4
TINJAUAN PUSTAKA Kalsium Mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia adalah kalsium, yaitu sebanyak 1,5 sampai 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam tubuh. Angka kecukupan kalsium rata-rata yang dianjurkan per hari dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan Kelompok Kecukupan Kalsium (mg/hari) Bayi (bulan) 0-6 200 7-11 400 Anak-anak (tahun) 500 1-3 500 4-6 600 7-9 Pria (tahun) 10-12 1000 13-15 1000 16-18 1000 19-29 800 30-49 800 50-64 800 65 + 800 Wanita (tahun) 10-12 1000 13-15 1000 16-18 1000 19-29 800 30-49 800 50-64 800 65 + 800 Ibu Hamil Trimester 1 + 150 Trimester 2 + 150 Trimester 3 + 150 Ibu Menyusui 6 bulan pertama + 150 6 bulan kedua + 150 Sumber : WKNPG (2004)
Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju. Selain itu, sumber kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007).
5 Berdasarkan Almatsier (2006), kalsium mempunyai fungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, katalisator reaksi-reaksi biologik, dan kontraksi otot. Pada pembentukan tulang, kalsium di dalam tulang mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bagian integral dari struktur tulang dan sebagai tempat menyimpan kalsium. Selain itu, beberapa reaksi biologik yang menggunakan kalsium sebagai katalisator adalah absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, aktivasi lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, dan proses pemecahan serta pembentukan asetilkolin. Defisiensi kalsium Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan kejadian kejang (tetani), hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih. Riketsia terjadi pada anak-anak ketika penambahan jumlah kalsium per unit matriks tulang defisien sehingga mineralisasi tulang terganggu. Riketsia biasanya tampak pada pergelangan tangan, mata kaki, dan lutut (Gropper et al. 2005). Osteoporosis merupakan gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi (Soekarti & Kartono 2004). Bredbenner et al. (2007) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi untuk mempertahankan massa tulang yang cukup mula-mula akan mengarah pada osteopenia yaitu massa tulang rendah. Osteoporosis didiagnosa ketika kehilangan massa dan penurunan kekuatan tulang signifikan sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteopenia dan osteoporosis didefinisikan berdasarkan kriteria WHO (World Health Organization), dimana densitas massa tulang 0.759 sampai 0.909 g/cm2 disebut osteopenia sedangkan densitas massa tulang di bawah 0.759 g/cm2 disebut osteoporosis (Varena et al. 2007) . Level ion Ca2+ bebas yang rendah dalam darah (hipokalemia) diduga dapat menyebabkan kejang (tetani) yaitu kondisi yang dicirikan oleh kontraksi otot yang gagal untuk melakukan relaksasi, khususnya pada otot pergelangan tangan dan kaki (organ pergerakan). Kalsium dapat menurunkan resiko kanker
6 kolon melalui kemampuannya mengikat asam empedu dan asam lemak bebas yang keberadaannya dapat memicu terjadinya kanker melalui hiperproliferasi kolon (Gropper et al. 2005). Sirkulasi level vitamin D yang merupakan respon terhadap rendahnya asupan kalsium menyebabkan jalur kalsium terbuka pada membran di sel-sel tertentu (contohnya otot halus dan adiposit). Hal tersebut memiliki konsekuensi terjadinya aktivasi respon spesifik dari berbagai jaringan seperti kontraksi otot halus pada arteri, peningkatan sintesis lemak dan penurunan lipolisis pada adiposit. Mekanisme tersebut merupakan dampak kurangnya asupan kalsium terhadap berkembangnya hipertensi dan obesitas (Weaver & Heaney 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Varena et al. (2007) menunjukkan bahwa pada wanita posmenopause awal, asupan kalsium dan variabel densitas mineral tulang lumbar secara statistik memiliki asosiasi berlawanan dengan status overweight. Pada setiap kelas densitas massa tulang, proporsi wanita overweight ditingkatkan dengan penurunan asupan produk susu dan olahannya. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium Kalsium dalam suatu bahan pangan tidak semua dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Semakin tingggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan absorpsi kalsium yang efisien (Almatsier 2006). Kalsium
membutuhkan
lingkungan
yang
asam
agar
dapat
mempertahankan kalsium dalam bentuk ionik yang mudah diabsorpsi. Absorpsi terutama terjadi pada bagian atas usus halus dan berkurang di bagian bawah usus halus yang berbatasan dengan usus besar. Dalam aliran darah, kalsium ditransportasikan dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein, dimana konsentrasinya diregulasi secara ketat oleh kontrol hormon. Ketika konsentrasi kalsium dalam darah rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Peran hormon paratiroid dalam peningkatan kalsium darah dilakukan melalui tiga jalur yaitu 1). menstimulasi perombakan kalsium dari tulang, 2). meningkatkan retensi kalsium di ginjal, dan 3). mengaktifkan vitamin D yang kemudian vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3) akan merangsang peningkatan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan absorpsi kalsium di
7 usus. Namun jika konsentrasi kalsium darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan calcitonin yang kemudian akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam range normal dengan jalan mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal (Bredbenner et al. 2007). Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium. Metode tersebut antara lain metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Kedua metode pengukuran tersebut biasanya dilakukan secara in vivo yaitu mengukur absorpsi pada manusia atau hewan. Metode keseimbangan kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan lewat feses. Absorpsi nyata kalsium berkisar antara 20% sampai 40%. Keseimbangan kalsium diperoleh ketika asupan kalsium cukup untuk mengcover kehilangan kalsium lewat urin, feses dan keringat. Keseimbangan kalsium positif dibutuhkan pada saat pertumbuhan, kehamilan, dan laktasi. Ketidakakuratan pengukuran dengan metode ini akan terjadi apabila pengumpulan sampel feses tidak tepat dan adanya perubahan efiisensi absorpsi yang disebabkan oleh adaptasi tubuh terhadap level asupan kalsium yang berubah. Dengan prinsip yang hampir sama dengan metode keseimbangan kalsium, pada metode isotop kalsium dilakukan dengan menginjeksikan isotop kalsium baik yang bersifat radioaktif maupun yang stabil lewat intravena (Allen 1982). Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas kalsium juga dapat dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen makanan yang mempengaruhi absorpsi kalsium Berdasarkan Allen (1982) komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al. (2005) menambahkan
8 bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Penjelasan dari masing-masing masing-masing faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium adalah sebagai berikut: Fosfor. Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet, dan 2). secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). Berdasarkan Linder (2006), konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5 mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi tulang. Hasil penelitian Bernhart et al. tahun 1969 pada sejumlah tikus membuktikan bahwa diet yang mengandung cukup kalsium dengan jumlah fosfor yang sedikit lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari kalsium dapat mendukung tingkat
pertumbuhan
yang
hampir
maksimal
dan
pembentukan
tulang.
Perbandingan kalsium dan fosfor terbaik dalam penelitian tersebut adalah 1:0,6, 1:0,9, dan 1:1,4 (Broody 1999). Protein. Selain fosfor, beberapa penelitian menyebutkan bahwa protein harian berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney (2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Menurut Hugges dan Harris (2002), pada asupan kalsium harian yang rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah. Komponen tumbuhan. Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan
9 diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005) Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005). Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Broody 1999). Sama halnya dengan oksalat dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan kalsium (Bredbenner et al. 2007). Laktosa. Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) menjelaskan bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan meningkatkan absorpsi kalsium. Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Kabayashi et al. tahun 1975 memperlihatkan bahwa hidrolisis laktosa oleh enzim laktase menjadi galaktosa dan glukosa lebih efektif dalam meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982).
10 Lemak. Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982). Kation divalen. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium. Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia. Status vitamin D. Vitamin D dalam bentuk aktif atau biasa disebut calcitriol akan meningkat jika sekresi hormon paratiroid tinggi, asupan kalsium harian rendah, dan dalam kondisi hamil dan menyusui (Allen 1982). Calcitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (CaBP/Calsium binding protein) yang juga biasa disebut calbindin D9k (Gropper et al. 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan sintesis CaBP lebih lama yaitu sekitar 6 – 8 hari yang kemudian akan menghambat penyerapan kalsium (Allen 1982). Defisiensi vitamin D jangka panjang akan menyebabkan riketsia pada anak-anak dan osteomalsia pada dewasa, sedangkan kelebihan vitamin D akan menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menimbulkan kalsifikasi (pengerasan) pada jaringan lunak (calcinosis) seperti pada ginjal, hati, paru-paru dan pembuluh darah (Gropper et al. 2005).
11 Defisiensi kalsium dan fosfor. Kebiasaan asupan kalsium harian baik rendah maupun tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi absorpsi kalsium melalui mekanisme adaptasi. Jika terjadi defisiensi kalsium, efisensi absorpsi kalsium akan meningkat dengan jalan meningkatkan transpor kalsium yang dibantu vitamin D. Penelitian pada tikus memperlihatkan peningkatan absorpsi kalsium di duodenum dan ileum berturut-turut yaitu 200% dan 400%. Tingginya absorpsi kalsium di usus disertai peningkatan asupan kalsium harian akan mengurangi demineralisasi tulang dan akan mengembalikan keseimbangan kalsium menjadi positif (Allen 1982). Namun, jika asupan kalsium tidak ditingkatkan, absorpsi kalsium akan menurun karena jumlah kalsium yang dapat diserap bekurang (Almatsier 2006). Defisiensi fosfor juga akan meningkatkan absorpsi kalsium. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976 menunjukan bahwa defisiensi fosfor
meningkatkan
1,25-(OH)2-vit
produksi
D3
yang
kemudian
akan
meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982). Daur kehidupan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Younoszai tahun 1981 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier antara konsumsi dan absorpsi kalsium pada bayi. Pada asupan kalsium yang rendah, efisiensi absorpsi kalsium pada bayi berkurang daripada dewasa. Hal ini disebabkan karena mekanisme adaptasi tubuh terhadap asupan kalsium yang rendah tidak terjadi dan transpor kalsium biasanya hanya terjadi lewat difusi. Beberapa susu formula yang mengandung cukup kalsium dapat diabsorpsi 30%, sedangkan asupan 239 mg/kg/hari kalsium dari susu formula yang mengandung vitamin D dan trigliserida dapat diabsorpsi sebanyak 73% (Allen 1982). Kemampuan untuk absorpsi kalsium lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan
menurun
pada
proses
penuaan.
Kebutuhan
kalsium
pada
masa
pertumbuhan lebih tinggi karena itu secara alamiah tubuh akan menyerap lebih banyak kalsium. Remaja cenderung menyerap kalsium lebih banyak daripada orang lanjut usia (Almatsier 2006). Linder (2006) dan Almatsier (2006) menyebutkan bahwa pada dewasa normal absorpsi kalsium berada dalam kisaran 30% - 50%. Namun menurut Bredbenner et al. (2007), tubuh manusia (dewasa) menyerap sekitar 25% hingga 30% kalsium dari makanan yang dikonsumsi, akan tetapi apabila tubuh membutuhkan kalsium dalam jumlah ekstra tinggi seperti pada tahap pertumbuhan, bayi dan ibu hamil, absorpsi meningkat mencapai 75%.
12 Pada wanita menopause, penurunan sekresi hormon esterogen akan menyebabkan demineralisasi tulang (Linder 2006). Terapi esterogen selama 6 bulan dapat meningkatkan level calcitriol serum
sebesar 40%. Peningkatan
calcitriol serum tersebut meningkatkan absorpsi kalsium sebesar 20% dan reabsorpsi kalsium di renal ginjal. Absorpsi kalsium pada lansia dengan diet tinggi kalsium (2000 mg/hr) yaitu sekitar 20% sedangkan pada diet rendah kalsium (300 mg/hr), absorpsi kalsium meningkat menjadi 40% (Allen 1982). Bioavailabilitas berbagai garam kalsium Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk garam kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium karbonat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat. Garam kalsium akan bersifat bioavailable dalam bentuk terlarut. Kalsium karbonat umumnya terdapat dalam bahan pangan dalam jumlah yang tinggi namun kelarutannya rendah (Muchtadi 2008). Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga rendah (5,5%). Sementara itu, beberapa macam garam kalsium yang mempunyai sifat kelarutan yang baik, misalnya kalsium glukonat, kalsium laktat. Kalsium laktat yang tersedia dalam bentuk pentahidrat (5H2O), mengandung 13% kalsium. Garam kalsium ini mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9,3 g/l), sehingga paling banyak digunakan dalam industri minuman, sedangkan kalsium glukonat memiliki kelarutan sebesar 3,5 g/l (Muchtadi 2008). Selanjutnya Muchtadi (2008) menjelaskan bahwa trikalsium sitrat memberikan kombinasi yang baik: bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk tetrahidrat (4H2O), dengan kadar kalsium yang cukup tinggi (21%) dan kelarutan yang moderat (0,9 g/l). Sifat kelarutan garam kalsium dalam air sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) larutan, di mana kelarutan garam kalsium akan meningkat dengan meningkatnya keasaman (menurunnya pH). Trikalsium sitrat menunjukkan kelarutan yang lebih baik pada pH lebih rendah dari 4,5. Berbeda dengan garam kalsium lain, trikalsium sitrat lebih mudah larut pada suhu rendah. Baker (1991) menambahkan bahwa kelompok sumber kalsium organik seperti dari tepung tulang, bentuk dikalsium fosfat, trikalsium fosfat, dan kalsium sulfat memiliki ketersediaan yang tinggi.
13 Fortifikasi kalsium juga terkadang menggunakan gabungan dari dua garam organik seperti kalsium laktat glukonat, kalsium laktat malat, dan kalsium laktat sitrat. Kalsium laktat glukonat merupakan garam kalsium yang sangat mudah larut dalam air (45 - 50 g/l) (Muchtadi 2008). Pada suhu 21oC, kelarutan kalsium laktat malat dalam air adalah 115 g/l, sedangkan kelarutan kalsium laktat sitrat sebesar 98 g/l (Kressel et al. 2010). Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapislapis. Crackers tanpa pemanis merupakan tipe yang paling populer yang dapat dikonsumsi sebagai pengganti roti dan penggunaannya lebih luas sebagai makanan diet. Ciri-ciri crackers yang baik adalah tekstur yang renyah, tidak keras apabila digigit, tidak hancur dan mudah mencair apabila dikunyah (Manley 2000). Pengembangan produk crackers terus dilakukan baik untuk meningkatkan palatabilitas maupun kandungan zat gizinya. Salah satu pengembangan produk crackers yang dirancang untuk memberikan kontribusi kalsium terhadap pemenuhan AKG remaja adalah crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Ferazuma 2009). Tabel 2 menyajikan syarat mutu crackers mengacu pada biskuit. Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) Komponen Syarat Mutu Air Maksimum 5% Protein Minimum 9% Lemak Minimum 9.5% Karbohidrat Minimum 70% Abu Maksimum 1.5% Logam Berbahaya Negatif Serat Kasar Maksimum 0.5% Kalori (per 100 gr) Minimum 400 Jenis Tepung Terigu Bau dan Rasa Normal, tidak tengik Warna Normal Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)
Bahan baku Crackers Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan crackers dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan
14 bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kuat adalah tepung terigu, air, dan garam, sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur adalah gula, mentega, dan leavening agent (baking powder) sebagai bahan pengembang (Manley 2000). Tepung terigu berfungsi sebagai pembentuk adonan selama proses pencampuran, menarik, atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara
merata,
mengikat
gas
selama
proses
fermentasi
dan
selama
pemanggangan. Selain itu, tepung juga memegang peranan penting dalam pembentukan cita rasa (Matz & Matz 1978). Tepung terigu yang digunakan adalah tepung terigu yang terbuat dari gandum lemah, mempunyai daya serap air rendah, adonan yang terbentuk kurang elastis dan ekstensibel (Sijabat 2003). Air merupakan medium untuk membentuk adonan, melarutkan bahan, dan mendistribusikannya ke seluruh massa adonan. Kualitas air yang digunakan mempengaruhi karakteristik adonan. Dalam pembuatan crackers, gula berkontribusi sebagai pemberi aroma melalui browning nonenzimatis dan sebagai pemanis. Gula menyediakan substrat untuk terjadinya fermentasi pada produk yang diolah menggunakan ragi. Selain itu, pada produk yang mengalami tahap pengadonan, gula berfungsi dalam pengatur keempukan (Penfield & Campbell 1990). Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan crackers karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi yang menghasilkan tekstur yang renyah dan lembut pada kue (Manley 2000). Bahan pengembang (Leavening agent) merupakan senyawa kimia yang bila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan. Pada pembuatan crackers, bahan pengembang berfungsi dalam pembentukan volume dan membuat produk jadi ringan. Saat pemanggangan, gas yang dihasilkan bersama dengan udara dan uap air yang ikut terperangkap dalam adonan menyebabkan mengembang (Winarno 2008). Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Ikan lele yang terkenal ada 2 (dua) jenis yaitu lele lokal (Clarias batrachus), dan lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele lokal merupakan ikan asli perairan Indonesia, sedangkan lele dumbo merupakan hasil persilangan lele lokal dari Afrika dengan lele lokal dari Taiwan. Secara umum, keduanya memiliki
15 kesamaan ciri morfologi yaitu bentuk tubuh bulat memanjang, licin, berlendir, tidak bersisik, memiliki tiga buah sirip tunggal (punggung, ekor, dubur) dan dua pasang sirip dada yang berfungsi sebagai senjata (patil), serta alat pernapasan tambahan berbentuk pohon yang biasa disebut arborescent organ yang memungkinkan lele dapat mengambil oksigen langsung dari udara bebas. Perbedaan ciri morfologi keduanya terlihat pada ukuran, bentuk mulut, warna tubuh, dan kumis. Pada lele dumbo, ukuran tubuh dan bentuk relatif lebih besar daripada lele lokal. Lele dumbo memiliki warna tubuh yang akan berubah menjadi pucat saat terkena matahari dan menjadi loreng seperti mozaik hitam putih jika terkejut atau kaget, sedangkan pada lele lokal warna tubuh bersifat permanen. Selain itu, disekitar mulutnya lele dumbo memiliki delapan buah kumis yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak dan saat mencari makan, sedangkan lele lokal hanya memiliki dua buah kumis. Ikan lele dumbo diklasifikasikan ke dalam Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub Ordo Clariidae, Genus Clarias, dan Spesies Clarias gariepinus (Khairuman & Amri 2008). Produksi ikan lele dumbo di indonesia pada tahun 2003 mencapai 360 juta ekor dan ditargetkan meningkat rata-rata 21,64% pada akhir tahun 2009 (Mahyuddin 2008). Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70% sisanya adalah limbah ikan berupa kepala, sirip, ekor, dan isi perut yang umumnya tidak dapat digunakan sebagai makanan. Berdasarkan Adawyah (2008) limbah kepala dan sirip ikan mengandung komponen berupa garam kalsium, fosfat, dan senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan menjadi tepung ikan. Ferazuma (2009) menambahkan bahwa pada lele dumbo, limbah kepala yang dihasilkan adalah 10% dari berat ikan segarnya.
Gambar 1 Kepala ikan lele dumbo segar (Ferazuma 2009)
16 Pembuatan tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan crackers tersebut dimulai dengan sortasi ikan, kemudian dipisahkan antara kepala dan badannya lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi, pengepresan, pengeringan dengan drum dryer, dan penggilingan dengan willey mill (Ferazuma 2009). Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo No
Zat Gizi
1 Air 2 Abu 3 Protein 4 Lemak 5 Karbohidrat 6 Kalsium 7 Fosfor Sumber: Ferazuma (2009)
Tepung kepala Ikan lele dumbo (%bb) 8,72 16,53 51,15 8,56 15,03 5,68 3,78
Selain sifat kimia, pada pembuatan tepung kepala ikan lele dumbo tersebut juga dianalisis sifat fisik yang meliputi densitas kamba, derajat putih, dan aktivitas air (aw). Densitas kamba tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,45 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tepung kepala ikan lele dumbo berada dalam kisaran densitas kamba secara umum. Nilai derajat putih tepung kepala ikan dumbo sebesar 29,02%, sedangkan aktivitas air (aw) tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,66 (Ferazuma 2009) Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan, crackers yang disukai adalah crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g (Ferazuma 2009). Crackers ini memberi kontribusi kalsium pada anak-anak, remaja, dan dewasa sebesar 40%; 24%; 30% dari AKG Kandungan gizi crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis proksimat, fosfor dan kalsium crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo Zat gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Sumber: Ferazuma (2009)
Kandungan gizi per 100 g 3,10 % 3,95 % 9,90 % 18,60 % 64,50 % 543 mg 305 mg