HASIL DAN PEMBAHASAN Diskursus Masyarakat Madani Manusia adalah satu-satunya makhluk di belahan bumi yang mengenal dimensi idealita atau dimensi yang terdiri atas ide-ide. Dimensi yang menjadi harapan (cita-cita) karena memang hanya berupa hal-ha1 yang ideal. Sehingga, dimensi idealita menjadi standar, arahan dalam aktivitas manusia (masyarakat). Dengan perkataan lain, pada tataran das sollen, aktivitasnya selalu mendasarkan diri pada idealita. Oleh karena itu, manusia (masyarakat) selalu mengupayakan realisasi idealita menjadi realita (kenyataan riil). Hal tersebut di atas nampak pada fenomena diskursus masyarakat madani. Sebuah fenomena yang secara esensial, merupakan upaya menggagas format masyarakat yang diidealkan. Sekaligus upaya realisasi dimensi idealita yang meliputi nilai-nilai ajaran agama dan nilai sosial budaya suatu masyarakatmenjadi realita (kenyataan) yang mewujud sebagai masyarakat yang lebih baik, damai, sejahtera dan berkeadilan. Sebuah diskursus bukanlah gejala yang hampa rmang dan waktu. Dalam penelitian ini nampak bahwa diskursus masyarakat madani merupakan konstruksi sosial politik. Karakter rezim yang memerintah pada saat diskursus berlangsung memiliki pengaruh terhadap sifat diskursus, jurnlah kemunculan tulisan maupun karakteristik format masyarakat yang diidealkan. Pada masa rezim Orde Baru, sifat diskursus memiliki kecenderungan lebih konseptual, memiliki jurnlah kemunculan tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan masa
45
rezim pasca Orde Baru dan karakteristik format masyarakat yang diidealkan yang terlihat secara menyolok- lebih mengarah pada posisi masyarakat madani vis a vis hegemoni pemerintah.
Sedangkan pada masa rezim pasca Orde Baru, diskursus lebih bersifat konseptual- realistik, artinya, diskursus tidak sekedar berada pada wilayah teoritis (definitif) tetapi juga upaya realisasi konsep patla wilayah praksis sosial. Hal ini narnpak jelas pada diskursus seputar fenomena kebangkitan masyarakat madani yang mewujud pada misalnya kiprah LSM, ruang publik yang semakin terbuka. Pada masa rezim pasca Orde Baru, jumlah kemunculan tulisan sangat fantastis karena melebihi jumlah tulisan pada masa Orde Baru secara berlipatlipat ganda. Hal ini menunjukkan bahwa diskursus masyarakat madani pada masa rezim pasca Orde Baru lebih semarak dalarn arti lebill meluas, memasyarakat atau populis. Pada masa rezim pasca Orde Baru,
karakteristik format masyarakat
madani -yang nampak secara jelas- adalah masyarakat yang mandiri. Yaitu masyarakat yang berada dalarn fase aktualiasi diri,
masyarakat berupaya
mengaktualisasikan potensi diri. Oleh karena itu, pada masa rezim ini, muncul fenomena kebangkitan masyarakat madani.
Frekuensi Bentuk Tulisan Wujud masyarakat komunikatif Indonesia dapat terlihat antara lain pada fenomena diskursus masyarakat madani pada Harian Umum Kompas. Diskursus
46
tersebut mewujud dalam bentuk tulisan yang meliputi artikel, berita, dan tajuk rencana. Masing-masing bentuk tulisan ini memiliki frekuensi atau jumlah kemunculan yang berbeda-beda. Tabel 1 menyajikan frekuensi bentuk tulisan dalam diskursus masyarakat madani. Dapat dilihat bahwa berita menunjukkan frekuensi tertinggi. Artikel menjadi peringkat kedua dan tajuk rencana menjadi peringkat terakhir. Hal ini terjadi baik pada masa Orde Baru maupun pasca Orde Baru dan terlepas dari persoalan fluktuasi kenaikan atau menurun bahkan kekonstanan jumlah kemunculan dari satu masa ke masa lain. Bentuk tulisan berita memiliki jumlah kemunculan yang hampir konstan (hanya mengalami kenaikan frekuensi sebanyak 3,3 %) dalam dua masa, yaitu dari sebanyak 16 buah atau 53,3 % pada masa Orde Baru menjadi 17 buah atau 56,7 % pada masa pasca Orde Baru. Sedangkan jumlah kemunculan artikel mengalami kenaikan dari sebanyak 9 buah atau 30 % pada masa Orde Baru menjadi sebanyak 12 buah atau 40 %. Sementara tajuk rencana mengalami penurunan jumlah kemunculan dari 5 buah atau 16,7 % menjadi sebuah atau 3,3 %.
Tabel 1. Bentuk Tulisan Diskursus Masyardcat Madani Masa Orde Baru dan Pasca Orde B,aru (Frekuensi) Masa Orba Bentuk
No.
1 2 3
Masa Pasca Orba
Artikel Berita Tajuk Rencana Jumlah
F
%
f
%
9 16 5 30
30 53,3 16,7 100
12 17 1 30
40 56,7 3,3 100
Berita Selisih frekuensi kemunculan berita antara mass Orde Baru dan masa pasca Orde Baru terlihat relatif sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa seputar diskursus masyarakat madani telah menjadi semarak pada masa Orde Baru.
Meskipun dengan
materi berita yang memiliki muatan dan
karakteristik yang berbeda. Berita Pada Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru, materi berita memuat pendapat-pendapat pakar tentang pengertian masyarakat madani. Pendapat-pendapat tersebut merupakan hasil wawancara maupun perbincangan dalarn acara-acara seminar atau diskusi. Berdasarkan data dalam penelitian ini, pendapat-pendaybat tersebut lebih banyak muncul (didapatkan) dari acara seminar. Materi berita pada masa ini juga memuat tentang sejarah pemikiran masyarakat madani, pelurusan tentang dikotomi terhadap sipil dan militer, tentang urgensi keberadaan masyarakat madani sebagai prasyarat demokrasi,
48
syarat pengembangan masyarakat madani seperti misalnya civic competence (kemampuan untuk menjadi warga),
pelurusan tentang dikotomi antara
masyarakat sipil dengan militer, relasi masyarakat madani dengan agama, unsurunsur (elemen) masyarakat madani seperti kaum intelektual, profesional, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Juga tentang muatan-muatan dalam masyarakat madani seperti kemandirian (kemampuan mengurus dirinya tidak tergantung pada negara), pluralisme, keterbukaan, toleransi, partisipasi politik (memberi kesempatan rakyat menyampaikan kritik dan pendapatnya), keseimbangan antara wibawa pemerintah dan kekuatan masyarakat (masyarakat memiliki posisi tawar-menawar dan sejajar dengan pemerintah). Selain itu,
materi berita juga memuat tentang modal utama untuk
terciptanya masyarakat madani yaitu intelektualitas d m ekonomi, penyoalan hubungan antara LSM -sebagai salah satu elemen pembentuk masyarakat madani- dengan pemerintah secara serasi. Penyoalan hubungan antara LSM dengan pemerintah lebih dikarenakan "kevokalan" LSM yang pada saat itu belum lazim. Di samping itu juga karena kecurigaan pemerintah terhadap LSM yang memiliki jaringan ke luar negeri. Pemerintah merasa khawatir kalau LSM menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Berita Pada Masa Pasca Orde Baru Pada masa Pasca Orde Baru, berita tentang diskursus masyarakat madani memiliki kecenderungan pada pemberitaan mengenai urgensi kiprah
49
elemen
masyarakat madani seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
kalangan kampus, kaum intelektual. Khususnya, kiprahnya dalam penanganan program pemulihan keberdayaan masyarakat akibat krisis ekonomi sosial. Pada saat itu, eksistensi masyarakat madani sangat dibutuhkan. Bahkan terdapat imbauan kepada pemerintah untuk melibatkan masyarakat madani dalam memantau program pembangunan. Hal ini dikarenakan LSM, kaurn intelektual yang kritis memiliki kredibilitas yang baik di mata masyarakat maupun negara donor. Materi berita juga memuat tentang keinginan pembentukan masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis berdasarkan sendi-sendi masyarakat madani. Pembentukan tersebut sebagai kelanjutan dari langkah reformasi yang menggema di masyarakat. Pengertian masyarakat madani dalam berita pada masa ini adalah suatu oposisi terhadap negara, masyarakat yang yang bertanggung jawab. Masyarakat yang berdasarkan ilmu pengetahuan,
demokrasi,
perikemanusiaan,
dan
moralitas. Ciri-ciri kemadanian meliputi kekuatan ilmu pengetahuan, moralitas, tatanan hukurn yang menjamin demokrasi, dan keadilan (Berita "Masyarakat Madani Tak Bisa Andalkan Nilai Jawa", 20 Nopember 1998). Selain itu, juga terdapat berita yang memuat tentang ciri masyarakat yang demokratis yaitu makin terbukanya peluang berbeda pendapat.
Juga
definisi tentang masyarakat madani sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri,
kuncinya adalah membangun manusia-manusia dengan harga diri.
Pengidentikan masyarakat madani dengan kelas menengah, masyarakat madani
50
sebagai solusi budaya kekerasan, demokratisasi,
masyarakat madani sebagai kunci
masyarakat madani (universitas dan masyarakat) sebagai
kekuatan di luar negara. Materi berita juga berkisar tentang pendapat bahwa cita-cita menuju masyarakat
madani
belum
menunjukkan
gambaran
yang
jelas
dan
menggembirakan. Hal ini dikarenakan masyarakat beluun dapat berdialog untuk menciptakan konsensus nasional.
Selain itu,
juga karena kondisi krisis
ekonomi.dan krisis sosial. Kondisi yang membuat kalangan yang peduli pada penegakan hak asasi manusia,
demokrasi,
perjuangan lingkungan hidup,
konsumen, perempuan, dan sebagainya, harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok.. Sehingga, mereka tidak memiliki waktu untuk berperan sebagai masyarakat madani potensial. Dalam berita "Masyarakat Madani Tak Bisa Andalkan Nilai Jawa, 20 Nopember 1998, ha1 tersebut di atas secara tegas disebutkan bahwa salah satu kendala yang memperlambat masyarakat madani adald~tidak dimilikinya dasar ekonomi sebagaian besar masyarakat dan kalangan LSM untuk melepaskan diri dari kekuatan ekonomi negara. Sarnpai saat ini, masyarakat madani di di negara-negara dunia ketiga merupakan gejala baru, yang sangat sering belum mempunyai kekuatan ekonomis. Diskursus masyarakat madani dalam berita pada masa pasca Orde Baru juga meliputi identifikasi warisan rezim Orde Baru berupa hilangnya ketrampilan sosial -karena "negara mengambangV- akibat dari dihancurkannya secara sistematis segala forum dan media yang dikuasrti masyarakat. Padahal
51
ketrampilan tersebut sangat diperlukan dalam masyarakat madani.
Karena,
hilangnya ketrampilan tersebut membuat masyarakat kehilangan kesanggupan menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka sendiri secara santun, beradab, dan damai. Materi berita juga memuat mengenai gagasan bahwa usaha mewujudkan demokrasi di Indonesia menuntut perluasan partisipasi politik dan mekanisme baru untuk penciptaan solidaritas sosial. Juga mengenai perlunya menciptakan wacana publik yang menampung aspirasi dan kemajemukan etnis, perlunya pembangunan budaya, tidak hanya melulu pembangunan ekonomi. Perlunya memberdayakan dan memberi pemaharnan yang benar akan konsep masyarakat madani. Perlunya dasar perekat masyarakat Indonesia. Pada berita lain memuat wgensi upaya mencari definisi baru atau bahkan konsensus baru mengenai sejurnlah masalah pokok, khususnya mengenai keindonesiaan yang lebih relevan, transformasi menuju demokratisasi.
realistis dan sejalan dengan proses Sehingga,
ke-Indonesia-an baru yang
diharapkan adalah ke-Indonesia-an yang menjunjug tinggi pluralisme universal dan memberi tempat yang memadai bagi pluralisme yang spesifik dan lokalistik. Materi berita juga memuat tentang gagasan untuk mencapai masyarakat madani melalui ruang dan wacana untuk menampung aspirasi yang beragam. Pembentukan ruang publik (DPR, partai politik, media massa). Dalam berita lain disebutkan bahwa wilayah publik kini menjadi arena utama proses politik. Wilayah publik merupakan sarana mengekspresikan kepentingan berbagai
52
kelompok masyarakat. Media cetak dan partai politik tumbuh dengan subur serta ruang diskusi terbuka lebar. Pada berita "Masyarakat Madani Tak Bisa Andalkan Nilai Jawa, 20 Nopember 1998, disebutkan bahwa dalam masyarakat madani yang terbuka, semua isu kontraversial harus didiskusikan secara terns-menerus. Berita pada masa ini memuat pula sebuah diskusi tentang pemikiran sosiolog Anthony Giddens mengenai "The Third Way", berupa konsepsi The Radical Centre, suatu model ekonomi pasar berskala global (globalized world) dalam masyarakat yang mengutamakan solidaritas sosial,
yang antara lain
ditandai prinsip persamaan, perlindungan yang lemah, kebebasan dalam bentuk otonomi, hak yang disertai tanggung jawab, otoritas yang dibentuk atas dasar partisipatoris, dan solidaritas dalam pluralisme. Sebuah konsep yang membuka perspektif baru sekaligus menawarkan sejurnlah alternatif dalam melakukan penyesuaian atau reorientasi pembangunan dalam berhadapan dengan globalisasi.
Artikel Kenaikan persentase kemunculan artikel sebanyak 13,3%, merupakan suatu kewajaran, karena diskursus masyarakat madani semakin tersosialisasi atau menyebar. Namun demikian, ha1 yang mendasar dari fenomena tersebut adalah terlihat adanya respon dari masyarakat yang semakin meningkat. Pada saat yang sama, diskursus tentang masyarakat madani telah menjadi isu yang aktual dan menarik. Seperti diungkapkan oleh wakil redaktur Kompas, Rikard Bangun, sebagai berikut :
"Pendekatan selain jumlah tentu kualitas lalu aktualitas dan ada beberapa pertimbangan ada masalah aktualitas, kemudian masalah substansi. Kalau banyak itu relatif karena setiap hari banyak, puluhanlah di Kompas. Ya ada proses seleksi. Kalau memang banyak, kemungkinan ada beberapa beberapa kemungkinan karena memang aktual kemudian memang menarik" (wawancara, 19 September 200 1). Pada konteks penulisan artikel, diantara penulisnya seringkali terjadi respon balik sehingga antara satu artikel dengan artikel berikutnya saling terkait. Artinya, artikel berikutnya merupakan tanggapan terhadap artikel sebelurnnya. Hal ini terlihat misalnya pada artikel berjudul "Membongkar Reduksi Agama Membangun "Civil Society".
Artikel yang penulisnya Hamdan Farchan ini,
merupakan respon (tanggapan) kritis terhadap artikel Ahrnad Gaus AF yang berjudul "Agama Sebagai Energi Sipilisasi". Pada intinya, interaksi antara artikel tersebut mendiskripsikan peluang agama sebagai kekuatan terbentuknya masyarakat madani dan elaborasi pemikiran penempatan agama dalam konteks pembangunan masyarakat madani. Hal tersebut tentu merupakan ha1 yang sangat menarik karena terjalin interaksi antara peserta diskursus (komunikator, source). Pada kondisi seperti ini, menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku The Elemen of Journalism : What Newspeople Should Know and The Public Should Expect (dalam Andreas Harsono et. al., 2001 : 1I), media hams menyediakan forum bagi masyarakat untuk melontarkan kritik dan komentar. Keduanya mengibaratkan media dengan "public houses",
pada zarnan
prapercetakan dimana setiap pengunjung rumah macam itu, bisa berupa bar atau warung, dapat menyampaikan dan mencari informasi.
Artikel Pada Masa Orde Baru Pada awal diskursus, materi artikel berkisar pada pembahasan sejarah konsep civil society dan penggunaan istilah civil society dalam kerangka dikotomi sipil militer. Artikel-artikel berikutnya membahas tentang pengertian (definisi) masyarakat madani,
karakter yang terrnuat di dalam konsep
masyarakat madani, syarat-syarat yang mesti terpenuhi bagi penvujudan masyarakat madani, fungsi masyarakat madani, peran agama dalam membangun masyarakat madani dan kondisi masyarakat madani di Indonesia. Juga terdapat artikel yang mengkritisi relevansi gagasan civil society di Indonesia sekaligus memberikan gagasan alternatif yang sesuai dengan konteks sosial Indonesia. Pengertian civil society mengacu pada pengertian civil society menurut Larry Diamond dalam
artikel Denny J.A dengan judul "Menumbuhkan
Masyarakat", 16 Mei 1995, yaitu kehidupan sosial yang terorganisir, tumbuh secara sukarela, bersifat swadaya, dan tidak terkooptasi oleh pemerintah. Dalam artikel lain, civil society berarti sebagai masyarakat yang rasional dan beradab, yang memiliki relasi hak dan kewajiban di hadapan negara dalam posisi yang teremansipasi (Budiono Kusumohamidjojo dalam artikelnya, "HAM dan Civil
Society", 12 Mei 1997). Dalam pengertian yang lain, disebutkan bahwa civil society adalah masyarakat yang meyakini bahwa pemerintah tidak lebih dari satu komponen dari sebuah bangsa, selain tiga unsur kekuasaan yang lain yaitu (1) bisnis dan industri, (2) media dan (3) LSM.
Dalam penyelenggaraan civil
society, keempat pilar tersebut saling terkait, sama-sama berfungsi dan kuat (Eka Budianta dalam artikelnya, "Menunggu Jawaban Sejarah", 25 April 1996).
Civil society memiliki muatan karakter sebagai berikut :
(a) Kepedulian terhadap dimensi publik dunia sosial (public sphere). Hanya di dunia publik, setiap aksi akan memberi pengaruh kepada pihak lain. Segala yang bersufat pribadi, tidak berada di lingkup civil society. (b) Meski tetap berhubungan dengan negara, tidak terlibat merebut posisi resmi pemerintahan. Hanya secara aktif dalam mengontrol, mempengaruhi policy dan meminta pertanggungjawaban pemerintahan. Posisinya berada di luar pemerintahan. (c) Mempunyai komitmen pada pluralitas dan diversity. Seluruh organisasi yang sektarian tidak terrnasuk dalam civil society, seperti fimdamentalisme agama,
ekstrimisme etnis dan berbagai lembaga lain yang mengklaim
sebagai satu-satunya pengemban kebenaran mutlak. (d) Bersifat parsial. Tidak berniat mewakili komunitas secara keselwuhan. Tidak ada kelompok yang mampu mengemban semua kepentingan (monopolistik). (e) Membebaskan diri dari kekuatan partai politik. Karena lokus civil society
tidak di pemerintahan (partai politik didirikan untuk berkompetisi merebut posisi resmi pemerintahan). Sebagai bentuk masyarakat yang diidealkan, eksistensi civil society tidak hadir dengan sendirinya.
Kehadirannya mensyaratkan kesukarelaan untuk
terlibat dalam proses politik, keswasembadaan dan keswadayaan, kemandirian sikap,
dan
komitmen
terhadap
nlai-nilai
hukum
(artikel
Kusumohamidjojo, "HAM dan Civil Society, 12 Desember 1997).
Budiono
56
Adapun fungsi civil society -yang terdapat dalam artikel Denny J.A., "Menumbuhkan Masyarakat", 16 Mei 1995- adalah sebagai berikut : (a) membangun kekuatan masyarakat.
yang efektif, membuat pertumbuhan
sebuah bangsa tidak lagi hanya bertumpu pada pemerintah. Inisiatif dan kepemimpinan datang dari surnber yang beragam. Kekuasaan pemerintah pun akan sangat terkontrol dan terlindungi dari the abuse power. Kritik dan dan koreksi atas aktor ataupun kebijakan pemerintah secara otomatis diberikan oleh berbagai kekuatan di luamya. (b) Civil society dapat merangsang partisipasi politik dan ketrampilan yang dibutuhkan warga negara yang aktif. (c) Civil society dapat menjadi arena bagi pengembangan sikap yang moderat, toleran, rela berkompromi dalam mencari aturan main bersama,
dan
menghormati pendapat yang berbeda bahkan yang bertentangan. Perbedaan pandangan dan kepentingan tidak berubah menjadi konflik tapi kompetisi. (d) Civil society dapat menjadi kana1 penyaluran kepentingan di luar partai politik. (e) Civil society dapat membuat banyak kepentingan
dapat saling silang
sehingga polaritas dan konflik dapat terjembatani. Organisasi agama dapat dianggotai oleh berbagai etnis.
Organisasi etnis dapat dianggotai oleh
berbagai agama. Dapat lahir pula organisasi antar (multi) agama dan antar (multi) etnis. (artikel Denny J.A., "Menumbuhkan Masyarakat", 1995).
16 Mei
Religiusitas dalam masyarakat Indonesia, menjadikan diskursus tentang masyarakat madani juga melibatkan faktor agama sebagai salah satu pendekatan dalam melihat kemungkinan praksis civil society di Indonesia. Sebagaimana disinyalir dalam artikel "Agama Sebagai Energi Sipilisasi" yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF, 20 April 1998, bahwa :
". ..agama di dalam masyarakat Indonesia menempati posisi dan pengaruh yang cukup penting, sehingga amat muskil untuk mengabaikannya di dalam proyek-proyek diskursus kemasyarakatan". Dalam artikel tersebut di atas, dinyatakan bahwa maraknya perbincangan mengenai masyarakat madani dalam konteks diskursus kemasyarakatan di Indonesia, sedikit banyak terkait dengan pesona yang dibangkitkan agama seperti yang terjadi di Polandia. Di Indonesia (selama pada saat itu), agama lebih terkesan sebagai kekuatan marjinal dalam arti belurn mampu mengakomodasi potensi-potensi masyarakat sipil dalam mengimbangi kekuatan negara.
Kalau bukan malah sebaliknya,
terjerambab ke dalam jaringan
intervensi dan kooptasi negara. Oleh karena itu, gagasan masyarakat madani di sini dijawab juga secara proaktif oleh kalangan agamawan atau cendekiawan agama yang memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat,
di
samping oleh kalangan lain. Menurutnya, pada saat yang sama, fenomena keberagamaan dalam bingkai realitas sosial politik di Indonesia (pada saat itu) secara empiris juga menyiratkan desakan penting yang mendorong tumbuhnya diskursus tentang masyarakat madani. Gejala partikularisme, eksklusivisme, formalisme, dan ritualisme, yang muncul bersama maraknya wacana keagamaan (kebangkitan
58
agama), sebagai lebih mengindikasikan gejala psikologi sosial daripada suatu gerakan etis yang mengibarkan panji nilai yang lebih substantif dalam mengisi wacana etika publik. Sehingga, akses kontrol sosial agama dan kekuatankekuatan institusional yang berdiri dibelakangnya justru semakin terpinggirkan atau tereduksi
ke titik yang paling minimal,
alih-alih menjadi kekuatan
penekan. Yang lebih merisaukan adalah sering menggejalanya transaksi-transaksi simbolik yang tidak seimbang antara agama dan kekuasaan. Simbol-simbol agama biasanya dimanipulasi untuk menopang kemapanan otoritas dan status quo kekuasaan. Sehingga, ada kemungkinan agama justru berpotensi melibas benih-benih masyarakat sipil (vis a vis kekuatan negara) daripada memberdayakannya. Dalam artikel ini, disebutkan bahwa ruang publik keagamaan (religious public sphere) masyarakat Indonesia (pada saat itu) dibangun secara massif dengan optimisme yang meledak-ledak. Suatu ha1 yang menurutnya, cukup menggembirakan.
karena menawarkan berbagai
harapan baru
bagi
penyembuhan penyakit-penyakit sosial yang dibawa oleh modernisasi (pembangunan Orde Baru). Meskipun disadari juga bahwa di luar optimisme tersebut ada tuntutan lain yaitu bahwa gerakan-gerakan tersebut sebaiknya juga menyisakan sikap kritis yang cukup mendeteksi faktor ikutan negatif yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Kontras yang tajam antara ruang publik keagamaan (religious public sphere) yang dibangun secara hiruk pikuk di satu pihak dan di pihak lain kian
59
terjadi kerusuhan sosial,
tendensi ketegangan antarpemeluk agama,
kecenderungan angka peningkatan angka kejahatan dan kekerasan, angka kejahatan korupsi yang tinggi, pemakaian obat-obatan terlarang, keberingasan kalangan pelajar, dan sebagainya, hams dapat terjelaskan. Oleh karena itu, menurutnya, gerakan-gerakan keagamaan diharapkan tidak berhenti pada upaya penegakan syariat belaka tetapi juga meletakkan visinya pada aras pemberdayaan dan advokasi masyarakat.
Karena Islam
merupakan agama yang memiliki kompetensi dan perhatian sangat besar terhadap masalah kemasyarakatan (seperti tercermin dalam konsep ummah). Realitas kemasyarakatan yang selama ini cenderung dilihat sebagai persoalan normatif-religius, agar dipahami juga sebagai persoalan etis-kemanusiaan dan moralitas-struktural. Sehingga, gerakan-gerakan keagarnaan akan memiliki relevansi, kepedulian, dan daya sahut terhadap persoalan-persoalan seperti kerniskinan, ketidakadilan, demokratisasi, kesenjangan sosial, penegakan HAM, perluasanfree public sphere, isu lingkungan hidup, dan lain-lain. Oleh karena itu,
realitas sosial Islam yang paling aktual adalah
menghadapi beberapa tantangan krusial seperti bagaimana meletakkan kepentingannnya di antara,
dan bukan di atas,
kepentingan-kepentingan
kelompok sosial atau agama lain; dan bersama-sama dengan kelompok lain berbagi energi dalam rangka pemberdayaan masyarakat serta bukan saling berhadapan satu sama lain yang justm akan membuang-buang energi.
60
Di samping itu, sudah saatnya juga Islam menjaga jarak dengan negara sehingga tersedia ruang yang cukup untuk bersikap kritis dan memperkecil kemungkinan intervensi dan kooptasi oleh perangkat negara. Dalam artikel berikutnya, yaitu artikel "Membongkar Reduksi Agama Membangun Civil Society", 19 Mei 1998, yang penulisnya Hamdan Farchan, menjelaskan tentang format agama yang dapat berperan sebagai energi bagi terbentuknya civil society. Agama yang mampu menjadi ruh civil society di Indonesia adalah agama yang tidak mereduksi nilai universalnya. Agama diposisikan sebagai sikap hidup agar manusia mampu mengatasi problematikanya.
Dengan harapan agama mampu memberi jawaban untuk
kepuasan spiritual pada pertanyaan mendasar dengan teka-teki alam semesta dan peranan manusia di dalamnya. Pada hakikatnya, menghidupkan dan menjaga kefitrahan manusia. Lebih lanjut, dalam artikel tersebut di atas, terdapat eksplorasi gagasan atau pemikiran bahwa agama mampu menjadi energi bagi terbangunnya civil society apabila agama ditempatkan sebagai landasan spiritual, etik, dan moral, bagi pembangunan urnat manusia.
Hal tersebut daapat dilakukan dengan
pemaknaan bersama semua agarna. Kerja sama ini dapat teraktualisasi dalam realitas-historisjika diiringi oleh kesadaran terhadap dialog agama. Oleh karena itu, ada beberapa tahapan kesadaran agama-agama, agar mampu membangun dan memberdayakan civil society. Hal ini tidak terlepas dari semangat zaman dan historisnya sendiri-sendiri.
61
Tahapan pertama adalah kesadaran perbandingan agama, yang bersifat akademik dan kategorik, dan nuansa yang dibawa adalah ideologis-obyektif, dengan agenda aksi mencari kebenaran. Studi ini menggunakan doktriner, benar dan salah dilihat dari sisi theos-normative, didogmakan agama.
Studi obyektif (scientwc study),
karena kebenarannya menggunakan studi
ilmiah, yang seringkali juga bertentangan dengan doktrin agama. Tahapan kedua, kesadaran dialog antaragama. Sifat dari tahapan ini mengetengahkan sisi obyektif,
ideologis (pembangunan tataran nilai kemanusiaan)
dan retoris.
Dengan agenda aksi rnnciptakan stabilitas dan berporos pada trilogi kerukunan. Tahapan ketiga, membangun kesadaran dialog antara iman. Sifat dialog ini subyektif,
namun
memuat
memberdayakan dan egalitarian.
semangat
pembebasan
(emansipatoris),
Agenda aksinya berupa kerja sama dan
harmoni. Pada tahapan ini, agama-agama ini mengkritik dirinya, tidak hanya pada perilaku, namun juga pada saripati ajaran. Hadirnya kesadaran bahwa agama marnpu memberikan energi terbangunnya civil society sesungguhnya terbidani dari kesadaran kritik diri, bukan apologi. Menurutnya,
doktrin agama yang selama ini dianggap absolut
sesungguhnya masih melekat bingkai ideologis dogmatik yang mewujudkan angan-angan tertentu bagi pemeluknya, sehingga urnat tidak mampu keluar dari kungkungan ajaran agama yang tereduksi. Untuk itu harus dipecah tempurung apologi dan pereduksian agama, selanjutnya menyingkirkan ketakutan terhadap agama lain, agar wacana kemanusiaan bisa diperkaya, teologi agama harus
62
melakukan bersama penguatan civil society,
menjaga dan mempertahankan
martabat manusia dari ancaman, terutama yang datangnya dari diri sendiri. Selanjutnya, dinyatakan bahwa untuk membangun civil society harus ada sesuatu yang disadari bahwa rakyat memiliki hak asasi, berkurnpul, diskusi, berserikat, dan sebagainya. Semakin rakyat bekemampuan menuntut haknya, pada saat yang bersamaan, civil society terberdayakan dan dengan sendirinya negara akan kuat. Pada tataran praksis, kondisi civil society di Indonesia, masih berada dalam level yang rendah karena state corporatism policy yang dikembangkan sejak lahirnya Orde Baru (Artikel "Menurnbuhkan Masyarakat", 16 Mei 1995). Selain itu terdapat kendala utama terbentuknya civil socety yaitu tidak meratanya pemahaman akan demokrasi, kemerdekaan dan kenegaraan. Pola hubungan pemerintah dan rakyat masih diwarnai feodalisme, primordialisme, dan konsep r atasan-bawahanY(Artikel "Menunggu Jawaban Sejarah", 24 April 1996).
Diskursus masyarakat madani ternyata juga berkisar pada respon kritis tentang gagasan civil society yang bercorak Barat. Menurut artikel "Memproyeksikan Civil Society DI Indonesia", 23 Pebruari 1995, yang ditulis oleh seorang guru besar UNDIP, Satjipto Rahadjo, masuknya gagasan civil
society ke Indonesia merupakan bentuk hegemoni kebudayaan Barat dalam penataan sosial. Gagasan civil society memiliki konteks sosial dan sejarah Barat yang berbeda dengan Indonesia.
Oleh karena itu,
beliau mengajukan
nomenklatur baru yaitu masyarakat rukunan. Yaitu suatu tipe masyarakat yang mempunyai ramuan dasar (basic ingredient) sosiologis sendiri. Sehingga, juga
63
memiliki semacam 'hak'nya sendiri untuk membangun suatu tipe penataan sosial tertentu dengan bahan ramuan dasar tersebut. Aspek kultural dari ramuan dasar tipe masyarakat tersebut adalah kebersamaan, harmoni, dan keutuhan. Apabila semua mendapat kesempatan berkembang secara wajar maka masyarakat dengan ramuan dasar tersebut niscaya hams terbuka kesempatan membangun penataan sosialnya yang khas. Menurutnya, sejak kemanusiaan adalah satu maka dapat dibayangkan dari semula bahwa akan banyak terjadi titik pertemuan antara civil society dan masyarakat rukunan. Artikel lain yang juga memberikan respon kritis adalah artikel "Membangun Peradaban Profetis", 18 Juli 1997. Penulisnya adalah Sumanto A1 Qurtubi. Qurtubi mengkritisi masyarakat modem yang mendasarkan diri pada paradigma positivisme. Paradigma ini merupakan pandangan yang didasarkan pada filsafat rasionalisme dan empirisme yang dibangun oleh August Comte. Pandangan yang temyata melahirkan sejumlah "penyakit peradaban"
seperti
masyarakat berkelas, hipokrasi, kolusi struktural, intrik, teori konspirasi, tirani dan lain-lain yang mengancam stabilitas ekosistem ini.
Krisis masyarakat
modern juga dapat dibuktikan dengan tingkat penyakit stres yang tinggi, aksi brutalisme dan bunuh diri massal dari berbagai sekte keagamaan eksklusif seperti yang terjadi di Jepang dan Amerika. Menurutnya, tindakan-tindakan tersebut sebenarnya menunjukkan kegerahan sekaligus protes masyarakat atas peradaban modem yang gaga1 memberikan kebahagiaan dan keamanan ontologis kepada umat manusia. Kegagalan tersebut karena peradaban modem telah kehilangan, menurut istilah Vaclac Havel, jangkar transendental.
64
Lebih lanjut,
Surnanto A1 Qurtubi mengajukan gagasan membangun
peradaban baru sebagai solusi dari kegagalan tersebut di atas, yaitu gagasan masyarakat madani yang berkiblat pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ketika membangun Madinah. Madinah secara ilmu kebahasaan mengandung arti peradaban. Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya sebuah pernyataan sikap, niat atau proklamasi bahwa beliau dan pengikutnya hendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab. Dalam membangun masyarakat madani, Nabi Muhammad SAW menggunakan prinsip seperti tertuang dalam Piagam Madinah yaitu dua prinsip yang meliputi (a) kesederajatan dan keadilan, (b) inklusivisme (keterbukaan). Prinsip pertama mencakup semua aspek, baik aspek politik, ekonomi, maupun hukurn, sedangkan prinsip kedua merupakan suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Menurut prinsip pertama, dalam aspek politik, seluruh kepentingan terakomodasi. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik, mereka tidak dibedakan berdasarkan suku maupun agama dominan, seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah berdiri sama tinggi, serta tidak ada ideologi sukuisme dan nepotisme. Dalam aspek ekonomi, terdapat penerapan ajaran egalitarianisme, yakni, pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis. Terdapat
65
penentangan terhadap paham kapitalisme dalam pengertian penguasaan kapital (modal) hanya oleh suatu kelompok tertentu yang secara ekonomi mapan. Dalam aspek hukum, terdapat penegakan konsistensi legal (hukum). Terdapat kesadaran bahwa aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa. Sehingga, tidak ada pembedaan antara "orang atas", "orang bawah" atau keluarga sendiri. Sedangkan menurut prinsip kedua yaitu inklusivisme, terdapat pandangan bahwa setiap orang mempunyai potesi untuk benar dan baik. Karena itu setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mendengar, kesediaan untuk mendengar sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting yaitu sikap rendah hati berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Para kritikus, oleh nabi Muhammad SAW, tidak dianggap sebagai rival, makar, kontra establishment apalagi ekstrem kanan meskipun kritikan-kritikannya tajam. Kecuali dua prinsip tersebut di atas,
terdapat juga prinsip iman
(moralitas) yang merupakan basis tegaknya peradaban. Iman menjadi basis untuk menumbuhkan kesadaran moral. Keyakinan kepada Tuhan Yang Transenden, Mendengar,
Maha Melihat, Maha
Maha Mengetahui, mendorong keinsyafan batin dalam diri
66
manusia. Iman kepada Tuhan menciptakan kedamaian dan ketentraman jiwa. Dengan cara tersebut manusia menjadi lebih manusiawi, lebih halus kepekaan moralnya yang pada gilirannya marnpu menumbuhkan kesadaran sosial. Keberhasilan dalam membangun peradaban (Madinah), pada hakikatnya karena dilakukan dengan semangat sosial yang tinggi yang terpancar dari iman yang kokoh. Prinsip equal and justice serta inklusivisme yang merupakan basis tegaknya peradaban, mustahil dijalankan tanpa landasan ilahiyah yang kuat. Moralitas yang kokoh, iman yang kuat, menjadikan orang pantang berbuat destruktif. Mengetahui.
Karena merasa selalu dikoordinir oleh Tuhan Yang Maha Oleh karena itu,
krisis moralitas mengakibatkan kehancuran
peradaban, sebaliknya tegaknya sebuah peradaban karena landasan transenden yaang kuat (Artikel Surnanto A1 Qurtubi, Membangun Peradaban Profetis, 18 Juli 1997). Artikel Pada Masa Pasca Orde Baru
Artikel pada masa ini memuat tentang urgensi eksistensi masyarakat madani, prasyarat budaya masyarakat madani, format komunitas yang dapat melahirkan masyarakat madani,
aspek yang menjadi kekuatan masyarakat
madani, format masyarakat madani, rintangan-rintangan dalam mewujudkan masyarakat madani, dan fenomena kebangkitan masyarakat madani yang berkiprah di luar orbit negara. Urgensi eksistensi masyarakat madani merupakan kebutuhan dalam membangun bangsa yang super dan unggul yang tidak tercemari oleh warisan
politik Orde B a seperti gen KKN. Seperti diungkapkan oleh penulis artikel 'Genetika Politik" dalam Kompas, 31 Maret 1999, yaitu Hendrawan Nadesul, seorang dokter yang juga penulis buku dan kolom, bahwa : "Selain lewat pencerahan batin, iman bekerja dan moral tidak boleh lumpuh, gen serong dan busuk politik membutuhkan tatanan sebuah rekayasa sosial (social engineering), antara lain dengan diturnbuhkannya masyarakat madani". Menurutnya, dengan kehadiran sosok masyarakat madani maka moral masyarakat bukan saja tidak menyukai pemerintahan yang tidak baik, melainkan sudah menjadi kontrol sosial paling kuat sebab sudah tumbuh menjadi masyarakat yang "berani karena benar".
Bukan lagi rakyat yang selalu rela
dikalahkan meskipun benar. Sedangkan dalam artikel "Islam dan Masyarakat Madani" oleh Masykuri Abdillah, 27 Pebruari 1999, urgensi masyarakat madani adalah sebagai salah satu pendukung bagi terwujudnya suatu sistem demokrasi. Selain pendukung lainnya yaitu kemauan politik dari negara (state) dan komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society). Prasyarat budaya masyarakat madani dalam artikel pada masa Pasca Orba terdapat dalam tiga artikel.
Yaitu artikel "Islam dan Prasyarat Budaya
Masyarakat Madani" oleh Abdul Munir Mulkhan, tanggal 25 Januari 1999; artikel "Prasyarat Budaya Civil Society" oleh Zuly Qodir, tanggal 09 September 1999; dan artikel yang ditulis Sukidi dengan judul "Cak Nur, Islam, dan Oposisi Loyal", 25 Agustus 1998.
68
Menurut Mulkhan,
prasyarat budaya masyarakat madani meliputi
pertama, kesediaan elite politik, penguasa, dan keagamaan untuk meletakkan rakyat bukan sekedar sebagai obyek keberlakuan hukum terutama hukum berdasar ajaran agama.
Kedua,
meletakkan negara bukan sebagai realitas
pertama dan utarna di dalam kehidupan sebuah masyarakat bangsa, atau dalam rumusan populer: meletakkan negara dan elite penguasa serta keagamaan sebagai "pelayan" rakyat yang juga sebagai umat pemeluk suatu agama. Sementara itu,
menurut Qodir,
prasyarat budaya bagi lahirnya
masyarakat madani adalah dengan menciptakan budaya tandingan (counter culture) atau alternatif. Suatu budaya yang berpijak pada adanya kepelbagaian dalam masyarakat. Wacana menyebar dalam berbagai lapisan masyarakat tanpa kecuali. Karena, pada kenyataannya lapisan yang dituduh sebagai kelas rendah (marginal) seringkali memiliki budaya yang lebih arif dibandingkan dengan mereka yang mengklaim sebagai kelas tinggi atau elite. Budaya dengan keberadaan kebebasan dalam seluruh amggota masyarakat untuk turut serta menyumbangkan gagasannya.
atau mengekspresikan apa yang menjadi ide-ide atau
Budaya yang pada gilirannya
dapat membangkitkan sebuah
masyarakat yang memiliki kedewasaan berpikir dan bertindak. Selain itu, juga terdapat budaya oposisi loyal, suatu budaya mengkritik dan mengoreksi secara konstruktif dalam semangat loyal (mengakui keabsahan suatu pemerintahan) terhadap penguasa yang cenderung korup dan otoriter. Budaya
oposisi yang diharapkan dapat membentuk wadah alternatif untuk
saluran politik rakyat (oposisi) dan dapat menurnbuhkan tradisi kritis yang
69
korektif terhadap dominasi dan arogansi kekuasaan (check and balance). Sehingga, dapat menciptakan pemerintahan yang bersih,
benvibawa,
dan
demokratis, yang juga dapat memperkuat basis sosio-kultur masyarakat ke arah cita-cita terbentuknya masyarakat madani (artikel Sukidi "Cak Nur, Islam, dan Oposisi Loyal", 25 Agustus 1998). Adapun format komunitas yang mampu melahirkan masyarakat madani terdapat dalam artikel Andy Siswanto dengan judul "Membangun Komunitas Mengatasi Krisis", 14 Oktober 1998. Dalam artikel disebutkan bahwa format yang mampu melahirkan masyarakat madani adalah komunitas yang mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan. Manusia-manusia dalam komunitas tersebut terbebas dari realitas yang menghambat being (proses menjadi), yaitu hambatan yang berupa ketidaksederajatan, tekanan, ancaman, ketakutan
dan
penindasan dari pihak
berpengetahuan, berpangkat, berjabatan,
eksternal
yang
merasa lebih
dan sebagainya. Masyarakat hams
terbebas dari kultur penindasan (kemunafikan dan feodalisme). Mereka yang berpengetahuan, berpangkat, berjabatan hams mampu mewujudkan jargon to
lead the people, walk behind them. Komunitas tersebut juga harus mampu merumuskan sendiri cara memberdayakan dirinya melalui proses pembangunan konsensus di antara berbagai individu dan kelompok sosial yang memiliki kepentingan dan menanggung resiko langsung pembangunan. tersebut berisi arah, tujuan, dilakukan.
Bangunan konsensus sosial
cara, dan prioritas pembangunan yang akan
70
Upaya membangun konsensus yang mampu mengaktifkan masyarakat mampu menolong diri mereka sendiri adalah melalui konsep masyarakat belajar (consept of societal learning). Yaitu melalui cara mempertemukan top-down approach dengan bottom-up approach. Hal tersebut menurut Siswanto dengan
mengutip pendapat Fridmann, bahwa dua pendekatan tersebut membutuhkan restrukturalisasi relasi baru, yang mampu mengintegrasikan proses saling belajar melalui proses belajar transactive planning.
Dalam proses belajar tersebut,
perencana belajar pengetahuan eksperimental pada klien daan klien belajar pengetahuan teknis dari perencana. Pada saat pengetahuan kedua belak pihak melebur, maka persepsi dan imaji dari satu pihak terhadap pihak yang lain akan berubah. Ide awal dari perencana untuk 'mengajari masyarakat' akan berubah menadi 'belajar dari masyarakat'. Sedangkan ide awal dari komunitas untuk menjadi 'pelajar' (the learners) akan bertransformasi menjadi aksi masyarakat. Artinya, 'dialog saling
belajar' telah mengubah perilaku
kolektif masyarakat daan mendorong
masyarakat secara lebih aktif menolong diri mereka sendiri.
Sekaligus
membangun komunitas bersama dengan penuh harga diri. Learning society yang aktif melakukan aksi tersebut, pada saat yang
sama, akan terbangun kapasitasnya karena learning society secara inhern akan mengembangkan komunitas. Masyarakat yang sudah memasuki fase learning society akan lebih berpotensi untuk mewujudkan sebuah pembangunan yang
lebih berkelanjutan karena mereka sudah mandiri dalam berbagai hal. Dari ha1 mengidentifikasi, menilai dan memformulasikan masalah baik fisik, sosial,
71
kultural, maupun ekonomi, membangun visi dan aspirasi : memprioritaskan intervensi, merencana, mengelola, memonitor dan bahkan memilih teknologi yang tepat.
Masyarakat aktif semacam ini juga menghasilkan kerelaan
masyarakat yang yang lebih untuk memberi kontribusi kerja dan biaya pembangunan, operasi dan perawatan. Sehingga, pendekatan seperti ini lebih efektif dari segi biaya dan terkadang mampu mengembalikan biaya investasi publik, yang pada gilirannya akan menjadi lebih berkemungkinan terjadinya pengulangan (self replicability). Dalam pembangunan komunitas tersebut di atas, pemberdaya atau swnber yang memiliki keberpihakan terhadap yang lemah (masyarakat) harus memiliki keberpihakan.
Karena paradigma perencanaan pembangunan yag
memihak hams memandang bahwa wilayah publik merupakan mozaik kepentingan dari kepentingan dari tujuan yang tidak pernah seragam melainkan majemuk. Oleh karena itu, perencana advokasi tidak akan mendekati masalah dan membuat perencanaan semata-mata dari pertimbangan teknis rasional melainkan juga dengan keyakinan untuk memperjuangkan nilai-nilai tertentu, seperti keadilan dan pembelaan terhadap yang lemah. Artikel pada masa pasca Orde Baru juga memuat aspek yang dapat menjadi kekuatan masyarakat madani. Yaitu aspek moralitas yang menjunjung tinggi nilai dasar kemanusiaan dalam pembicaraan dan perlakuan terhadap warga negara. Manusia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia yang adalah subyek dan bukan obyek garapan dan penghisapan demi pemenuhan kepentingan sektarian. Selalu sanggup mempertimbangkan asas dan dampak proporsional
72
tindakan manusiawi dan mengutamakan nilai-nilai kebaikan demi pembangunan kemanusiaan (artikel Civil Society dan Civil Ethics oleh William Chang, 22 Oktober 1998). Format masyarakat madani dalam artikel masa Pasca Orba tersurat pada artikel "Kongres Umat Islam Menuju Masyarakat Madani" oleh Sukidi, 05 November 1998;
artikel "JPS,
Pembangunan Komunitas dan Masyarakat
Madani" oleh Andy Siswanto, 18 Maret 1999; dan artikel "Etika Masyarakat Madani" oleh Kartono Muhammad, 12 Januari 1999. Dalam artikel Sukidi dan Muhammad,
format masyarakat madani
mendasarkan diri pada pengalaman sosio-historis Islam. Masyarakat madani merupakan representasi dari masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Suatu masyarakat yang memiliki aturan dasar yang tertulis dalam Piagam Madinah. Yaitu
suatu konstitusi yang
memperkenalkan wacana ketaatan terhadap ajaran Tuhan,
pada
intinya
kebebasan
beragama, persaudaraan antaragama, peramaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Dalam artikel "Etika
Masyarakat Madani" yang oleh Kartono
Muhammad, 12 Januari 1999, disebutkan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang bercermin pada tatanan masyarakat di Madinah semasa Nabi Muhammad saw menjadi pemimpin di sana.
Aturan dasar (konstitusi)
masyarakat Madinah tersebut tertulis dalam Piagam Madinah. Pada intinya, masyarakat madani adalah masyarakat demokratis tetapi tidak sekuler
73
(memisahkan paham ketuhanan dari negara). Masyarakat yang menghormati hak-hak individu,
menjadikan prinsip musyawarah dalam pengambilan
keputusan. Hak-hak individu dibatasi dengan rambu-rambu yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk dalam A1 Qur'an. Sementara itu, artikel yang penulisnya Siswanto, menyebutkan bahwa format masyarakat madani adalah masyarakat yang keswadayaannya tumbuh dan berkembang, dan komunitas-komunitas yang diberdayakan akhirnya menjadi masyarakat belajar yang aktif.
Masyarakat madani adalah apabila terdapat
keberhasilan dalam memberdayakan stakeholders yang sesungguhnya dan menciptakan sebanyak-banyaknya -di selwuh pelosok nusantara- kelompok "masyarakat belajar", "masyarakat aktif", atau kelompok swadaya masyarakat (community based organization atau CBOs) yang aktif berpartisipasi dan menolong diri mereka sendiri, yang cerdas dan terorganisir kuat. Masyarakat yang merupakan kumpulan dari para stakeholders,
yang akar rumput,
berasosiasi dalam level komunal, dalam batas-batas lokasional yang spesifik, dengan latar belakang sosial, ekonomi dan profesi yang sangat beragam, dan dalam wadah organisasi yang tidak terlalu legalistik-formal. Menurutnya, upaya untuk membangun masyarakat madani adalah dengan menciptakan institusi pemberdayaan yang serius dan berkapasitas (memiliki kemampuan, profesional). Institusi itu hams dikembangkan oleh para pelopor yang cerdas, intelektual, terampil, yang bekerja sangat keras dan konsisten dalarn rentang waktu yang lama. membutuhkan waktu panjang,
Di sisi lain,
capacity building selalu
apalagi pemberdayaan adalah keahlian yang
74
berorientasi pada aksi nyata, dengan persoalan lapangan yang seringkali sangat pelik dan beragam,
termasuk menhadapi hambatan-hambatan yang justru
diciptakan oleh pejabat negara yang merasa pandai, berkuasa, dan feodal. Upaya lain yang lebih cepat dan strategis untuk membangun masyarakat madani, menurut Siswanto, dengan memaksa negara agar melakukan reformasi struktural dan reformasi internal. Dalam reformasi struktural, negara dipandang paling berkemampuan untuk mematikan,
atau sebaliknya,
menciptakan
masyarakat madan, dengan argurnentasi bahwa sarnpai saat ini, negaralah yang paling berkuasa dan paling banyak memiliki dan mengontrol sumber daya. Oleh karenanya,
adalah tugas negara untuk memberdayakan masyarakat. melalui
demokratisasi, redistribusi kekuasaan dan berbagai structural adjusment lainnya untuk menciptakan struktur pemberdayaan masyarakat (enabling structure) di setiap sektor pembangunan komunitas sehingga komunitas bisa berkembang lebih mudah menjadi masyarakat belajar dan masyarakat aktif, serta pemberdaya sejati bisa berkarya lebih efisien, efektif, dan dapat bermitra secara lebih komplementer dengan negara, bukan sebaliknya, berseberangan. Bila kelak enabling structure telah tercipta dengan baik, dan masyarakat madani sudah semakin terkuatkan (empowered) maka peluang pemberdaya yang tidak sejati untuk berdagang dengan komunitas dengan sendirinya &an surut. Sementara itu, LSM &an lebih banyak berperan di bidang pembangunan kapasitas, kesadaran publik, mempengaruhi opini publik dan kebijakan publik. Universitas akan mengkonsentrasikan diri pada tugas utamanya yaitu pendidikan
75
dan riset. Sedangkan konsultan berperan pada bidang praktik profesional, dan seterusnya. Namun demikian, menurut Siswanto, untuk menjadikan negara sebagai pemberdaya,
maka terlebih dahulu hams melaksanakan reformasi internal
terhadap para penyelenggara negara.
Terutama pada penentu kebijakan
pembangunan yang di Indonesia, pada urnumnya terdiri atas para teknokrat elite yang
berpengetahuan-berpangkat -berjabatan,
yang
terbiasa
dengan
mendapatkan pengetahuan melalui abstraksi dunia sosial yang dimanipulasi melalui teori-teori dan metode ilmiah. pengetahuan masyarakat,
Mereka hams bersedia belajar dari
komunitas atau klien yang terkonstruksi secara
langsung dari pengalaman empiris.
Di sisi lain, mereka memang sudah
seharusnya berpikir dalarn kerangka formal, konseptual, dan matematikal untuk mendemonstrasikan konsistensi dari logika dan koherensi teori, naamun mereka juga dituntut untuk bisa berpikir dan memahami dunia empiris yang rmemiliki realitas yang terjadi selalu lebih majemuk dari teori yang sering terkait pada konteks operasional yang spesifik, yang maknanya sering berubah dengan berubahnya konteks. Pada intinya,
para perencana hams bersedia dengan
sungguh- sungguh untuk belajar pengetahuan eksperimental dari stakeholders dan klien terutama yang berasal dari akar rurnput. Adapun kesulitan atau rintangan dalam membangun masyarakat madani adalah konflik-konflik yang terjadi karena tidak ada kompromi dalam mendesakkan kepentingan dari kelompok-kelompok dalam masyarakat (artikel "Lonceng Kematian Masyarakat Madani",Ahmad Gaus AF, 05 Maret 1999).
Meskipun demikian, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa sejak tumbangnya rezim Orde Baru,
terlihat fenomena kebangkitan masyarakat
madani yang berkiprah di luar orbit negara yang terindikasikan pada munculnya ratusan organisasi voluntir. Juga kebangkitan pers bebas, ruang diskusi, dan sebagainya. Tajuk Rencana Kemunculan tajuk rencana berada dalam persentasi yang tinggi pada masa Orde Baru atau pada awal perkembangan diskusus masyarakat madani. Secara rasional,
ha1 ini menunjukkan tingkat intensitas yang tinggi dalam
mensosialisasikan diskursus masyarakat madani. Karena diskursus masyarakat madani belum tersosialisasi secara luas. Meskipun demikian, menurut wakil pemimpin redaktur Kompas, Rikard Bangun, bahwa: "Tajuk sebenarnya ruang yang sering kita gunakan untuk menyuarakan ha1 yang tidak bisa kita tampilkan dalam berita. Karena tajuk sendiri formatnya agak leluasa untuk mainkan kata-kata, untuk melakukan analisis yang memang dengan cara yang santun. Lalu karena dia ada kebebasan untuk kita mencoba mengemukakan pikiran. Lalu soal isu tentang masyarakat madani (civil society) lebih bisa masuk ke situ. Kalau berita itu kan susah karena waktu itu kan dalarn sistem kita yang di mana masyarakat itu kan hams semua di bawah kendali, kita tidak bisa bebas, misalnya LSM, itukan salah satu instrumen civil society. Kita tidak bisa sebebas-bebasnya memberitakan karena di sana dibatasi. Lalu kita mencari others, salah satunya kita memberi banyak pada pemikiranpemikiran di sini (Wawancara, 19 September 2001). Pada masa pasca Orde Baru,
diskursus masyarakat madani sudah
tersosialisasi sehingga tidak membutuhkan penulisan secara khusus dalam tajuk
rencana. Di samping itu, pada masa pasca Orba (masa transisi) terdapat banyak isu sosial yang muncul. Seperti dituturkan oleh Rikard Bangun bahwa : "Posisi media itu kan extended dari society (masyarakat). Jadi dia tidak berdiri sendiri. Dia bisa memberikan umpan kepada masyarakat tapi juga bisa sebaliknya, dia merespon. Jadi ada dialektika itu sebenarnya. Mungkin setelah pasca itu wacana itu tetap berkembang tetapi dia mungkin sedikit terdesak karena ada persoalan-persoalan lain yang muncul. Kerusuhan, kelaparan, krisis. Mungkinkah demokrasi, mutu demokrasi bisa tercipta kalau dalam keadaan ada pertikaian kemudian orang dalam keadaan lapar, fiustasi. Jadi mungkin saja ia terdesak ke belakang (Wawancara, 19 September 2001). Tajuk Rencana Pada Masa Orde Baru Tajuk rencana pada masa ini memuat tentang pengertian masyarakat madani, muatan masyarakat madani,
persyaratan pemberdayaan masyarakat
yang semakin mengoptimalkan kondisi penvujudan masyarakat madani, dan persyaratan masyarakat madani. Masyarakat warga dimaknai sebagai masyarakat demokratis. Pemerintah bukan sebagai satu-satunya lembaga yang paling kuat dalam struktur kehidupan bernegara dan berrnasyarakat. Pemerintah tak lebih dari satu komponen dalam sebuah bangsa selain unsur kekuasaan lain yang meliputi bisnis dan industri, media massa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Masyarakat warga merupakan masyarakat yang selalu berjalan,
upaya pemberian bobot pada
pemberdayaan masyarakat. Di dalamnya lebih terealisir dan dikembangkan hak dan kewajiban setiap warga sebagai anggota masyarakat. Proses sepeti itu diharapkan digerakkan oleh kelompok-kelompok masyarakat seperti kelas
78
menengah,
kelompok yang memiliki keunggulan dalam informasi ilmu
pengetahuan maupun secara ekonomis (Tajuk tencana, 24 Juli 1996). Masyarakat madani juga dimaknai sebagai satu jaring kompleks yang memungkinkan pihak yang diperintah bisa menjalankan demokrasi yang terentang dari perkumpulan antartetangga kecil sampai gerakan massa skala besar. Parlemen, pemerintah daerah, pers, partai politik, institusi keagamaan, dan serikat buruh merupakan contoh institusi yang menjadi pilar kehidupan bagi satu masyarakat madani (Tajuk rencana, 2 Januari 1997). Adapun
muatan yang terkandung dalam
civil
society
adalah
demokratisasi, kesenjangan di segala bidang semakin menipis. Secara pragmatis dan praktis,
dalam civil society, terbuka kesempatan
bagi seluruh warga
masyarakat sebagai bagian dari warga Indonesia. Yang memiliki hak yang sama di depan hukum, yang mengharapkan berbagai bentuk kesenjangan, monopoli, dan kolusi, tidak semakin melebar (Tajuk rencana 24 Oktober 1995). Di dalam tajuk rencana 29 Juli 1997 tersurat bahwa persyaratan masyarakat madani meliputi pengakuan hegemoni hati nurani yang bersih. Di dalamnya dikembangkan suasana tenggang rasa, pengakuan harkat dan martabat manusia yang mengarahkan kemaslahatan yang berlawanan mutlak dengan main kuasa, aji mumpung. Di dalamnya terdapat masyarakat yang mandiri, yang bobot kemandiriannya ditentukan oleh diantaranya pengakuan hak asasi. Selain itu, juga terdapat pemberlakuan hukum bagi semua warga negara.
79
Dalam tajuk rencana tersebut di atas juga disoroti eksistensi LSM sebagai upaya dinamisasi potensi masyarakat. LSM terlibat dalam proses pemberdayaan dan advokasi. Proses penyadaran yang dkembangkan bertujuan membangkitkan partisipasi masyarakat yang semakin besar dalam proses pengambilan keputusan publik. Tajuk Rencana Pada Masa Pasca Orde Baru
Tajuk rencana pada masa ini memuat tentang empat pilar yang mengembangkan masyarakat madani yaitu kelompok bisnis, birokrasi termasuk militer, intelektual, dan media massa. Masing-masing pilar tidak berjalan sendiri-sendiri,
melainkan perlu untuk seiring,
bahu-membahu,
saling
menolong, dan tidak saling menjegal. Keempat pilar harus dikembangkan bersama, karena kebersamaan merupakan semangat yang integral dalam pengembangan masyarakat madani (Tajuk rencana, 28 Nopember 1998). Model Pemikiran Masyarakat Madani
Kecenderungan model pemikiran masyarakat madani dalam diskursus masyarakat madani lebih mengarah pada model pemikiran masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang negara dan masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan. Kecenderungan masing-masing model pemikiran tersebut terjadi pada masa yang berbeda. Kecenderungan model pemikiran masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang negara terjadi pada masa Orde Baru dan masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan pada masa pasca Orde Baru.
80
Setelah kecenderungan model pemikiran masyarakat madani tersebut di atas, pada masa Orde Baru, kecenderungan kedua adalah model pemikiran masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan.
Selanjutnya,
model
pemikiran masyarakat madani sebagai sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Terakhir, model pemikiran masyarakat madani identik dengan negara. Sedangkan model pemikiran masyarakat madani sebagai antitesa negara ( berada dalam posisi diametral negara) tidak ada (tidak muncul). Pada masa pasca Orde Baru, berbeda dengan masa Orde Baru, kecenderungan kedua ialah model pemikiran masyarakat madani sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Model pemikiran masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan menjadi kecenderungan ketiga. Sedangkan model masyarakat madani sebagai antitesa negara yang pada masa Orde Baru tidak ada (tidak muncul), pada masa ini menempati kecenderungan keempat. Sementara model masyarakat madani sebagai negara (identik dengan negara) tidak ada. Hasil perhitungan dari frekuensi model pemikiran masyarakat madani dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Model Pemikiran Masyarakat Madani Diskursus Masyarakat Madani Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru (Frekuensi) No 1
2
3
4
5
Model Pemikiran Masyarakat madani identik dengan negara. Masyarakat madani merupakan sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat madani sebagai antitesa negara (berada dalam posisi diametral negara). Masyarakat madani merupakan ideologi kelas dominan. Masyarakat madani dimaknai sebagai entitas penyeimbang negara. Jumlah
Masa Orba Masa pasca Orba f Yo f % 1
3,3
-
-
5
16,7
10
33,3
-
-
2
6,7
9
30
13
43,3
15
50
5
16,7
30
100
30
100
Secara mendasar dari tabel tersebut di atas tampak bahwa model masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan dan masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang negara menjadi model dominan dalam diskursus masyarakat madani. Model masyarakat madani yang lain kurang menjadi model pilihan bagi peserta diskursus. Fenomena tersebut di atas sebenarnya memperlihatkan bahwa pada awal diskursus, negara menjadi realitas utama dalam kehidupan berbangsa. Rezim berada dalam posisi yang dominan berhadapan dengan ketakberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, terdapat upaya menyeimbangkan posisi yang sangat tidak setara tersebut.
Sehingga, muncullah model masyarakat madani sebagai
entitas penyeimbang negara.
82
Sedangkan pada masa rezim pasca Orde Baru, dengan tergulingnya rezim Orde Baru oleh kekuatan masyarakat, membuktikan bahwa masyarakat memiliki posisi tawar (kekuatan) di hadapan negara. Posisi masyarakat seperti ini mendorong masyarakat menjadi lebih terberdayakan. Pada saat yang sama, masyarakat melepaskan ketergantungan terhadap negara sehingga menimbulkan kemandirian. Oleh karena itu, pada masa ini, diskwsus masyarakat madani terfokus pada model masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan (masyarakat yang mandiri). Model masyarakat madani sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat memiliki frekuensi kemunculan pada peringkat ketiga setelah model masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan dan model masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang negara. Model masyarakat madani sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat dalam penelitian ini lebih terarah pada model masyarakat yang diderivasikan dari ajaran agama. Suatu ha1 yang erat terkait dengan religiusitas masyarakat Indonesia. Pada masa pasca Orde Baru,
terjadi kenaikan frekuensi model
masyarakat madani sebagai visi etis dalam kehidupan berrnasyarakat.
Hal
disebabkan ruang publik semakin terbuka sehingga memungkinkan ekspresi religiusitas lebih leluasa. Sebuah kejadian yang berbeda pada masa rezim Orde Baru yaitu ekspresi religiusitas justru mendapat kecwigaan dari rezim. Model masyarakat madani sebagai negara (identik dengan negara) dan model masyarakat madani sebagai antitesa negara memiliki frekuensi yang sangat rendah baik pada masa Orde Baru maupun masa pasca Orde Baru. Hal ini
83
menunjukkan bahwa kedua model masyarakat madani tersebut kurang mendapat tempat dalam diskursus. Hal ini bisa terpahami karena secara maknawi, kedua model masyarakat madani tersebut -dibandingkan dengan model masyarakat madani yang lain- termasuk model masyarakat madani yang berada pada dua kutub ekstrim, yaitu komunisme dan liberalisme. Model masyarakat madani sebagai negara (identik dengan negara) berada pada ekstrim komunisme dan model masyarakat madani sebagai antitesa negara berada pada ekstrim liberalisme. Sementara itu, komunisme maupun liberalisme merupakan paham (ideologi) yang kurang mendapat ruang dalam peta kemasyarakatan di Indonesia yang cenderung mengambil posisi tengah di antara dua kutub ekstrem tersebut. . Dari ha1 tersebut di atas, nampak terdapat relevansi antara konteks ruang dan waktu suatu diskursus masyarakat madani dengan kemunculan jenis model pemikiran masyarakat madani.
Artinya, suasana suatu masa menentukan
kemunculan jenis model pemikiran masyarakat madani.
Dengan kata lain
kemunculan jenis model pemikiran masyarakat madani turut ditentukan oleh suatu situasi d m kondisi kesejarahan. Pada masa Orde Baru dengan rezim yang otoriter maka dalam diskursus, jenis model pemikiran masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang negara sering muncul. Diskursus masyarakat madani lebih mengarah pada counter terhadap dominasi negara (pemerintah) dalam struktur kehidupan berrnasyarakat. Hal ini antara lain nampak dalam tulisan benvujud artikel 'Prasyarat Budaya
Civil Society" (Qodir, 9 Maret 1999) bahwa :
"Banyak harapan yang "ditumpahkan" pada adanya wacana yang dapat menjadi mediator bagi tumbuhnya civil society ....Selama kurang lebih 32 tahun uniforrnisasi (budaya monolitik) atas wacana sangat jelas terasa di negeri ini. Orang tidak bisa mengekspresikan pendapat atau gerakan politiknya, kecuali yang "direstui" rezim berkuasa. Rezim otoriter berperan sangat dominan buka hanya mengontrol segala gerak-gerik yangkelihata dari rakyatnya, namun juga meghapuskan segala memori yang ada dalam pikiran rakyat tentang pikiran-pikiran yang dianggap "berbau" kiri dengan tuduhan subversif. Kontrol yang demikian kuat hebatnya, menjadikan kreativitas rakyat mandul, mati sebelum berkembang. Gagasan rakyat yang bernuansa berbeda dengan keinginan dan policy penguasa dianggap inkonstitusional. Contoh nyata dalam ha1 ini adalah ketika cendekiawan muslim Noercholish Madjid mengusulkan perlunya sebuah partai oposisi langsung ditannggapi oleh penguasa bahwa oposisi bukanlah budaya yang lazim di negera ini, karena itu gagasan tersebut adalah inkonstitusional." Hal tersebut senada dengan tulisan lain yaitu berita "Masyarakat Madani Masih Terkooptasi Pemerintah", 19 Juli 1997, yang mengungkapkan pendapat dari seorang peneliti senior LIPI, Hermawan Sulistyo dalam acara diskusi buku "Partai, Pemilu, daan Demokrasi", bahwa surnber masyarakat madani sebagai bibit demokratisasi di Indonesia banyak disokong oleh kekuatan gerakan LSM, gerakan protes, gerakan golongan menengah. Tetapi kekuatan-kekuatan itu tidak efektif akibat terjadi dominasi pemerintah. Oleh karena itu, pengertian masyarakat madani secara eksplisit (tegas) diletakkan dalarn konteks relevansinya dengan dominasi negara, seperti terlihat dalarn berita "Masyarakat Madani Belum Terbentuk di Indonesia",
14 Maret
1997, yang mengungkapkan pendapat masyarakat madani menwut Ryas Rasyid, bahwa masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang tidak tergantung pada peran pemerintah atau negara. Masyarakat yang tidak mudah dipatronasi, masyarakat yang mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, masyarakat yang
tahu apa yang harus mereka lakukan,
dan
tidak terns-menerus meminta
dilindungi, yang tidak mengenal budaya minta restu dan petunjuk. Dalam tulisan lain, berita 'Indonesia Harus Bersiap Menuju Masyarakat Warga', 7 April 1997,
menurut Novel Ali, masyarakat warga merupakan
masyarakat yang 'dibentuk' oleh masyarakat sendiri,
tidak 'dibentuk' oleh
negara. Sebab, dalam masyarakat warga, negara memfungsikan diri sebagai alat kedaulatan rakyat demi tenvujudnya kesejahteraan jasmani dan rohani segenap warga bangsanya.
Dalam konteks seperti itu,
negara tidak memaksakan
kehendak dan lebih banyak mengalah untuk kepentingan masyarakat. Pada masa Pasca Orde Baru, diskursus memiliki kecenderungan pada model masyarakat madani sebagai ideologi kelas dominan (masyarakat yang mandiri). Hal ini terjadi karena seiring dengan gema reforrnasi, ruang publik mulai terbuka dan semakin meluas. Seperti tersinyalir dalam tulisan 'Diskusi Aktualisasi ' The Third Way ', Ketika rakyat Menjadi Musuh-Musuh', 19 Maret 1999, bahwa : "Sejak gelombang reforrnasi sejak setahun lalu telah mendorong terbukanya wilayah publik sebagaisarana mengekspresikan kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Fenomena ini tampak jelas dalam media cetak dengan adanya lebih 150 Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) baru dan seratusan partai baru. Isu yang dulu amat sensitif, kini terbuka lebar untuk didiskusikan."
Frekuensi Tema Pada masa pasca Orde Baru dominasi tema politik mengalami penurunan dari 50% menjadi 40%. Pada masa ini juga tema sosial mengalami kenaikan dari
86
37% menjadi 43%. Tema sosial dan politik sama-sama mengalami penurunan dan kenaikan sebesar 10%. Tema-tema lain seperti tema ekonomi, budaya, norma agama, baik pada masa Orba maupun masa pasca Orba, berada jauh di bawah persentase tema sosial dan politik. Ketiga tema tersebut berada dalam kisaran kurang dari 10%. Pada masa Orde Baru, baik tema ekonomi dan tema budaya masing-masing hanya memiliki jumlah kemunculan 1 kali (3,3%). Sedangkan tema norma agama memiliki jumlah kemunculan 2 kali (6,7%). Hal ini terjadi juga pada masa pasca Orde Baru, hanya saja, tema budaya mengalami kenaikan menjadi 6,7%. Tabel 3. Tema Diskursus Masyarakat Madani Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru (Frekuensi) No. 1 2 3 4 5
Jenis Tema Sosial Politik Ekonomi Budaya Norma Agama Jumlah
Masa Orba f Yo 11 36,7 15 50 1 3,3 1 3,3 2 6,7 30
100
Masa Pasca Orba f Yo 13 43,3 40 12 1 3,3 2 6,7 2 6,7 100 30
Dalam konteks global, kemunculan tema politik secara dominan seperti tertera dalam tabel tersebut di atas merupakan ha1 yang lazim. Karena negara masih menjadi realitas utama dalam kehidupan berbangsa. Sedangkan dominasi tema sosial merupakan suatu kelaziman karena wacana kemasyarakatan memang sangat terkait dengan persoalan sosial. Sementara itu, dominasi kedua tema
tersebut di atas memiliki relevansi atau akibat kehidupan modern yang bertumpu pada
genre pembangunan dunia secara sekuler. Genre yang memberikan
kekuatan bagi masyarakat untuk melakukan pembangunan berdasarkan kekuatan diri sendiri an sich (antroposentris). Kebertumpuan pada antroposentrisme pada gilirannya melahirkan sekularisasi. Yaitu pemisahan persoalan dunia dengan agama. Eksistensi agama disingkirkan dari wilayah publik, dan ditempatkan hanya dalam wilayah pribadi. Sehingga, pada saat yang sama, tema norma keagamaan kurang mendapatkan tempat dalam diskursus kemasyarakatan. Namun demikian, dalam konteks Indonesia, menurut Bapak Rikard Bangun, dominasi tema politik pada masa Orde Baru karena persoalan rezim pada saat itu yang memonopoli wilayah politik. Berikut ini penuturannya : "Persoalan pada zaman Orba, semua persoalan politik milik rezim. Semua dibatasi. Jadi politik dianggap milik pemerintah. Ini yang kemudian digugat yaitu dengan cara-cara yang memang waktu itu terukur, zaman itu kalau tidak kan beda (Wawancara, 19 September 2001). Sedangkan pada masa pasca Orba, yang
memiliki
frekuensi
kemunculan tinggi adalah tema sosial. Menurut Rikard Bangun, ha1 ini karena pada masa pasca Orde Baru, politik sudah tidak menjadi persoalan (perjuangan) dan terjadi kemunculan isu-isu sosial. Seperti penuturannya sebagai berikut : 'Kemudian kebebasan politik itu diberikan. Partai-partai politik dilepas. Lalu kalau sekarang itu bukan jadi perjuangan lagi. Jadi itu tidak menjadi pertanyam lagi. Sekarang yang dipertanyakan kemampuan dan kesanggupan masyarakat untuk membenahi diri, untuk mengelola konflik, untuk membangun fiaksi. Nah, persoalan sosial ini memang menjadi tantangan karena masyarakat sendiri terkesan tidak ada kesiapannyauntuk membangun saling percaya bahkan yang terjadi adalah prasangka buruk kemudian tawuran..." (Wawancara, 19 September 2001).
88
Sedangkan fiekuensi tema ekonomi dan tema budaya dalam persentase yang rendah menunjukkan kedua tema tersebut kurang mendapat apresiasi dari peserta diskursus. Untuk tema ekonomi, fenomena tersebut menjadi tanda tanya besar karena menwut Mulder dalam berita " Masyarakat Madani Tak Bisa Andalkan Nilai Jawa", 20 Nopember 1998, persoalan ekonomi justru menjadi kendala yang memperlambat tenvujudnya masyarakat madani di Indonesia. Karena sebagian besar masyarakat dan LSM tidak memiliki kekuatan ekonomis dan belum mampu melepaskan diri dari kekuatan ekonomi negara. Frekuensi Sumber Informasi
Frekuensi sumber informasi paling sering (banyak) adalah akademisi. Hal ini terjadi baik pada masa Orde Baru (63,3 %) maupun masa pasca Orde Baru (36,7%). Pada masa pasca Orde Baru terjadi penurunan karena sumber informasi lain seperti
budayawan, aktivis LSM,
peningkatan frekuensi kemunculan.
jurnalis, mengalami
Budayawan dari pemilikan frekuensi
kemunculan sejumlah 6,7 % meningkat menjadi 13,3 %, aktivis LSM dari 3,3% meningkat menjadi 16,7 %, dan jurnalis dari 13,3% menjadi 26,7 %. Meskipun demikian pada masa pasca Orde Baru,
kalangan mahasiwa, mengalami
penurunan bahkan tidak muncul sama sekali atau fiekuensinya kosong (zero). Secara lebih ringkas diperlihatkan dalam Tabel 4 berikut ini :
Tabel 4. Sumber Informasi Diskursus Masyarakat Madani Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru (Frekuensi) Masa Orba f % 19 63,3
No Sumber Informasi 1 Akademisi 2 Politikus 3 4 5 6 7 8
Mahasiswa Budayawan Aktivis LSM Jurnalis Pemerintah Rohaniawan Jumlah
-
-
1 2 1 4 1 2 30
3,3 6,7 3,3 13,3 3,3 67 100
Masa Pasca Orba f % 11 36,7
-
-
4 5 8 2
13,3 16,7 26,7
-
-
30
6,7 100
Kemunculan akademisi secara menyolok baik pada masa Orde Baru maupun pasca Orde baru,
sebenarnya merupakan suatu kewajaran, karena
akademisi dengan ciri khas kepakarannya dalam prosesi berpikir dan kebiasaannya dalam pergumulan toeritis, menjadikannya sebagai individu yang pas (sesuai) dan memiliki kompetensi dalam melakukan diskursus. Oleh karena itu,
pendapat-pendapatnya (ide-ide,
gagasan-gagasan) mendapat perhatian
tersendiri dalam suatu diskursus. Penurunan frekuensi akademisi yang terjadi pada masa Pasca Orde Baru lebih dikarenakan munculnya pendapat (ide, gagasan) dari kalangan lain seperti seperti kalangan budayawan, aktivis LSM, maupun jurnalis. Kalangan tersebut yang pada masa rezim Orde Baru kurang rnndapatkan ruang kebebasan, pada masa pasca Orde Baru seiring dengan ruang publik yang semakin terbuka. Hal
tersebut diyakini juga oleh budayawan yang produktif menghasilkan karya sastra yaitu Danarto.
Dalam wawancara dengan penulis pada 27 Januari 2002,
dituturkan yang pada intinya, bahwa, pada masa pasca Orde Baru, tidak ada lagi rasa takut dalam mengekspresikan ide-ide. Berikut ini penuturannya secara lengkap : "Pada masa pasca Orde baru, menjadi lebih luas dan lebih bebas. Dulu (masa Orde Baru), itu kalau mau nulis ini sedikit gitu mesti wah ini dilarang nggak. Dulu ada perhitungan dengan kekuasaan, sekarang tidak ada lagi. Jadi lebih bebas dan merdeka. Produktivitas semakin besar.... Sementara itu, surnber informasi dari kalangan politikus tidak ada sama sekali,
baik pada masa Orde Baru maupun pasca Orde Baru.
Hal ini
dikarenakan politikus lebih berkepedulian pada political society yang memiliki fokus yang berbeda dengan civil society. kcenderungan aktivitas pada wilayah praksis.
Selain itu, politikus memiliki Sehingga, ruang melakukan
elaborasi tentang hal-ha1 ideal lebih sedikit dibandingkan akademisi. Bahkan kenyataan menunjukkan, dunia politik lebih berorientasi pada isu-isu taktik dan strategi sehingga politikus lebih mengedepankan kebalikan dari idealisme yaitu pragmatisme (lebih mementingkan kemanfaatan temporer). Sedangkan frekuensi mahasiswa hanya sedikit dan kemunculannya pun hanya ada pada satu masa. Kemunculan mahasiswa ini pun dari mahasiswa pascasarjana.
Dalam penelitian ini,
nampaknya keterlibatan kalangan
mahasiswa dalam diskursus masyarakat madani berada dalam tingkat yang sangat rendah. Hal ini terjadi terutama dalam diskursus yang mewujud dalam
91
tulisan berbentuk artikel. Nampak bahwa tradisi menulis dikalangan mahasiswa masih rendah. Sumber informasi dari kalangan budayawan berdasarkan tabel di atas, memiliki frekuensi kemunculan lebih rendah dibanding kalangan aktivis LSM maupun kalangan jurnalis.
Hal tersebut bukan berarti keterlibatan kalangan
budayawan dalam diskursus masyarakat madani lebih rendah dibandingkan kalangan lain. Tetapi, karena dalam kalangan budayawan, banyak pemikiran tentang masyarakat madani yang mewujud dalam pemikiran, terkemas dalam bentuk karya sastra seperti novel, cerpen, puisi, dan sebagainya. Atau bahkan dalam bentuk gerakan budaya secara konkrit seperti yang dilakukan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib, yaitu mengemasnya dalam bentuk seni musik. Kenaikan fiekuensi kemunculan yang berlipat-lipat ganda pada kalangan aktivis LSM menunjukkan keterlibatan mereka yang semakin tinggi dalam diskursus masyarakat madani. Hal ini tentu karena ruang ekspresi bagi mereka yang semakin terbuka (mendapat tempat) pada masa rezim pasca Orde Baru. Karena, bukan menjadi rahasia umurn bahwa pada masa rezim orde Baru, kalangan LSM termasuk dalam kategori kalangan yang 'vokal ' sehingga gerakgerik LSM tidak
leluasa (bebas). Termasuk kemunculannya dalam media
massa. Hal ini diperkuat oleh penuturan Wakil Pemimpin Redaktur, Kompas, Rikard Bangun, pada wawancara tanggal 19 September 200 1, bahwa penulisan tentang masyarakat madani dalam tajuk rencana merupakan bentuk lain diskursus melalui pemikiran karena faktor pengendalian masyarakat oleh sistem masa
rezim Orde Baru sehingga tidak ada kebebasan menulis berita tentang LSM sebagai salah satu intrurnen mayarakat madani. Kalangan jurnalis juga memiliki kenaikan fiekuensi sebagai sumber informasi. Pada Kompas, ha1 tersebut merupakan suatu kewajaran. Sejak awal kelahirannya, menurut Rikard Bangun (19 September 2001), secara substansial, Kompas telah memiliki perhatian terhadap civil society. Kalau kemudian tahun 1995-an muncul sebagai diskursus, menurutnya, hanya semacam daur ulang atau aktualiasi dari persoalan yang sudah lama.
Juga reaktualisasi dari
perkembangan Eropa Timur. Berikut ini penuturannya secara detail : "Sebetulnya kalau dilihat secara substansial, secara substansial, kebebasan dan pergulatan dan juga peliputan temen-temen di sini itu berlangsung katakanlah sejak sudah cukup lama. Saya kira sejak Kompas karena bottom line dari seluruh tulisan dari dulu adalah tetap bagaimana masyarakat menjadi plural, bagaimana masyarakat saling percaya. Karena kita tahu civil society atau ya masyarakat madani itu yang pertarna muncul trust (saling percaya), interaksi lain yang positif (mutuality yang lain) dan yang ketiga, solidaritas. Itu yang menjadi perhatian Kompas sejak awal. Belakangan, orang berbicara tentang hukum, salah satu pilar dari civil society. Nah, kalau memang tahun 1995, saya kira itu hanyalah semacam daur ulang atau aktualisasi dari persoalan yang tentunya sudah lama. Dan kalau dari segi sejarah kan mulai dari persoalan Eropa Timur di mana masyarakat waktu itu dimatikan karena dominasi state (negara) di bawah rezim otoriter. Kemudian mereka memperjuangkan bahwa rakyatlah yang harus mendapat tempat di sana bukan negara. Hal ini kemudian membawa gaung ke seluruh dunia. Ya termasuk kita. Lalu tahun 1995 lah. Jadi kira-kira komunis itu kan akhir abad dasawarsa 80an kemudian yang lain 90. 'Trus transisi itu kemudian ada pergeseran dari negara yang sangat totaliter ke masyarakat yang terberdayakan. Itulah kalau di Indonesia muncul kemudian. Kalau dari segi isu bukan ha1 yang baru, sudah lama. Dari jaman Romawi, Nabi sendiri kan juga sudah ada. Kompas sendiri, dari artikel yang muncul sebetulnya tidak terlepas dari konteks global, ya bahwa dari Eropa Timur dan saya kira semua bicara civil society belakangan (Wawancara, 19 September 2001).
Penyebutan Istilah Format Masyarakat Yang Diidealkan Pada masa Orde Baru, format masyarakat yang diidealkan lebih populer disebut dengan istilah civil society (50 %). Tetapi pada masa pasca Orde Baru, kepopuleran istilah civil society menurun secara drastis mejadi 10 %. Sebaliknya,
istilah masyarakat madani yang pada masa Orde Baru hanya
memiliki kepopuleran sebanyak 36,7 %. Pada masa pasca Orde Baru, meningkat secara fantastis menjadi 90%. Istilah-istilah lain seperti masyarakat sipil, masyarakat warga, pada masa Orde Baru, masing-masing memiliki 3,3 % dan 10 %. Kedua istilah ini hanya muncul pada masa Orde Baru. Pada masa pasca Orde Baru, keduanya tidak muncul sama sekali. Hal ini menunjukkan kedua istilah tersebut tidak populer dalarn diskursus masyarakat madani. Beberapa kalangan menganggap kedua istilah tersebut kurang sesuai sebagai terjemahan istilah civil society. Seperti m e n m t Effendy (1998 : 1-2 ), penerjemahan civil society menjadi masyarakat warga merupakan terjemahan yang kurang pas dan penerjemahan civil society menjadi masyarakat sipil merupakan kesalahkaprahan. Menurutnya, sebenarnya penerjemahan civil society menjadi masyarakat sipil, dari sudut kata-kata merupakan terjemahan leterlijk atau verbatim yang dapat dibenarkan. Tetapi, kesalahkaprahan tersebut justru muncul dari pemahaman yang dikembangkan oleh banyak orang, bahwa civil society atau masyarakat sipil merupakan lawan dari sesuatu yang berbau tentara atau militer. Kesalahkaprahan tersebut, menmtnya,
juga didukung oleh pandangan bipolar yang muncul dalam
masyarakat, yaitu penghadapan yang tidak pas antara sipil dan militer. Hal
apapun yang disebut dengan menggunakan kata sifat sipil pasti berlawanan atau setidak-tidaknya bersifat bukan militer. Fenomena penggunaan istilah civil society secara dominan menunjukkan bahwa pada awal diskursus, pada masa Orde Baru, semakin memperlihatkan bahwa gagasan tentang masyarakat yang diidealkan (civil society) tidak terlepas dari konteks global khususnya persoalan Eropa Timur. Kemenangan kekuatan masyarakat terhadap rezim yang otoriter pada wilayah tersebut mengilhami aktivis (pejuang) gerakan-gerakan masyarakat (pro demokrasi) di wilayah lain untuk melakukan ha1 serupa. Sedangkan pergantian penggunaan istilah masyarakat madani secara dominan menurut Masykuri Abdillah dalam artikel "Islam dan Masyarakat Madani",
27 Pebmari 1999, pengaruh sebagian pemikiran yang mengaitkan
konsep civil society dengan Islam yang dipahami oleh sejumlah sarjana muslim di Indonesia.
Secara lebih detil ha1 tersebut diungkapkan dalam pernyataan
berikut ini : "Dari segi wacana teoritis tentang masyarakat madani, semua intelektual muslim Indonesia mendukung istilah masyarakat madani ini. Di antara mereka yang mengaitkannya dengan Islam adalah Noercholish Majid, Dawarn Rahardjo, Aswab Mahasin, Fachry Ali, dan sebagainya. Namun umumnya mereka mengajukan konsep tersendiri, yang di antaranya berbeda sama sekali dengan konsep murni (genuine).... Hal tersebut di atas sebenarnya menunjukkan adanya improvisasi atas konsep civil society sesuai dengan konteks sosial budaya Indonesia. Hal tersebut senada dengan pendapat Effendy (1998 :9) bahwa konstruksi bangunan masyarakat madani di Indonesia disesuaikan dengan lingkungan yang ada.
Penyesuaian konsep masyarakat madani sesuai dengan kondisi di Indonesia, menurut Masykuri Abdillah dalam artikel "Islam dan Masyarakat Madani",
27 Pebruari 1999, merupakan ha1 yang logis. Tetapi penyesuaian
tersebut hams tidak dimaksudkan untuk kepentingan politik penguasa, melainkan untuk mendekatkan konsep tersebut dengan filosofi dan budaya Indonesia yang tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dengan ajaran Islam. Tentu saja ajaran Islam
yang dipahami sebagai rahmat bagi seluruh urnat manusia
(rahmat li al- 'alamin) tanpa diskrirninasi. Selain itu, menurutnya, penyesuaian
tersebut juga seharusnya tidak terlepas dari konsep orisinalnya, sebagai wujud kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara. Kuantifikasi secara lengkap dari ha1 tersebut di atas, dapat dilihat dalarn Tabel 5. Tabel 5. Penyebutan Istilah Format Masyarakat Yang Diidealkan Dalam Diskursus Masyarakat Madani Masa Orde Badan Masa Pasca Orde Baru (Frekuensi)
No. 1 2 3 4
Frekuensi Penyebutan Istilah Format Masyarakat Yang Diidealkan Masyarakat Madani Civil Society Masyarakat Sipil Masyarakat Warga Jumlah
Masa Orba
f 11 15 1 3 30
Persoalan pergantian migrasi istilah,
YO 36,7 50 3,3 10 100
Masa Pasca Orba
27 3
YO 90 10
-
-
30
100
f
bagi kalangan subtansialis
(kalangan yang lebih mengedepankan subtansi atau esensi), bukan merupakan
persoalan. Persoalan migrasi istilah seperti tersebut di atas hanyalah persoalan semantik. Seperti dituturkan oleh Rikard Bangun berikut ini : "Kompas nggak terlalu mempermasalahkan soal isu semantik. Yang penting substansinya. Apapun namanya, kalau itu memang kita tulus untuk mendorong itu karena waktu itu orang ramai memakai itu dan ada efouria istilah itu, ya civil society istilah asing, masyarakat madani mungkin lebih akrab dengan kita. Ya apalagi masyarakat lebih tahu tentang itu ya mengapa tidak. Jadi pendekatannya apakah itu bermanfaat. Kalau memang lebih gampang dicerna itu, kita pakai yang gampang dicerna" (Wawancara 19 September 200 1). Sedangkan menurut Effendy (1 998 : 0 1), dipandang dari sudut peralihan peristilahan,
kata masyarakat madani mempunyai kedekatan makna dengan
istilah civil society. Kata madani merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab yaitu mudun, (civilization).
madaniyah,
Sementara itu,
kata
yang mengandung arti peradaban
istilah peradaban dengan segala variasinya
merupakan salah satu komponen penting dari seluruh bangunan konsep civil society, yang tidak hanya merujuk pada hal-ha1 yang secara khusus bersifat politik. Tetapi juga kehidupan kemasyarakatan secara lebih luas, yaitu meliputi dimensi sosial-budaya, ekonomi, hukurn, dan sebagainya. Berbeda dengan Baso (1999 : 1I), pemakaian istilah masyarakat madani bukan sekedar soal pengalih-bahasaan, masyarakat madani adalah suatu konsep yang bersifat khusus dan mempunyai perbedaan dalarn ha1 cakupan (isi, muatan).