HASIL DISKUSI REGULER PHBM III 31 Mei 2006 CSF Unmul-TNC Samarinda Tema Mederator Pemapar Peserta
: Peningkatan Usaha Masyarakat Sekitar Hutan Produksi (PUMSHP) : Tunggul Butarbutar, M.Sc. : Ir. Hari Prastowo Adi, M.Sc. (KSB Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Kehutanan Provinsi KalTim) : 72 orang
Sesi Diskusi I: Tanggapan Peserta: 1. Satu yang dapat disimpulkan dari presentasi ini adalah adanya kehati-hatian. Pertama; bahwa Indonesia selalu juara dalam membuat konsep dan aturan. Buktinya adalah HPH dengan TPTI-nya, kalau memang dijalankan sejak dulu, tidak akan ada hutan kita yang rusak. Kedua; wacana ini semacam pacar ketinggalan kereta, karena “mestinya” konsep semacam ini harus sudah ada sebelum tahun 70an. Tetapi Indonesia masih perlu “duit” pada saat itu untuk membangun, maka dibuatlah bentuk HPH. Kemudian, sekarang konsep ini akan diangkat, lalu diaplikasikan di lapangan, apakah tidak terlambat? Artinya di saat di hutan itu sudah tidak ada potensi kayunya, kita ajak masyarakat untuk partisipatif. Seandainya konsep ini harus direalisasikan di lapangan, kita harus hati-hati karena pola kerja petani kita saat ini masih “hari ini kerja untuk makan hari ini”. Seandainya mereka ikut dalam kegiatan ini misalnya pada penanaman/pembuatan penyiapan lahan, apa insentif pemerintah untuk mereka supaya bisa makan hari ini? 2. Apakah masyarakat sudah diberikan seluas2nya untuk mengelola hutannya, ataukah justru dengan pola ini (yang awalnya adalah bermaksud baik untuk masyarakat) nantinya malah muncul hal lain diluar dari yang difikirkan. Konsep ini sangat bertolak belakang dengan apa yang ada di masyarakat saat ini. Pada saat ini masyarakat akan ditangkap walaupun hanya mengambil satu potong kayu (papan, balok) yang dibawa ke rumah (untuk membuat rumah). 3.
Dari konsep yang dikembangkan oleh Pak Agung dan Pak Maman, akan dicoba memanen dengan teknologi yang sederhana, dalam paparan kali ini di poin 33 disebutkan bahwa teknologi yang efisien dan efektif serta ramah lingkungan. Tetapi dalam kenyataannya dalam disebutkan akan menggunakan mesin pancang (mungkin yang sudah beredar sejak lama dalam pengolahan yang ilegal). Seperti diketahui bahwa, dalam pengolahan hutan diatur penggunakan alat berat yaitu buldozer, sedangkan di dalam konsep yang akan diterapkan ini adalah teknologi yang sederhana.
4.
Dalam usulan ini perijinannya hanya sebatas uji coba, pengalaman di Kab. Berau sangat susah. Harapan kita adalah bagaimana sikap di tingkat provinsi, mengenai usulan proposal tersebut apakah nantinya bisa dipermudah mengenai perijinannya.
5. Tentang nama “Peningkatan Usaha Masyarakat Sekitar Hutan Produksi”.
Nama ini terlihat bahwa
kegiatan ini berada di luar kawasan hutan. Yang difahami mungkin berarti kawasan yang barangkali sudah tidak produktif, jadi bisa dikatakan kembali masyarakat yang berkewajiban untuk melakukan rehabilitasi terhadap kegiatan “orang-orang” yang sudah mendapat keuntungan sebelumnya. Tetapi sebaiknya perlu lebih di perjelas sehingga tidak muncul penafsiran yang berbeda-beda. 6. Apakah kegiatan ini sudah dimulai, berjalan atau bagaimana? Seperti yang disampaikan bahwa ini masih tahap uji coba, seharusnya barangkali untuk masyarakat sekarang, tidak lagi dalam tahap buji coba, sudah agak terlambat. Seharusnya dengan didasarkan pada pengalaman yang sudah diimplementasikan di daerah lain. Apa lagi seperti disebutkan di dalam presentasi bahwa isu kerusakan hutan dengan laju deforestasinya itu sangat tinggi 2 juta ha/tahun. Kemudian dari sejarah disampaikan bahwa sebelum HPH mengelola hutan di indonesia, terbukti masyarakat punya kearifan, bisa menjaga hutan, tidak rusak. Sejarah juga membuktikan sejak HPH diberikan kewenangan untuk mengelola hutan, hutan justru menjadi rusa. Jadi hal ini dapat menjadi prinsip awal, bagaimana kita sebenarnya memberdayakan masyarakat pada posisi yang benar, jadi bukan lagi hanya “lipstik” atau pemanis. Kemudian dijelaskan bahwa PHBM dengan PUMSHP ini jelas sangat berbeda konsepnya maupun teknisnya (barangkali). Jadi dimana sebenarnya kawasan yang akan dipergunakan untuk kegiatan PUMSHP? Untuk hal ini lokasi kegiatan adalah di Muara Kaman, kira-kira apa dasar pemikiran pemilihan lokasi tersebut? (Kriteria pemilihan lokasi). 7. Mengenai indikator-indikator yang ada kelihatannya sangat berat bagi masyarakat dan sangat idealis. Alangkah bagusnya kalau ada konsep yang baru adalah konsep praktis dan sederhana serta terintegrasi.
Jadi melihat hutan bukan lagi hanya dari sisi tidak produktif yang diberikan kepada
masyarakat sehingga masyarakat hanya kebagian menanam dan memanen, sementara pihak-pihak lain masih tetap melakukan kegiatan penebangan, mendapatkan keuntungan yang besar. 8.
Dalam rangka otonomi daerah, yang mempengaruhi banyak kebijakan-kebijakan kehutanan di Indonesia. Peranyaannya, dimana peran Pemda dalam hal isu atau basis masyarakat?
Ulasan Pemapar : 1. Harapannya kegiatan ini tidak berhenti pada konsep saja. Kegiatan ini berupa proyek dan sedang berlangsung. Untuk Kalimantan Timur sudah dibuat rencana umumnya dengan lokasi di Muara Kaman diproyeksikan seluas 5.000ha. Kebijakannya bukan untuk uji coba, di provinsi-provinsi lain pun dapat diterapkan kalau hak pengelolaan hutannya telah diberikan sepenuhkan kepada pihak
lain (karena memang diperuntukan untuk hutan produksi), namun demikian kegiatan ini diharapkan bukan hanya pada kawasan tidak produktif tetapi juga produktif. Di Kaltim tidak ditemukan kawasan hutan produksi yang belum dibebani hak, kecuali eks HPH, tetapi setelah dilakukan penjajakan (walaupun dengan keterbatasan yang ada) di Kaltim ditetapkanlah di wilayah Muara Kaman. Walaupun intensitas konflik di wilayah ini cukup tinggi, dengan adanya kegiatan ini diharapkan masyarakat yang telah mengklaim kawasan tersebut sebagai hak milik untuk dapat mengembalikan dan kemudian diberi hak pengelolaan bagi mereka. Dan hak tersebut tidak terpenggal-penggal (per-segmen) tetapi sepenuhnya diserahkan pada mereka, mulai dari tahap perencanaan hingga pemanenan. 2. Terlambat? Ya. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sehingga baru sekarang dapat terealisasi. Ide seperti ini sudah muncul dari “rezim” sebelumnya, namun belum dapat dilaksanakan. Hal lain dipengaruhi pula bahwa pada masa tersebut hutan diperuntukan untuk devisa dalam pembangunan. Masa desentralisasi ini justru sangat mendukung, pelaksanaan secara partisipatif dan “bottom up” sebagai landasan bergeraknya. Pemerintah hanya memberi satu pedoman dan selanjutnya diserahkan kepada masyarakat untuk merealisasikannya.
Karena kegiatan ini baru
maka untuk pembiayaan diawali dengan program pemerintah berupa “proyek”, dan tidak sepenuhnya biaya/proyek dari pemerintah diharapkan pula partisipasi dari pihak-pihak lain (seperti HPH dan pihak swasta lainnya) untuk membantu. Dan berharap hal ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan sepihak. 3. Hak kelola hutan sepenuhnya diserahkan pada masyarakat. Jadi anggapan bahwa masyarakat hanya disuruh menanami bekas HPH dan kemudian nantinya saat memanen orang lain yang memanfaatkan, tidak ada lagi.
Jadi indikator keberhasilannya adalah kelestarian usaha
masyarakat itu sendiri. 4. Dishut memfasilitasi masalah perijinan, dan kegiatan ini adalah kegiatan multipihak masyarakat tidak dilepas sendirian menata dan mengelola kawasan namun hak pengelolaan diberikan sepenuhnya kepada masyarakat.
Indikator untuk HPH terlalu tinggi tidak sesuai dengan
kemampuan masyarakat, tetapi diusahakan dan disesuaikan. 5. Sama dengan PHBM? Ini hanya istilah, istilah PHBM sendiri masih selalu diperdebatkan. Dapat pula diistilahkan sebagai PHOM (Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat). Tapi maksudnya sama yaitu masyarakat sendiri yang melakukan segala sesuatunya. Sesi Diskusi II Tanggapan Peserta
1. Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi dulu, mengenai status: ini masih dalam bentuk konsep, sudah dilaksanakan, atau sedang dilaksanakan dan berapa lama? Karena pengembangan PHBM itu adalah proses, dan proses bentuk yang sederhana sekalipun dalam pelaksanaannya tidak mudah. Konsepnya bagus, tapi dalam implementasi, selalu saja ada hal-hal yang diluar dari antisipasi kita. Jadi, selalu ada perkembangan yang terjadi dan itu adalah proses, dan itu mesti ada updating terus menerus. 2. Kalau ini project, maka waktu yang disampaikan merupakan jangka waktu yang terlalu pendek, pasti setiap orang akan mengatakan pesimis berhasil. Persoalannya menteri sekarang tidak ingin menggunakannya, (kalau kita lihat jujur) sebenarnya konsepsinya memang tidak berbeda dengan PMDH, dalam PMDH juga ada salah satu poin dalam aspek peningkatan kelestarian dan itu adalah mengenai hutan kemasyarakatan. Yang perlu kita ingat bahwa PMDH itu diwajibkan kepada pengelola unit manajemen yang bertahun-tahun ada disitu, dan mendampingi terus menerus. Sementara hal itu tidak menunjukkan hasil yang optimal. Jadi apabila project multi use maka paling sedikit 3 – 5 tahun. HPH saja 20 tahun atau +/- 10 tahun karena PMDH bermula pada tahun 1991. Apalagi masih konsep, dan kalau kita lihat konsepnya memang sangat rumit sekali karena pemenuhan kriteria indikator itu sendiri sebenarnya, tetapi kaitannya dengan apa? Tentu kita masih bisa sempurnakan, namanya juga konsep, karena memang banyak hal yang belum jelas, belum terinci, dsb. Tetapi yang terpenting adalah klarifikasi dulu. Apakah ini suatu project yang diminta dari “atas” (departemen)? Atau memang inisiatif atau pengembangan dari Dinas Kehutanan sendiri, atau yang lainnya? 3. Konsep ini bersentuhan langsung dengan masyarakat, jadi harus ekstra hati-hati. Saat ini hampir tidak ada kawasan yang tidak dimiliki masyarakat, baik itu dengan istilah masyarakat adat atau hutan adat, dll. untuk itu perlu ada konsep untuk memetakan konflik ditingkat masyarakat, karena tidak mustahil akan muncul konflik baru karena adanya pengurangan lahan masyarakat setelah adanya program ini. 4. Jangan sampai program ini memunculkan anggapan hanya proyek menghabiskan anggaran. Jadi diusulkan untuk mensupport masyakat untuk pengembangan potensi-potensi lokal yang menonjol (misalnya wilayah karet dan rotan). Dan keunggulannya adalah bahwa masyarakat sudah terbiasa mengerjakannya secara turun temurun, tidak harus melakukan sesuatu yang baru dan asing yang masih membutuhkan penyesuaian. 5. Gambaran hasil implementasi konsep, dan kendala-kendalanya. 6. Mempertahankan status dan fungsi kawasan hutan 7. Secara faktual dibeberapa desa masyarakat telah melakukan logging masyarakat, dan masyarakat (dalam versi kita) melakukannya secara “illegal”, mengapa teman-teman dari Dinas Kehutanan
proaktif dalam hal ini saja? Artinya masyarakat diberi kawasan dan punya tanggung jawab dan difasilitasi melalui proyek ini. 8. Aspek kelembagaan, apakah proyek ini akan embentuk kelompok-kelompok baru? Umumnya di desa ini sudah ada kelompok-kelompok tani yang telah terbentuk sebelumnya. 9. Apabila ada masyarakat yang mengajukan kawasan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung desa, apakah hal tersebut sudah masuh dalam mekanisme (konsep ini). 10. Masalah pemasaran dari hasil hutan tanaman masyarakat sudah harus difikirkan, karena jangan sampai seperti pengalaman yang lalu, sebagai contoh “sengonisasi” pada saat tahap pemasaran terhenti. 11. Adanya akses untuk masyarakat dengan aturan ketat, tetapi karena merupakan suatu proyek maka tidak semua masyarakat akan dapat terlibat karena masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses ke Provinsi dan mereka akan kesulitan didalam mengurus perijinan (misalnya). Tetapi bila satu masyarakat diberikan kesempatan maka ada kemunginan akan menjadi pemicu bagi masyarakat lain untuk mengajukan 12. Masyarakat selalu berusaha ingin melepaskan kawasan, tetapi rambu-rambu tidak megijinkan, maka ada kemungkinan akan menumbuhkan konflik. Sehingga bagaimana untuk mengatasi konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat? Ulasan Pemapar: 1. PMSHP ini mengacu pada Peraturan Presiden 01/Menhut/II/2004 tentang sosial forestry dan sosial forestry mengacu pada SK HKM yang ada, walaupun di dalam Departemen sendiri masih HKM dan masih ada kelompok kerja kehutanan. PMSHP adalah nomenklatur untuk project, hanya sebagai strategi memunculkan biaya (modal awal).
Project disini hanya sebagai pemicu
bergeraknya suatu program yang belum dapat berjalan sendiri dan lambat laun diharapkan akan dapat berjalan sendiri, oleh sebab itu waktunya tidak lama direncanakan hanya 5 tahun. Diharapkan pula bahwa hasil pemanenan setelah kegiatan dapat berjalan lancar dapat dimanfaatkan sebagai modal kelanjutan kegiatan secara mandiri (seumpama menciptakan perusahaan masyarakat). Harapannya pula bahwa apabila kegiatan ini berhasil dapat menjadi contoh dan dibuat duplikasinya di Kabupaten-kabupaten. 2. Inisiatif dari program/proyek ini adalah untuk memberikan akses sebesar-besarnya kepada masyarakat, dan dengan tidak mengubah status dan fungsi kawasan. 3. Hak kelola sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat, dengan pilihan produksi adalah kayu, hanya saja disarankan dengan menggunakan pola tumpang sari dan dengan jenis tanaman yang
dikembangkan adalah tanaman setempat atau yang sudah ada. Tetapi apabila ada jeis yang perlu dilindungi maka areal tersebut di blok dan dijadikan kawasan konservasi. 4. Konflik yang ada diselesaikan terlebih dahulu dengan melibatkan lembaga yang ada (adat, kelompok, koperasi, dll).
MAKALAH (yang disampaikan) PENINGKATAN USAHA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN PRODUKSI (PENGELOLAAN HUTAN MULTIPIHAK BERBASIS MASYARAKAT) LATAR BELAKANG 1. Kerusakan hutan (>2 jt) 2. Masyarakat Sekitar hutan Identik Kemiskinan 3. Kerusakan Lingkungan 4. Benturan Kepentingan/Intensitas konflik tinggi 5. Pentingnya perubahan sistem pengelolaan hutan yang berorientasi pada PHPL dan peningkatan kesejahteraan masyarakat PENGERTIAN Upaya pemberdayaan masyarakat setempat di sekitar hutan produksi melalui pengembangan unit-unit usaha masyarakat sekitar hutan dalam suatu lembaga ekomomi yang berbasis hutan dan pengelolaan hutan mandiri, sehingga kesejahteraannya meningkat. PRINSIP - Situasi dan kondisi setempat (Local specific) dan berbasis hutan. - Perencanaan partisipatif, bottom up, keterpaduan antar sektor, transparan, melibatkan parapihak. - Pemerintah, LSM, Swasta, Perguruan Tinggi sebagai fasilitator - Pelaksana aktif/aktor utama masyarakat dalam wadah kelompo - Dikelola secara lestari, keswadayaan, kebersamaan dan kemitraan. - Memberi manfaat langsung dan tidak langsung RAMBU-RAMBU: • Tidak merubah status dan fungsi kawasan hutan • Tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan • Tidak parsial tetapi pengelolaan hutan dilaksanakan secara untuh dalam kerangka Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi STRATEGI: • KELOLA KAWASAN •
KELOLA KELEMBAGAAN
•
KELOLA USAHA
: Pemantapan kawasan, penataan kawasan, perlindungan, dan pengamanan : Pembangunan dan penguatan organisasi, penetapan aturan main, Peningkatan kapasitas SDM : Pengelolaan produksi, pemasaran, keuangan, SDM, dan sarana produksi
TAHAPAN PENYELENGGARAAN 1. Perencanaan a. Prakondisi b. Inventarisasi, Identifikasi dan Pemantapan Lokasi c. Penyusunan rencana Umum d. Penyusunan Rancangan Teknis 2. Pelaksanaan Kegiatan a. Kelola Kawasan b. Kelola Kelembagaan c. Kelola Usaha 3. Pengelolaan Pasca Kegiatan 4. Monitoring dan Evaluasi ACUAN DASAR PENYUSUNAN PUMSHP • KEBIJAKAN PEMERINTAH • PRINSIP PENYUSUNAN RU-PUMSHP • NILAI-NILAI • KPHP, PHAPL, DSB PENINGKATAN USAHA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN PRODUKSI Visi : “Hutan Lestari dan Masyarakat sejahtera” Misi : “Sistem pengelolaan hutan hutan produksi bersama masyarakat sekitar hutan secara optimal dan berkesinambungan yang berorientasi pada kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial STRATEGI INDIKATOR KINERJA DIMENSI MANAJEMEN : ¾
¾
¾
Manajemen Kawasan 1. Pemantapan Kawasan 2. penataan kawasan 3. Pengamanan kawasan Manajemen Hutan/Usaha 1. Kelola produksi 2. Kelola lingkungan 3. Kelola sosial Manajemen Kelembagaan 1. Penataan organisasi 2. Sumberdaya manusia 3 Pengelolaan keuangan
STRATEGI INDIKATOR KINERJA DIMENSI HASIL : ¾ Kelestarian Fungsi Produksi Kelestarian sumberdaya Kelestarian hasil hutan Kelestarian usaha ¾ Kelestarian Fungsi Ekologis Stabilitas ekosistem Sintasan jenis dilindungi ¾ Kelestarian Fungsi Sosial Terjaminnya sistem tenurial Terjaminnya ketahanan dan Pengembangan ekonomi komunitas
KRITERIA DAN INDIKATOR STARTEGI AKSI KELOLA KAWASAN : Pengamanan Kawasan
Pemantapan Kawasan, Penataan Hutan, Perlindungan Dan
KELOLA KELEMBAGAAN : Organisasi, Aturan main, SDM, Pembiayaan KELOLA USAHA : Produksi, Pemasaran, Jaringan, Pengelolaan Keuangan, Sumberdaya Manusia Serta Produksi
SISTEM PHAPL
SISTEM KPHP
RENCANGAN TEKNIS •KELOLA KAWASAN (SOP) •KELOLA KELEMBAGAAN (SOP) •KELOLA USAHA (SOP)
Bagan. Kerangka Konsep PUMSHP
TAHAPAN KEGIATAN • ORIENTASI •PERENCANAAN •IMPLEMENTASI •KONSOLIDASI •PENYELESAIAN •PENGEMBAGAN (PASCA PROYEK)
SCAPING KAWASAN HUTAN LAND TIPOLOGI
SOLUSI PENGEMBANGAN POTENSI DAN PERMASALAHAN PUMSHP HUTAN KAYU DAN TANAMAN PERKEBUNAN
KESEMPATAN KERJA PADA SEKTOR LAIN
PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN
KESEPAKATAN POLA KERJASAMA
PEMBIBITAN TANAMAN KAYU DAN TANAMAN PERKEBUNANAN (MPTS)
DIALOG DENGAN DINAS KEHUTANAN FASILITASI OLEH LSM SETEMPAT PENETAPAN TATA BATAS ANTAR DESA DAN POLA PENGELOLAAANNYA
PENETAPAN AREAL HUTAN REHABILITASI SECARA PARTISIPATIF
Matrik Multiple Cross Corelation (MCC)/Matrik Peran Stakeholders
Peran
Kelola kawasan, Usaha dan Kelembagaan, Ristek
Fungsi
Potensi
Kepenti ngan
Matrik Multiple Cross Corelation (MCC)/Matrik Peran Stakeholders Pemerintah Dunia Usaha Perguruan Tinggi Masyarakat (Swasta) (PT) apa dan apa dan apa dan apa dan bagaimana peran bagaimana peran bagaimana peran bagaimana peran pemerintah thd swasta thd kelola PT thd kelola masyarakat thd kelola kawasan, kawasan, kawasan, kelola kawasan, kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan usaha usaha usaha usaha apa dan apa dan apa dan apa dan bagaimana fungsi bagaimana fungsi bagaimana fungsi bagaimana fungsi pemerintah thd swasta thd kelola PT thd kelola masyarakat thd kelola kawasan, kawasan, kawasan, kelola kawasan, kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan usaha usaha usaha usaha apa dan apa dan apa dan apa dan bagaimana potensi bagaimana potensi bagaimana potensi bagaimana potensi pemerintah thd swasta thd kelola PT thd kelola masyarakat thd kelola kawasan, kawasan, kawasan, kelola kawasan, kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan usaha usaha usaha usaha Apa dan Apa dan Apa dan Apa dan bagaimana bagaimana bagaimana bagaimana kepentingan kepentingan kepentingan PT kepentingan pemerintah thd swasta thd kelola thd kelola masyarakat thd kelola kawasan, kawasan, kawasan, kelola kawasan, kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan kelembagaan dan usaha usaha usaha usaha
LSM apa dan bagaimana peran LSM thd kelola kawasan, kelembagaan dan usaha Apa dan bagaimana fungsi LSM thd kelola kawasan, kelembagaan dan usaha Apa dan bagaimana potensi LSM thd kelola kawasan, kelembagaan dan usaha Apa dan bagaimana kepentingan LSM thd kelola kawasan, kelembagaan dan usaha
KEPENTINGAN DAN PERAN STAKEHOLDERS DALAM PUMSHP MATRIK PERAN DAN KEPENTINGAN KEPENTINGAN DAN ASPEK KELOLA KEPENTINGAN
PEMERINTAH Lingkungan Lestari dan Masyarakat Sejahtera
KELOLA KAWASAN
Menetapkan kebijakan tata batas yang partisipatif KELOLA USAHA Simulasi kredit usaha tani-hutan.
KELOLA KELEMBAGAAN
Koordinasi yang kuat antara Dinas Kehutanan dengan lembaga kedinasan lainnya di tingkat kabupaten hingga desa.
DUNIA USAHA (SWASTA) Manfaat secara ekonomi berkelanjutan
PERGURUAN TINGGI (PT)
MASYARAKAT
LSM
Hutan dan warga Manfaat sosial, Masyarakat sekitarnya sebagai ekonomi dan ekologi mandiri laboratorium lapangan
Menghormati tata Rekomendasi tata batas pengelolaan penetapan kawasan yang telah ditetapkan hutan menurut fungsinya Memfasilitasi Rekomendasi penyediaaan bibit kelayakan usaha tanaman dan pengelolaan pasca panen Menjadikan kelompok Pelitihan managemen tani dan kelompokusahatani dan kelompok usaha kewirausahaan setempat dan kelompok adat sebagai mitra usaha.
Bersama pemerintah Pengembangan memetakan tata metode batas hutan adat pemetaan secara partisiatif Diversifikasi usaha, Pendampingan hak pakai di lahan dan pelatihan hutan keterampilan budidaya dan pengolahan hasil Memperkuat posisi Pendampingan dan peran dalam rangka kelembagaan adat pengembangan organisasi dan kemitraaan usaha