HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri Hasil uji biokimia (gula-gula) E. ictaluri menghasilkan enzim katalase, memfermentasi glukosa, tidak memfermentasi laktosa, tidak memproduksi H2S, tidak membentuk indol dari tryptophan, tidak mampu memproduksi asam campuran dari fermentasi glukosa, tidak mampu membentuk acetyl-methylcarbinol, tidak menggunakan citrate sebagai sumber karbon, tidak menghasilkan enzim urease, tidak menghasilkan gelatin, dapat menggunakan gula secara fermentatif, dapat menggunakan gula secara oksidatif dan bakteri tergolong Gram negatif (Tabel 1). Karakteristik dari E. ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak berspora dan tidak berkapsul, batang, pleomorfik, Gram -, berukuran 0,75 – 2,5 µm, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna, suhu optimum 28-30oC, oksidase -, katalase +, H2S -, Indol - (dari tryptophan), fermentatif, 0/129 resistan, lysin dekarboksilase +, arginin dihidrolase -, ornithin +, Gelatin -, Urea -, Citrate , VP -, Glukosa +, Inositol -, Sorbitol -, Rhamnose -, Mannitol -, Arabinose -, Sukrose -, fakultatif anaerob (Austin and Austin 1987; Crumlish et al. 2002; Anonim 2006a; Holt et al. 1994). Isolasi E. ictaluri tidak menghasilkan H2S atau indol, atau fermentasi glukosa dengan menghasilkan gas pada suhu 37°C (Hawke et al. 1981). Menurut Holt et al. (1994) mengatakan hasil isolasi E. ictaluri yang diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam tidak menghasilkan H2S, indol, sukrosa dan citrate. Koloni E. ictaluri secara morfologi terlihat sebagai koloni halus, tidak berpigmen, konvek ramping, dan bundar (Gambar 6). Menurut Cooper et al. (1996) mengatakan bahwa setelah inkubasi pada suhu 28° - 30°C selama 36 - 48 jam, koloni E. ictaluri terlihat mungil, halus, bundar (diameter 1-2 mm), penuh dan dalam koloni tidak berpigmen, cembung ramping sampai keseluruhan tepi. E. ictaluri merupakan Gram negatif berbentuk batang, sekitar 0,75-2,5 μm, terlihat motil lemah, bergerak dengan flagella di seluruh tubuhnya, serta bersifat
37
cytochrome oxidase negative. Bakteri ini tumbuh lambat atau tidak sama sekali pada suhu 37°C. Tabel 1.
No.
Morfologi dan uji biokimia E. ictaluri dari isolat awal (asal UGM) dan uji pengembalian virulensi bakteri (BUSKI).
Uji
Hasil Pengujian Isolat Awal Uji Pengembalian (asal UGM) Virulensi (BUSKI)
Holt et al. (1994)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bentuk Gram Katalase Motilitas Oksidase O/F Arginin Lysine decarboxilase Ornithine decarboxilase Simmon's citrate
R + + F + + -
R + + F + + -
R + + F + + -
11 12 13 14 15 16 17 18
H2S Urease Indole Methyl Red Gelatine TSIA Mc Conkey Voges Prokaeur Produksi Gas dari Glukosa Produksi asam dari : Arabinose Glukosa Mannitol Sukrose Laktosa
+ + + -
+ + + -
+ + + -
+
+
+
+ -
+ -
+ -
19 20 21 22 23 24
Keterangan : R = Rod F = Fermentatif
+ = Positif - = Negatif
38
i i da r talur e c i . E l t e Isola al Ikan L Ginj
K
Gambar 6. Koloni E. ictaluri yang tumbuh di media TSA, hasil dari uji pengembalian virulensi bakteri yang diinfeksikan ke ikan lele. K : Koloni tunggal E. ictaluri
Hasil LD50 Selama pengujian LD50 berlangsung, ikan lele menunjukkan gejala klinis terinfeksi E. ictaluri. Tingkah laku ikan lele mengalami kelainan, ikan bergerak berenang tidak normal dan berenang dengan kepala di atas permukaan air/vertikal. Hasil pengamatan makroskopis, menunjukkan bintik-bintik merah pada kulit, warna hati pucat, ginjal dan limpa berwarna lebih gelap. Pada uji LD50, kematian ikan lele mulai muncul 1 hari setelah diinjeksi bakteri. Kematian hari pertama dimulai dari ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 1010 cfu/ml, kemudian ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 108 cful/ml. Ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 106 cfu/ml dan 104 cfu/ml mengalami kematian mulai hari kedua (Tabel 2).
39
Tabel 2. Jumlah kematian ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada uji LD50.
Konsentrasi Edwarsiella Ictaluri (sel/ml)
Jumlah Ikan (ekor)
Kontrol 104 106 108 1010
20 20 20 20 20
Jumlah Ikan yang Mati (ekor) Hari ke 1 2 3 0 0 0 17 18
0 5 11 1 2
Total Mati (ekor)
0 7 6 0 0
0 12 17 18 20
Untuk mengetahui nilai LD50 E. ictaluri, data pengamatan kematian ikan lele pada Tabel 2 dihitung menurut metode Dregsted Behrens (Hubert, 1980) seperti Tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Perhitungan LD50 ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri. Konsentrasi (cfu/ml)
Log Konsentrasi
∑N
R
N-R
∑R
∑(Nn-R)
Total
P*x100
Kontrol 104 106 108
0 4 6 8
20 20 20 20
0 12 17 18
20 8 3 2
0 12 29 47
33 13 5 2
33 25 34 49
0 48 85.29 95.92
1010
10
20
20
0
67
0
67
100
Keterangan : ∑N : Jumlah ikan uji setiap perlakuan (ekor) R : Jumlah ikan yang mati setiap perlakuan (ekor)
Perhitungan nilai LD50 : Log (m) LD50 LD50
= = = =
4 + (6-4) [(50-48)/(85,29-48)] 4 + 0,11 4,11 1,3 x 104 cfu/ml
Dari hasil uji didapat nilai LD50 sebesar 1,3 x 104 cfu/ml yang dipergunakan untuk uji utama. Dalam salah satu penelitian, injeksi 1,5 x 103 cfu E. ictaluri yang patogen dapat menyebabkan 100 % kematian catfish (Plumb dan Sanchez 1983). Data lain menyebutkan bahwa nilai LD50 dari infeksi E. ictaluri untuk ikan chinook salmon sebesar 3,4 x 107 cfu/ml (Baxa et al. 1990).
40
Uji Utama Gejala Klinis Selama penelitian dilakukan pengamatan terhadap gejala klinis yaitu tingkah laku ikan lele meliputi reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang. Hasil pengamatan reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang, pada jam ke0 ikan lele terlihat masih normal. Ikan lele mengalami kelainan gejala klinis mulai jam ke-2 pi (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Pengamatan gejala klinis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri selama 72 jam infeksi.
No.
Jam pengamatan
Gejala klinis Gerakan renang
1
Jam ke- 0 pi
Normal
Refleks terhadap rangsangan +
2
Jam ke- 2 pi
Gerak renang vertikal
+
3
Jam ke- 4 pi
Gerak renang vertikal
+
4
Jam ke- 8 pi
Gerak renang vertikal
+
5
Jam ke-12 pi
Gerak renang vertikal
-
6
Jam ke-24 pi
Gerak renang vertikal
-
7
Jam ke-36 pi
Gerak renang vertikal
-
8
Jam ke-48 pi
Gerak renang vertikal
-
9
Jam ke-72 pi
Gerak renang vertikal
-
Tingkah laku ikan lele mulai berubah pada pengamatan jam ke-2 pi yaitu ikan lele mulai bergerak berenang tidak normal, ikan lele berenang dengan kepala di atas permukaan air/vertikal (Tabel 4 dan Gambar 7). Hal ini sesuai dengan penyataan Hawke et al. 1998 dan Francis-Floyd 1996 bahwa ikan yang terinfeksi E. ictaluri akan berenang menggantung dengan kepala di atas dan ekor di bawah. Refleks ikan lele terhadap rangsang mulai melemah pada pengamatan jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-72 pi.
41
Gambar 7. Gerak renang vertikal (tanda panah) yang teramati pada ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri mulai jam ke-2 pi.
Selain gejala klinis tersebut di atas, juga dilakukan pengamatan terhadap jumlah kematian ikan lele. Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi, Pada pengamatan jam ke-0 sampai dengan jam ke-12 pi, terlihat belum ada kematian ikan pada akuarium. Kematian ikan dimulai pada jam ke-24 sebanyak 4 ekor dari 50 ekor ikan yang diinfeksi pada dosis bakteri 1,3 x 104 cfu/ml (Tabel 5). Tabel 5. Jumlah kematian ikan dari 50 ekor ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri 1,3 x 104 cfu/ml. No.
Jam Pengamatan
Jumlah Ikan yang Moribund dan Mati (ekor)
1
Jam ke- 0 pi
0
2
Jam ke- 2 pi
5
3
Jam ke- 4 pi
5
4
Jam ke- 8 pi
5
5
Jam ke- 12 pi
5
6
Jam ke- 24 pi
4
7
Jam ke- 36 pi
4
8
Jam ke- 48 pi
5
9
Jam ke- 72 pi
7
42
Pemeriksaan Makroskopis (Patologi Anatomi) Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap bentuk, warna, ukuran dan perubahan patologi organ eksternal dan internal ikan lele. Organ eksternal ikan yang diamati adalah kulit dan abdomen, sedangkan organ internal ikan yang diamati adalah hati, limpa dan ginjal. Pengamatan makroskopis patologi anatomi ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 6. Perubahan makroskopis pada kulit ikan lele dimulai pada jam ke-24 pi, terjadi bercak-bercak merah terang (Tabel 6). Menurut Francis-Floyd (1996), salah satu perubahan eksternal spesifik ikan yang terinfeksi E. ictaluri adalah adanya lesio pada kulit berupa hemoragi.
Lesio tersebut berupa ptekhie
hemoragik yang seringkali menjadi banyak (multifokus) pada kulit ikan dan berwarna merah terang (Inglis et al. 1993) Tabel 6. Pengamatan makroskopis ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri pada dosis 1,3 x 104 cfu/ml No
Jam
Patologi Anatomi
Pengamatan
Kulit
Abdomen
Hati
Limpa
Ginjal
1
Ke- 0 pi
TAK
TAK
TAK
TAK
TAK
2
ke- 2 pi
TAK
TAK
TAK
TAK
TAK
3
ke- 4 pi
TAK
TAK
TAK
Warna lebih gelap
Warna lebih gelap
4
ke- 8 pi
TAK
Ukuran membesar
TAK
Warna lebih gelap
Warna lebih gelap
5
ke-12 pi
TAK
TAK
6
ke-24 pi
Bercak merah
Ukuran membesar Ukuran membesar
Warna lebih gelap Warna lebih gelap
Warna lebih gelap Warna lebih gelap
7
ke-36 pi
Bercak merah
Ukuran membesar
Warna pucat
Warna lebih gelap
Warna lebih gelap
8
ke-48 pi
Bercak merah
Ukuran membesar
Warna pucat
Warna lebih gelap
Warna lebih gelap
9
ke-72 pi
Bercak merah
Ukuran membesar
Warna pucat
Warna lebih gelap
Warna lebih gelap
TAK
Keterangan : TAK = Tidak Ada kelainan
43
Abdomen ikan lele mulai mengalami perubahan pada jam ke-12 pi yaitu ukurannya menjadi lebih besar atau dinamakan peritonitis / dropsy (Tabel 6 dan Gambar 8a).
Pembesaran pada abdomen disebabkan oleh pembengkakan organ
internal dan akibat adanya timbunan cairan eksudat atau pendarahan pada rongga tubuh (Hawke et al. 1998; Inglis et al. 1993). Akumulasi cairan eksudat peradangan pada rongga tubuh merupakan tanda non-spesifik dari penyakit ESC (Francis-Floyd 1996; Anonim 2006a). Infeksi Vibrio anguillarum, Aeromonas hydrophilla dan Renibacterium salmoninarum juga menyebabkan akumulasi cairan eksudat peradangan pada rongga tubuh (Noga 1996; Roberts 1978; Inglis et al. 1993). Pada jam ke-36 pi, hati ikan lele mulai mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat (Tabel 6 dan Gambar 8b). Hati terlihat berwarna pucat atau nampak belang merah dan pucat pada jaringan yang mengalami degenerasi (Hawke et al. 1998). Limpa ikan lele mulai mengalami perubahan pada jam ke-4 pi yaitu berwarna menjadi agak gelap dan ukurannya membesar (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan Inglis et al. (1993), bahwa limpa catfish yang terinfeksi E. ictaluri akan membesar dan berwarna merah gelap. Pembesaran ukuran limpa merupakan tanda non-spesifik pada infeksi E. ictaluri (Anonim 2006a). Beberapa penyakit lain seperti Aeromonas hydrophill, Yersinia ruckeri dan Mycobacterium marinum menunjukkan pembengkakan limpa ((Noga 1996; Inglis et al. 1993). Perubahan makroskopis ginjal ikan lele dimulai pada jam ke-4 pi. Ginjal ikan lele mulai mengalami perubahan yaitu berwarna lebih gelap (Tabel 6). Menurut Inglis et al. (1993), ginjal catfish yang terinfeksi E. ictaluri
akan
membesar dan berwarna merah gelap.
44
a
b
Gambar 8. Perubahan makroskopis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri, a) abdomen ikan lele membesar, tanda panah; dan b) hati ikan lele pucat, tanda panah.
Pemeriksaan Mikroskopis (Histopatologi) Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan ikan lele yang diinfeksi buatan E. ictaluri secara intraperitoneal. akan menimbulkan lesio pada organorgan internal dan eksternal.
Bakteri
yang masuk rongga perut ikan akan
menginfeksi epitel selaput peritoneum dan masuk ke pembuluh darah (bakteremia). Sebagai mikroorganisme bebas, bakteri akan menginfeksi mobile cell (leukosit) menyebar ke organ tubuh seperti hati, limpa, kulit dan organ internal lainnya (Mims 1987). Infeksi alami dari E. ictaluri dapat terjadi melalui rute jaringan epitel olfaktoris, insang dan saluran gastrointestinal, kemudian akan menyebar ke organ tubuh melalui pembuluh darah (bakteriemia) secara akut (Nusbaum and Morrison 2002 ; Skirpstunas and Baldwin 2002).
45
Adanya lesio pada organ-organ ikan lele terlihat mulai jam ke-2 pi, yaitu pada jantung dan usus. Lesio pada mata, hati, pankreas dan limpa mulai jam ke-4 pi. Lesio pada ginjal mulai jam ke-8 pi, pada otak mulai jam ke-12 pi, pada kulit mulai jam ke-24 pi, dan pada insang mulai jam ke-48 pi. Menurut Baldwin and Newton (1993), ESC dicirikan oleh serangan septisemia yang cepat dengan deteksi awal adanya E. ictaluri pada organ-organ internal dimulai 15 menit mengikuti cairan sekresi lambung. Lesio mikroskopis dilaporkan muncul pada hari ke-2 pi (Newton et al. 1989). Histopatologi Mata Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-2 pi belum nampak adanya perubahan lesio pada jaringan mata ikan lele, jaringan mata masih nampak normal (Gambar 9). Pada jam ke-4 pi 60% sampel mulai menunjukkan adanya perubahan mikroskopis pada mata ikan lele yaitu berupa edema di bagian posterior mata (Gambar 10) dan meningkat menjadi 100% pada jam ke-72 pi. Edema pada bagian posterior mata ikan lele berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskular, yang merupakan awal stadium peradangan (Damjanov 1997).
Gambar 9.
Jaringan mata ikan lele yang normal pada jam ke 2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 10 µm
46
Gambar 10.
Edema ditemukan di belakang jaringan mata ikan lele pada jam ke-4 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 10 µm.
Pada jam 48 pi, 20% sampel menunjukkan reaksi pada jaringan mata berupa adanya sel radang di bagian posterior mata ikan lele (Gambar 11) dan menjadi 60% sampel pada jam ke 72 pi. Edema dan akumulasi sel radang di posterior bola mata menyebabkan penonjolan bola mata atau eksophthalmus secara makroskopis. Semakin banyak cairan edema dan sel radang yang terakumulasi dalam ruang intraorbital, maka eksophthalmus terlihat.
semakin jelas
Lesio eksophthalmus merupakan lesio non-spesifik dari infeksi E
ictaluri. Gangguan keseimbangan endokrin dan beberapa penyakit septisemia lain seperti Aeromonas hydrophila dan Aeromonas salmonicida, Vibrio anguillarum (Noga 1996; Inglis et al. 1993) menunjukkan lesio eksophthalmus juga. Septisemia menyebabkan pembuluh darah khususnya pembuluh darah arteri yang menyuplai bagian khoroid mengalami kerusakan endotel sehingga terjadi edema, hemoragi dan peradangan.
47
Gambar 11.
Akumulasi sel radang ditemukan di otot belakang bola mata ikan lele pada jam ke-48 pi E.ictaluri (tanda panah). Pewarnaan HE, skala 10 µm.
Insert : Infiltrasi sel radang di antara otot di belakang bola mata. Pewarnaan HE, skala 1 µm Histopatologi Kulit Perubahan organ kulit akibat infeksi E. ictaluri memperlihatkan berbagai kerusakan pada bagian epidermis dan dermis kulit ikan lele. Hasil pengamatan terhadap sampel kulit ikan lele menunjukkan adanya : edema pada dermis, erosi sel epitel dan sel radang pada lapisan subepidermis. Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-12 pi belum nampak adanya perubahan lesio pada jaringan kulit ikan lele, jaringan kulit masih nampak normal (Gambar 12). Pada jam ke-24 pi mulai terlihat edema pada lapisan di bawah sel epitel epidermis dan di daerah otot (Gambar 13). Edema adalah
meningkatnya akumulasi cairan
ekstraselular dan
ekstravaskular di sela-sela jaringan dan rongga tubuh. Edema dapat bersifat lokal atau meluas di seluruh tubuh. Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui air dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat lewat sedikit atau terbatas sekali. Tekanan osmotik darah lebih besar daripada tekanan osmotik limfe.
Daya atau kesanggupan
48
permeabilitas ini tergantung pada substansi semen yang mengikat sel-sel endotel tersebut (Sudiono et al. 2003). Ada dua mekanisme kejadian edema, yaitu edema hemodinamik dan edema permeabilitas. Edema hemodinamik terjadi akibat tekanan yang meningkat pada pembuluh darah pada kondisi gangguan jantung atau tekanan osmotik pembuluh darah yang berbeda dengan jaringan sekitarnya. Edema permeabilitas biasanya terjadi akibat peradangan yang menyebabkan endotel rusak pada beberapa bagian (Damjanov 1997).
Edema pada lapisan di
bawah epidermis dan bagian dermis kulit ikan lele berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskular, yang merupakan awal stadium peradangan.
Gambar 12.
Jaringan kulit dan otot ikan lele yang normal pada jam ke-12 pi E. ictaluri, (a) adalah lapisan epidermis, (b) adalah dermis dan (c) adalah otot. Pewarnaan HE, skala 2 µm.
49
Gambar 13.
Edema radang di bawah epidermis (tanda panah) dan otot (tanda kepala anak panah) pada jaringan kulit dan otot ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada jam ke-24 pi. Pewarnaan HE, skala 2 µm.
Pada jam ke-24 pi, 60% sampel jaringan kulit dan otot mulai menunjukkan erosi sel epidermis dan meningkat menjadi 100% pada jam ke-72 pi (Gambar 14). Pada jam 36 pi, 20% sampel mulai memperlihatkan adanya sel radang di jaringan subkutan (Gambar 15) dan meningkat menjadi 40% pada jam ke 72 pi. Adanya sel radang di jaringan subkutan menyebabkan kejadian degenerasi dan nekrosa pada epidermis dan dermis di bawahnya. Sel epidermis yang nekrosa akan terlepas dari membran basalnya dan menyebabkan erosi yang meluas. Jika nekrosa mencapai bagian dermis maka akan terbentuk ulkus atau luka terbuka. Jaringan otot dibawah akumulasi sel radangpun turut mengalami perubahan degenerasi hingga nekrosa.
50
Gambar 14.
Erosi sel epidermis kulit ikan lele pada jam ke-24 pi E. ictaluri (tanda panah), infiltrasi sel radang ringan terlihat pada bagian dermis (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE, skala 1µm
Gambar 15.
Akumulasi sel radang pada subkutan kulit ikan lele (tanda panah) dan dermatitis ulseratif (tanda kepala anak panah) pada jam ke-48 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm.
51
Peradangan kulit yang ulseratif merupakan lesio non-spesifik pada ikan lele yang terinfeksi E ictaluri. Lesio tersebut merupakan perjalanan infeksi yang bersifat sistemik atau septisemia. Agen yang beredar di pembuluh darah mencapai bagian kulit, merusak endotel dan menimbulkan lesio perdarahan ptekhie, edema, infiltrasi sel radang serta mengakibatkan erosi epidermis dan ulser. Infeksi Aeromonas hydrophila, Pseudomonas fluorescens dan Vibrio anguillarum juga menyebabkan lesio dermatitis ulseratif (Noga 1996; Roberts 1978; Inglis et al. 1993). Histopatologi Insang Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-36 pi belum nampak adanya perubahan lesio atau jaringan insang ikan lele masih nampak normal (Gambar 16). Infiltrasi sel radang diantara lamella sekunder (brankhitis) mulai terlihat pada 20% sampel jam ke-48 pi (Gambar 17) hingga 20% sampel pada jam ke-72 pi.
Gambar 16.
Jaringan insang ikan lele yang normal, pada jam ke 36 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 5 µm
52
Peradangan insang merupakan reaksi tidak spesifik terhadap E. ictaluri. Lesio brankhitis juga dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit.
Infeksi Flavobacterium branchiophila, Amyloodinium sp. juga
menyebabkan peradangan insang (Noga 1996).
Gambar 17.
Akumulasi sel radang pada lamella sekunder jaringan insang ikan lele (tanda panah) pada jam ke 36 pi E. ictaluri menyebabkan fusi dari lamela sekunder insang, Pewarnaan HE, skala 5 µm
Histopatologi Otak Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-8 pi belum nampak adanya perubahan pada jaringan otak ikan lele (Gambar 18). Perubahan dimulai pada jam ke-12 pi yaitu kongesti dan hemoragi (Gambar 19). Kongesti ditemukan pada 20% dari sampel jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-36 pi. Hemoragi terjadi pada 20% dari sampel jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-72
53
Gambar 18. Jaringan otak ikan lele yang normal pada jam ke-8 pi E ictaluri, Pewarnaan HE, Skala 1µm
Gambar 19.
Ensefalitis pada jaringan otak ikan jam ke-24 pi E. ictaluri, ditandai dengan hemoragi (H) (tanda panah warna hitam), Kongesti (K) (tanda panah warna putih), nekrosa neuron dan gliosis (N) (tanda kepala anak panah), dan malacia (M) (tanda kepala anak panah warna putih), Pewarnaan HE, skala 1 µm
54
Pada jam ke-24 pi tampak nekrosa neuron dan gliosis (Gambar 20) dan aktifitas neuronofagia (Gambar 21). Gliosis dan aktifitas neuronofagia terjadi mulai jam ke-24 hingga jam ke-72 pi.
Gambar 20.
Nekrosa neuron , gliosis dan aktivitas neuronofagia pada jaringan otak jam ke-36 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gliosis terjadi ketika jaringan otak mengalami lesio nekrosis. Pada permulaannya, terjadi respon eksudatif dengan aktivasi mikroglia lokal dan pengerahan monosit fagositik untuk memfagositosis jaringan mati (Stevens et al. 2002).
55
Gambar 21.
Nekrosa neuron, gliosis, aktivitas neuronofagia dan infiltrasi monosit pada jaringan otak jam ke-36 pi E. Ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm
Menurut Cheville (1999), neuronofagia merupakan proses fagositosis selsel syaraf oleh mikroglia, sebaiknya dibedakan dari satelitosis, dimana oligodendrogliosit berakumulasi di sekitar neuron. Dalam proses reaksi terhadap lesio di otak, mikroglia mengalami pembesaran, hiperplasia dan otofagia. Monosit yang berasal dari sirkulasi biasanya memasuki neuropil.
Duapuluh
persen sampel pada jam ke-36 pi hingga jam ke-72 pi menunjukkan infiltrasi monosit (Gambar 21). Nekrosis neuron mulai terlihat pada 20% sampel dari jam ke-36 pi hingga 60% pada jam ke-72 pi. Berdasarkan perubahan morfologi dimana ukuran neuron bertambah kecil dengan sitoplasma yang gelap maka nekrosa neuron yang terjadi di golongkan dalam nekrosa tipe iskhemia (Gambar 22). Iskhemik neuron terjadi akibat gangguan suplai oksigen ke otak (McGavin et al. 2001). Infeksi sistemik dari E. ictaluri telah menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga suplai oksigen terganggu dan menimbulkan lesio iskhemia. Neuron yang mengalami nekrosa akan difagositosis oleh sel glia dan mengundang kehadiran monosit yang berasal dari peredaran darah. Akumulasi monosit di sekitar kapiler pembuluh darah atau
56
yang disebut sebagai perivaskular cuffing juga terlihat pada ikan lele penelitian ini (Gambar 23).
Gambar 22. Area dengan nekrosa neuron tipe iskemia pada jaringan otak jam ke-72 pi (tanda panah) E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 23. Perivaskular cuffing (tanda panah) dan difus gliosis pada jaringan otak ikan lele jam ke-36 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
57
Ensefalitis merupakan salah satu lesio spesifik dari infeksi alami E. ictaluri. Pada infeksi alami, ensefalitis akibat E ictaluri menyebabkan os cranium lisis dan membentuk lubang yang dikenal dengan sebutan “hole in the head”. Pada penelitian infeksi buatan kali ini, lesio ensefalitis belum menimbulkan lisisnya os cranium dan “hole in the head”. Rute infeksi buatan yang melalui intraperitoneal, tampaknya menimbulkan lesio berbeda dengan rute infeksi secara alami yaitu melalui mulut dan saluran olfatori. Menurut Plumb (1999), E. ictaluri yang menginfeksi ikan secara waterborne akan menginvasi organ olfactory melalui nasal yang terbuka, berpindah ke dalam syaraf olfactory memasuki otak dan menyebar dari meningen ke tengkorak dan kulit ikan serta menciptakan kondisi hole in the head pada ikan. Histopatologi Jantung Dari hasil pengamatan histopatologi, mulai jam ke-2 pi terlihat adanya perubahan lesio pada jaringan jantung ikan lele, sementara pada kelompok kontrol menunjukan tidak ada perubahan (Gambar 24).
Pada jam ke-2 pi E. ictaluri
terlihat kongesti dan epikarditis (Gambar 25) serta miokarditis hemoragika (Gambar 26) . Kongesti terlihat pada 20% ikan lele jam ke-2 hingga pada 40% sampel ikan lele jam ke-24 pi E. ictaluri. Epikarditis terjadi pada 40% ikan lele di jam ke-2 pi hingga 60% ikan lele pada jam ke-72 pi E. ictaluri.
Hemoragi pada
miokardium hanya ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-2 pi.
58
Gambar 24. Jaringan miokardium ikan lele yang normal pada kelompok kontrol, Pewarnaan HE, skala 1µm
Pada pembuluh darah yang mengalami kongesti, kecepatan aliran darah akan menurun dan mengurangi derajat oksigenisasi darah ke jantung. Akibat pembendungan dan darah yang lamban atau tidak mengalir (statis), maka permeabilitas kapiler bertambah sehingga terjadi edema dan hemoragi. Hemoragi juga dapat disebabkan oleh kerusakan endotel kapiler akibat agen infeksi yang beredar di pembuluh darah. Sejumlah bakteri E. ictaluri yang berada pada pembuluh darah pada jam ke 2 pi kemungkinan menyebabkan kerusakan tersebut. Epikarditis merupakan peradangan pada bagian epikardium jantung. Peradangan bagian ini pada sebagian besar sampel ikan lele diduga terjadi akibat rute penyuntikan E. ictaluri secara intraperitoneal, karena lesio epikarditis tidak dilaporkan pada infeksi alami dari E. ictaluri. Agen akan menyebar di rongga abdomen dan dada, serta menyebabkan reaksi peradangan di epikardium.
59
Gambar 25. Epikarditis (tanda panah) dan kongesti (tanda kepala anak panah) pada jaringan jantung ikan lele jam ke-36 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm
Gambar 26. Hemoragi pada otot jantung (tanda panah) dan epikarditis pada jaringan jantung ikan lele (tanda kepala anak panah) pada jam ke-2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm
60
Hiperleukositosis terlihat pada 20% ikan lele jam ke-4 pi hingga pada 40% ikan lele jam ke-72 pi E ictaluri (Gambar 27). Akumulasi leukosit terlihat di dalam lumen ventrikel jantung menunjukkan kadar leukosit di dalam sirkulasi meningkat mulai jam ke-4 pi hingga akhir penelitian pada jam ke 72 pi. Infeksi buatan E. ictaluri telah menimbulkan respon sistemik berupa peningkatan kadar leukosit darah yang kemudian mengendap saat post mortem pada ruang ventrikel jantung. Jantung ikan memiliki banyak celah-celah di ruang ventrikelnya, kondisi hiperleukositosis menyebabkan leukosit terjebak di lumen ventrikel di permukaan endokardium.
Gambar 27. Kondisi hiperleukositosis ditunjukkan oleh akumulasi leukosit dalam lumen ventrikel jantung ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm
Histopatologi Usus Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-2 pi mulai terlihat adanya lesio pada usus ikan lele, sementara pada kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya perubahan (Gambar 28). Duapuluh persen sampel ikan lele jam ke-2 pi, menunjukkan hiperplasia sel goblet hingga meningkat menjadi 80% sampel ikan lele pada jam ke-72 pi E. ictaluri (Gambar 29).
61
Gambar 28. Jaringan usus ikan lele yang normal dari kelompok kontrol jam ke 2-pi, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 29. Hiperplasia sel goblet pada jaringan usus ikan lele jam ke- 2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
62
Hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada disaluran cerna.
Sel
goblet merupakan sel penghasil mukus, hiperplasia sel goblet menyebabkan produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen penyebab kerusakan (McGavin et al. 2001). E. ictaluri di golongkan sebagai enterobacter, bakteri yang mempunyai habitat saluran cerna (Holt et al.1994). Walaupun rute infeksi pada penelitian ini tidak dilakukan melalui jalur infeksi alami, tetapi lesio pada saluran cerna sangat cepat timbul yaitu pada jam ke-2 pi. Pada jam ke 8 pi, terjadi edema, hemoragi, infiltrasi sel radang serta proliferasi sentra melano-makrofag atau melano-macrophage center (MMC) pada jaringan lamina propria usus ikan. Hemoragi terjadi pada 20% sampel ikan lele jam ke-8 pi (Gambar 30). Edema dan infiltrasi sel radang serta proliferasi sentra melano-makrofag terjadi pada 20% sampel ikan lele jam ke-12 pi (Gambar 31). Edema, hemoragi dan infiltrasi sel radang serta proliferasi MMC merupakan tahapan reaksi peradangan.
Rute infeksi melalui intraperitoneal segera
menyebarkan E. ictaluri melalui sirkulasi dan menimbulkan peradangan pada lamina propria usus.
Proliferasi MMC
merupakan indikasi adanya reaksi
pertahanan tubuh pada ikan (Roberts 1978). Nekrotik enteritis yang merupakan lesio infeksi alami dari E. ictaluri (Inglis et al. 1993; Plumb 1999) tidak ditemukan pada penelitian ini. Lesio pada ikan penelitian sebatas pada enteritis kataralis, dengan epitel penutup yang masih utuh.
63
Gambar 30. Hemoragi pada jaringan lamina propria usus ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri (tanda panah), proliferasi sentra melano-makrofag (tanda kepala anak panah hitam) serta infiltrasi limfosit (tanda kepala anak panah tanpa warna) mengikuti kejadian hemoragi. Pewarnaan HE, skala 1µm
Gambar 31. Edema radang (tanda panah) dan sel radang (tanda kepala anak panah) pada jaringan usus ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 2 µm
64
Histopatologi Hati Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-2 pi belum nampak adanya perubahan pada jaringan hati ikan lele (Gambar 32). Perubahan dimulai pada jam ke-4 pi yaitu kongesti, hemoragi dan degenerasi lemak. Kongesti mulai terjadi pada 20% sampel ikan lele jam ke-4 pi sampai dengan jam ke-12 pi (Gambar 33). Hemoragi terjadi hanya pada 20% sampel ikan lele jam ke-4 pi (Gambar 34). Degenerasi lemak pada 40% sampel ikan lele jam ke-4 pi hingga 60% sampel ikan lele jam ke-48 pi (Gambar 35).
Gambar 32. Jaringan hati ikan lele yang normal, Pewarnaan HE, skala 1 µm
65
Gambar 33. Kongesti dan dilatasi sinusoid hati pada ikan lele jam ke-2 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm
Gambar 34. Hemoragi pada jaringan hati ikan lele jam ke-4 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm
66
Gambar 35. Degenerasi lemak pada jaringan hati ikan lele jam ke-46 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala1µm
Degenerasi lemak menggambarkan adanya penimbunan abnormal lipid dalam sel parenkim. Akumulasi lemak dalam sel terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak (Cheville 1990). Degenerasi lemak pada ikan lele penelitian ini kemungkinan akibat hipoksia. jaringan terjadi
Hipoksia
karena melambatnya aliran darah yang ditunjukkan oleh
perubahan dilatasi dan kongesti, sebagai respon terhadap adanya antigen dalam jaringan. Nekrosis multifokal pada hati disertai infiltrasi sel radang ditemukan pada 20% ikan lele mulai jam ke-36 sampai dengan jam ke-72 pi (Gambar 36). Hepatitis nekrotikan telah dilaporkan sebagai salah satu lesio yang diakibatkan oleh infeksi E. ictaluri (Inglis et al. 1993 ; Mohanti and Sahoo 2007). Re-isolasi bakteri E ictaluri juga telah berhasil dilakukan (Lampiran 3), walaupun morfologi bakteri tidak terlihat pada jaringan.
67
Gambar 36. Nekrosis multifokal pada jaringan hati ikan lele disertai infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag pada jam ke 36 pi E. ictaluri (tanda lingkaran dengan garis terputus), Pewarnaan HE, skala1µm
Histopatologi Pankreas Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-2 pi belum terlihat adanya lesio pada jaringan pankreas ikan lele (Gambar 37). Pada jam ke-4 pi, atrofi sel asinar terjadi pada 20% sampel ikan lele. Lesio ini meningkat hingga 40% sampel ikan lele pada jam ke-48 pi (Gambar 38).
68
Gambar 37. Jaringan pankreas ikan lele yang normal, pada jam ke-2 pi E. ictaluri. Tanda panah adalah pulau Langerhans yang dikitari oleh sel asinar aktif berisi granula zimogen. Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 38. Sel asinar inaktif (tanda panah) dibandingkan sel asinar normal (tanda kepala anak panah) jaringan pankreas ikan lele jam ke-4 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala1µm
69
Atrofi adalah perubahan ukuran sel dari normal menjadi lebih kecil akibat berkurangnya substansi sel sehingga jaringan yang disusun oleh sel tersebut menjadi lebih kecil. Atrofi sel asinar biasanya dijumpai pada kondisi inaktif. Sel asinar berfungsi menghasilkan enzim-enzim pencernaan terutama protease dan lipase, kondisi inaktif biasanya terjadi jika tidak terjadi rangsangan dari makanan di saluran cerna untuk menghasilkan enzim tersebut (McGavin et al. 2001). Infeksi E. Ictaluri diduga telah menyebabkan ikan mengalami gejala klinis anoreksi sehingga sebagian sel asinar berada dalam inaktif. Nekrosa sel asinar terjadi pada 20% sampel ikan lele mulai jam ke 12 hingga jam ke-72 pi E. ictaluri (Gambar 39). Degenerasi dan nekrosa pulau Langerhans terlihat pada 20% sampel ikan lele pada jam ke-12 pi E. ictaluri (Gambar 40).
Gambar 39. Daerah nekrosa sel asinar pankreas ikan lele pada jam ke 72 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm
.
70
Gambar 40. Degenerasi (tanda panah) dan nekrosa (tanda kepala anak panah) dari sel-sel pada pulau Langerhans jaringan pankreas ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Sel-sel asinar merupakan jaringan eksokrin penghasil enzim pencernaan sementara pulau Langerhans merupakan jaringan endokrin penghasil hormon insulin dan glukagon. Degenerasi dan nekrosa pada sel-sel asinar dan pulau Langerhans pankreas merupakan perubahan non-spesifik dari infeksi E. ictaluri. Patogenesa lesio degenerasi yang paling memungkinkan adalah akibat hipoksia dan beredarnya agen infeksius dalam pembuluh darah (Cheville 1990). Lesio degeneratif pada pankreas menyebabkan penurunan fungsi pencernaan dan regulasi glukosa darah pada ikan-ikan lele penelitian ini. Infiltrasi sel lemak atau steatosis ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-12 pi (Gambar 41). Pada pankreas, lemak dijumpai pada jaringan ikat dari lobulus pankreas. Infiltrasi lemak pada stroma jarang menyebabkan gangguan fungsi pada pankreas (Sudiono et al. 2003). Steatosis bukan merupakan lesio spesifik dari infeksi E. ictaluri atau peradangan lainnya.
71
Gambar 41. Infiltrasi sel lemak pada jaringan pankreas ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm
Histopatologi Limpa Pengamatan histopatologi limpa menunjukkan
belum nampak adanya
perubahan pada jam ke 2 pi (Gambar 42). Perubahan mulai tampak pada 20 % sampel ikan lele jam ke- 4 pi berupa adanya proliferasi makrofag di jaringan pulpa merah . Proliferasi makrofag ini ditemukan hingga 40% sampel ikan lele jam ke72 pi (Gambar 43). Bakteri dalam makrofag terlihat pada 20 % jaringan limpa ikan lele jam ke-8 pi hingga 40% sampel ikan lele jam ke-72 pi (Gambar 44).
72
Gambar 42. Jaringan limpa ikan lele yang normal pada jam ke-2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 43. Bakteri dalam makrofag terlihat pada jaringan limpa ikan lele jam ke 8 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm
73
Gambar 44. Dengan pewarnaan khusus Giemsa morfologi bakteri yang di fagosit makrofag lebih jelas terlihat pada jaringan limpa ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri (tanda panah), skala 1 µm
Proliferasi makrofag yang memfagosit bakteri pada jaringan pulpa merah limpa ikan lele mulai jam ke-8 hingga jam ke-72 pi menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang mencapai organ limpa cukup banyak sejak jam ke-8 pi E. ictaluri. Peneguhan bahwa bakteri yang terlihat merupakan bakteri E. ictaluri juga dilakukan dengan melakukan re-isolasi bakteri pada limpa. Hasil diperoleh bahwa E. ictaluri dapat di isolasi dan diidentifikasi kembali (Lampiran 3) dari organ limpa. Deplesi folikel limpa ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-24 pi (Gambar 45) hingga 40% sampel ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri. Deplesi folikel limfoid terjadi akibat nekrosa dari sel-sel limfoid sehingga populasi sel limfoid pada folikel limfoid berkurang (Gambar 46). Keberadaan bakteri pada organ limpa mengundang sel-sel radang makrofag dan limfosit, serta menginduksi kematian sel-sel limfoid.
74
Gambar 45. Deplesi dan nekrosa folikel limfoid pada jaringan limpa ikan lele pada jam ke-24 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 46. Daerah nekrosa di jaringan folikel limfoid limpa ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri (tanda bintang yang dibatasi garis putih terputus), Pewarnaan HE, skala 1 µm
75
Lesio limpa pada penelitian ini menunjukkan lesio khas dari E. ictaluri. Limpa channel catfish yang terinfeksi berat E. ictaluri akan mengalami nekrosa dan mengakibatkan deplesi (Inglis et al. 1993; Plumb 1999). Histopatologi Ginjal Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-4 pi belum nampak adanya perubahan pada jaringan ginjal ikan lele (Gambar 47).
Pada jam ke-8 pi,
terlihat infiltrasi makrofag pada jaringan interrenal, butir hialin pada sel epitel tubuli dan penebalan kapsul Bowman. Infiltrasi makrofag pada jaringan interrenal ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-8 sampai dengan jam ke-72 pi E. ictaluri (Gambar 48) dan di dalamnya jelas terlihat berisi bakteri bila sediaan diwarnai dengan Giemsa (Gambar 49). Butir hialin pada sel epitel tubuli terlihat pada 40% sampel ikan lele hingga pada 60% sampel ikan lele jam ke-72 pi (Gambar 48, 50). Kapsula Bowman terlihat mengalami penebalan pada 20% sampel ikan lele jam ke-8 hingga jam ke-24 pi (Gambar 50).
Gambar 47. Jaringan ginjal ikan lele yang normal, terdiri dari struktur glomerulus (tanda panah); tubulus (tanda kepala anak panah) serta jaringan interenal yang terdiri dari sel-sel hematopoiesis, Pewarnaan HE, skala 1 µm
76
Gambar 48. Proliferasi makrofag pada jaringan interrenal (tanda panah) dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hyalin (tanda kepala anak panah) pada jaringan ginjal ikan lele pada jam ke-72 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 49. Bakteri dalam makrofag pada jaringan interrenal ginjal ikan lele pada jam ke72 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan Giemsa, skala 1 µm
77
Gambar 50. Penebalan kapsula Bowman (tanda panah) dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hialin (tanda kepala anak panah) pada jaringan ginjal ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Proliferasi makrofag yang memfagosit bakteri pada jaringan interrenal ikan lele mulai jam ke-8 hingga jam ke-72 pi menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang mencapai organ ginjal cukup banyak sejak jam ke-8 pi E. ictaluri. Morfologi bakteri yang ditemukan serupa dengan morfologi
E. ictaluri asal
biakan pada agar (gambar 51). Peneguhan bahwa bakteri yang terlihat merupakan E. ictaluri juga dilakukan dengan melakukan re-isolasi bakteri pada ginjal. Hasil diperoleh bahwa E. ictaluri dapat di isolasi kembali dari organ ginjal (Lampiran 3). E. ictaluri yang menginfeksi ginjal melalui kapiler pembuluh darah akan menyebabkan kerusakan pada anyaman kapiler pembuluh darah kumparan glomerulus. Kerusakan kapiler glomerulus selanjutnya akan mengakibatkan kebocoran filter sehingga protein akan lolos ke ruang Bowman dan lumen tubulus. Adanya endapan protein dalam lumen tubulus mengindikasikan telah terjadi gangguan pada fungsi filtrasi dari glomerulus. Protein di ruang Bowman akan mengendap dan menyebabkan penebalan kapsula Bowman. Protein berlebihan di lumen tubuli akan direabsorbsi oleh epitel tubuli dan terakumulasi sebagai butiran
78
hialin intraseluler. Tubulus ginjal mempunyai fungsi untuk meresorbsi bahanbahan yang diperlukan oleh tubuh termasuk protein (McGavin et al. 2001).
Gambar 51. Morfologi E. ictaluri dari koloni asal organ ginjal ikan lele dengan menggunakan Pewarnaan Giemsa, Skala 1 µm
Nekrosa koagulasi dari sel-sel hematopoiesis pada jaringan interrenal dan epitel tubuli terlihat pada 20% sampel ikan lele jam ke-12 pi (Gambar 52). Nekrosa koagulasi terjadi akibat kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan hingga sel-sel jaringan tersebut mengalami kematian (Cheville 1990). Beberapa peneliti terdahulu pernah melaporkan bahwa infeksi E. ictaluri menyebabkan nekrosa pada organ ginjal (Inglis et al. 1993).
79
Gambar 52. Nekrosa sel-sel hematopoiesis pada jaringan interstisial (tanda panah) dan epitel tubuli (tanda kepala anak panah) ginjal ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Pengujian E. ictaluri Pada Ikan Sampel Reisolasi dan identifikasi E. ictaluri dilakukan pada penelitian ini, untuk membuktikan bahwa benar ikan-ikan lele penelitian ini terinfeksi E. ictaluri. Hasil dari pengujian memperlihatkan pada jam ke-0 pi tidak ditemukan E. ictaluri pada hati, limpa dan ginjal ikan lele. E. ictaluri telah diisolasi dan diidentifikasi pada hati, limpa dan ginjal mulai jam ke-2 hingga jam ke-72 pi (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa E. ictaluri benar-benar telah menginfeksi hati, limpa dan ginjal ikan-ikan lele penelitian ini. Penghitungan Koloni E. ictaluri dari Limpa Untuk melihat patogenitas E. ictaluri yang menginfeksi, maka dilakukan penghitungan jumlah koloni yang terbentuk saat reisolasi bakteri dari limpa. Hasil penghitungan jumlah koloni E. ictaluri pada jam ke-2 pi sebesar 5 x 106 cfu/ml dan mengalami kenaikan tertinggi hingga jam ke-24 pi yaitu 7 x108 cfu/ml, kemudian nilainya menurun (Tabel 7). Hal ini menunjukkan, pada jam ke-24 pi
80
derajat septisemia pada limpa ikan lele adalah yang paling tinggi. Selanjutnya jumlah koloni menurun karena berangsur-angsur sel-sel pada limpa mengalami kerusakan atau nekrosa. Tabel 7. Jumlah koloni bakteri pada limpa ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri
No.
Jam Pengamatan
1
Jam ke-2 pi
Jumlah Koloni (cfu/ml) 5 x 106
2
Jam ke-4 pi
1 x 107
3
Jam ke-8 pi
5 x 107
4
Jam ke-12 pi
1 x 108
5
Jam ke-24 pi
7 x 108
6
Jam ke-36 pi
2 x 107
7
Jam ke-48 pi
1 x 106
8
Jam ke-72 pi
1 x 106
Kualitas Air Hasil pemeriksaan kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran layak untuk budidaya ikan lele, baik untuk parameter suhu, DO, pH, NO2, maupun NO3 (Tabel 8). Pengukuran NO2 dan NO3 dilakukan pada jam ke-0 pi dan ke-72 pi, pengukuran pH, DO dan suhu dilakukan pada pagi dan sore hari. Hal ini membuktikan bahwa lesio yang terlihat pada ikan lele penelitian adalah benar akibat infeksi buatan E. ictaluri, bukan pengaruh perubahan kualitas air. Tabel 8. Kualitas air selama penelitian
No.
Kualitas Air
Awal Penelitian
Selama Penelitian
1
DO
4 ppm
4 – 6 ppm
Literatur (Khairuman dan Amri 2005) 3 ppm
2
pH
7
6–7
6,5 – 8
3
NO2
0,25 mg/l
0,25 mg/l
0,25 mg/l
4
NO3
250 mg/l
250 mg/l
250 mg/l
5
Suhu
26oC
26o – 26,5oC
20o – 30oC
81