HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Kejadian penyakit adalah angka yang menunjukkan jumlah tanaman sakit dibandingkan dengan jumlah tanaman yang diamati dalam suatu petak lahan. Pada penelitian ini, kejadian penyakit layu bakteri diamati selama 7 minggu. Pengamatan terhadap kejadian penyakit dilakukan dua hari sekali meskipun data yang disajikan per minggu. Secara umum, tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada penelitian ini adalah tinggi yaitu sebesar 29.78%. Hal ini terjadi karena pemeliharaan R. solanacearum yang telah dilakukan dengan benar sehingga tingkat virulensi
R. solanacearum masih tinggi. Hal ini jauh berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011). Pada penelitian tersebut, tingkat kejadian penyakit layu bakteri yang juga dilakukan di dalam rumah kaca rendah. Pada minggu pertama terdapat empat perlakuan yang telah menunjukkan kejadian penyakit layu bakteri yaitu perlakuan BC25B75, BC75B25, BC50P50 dan BC75P25 dengan tingkat kejadian penyakit tertinggi pada perlakuan BC0P100 sebesar 13.33±11.55%. Berdasarkan analisis ragam (α=5%), antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kejadian penyakit layu bakteri. Hal yang sama juga terjadi pada minggu ke-2 pengamatan. Pada minggu ke-3 pengamatan, antar perlakuan terjadi perbedaan yang nyata terhadap tingkat kejadian penyakit pada tanaman. Tingkat kejadian penyakit tertinggi terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC25P75 yaitu sebesar 33.33±23.79% sedangkan tingkat kejadian penyakit terendah terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC100P0 yaitu sebesar 0.00±0.00%. Pada minggu ke-4 dan ke-5 pengamatan, berdasarkan analisis ragam, antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kejadian penyakit. Tingkat kejadian penyakit tertinggi sebesar 66.67±11.55% terjadi pada perlakuan BC75B25 sedangkan tingkat kejadian penyakit terendah sebesar 20.00±0.00% terjadi pada perlakuan kontrol. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada minggu ke-6 pengamatan. Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tingkat kejadian penyakit di rumah
26 kaca. Tingkat kejadian penyakit tertinggi terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC75B25 yaitu sebesar 86.67±11.55% sedangkan tingkat kejadian penyakit terendah terjadi pada tanaman dengan perlakuan BC0P100 yaitu sebesar 33.33±23.79%. Tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-6 ini sama hasilnya dengan tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-3. Tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-7, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tingkat kejadian penyakit pada minggu ke-6. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis ragam, tingkat kejadian penyakit pada perlakuan BC50B50, BC100P0, BC0P100, BC25P75, BC50P50,dan kontrol adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α=5%). 120,00
Kejadian penyakit layu bakteri (%)
Kontrol
100,00
BC100P0 BC0P100
80,00
BC25P75 BC50P50
60,00
BC75P25 BC0B100
40,00
BC25B75
20,00
BC50B50 BC75B25
0,00 1 2 3 4 5 6 7 Interval pengamatan (Minggu Setelah Tanam=MST)
Gambar 5 Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7 Setelah pengamatan terhadap kejadian penyakit selesai dilakukan kemudian dilakukan perhitungan terhadap nilai AUDPC. Sesuai dengan tingkat kejadian penyakit, nilai AUDPC tertinggi juga terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi S. epidermidis BC4 75% dan B. subtilis AB89 25% (BC75B25). Sedangkan nilai AUDPC terendah terjadi pada tanaman dengan perlakuan P.fluorescens RH4003 yang diaplikasikan secara tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi P. fluorescens RH4003 secara tunggal dapat menekan tingkat kejadian penyakit layu bakteri lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
27 kombinasi. Nilai AUDPC perlakuan P. fluorescens RH4003 secara tunggal ini juga lebih rendah dari kontrol. Berdasarkan uji lanjut Duncan (α=5%), perlakuan kombinasi antara S.epidermidis BC4 dengan B. subtilis AB89 menghasilkan tingkat kejadian penyakit yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada perlakuan kombinasi dengan proporsi 50:50. Hal ini menunjukkan bahwa kedua agens biokontrol yang digunakan tidak bersifat sinergis, bahkan meningkatkan tingkat kejadian penyakit. Perlakuan kombinasi antara S. epidermidis BC4 dengan P.fluorescens RH4003 juga menghasilkan tingkat kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata. Perlakuan kombinasi antara bakteri endofit dan PGPR dengan proporsi 50:50 menghasilkan tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Handini (2011). Pada penelitian tersebut, kombinasi agens biokontrol dengan proporsi 50:50 tidak menunjukkan tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Tabel 2 Nilai Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR Perlakuan AUDPC (%hari)a Perlakuan AUDPC(%hari) Kontrol 340± 36.64 ab BC100P0 280±34.64 b BC0P100 220±124.89 b BC0B100 400±124.89 ab BC25P75 340±227.15 ab BC25B75 380±173.21 ab BC50P50 300±103.92 b BC50B50 280±173.21 b BC75P25 380±124.89 ab BC75B25 560± 36.64 a a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Handini (2011) menyatakan bahwa perlakuan kombinasi antara PGPR dan bakteri endofit maupun perlakuan tunggal PGPR dan bakteri endofit tidak dapat menghambat kejadian penyakit layu bakteri. Meskipun begitu, perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman karena perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa pengaruh bakteri S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 serta B.subtilis
AB89 masih belum konsisten. Untuk itu masih perlu dilakukan
pengujian-pengujian lebih lanjut terutama di lapangan.
28 Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Masa Inkubasi Penyakit Layu Bakteri Masa inkubasi penyakit adalah waktu yang dibutuhkan patogen sejak inokulasi sampai dengan timbulnya gejala layu untuk pertama kalinya pada tanaman. Menurut McCarter (2006), gejala layu akan muncul 2 sampai 5 hari setelah infeksi. Munculnya gejala layu tergantung pada kerentanan tanaman inang, suhu dan tingkat virulensi patogen. Sama halnya dengan pengamatan terhadap kejadian penyakit, pengamatan terhadap masa inkubasi penyakit juga dilakukan selama 7 minggu dan diamati setiap dua hari sekali. Pada Tabel 3 terlihat bahwa R.solanacearum pada masing-masing perlakuan memiliki masa inkubasi yang berbeda-beda. Secara umum, rata-rata masa inkubasi penyakit layu bakteri dalam rumah kaca adalah 22.67 hari sampai 30.67 hari setelah pindah tanam (hst). Akan tetapi, berdasarkan analisis ragam (α=5%), masa inkubasi penyakit layu bakteri tidak dipengaruhi oleh berbagai macam kombinasi PGPR dan bakteri endofit yang telah diberikan. Tabel 3 Pengaruh perlakuan bakteri endofit dan PGPR terhadap masa inkubasi penyakit layu bakteri pada tanaman tomat
a b
Perlakuan
Masa inkubasi (hst) b
Perlakuan
Kontrol BC0B100b BC25B75 BC50B50 BC75B25
30.67±2.73 a 29.63±4.58 a 28.97±1.84 a 28.83±5.84 a 26.87±1.00 a
BC100P0 BC0P100 BC25P75 BC50P50 BC75P25
Masa inkubasi (hst)a 31.67±0.66 24.56±7.78 24.87±5.78 28.33±5.92 22.67±2.47
a a a a a
hst= hari setelah tanam. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Masa inkubasi paling cepat terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi S. epidermidis 75% dengan P. fluorescens 25% (BC75P25) yaitu selama 22.67±2.47 hst sedangkan masa inkubasi terlama terjadi pada tanaman dengan perlakuan S. epidermidis secara tunggal yaitu selama 31.67±0.66 hst. Secara umum terlihat bahwa perlakuan tunggal PGPR maupun bakteri endofit menghasilkan masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan perlakuan secara kombinasi. Hal ini memperlihatkan bahwa perlakuan tunggal lebih dapat menahan perkembangan penyakit layu bakteri dibandingkan perlakuan kombinasi.
29 Perlakuan kombinasi mengalami masa inkubasi yang lebih cepat karena kedua agens biokontrol yang digunakan mempunyai sifat antagonis satu sama lain. Sifat antagonis yang mungkin terjadi adalah kompetisi ruang dan nutrisi. Ruang dan nutrisi yang terbatas membuat agens biokontrol saling berkompetisi untuk mempertahankan hidupnya. Sehingga peran dalam menekan perkembangan penyakit menjadi sedikit terabaikan.
Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Salah satu parameter uji pemacuan pertumbuhan tanaman adalah perhitungan laju pertambahan tinggi tanaman. Uji pemacuan pertumbuhan tinggi tanaman dilakukan selama 6 minggu. Pengamatan dilakukan setiap 2 hari sekali agar mendapatkan data yang lebih detail meskipun data disajikan per minggu. Pada minggu pertama, berbagai perlakuan kombinasi PGPR dan bakteri endofit memberikan pengaruh yang sama (uji Duncan 5%). Perbedaan mulai terlihat setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Pada Lampiran 2 terlihat bahwa laju pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan BC0P100 merupakan pertumbuhan tinggi tanaman tertinggi disusul oleh perlakuan BC25P75, BC50P50, BC75P25, dan BC100P0 dengan posisi kedua. Perlakuan BC0B100 dan kontrol menempati posisi ketiga, kemudian BC25B75 dan BC50B50 pada posisi keempat dan BC75B25 posisi terakhir. Pada minggu kedua ini memang telah terlihat bahwa setiap perlakuan dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap laju pertambahan tinggi tanaman tetapi perbedaan keefektifan antara bakteri yang diaplikasi secara tunggal dan bakteri yang diaplikasikan dengan kombinasi tidak dapat terlihat. Hal ini terjadi karena bakteri yang telah diaplikasikan belum mengkolonisasi tanaman dengan baik sehingga pengaruh bakteri terhadap laju pertambahan tinggi tanaman belum terlihat dengan jelas. Laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu ketiga berbeda dengan laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu sebelumnya. Pada minggu ketiga perlakuan BC75P25 dan BC100P0 menghasilkan laju pertambahan tinggi tanaman yang tertinggi. Akan tetapi, laju pertambahan tinggi tanaman ini sama
30 dengan kontrol sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang baik terhadap laju pertambahan tinggi tanaman. Perlakuan yang memberikan laju pertambahan tinggi yang terendah berubah yaitu dari perlakuan BC75B25 menjadi BC50P50. Hal ini sesuai dengan penelitian Handini (2011) yang mengatakan bahwa hubungan kesinergisan antara S.epidermidis dengan P. fluorescens RH4003 adalah antagonis. Berdasarkan Handini (2011), S. epidermidis lebih baik diaplikasikan secara tunggal dibandingkan dengan aplikasi kombinasi.
Laju pertambahan tinggi tanaman (cm)
24,00 21,00
Kontrol BC0P100
18,00
BC25P75 BC50P50
15,00
BC75P25
12,00
BC100P0 BC0B100
9,00
BC25B75
6,00
BC50B50 BC75B25
3,00 0,00 1 2 3 4 5 6 Interval pengamatan (Minggu Setelah Tanam=MST)
Gambar 6 Grafik laju pertambahan tinggi tomat pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR selama enam minggu setelah tanam Laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu keempat hingga minggu keenam stabil. Perlakuan BC75P25 merupakan perlakuan yang terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada minggu keempat dan minggu kelima. Sedangkan pada minggu keenam, meskipun perlakuan BC75P25 masih menjadi perlakuan yang memberikan pengaruh yang paling baik terhadap laju pertambahan tinggi tanaman, perlakuan BC75P25 tidak berbeda halnya dengan perlakuan BC100P0, BC0P100, BC75B25 dan kontrol berdasarkan uji Duncan 5%. Oleh karena itu, perlakuan kombinasi antara PGPR dan bakteri endofit dapat dikatakan tidak memberikan pengaruh terhadap laju pertambahan tinggi tanaman
31 karena laju pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan sama dengan laju pertambahan tinggi tanaman pada kontrol. Akan tetapi, berdasarkan Gambar 6 agens biokontrol yang diaplikasikan secara tunggal maupun secara kombinasi dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat karena laju pertambahan tinggi tanaman pada semua perlakuan berada di atas kontrol. Setiap perlakuan mempunyai nilai AUHPGC yang berbeda-beda. Sama halnya dengan perlakuan yang memiliki pengaruh terbaik pada laju pertambahan tinggi tanaman, BC75P25 adalah perlakuan yang memiliki nilai AUHPGC yang paling besar yaitu 497.93±48.87 cmhari. Berdasarkan nilai AUHPGC dan analisis ragam pada Tabel 1, hanya terdapat tiga perlakuan yang mempunyai nilai AUHPGC yang melebihi kontrol yaitu perlakuan BC0P100, BC75P25 dan BC100P0 sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya ketiga perlakuan tersebut saja yang dapat meningkatkan laju pertambahan tinggi tanaman dengan baik. Tabel 4 Nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) pada berbagai perlakuan bakteri endofit dan PGPR Perlakuan AUHPGC (cmhari) a Perlakuan AUHPGC (cmhari)a Kontrol 442.40±40.13 abc BC100P0 459.95±31.77 ab BC0P100 461.65±70.28 ab BC0B100 413.63±19.94 bcd BC25P75 413.58±64.88 bcd BC25B75 383.43±17.13 cd BC50P50 393.40±42.13 bcd BC50B50 414.05±50.00 bcd BC75P25 494.93± 48.87 a BC75B25 362.55±67.46 d a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011), kombinasi PGPR dan bakteri endofit, baik kombinasi P. fluorescens RH4003 dengan S. epidermidis BC4 maupun kombinasi B. subtilis AB89 dengan S.epidermidis BC4, dengan proporsi 50:50, tidak dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri dengan baik akan tetapi tidak memberikan efek yang negatif terhadap laju pertambahan tinggi tanaman. Dari penelitian ini, didapatkan hasil bahwa aplikasi agens biokontrol secara tunggal dan kombinasi dapat memacu pertumbuhan dengan baik setelah minggu ke-2 aplikasi (Gambar 6). Aplikasi secara tunggal P. fluorescens RH4003, B. subtilis
AB89 dan
S.epidermidis BC4 telah dilakukan sebelumnya. P. fluorescens adalah bakteri yang dapat ditemukan dimana saja (ubiquitos) dan biasanya ditemukan pada
32 permukaan daun dan akar (Supriadi 2006). P. fluorescens dapat menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada media King’s B dan akan berpendar di bawah sinar near ultra violet (λnUV= 200nm). Selain itu, P. fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara melindungi akar dari serangan patogen dengan mengkolonisasi akar, menghasilkan senyawa kimia berupa antimikroba dan antibiotik, dan melakukan kompetisi dalam penyerapan Fe 2+ (Lo 1998, Couillerot et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011), perlakuan tunggal P. fluorescens RH4003 juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat, meskipun perlakuan kombinasi P. fluorescens RH4003 dengan isolat bakteri endofit BC10 meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat lebih baik. B. subtilis adalah bakteri gram positif, bersifat saprofit dan dapat membentuk spora (Nihorimbere et al. 2010). Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga merupakan bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Nawangsih (2006) maupun Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat memacu pertumbuhan tanaman, bahkan dalam penelitian Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Aplikasi tunggal telah membuktikan bahwa PGPR dan bakteri endofit mempunyai kentungan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil pada penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kurang memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat terjadi karena adanya kompetisi antara dua bakteri yang diaplikasikan. Kompetisi ruang dan nutrisi dapat terjadi sehingga mempengaruhi penghambatan patogen. Nutrisi yang kurang pada media tanam akan memperparah kompetisi antar dua agens biokontrol dan hal ini akan membuat patogen lebih leluasa untuk berkembang sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Nurbaya et al. 2011).
Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Bobot Kering Tanaman Selain laju pertambahan tinggi tanaman, bobot kering tanaman juga digunakan sebagai parameter dalam uji pemacu pertumbuhan. Tabel 5 menunjukkan bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh terhadap bobot
33 kering tanaman (uji Duncan 5%). Bobot kering terbesar dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan BC75P25 yaitu sebesar 7.87±1.57 gram/tanaman. Bobot kering tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan bobot kering tanaman dengan perlakuan S.epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 secara tunggal. Sedangkan bobot kering terendah dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan BC75B25 yaitu sebesar 4.68±1.68 gram/tanaman. Bobot kering tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol (6.75±1.76 gram/tanaman). Menurut Handini (2011), perlakuan agens biokontrol secara tunggal dan kombinasi tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering tanaman. Tabel 5 Bobot kering tanaman tomat pada umur 6 minggu setelah tanam Bobot kering tanaman Bobot kering tanaman Perlakuan Perlakuan (gram/tanaman) a (gram/tanaman) a Kontrol 6.75±1.76 ab BC100P0 6.69±0.52 ab BC0P100 6.14±1.66 ab BC0B100 6.04±0.32 ab BC25P75 6.43±2.09 ab BC25B75 5.62±0.82 ab BC50P50 6.30±2.63 ab BC50B50 6.02±0.84 ab BC75P25 7.87±1.57 a BC75B25 4.68±1.68 b a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis ragam, blok memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering tanaman (Tabel 2). Blok 1 menghasilkan bobot kering yang berbeda dibandingkan dengan blok 2 dan blok 3. Blok 1 merupakan blok yang mempunyai bobot kering tanaman yang paling kecil. Hal ini karena blok 1 berada di sebelah kiri rumah kaca. Bagian kiri rumah kaca merupakan bagian yang kurang terkena cahaya matahari sehingga etiolasi sering terjadi pada bagian ini. Etiolasi membuat tanaman menjadi lebih tinggi tetapi tidak kuat sehingga pada saat dikeringkan, bobot kering pada tanaman yang berada pada blok 1 menjadi lebih kecil. Blok pada penelitian Handini (2011) juga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering tanaman. Tanaman yang ditanam pada blok yang terkena sinar matahari lebih banyak memiliki bobot kering yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman yang kurang terkena sinar matahari.
34 Jenis Hubungan PGPR dan Bakteri Endofit Pada penenlitian, PGPR dan bakteri endofit diujikan secara tunggal maupun secara kombinasi. Berdasarkan data pada Tabel 6, terlihat bahwa perlakuan tunggal S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 memberikan index penekanan penyakit paling baik yaitu masing-masing sebesar 41.18% dan 45.88%. Sedangkan perlakuan tunggal B.subtilis AB89 tidak dapat menekan perkembangan penyakit tetapi memperparah tingkat kejadian penyakit. Perlakuan kombinasi yang dapat memberikan penekanan terhadap perkembangan penyakit adalah perlakuan BC50B50 dan BC50P50. Kedua perlakuan tersebut dapat menekan kejadian peyakit layu bakteri masing-masing sebesar 17.65% dan 11.76%. Index penekanan penyakit ini lebih besar bila dibandingkan dengan index penekanan penyakit pada penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011). Tabel 6
Keefektifan pengendalian (index penekanan penyakit), nilai Sinergy Factor (SF) dan jenis hubungan antara PGPR dan bakteri endofit dari perlakuan kombinasi berdasarkan nilai AUDPC
Perlakuan BC0B100c BC100P0 BC0P100 BC25B75 BC50B50 BC75B25 BC25P75 BC50P50 BC75P25 a b
Index penekanan penyakit (%)a -17.65 41.18 45.88 -11.76 17.65 -64.71 0.00 11.76 -11.76
E(obs)b
Sinergy Factor (SF)
30.79 30.79 30.79 68.17 68.17 68.17
Jenis Hubungan
-0.38 0.57 -2.10 0.00 0.17 -0.17
A A A A A A
Relatif dibandingkan dengan kontrol. Keefektifan pengendalian dugaan oleh kombinasi PGPR dan bakteri endofit.
Berdasarkan penelitian Handini (2011), kombinasi S.epidermidis BC4 50% dengan B. subtilis AB89 50% dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri sebesar
3.51%
sedangkan
kombinasi
S.epidermidis
BC4
50%
dengan
P.fluorescens RH4003 50% sebesar 8.68%. Perbedaan ini terjadi karena beberapa faktor lingkungan yang berbeda pada saat penelitian sedang dilakukan. Pada Tabel 5 terlihat juga bahwa perlakuan kombinasi dengan proporsi 50:50 dapat
35 menekan kejadian penyakit layu bakteri lebih baik bila dibandingkan dengan proporsi 25:75 maupun 75:25. Jenis hubungan antara agens biokontrol yang digunakan dapat diketahui dengan melakukan perhitungan berdasarkan rumus Abbott’s (Guetsky et al. 2002). Berdasarkan nilai SF yang telah didapatkan hubungan baik antara S.epidermidis BC4 dengan B. subtilis AB89 maupun hubungan antara S.epidermidis BC4 dengan P. fluorescens RH4003 bersifat antagonis. Hal ini juga sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011). Sifat antagonis ini dapat ditanggulangi dengan waktu aplikasi yang berbeda antara PGPR dan bakteri endofit atau yang biasa disebut dengan rotasi aplikasi agens biokontrol (Janousek et al. 2009). Bakteri endofit dapat diaplikasikan terlebih dahulu kemudian selang waktu 1 sampai 2 minggu dapat diaplikasikan PGPR. Bakteri endofit diaplikasikan terlebih dahulu karena bakteri endofit memerlukan waktu yang lebih lama untuk masuk ke dalam jaringan tanaman dan mengkolonisasi jaringan tanaman. Setelah bakteri endofit telah mengkolonisasi tanaman inang, PGPR dapat diaplikasikan. PGPR akan mengkolonisasi daerah di sekitar akar tanaman. Bakteri endofit dan PGPR yang telah mengkolonisasi bagian-bagian tertentu dari tanaman inang akan beraktivitas sendiri-sendiri dan diharapkan dapat mengurangi kompetisi antara bakteri endofit dan PGPR sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri.