerintah dalam menjamin hakhak dasar warganya. AHRC juga meminta pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan yang berkaitan dengan keyakinan dan agama warga negaranya. Dalam hal ini, hukum harus ditegakkan atas segala tindakan yang bersifat anti-toleransi. “Demokrasi bukan berarti mayoritas berkuasa di atas minoritas. Tapi, adalah perlindungan tanpa kompromi terhadap hak-hak dasar manusia, termasuk kebebasan menganut agama dan keyakinan,” demikian sikap AHRC. Terhadap peristiwa ini, Kapolri menyatakan bahwa massa berasal dari luar Temanggung. “Jadi dari beberapa informasi yang ditindaklanjuti memang bukan hanya saja masyarakat Temanggung, tetapi termasuk lingkungan geografis Jawa Tengah,” terang Kapolri, Jenderal Pol Pradopo Timur seperti ditulis liputan6.com (08/02). Sementara itu, tersangka yang sudah ditetapkan statusnya berjumlah 14 orang, 6 orang di antaranya merupakan warga Temanggung. Enam tersangka ini adalah pelaku lapangan dan pihak kepolisian masih mendalami kemungkinan adanya aktor intlektual di balik kerusuhan ini. “Para tersangka adalah anggota masyarakat biasa yang ikutikutan diajak aktor intelektual dan sekarang masih kami dalami. Kami harus betul-betul menegakkan hukum. Untuk menentukan seorang tersangka harus mempunyai bukti yang cukup,” terang Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Edward Aritonang seperti ditulis Republika Online (11/02). Semua tersangka akan dibawa ke Semarang. Sejak Jumat pagi (11/02), tim penyidik memeriksa 24 saksi, warga Desa Sigedong, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung dengan kisaran umur antara 15 hingga 23 tahun. Aritonang menyatakan bahwa Temanggung sudah berangsur kondusif, demikian juga situasi keamanan. Masyarakat sudah tidak lagi untuk beraktivitas. Turut berupaya memelihara situasi adalah GP Anshor (Gerakan Pemuda Anshor), sayap pemuda NU. Ketua Umum GP Anshor berkunjung
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 langsung ke lokasi. Dalam kesempatan ini, Nusron menyatakan lewat Banser (Barisan Anshor Serbaguna) akan turut membantu. Banser bukan saja akan membantu pengamanan dan pembersihan sisa-sia kerusuhan di gereja-gereja yang dirusak. “Jika
diminta kami siap mengirimkan Banser untuk mengamankan gereja. Tapi sementara ini sudah ada polisi dan tentara. Tapi kita lihat seberapa kekuatan mereka,” kata Nusron Wahid saat mengunjungi Gereja Santo Petrus dan Paulus Temanggung seperti di-
tulis metrotvnews.com (09/02). Sebelumnya, pada saat kerusuhan, warga menutup toko dan pasar karena ketakutan. Bank-bank dan kantor pelayanan masyarakat juga ditutup pada saat yang sama.
“Fatwa” Haram Valentine Oleh: Nurun Nisa’
D
ianggap sebagai tradisi Barat, MUI Kota Dumai menyatakan bahwa perayaan hari Valentine adalah haram bagi umat Islam. Hari kasih sayang ini merupakan perayaan di luar agama Islam. ”Dilihat dari asal muasalnya, diketahui bahwa Valentine merupakan hari raya bagi kaum non-Islam di Roma, Italia. Untuk itu, Valentine haram bagi mereka yang beragama Islam,” jelas Ketua MUI Dumai, Roza’i Akbar seperti ditulis ANTARA News (10/02). Roza`i menambahkan bahwa hari Valentine merupakan budaya yang tidak pantas diterapkan dalam ajaran Islam. Sebab, ia identik dengan kebebasan kaum remaja dalam menjalin atau mengikat suatu hubungan di luar nikah. Roza’i juga tidak membayangkan bagaimana nantinya jika kebudayaan Valentine membudaya di tubuh Islam. Alasan-alasan inilah yang menjadi pertimbangan Roza’i menegaskan haramnya perayaan Valentine bagi mereka yang beragama Islam. Selain itu, MUI Dumai menghimbau agar orang tua Muslim memberikan pemahaman kepada anak-anaknya bahwa hari Valentine bukanlah sesuatu hal atau hari yang dirayakan. “Selain itu, mereka sebaiknya diberi pengetahuan dan pencerahan agamis agar Valentine tidak menjadi tradisi tahunan bagi kaum remaja muslim,” tambah Roza’i. Sementara itu, MUI DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) menyatakan hanya akan memberikan ‘fatwa’ haram Valentine jika diwarnai maksiat. “Label haram akan diberikan jika dalam perayaan Valentine diwarnai dengan maksiat,” kata Sekretaris MUI DIY Ahmad Muhsin Kamaludiningrat seperti ditulis VIVANews.com (12/02). Haram, kata Muhsin, bisa diberlakukan jika perayaan hariValentine diwarnai dengan nafsu birahi yang bisa menimbulkan hasrat maksiat. Jika dilakukan sewajarnya, maka tidak haram. Islam sendiri tidak mengenal Hari Valentine sebab kasih sayang, menurut
Muhsin, dapat dilakukan setiap hari. Muhsin sendiri mengakui bahwa Valentine yang berasal dari budaya Barat sering bertentangan dengan norma-norma Indonesia. Ia pun mengingatkan kepada kaum muda Yogyakarta agar tidak terjebak dalam tindakan negatif saat merayakan hari Valentine.
“Dilihat dari asal muasalnya, diketahui bahwa Valentine merupakan hari raya bagi kaum non-Islam di Roma, Italia. Untuk itu, Valentine haram bagi mereka yang beragama Islam,” jelas Ketua MUI Dumai, Roza’i Akbar Bila MUI Dumai dan MUI DIY menyatakan bahwa hari Valentine adalah tradisi Barat, maka FPI Depok justru lebih keras lagi: Valentine adalah tradisi Kristiani. Karenanya, FPI Depok meminta MUI Pusat mengaharamkannya. ”Valentine identik sebuah ritual agama milik umat Kristiani. Sehingga seharusnya pihak MUI pun mengharamkan perayaan Valentine, maka seharusnya juga ada fatwa yang mengharamkan perayaan valentine khusus buat umat Islam,” kata Ketua FPI Depok Habib Idrus Al Gadhri seperti ditulis okezone.com, (31/01). FPI Depok sendiri menentang perayaan Valentine karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Idrus, hari Valentine umumnya dirayakan dengan pesta, berdansa semalam suntuk, dan
saling memberi hadiah cokelat. ”Ada juga kegiatan-kegiatan yang berbau maksiat lainnya. Bahkan hal-hal yang hanya boleh dikerjakan oleh pasangan suami-istri juga mereka lakukan,” tambahnya. Karena tidak sesuai dengan ajaran Islam ini, maka orang Islam dilarang membantu dalam bentuk apapun: mengucapkan, menjual makanan-minuman, mengumumkan, dan pekerjaan lain yang sifatnya membantu perayaan Valentine. Jika dilakukan maka sesungguhnya seseorang sedang menolong dalam dosa dan pelanggaran. ”Juga sebagai bentuk pengingkaran atas Allah dan Rasulullah. Tak boleh dirayakan apapun bentuknya,” tambahnya lagi. Ketua MUI Amidhan menyatakan bahwa perayaan Valentine haram, jika dianggap sebagai ritual dari agama tertentu. “Kalau dilaksanakan oleh orang Islam dalam pengertian Valentine itu ritual dari agama tertentu, itu haram hukumnya,” kata Amidhan sebagaimana termuat dalam mui.or.id (14/02). Amidhan juga menyatakan bahwa semangat saling menghormati dan silaturahmi dari perayaan Valentine sebenarnya sangat bagus untuk diikuti. Namun demikian, jika sekedar ingin berbagi kasih umat Islam tidak harus terbebani menunggu perayaan tiap 14 Februari ini. Amidhan pun mengingatkan agar para pemuda-pemudi Muslim tidak terjerumus dalam hal-hal negatif, seperti minum alkohol dan hal-hal yang lebih buruk dari itu. Fatwa haram dari MUI ini direspons dengan luar biasa. Sebuah sekolah menengah merazia coklat dan kado yang kedapatan dibawa siswanya. Kepala Sekolah SMU Negeri 13 Medan, Sutrisno, S.pd mennyatakan bahwa razia tersebut sejalan dengan fatwa haram MUI. “Karena dengan perayaan ini tidak menutup kemunkinan terjadinya pergaulan bebas yang mengacu pada seks bebas,” ujar Sutrisno seperti ditulis kabarsumut.com (14/02). Mereka yang kena razia diberikan nasihat, bukan sanksi.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011
Presiden Minta Bubarkan Ormas Pro Kekerasan Oleh: Nurun Nisa’
P
asca tragedi Cieukesik dan Temanggung, ormas pro kekerasan mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Terutama tindakan mereka yang sudah tidak manusiawi lagi; memukul, merusak, dan tindakan lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Sebagian kalangan mengusulkan agar ormas semacam ini dibubarkan agar kekerasan tidak berulang.
“Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan,” kata Presiden SBY. SBY dengan terang-benderang meminta agar ormas pro kekerasan dibubarkan. “Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan,” kata Presiden pada peringatan Hari Pers Nasional Ke-65 di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Rabu siang (09/01). Pernyataan ini kontan disambut tepuk tangan sekitar dua ribu hadirin. Dalam kesempatan yang sama, Presiden menyatakan prihatin atas kekerasan atas nama sebagaimana telah terjadi di Cieukesik (Pandeglang, Banten) dan Temanggung (Jawa Tengah). Presiden menyatakan bah-
The WAHID Institute
wa jika yang demikian ini dibiarkan Indonesia bisa mengalami kemunduran kepada era 1998-2003. Di era ini konflik sering terjadi di mana-mana dengan banyak korban yang membutuhkan pemulihan bertahuntahun lamanya. Konflik ini seharusnya bisa dicegah jika saja semua pihak memiliki kepedulian untuk mencegahnya sejak dini. Kepedulian yang dimaksud adalah komitmen untuk menjaga kerukunan dan toleransi yang bukan hanya di mulut, termasuk bimbingan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Demikian juga jika para pimpinan daerah di tingkat desa, kecamatan atau kabupaten/kota bekerja untuk mencegah benturan, maka [semuanya] akan bisa berjalan dengan baik. Keyakinan SBY ini juga ditujukan kepada aparat keamanan: bila aparat keamanan proaktif, cepat, dan tepat untuk mencegah dan mengatasi makanya peristiwa Cikuesik dan Temanggung bisa dicegah. “Di negeri ini tidak ada satupun desa dan kecamatan yang tidak ada kepala daerahnya dan tidak ada aparat keamanannya,” kata Presiden seperti ditulis metrotvnews. com (09/01). Dengan pencegahan ini, seperti ditulis Primair Online (09/02), paling tidak jumlah korban menjadi tidak terlalu besar. SBY juga menekankan bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi. Memang sekarang eranya demokrasi di mana kebebasan berbicara dan berkumpul dijunjung tinggi, kata SBY, [tetapi] tidak boleh diberikan ruang untuk melakukan serangan, bahkan pembunuhan. “Meski dalam negara demokrasi kita junjung kebebasan berbicara dan berkumpul, tapi mari kita sadari, kita tidak boleh berikan ruang dan toleransi atas pidato dan seruan di depan publik untuk ajakan melakukan tindakan kekerasan dan bahkan pembunuhan pada pihak manapun,” tambah SBY. Jika ada massa berkumpul dalam jumlah banyak—tegas SBY—yang diketahui melakukan tindakan atau serangan kepada pihak lain, apa pun alasannya, semua itu perlu dibubarkan oleh aparat keamanan dan penegak hukum sesuai norma hukum dan demokrasi. Di aras ini, demokrasi bukan berarti hukum rimba atau tidak ada aturan main. Semua memiliki pranatanya masingmasing. SBY juga mengajak kalangan pers untuk mendukung upaya memperkokoh kerukunan antar-umat beragama di negeri ini. Dukungan ini diperlukan
karena seluruh lapisan masyarakat harus mencegah aksi kekerasan dari kelompok atau organisasi mana pun yang merobek atau menghancurkan kerukunan antarumat. “Saya harapkan dukungan dan kerja sama pers dengan cara peliputan dan pemberitaan yang segaris dengan upaya kita perkokoh kerukunan dan toleransi dan cegah aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok atau komunitas manapaun yang merobek kerukunan,” tandas SBY. SBY sendiri memerintahkan aparat untuk menindak mereka yang melakukan kekerasan. ”Saya telah perintahkan polisi dan komando teritorial untuk bertindak all out dan menangkap semua pihak yang terlibat. Polisi harus berani mengungkap siapa dalang di balik kasus ini dan memberikan sanksi hukum setimpal,” ujar SBY seperti dikutip Primair Online (09/02). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Mekopolhukkam) Djoko Suyanto menyatakan bahwa pernyataan SBY tidak mengarah kepada kelompok organisasi tertentu. Menurut Djoko, jika ada kelompok masyarakat atau organisasi apapun yang melanggar UU maka ia harus dibubarkan. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menyatakan bahwa mesti terdepat bukti dan fakta sehingga baru bisa diambil tindakan. Tanpa fakta dan bukti, organisasi tak bisa dibubarkan begitu saja. ”Yang punya fakta itu petugas di lapangan,” kata Gamawan seperti ditulis Kompas.com (10/02). DPR menyambut baik keputusan ini. “Saya sebagai pimpinan DPR menyambut positif dan menghargai pidato presiden yang hari ini cukup tegas. Untuk aparat negara yang punya otoritas tidak segansegan membubarkan ormas-ormas rusuh yang menjadi biang keladi kekerasan,” kata Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso. Priyo berharap agar instruksi presiden tidak sekedar pernyataan tetapi ditindaklanjuti dengan cepat. Senada dengan Priyo adalah sikap PDI-P yang menyatakan agar pernyataan SBY segera direalisasikan. “PDI Perjuangan meminta agar segenap ormas anarki baik yang terdaftar atau tidak terdaftar segera dibubarkan dan dinyatakan sebagai ormas terlarang di republik Indonesia,” kata Hamka Haq, Ketua Bidang Agama dan Kebudayaan Dewan Pimpinan Pusat PDIP dalam jumpa pers di kantor DPP PDIP Jalan Lenteng Agung, Jakarta seperti ditulis VIVAnews (11/02).
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini, kata Hamka, merupakan bukti adanya pembiaran dan kelengahan pemerintah pada pelaku kekerasan. Hamka menilai bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan amanat konstitusi untuk menjaga kebebasan warga negara dalam soal memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana tercantum dalam pasal 28 E dan pasal 29 UUD 1945. “Sikap seperti ini merupakan dampak dari tidak adanya ketegasan pemerintah terhadap penertiban dan pemberian hukuman terhadap pelaku kekerasan sehingga supremasi hukum terkalahkan oleh kekuatan kelompok tertentu,” kata Hamka. Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Achmad Basarah menambahkan bahwa data ormas yang harus dibubarkan sebenarnya sudah di tangan intelijen dan pemerintah. Sekarang ini saatnya pemerintah bersikap tegas menjalankan ketentuan UU Ormas. Basarah menyatakan agar pemerintah tidak bersikap kura-kura dalam perahu (purapura tidak tahu, Red.) dalam sikap tegas ini. Basarah bahkan menantang: jika PDIP memiliki kewenangan membubarkan ormas, maka mereka akan melakukannya hari ini. “Tapi sebagai kekuatan yang berada di luar pemerintahan, kami minta Pemerintah menjalankan perintah undang-undang,
membubarkan ormas-ormas yang sudah ada dalam catatan intelijen berkali-kali melakukan kekerasan,” kata Basarah. Hasyim Muzadi justru berpendapat sebaliknya. Yang perlu dibubarkan adalah Ahmadiyah, bukan FPI. “Desakan pembubaran FPI, menurut saya akibat ulah segelintir anggotanya, organisasinya tidak ada masalah. Kalau ada anggota yang salah tangkap orangnya. Jangan organisasinya yang dituding macam-macam,” ujar mantan ketua PBNU ini seperti ditulis VIVAnews (22/02). Ahmadiyah lebih layak dibubarkan karena dinilai meresahkan umat Islam akibat penyimpangan yang keterlaluan terhadap doktrin Islam yang sesungguhnya di tubuh Ahmadiyah, termasuk soal pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir. Terkait langkah-langkah pembubaran ormas, Priyo mengusulkan agar pemerintah merevisi dan menyempurnakan UU Ormas supaya negara tidak sewenang-wenang dan sepihak. “Oleh karena itu mungkin perlu ada klausul-klausul bahwa untuk hal-hal yang darurat seperti perusuh, bikin korban jiwa, meresahkan dan menakut-nakuti warga itu mungkin perlu ambil langkahlangkah pembubaran lewat mekanisme dan bukti-bukti otentik yang ada,” Sementara itu, terkait mekanisme pembubaran ormas, Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfudh MD menyarankan agar Presiden mendatangi MA untuk melakukan pelaporan—Presiden tidak bisa langsung membubarkan organisasi. Mahfudh juga menyatakan bahwa pembubaran organisasi termasuk wewenang pemerintah, tetapi terdapat beberapa sejumlah masalah yang harus dihadapi, misalnya status ormas. “Yang pertama, apakah ormas itu terdaftar di departemen? Kalau tidak didaftarkan, apanya yang dibubarkan? Bisa saja itu merupakan forum organisasi tanpa bentuk. Kalau terdaftar, harus ada syarat-syarat yang ditentukan misalnya, melanggar ideologi,” jelas Mahfud seperti ditulis kompas.com (10/02) Kapolri menyatakan bahwa organisasi akan ditindak jika sudah ada fakta pendukungnya. “Itu sudah pernah dibahas dan sudah diatur. Kalau ada fakta yang memenuhi kita lakukan (pembubaran),” kata Jenderal Pol Timur Pradopo seperti ditulis detik.com (09/02). Kapolri menambahkan bahwa kejadian yang terjadi selama ini merupakan ulah oknum perorangan yang mengatasanamakan organisasi tertentu. “Ada ketentuan yang mengatur. Kalau perorangan saya kira tidak menyangkut organisasi. Jadi selama ini kan perorangan,” tandasnya seperti ditulis VIVAnews (09/02). Bagaimana reaksi FPI? Mereka mengancam akan mengadakan revolusi.
“Andaikata ada ormas Islam yang dibubarkan SBY dengan caracara keji, dengan cara biadab, dengan cara curang, dengan cara kejam, maka saya akan ajak umat Islam di manapun berada: kita gulingkan SBY,” ujar Habib Rizieq Shihab, Ketua FPI
terlibat dalam kekerasan. “Andaikata ada ormas Islam yang dibubarkan SBY dengan cara-cara keji, dengan cara biadab, dengan cara curang, dengan cara kejam, maka saya akan ajak umat Islam di manapun berada: kita gulingkan SBY,” ujar Rizieq seperti ditulis VIVAnews (16/02). Dalam kesempatan tersebut, Rizieq juga menyatakan bahwa jika SBY menilai mereka yang menyerukan revolusi sama dengan makar, maka menurutnya SBY juga melakukan maker terhadap pemerintahan yang dipimipin Gus Dur. “SBY saat Gus Dur presiden, mengundurkan diri sebagai menteri, dan bergabung untuk menggulingkan Gus Dur. Berarti SBY melakukan makar,” terang Rizieq. Terhadap pesan revolusi ini, SBY memberikan tanggapan. “Tidak semudah itu lantas Indonesia pasti akan menjadi Mesir. Termasuk yang mengancam saya, ‘awas Indonesia kita Mesirkan!’ Jangan ancam-mengancam lah. Kondisinya berbeda,” ujar Presiden SBY dalam sebuah
FPI Ancam Revolusi Oleh: Nurun Nisa’
D
emi mendengar pidato Presiden soal pembubaran ormas yang gemar melakukan kekerasan, FPI bereaksi. Ketua Bidang Advokasi FPI, Munarman, menyatakan FPI akan mem-Ben Ali-kan SBY jika membubarkan ormas. Ben Ali adalah presiden Tunisia yang digulingkan oleh rakyatnya sendiri. Ditanya bagaimana revolusi dijalankan, Munarman belum mau menjawabnya tegas dengan berkilah sedang melakukan pertemuan. “Kita mau numbangin SBY ini. Mau menggulingkan SBY,” jelas Munarman seperti ditulis KBR 68H (10/02). Yang jelas, menurut Munarman, rencana akan dilaksanakan secepatnya. “Ya, secepatnya lah,” tambahnya. Pesan revolusi ini ditegaskan kembali pada Tabligh Akbar memperingati maulid Nabi SAW di markas FPI pada Senin malam (14/02). Spanduk bertuliskan “Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi” menjadi latar belakang panggung utama. “Bubarkan!”, “Revolusi!”, menjadi yel-yel dari para hadirin.
Habib Rizieq Shihab turut menyampaikan pesan revolusi itu. Dalam orasinya, Rizieq memprotes instruksi presiden untuk membubarkan ormas yang sering melakukan kekerasan. FPI tercatat sebagai ormas yang sering
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 wawancara dengan stasiun televisi SCTV seperti dikutip VIVAnews (16/02). Terkait ancaman Munarman, pihak Istana sendiri sudah merespon. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan soal ancaman tersebut akan diserakna kepada Polri. “Nanti biar polisi. Semuanya dikembalikan ke mekanisme hukum yang ada,” kata Julian seperti ditulis Kompas.com (18/02). Ketika Kapolri ditanyakan soal pernyataan Munarman sudah termasuk kategori ancaman tersebut, ia menyatakan bahwa semua warga negara wajib mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Ketika ditanya kemungkinan Polri untuk memanggil FPI, Jenderal Pol Timur Pradopo menjawab. “Semua warga negara harus taat pada hukum. Semua warga negara wajib dan harus patuh terhadap hukum,” jawabnya. Ketika ditanyakan perihal tindakan tegas kepada FPI, Kapolri menjawab, “Makasih”. “Terima kasih, ya, terima kasih,” jawab Timur ketika ditanyakan kembali soal pemanggilan FPI. Beberapa pengurus FPI di daerah memiliki opini yang berbeda soal ini. “Kalau pemerintahan SBY tidak tegas membubarkan Ahmadiyah yang ada di Indonesia, kami berjanji atas nama FPI akan melakukan revolusi dengan cara apa pun guna membubarkan Ahmadiyah,” ujar Ketua Bidang Jihad FPI Sumut KH Zulkifli Usman dalam orasi menuntut pembubaran Ahmadiyah ke kantor Gubernur Sumut seperti ditulis Mediaindonesia.com (18/02). Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh FPI Cilacap. Menurut Ketua FPI Cilacap, Haryanto menyatakan bahwa pernyataan revolusi baru didengarnya dari media. “Saya baru mendengar pernyataan itu dari media. Saya belum menerima SK dari DPP soal perintah seperti itu,” ujarnya seperti ditulis Republika Online (16/02). Kalaupun nantinya menerima SK yang dimaksud, Haryanto menyatakan akan mempelajarainya terlebih dahulu. “FPI di daerah bisa saja berbeda sikap, karena setiap cabang FPI memiliki otonomi tersebut,” tambahnya. Haryanto bahkan menganggap ucapan Rizieq dan Munarman, kemungkinannya, adalah pernyataan spontan yang muncul akibat kekecewaan mereka terhadap respons pemerintah dalam soal tragedi Cikeusik dan rusuh Temanggung. “Dalam kasus tersebut, pemerintah cenderung hanya menyalahkan kelompok yang melakukan perbuatan anarkhi, tanpa meneliti akar persoalan mengapa kelompok tersebut bertindak anarkhi,” tandasnya. Maka wajar jika sebagian pihak menyangsikan kekuatan FPI menggalang
The WAHID Institute
revolusi. “Kekuatan FPI hanyalah di internal FPI saja. FPI tidak punyak dukungan atau pun kekuatan untuk menggulingkan pemerintah. Masyarakat luas tidak memberikan dukungan kok. Makanya isu penggulingan FPI ini jangan dibesarbesarkan, karena hal itu hanya letupan emosi orang-orang FPI saja,” kata Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf seperti ditulis Monitor Indonesia, (17/02/2011). Ancaman revolusi dengan demikian tidak akan teralisasi. PBNU sendiri tidak sepakat dengan sikap FPI. “PBNU sendiri tidak sepakat dengan langkah penggulingan yang akan ditempuh FPI tersebut. Silahkan FPI menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, tapi FPI jangan sampai masuk ke wilayah politik,” tegas Slamet. Sikap hampir senada diungkapkan oleh pengamat politik, Yudi Latif. Menurut Yudi, Presiden tidak perlu menanggapi sikap FPI. Justru Presiden mesti berbuat sebaliknya: Presiden menunjukkan bahwa dirinya tak bisa ditekan dan tidak berpihak pada kepentingan kelompok. “Ancaman sekedar didasarkan pada kepentingan yang sifatnya kelompok tertentu yang kepentingannya tidak bebas dari tindakan selama ini yang melanggar konstitusi,” terang Yudi seperti ditulis inilah.com (16/02). Terhadap ancaman ini sendiri, banyak pihak berang. Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menilai Front Pembela Islam (FPI) sudah melakukan makar karena telah mengancam menggulingkan presiden. Ancaman FPI ini, menurut Endriartono, tidak bisa ditoleransi dan harus mendapatkan sanksi tegas. “Tidak boleh sesuatu atau apa pun untuk mengancam presiden atau pemerintah. Itu makar,” ucap Endriartono seperti ditulis Kompas.com (17/02). Sehari sebelumnya, Jusuf Kalla menyatakan bahwa ancaman FPI tidak bisa diterima dan tergolong makar. “Mengkritik boleh, tapi tidak mengatakan, ‘saya gulingkan you sekarang’,” terang mantan wakil presiden itu seperti ditulis detik.com (16/02). FPI, kata Kalla, seharusnya memberikan dakwah dan pengertian kepada ummat sehingga mereka tidak melakukan tindakan anarkis. Di pihak lain, pemerintah juga harus menjamin penegakan hukum yang tegas. “Ini negara demokrasi, siapa yang mau berkuasa silakan menempuh jalan demokrasi. Bentuklah parpol, bukan ormas dan ingin menggulingkan pemerintahan,” kecam Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman menanggapi ancaman FPI seperti dimuat detik.com (14/02). Baginya, setiap
orang dan kelompok harus tunduk pada sistem hukum kepada negaranya. “Negara tidak boleh tunduk kepada ancaman,” tegas politikus asal Partai Demokrat itu. Benny juga menambahkan bahwa UndangUndang di Indonesia memungkinkan negara membubarkan ormas anarkis. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio menyatakan seruan FPI jauh dari definisi makar, karena baru berupa pernyataan sementara penggulingan kekuasaan mesti melibatkan senjata dan massa. Karenanya, ucapan ini belum bisa diperkarakan. “Karena hal itu belum menimbulkan suatu akibat,” tandasnya kepada VIVAnews.com (15/02). Yang perlu dicermati saat ini adalah penyebab pernyataan revolusi FPI, bukan akibatnya saja. Rudy menyarankan agar pemerintah memanggil FPI untuk berdialog soal ancaman ini. Pada kesempatan lain, Rizieq menyatakan bahwa revolusi adalah alternatif terakhir. “Tolong jangan anda garis bawahi pembubaran pemerintah, di situ FPI mengatakan pembubaran Ahmadiyah atau revolusi kan ada ataunya, revolusi kan alternatif terakhir, alternatif pertama kan masih bisa diambil,” kata Rizieq ketika menyambangi kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk bertemu dengan Mendagri Gamawan Fauzi seperti ditulis inilah.com (16/02). Pihak Mendagri menggelar dialog bersama dengan FPI, FUI, dan MUI untuk membahas soal Ahmadiyah pada Rabu (16/02). Gamawan menyatakan bahwa empat pilihan yang ditawarkan oleh pemerintah dianggap cukup baik oleh FPI. “Tinggal di pemerintah, mana yang akan dipilih nanti. Karena itu, akan dikembangkan terus dialog untuk mencari solusi permanen yang mendasar,” katanya Gamawan seperti dimuat di depdagri. go.id (20/02). FPI sendiri cenderung pada pembubaran atau pembinaan ke arah Islam yang benar. Hari Jumat siang (18/02) FPI, FUI, dan ormas lainnya menggelar demo besarbesaran ke Istana Merdeka menuntut pembubaran Ahmadiyah. ”Kami akan melakukan aksi besar-besaran menuntut pembubaran Ahmadiyah,” ujar Sekjen FUI, KH M Al Khathath kepada okezone.com (18/02). Aksi ini, menurut al-Khattath akan melibatkan, sejumlah ormas Islam seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muhamadiyah, Jamaah Anshorut Tauhid, Majelis Mujahidin serta sejumlah ormas lain. Demo yang dimulai dari Bundaran HI ini juga akan menyambangi kantor Komnas HAM yang selama ini dianggap melindungi Ahmadiyah.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Polda Metro Jaya menyiapkan sekitar 1.500 personel dari Polda Metro Jaya hingga tingkat Polsek untuk mengawal aksi ini. Jika demo berlangsung anarkis, maka akan digunakan protap 01, dilumpuhkan termasuk dengan cara tembak di tempat. “Kami akan mengantisipasi aksi ini. Jika aksi
mereka anarkis, kita akan menggunakan protap (prosedur tetap) 01 yakni dengan cara dilumpuhkan,” jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Baharuddin Jafar. Selain itu, seperti ditulis Tempo Interaktif (18/02) kendaraan taktis anti unjuk rasa Barakuda dan water canon juga disiapkan.
Di Istana sendiri, keamanan disiapkan berlapis. Kawat berduri dua lapis sepanjang 500 meter di depannya untuk menghadang massa jika merangsek masuk. Demo pada akhirnya berlangsung tanpa kekerasan. Massa yang hadir hanya setengahnya.
Menag Kembali Tegaskan Pembubaran Ahmadiyah Oleh: Nurun Nisa’
B
ulan Agustus tahun lalu Menag mengusulkan pembubaran Ahmadiyah. Sebab Ahmadiyah bertentangan dengan ajaran pokok ajaran Islam. Jika harus dihentikan, maka aktivitasnya tidak boleh dilanjutkan. Aktivitas inilah yang menyulut amarah masyarakat. Kondisi seperti ini masih bisa diredam aparat kepolisian, tetapi ia tidak bisa terlalu lama didiamkan. “Kalau enggak segera ambil keputusan tegas, potensi konflik akan ter-maintain dan meningkat serta bisa menimbulkan konflik sosial. Dengan demikian, menurut saya, Ahmadiyah harus dibubarkan,” terang Suryadharma Ali seperti dikutip Kompas.com (30/08/10). Suryadharma Ali menyatakan bahwa keputusannya beralasan pada SKB tiga menteri yang sudah dikeluarkan sebelum ia menjabat. “Semua pilihan itu ada risikonya. Tapi, menurut saya, risiko yang paling benar itu membubarkan, bukan membiarkan,” tandasnya.
“Kalau eng gak segera ambil keputusan tegas, potensi konflik akan termaintain dan meningkat serta bisa menimbulkan konflik sosial. Dengan demikian, menurut saya, Ahmadiyah harus dibubarkan,” terang Menang Suryadharma Ali. Kali ini Menag mengusulkan empat solusi: dibuatkan sekte baru, dilarang, dikembalikan kepada pemahaman Islam arus utama, dan dibiarkan saja. “Kemarin saya secara pribadi mengusulkan, untuk masalah Ahmadiyah ini ada empat solusi. Satu,mereka dibuatkan sekte baru, dila-
10
rang, dimasukkan kembali ke ajaran Islam atau kita biarkan saja,” terang Suryadharma seperti ditulis detik.com (11/02). Jika Ahmadiyah dibiarkan begitu saja dengan keyakinan dan pemahamannya, maka opsi ini tidak menyelesaikan masalah atau justru masalah akan terakumulasi. Sementara opsi pembubaran akan menyelesaikan masalah meskipun jika dihitung-hitung dengan opsi membubarkan akan lebih ringan. Pembubaran ini sendiri, menurut Suryadharma, tidak boleh dipergunakan sebagai alasan bertindak anarkis karena kekerasan tidak dibenarkan baik kepada umat Islam ke sesama Muslim ataupun ke nonMuslim. Usulan yang dikatakan pribadi ini juga merupakan usulan kementerian. “Itu salah satu usulan kementerian juga, menjadi agama baru yang meninggalkan identitas keislaman. Masalahnya apakah yang bersangkutan mau atau kembali menjadi Islam sesungguhnya. Saya kira itu yang terbaik,” jelas Suryadharma seperti ditulis kabarhaji.com (11/02). Lalu, jika menjadi aliran tersendiri, maka konsekuensinya adalah Ahmadiyah tidak boleh menggunakan simbol-simbol Islam. “Jadi kalau sudah bukan Islam konsekuensinya termasuk di dalamnya tidak mempergunakan Alquran sebagai kitab suci,” kata Suryadharma seperti ditulis wartapedia.com (08/02). Dalam kesempatan Muswil (Musyawarah Wilayah) PPP Riau, Suryadharma kembali mempertegas sikapnya. “Atas nama PPP, saya nyatakan Ahmadiyah itu sesat,” terang Ketua PPP ini seperti ditulis detik.com (23/02). Usulan dalam kasus Ahmadiyah, kata Suryadharma, bukan berarti melegitimasi tindakan anarkhis. Tindakan anarkis tidak dibenarkan baik kepada sesama umat Islam maupun kepada non-Muslim. Suryadharma juga menambahkan bahwa usulan pembubaran Ahmadiyah tidak memasung kebebasan beragama. Sebab, kebebasan beragama memiliki konteks tidak boleh melanggar batasan agama lain seperti melecehkan, menodai, dan menistakan agama. Dengan demikian, para pemilik agama mesti memahami dan menduduk-
kan secara proporsional makna kebebasan beragama. “Kalau yang saya maksudkan menghina agama, melecehkan, menodai, menistakan agama, mengubah Kitab Suci dalam kasus Ahmadiyah Islam, apakah masuk dalam kebebasan? Saya rasa tidak,” katanya Republika Online (07/02). Solusi terhadap Ahmadiyah ini akan dirumuskan substansinya untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan dari Menteri, Kapolri maupun Jaksa Agung. Dengan demikian, ia merupakan satu suara dari instansi pemerintah yang semuanya terkait dengan masalah Ahmadiyah. Sebagai tindak lanjutnya, Rabu (16/02) jemaat Ahmadiyah diundang untuk dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI. Dalam dengar pendapat antara lain terungkap pendapat yang sungguh di luar dugaan: mengasingkan jemaat Ahmadiyah di pulau terpencil. Pendapat ini dikemukakan oleh politikus Golkar, HM Busro, karena menurutnya perselisihan Ahmadiyah muncul karena adanya masyarakat yang menolak kehadiran ajaran ini. Jika jemaat Ahmadiyah dipisahkan dengan warga yang bukan Ahmadiyah, maka Busro meyakini konflik bisa diredam. “Kita kan banyak pulau kosong, tinggal saja di sebuah pulau, jadi nggak ribut. Ini salah satu jalan keluar. Kita Indonesia punya 17 ribu pulau dan masih banyak yang kosong,” kata Busro saat RDPU antara Komisi VIII seperti ditulis detik.com (17/02). Alternatif ini, bagi Busro, agar hidup jemaat Ahmadiyah layak sebagaimana warga lainnya karena semuanya bersaudara yang sama-sama berhak hidup layak. Anggota lain, Ali Maschan Musa dari PKB menyatakan lebih setuju dialog. “Dibubarkan saya tidak setuju, dialog saya setuju,” mantan Ketua PWNU Jawa Timur seperti ditulis VIVANews (17/02). Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir Karding menilai usulan Busro adalah inisiatif pribadi, bukan suara resmi Komisi. “Yang perlu digarisbawahi Komisi VIII sama sekali tidak pernah memiliki pertimbangan untuk melakukan pengucilan terhadap Ahmadiyah termasuk membawa mereka ke pulau
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 terpencil,” kata Abdul Kadir seperti. Abdul Kadir menyatakan sedang mengupayakan dialog agar ditemukan solusi yang tepat untuk menangani persoalan Ahmadiyah. Menurutnya, salah satu solusinya adalah membentuk UU yang bisa didasarkan pada SKB tiga menteri. Kecaman datang dari Komnas HAM. Komisioner HAM Nurkholis menyatakan bahwa hak (memilih) tempat tinggal adalah hak asasi manusia selain bahwa ia merupakan melanggar asas kebhinekaan. “Itu sama saja mengisolisir, menghilangkan nilai-nilai kebhinekaan. Kita tidak mendukung usul seperti itu,” jelas Nurkholis seperti dimuat di komnasham.go.id (18/02). Masyarakat Indonesia, kata Nurkholis, harus bisa hidup berdampingan sesuai makna Bhinneka Tinggal Ika. Adapun kekerasan yang dikhawatirkan Busro bisa dihindari
dengan cara dialog, toleransi ditingkatkan, dan ada kepolisian yang bekerja. “Jangan kemudian mencari alasan, yang bayarannya terlalu mahal. Usulan itu menghilangkan prinsip kebhinekaan,” tutupnya. Bagi Thamrin Amal Tomagola, opini pembubaran Menag dapat mendorong untuk melakukan kekerasan. Karenanya, SBY mesti bertindak. “Masak Menteri Agama dibiarkan mendorong orang melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, kenapa nggak dijewer telinganya,” kata Thamrin seperti ditulis Tempo Interaktif (01/03). Soal jabatan menteri juga turut menjadi sorotan Ulil Abshar Abdalla, pengurus Partai Demokrat. Sebagai pejabat publik, menteri harus melindungi semua warga negara dan tidak boleh memihak satu kelompok. Pembubaran Ahmadiyah adalah pernyataan yang diskriminatif.
Bagi Adnan Buyung Nasution, Menag sudah berniat membubarkan Ahmadiyah sejak dulu. “Dari awal di Bundaran Hotel Indonesia (tahun 2009), dalam kampanye dirinya, Suryadharma sudah bilang antiAhmadiyah, akan bubarkan Ahmadiyah. Sudah seperti itu, kok Presiden masih menjadikan dirinya sebagai menteri. Itu kan keterlaluan,” terang Adnan Buyung Nasution seperti ditulis metrotvnews. com (08/12). Menag, kata Buyung, harus dipecat. Jika wacana pembubaran Ahmadiyah belum tuntas di pusat, di daerah sudah diberlakukan larangan beraktivitas bagi kelompok Ahmadiyah. Walikota Samarinda, Bupati Pandeglang, Gubernur Jatim, dan Gubernur Sulsel telah menerbitkan peraturan berkenaan Ahmadiyah. Bentuknya adalah sbeagai berikut:
Daftar Perda Larangan Ahmadiyah di Berbagai Daerah No. 1.
Asal Kota Pekanbaru
Tanggal 12 Oktober 2010
Bentuk Surat
Isi
Walikota
Nomor Warga Jemaat Ahmadiyah di Keluarahan Tuah Karya
450/BKBPPM/636 tentang Kecamatan Tampan dan dalam atau wilayah Kota Menghentikan Jemaat
Kegiatan Pekanbaru dilarang melakukan kegiatan
Ahmadiyah
Keluarahan
Tuah
di
Karya
Kecamatan Tampan dan dalam atau wilayah Kota Pekanbaru
2.
Provinsi Sulawesi Selatan
10 Februari 2011
Surat Nomor 223.2/803/ Peringatan sekaligus perintah Gubernur ke penganut, Kesbang
anggota
maupun
pengurus
Jamaah
Ahmadiyah
Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. 3.
Kabupaten Pandeglang
21 Februari 2011
Peraturan
Bupati Untuk menjaga dan memelihara kondusfitas dan
Pandeglang No. 5 Th. 2011 stabilitas keamanan, ketentraman, dan ketertiban di tentang Larangan Aktivitas Kabupaten Pandeglangm Organisasi/ Aliran Ahmadiyah Ahmadiyah di Kabupaten tidak diperkenankan/dilarang melakukan aktivitas/ Pandeglang
kegiatan dalam bentuk apapun di wilayah Kabupaten Pandeglang. penyebaran
Aktivitas faham,
yang
dimaksud
menceritakan,
meliputi
menganjurkan
atau segala usaha, upaya perbuatan penyebaran faham. Jika dilanggar maka Pemerintah sesuai dengan kewenangannya dengan dibantu oleh aparat leamanan. penegak hukum lainnya akan menghentikan aktivitas/ kegiatan dimaksud
The WAHID Institute
11
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011
4.
Kota Samarinda
25 Februari 2011
SK
Nomor
200/160/ Pemerintah Kota Samarinda mempunyai kewajiban
BKPPM.1/11/2011 tentang
memelihara kententraman dan ketertiban masyarakat
penghentian demi memelihara kerukunan wilayah yang merupakan
dan penutupan aktivitas bagian penting dari kerukunan nasional. Kepada kemaat Ahmadiyah
segenap panganut Ahmadiyah akan dibina oleh Kementrian Agama Kota Samarinda
5.
Provinsi Jawa Timur
28 Februari 2011
SK
Gubernur
Nomor 1.
188/94/KPTS/013/2011
Dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik
2.
Dilarang memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum
3.
Dilarang memasang papan nama di masjid, musala, lembaga pendidikan dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
4.
Dilarang menggunakan atribut JAI dengan segala bentuknya
Ragam Pandangan soal Ahmadiyah Pasca Tragedi Cikeusik Oleh: Nurun Nisa’
T
ragedi Cikeusik menimbulkan kontroversi di banyak kalangan, termasuk para pejabat dan politikus. Beberapa dari mereka dengan lantang mengusulkan agar Ahmadiyah dibubarkan. Wakil Ketua DPR, Laode Ida, persoalan Ahmadiyah jangan melalu berputar pada penegakan HAM. Persoalan Ahmadiyah jangan berputarputar lagi tetapi mesti tegas memilih jalan keluarnya: keluarkan Ahmadiyah dari Islam atau bubarkan saja. Pembubaran Ahmadiyah sendiri tidak akan bertentangan dengan konstitusi. Karena menurutnya kepentingan berbangsa dan bernegara harus diutamakan. “Konstitusinya perlu dilihat dalam konteks yang benar. Negara ini jangan dibiarkan terus kacau,” terang Laode Ida seperti ditulis detik.com (11/02). Laode Ida menyatakan pemerintah tidak boleh membiarkan masyarakat banyak terus berkonflik karena kelompok kecil pengganggu. Pembubaran Ahmadiyah juga diusulkan Ketua Umum DPP Demokrat, Anas Urbaningrum. Anas mengutuk kekerasan terhadap Ahmadiyah di Ciekusik yang menurutnya terjadi karena polisi kurang cepat mengantisipasinya. Akan tetapi, bukannya menyoal kinerja aparat, Anas justru mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran yang bukan termasuk Islam. Tujuannya, kata Anas seperti ditulis liputan6.com (11/02) agar
12
konflik tidak terjadi jemaat Ahmadiyah dan penentangnya tidak terjadi. Caranya, dengan merevisi surat keputusan bersama atau SKB 3 menteri.
“Bagi kami, lebih baik mensosialisasikan kepada umat, agar tidak terpengaruh dengan keyakinan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw,” ujar Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah Saran yang hampir senada dikemukakan oleh mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Muladi. Muladi menyarankan pemerintah agar menetapkan Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam karena pada praktiknya memiliki pandangan dan Nabi sendiri. “Akar masalahnya status Ahmadiyah apa. Jadi wa-
cana di DPR itu betul. Kalau dia mengaku Islam, orang Islam akan marah karena dia mempunyai pandangan sendiri, nabi sendiri, dan pandangan lain,” kata Muladi seperti ditulis metrotvnews.com (17/02). Muladi menambahkan bahwa kecuali melanggar 3 SKB, Ahmadiyah tidak bisa dibubarkan. Jika tidak, pembubaran Ahmadiyah justru menimbulkan persoalan HAM seperti halnya pembubaran ormas anarkis. “Membubarkan Ahmadiyah akan menimbulkan masalah HAM kecuali Ahmadiyah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri. Saya kira pemerintah juga jangan membubarkan Ormas berdasarkan UU 8/1985. UU itu harus diamendemen, sehingga pembubarannya melalui mekanisme pengadilan,” jelasnya. Menjadi agama baru bagi Ahmadiyah sebagai solusi juga menjadi tawaran Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. “Persoalan Ahmadiyah sangat rumit. Di satu sisi ajaran yang disampaikan tertera dalam keyakinan Ahmadiyah bisa dianggap suatu yang mencemaskan bagi pemeluk agama Islam. Kita sarankan Ahmadiyah mendeklarasikan sebagai agama baru karena peliknya persoalan,” jelas Priyo seperti dikutip Kompas.com (10/02). Jika ini dilakukan, maka Ahmadiyah tak akan bisa lagi diburu dan diadili dengan sewenang-wenang seperti terjadi sekarang ini karena sudah dijamin oleh keyakinannya.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Solusi kedua, Ahmadiyah mendeklarasikan diri sebagai bagian dari Islam setelah merevisi ajarannya yang bertentangan dengan Islam. Tak ia mengaku tak sampai hati melarang Ahmadiyah seperti terjadi di negara tetangga, Pakistan. “Karena di Timur Tengah, seperti Pakistan, Ahmadiyah dilarang. Tapi saya tak sampai hati melarang,” tandasnya. Rizal Ramli tidak setuju Ahmadiyah menjadi bagian dari Islam karena aliran ini memiliki pemahaman yang berbeda.
Jika mereka tidak mau melakukannya sendiri, maka pemerintah yang mesti menjembatani demi menghindari bentrok. “Harusnya pemerintah tegas. Ahmadiyah jangan ngaku Islam, ngaku Ahmadiyah aja. Kalau nggak mau, ya pemerintah bubarin aja,” jelas pakar ekonomi itu seperti ditulis liputan6.com (09/02). Sementara itu, Din Syamsuddin menyatakan tak setuju dengan pembubaran Ahmadiyah atau pembentukan Ahmadiyah sebagai agama baru. Yang mesti dilakukan
terhadap aliran ini adalah mengajak Ahmadiyah kembali ke jalan yang benar. Karenanya, Din menyerukan agar para pendakwah melakukan tugas ini. Muhammadiyah, dalam hal ini, menolak pemahaman Ahmadiyah soal kenabian pasca Nabi Muhammad SAW. “Bagi kami, lebih baik mensosialisasikan kepada umat, agar tidak terpengaruh dengan keyakinan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw,” ujar Din seperti ditulis voa-islam.com (21/02).
Aparat Masih Awasi Rumah Ibadah di Rancaekek Oleh: Nurun Nisa’
P
ertengahan Desember tahun lalu, Satpol PP menyegal rumah ibadah di Kompleks Perumahan Rancaekek dengan alasan tidak memiliki izin untuk difungsikan sebagai rumah ibadah. Rumah-rumah tersebut kini masih diawasi. ‘Pengawas’nya adalah sejumlah anggota Polsek Rancaekek dibantu beberapa anggota Reskrim Polres Bandung dan Satpol PP Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung sejak Kamis (27/1). Berbaju preman, para aparat ini memfokuskan patrol pada tujuh rumah yang pernah dijadikan tempat ibadah oleh HKBP setiap hari Minggu. Objek patroli sendiri terlihat kosong. Camat Rancaekek, Maman Nurjaman, menyatakan bahwa pihaknya kini berkoordinasi dengan aparat untuk melakukan patrol, terutama untuk keperluan antisipasi terhadap tindakan anarkis yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung
“Harapan kami, Pemkab Bandung tidak diskriminatif terhadap agama kami, karena ibadah kami tidak merugikan dan mengganggu warga sekitar,” terang Ruli Saragih, jemaat HKBP asal Rancaekek jawab. Pihak kepolisian sendiri menegaskan bahwa jajarannya akan melakukan patroli meski jemaat sudah tidak meng-
gunakannya lagi, seperti ditegaskan oleh Kasat Reskrim Polres Bandung AKP Agung N. Masloman. Ruli Saragih, seorang jemaat HKBP asal Rancaekek, menyatakan bahwa untuk sementara ia dan jemaat HKBP yang lain beribadah di gereja di IPDN Jatinangor yang berjarak 7 km dari Rancaekek. “Harapan kami, Pemkab Bandung tidak diskrimatif terhadap agama kami, karena ibadah kami tidak merugikan dan mengganggu warga sekitar,” jelasnya seperti dikutip sinarharapan.co.id (28/01). “Urusan izin pendirian rumah ibadah sudah bukan wewenang kami. Izin pendirian rumah ibadah kewenangannya ada di Pemkab Bandung,” ujar Maman Nurjaman. Namun pihaknya mengakui sudah mempertemukan antarpemuka agama, ormas Islam, dan para muspika serta muspida untuk membahas masalah tersebut tetapi belum menuai hasil.
FUI Bogor Gelar Aksi Tolak Kristenisasi Nurun Nisa’
F
UI Bogor menggelar aksi damai yang bertajuk “Umat Bersatu Menolak Agenda Pemurtadan”. Acara ini digelar di Jln KH. Abdullah Nuh pada Minggu (23/01). Dalam kesempatan tersebut, Sekjen FUI (Forum Umat Islam) KH. Muhammad al-Khattath menyatakan bahwa umat Islam harus menjagar persatuan untuk menghadapi aksi pemurtadan Islam. Semangat ini juga harus diimbangi dengan sifat ikhlas, sabar, dan istiqomah. Sebabnya, menurut al-Khattath, umay Islam akan selalu mendapat rintangan, misalnya, Kristenisasi yang faktanya sudah banyak terjadi. “Bahkan Lembaga Internasional Crisis
The WAHID Institute
Group (ICG) yang dimiliki orang-orang non muslimpun membenarkan bahwa kasus yang terjadi di Ciketing Bekasi beberapa waktu lalu itu akibat adanya tindakan Kristenisasi yang massif,” terang al-Khattath sambil menunjukkan bukti dokumen laporan ICG seperti ditulis tabligh.or.id (24/01). Sementara itu, Ketua Gerakan Reformis Islam (GARIS) Jawa Barat Ustadz Suryana Nurfatwa menambahkan bahwa menurut investigasinya, Jawa Barat telah dijadikan target utama Kristenisasi. Suryana mengaku telah mendapatkan banyak sekali gerakan pemurtadan yang beroperasi. Pemurtadan ini juga dilakukan oleh sekolah teologi.“Para mahasiswa teologi itu tidak akan diberikan
ijazah sebelum berhasil memurtadkan sekitar 20 orang muslim,” tambahnya. Dalam kesempatan yang sama, seorang pembicara juga mengajak para hadirin untuk berhati-hati dan waspada terhadap Kristenisasi yang kian mengancam. “Tahu bapak-bapak, tahu ibu-ibu, kenapa gereja di depan sana dibangun? Dalam rangka untuk memurtadkan anak-anak yang akan lahir dari rahim ibu-ibu. Itu tujuannya. Sadar enggak, ibu-ibu, bahwa meskipun tidak ada penghuni muslim, mereka memiliki misi suci untuk memurtadkan anak-anak kita,” jelasnya seperti terungkap dalam sebuah tayangan di youtube.com (28/01). Gereja yang dimaksud adalah GKI Taman Yasmin
13
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 yang lokasinya berseberangan dengan tempat aksi damai yang lebih mirip dengan tabligh akbar ini.
“Inti laporan ICG adalah beberapa aktivitas kelompok Pentakosta yang ditujukan untuk mengkonversi umat Islam menambah buruk, bukan menjadi penyebab meningkatnya tensi hubungan antaragama,” jelas Sidney Jones, penasehat senior ICG
Laki-laki berjaket hitam dan berkopyah putih ini juga menekankan bahwa bisa jadi generasi sekarang ini adalah adalah generasi yang selamat dari Kristenisasi. Tetapi harus diingat bahwa mereka menciptakan sarana dan prasarana untuk memurtadkan anak kita yang terlahir dari rahim yang suci. “Itulah sebabnya kalau hari ini kita berpanas-panas, itu belum sebanding dengan resiko yang bakal dihadapi oleh anak-anak kita esok hari. Sadarlah ibu-ibu bahwasanya apa yang sedang mereka bikin ini adalah proyek Kristenisasi. Allahu Akbar, Allahu Akbar,” jelasnya. Gerakan pemurtadan, seperti ditulis tabligh.or.id, juga didukung oleh aliran dana yang besar. Suara Islam (SI) menyatakan bahwa Dalam kasus Gereja Yasmin mis-
alnya, menurut sumber Suara Islam (SI), ternyata telah menghabiskan milyaran rupiah. Dana itu digunakan untuk melicinkan usaha pembangunan yang tidak memenuhi syarat sehingga memperoleh IMB. Kasus IMB ini melaju hingga ke tingkat kasasi dan MA memutusnya sebagai IMB yang sah. Aksi ini juga menghasilkan pernyataan bersama menyikapi pembangunan GKI Taman Yasmin yang dianggap illegal. Pernyataan ini antara lain meminta agar Pemkot Bogor segera mencabut IMB tersebut karena dianggap tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mereka juga meminta agar Pemkot Bogor dan aparat keamanan, baik dari unsur SatPol PP maupun dari unsur Kepolisian Republik Indonesia agar selalu membela kepentingan umat yang berdiri dalam kebenaran, berani bertindak tegas, tidak takut kepada siapapun dan tidak ragu-ragu dalam menindak tegas terhadap segala bentuk perbuatan kriminal dan melanggur hukum dari pihak GKI maupun para pendukungnya. Hadir dalam aksi damai ini sejumlah tokoh dari berbeagai kelompok Islam. Yakni, Ustadz Iyus Khaerunnas (Ketua FUI Bogor Raya), KH. Adam Ibrahim (Ketua MUI Bogor), KH. Khairul Yunus (MUI Kab Bogor), KH. Ahmad Afif (Dewan Syuro FUI Bogor), KH. Muhammad Zen (DPP FPI), KH. Badrudin Subhki (PUI), Ust. Idrus Sambo (Manajemen Shalat), Ust. Dadang (Markaz Islam Bogor), Ust. Amirudin Abu Fikri (HTI), Ust. Zulkifli (Majelis Pecinta Rasul), Ust. Fatih (Ketua DPD Hasmi), Dr. Muhammad Taufiq (IKADI), Ust. Iwan (GARIS Bogor), Ust. Suryana Nurfatwa (Ketua FUI Jabar), Ust. Ahmad Iman (Ketua Forkami), dan Ust. Priyatna (Persis). ICG merilis Asia Briefing No. 114 pada
tanggal 24 November 2010 berjudul Christianisation and Intolerance. Laporan ini menyebutkan bahwa kerukunan beragama di Indonesia dalam keadaan tegang, khususnya di mana kelompok evangelis Kristen dan kelompok Islam garis keras Islam berkompetisi dalam pendirian yang sama. Dalam hal ini, Kristenisasi dipahami sebagai bentuk usaha agar Muslim berpindah kepada Kristen dan dimaknai pada semakin tingginya jumlah pemeluk Kristen di daerah yang mayoritas Muslim sebagai justifikasi mobilisasi massa dan serangan oleh para viligant (anggota paramiliter, Red.). Misalnya, ‘kompetisi’ Yayasan Manahaim dan Yayasan Bethmidrash Talmiddin, sebagai contoh, di satu pihak dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan FPI di pihak lain. Sidney Jones, penasihat senior ICG, menyatakan laporan ICG ini sering disalahpahami oleh para komentator. “Inti laporan ICG adalah beberapa aktivitas kelompok Pentakosta yang ditujukan untuk mengkonversi umat Islam menambah buruk, bukan menjadi penyebab meningkatnya tensi hubungan antar-agama,” jelas Jones dalam artikelnya yang bertajuk “Kristenisasi” and Intolerance di Jakarta Post (19/01). Kristenisasi, menurut Jones, juga banyak digunakan oleh kelompok Islam garis keras untuk memberi stigma terhadap kegiatan Kristen yang lebih luas, seperti pembangunan gereja. Jones menambahkan bahwa Kristenisasi yang dimaksud tidak melulu memurtadkan pemeluk agama lain tetapi juga menyasar kelompok Kristen arus utama. Sebagaimana Jamaah Tabligh yang ingin menjadikan pemeluk Islam menjadi saleh, demikian juga dilakukan oleh kelompok yang melakukan Kristenisasi jenis terakhir ini.
PK Taman Yasmin Ditolak Oleh: Nurun Nisa’
P
erjuangan jemaat GKI Taman Yasmin akhirnya membuahkan hasl. PK yang diajukan Pemkot Bogor terkait IMB ditolak. Dengan demikian, Pemkot mesti membuka segel gereja yang dipasang pada Natal tahun lalu sehingga mereka mesti beribadah di trotoar. Juru bicara GKI Taman Yasmin, Bona Sigalingging menyatakan bahwa keputusan ini mesti dijadikan dasar hukum Pemkot Bogor untuk melindungi peribadatan jemaat GKI. Sayangnya salinan putusan belum diterima pihak GKI sampai akhir
14
Januari, padahal putusan dikeluarkan pada 09 Desember 2010. “Situasi di mana salinan putusan ini belum dikeluarkan, justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis antikeragaman untuk menyebarkan kebencian dan fitnah kepada GKI,” terang Bona seperti ditulis KBR68H (28/02). Karena itulah, mereka berinisiatif mendatangi MA untuk memperoleh salinan keputusan PK pada tanggal 28 Januari 2011. Salinan putusan ini akan menjadi tiket dibukanya segel bangunan. Awal Februari, jemaa GKI belum bisa beribadah di lokasi Gereja Yasmin. Di de-
pan lokasi Gereja, masih terdapat aparat dari Polresta Bogor yang berkuasa. Selain itu, kertas segel dari Pemkot Bohor masih tertempel di tembok pintu gerbang Gereja. Menurut Jayadi Damanik yang merupakan jemaat GKI, seperti ditulis kotahujan.com (07/02), pihak Pemkot baru akan membuka segel bila mereka sudah memiliki kopi surat salinan putusan. Selama menunggu proses yang memakan beberapa minggu ini, jemaat GKI diperkenankan beribadah di gedung serbaguna Harmoni di dekat Giant Yasmin.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011
Tolak Pembangunan Gereja, Kerahkan Siswa Oleh: Nurun Nisa’
R
atusan santri dari Pesantren Sirnamiskin, Nahdliyyin Centre, Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (Fosil PP) se-Kota Bandung, dan Muslimat NU Kota Bandung serta pimpinan Pondok Pesantren Sirnamiskin melakukan aksi unjuk rasa di halaman kantor Ciputra BizPark, Jln. Kopo, Kel. Kebonlega, Kec. Bojongloa Kidul,
”Saya tegaskan, aksi itu dilakukan tanpa koordinasi dengan kami. Saya tidak tahu bakal ada aksi seperti itu,” jelas KH. Maftuh Kholil, Ketua PCNU Kota Bandung, andung. Mereka melakukan demonstrasi B menyusul pemberitahan dari Gereja Bethel Indonesia yang akan membangun gereja yang jaraknya kurang dari satu meter dari pesantren. Keterlibatan santri dan elemen pesantren ini merupakan isyarat kepada pembangun bahwa warga sekitar menolak rencana pendirian gereja. “Ini hanya shock
therapy, tapi jika mereka jadi membangun gereja disini kami sudah mengondisikan seluruh elemen untuk melakukan penolakan serentak dan besar-besaran,” kata Ogan yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Babakan Ciparay, Bandung seperti ditulis vhrmedia.com (01/02). Iik Abdul Chalik dari Nahdliyyin Centre mengatakan bahwa demo oleh santri ini merupakan bagian dari pembelajaran bagi para santri. Demo ini juga mengajarkan berbagai aturan yang ada di Indonesia sejak usia dini. “Kita ingin memberikan memberikan mereka pendidikan agama Islam serta pembelajaran demokrasi, menghargai aturan. Karena pembangunan gereja ini tidak memiliki izin,” ujar Iik seperti dikutip detikbandung.com (01/02). Sementara itu, Ketua PCNU Kota Bandung menyatakan bahwa keterlibatan Muslimat NU dalam demo penolakan gereja dilakukan tanpa koordinasi. ”Saya tegaskan, aksi itu dilakukan tanpa koordinasi dengan kami. Saya tidak tahu bakal ada aksi seperti itu,” jelas Maftuh seperti ditulis vhrmedia. com (02/02). Maftuh juga menyatakan ketidaksetujuannya jika santri pesantren terlibat demo. Mereka tidak mengerti apa-apa sehingga tidak perlu diajak aksi tetapi cukup diberikan pengertian. Maftuh juga tidak setuju atas aksi penolakan gereja selama prosesnya sudah sesuai aturan. “Karena aturan adalah aturan. Dan selama pendirian gereja itu sesuai aturan, saya tidak membenarkan tindakan muslimat NU kemarin,” tambahnya. Senada dengan Kyai Maftuh, Asep Hadian Permana juga menyayangkan aksi
santri yang masih terbilang anak-anak itu. Bagi ketua Aliansi Kebangsaan untuk Kerukunan Umat Beragama (AKUR) ini, jika warga memang menolak pendirian gereja, seharusnya mereka yang berdemo. ”Kenapa mengajak anak-anak sekolah untuk berdemo? Jika warga yang menolak, kenapa bukan mereka yang berdemo? Saya akan melaporkan aksi ini kepada pengurus struktural NU. Masa ada yang demo menolak gereja bawa bendera NU?” kata Asep. Aksi ini bubar setelah ada perwakilan dari PT Central International Property dan sebuah surat pernyataan yang ditandatangani oleh sang General Manager (GM), Ida Prastini, dengan materai enam ribu rupiah. Surat ini berisi pernyataan bahwa mereka tidak akan membangun tempat ibadah dalam proyek mereka di Jalan Kopo Nomor 445. Iik mengaku belum puas. “Kami belum puas dan meragukan jawaban mereka. Kami inginnya, ada jawaban dari GBI dan Walikota Bandung agar rencana pembangunan gereja dibatalkan,” katanya. Karenanya, mereka akan mendatangi walikota agar urusannya lekas beres dengan massa yang lebih besar, termasuk dari ormas-ormas sekitar. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bandung, H. Diding M. Hasan—seperti ditulis Galamedia (02/02)—menyatakan akan memanggil Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Bojongloa Kidul. Selain itu, ia juga akan melakukan pengecekan secara administrasi mengenai bangunan yang diduga akan dijadikan gereja tersebut.
Polisi Tindak Protes Tempat Ibadah Berizin Oleh: Nurun Nisa’
D
ari layanan pesan pendek beredar ajakan untuk melakukan demo di sebuah sekolah dan tempat ibadah di Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar Riau. Si pengirim mengajak kaum muslim untuk melakukan aksi setelah sholat Jumat. Pesan ini dianggap sebagai provokasi berbau SARA oleh aparat. Pengirimnya yaitu Ketua Lembaga Adat Kampar, Datuk Suhaili Husein segera dimintai keterangan sebe-
The WAHID Institute
lum aksi yang dimaksud sempat terlaksana. “Sebelum Jumatan tadi, unsur muspida Pemkab Kampar, kejaksaan, Kodim menggelar rapat sekaligus memanggil penyebar SMS tadi. Di hadapan unsur Muspida, Husein meminta maaf atas tindakannya yang menghasut warga,” kata AKBP MZ Muttaqien seperti ditulis detik.com (22/01). Muttaqien menegaskan bahwa sasaran yang akan didemo sudah mendapatkan izin dari pihak kecamatan. Izin dari Bupati saja yang belum turun. “Tapi permohonan
izin pendirian tempat ibadah dan sekolah itu sudah diajukan ke bupati. Hanya saja belum diberikan izin,” kata Muttaqien. Muttaqien mengajak agar semua elemen masyarakat saling menghormati [agar tercipta] kerukunan umat beragama. Ia juga menghimbau agar tidak hanya mempersoalkan tempat ibadah non-muslim saja karena faktanya banyak masjid juga dibangun tanpa IMB.
15
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011
FPI Serbu Ahmadiyah Makassar Oleh: Nurun Nisa’
S
abtu sore (29/01) sekretariat markas JAI Makassar diserbu oleh FPI. Massa yang berjumlah lima puluhan itu mulai mendatangi tempat di Jl. Anuang meminta Ahmadiyah dibubarkan. Sekretariat Ahamdiyah dalam keadaan ramai karena pada hari itu masih berlangsung jalsah salanah atau rapat tahunan dan silaturahmi dalam lingkup provinsi Sulsel. Puluhan orang dari berbagai Makassar datang ke tempat ini guna mengikuti acara.
“Besok, kami akan kembali mendatangi tempat ini. Jika simbol masih kami temukan, kami akan merusak paksa papan itu,” tegas Habib Reza, kordinator aksi FPI Sulsel
Sabtu merupakan kedatangan untuk kedua kalinya. Sehari sebelumnya, mereka sudah menyerbu. Dalam orasinya, FPI menyatakan bahwa Ahmadiyah melenceng dari Islam. “Ahmadiyah melenceng dari agama Islam, makanya kami meminta agar orang-orang yang ada di dalam, mengosongkan tempat ini,” teriak kordinator Aksi FPI Sulsel, Habib Reza seperti ditulis VIVAnews (28/01). FPI ‘memaksa’ agar seluruh jamaah Ahmadiyah mendirikan agama baru bernama Ahmadiyah. Ahmadiyah diharapkan tidak menggunakan Islam lagi karena keyakinan Ahmadiyah yang tidak sesuai dengan Islam. Bahkan Ahmadiyah dianggap melakukan penodaaan agama. Selain tuntutan pengosongan, FPI juga mendesak agar seluruh simbol Ahmadiyah diturunkan, termasuk papan nama Ahmadiyah. Tak hanya itu, mereka juga meminta agar Ahmadiyah membubarkan diri dalam kurun waktu 24 jam. Jika tidak mereka mengancam akan merusak property Ahmadiyah. “Besok, kami akan kembali mendatangi tempat ini. Jika simbol masih kami temukan, kami akan merusak paksa papan itu,” tegas Habib Reza. Dan benar. Pada hari Sabtu sore, FPI datang kembali menyerbu. Kali ini Kapolda Sulsel Irjen Johny Waenal Usman yang be-
16
rada di lokasi menginstruksikan agar Ahmadiyah diungsikan, bukan mengusir FPI. “Kami tidak ingin terjadi keributan. Makanya kami meminta, mereka yang tidak tinggal di Jalan Anuang Nomor 112 ini, mereka yang hanya peserta silaturahmi, ikut dan meninggalkan tempat ini,” jelas Johny seperti ditulis mediaindonesia.com (29/01). Johny bahkan menekankan agar tempat juga dikosongkan. “Saya berharap tempat ini dikosongkan setelah maghrib untuk menghindari kekisruhan,” kata Johny seperti ditulis Tempo Interaktif (29/01) Akan tetapi, jemaat Ahmadiyah bersikukuh tetap di tempat. “Ini rumah kami. Kami tidak bisa meninggalkan lokasi ini,” tegas Jamaluddin, salah seorang ulama yang berbicara langsung ke Kapolda Sulsel seperti ditulis mediaindonesia.com (29/01). Mereka membuat simpul kuat dengan cara bergandengan tangan ketika akan dievakuasi kecuali lima orang. Menurut penelusuran VIVAnews, selama enam jam polisi melakukan negosiasi dengan jemaat Ahmadiyah namun tetap menolak. Jemaat Ahmadiyah bahkan sempat mengunci pintu dari luar dan memasang meja dan lemari besar sebagai penahan. Lampu lalu dipadamkan. Sesekali terdengar teriakan takbir dalam ruangan. FPI masih bertahan di luar sekretariat Ahmadiyah. Mereka datang dua kali; pada sore hari dan sekitar jam tujuh waktu setempat. Bubar menjelang maghrib, mereka mengancam datang kembali jika jemaat Ahmadiyah masih ada di tempat. Dan benar, mereka datang kembali karena jemaat Ahmadiyah belum dievakuasi sampai dua jam berikutnya. Pukul 21.00 WITA kepolisian dari Samapta Polrestabes Makassar mendobrak pintu dan memasuki setiap ruangan kantor tersebut. Mereka kemudian mengevakuasi satu-persatu jemaat Ahmadiyah ke mobil antihuru-hara menuju kantor Polrestabes Makassar. “Malam ini mereka akan diinapkan di kantor untuk menjaga keamanan mereka. Rencananya besok baru akan diizinkan pulang,” kata AKBP Endi Sutendi, Wakapolrestabes Makassar seperti ditulis VIVAnews (29/01). Mereka yang dievakuasi adalah 25 perempuan, 11 anak balita, dan 4 pria. Anak-anak tampak terguncang dan menangis di gendongan ibunya ketika akan digiring ke mobil evakuasi. Seperti tak punya belas kasihan, FPI terus-menerus
menghujat jemaat ketika evakuasi sedang berlangsung. Evakuasi akhirnya rampung sekitar pukul 22.00 WITA. Versi lain menyebut total yang dievakuasi sebanyak 61 orang. Rata-rata didominasi orang tua, perempuan, dan anak kecil. Rupanya evakuasi ini belum cukup memuaskan FPI. Belasan perwakilan FPI yang dipimpin Habib Reza masuk ke sekretariat dan melihat langsung kondisinya—dengan didampingi pihak kepolisian. Sebelum pulang, mereka masih ‘tega’ merobohkan papan nama Ahmadiyah, menyemprotnya dengan pylox hitam, dan menyita sejumlah dokumen. Alasan FPI menyerbu secretariat Ahmadiyah Makassar, menurut Habib Muhammad Reza, karena mereka diaanggap melakukan kegiatan yang meresahkan masyarakat. Tujuan lainnya adalah agar pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah. “Kami juga berterima kasih kepada polisi yang telah membantu upaya pembekuan kegiatan Ahmadiyah,” katanya seperti ditulis fajar.co.id (31/01) Kehadiran massa pimpinan Habib Reza ini rupanya dianggap hanya sekedar oknum seperti ditegaskan Sekjen FPI Makassar Abu Thoriq. Tetapi oknum FPI dan FPI sejati nampaknya memiliki aspirasi yang serupa. “Tapi perlu saya tegaskan. Kami tetap meminta SKB 4 menteri itu direalisasikan. Jangan hanya diatas kertas sehingga FPI masih ada di Indonesia, khususnya di Makassar,” tegas Toriq seperti ditulis tribunnews.com (29/01). Mantan Ketua Pimpinan Ahmadiyah Sulawesi Selatan, Saiful menyesalkan pembiaran aparat. “Sangat disayangkan kalau polisi mengevakuasi kami. Itu salah. Harusnya yang mendatangi kami yang diusir,” jelasnya seperti diberitakan TempoInteraktif (29/01). Endi Sutendi menyatakan bahwa 30 orang jemaat sudah kembali ke rumahnya. Disinggung soal perusakan, pihaknya sejauh ini masih belum mengambil tindakan. Menurut penelusuran Media Indonesia, isu penyerangan FPI ini sudah merebak sepekan terakhir. Karenanya, hampir setiap hari puluhan aparat berseragam maupun berpakaian preman beredar di sekitar Jln. Anuang. Ketegangan memuncak pada Jumat dan Sabtu yang berujung pada evakuasi jemaat Ahmadiyah dan aksi perusakan oleh FPI.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011
Cap Sesat untuk Aliran Daeng Aha’ Oleh: Nurun Nisa’
D
ari diskusi HPPMI (Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia) aliran Daeng Aha’ tercium keberadaannya. Aliran yang berkembang di Dusun Laiya, Desa Matajang, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros itu dianggap menyimpang dari pemahaman Islam pada umumnya. “Dari beberapa sumber kami yang juga warga Desa Cenrana itu menjelaskan tata cara yang diajarkan sangat berbeda dengan ajaran Islam, di antaranya syahadat yang berbeda, puasa itu haram, dan salat tidak wajib menghadap kiblat,” ungkap Ketua Umum PP HPPMI Maros, Anas RA seperti ditulis fajar.co.id (17/01).
“Ajaran yang saya bawa adalah ajaran Islam. Saya meneruskan ajaran Wali Songo yang ada di tanah Jawa yang sudah mulai dilupakan masyarakat,” kata Daeng Aha’, pemimpin Perguruan Islam Selain itu, penganut aliran ini diwajibkan membayar uang pendaftaran sebesar 1 juta dengan imbalan akan memperoleh ilmu kekebalan tubuh dari Perguruan Islam pimpinan Daeng Aha’. Jumlah penganut aliran Daeng Aha, menurut HPPMI Maros, sudah mencapai 50 orang. Mereka adalah kerabat Daeng Aha’, warga Dusun Laiya, dan warga dusun lainnya seperti Dusun Duajeng. Entah sama atau tidak, dalam versi Tribun News, terdapat juga aliran yang dianggap sesat yang memiliki ciri-ciri hampir sama tetapi bernama Ahad Soth. Syamsul, tukang listrik, yang tinggal di sekitar lokasi Perguruan Islam, mengaku tidak begitu paham dengan aktivitas Perguruan Islam. “Saya memang tidak pernah melihat langsung secara menyeluruh aktivitasnya, hanya saja saya pernah melihat sekali proses mengisi ilmu (transfer ilmu dari guru ke murid, red) saya pernah melihat langsung,” katanya seperti ditulis fajar. co.id (24/01). Pengisian ilmu dilakukan dengan cara menghisap hidung Dg Aha’ yang
The WAHID Institute
menimbulkan suara mirip dengkuran babi. Konon dengan pengisian model ini, para pengikutnya akan kebal dan mampu melukai orang tanpa menyentuh fisik. Syamsul bercerita bahwa warga Dusun Matajang pernah mendengar pembacaan al-Fatihah hanya sepotong lalu dicampur dengan bahasa Makassar dentong. Pada malam tertentu mereka melakukan ritual khusus. Malam tertentu ini adalah malam Senin, Kamis, dan Jum’at yang dianggap sebagai malam raja. Sekali lagi Syamsul menyatakan tidak tahu pasti ritual khusus ini. Ia tak berani mendekat tapi dari perguruan ini terdengar pengikut Aha’ membunyikan takbir dan tasbih. Soal biaya daftar itu, menurut Syamsul, kni sudah turun. “Tapi sekarang biaya masuk kelompok ini sudah turun Rp700 ribu per orang,” ujarnya. Uniknya, aliran ini juga memiliki aktivitas berupacara bendera tiap Senin. Mereka menggunakan bendera putih polos, meraung-meraung menyebut asma Allah sambil mengangkat kedua kepalan tangan. Jika upacara ini dilakukan di atas bukti, Syamsul dapat melihatnya, karena rumahnya berhadapan dengan perguruan itu. Seorang warga yang adiknya tertarik bergabung dengan perguruan itu mengaku pasrah meskipun tidak ada ritualritual khusus yang ditunjukkan kepada keluarganya. Adapun alasan sang adik adalah karena pada hari kiamat nanti sang kakak akan meninggal sementara dirinya akan terbang ke langit. Dari keterangan warga, beberapa warga telah pindah karena adanya ancaman. Warga bernama Irma mengaku pernah didatangi orang dari Perguruan Islam karena dianggap mengolok-olok. “Padahal waktu itu saya hanya ingin ke pasar dan menitip anak saya ke tetangga kemudian saya lari dan dia sedang melakukan ritual, dianggap saya patoa-toai (mengolok-olok, Red.). Tak lama kemudian dia datang dengan membawa anggotanya yang dilengkapi dengan senjata badik dan tombak, dan mengancam nyawa saya,” tandasnya. Daeng Aha ‘menyatakan bahwa ajaran yang dibawanya adalah ajaran Islam yang sesuai dengan al-Qur’an. “Ajaran yang saya bawa adalah ajaran Islam. Saya meneruskan ajaran Wali Songo yang ada di tanah Jawa yang sudah mulai dilupakan masyarakat,” ujarnya seperti dikutip fajar.co.id (25/01). Di Perguruan Islam, anak kecil hingga orang dewasa yang menjadi pengikutnya diajari
cara mengaji dan berislam dengan benar serta salat lima waktu pada waktunya. “Kalau di Jawa nama saya Wali Songo. Kalau di sini (Sulawesi, Red.) Karaeng Dg Patunru. Namaku dari Kerajaan Gowa,” terangnya sambil berteriak. Daeng Aha’ juga menekankan bahwa ajarannya sesuai dengan ketentuan Tuhan. Adapun Tuhan sendiri, menurutnya, ada tiga. “Jadi Tuhan itu ada tiga, puangnya Allah Ta’ala dan Muhammad adalah Karaeng Patanra Lino,” ungkapnya sambil mengeluarkan doa-doa bahasa Arab yang dicampur aduk dengan bahasa Makassar. Otoritas setempat menyatakan akan menindak aliran ini. Pemkab Maros menginstruksikan agar Kesbang Linmas melakukan pembinaan. “Kalau ajarannya lain, mestinya dia tidak boleh mengatasnamakan perguruan Islam. Apalagi kalau dilihat aktivitasnya banyak yang melenceng. Maka dari itu nanti kita akan buatkan rapat koordinasi dulu dan memanggil yang terkait seperti Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem), serta Kepala Desa dan Camat setempat,” jelas HM. Hatta Rahman, Bupati Maros seperti ditulis fajar.co.id (26/01). Camat Cenrana menyatakan bahwa aliran ini termasuk aliran kebatinan sehingga pihak Kesbang Linmas akan melakukan pembinaan kepada mereka. “Pihak Pakem, Kementerian Agama dan MUI belum turun dikarenakan Camat Cenrana bersama KUA setempat menyanggupi akan menyelesaikannya. Mereka mengaku sudah melakukan pemanggilan kepada Pemimpin Perguruan Islam, Dg Aha’,” demikian disampaikan oleh Rahmad Burhanuddin, Kepala Kesabng Linmas setempat. Jika camat dan yang lain tidak sanggup, barulah Pemkab Maros berkoordinasi dengan Pakem, Kementerian Agama, dan MUI akan bertindak. Sementara itu, MUI Maros menayatakan bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits maka termasuk kategori sesat. “Kalau MUI belum dapat memutuskan apakah sesat atau tidak karena kita harus lakukan dulu klarifikasi. Tapi secara pribadi setelah saya lihat video teman-teman media maka saya bilang ini tidak boleh atau sesat karena tidak sesuai dengan Alquran dan Hadis,” terang KH Sahabuddin Hamid, Ketua MUI Maros. Sahabuddin akan memanggil pemimpin aliran ini dan melakukan klarifikasi.
17
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011
Berjilbab, Ditegur dan Dipotong Gajinya Nurun Nisa’
H
idup Nurul Hanifah sepertinya tak tenang semenjak memutuskan untuk berjilbab. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai perawat poli anak di RS Delta Surabaya itu ditegur-tegur berkali-kali oleh manajemen tempatnya bekerja. Teguran pertama datang pada tanggal 23 Desember dan & 7 Januari 2010. Dalam surat ini dinyatakan bahwa Nurul telah melakukan kesalahan dengan melanggar aturan perusahaan pasal 40 ayar 6.2 j yang berisi ketentuan pemakaian seragam.
”Tidak hanya istri saya. Ada sekitar 20an perawat lain yang berkebiasaan seperti istri saya saat kerja. Lepas jilbab saat kerja dan dipasang lagi waktu pulang. Ini dilakukan karena takut dipecat,” jelas Fahmi, suami Nurul Hanafiah Tak tahan dengan perlakuan ini, melalui suaminya, ke LBH Surabaya. Dalam pengaduannya, terungkap bahwa Nurul terpaksa pasang bongkar jilbab karena peraturan yang sangat ketat di RS Delta Surabaya. Nurul tidak sendirian. ”Tidak hanya istri saya. Ada sekitar 20-an perawat lain yang berkebiasaan seperti istri saya saat kerja. Lepas jilbab saat kerja dan dipasang lagi waktu pulang. Ini dilakukan karena takut dipecat,” jelas Fahmi, suami Nurul seperti ditulis suarasurabaya.net (25/01). Selepas menunaikan haji, Nurul berusaha untuk terus konsisten berjilbab per 13 Desember 2010. Sehari kemudian Nurul menulis surat kepada pihak RS tentang jilbabnya itu. Pihak RS menolak tanpa alasan. Setelahnya, turun dua surat teguran.
18
”Yang sampai saat ini kita tidak tahu adalah alasan pelarangan penggunaan jilbab itu,” kata Fahmi. Tak terima dengan perlakuan diskriminasi itu, Nurul mencoba melawan dengan melaporkan kasus itu ke Dinas Sosial dan tenaga Kerja Sidoarjo. Nurul juga melaporkan kasus itu ke DPRD Sidoarjo dan kemarin sudah dilakukan rapat dengar pendapat oleh dewan dengan menghadirkan pihak manajemen RS Delta Surya. Menanggapi pengaduan ini, M. Saiful Aris dari LBH Surabaya menyatakan bahwa kebijakan pelarangan jilbab merupakan bentuk pemasungan dan pelanggaran HAM yang serius. Ini karena jaminan berekspresi adalah bagian dari hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Hak ini sendiri dilindungi secara tegas dalam konstitusi Republik Indonesia, UU No. 39 Th. 199 tentang HAM, dan ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik. “Tidak ada aturan dari perusahaan yang dilanggar oleh Ibu Nurul sehingga ia tidak layak mendapat surat peringatan I dan II,” ujar Aris seperti dikemukakan kepada detiksurabaya.com (25/01). Aris, sebagaimana ditulis oleh Republika Online (25/01), juga menyatakan bahwa surat teguran tersebut merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan beragama. Dari kasus pelarangan jilbab ini, LBH Surabaya menuntut tiga hal. Pertama, menuntut agar RS Delta Surya mencabut aturan pelarangan pengenaan jilbab karena aturan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan HAM. Kedua, menuntut Pemkab, Disnaker dan DPRD Sidoarjo untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penindakan terhadap RS Delta Surya. Dalam kasus Nurul ini, Aris justru mencium kasus ini sebagai permasalahan antara buruh dan majikan dan menganggap Disnaker Sidoarjo sebagai aktornya. “Upaya simplifikasi dari Disnaker Sidoarjo ini tampak dengan mengatakan jika kasus ini adalah persoalan perselisihan ketenagakerjaan biasa dan bukannya menganggap sebagai persoalan pelanggaran normatif,” sebut Aris seperti dikutip okezone.com (25/01). Sebelumnya, pihak Nurul memang pernah mengadukan masalahnya ke Dinsosnakertrans Sidoarjo. Ketiga, menuntut komnas HAM untuk melakukan investigasi pelanggaran HAM
di RS Delta Surya. Ini karena pelarangan jilbab dianggap sudha termasuk pelanggaran HAM kelas berat. Sehari sebelumnya, pihak rumah sakit dipanggil ke DPRD Sidoarjo untuk dimintai keterangan. Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo menyatakan bahwa pelarangan pemakaian jilbab merupakan pelanggaran UndangUndang. “Aturan manajemen yang melarang pegawai memakai jilbab itu sudah melanggar undang-undang. Sehingga tidak bisa dibiarkan dan harus dicabut daripada nanti menimbulkan masalah apalagi sampai menimbulkan SARA,” ujar Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo, Mahmud seperti ditulis okezone.com (24/01) Pada kesempatan tersebut, hadir manajemen RS Delta Surya diwakili dr. Dawam Wahab dan dua pejabat lainnya yaitu Harijono dan Irene. Komisi D mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak Delta Surabaya. Dawam menyatakan bahwa aturan agar pegawai memakai seragam yang sudah disediakan oleh rumah sakit. Pihaknya sendiri hanya menjalankan aturan. Ia menambahkan bahwa setiap pegawai sudah sepakat tentang aturan yang memang tidak jilbab ini. Aturan ini sendiri didasarkan pada keputusan dewan pengurus dan dewan direksi serta sudah disetujui oleh Dinsosnakertrans Sidoarjo. Aturan yang dimaksud sudah dterapakan beberapa tahun terakhir dan tidak akan keluhan. Namun mengenai pegawai yang berjilbab sesudah berhaji ia mengaku sudah mengusulkannya kepada badan pengurus. “Usulan untuk memakai jilbab itu sudah kami usulkan ke badan pengurus. Tapi ditolak,” imbuhnya. Penjelasan senada disampaikan oleh Irene. Pada saat perekrutan, kata Irene, mereka sudah tahu aturan ini. Mereka menerimanya, kecuali kasus Nurul. “Baru kali ini ada tuntutan agar pegawai diperbolehkan memakai jilbab,” ujarnya. Baik Dawam, Irene, dan Haryono tidak bisa menjelaskan alasan pelarangan pemakaian jilbab. Sikap mereka membuat sebagian anggota Komisi D memerah. Hadi Subiyanto misalnya menyatakan jika pegawai memakai jilbab dan pekerjaaan tidak terganggu mengapa jilbab masih dilarang dipakai. “Kenapa kok pihak rumah sakit tidak punya alasan. Kami menuntut agar larangan memakai jilbab bagi pegawai itu segara dicabut,” ujarnya. Permintaan
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 yang juga dikemukakan oleh Usman, anggota DPR yang lain, ini tidak bisa dipenuhi oleh Dawam. “Kami minta waktu seminggu untuk memutuskan itu. Karena masih akan membicarakan masalah ini dengan Badan pengurus RS Delta Surya,” jawab Dawam. Selain itu Nur Hasanah, anggota Komisi D, juga memperingatkan agar kasus ini jangan sampai menimbulkan gejolak bagi umat Islam—apalagi sampai terjadi aksi dan tuntutan pembubaran RS Delta
Surabaya. “Kami minta agar pihak rumah sakit bisa menjaga apa-apa yang bersinggungan dengan kebebasan beragama,” jelasnya. GP Ansor Sidoarjo mengancam demo jika larangan ini diteruskan maka mereka akan melakukan aksi. “Kami imbau agar manajemen RS Delta Surya meninjau ulang larangan tersebut sebelum masyarakat menggelar protes,” kata Agus M. Ubaidillah seperti ditulis surabayapost.com (24/01)
Pelarangan pemakaian jilbab ini akhirnya dicabut setelah terjadi pertemuan antara pihak managemen RS Delta Surya dengan karyawan dengan dihadiri LBH Surabaya serta Dinsosnaker Sidoarjo. Dalam pertemuan itu ditemui kata sepakat penghapusan larangan berjilbab. “Saya bersyukur akhirnya perjuangan saya tidak sia-sia dengan diperbolehkannya karyawan mengenakan jilbab saat bekerja,” terang Nurul seperti ditulis NU Online (28/01).
Padepokan Tarekat Qadiyah Naqsyabandiyah Diserbu Oleh: Nurun Nisa’
K
amis dini hari (17/02) sekelompok orang mengendarai Avanza silver mendatangi padepokan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Blok Dadap Lama, Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Jumlah mereka, menurut kesaksian warga, sekitar delapan sampai sepuluh orang.
“Warga tidak berani mencegah karena mereka membawa senjata tajam,” tutur Tonirih, warga setempat Mereka meninggalkan tempat setelah melakukan perusakan padepokan ini. Tercatat sejumlah pot rusak dan kaca jendela pecah terkena lemparan batu. Surboni bin
Lukman, jamaah tarekat, ikut terluka dalam insiden tersebut akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. Warga tidak ada yang berani mencegahnya. “Warga tidak berani mencegah karena mereka membawa senjata tajam,” tutur warga setempat, Tonirih seperti dikutip Republika Online (17/02). Aparat kepolisian Indramayu masih menyelidiki kasus ini. Tetapi mereka menegaskan bahwa kasus ini tidak bermuatan SARA, melainkan masalah hutang antara kelompok penyerang dan yang diserang. “Jadi, ini bukan karena alasan SARA,” jelas Kapolres Indramayu, AKBP Rudi Setiawan. Ceritanya, Dedi Trimanto membiayai pencalonan kepala desa Junaidi. Jumlahnya sebesar 55 juta. Junaidi sudah membayar utang tersebut dengan cara mencicil. Tidak diketahui alasannya, Dedi dan kelompoknya mendatangi Junaidi di padepokan tersebut. Junaidi memang sering ikut berzikir di tempat tersebut, bahkan padepokan dibangun oleh Junaidi. Karena tidak mendapati Junaidi di tempat ini, mereka melakukan perusakan. Versi lain, Junaidi dan Dedi Trimanto pada mulanya berteman baik. Dedi bah-
kan membiayai pencalonan kepala desa Junaidi. Hubungan pertemanan keduanya kemudian merenggang. Dedi mencari Junaidi untuk menagih utang pencalonan kades di padepokan di Blok Dadap Lama tersebut. Karena tidak menjumpai Junaidi, Dedi menjadi emosi. Polisi lalu meminta keterangan Junaidi di Mapolres Indramayu. Sementara itu, di tempat kejadian dipasang garis polisi dan disiagakan sejumlah personel demi mengantisipasi adanya serangan susulan. Di sisi lain, pihak kepolisian juga berupaya untuk mendamaikan pihak penyerang dan yang diserang. Berdasarkan penyelidikan dan penyidikan, pelaku perusakan bangunan hanya satu orang. “Kami sudah memeriksa dan mengamankan seorang pria diduga tersangka perusakan bangunan itu berinisial O,” jelas Rudi seperti ditulis Pos Kota (18/02). Kekerasan atas nama SARA atau apapun tetap saja bukan sesuatu yang terpuji. Pelakunya harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Sweeping Ahmadiyah Tasikmalaya, Aparat Sigap Oleh: Nurun Nisa’
A
ncaman sweeping terhadap jemaat Ahmadiyah terus merebak. Setelah tragedi Cieukesik yang mengakibatkan tiga orang meninggal, giliran Ahmadiyah Tasikmalaya menjadi target utama. Kegiatan ini dimulai dengan ratusan anggota FPI Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di depan Gedung DPRD
The WAHID Institute
Kabupaten Tasikmalaya. Mereka datang dengan satu truk, empat kendaraan roda empat, dan belasa sepeda motor. Para demonstran yang berpakaian putih dan bersorban ini mengancam akan melakukan sweeping terhadap Ahmadiyah jika warga dalam tempo 1 x 24 jam pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah. “Sejak 1992 Ahmadiyah sumber konflik. Selama Ahmadiyah tetap mengaku seb-
agai agama Islam, sampai kapan pun akan terus terjadi konflik. Ahmadiyah cikal bakal kerusuhan di kalangan umat,” ujar Ketua Tanfidziyah FPI Kota Tasikmalaya Asep Sofyan di depan Gedung DPR seperti ditulis detik.com (09/02). Asep berharap agar anggota dewan segera menyampaikan aspirasi pembubaran Ahmadiyah atau diberikan nama agama baru. Jika tidak ada tindakan
19
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 dalam 1 x 24 jam, FPI menolak disalahkan jika ada sweeping atau aksi di beberapa kantong Ahmadiyah. Kantong yang dimaksud yaitu Tenjowaringin (Kecamatan Salawu), Badakpaeh (Kecamatan Singaparna), dan Cipasung (Kecamatan Singaparna). Semuanya masuk lingkup Kabupaten Tasikmalaya. “Kami juga akan sweeping seluruh kantong Ahmadiyah di Kota Tasikmalaya,” ancam Asep.
“Melindungi orangnya kewajiban Wali Kota dan aparat dalam memberikan perlindungan, kalau mau menghantam akidahnya, silakan,” kata Wali Kota Tasikmalaya, Syarif Hidayat. Tuntutan ini direspons oleh Toni Hanif, Wakil Ketua Komisi 1 DPRD. Toni menyatakan sepakat dengan aspirasi FPI untuk segera membubarkan Ahmadiyah. DPRD, kata Toni seperti ditulis inilahjabar. com (09/02), akan segera menindaklanjuti usulan tersebut. Massa kemudian melanjutkan aksinya ke kantor Wali Kota Tasikmalaya, selanjutnya menggelar aksi di Markas Polresta Tasikmalaya dan DPRD Kota Tasikmalaya. “Kami mendesak pemerintah Kota maupun Kabupaten Tasikmalaya segera mengirimkan surat tuntutan kami kepada pemerintah pusat, dengan harapan Presiden membubarkan Ahmadiyah,” kata Acep. Pembubaran Ahmadiyah ini dihubungkan dengan SKB. Jika Ahmadiyah tidak mentaati SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri, kata Asep, maka umat muslim di Tasikmalaya meminta pemerintah untuk segera membubarkannya. Aparat di Kabupaten Tasikmalaya sudah siap siaga, bahkan kesiagaan ini dimulai begitu meletus tragedi Cikeusik. “Ketika ada running text di teve bahwa ada perusakan (di Banten), saya langsung menginstruksikan Polsek Salawu untuk memantau lokasi tempa ibadah Ahmadiyah,” katanya Kapolres Tasikmalaya AKBP Prahoro Tri Wahyono seperti ditulis radartasikmalaya.com
20
(09/02). Pihaknya sendiri menurukan sekitar sembilan ratus personel yang dibagi ke dalam tiga kelompok. Mereka disebar ke Tenjowaringin di Kecamatan Salawu, Cipasung Desa Sisaro di Kecamatan Singaparna, dan Badakpaeh Desa Cipakat Kecamatan Singaparna. “Polres menerjunkan pasukan siaga patroli di tiga tempat tersebut karena terdapat rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah. Meski tidak ada permintaan khusus dari pemeluk Ahmadiyah, tetapi inisiatif harus dilakukan kepolisian agar tidak terjadi kerusuhan seperti di Cikeusik, Banten Minggu lalu,” kata Prahoro didampingi Kabag Ops Kompol Samsa S seperti ditulis inilahjabar. com (09/02). Kepolisian Kab. Tasikmalaya juga menyiapkan personel sebanyak dua SSK atau sekitar 200 personel. Pasukan ini juga dibekali kendaraan taktis (rantis) sebagai antisipasi terjadinya kerusuhan. Selain berupaya untuk mengamankan sarana ibadah, Kapolres menyatakan berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama. “Kita berkoordinasi dengan pihak tokoh warga setempat, termasuk juga kami meminta jemaah di sana (Ahmadiyah) itu tidak melakukan aktivitas,” tandasnya. Di Kota Tasikmalaya berlangsung penjagaan yang juga ketat. Kapolresta Tasikmalaya, AKBP Moch Hendra Suhartiyono, melalui Kabag Ops Kompol Yono Kusyono, mengatakan pihkanya meningkatkan pengamanan sebagai antisipasi khawatir terjadinya kasus Cikeusik. Penjagaan ini sebenarnya sudah biasa, tetapi pasca kejadian di Pandeglang, jumlah personel ditingkatkan karena khawatir kecolongan—meskipun diyakini tidak akan terjadi bentrokan. Dalam hal ini, Selain polisi berseragam lengkap dan bersenjata, polisi berpakaian sipil juga diterjunkan. “Jangan sampai terjadi kasus kekerasan seperti disana. Siapa pun tentu berharap kondisi kota Tasikmalaya tetap aman dan tentram,” kata Yono seperti ditulis Republika Online (07/02). Yono juga berharap Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Kota Tasikmalaya cepat tanggap supaya tidak terjadi tindakan yang tidak diinginkan. Upaya Bakopakem, menurut Yono, lebih pada pendekatan persuasif kepada pihak Ahmadiyah dan pihak masyarakat lain. Setali tiga uang dengan Kapolresta, Wali Kota Tasikmalaya, menjamin keselamatan warganya yang tergabung dalam Ahmadiyah di Kota Tasikmalaya. “Melindungi orangnya kewajiban Wali Kota dan aparat dalam memberikan perlindungan, kalau mau menghantam akidahnya, si-
lakan,” kata Wali Kota Tasikmalaya, Syarif Hidayat seperti ditulis sripoku.com (11/02). Syarif menuturkan bahwa pengamanan jemaat Ahmadiyah di lingkungannya sudah dikoordinasikan dengan pihak kepolisian. Syarif meminta agar seluurh jemaat Ahmadiyah dijamin keselamatannya dari ancaman tindakan anarkis. Syarif menyatakan bahwa yang dilakukan masyarakatnya adalah memusuhi akidah atau ajaran yang dianut Ahmadiyah, bukan orang Ahmadiyah. Syarif pun berharap agar seluruh lapisan masyarakat yang berkelompok maupun yang personal dalam meluruskan akidah Ahmadiyah tidak dilakukan dengan cara-cara yang anarkis. “Saya juga tidak setuju memakai aqidah itu (Ahmadiyah), tapi jangan sampai anarkis merusak barang, merusak orangnya, jangan bertabrakan dengan ajaran Islam. Kalau mau, hantam saja aqidahnya,” kata Syarif. Tak lupa Syarif mengajak seluruh lapisan masyarakat agar menjaga kondusifitas keamanan Kota Tasikmalaya sebagai antisipasi agar tidak terjadi bentrokan fisik karena dipicu perbedaan fisik. Syarif juga menghimbau agar jemaat Ahmadiyah dapat bermasyarakat dengan lingkungan sekitar, misalnya, melaksanakan sholat berjamaah jika Ahmadiyah merupakan sebuah organisasi keagamaan. Kabupaten Tasikmalaya tak mau kalah. “Apa yang dilakukan kota Tasik bisa saja ditiru. Kita berkumpul, sepakati penutupan tempat ibadah. Siapa yang menutup? Bukan kita, tetap mereka yang menutup. Kita enggak usah turun. Apapun tindakan yang diambil kita akan tegas. Intinya semua unsur harus benar-benar mengantisipasi,” demikian pernyataan Dandim 0612 Letkol Infanteri Bahram dalam rapat koordinasi terkait Ahmadiyah di aula Polres Tasikmlaya seperti ditulis Pikiran Rakyat Online (16/02). Forum dalam masyarakat tersebut sepakat untuk memerangi akidah, bukan memerangi manusianya. Rapat ini akan ditindaklanjuti dengan rapat lanjutan lagi. “Kita ajak semua pihak. Saya tidak sependapat apabila penanganan kasus Ahmadiyah ini terbentur dengan dana dan anggaran. Kalau niat lilahi taala bekerja. Masih kita luruskan,” katanya. Ketua MUI Kabupaten Tasikmalaya Ii Abdulbasith menyatakaan berkoordinasi dengan pihak lain di wilayah yang di dalamnya terdapat tiga ribu jemaat Ahmadiyah itu. Koordinasi dilakukan agar kesalahpahaman hilang sekaligus kebersamaan dan keharmonisan tetap terjaga. “Kita akan bangun langkah simpatik, konsudif, aman dan sejahtera,” ujarnya.
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Di Sukaraja di mana terdapat 130 jemaat Ahmadiyah memiliki suasana yang relatif kondusif. Adapun penyebab tidak kondusif adalah dari warga luar. “Setiap saat akan munculkan seperti itu. Kami hanya menunggu dari atas agar penegakan ini kembali pada subtansinya. Bagaimanapun caranya wilayah kami harus tetap aman dan tentram,” jelas Maman Rahman Eff. Salawu, salah satu kantong terbesar Ahmadiyah di Tasikmalaya, masih kondusif karena warga masih percaya dengan Muspika. Tetapi Mamad, Camat Salawu, mengaharpkan agar bantuan guru khusus agama Islam segera direalisasikan. Jemaat Ahmadiyah mengaku pasrah
dengan keselamatan jiwa mereka. “Kami pasrah kepada Allah Ta’ala,” kata Pengurus Lajnah Immaillah Jemaat Ahmadiyah, Ny Nasir menanggapi peristiwa Cikeusik seperti ditulis radartasikmalaya.com (09/02). Meski demikian, dia merasa aman karena respon cepat para aparat. “Kami di sini semua merasa aman-aman saja, karena aparat kepolisian maupun dari Koramil (TNI) cepat tanggap jika ada gejolak di masyarakat,” tambahnya. Ny Nasir berharap terjadi keadamaian antar sesama warga dan saling menghargai sehingga tidak terjadi kejadian yang tak diinginkan di Cikeusik. Harapan senada diungkapkan oleh Rd Djaja Winatakusumah, tokoh masyarajat
Tasikmlaya. “Untuk di Kota Tasikmalaya saya berharap hal itu tidak sampai terjadi. Saya yakin masyarakat di sini sangat cinta damai dan tidak akan bertindak anarkistis seperti itu. Namun memang diperlukan peran serta pemerintah dan seluruh yang berkepentingan untuk bergerak secepatnya, jangan sampai persoalan itu benar-benar menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak,” tuturnya seperti ditulis okezone. com (09/02). Aparat dan pemerintah yang sigap ini membuat sweeping tidak terlaksana. Ketika massa FPI menuju kantong-kantong Ahmadiyah, mereka tertahan karena aparat sudah siap sedia mengamankan.
Sidang Kasus Ahmadiyah Cisalada Ricuh Oleh: Nurun Nisa’
K
asus pembakaran komplek Ahmadiyah di Cisalada pada Oktober lalu akhirnya disidangkan. Di bawah pimpinan majelis hakim pimpinan Astriwati, sidang pertama digelar pada Senin (17/01) di Pengadilan Negeri Cibinong, Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Akan tetapi sidang ini akhirnya dibatalkan karena kericuhan yang timbul. Warga menolak sidang pembakaran komplek Ahamdiyah yang didakwakan kepada Ade, Aldi, dan Dede. Ratusan warga Cisalada itu meminta majelis hakim untuk membatalkan sidang terhadap ketiga terdakwa ini dan menuntut pihak lain yang melakukan penusukan juga disidangkan. Warga ini menerobos masuk ke dalam ruang sidang yang dijaga aparat dan berteriak meminta pembatalan. Sidang akhirnya ditunda.
“Pokoknya kami melarang jemaat Ahmadiyah melewati jalan ini, kalau mau lewat harus memutar,” terang Sudarman, salah seorang warga Sidang kembali dilanjutkan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi pada minggu berikutnya (26/01). Kali ini,
The WAHID Institute
sidang mendapat penjagaan ketat dari ratusan personel Polres Bogor. Ratusan Dalmas Polres Bogor bersenjata tameng diterjunkan. Jumlah totalnya 2 SKK (Satuan Setingkat Kompi) yang disebar di luar pengadilan dan di ruas jalan yang dilalui massa menuju pengadilan. Memang jumlah ini disesuaikan dengan konsentrasi massa yang meningkat. Massa tidak hanya berasal dari Kampung Cisalada, tetapi juga dari Kampung Kebon Kopi, Kampung Pasar Selasa, Kampung Cimanggu. Mereka datang dengan konvoi puluhan motor. Angkot, dan mobil pribadi. Sebelum sidang dimulai, Kapolres Bogor AKBP Dadang Rahardja meminta bersikap tenang. “Saya minta semuanya bisa menjaga ketertiban. Jangan melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan masalah baru,” ucap Kapolres melalui pengeras suara seperti ditulis Kompas.com (26/01). Massa terlibat saling dorong dengan aparat kepolisian sehingga diadakan perundingan di mana pihak pengadilan terlibat di dalamnya. Akhirnya, tercapai kata sepakat bahwa 10 orang akan masuk ke ruang sidang Kartika I di PN Cibinong yang dimulai pada pukul sebelas siang. Selebihnya, massa terus berorasi sambil membawa beberapa poster dengan kecaman dan tuntutan. Selain meminta tiga terdakwa dibebaskan karena dianggap tak bersalah, mereka juga mendesak pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah. Mereka bahkan mengancam akan membakar sisa perkampungan jemaah Ahmadiah di Kampung Cisalada jika tuntutannya tidak terpenuhi. “Jika tak dipenuhi, kami bisa beraksi lebih besar
lagi,” ancam Agus Sulaeman, salah seorang warga yang tertahan di luar pengadilan. Sementara itu, poster yang dimaksud antara lain bertuliskan ‘Bebaskan 2 Warga Kami’, ‘Ahmadiyah Haram Berada di Wilayah Bogor’. Di dalam sidang, saksi dari Ahmadiyah yakni Mubarik, Ari Saputra dan Syaeful Anwar didengar keteranngannya. Saksi lainnya adalah dari Babinkamtibmas Desa Ciampea Udik, lokasi komplek Ahmadiyah, bernama Anton. “Kesimpulan awal, saksi membenarkan kejadian tapi tak jelas melihat, karena kondisi saat itu malam dan gelap,” terang pengacara terdakwa, San Alauddin seperti ditulis jpnn.com (27/01). Selesai sidang, sekitar pukul 12.00 WIB massa kembali emosi terkait dengan pernyataan saksi yang memberatkan terdakwan. Mereka kemudian mengepung ruang sidang dan menghadang mobil tahanan untuk mencari saksi dari pihak Ahmadiyah. Mubarik dikejar-kejar hingga ke halaman parkir. Polisi berusaha melindunginya dari serangan massa sampai akhirnya Mubarik keluar dari pengadilan dengan selamat. Polisi juga menurunkan mobil antihuru-hara karena massa yang [terancam] tidak bisa dikendalikan. Massa berhasil dihalau lalu membubarkan diri dua jam kemudian. Rupanya, aksi warga ini tidak hanya terjadi di dalam sidang tetapi juga di Kampung Cisalada. Warga menancapkan papan nama bertuliskan “Bubarkan Ahmadiyah Menodai Islam”. Papan ini dipasang di jalan masuk menuju perkampungan Ahmadiyah di Kampung Cisalada, RT 01/05, Desa Ciampea Udik. Mereka berkumpul di
21
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 jalan ini sambil berorasi mengecam ajaran Ahmadiyah, bahkan melarang Ahmadiyah mengakses jalan menuju komplek sendiri. “Pokoknya kami melarang jemaat Ahmadiyah melewati jalan ini, kalau mau lewat harus memutar,” terang Sudarman, salah seorang warga. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas atau kekecewaan terhadap terdakwa. Aksi ini mendapat penjagaan puluhan personel gabungan dari Polsek Dramaga, Ciampea, Cibungbulang, dan Leuwiliang. “Walau keadaan aman terkendali, kita tetap berjaga-jaga di lokasi dengan menempatkan petugas di setiap titik rawan, mulai Cisalada, Cigola hingga Pasar Salasa,” ujar Ka-
polsek Ciampea, Kompol Rony Mardiatun. Sidang terus berlanjut pada Rabu (23/02). Agendanya adalah mendengarkan keterangan saksi ahli. Khoirul dari MUI menyatakan bahwa pembakaran komplek Ahmadiyah karena kesalahn pemerintah yang tidak mencegahnya. Tentang kitab al-Qur’an yang diselewengkan Ahmadiyah atau tidak, Khoirul mengaku tidak memiliki kapasitas soal ini. “Namun kitab yang dipakai serupa tapi tidak sama,” terangnya seperti ditulis Tempo Interaktif (23/02). Dadun, guru terdakwa, menyatakan bahwa penyerangan dan pembakaran masjid terjadi setelah adanya penusukan. “Kabar penusukan sampai ke warga kampung, karena itulah warga
menyerang ke dua kalinya,” kata Dadun. Berdasarkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), para terdakwa terancam Pasal 170 dan 406 KUHP tentang Perusakan Barang dengan ancaman lima tahun penjara. Bulan Oktober tahun lalu, sekelompok warga Kampung Cisalada Desa Ciampea Udik melakukan penyerangan terhadap aset Ahmadiyah. Dalam insiden itu, 21 rumah rusak berat, 5 rumah, 1 masjid terbakar, dan 2 kendaraan terbakar habis. Sebelum penyerangan itu, berhembus kabar jika seorang pemuda ditusuk oleh seorang pemuda lainnya dari jemaat Ahmadiyah.
Pesantren YAPI Bangil Diserang Oleh: Nurun Nisa’
P
ada Selasa (15/02), sekitar pukul 14.05 WIB, sekelompok orang tak dikenal berbaju koko dan berpeci datang dari arah Pandaan mengendarai sepeda motor. Jumlahnya diperkirakan mencapai 200 motor. Mereka melewati pondok pesantren YAPI (Yayasan Pondok Pesantren Islam) Al Ma’hadul Islam yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Bangil-Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Sambil meneriakkan cacian terhadap YAPI, mereka masuk ke area pesantren dengan melewati pintu gerbang utama dan melakukan pelemparan yang mengakibatkan pecahnya kacakas pos penjagaan dan ruang tamu serta menyerang pos penjagaan. “Melihat kejadian yang semakin brutal dan beringas, para santri berusaha menghadang mereka untuk mengantisipasi upaya penghancuran dan perusakan yang lebih besar yang akan menimpa sarana prasarana pesantren seperti masjid, kantor, dan lain-lain,” terang YAPI mengenai kronologi penyerangan seperti dimuat di yapibangil.org (16/02). Kejadian ini berlangsung pada pukul 14.15 WIB. menit kemudian, terjadi bentrok fisik dan saling lempar batu antara para penyerang dan santri YAPI di halaman area pondok pesantren. Hal ini mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak santri sebanyak 4 orang dan 2 orang karyawan pesantren. Akhirnya mereka terpaksa keluar dari pesantren setelah melihat perlawanan gigih dari para santri, sehingga bentrok akhirnya berpindah ke luar area yang mengakibatkan jatuhnya beberapa korban dari para penyerang.
22
Pada saat yang bersamaan, terdengar beberapa letusan tembakan ke udara oleh intel kepolisian untuk membubarkan massa penyerang.
“Melihat kejadian yang semakin brutal dan beringas, para santri berusaha menghadang mereka untuk mengantisipasi upaya penghancuran dan perusakan yang lebih besar yang akan menimpa sarana prasarana pesantren seperti masjid, kantor, dan lain-lain,” terang pengurus YAPI Sepuluh menit setelahnya, pasukan kepolisian datang ke lokasi kejadian. Dan dengan kedatangan Polisi dari Polsek Beji dan Polres Pasuruan situasi berangsur
pulih, bersamaan dengan datangnya para pendukung pondok pesantren dari berbagai wilayah. Dalam kasus ini Kapolda Jatim juga turun dan datang ke TKP serta menggelar pertemuan dengan jajaran Muspida dan pengurus yayasan di Kantor Pesantren. Pukul 15.00 WIB seluruh korban luka dari pihak pesantren langsung dilarikan ke RSI Masyitoh Bangil untuk dilakukan visum dan perawatan, serta satu dari korban dirujuk ke Rumah sakit mata Undaan Surabaya. Tercatat empat santri dan dua penjaga YAPI terluka. Setelah kejadian ini sekolah di YAPI diliburkan. Bukan hanya rasa aman yang berkurang, tetapi kegiatan belajar-mengajar menjadi terhambat terutama bagi siswa kelas 3 yang seharusnya menggelar try out UN (Ujian Nasional) pada Rabu (16/02). “Sehingga try out hari terakhir ini harus ditunda,” terang Wakil Kepala Wakil Kepala SMP dan SMA AlMa’hadul Islami YAPI Zaid Al-Idrus seperti ditulis mediaindonesia.com (16/02). Banyak analisa mengenai sebab kejadian ini. Ketua YAPI, Mukhsin Assegaf, menduga penyerangan ini terkait masalah perbedaan paham. Dalam hal ini, warga setempat sejak lama menduga bahwa YAPI menganut aliran Syi’ah sementara kebanyak warga lain menganut Sunni. Bagi Gubernur Jatim, Soekarwo, persoalannya justru pada komunikasi dan kesenjangan ekonomi.” Proses tentang kecemburuan antara Yapi dengan kelompok yang diduga menyerang karena YAPI berkembang dengan bagus, manajemennya baik, tapi komunikasi kurang lancar dengan lingkungan,” ujarnya seperti mediaindonesia.com (17/02).
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 Alasan ini dikemukakan sebab ketika YAPI dipimpin oleh bapak dari pengelola saat ini, penyerangan tidak terjadi. Sementara itu, Rektor IAIN Surabaya, Prof Nur Syam menyatakan bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah persaingan intelektual antar-pesantren di Bangil yang sudah cukup lama terjadi dan di antara mereka sering saling mengejek. “Masalahnya, apa yang terjadi itu akibat saling ejek yang disikapi secara emosi, sehingga ada yang melempar dan dibalas, sehingga terjadilah penyerangan itu. Jadi, enggak ada unsur agama sama sekali,” katanya seperti ditulis ANTARA News (17/02). Kecaman serupa datang dari the WAHID Institute. Melalui Yenny ‘Zannuba’ Wahid, Direktur the WAHID Institute, menyatakan beberapa sikap. Pertama, mengecam tindakan penyerangan dan kekerasan yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI) di Pasuruan. Kedua, menuntut pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudoyono hingga jajaran pemerintahan daerah untuk memberi instruksi tegas dan langkah konkrit atas pelbagai kekerasan dan konflik horizontal akhir-akhir ini. Ketiga, menuntut kepada Kapolri Timur Pradopo hingga jajaran kepolisian daerah untuk segera menangkap dan mengusut para pelaku dan ormas/kelompok yang terlibat secara adil berdasarkan due process of law. Keempat, menuntut penegakan hukum yang tidak berpihak dan pandang bulu terhadap seluruh perilaku ormas, kelompok, atau perorangan yang terbukti melakukan tindak pidana kekerasan, perusakan, dan penganiyaan terhadap warga negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Kelima, menyerukan ajakan kepada seluruh ormas Islam (NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dll) untuk turut serta menjaga keharmonisan hubungan antar umat beragama, baik dalam linkup internal maupun eksternal. Penyerangan ini, menurut Yenny, bukan hanya mengkibat santri terluka dan aset YAPI rusak, tetapi juga rasa aman yang hilang. “Tindakan penyerangan ini mengakibatkan 4 santri mendapat luka serius, beberapa komplek pesantren rusak, dan hilangnya rasa aman, khususnya bagi kelompok minoritas Syi’ah di Pasuruan,” terang Yenny dalam pers rilis “Tegakkan Hukum Tanpa Pandang Bulu” (16/02). Pendiri the WAHID Institute, Gus Dur, sendiri sejak dulu telah mengkampanyekan bahwa minoritas Syi’ah, sebagaimana mayoritas Sunni, adalah bagian dari Islam yang tidak layak diserang dengan alasan perbedaan pemahaman keagamaan. Sewaktu umat
The WAHID Institute
Islam Syiah dituduh mempunyai al-Qur’an berbeda dari umat Islam lainnya, Gus Dur yang melakukan klarifikasi bahwa al-Qur’an umat Syiah sama dengan al-Qur’an umat Islam lainnya. Gus Dur juga mendesak kepolisian menindak provokasi yang menyebabkan masjid dan rumah tokoh Syi’ah pada akhir tahun 2007 lalu. Meskipun berbeda sudut pandang, tetapi semuanya sepakat bahwa pelaku penyerangan harus diproses secara hukum. Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jatim, mengatakan pihaknya telah mengambil langkah termasuk meminta Kapolda Jatim Irjen Pol Badrodin Haiti untuk mengusut kasus ini dan menangkap pelakunya. Gus Ipul, panggilan akrabnya, juga memuji langkah kepolisian yang sigap mengamankan YAPI sehingga situasi bisa segera kembali kondusif. Karena dianggap berlatar belakang Syi’ah, latar belakang pelaku diduga berkaitan dengan kepengurusan NU. Tetapi hal ini segera dibantah oleh Ketua PCNU Pasuruan, KH. Shonhaji Abdusshomad . “Insiden itu sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan NU,” katanya di sela sela pertemuan di Kompleks YAPI seperti ditulis Kompas.com (15/02). Dalam kesempatan yang sama, KH. Shonhaji mengungkapkan keprihatinnya atas penyerangan tersebut. “Kami meminta kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pelakunya,” tambahnya. Tak lupa, Kyai Shonhadji meminta masyarakat Pasuruan tidak meudah diprovokasi untuk melakukan tindakan anarkisme bernuansa agama. Ia juga meminta masyarakat di daerah Tapal Kuda mewaspadai pihak-pihak yang sengaja membenturkan masalah ajaran agama. Kecaman yang keras datang Ketua PCNU Jombang, KH Isrofil Amar menyatakan perilaku mereka jauh dari karakter Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selalu mengedepankan kedamaian. “Mereka tidak pantas menyandang nama Ahlussunah Wal Jamaah, sebab selama ini kami tidak pernah mengajarkan kekerasan dalam menyelesaikan suatu perbedaan,” ujar KH Isrofil seperti ditulis inilah.com (17/02). Mereka juga dianggap telah mencoreng Jatim yang dikenal sebagai basis NU. “Mereka telah melecehkan warga NU,” katanya dengan geram. Kyai Isrofil juga meminta agar aparat kepolisian tidak canggung mengusut kasus ini. Penyerangan ini sendiri, kata Kyai Isrofil, merupakan penodaan terhadap keutuhan umat beragama yang selama ini terbina di Jatim. Ulah kelompok yang mengatasnmakan Aswaja sama dengan mencoba mengadu
domba umat Islam. Kelompok Aswaja ini, berdasarkan penyelidikan dan penyidikan polisi, merupakan pelaku penyerangan. Polres Pasuruan kini sudah menahan enam tersangka terkait kasus kekerasan dan penyerangan yang dialami Pondok Pesantren YAPI. Sebanyak 33 saksi telah dimintai keterangan. Terkait penahanan ini, Aswaja berniat mengajukan penangguhan penahanan. Humas Aswaja Habib Agil bin Abdullah bin Agil menyebutkan penangguhan ini dilakukan karena mengingat enam anggota jamaah yang ditahan masih berstatus siswa dan harus bekerja karena menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Kapolda mempersilakannya. “Permohonan penangguhan penahanan adalah hak mereka. Silakan diajukan secara resmi dan nanti akan diproses sesuai prosedur,” kata Kapolda seperti ditulis mediaindonesia.com (17/02). Kelompok pengajian Aswaja, sebagaimana dikemukakan Kapolda, mengaku tidak memberikan komando penyerangan terhadap YAPI. Semnetar itu, kepada Kapolda, Ketua PCNU Kabupaten Pasuruan maupun Ketua PCNU Bangil menyatakan bahwa Aswaja bukan termasuk dalam organisasi NU. Seminggu setelahnya, Pengurus Pesantren YAPI mengadu ke Komisi III dan Komisi VII DPR. Kepada anggota dewan, Maheswara Prabandono dan M. Bakir selaku kuasa hukum meminta agar aparat penegak hukum menindak tegas pelaku anarkis dan aktor intelektual penyerangan dan kekerasan. Maheswara menyatakan bahwa tindak kekerasan yang ditujukan kepada Pesantren YAPI sudah berlangsung sejak 2007 hingga sekarang tetapi polisi tidak menindaknya. Dalam aksinya, mereka melakukan teror dan provokasi, secara resmi maupun tidak resmi, dengan membawa predikat Aswaja Bangil. “Pelaku mencaci-maki penceramah Yapi yang dianggapnya bermasalah dan bukan merupakan bagian dari NU dan Muhammadiyah. Sebelum meneror, mereka melakukan pengajian,” ungkapnya. Pihaknya sendiri sudah melapor ke aparat Polsek, Polres, Kapolri, dan Presiden namun tidak ada respons yang serius. Karenanya, ia berharap DPR memberikan respons yang serius. Diterima oleh Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edi dan Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding, kedua anggota DPR ini menyatakan berjanji memperhatikan masalah ini. “Tidak boleh kelompok manapun dan atas nama apapun untuk melakukan kekerasan dan anarkisme. Pada prinsipnya aparat harus menegakkan hukum,” jelas Karding seperti ditulis jpnn.com (23/02). Aktor yang dianggap melakukan pro-
23
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXI, Februari 2011 vokasi selama tujuh tahun itu adalah Tohir Alkaff. “Provokator itu Tohir Alkaff. Dia kerap membawa bendera Aswaja, padahal setahu saya dia di bawah organisasi al-Bayyinat,” terang Ketua Umum Ahlul Bait Indonesia (ABI), Habib Hasan Alaydrus seperti ditulis Republika Online (16/02). Hasan Alaydrus menyatakan teror terakhir oleh Tohir Alkaff adalah menjelang Idul Fitri lalu, sementara yang paling dramatis adalah aksi teror tengah malam pada tanggal 25 November 2007. Senin dinihari (27/11), konvoi motor keliling di Bangil yang dipimpin oleh Tohir Alkaff mengajak masyarakat untuk melakukan perusakan terhadap rumah sejumlah mubalig dan pengelola SMU Al-Ma’had al-Islami yang dianggap sebagai penganut aliran sesat. Total serangan adalah sebanyak tujuh kali tetapi polisi tidak bertindak sehingga Husain melaporkan kejadian ini ke
Bareskrim Mabes Polri pada Rabu (16/02). ABI sendiri merupakan organisasi Muslim Syi’ah, tetapi Husain mengaku ABI tidak memiliki hubungan dengan Pesantren YAPI. “(YAPI dan ABI) tidak ada hubungan. Tetapi memang YAPI salah satu pondok pesantren yang mengajarkan berbagai aliran dalam Islam termasuk ahlul bait (Syi’ah),” katanya. Hasan juga menyerahkan barang bukti berupa rekaman CCTV dari lokasi penyerangan, rekaman telpon seluler, bendera dan bambu yang dibawa penyerang, dan KTP penyerang yang jatuh saat akan kabur. “Kami di sini (Bareskrim Mabes Polri) hanya memberikan barang bukti dan menjelaskan (provokasi) Tohir Alkaff,” ujar Hasan usai bertemu Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Dikdik M. Arief Mansur seperti ditulis RM Online (17/02). Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) adalah kelompok pengajian sedangkan al-
Bayyinat adalah organisasi yang memerangi aliran sesat di Indonesia, terutama Syiah. Al-Bayyinat menyatakan bahwa Syiah sering menjelek-jelekkan kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah. Misalnya, pihak Syiah menerbitkan buku yang isinya menghina pemimpin-pemimpin islam, menghina istri-istri Rasululloh SAW, menguasai masjid milik Ahlussunnah wal jamaah, dan melalui pengajian-pengajian Syi’ah yang isinya dianggap menyakitkan perasaan umat Islam yang menganut Sunni. Karenanya, pihak alBayyinat meminta agar tidak memancing kemarahan umat Islam. “Bagaimanapun kalian (kaum Syiah, Red.) adalah kelompok minoritas yang harus menghormati umat Islam,” terang Ketua Bidang Organisasi Yayasan Albayyinat Indonesia Habib Achmad Zein Alkaf seperti ditulis inilah.com (27/02). Ia berharap penyerangan terhadap YAPI segera teratasi dan bisa diredam.
Analisis 1. Disadari atau tidak nalar agama, mengutip Rumadi, sedang bekerja dalam negara. Para pejabat senantiasa mengulang argumen untuk membatasi ekspresi keagamaan dan keyakinan seseorang. Nalar jenis ini bekerja bukan hanya pada diri Menag (Mentri Agama) yang konsisten menyuarakan pembubaran Ahmadiyah, tetapi juga pada diri pada anggota dewan. Dengan sadar, beberapa anggota dewan menyatakan pemahaman Ahmadiyah adalah menyimpang sehingga disarankan membentuk agama baru atau segera bertaubat, bahkan di antaranya mengusulkan agar penganut Ahmadiyah diasingkan ke pulau terpencil. Tentu saja nalar agama ini tidak menjadi soal jika digunakan oleh mereka yang disebut para pemuka agama, memang kapasitas mereka untuk menggunakannya. Tetapi jika digunakan aparat negara, yang demikian ini sunguh tidak bisa dicerna akal sehat dan sekaligus mengkhawatirkan. Para pejabat ini mestinya menggunakan nalar konstitusi untuk membaca soal keagamaan dan keyakinan di mana semua warga negara tanpa kecuali memiliki hak untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya itu. Demikian juga bagi para aktivis yang sudah bisa melakukan pendampingan kepada kelompok marginal dalam berbagai aspek kehidupan 2. Kekerasan yang timbul berulang kali tanpa bisa dicegah oleh aparat keamanan menimbulkan tanda tanya besar. Jawaban “tak bisa mengendalikan massa yang jumlahnya terlalu banyak” atau solusi “mengungsikan korban demi keamanan yang bersangkutan” sudah kadaluwarsa untuk dipertahankan. Argumen baru yang mungkin disodorkan, mengutip Nono Anwar Makarim, hanya dua hal. Pertama, aparat takut kepada para penyerang atau pelaku kekerasan. Kedua, aparat adalah bagian dari pelaku. Kedua hal ini memang terkesan sumir, tetapi keduanya bisa terus bertahan dan dipertahankan, kecuali aparat berubah sikap dalam menangani kasus kekerasan 3. Upaya bentuk penyeragaman resep dalam mengatasi permasalahan yang bersumber dari ‘keresahan’ makin tidak efektif. Karena resah dengan efek negatif hari Valentine yang diimpor dari Barat, ‘fatwa’ haram MUI dijadikan solusi berulang-ulang tetapi di saat yang sama para remaja makin bersemangat untuk merayakannya. Demikian juga kriminalisasi karena keresahan akibat aliran yang dianggap sesat tidak menghentikan menjamurnya aliran jenis ini. Fatwa dan kriminalisasi pada akhirnya serupa penghukuman, padahal ia ditujukan bukan pada kejahatan atau perbuatan kriminal 4. Kombinasi antara masyarakat yang dewasa dalam menghadapi perbedaan, aparat yang sigap, dan pemerintah yang komitmen melindungi warga tanpa mempedulikan keyakinannya merupakan salah satu solusi menghadapi kekerasan yang kian marak. Ketegasan aparat kepolisian Pekanbaru mencegah provoaksi bernuansa SARA, komitmen kuat para pemimpin daerah di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, dan kerja bersama masyarakat sipil-pemerintah-aparat di Temanggung terbukti dapat meminimalkan eskalasi kekerasan. Kerja mereka akan lebih baik lagi jika instruksi Presiden SBY soal pembubaran ormas anarkis benar-benar direalisasikan
24
The WAHID Institute
Rekomendasi 1. Internalisasi nilai-nilai kenegaraan dalam soal beragama dan berkeyakinan penting bukan hanya bagi aparat di lapangan, tetapi bagi pejabat publik seperti anggota dewan. Internalisasi ini penting selain untuk menegakkan konstitusi kita, juga dapat menjadi katalisator dalam merebaknya kekerasan atas agama dan keyakinan. Sikap mereka yang menjunjung konstitusi akan memberikan legitimasi bagi masyarakat sipil yang berjuang melawan ormas dan aparat yang abai terhadap penghargaan kepada keberagaman, termasuk keberagaman yang dipraktikkan oleh kelompok minoritas. Aktivis juga perlu melakukannya agar nilainilai pemihakannya dalam kelompok yang marginal, secara ekonomi misalnya, tidak mencederai kelompok marginal dalam soal keagamaan dan keyakinan 2. Instruksi SBY soal pembubaran ormas yang anarkis mestinya diterapkan dari pusat sampai ke daerah. Paling tidak di daerahdaerah yang sering meletup kekerasan atas nama agama, instruksi ini akan bermanfaat banyak sekali. Instruksi ini juga akan semakin berguna jika dijadikan salah rujukan untuk merevisi Undang-Undang soal ormas yang belum pernah diperbaharui semenjak tahun 1985 3. Pendekatan kultural masih layak dan relevan untuk dipertimbangkan dalam menyikapi persoalan yang dianggap meresahkan. Pada kasus Valentine, misalnya, pendekatan dari agamawan dan pendidikan soal baik buruknya perayaan Valentine dibandingkan razia coklat di sekolah atau status haram atas hari kasih sayang. Demikian juga pada kasus aliran sesat yang dilabelkan kepada Perguruan Islam di daerah Maros pimpinan Daeng Aha’. Pada kasus Tasikmalaya dan Temanggung, para agamawan yang melakukan pendekatan keagamaan kepada umat, terbukti mampu menenangkan warga terkait kerusuhan di PN Temanggung yang juga meresahkan segenap warga. Pendekatan yang sama juga akan signifikan digunakan pada masalah Syi’ah – Sunni di Bangil.