Hasil dari Kerja Keras Angin bertiup kencang, langit tampak mendung. Jika melihat ke arah utara terlihat burungburung beter-bangan. Mereka mengepakkan sayap melintasi udara. Sesekali mereka bertukar posisi untuk menyeimbangkan arah angin supaya tidak ada yang terjatuh. Burung merupakan filosofi yang indah. Mereka bergerak membentuk huruf V, saling berbagi dan tolong menolong. Tidak berbeda dengan semut. Setiap bertemu mereka menyentuhkan antenanya untuk memberi sinyal bahwa mereka berasal dari spesies yang sama. Demikian pula yang terjadi pada lebah. Mereka bekerja untuk ratu mereka. Tidak mengeluh dan tak kenal lelah. Ini mengajarkan pengorbanan. Di bawah langit mendung ini, berdirilah aku. Aku adalah anak dengan postur tubuh yang besar dan tinggi. Satu hal lain yang kumiliki adalah kepintaran yang biasa-biasa saja. Siang itu aku termenung. Menatap kejauhan. Yang kupikirkan adalah, “Ke mana aku harus melanjut-kan sekolah?” Teman, kalau kalian mau tahu sebenarnya aku baru saja lulus MTsN. Kemarin adalah hari pengumuman kelulusan UAN. Hari yang sangat ditunggu-tunggu. Hari yang mendebarkan dan menggairahkan. Pengumuman dilakukan pada sore hari. Waktu itu para siswa sudah berkumpul. Semuanya merasa was-was. Mereka bertanya-tanya apakah usaha yang telah mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil yang baik atau berakhir sia-sia. Dag dig dug, dag dig dug. Seperti itulah kira-kira suara yang terdengar dari jantung para siswa. Semua menunggu seperti apa hasil jerih payah mereka selama ini. Seorang guru datang. Beliau memakai kemeja putih dan celana hitam. Badannya kurus dan tinggi. Kumis menghiasi wajahnya. Semua mata tertuju padanya. Bukan karena kumisnya, tetapi karena sesuatu yang ada di tangannya. Beliau memegang secarik kertas putih dan menempelkannya di papan putih yang ada di kantor guru. Semua siswa mendekat. Dag dig dug, dag dig dug. Bunyi itu makin keras terdengar. Di kertas itu tertulis, “Pengumuman kelulusan UAN MTsN
Jambo-tape”. Ketika melihat tulisan itu para siswa mulai histeris. Ada yang berteriak, ada yang menangis. Namun, tulisan itu baru terlihat sebagian. Beliau mengangkat tangannya yang menutupi sebagian tulisan lagi. Dan di sana tertera, “Selamat siswa-siswi MTsN Jambotape, kalian lulus 100%.“ Sesaat hening. “Uoooooooo!”
Tiba-tiba semua siswa berteriak kegirangan. Apa yang mereka usahakan selama tiga tahun tidak sia-sia. Bangun pagi untuk sekolah, membuat tugas di malam hari, semua itu akhirnya membuahkan hasil. Dan yang membanggakan, tingkat kelulusan tahun ini adalah 100%. Itu artinya tidak ada siswa yang menangis sedih. Yang ada hanya tangis bahagia. Hal ini membuat kebahagiaan mereka terasa makin lengkap. Aku berdiri dengan tatapan kosong. Mungkin aku senang seperti yang lainnya. Tetapi ini adalah karakterku, walaupun senang tetap sok cool. Aku diam tanpa ekspresi. Tiba-tiba aku mendengar suara di sampingku. “Beli cat, yuk.” Para siswa lain yang mendengarnya langsung berteriak. “Ayo.” Hal ini terdengar lumayan miris bagiku. Bukankah banyak hal lain yang sebenarnya lebih baik untuk dilakukan saat ini? Sujud syukur misalnya. Mereka langsung berlari menuju toko-toko untuk membeli cat. Kira-kira 10 menit kemudian, mereka kembali dengan cat semprot di tangan masing-masing. Mulailah timbul kekacauan. Mereka saling menyemprot-kan cat satu sama lain. Baju yang telah menemani mereka selama tiga tahun harusnya disimpan rapi. Beberapa siswa yang tidak ingin terkena cat berlari menghindar. Namun, “Srooot.” Mereka mengejar lalu menyemprot baju para siswa yang berlari. Beberapa beruntung bisa aman dari semprotan cat. Salah satunya adalah aku. Daripada terlibat ke dalam perbuatan yang sia-sia, lebih baik aku pulang saja. Tiba di rumah aku melihat CRV terpampang di garasi. Ya, ayahku sedang ada di rumah. CRV. Si putih yang selalu setia menemani ayah. Ayahku adalah seorang dokter. Tentu kesehariannya menggunakan jas putih. Mungkin karena alasan itu beliau memilih warna putih untuk mobilnya. Jika mengingat ke belakang, mobil ini merupakan mobil ayah yang keenam. Mobil pertama adalah adalah Kijang berwarna merah. Pada saat itu, ayahku sedang mengambil spesialis kandungan di Bandung. Mesinnya masih menggunakan mesin lama yang suaranya sangat kasar. Mobil itu menemani keluargaku kira-kira tiga tahun. Ketika pindah ke Banda Aceh, ayah membeli Soluna berwarna biru yang saat ini digunakan sebagai taksi. Dulu mobil itu tergolong mobil mewah. “Brrrrrrr.” Suara mesinnya benar-benar halus, sangat berbeda dengan Kijang. Sampai saat ini, Soluna masih aktif digunakan. Kali ini, pamanku yang menggunakannya. Soluna berwarna biru ini satusatunya di Aceh. Soluna bertahan lumayan lama, kira-kira dua tahun. Kemudian seperti biasa, kebosanan menghampiri. Suatu ketika, kami sekeluarga liburan ke Sabang. Ayahku pergi melihat-lihat
mobil. Mobil di Sabang sungguh banyak, semuanya hasil impor dari luar negeri dan harganya relatif murah. Ayahku terbius oleh mobil berwana hijau dengan plat NA. Merek mobil itu adalah RAV4. Tanpa basa basi, ayahku langsung menanyakan harga dan hal lain tentang mobil tersebut. Sebulan kemudian mobil itu telah menghiasi garasi rumah kami. Mobil keempat adalah Civic. Aku kurang mengerti seperti apa sejarahnya. Namun, yang pasti itulah mobil keempat ayah. Selanjutnya ketenaran ayahku sebagai dokter Obgyn makin lama makin meningkat. Antrian pasien pun makin banyak. Jika mengikuti teori kekayaan dokter, semakin banyak pasien maka semakin banyak pula uangnya. Itulah yang terjadi pada ayah. Hal ini membuatnya berpikir untuk membeli mobil mewah. Akhirnya mobil kelima ayah muncul. Mereknya adalah Audi. Dipesan langsung dari Bandung. Mobil itu dibawa pamanku menjelajahi Sumatera sebelum akhirnya tiba di Aceh. Mobil itu sungguh mewah dan elegan, serta satu-satunya di Aceh pada saat itu. Setiap melintas di jalanan, orang-orang pasti melihatnya. Bagai memiliki kekuatan sihir tersendiri, mobil itu langsung menjadi primadona di Aceh. Namun, sebulan kemudian cobaan datang. Kalian pasti tahu tentang tragedi yang melanda Aceh pada akhir 2004. Ya, gempa dan tsunami. Peristiwa itu menghancur-kan dua mobil milik ayahku, yaitu Civic dan Audi. Sedangkan mobil lainnya berhasil diselamatkan. Kehilangan itu tidak membuat ayah terpukul. Lebih baik kehilangan harta benda daripada kehilangan anggota keluarga. Oleh karena itu, kehilangan uang ratusan juta tidak menjadi masalah bagi ayahku. Setelah kejadian itu, ayah mencoba mencari pengganti Audi. Ayah memilih CRV, yang hingga saat ini terus digunakannya. CRV kini hampir menjadi icon yang melekat pada ayahku. Setiap melihat CRV putih, orang langsung menebak pasti Dr. Franky di dalamnya. Di dalam rumah, aku bertemu ayah. Sudah kutebak, beliau langsung menanyakan tentang kelulusanku. Aku menjawab singkat. “Lulus.” Ayah menyalamiku. Wajahnya terlihat bahagia. Dari sini aku mengambil kesimpulan. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orangtua.
SMAN Batoh
Ada tawaran untuk memasuki boarding school dari ayah. Aku ingat sekali perkataannya malam kemarin. “Kenapa tidak masuk SMA boarding saja Bang?” Itu sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan olehku. Yang ada di benakku saat ini adalah masuk SMA swasta dan menjalani kehidupan layaknya anak SMA lainnya. Namun, kalimat ayah muncul bagai sebuah ide baru untukku. Ide yang akan kupertimbangkan hingga beberapa hari ke depan. Akhirnya setiap hari pikiranku terus menganalisa tentang sekolah reguler dan sekolah
boarding. Sesekali pilihanku jatuh ke sekolah reguler, namun kadangkala ke sekolah boarding. Terus saja seperti itu, tidak tetap. Tahukah teman, sebenarnya SMA boarding apa yang ditawarkan ayahku? SMA itu adalah SMAN Batoh. SMA yang gaungnya paling tinggi di Aceh saat ini. Sebenarnya dulu SMA itu merupakan SMA yang para siswanya merupakan anak-anak yang gagal masuk SMA lain. Namun kini, SMA itu menjadi luar biasa. Semua ini dikarenakan sesuatu yang disebut mukjizat. SMAN Batoh mulai berdiri pada tahun 2000. Pada awalnya, sekolah ini berdiri dengan citacita membentuk sekolah unggul di wilayah Kota Banda Aceh. Seperti layaknya sekolah lainnya, SMAN Batoh pun merintis kesuksesannya dari nol. Pertama-tama, SMAN Batoh adalah sekolah swasta yang merupakan tempat anak-anak yang gagal lulus di SMA Negeri di Aceh. Banyak anak-anak yang tidak lulus ke SMA lain dimasukkan ke sekolah ini. Bangunannya pun bukan bangunan milik sendiri. SMAN Batoh pertama kali menyewa bangunan milik sekolah lain yaitu Asrama Putri Cut Nyak Dien. Asrama yang letaknya cukup strategis, yaitu di tengah Kota Banda Aceh, namun kurang terdengar namanya. Mungkin image orang gagal yang membuat SMAN Batoh menjadi seperti sekarang ini. SMAN Sinar Bangsa, SMA yang terbaik di Aceh pada saat itu merupakan kakak bagi SMAN Batoh. Banyak guru SMAN Batoh yang diturunkan dari SMA itu. Hal ini menyebabkan para guru sering membandingkan SMAN Batoh dan Sinar Bangsa. Perasaan yang selalu dibandingkan ini sepertinya membuat para siswa di sini bangkit semangatnya untuk belajar. Semua prestasi ini bermula pada tahun 2001, siswa angkatan pertama langsung menorehkan sejarah dengan menjadi Juara Olimpiade Fisika Tingkat Kota Banda Aceh. Mungkin jika dilihat ini bukan prestasi yang terlalu besar, tetapi ini merupakan prestasi yang sangat luar biasa bagi SMAN Batoh ketika itu. Prestasi-prestasi selanjutnya menyusul setelah itu. Keberadaan kata “adik” terus membuat para siswa SMAN Batoh belajar dengan giat. Hingga akhirnya, pada tahun ke-3 sekolah ini
berdiri, siswa angkatan 2 berhasil meraih Medali Perunggu Olimpiade Astronomi Tingkat Asia Pasifik di Siberia. Prestasi International pertama yang dapat diciptakan oleh putra Aceh ketika itu. Sontak hal ini langsung dimuat di berbagai surat kabar, bahkan di media elektronik. Ini merupakan awal dari berbagai keajaiban selanjutnya. Pada tahun keempat, bukan hanya mereka yang gagal di SMA lain, tetapi mereka yang terbaik di berbagai SMP pun ikut mendaftar. Hal ini merupakan hal yang sangat menggembirakan bagi semua elemen SMAN Batoh dikarenakan kondisi infrastruktur masih dalam kondisi yang kurang baik. Pada tahap ini, SMAN Batoh sudah memiliki gedung sendiri di kawasan Ateuk Jawoe. Gedung yang diperjuangkan dengan luar biasa oleh para pendiri ketika itu. SMAN Batoh, jika aku dapat mengulang ingatan merupakan suatu kehidupan yang sedikit terpencil dari kehidupan kota pada umumnya. Bayangkan, bahwa dari seluruh kehidupan di Kota Banda Aceh ada suatu kehidupan kecil di atas tanah yang luasnya kurang lebih dua hektar. Dua hektar tanah yang terus mencoba membangun Aceh dalam berbagai hal. Hal itu dapat berupa kompetisi, pertukaran pelajar, maupun suatu teladan. Suasana yang asri, tanah liat yang subur, dan juga pekarangan sawah makin menambah indahnya daerah ini. Kalau sudah malam, terdengar suara jangkrik dan berbagai serangga malam memberikan “orkestra” yang indah nan gemulai. Di pagi hari, suara bebek, ayam, raungan anjing, ditambah keperkasaan tokek memberi-kan harmoni tersediri. Suatu fenomena kehidupan yang indah di sudut Kota Banda Aceh. Ketika Shubuh udara terasa sangat sejuk, hamparan sawah yang luas memberikan suplai oksigen yang baik bagi para siswa dan efek ketenangan bagi jiwa. Satu hal lagi yang cukup menarik, jalan tempat SMAN Batoh berada, dinamakan Jl. SMAN Batoh. Mungkin aku tidak mengetahui asal muasalnya, setiap kali memiliki kesempatan untuk menanyakannya, aku selalu melupakannya. Akhirnya misteri ini masih tetap saja menari-nari di dalam benakku. Namun, perjalanan pembangunan SMAN Batoh tidak berjalan mulus sesuai harapan. Gempa dan tsunami yang mengguncang Aceh sempat membuat beberapa bangunan hancur. Hal ini mengakibatkan siswa-siswi harus belajar di bawah tenda untuk sementara. Tidak ubahnya seperti seorang pengungsi korban bencana alam yang sering kita jumpai di berbagai tempat. Namun, kondisi ini tidak mengendurkan semangat. Mereka tetap bertahan untuk belajar hingga pada akhirnya gedung baru kembali dibangun. Jika kita melihat ke belakang, memang banyak hal luar biasa yang telah terjadi. Berbagai hal ini mencapai klimaksnya dengan prestasi yang masih merupakan prestasi tertinggi hingga saat ini. Prestasi tersebut yaitu perolehan Medali Perak Olimpiade Kimia Internasional di Moscow atas nama Muhammad Ovan. Begitulah teman, sejarah singkat tentang SMAN Batoh, suatu hal yang sangat luar biasa jika kita melihatnya. Mungkin sejarah yang luar biasa itu pula yang membuat aku memutuskan untuk
memilih SMA ini sebagai tujuanku selanjutnya. Setelah proses shalat istikharah terlebih dahulu tentunya. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih sekolah itu. Sama seperti kakakku dulu. Kakakku merupakan siswa angkatan 5 di sekolah itu. Beda satu tahun dariku. Esoknya aku menghampiri ayahku. “Yah, Asyi mau masuk SMAN Batoh.” Ayah yang ketika itu sedang membaca koran, tidak bereaksi apa-apa. Wajahnya masih tertutup koran. “Serius?” katanya dari balik koran yang menutupi wajahnya. Kini beliau menurunkan korannya. Matanya terlihat. Ia menatapku menggunakan kacamata baca plus minusnya. Aku terdiam. Aku menjawab. “Iya Yah, serius.” Ayah menaikkan korannya kembali. Wajahnya kembali tertutupi. Beliau berucap, “Alhamdulillah.” Aku yang mendengarnya ikut merasa lega. Jadi sekarang sudah fixed. Aku akan masuk ke sekolah ini.
Mendaftar
Mobil ambulan merapat ke pekarangan rumahku. Bukan berarti ada yang sakit. Ini tidak ada hubungannya dengan orang sakit. Mobil ambulan ini adalah mobil ambulan kepunyaan klinik ayahku. Namun, jika menganggur aku diperbolehkan memakainya. Seseorang keluar dari mobil ambulan, namanya Bang Nano. “Udah siap kau?” Seseorang dengan badan tegap, layaknya preman. Di sudut kiri atas kepalanya ada bekas luka benda tumpul. Dia menggunakan kacamata hitam. Dia tersenyum kepadaku dengan memperlihatkan giginya. Cerita soal dia mirip preman bukanlah hal bohong. Dulunya dia memang preman, itu ketika masih tinggal di Medan. Dia sering menceritakan kepadaku tentang berbagai macam pengalamannya. Biasanya dia menceritakan ketika kami sedang menaiki ambulan. Ketika SMA, dia merupakan siswa yang gemar tawuran. Setiap hari bolos sekolah. Hal terunik darinya yang pernah kudengar bahwa dia menggunakan gerigi sepeda sebagai senjata untuk tawuran. (JANGAN DITIRU) “Udah Bang, udah siap.” Aku pun bergegas menaiki ambulan. Ambulan itu berwarna silver, di bagian depannya seperti ambulan lain yang bertuliskan “AMBULAN”. Ambulan ini juga yang sering mengantar jemput kakakku ke sekolah itu. Kini saatnya sejarahku menggunakan ambulan ini. Di perjalanan, seperti biasa kami berbincang-bincang. Hal menarik di perjalanan adalah ketika dia memutar lagu Doel Sumbang. Doel Sumbang sebagaimana kita ketahui memiliki banyak lagu yang bersifat membangun dan mengritik pemerintah. Namun, dia juga memiliki lagu yang bersifat, maaf, “vulgar”. Contohnya adalah lagu yang berjudul tentang monyet jantan dan monyet betina. Akhirnya kami sampai di sekolah itu. Aku langsung turun dari ambulan dan memasuki SMAN Batoh. Kakiku telah menginjak lantai SMAN Batoh untuk kesekian kalinya. Hal ini dikarenakan dulu aku sering berkunjung ke sini ketika mengantar maupun menjemput kakakku. Biasanya kaki ini memijak di tanah liat SMAN Batoh ketika mengantar kakakku untuk pergi. Sampai sekarang, tanah liat itu pun masih nyata, tidak berubah. Jika melihat ke berbagai sisi kita dapat melihat bangunan yang masih dalam tahap pembangunan. Masih jelas merahnya karena bata yang masih terbuka. Bangunan itu pun masih akan basah ketika hujan turun dikarenakan atap belum menutupinya. Selain itu, bangunannya juga masih sangat sedikit. Kurang lebih ada tiga bangunan kelas yang masih dalam tahap pembangunan. Bangunan yang sudah jadi adalah mushalla yang terletak tepat di tengah-tengah sekolah. Mushalla ini merupakan pusat semua kegiatan. sekolah ini belum memiliki aula, jadi mushalla menjadi bangunan utama yang berfungsi sebagai ruang serba guna. Selain itu, terdapat dua blok asrama putri, satu blok asrama putra, ruang makan, tiga ruang kelas, satu kantor guru, dan satu kantin.
Jumlah gedung di SMA ini sangatlah sedikit. Berbeda dengan SMA yang lainnya. Banyak hal yang begitu membingungkanku. “Kenapa sekolah yang begitu buruk dari segi infrastruktur dapat menjadi sekolah yang gaungnya paling tinggi saat ini?” Waktu antri untuk mendaftar, aku tepat berada di belakang seorang anak yang berbadan pendek. Kepalanya dicukur botak. Aku berdiri terlalu dekat dengannya sehingga ketika dia sudah selesai mengambil formulir dan ingin berbalik arah, kami bertabrakan. Kami berdua terjatuh. “Oi, hati-hati dong!” Teriaknya. Aku bingung. Bukankah seharusnya dia meminta maaf ? Ya sudahlah, aku biarkan saja hal itu berlalu. Kini giliran aku yang mengambil formulir. Ketika mengambil formulir, yang harus dilakukan adalah membayar uang 10 ribu rupiah dan mengisi nama di buku yang ada di meja pendaftaran. Ketika aku menulis, ada yang membaca namaku, MUHAMMAD NUR ASYI. Asyi, mungkin nama yang jarang terdengar di Aceh ketika itu. Nama yang asing, tetapi sering memukau banyak orang. Nama yang jarang, namun memiliki arti dan makna yang berisi tanggung jawab. Muhammad Nur Asyi. Ya, itulah namaku. Nama yang tidak terlalu panjang, seperti nama Arab, dan sedikit berbau Melayu. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Muhammad adalah nama Nabi junjungan umat Islam, namun apa makna dari kata Nur dan Asyi? Pernah memang beberapa waktu yang lalu aku bingung dan menanyakan kepada orangtuaku sebenarnya apa arti dari namaku. Beliau mengatakan bahwa Nur seperti yang semua orang ketahui merupakan bahasa Arab yang berarti cahaya. Namun, yang membingungkan adalah arti dari kata Asyi. “Asyi itu diambil dari kata Aceh, itu sebenarnya berasal dari bahasa Arab Aceh yaitu Asyi.” Ya teman, itulah arti dari namaku. Sehingga namaku mempunyai arti “Shine of Aceh” atau cahaya Aceh. Ketika mendengarkan jawaban tersebut dari ayahku seluruh bulu kudukku langsung merinding. Betapa tidak tahunya aku jika aku mengemban nama yang memiliki makna luar biasa. Alangkah malunya aku jika ini semua hanya sekedar nama. Alangkah bodohnya aku jika ayahku, salah memberikan nama jika ternyata apa yang aku capai dan apa yang aku lakukan tidak sesuai dengan nama ini. Pada saat itu juga, aku bertekad dalam hatiku bahwa saat ini aku harus benar-benar bersinar. Aku harus benar-benar menjadi sesuai nama yang kumiliki. Aku benar-benar harus menjadi cahaya bagi daerahku ini. “Asyi?” tanya seorang bapak yang sepertinya masih muda. “Iya Pak.” “Anak Dokter Franky ya?” “Iya Pak.”
Dr. H. Muhammad Franky, SpOG.. Dokter kebidanan dan kandungan yang disebut-sebut sebagai dokter nomor satu di Aceh. Dokter yang namanya selalu masuk TV dan surat kabar hampir setiap minggunya. Mungkin bisa juga disebut selebritis jika dilihat dari apa yang telah ia capai. Ayahku menjabat sebagai ketua komite. Ketua ikatan atau gabungan para orangtua siswa yang bersifat mendanai dan berada sejajar dengan kepala sekolah. Sesekali aku menanyakan kepada ayahku alasannya dia dipilih menjadi ketua komite. Jawaban yang biasanya kudengar, “Ya karena uangnya banyak dan terkenal biar pendanaan mudah.” Mungkin hal itu aku anggap lelucon pada awalnya. Namun, ketika mulai sekolah, aku menyadari itu bukan hanya lelucon semata. Pemilihan ketua komite memang pemilihan apa yang disebut perwakilan orangtua siswa, namun hal itu memiliki banyak maksud. Ketua komite yang dipilih haruslah orang yang berpangkat besar dan memiliki ketenaran agar orangtua siswa yang lain dapat patuh mendengar permintaan dan perintahnya. Bukan hanya harus berefek ke orangtua siswa yang lain, tetapi juga institusi-institusi terkait. Ketua komite adalah orang yang harus memiliki pengaruh besar di Aceh, dapat menjinakkan bos-bos perusahaan dengan aura dan kualitasnya. Berdasarkan banyak alasan khusus seperti itulah ayahku dipilih. Tidak ada yang spesial dari ayahku. Dan tidak ada yang spesial juga dengan menjadi anaknya. Ayahku hanyalah seorang dengan tubuh tinggi besar dan kulit sawo matang agak keputihputihan. Kadangkala kacamata besar bertengger di wajahnya, kadangkala jaket putih menghiasi pakaiannya. Sebelum masuk SMAN Batoh dan ketika masih tinggal di rumah, masih teringat jelas di benakku bahwa setiap pagi beliau bangun sekitar pukul 5 untuk shalat Shubuh, lalu berangkat kerja pukul 8 pagi dan menyelesaikan semua aktivitasnya kira-kira pukul 10 malam. Seorang dokter bertangan dingin yang memiliki berjuta aktivitas bermanfaat dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Banyak manusia lahir dari tangannya, banyak bayi pejabat lahir karena bantuannya, banyak bayi dari keluarga miskin selamat karena jasanya. Selain dalam jasa klinisnya, beliau adalah wakil direktur di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin dan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Dosen yang terkenal lumayan galak di kalangan mahasiswa, wakil direktur yang sangat organisatoris dan cekatan dalam meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Dari segi penghasilan, ayahku merupakan seorang dokter dengan penghasilan yang cukup besar. Dalam sehari praktek, bisa sampai 50 pasien yang menunggu, sekali operasi bisa mendapat uang di atas satu juta rupiah. Namun, hal tersebut bukanlah acuan dari ayahku. Sesekali aku bertanya tentang masalah uang, ayahku berkata itu bukanlah yang utama. Hal yang terpenting
bagi kita adalah beriman dan yang lain hanyalah bonus dari Tuhan untuk hidup kita. Beliau sering mengatakan, “Janganlah berfokus kepada uang, berfokuslah kepada menolong orang lain dan jasa. Dengan berfokus pada jasa, maka uang akan mengikuti.” Ya, mungkin ayahku menjadi salah satu alasan utamaku memiliki cita-cita untuk menjadi dokter. Sosok yang gagah dengan jas putih dan dapat menyembuhkan orang lain layaknya seorang dewa. Sosok yang menyelamatkan nyawa dua orang dari kematian. Sosok yang sering memberi kesenangan pada keluarga pasien di akhir tugasnya dengan lahirnya sang buah hati. Sosok itu yang selalu aku lihat selama bertahun-tahun melalui frame lensa mataku. Mencari nafkah bukanlah tujuan utamanya. Jasa menolong nyawa dan jasa membangun Aceh merupakan yang paling utama baginya. Inilah yang sangat membedakan ayahku dengan banyak dokter lain. Mungkin banyak yang tidak percaya bahwa Dr. Franky adalah ayahku. Sosok yang disiplin, teratur dalam membagi waktu, dan berjiwa besar serta selalu rapi mempunyai anak yang acakacakan, pelupa, dan tidak peduli penampilan dirinya. Namun, ada hal yang kusadari bahwa aku adalah benar-benar anak ayahku, yaitu sifat pelupa dan “malas” sekolah yang dimilikinya. Setelah mengambil formulir aku bergegas pulang. Di rumah, aku langsung mengisinya tanpa pikir panjang. Aku mengisi sambil berkata, “Bismillah, semoga aku lulus. Semoga satu-satunya sekolah tempat aku mendaftar dapat membuat aku berhasil bersarang di tempatnya.”