HAPPINESS WANITA USIA DEWASA AWAL YANG MENIKAH PADA USIA REMAJA TANPA RESTU IBU
OLEH CITRA PRAMUDITA TRIVENA PUTRI 802010059
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
HAPPINESS WANITA USIA DEWASA AWAL YANG MENIKAH PADA USIA REMAJA TANPA RESTU IBU
Citra Pramudita Trivena Putri Rudangta Arianti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana happiness wanita usia dewasa awal yang menikah pada usia remaja tanpa restu ibu. Penelitian mengggunakan metode kualitatif deskriptif dengan wawancara dan observasi. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah satu orang, dengan kriteria: saat ini berusia dewasa awal, telah memiliki anak, pada saat menikah berusia remaja dan tanpa restu dari ibu, alasan menikah karena tidak dapat melanjutkan pendidikan, dan pasangan yang siap menikah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya restu dari ibu menimbulkan efek negatif pada partisipan, seperti tidak adanya relasi yang baik antara partisipan dengan ibu. Selain itu, terdapat konflik-konflik keluarga yang sulit untuk diatasi, seperti dalam mengasuh anak dan hubungan antara suami dengan ibu. Selain itu, belum mampunya partisipan dalam mengontrol emosi, seperti sering membentak anak, dan menghindari pembicaraan dengan ibu. Dapat disimpulkan bahwa partisipan cukup bahagia tapi belum mampu menuju kebahagiaan yang sempurna. Kata Kunci: Happiness,Wanita Usia Dewasa Awal,Pernikahan Usia Remaja dan Tanpa Restu Ibu.
i
ABSTRACT The aim of this study is to describe how the happiness of early adulthood woman who married at the age of adolescence without the consent of the mother. The method used descriptive qualitative research with interviews and observations. Participant in this study amounted to one person, with the following criteria: the current age of early adulthood, havechildren, when married she was adolescent and without the consent of her mother, the reason to get married because they could not continue their education, and couples who are ready to get married. Results from this study indicate that the absence of consent from the mother have a negative effect on the participant, such as the absence of good relationships between participant with the mother. In addition, there are family conflicts that are difficult to overcome, as in parenting and the relationship between husband and mother. Besides, participant is not in inability to control emotions, as often snaps at her child, and avoids to talk with the mother. It can be
concludedthat
theparticipants
werequitehappybuthave
not
beenableto
happinessperfect. Keywords:
Happiness,
Female
With
AgeandWithout Consent of TheMother
ii
Early
Adulthood,
Marriage
Youth
1
PENDAHULUAN Setiap manusia atau individumenginginkan kebahagiaan dalam menjalankan kehidupan yang telah menjadi pilihannya. Happinessadalah fenomena subjektif yang diharuskan menjadi tujuan akhir setiap individu (Diener, Suh, Lucas, dan Smith 1999; Lyubomirsky, Sheldon, dan Schkade 2005, dalam SwartdanRothman, 2012). Selain itu, happiness mengacu pada evaluasi kognitif bahwa kehidupan seseorang bergerak kearah yang benar, pencarian yang konstan untuk makna dan tujuan dalam hidup, serta seringnya
emosi
positif
dan
rendahnya
emosi
negatif
Seligman
(dalam
SwartdanRothman, 2012). Seligman (2002) menyebutkanhappiness dapat dianalisis kedalam tiga unsur, yaitu emosi positif, keterlibatan, dan makna. Seligman (2002) mengklasifikasikan emosi positif menjadi tiga kategori: semua berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Emosi positif yang berhubungan dengan masa depan antara lain rasa optimis, harapan, percaya diri, takdir, dan percaya. Emosi positif yang berhubungan dengan masa lalu adalah kepuasan, pemenuhan, dan kebanggaan. Sedangkan yang berhubungan masa sekarang adalah kesenangan sesaat dan kepuasan abadi. Seligman (2002) juga menyebutkan bahwa keterlibatan adalah tentang hidup yang mengalir atau terus bergerak, yakni ketika individu terlibat dalam kegiatan atau pekerjaan yang mereka sukai. Selain itu juga, hilangnya kesadaran diri selama aktivitas yang menenggelamkan. Saat mengalir, seseorang melebur dengan objek. Perhatian terpusat yang dibutuhkan untuk mengalir memerlukan semua sumber daya kognitif dan emosi yang membentuk pikiran dan perasaan. Kekuatan dan bakat tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan keharusan yang dimiliki seseorang untuk bisa mengalir.Manusia pasti menginginkan makna dan tujuan dalam hidup. Hidup yang bermakna adalah hidup
2
yang menjadi bagian dari dan melayani sesuatu yang kita yakini lebih besar daripada diri kita sendiri. Seligman (2002)menemukan bahwa meningkat atau menurunnya tingkat happiness pada seseorang dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengingat kembali pengalamanpengalaman positif atau menyenangkan mereka dan menjadikannya lebih dominan dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman buruk atau tidak menyenangkan mereka. Orang yang bahagia mencoba bergantung pada pengalaman masa lalu mereka yang positif dan benar, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia lebih skeptis. Orang-orang bahagia berasumsi dari pengalaman masa lalu mereka bahwa hal-hal pada akhirnya akan berhasil (Seligman, 2002). Selain itu Seligman (2002) juga menyebutkan beberapa faktor ekternal yang menurutnya dapat memengaruhi peningkatan happiness seseorang, yaitu hidup dalam lingkungan demokratis bukan diktator, menikah, menghindari peristiwa negatif dan emosi negatif, memiliki jaringan sosial yang luas (hubungan sosial dengan lingkungan yang baik), beragama, memiliki penghasilan, dan berpendidikan, serta
iklim
lingkungan
baik.Beberapadefinisimenggambarkanhappinesssebagaifenomenaafektif,
yang fenomena
kognitif, selain itu juga digambarkan sebagai disposisi bahagia dan sebagai sikap positifterhadap kehidupan, serta kebahagiaan obyektif (Venhoveen, 2006). Melihat manfaat dan fungsinya, happiness sangat pentingbagi setiap individu. Pada individu dengan usia dewasa atau bahkan telah menginjak usia lanjut keadaan yang disebutkan oleh Seligman (2002) sangat mungkin terpenuhi, karena pada usia dewasa seseorang telah memiliki kemampuan untuk mengontrol ego mereka dan mereka juga telah memiliki banyak pengalaman serta telah memiliki kondisi fisik maupun psikis yang sesuai dengan tingkatannya. Misalnya, untuk berkeluarga, memiliki pekerjaan
3
yang tetap, dan menjadi istri maupun seorang ibu. Berbeda halnya dengan seorang remaja, keadaan-keadaan yang telah disebutkan oleh Seligman (2002) dan yang dapat memengaruhi happiness seseorang, sangat kecil kemungkinannya terjadi pada usia-usia remaja. Happiness sendiri pada seorang remajadipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu efikasi diri yang berpusat pada kepuasan hidup, regulasi diri yang terdiri dari identitas, harga diri, masa depan, dan optimisme (Caprara, Steca, Gerbino, Paciello, dan Vecchio 2006, dalam Meleddu, Guicciardi, Scalas, & Fadda 2012), sertafaktor sosial meliputi hubungan positif dengan orang lain dan persahabatan (Cheng dan Furnham 2002; Gaspar de Matos, Simoes, Batista-Foguet, dan Cottraux 2010; Holder dan Coleman 2009; serta Ryff dan Singer 1998, dalam Meleddu, Guicciardi, Scalas, & Fadda 2012). Santrock (2011) menyebutkan bahwa usia remaja merupakan usia dimana individu telah mampu berpikir secara abstrak. Dengan demikian, pada usia remaja individu telah mampu berpikir secara logis tentang peristiwa dan pengalaman-pengalaman yang mereka alami. Usia remaja juga merupakan usia dimana terjadinya perubahan fungsi perkembangan kognitif individu. Menurut Kuhn(dalam Santrock, 2011), perkembangan kognitif terpenting yang berlangsung pada remaja adalah peningkatan di dalam fungsi eksekutif, yang melibatkan aktivitas kognitif dalam tingkat yang lebih tinggi seperti pengambilan keputusan, penalaran, memonitor cara berpikir kritis, dan memonitor perkembangan kognitif seseorang. Erikson (dalam Santrock, 2011) menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa dimana seseorang dihadapkan pada situasi yang lebih banyak melibatkan pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan yang menjadi pilihan seorang individu pada usia remaja pada umumnya adalah ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah maupun universitas favorit mereka, memilih program studi apa yang akan mereka ambil, kemudian ingin mengejar
4
karir mereka setelah mereka lulus, dan pada tujuannya keputusan-keputusan tersebut telah mereka yakini akan membuat mereka sukses dan bahagia dimasa depan. Seperti halnya yang disebutkan oleh Erikson (dalam Santrock, 2007) bahwa tahap kelima perkembangan yang dialami pada masa remaja adalah adalah identity vs identity confusion. Menurut Erikson, pada masa ini remaja akan memutuskan siapa mereka, apa mereka, dan akan kemana mereka. Pertanyaan mengenai identitas ini akan muncul selama rentang kehidupan, tetapi akan menjadi sangat penting pada remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), remaja dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat banyak. Ketika mereka mulai menyadari mereka akn bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan kehidupan mereka, remaja mulai mencari hidup macam apakah yang akan mereka jalani. Lalu, bagaimana dengan remaja yang memilih untuk menikah diusia remaja? Bahkan telah memiliki keturunan pada usia tersebut? Dan apakah pada usia mereka yang seharusnya merupakan tahapan dimana mereka berproses untuk menuju usia dewasa, mampu menangani kehidupan berkeluarga? Selain itu juga, bagaimana dengan mereka yang menikah tanpa mendapatkan restu? Usia remaja merupakan usia seseorang masih mengalami ketidakstabilan dalam hal emosi dan sikap, selain itu juga usia rentan terjadinya indikasi gangguan penyesuaian diri bahkan depresi khususnya pada remaja putri (Santrock, 2007). Apabila dalam kasus ini mereka diharuskan untuk mengambil keputusan menikah pada usia mereka ditambah dengan kenyataan tidak adanya restu dari ibu, lalu bagaimana hal tersebut memengaruhi pemikiran mereka? Bahkan bisa saja mereka mengalami pertengkaran batin akibat keputusan yang harus mereka ambil. Keharusan tersebut terjadi karena dalam kasus ini partisipan tidak memiliki pilihan lain akibat keluarga mereka yang termasuk dalam
5
sosioekonomi rendah sehingga partisipan tidak mampu melanjutkan pendidikan, yang sebenarnya mereka inginkan. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di negara kita pernikahan usia remaja bukanlah hal yang tabu lagi. Setiap tahunnya prosentase pernikahan di usia remaja selalu meningkat, tidak hanya di kampung-kampung dan pedesaan, bahkan dikota-kota besar pun fenomena pernikahan usia remaja tidak asing lagi. Terbukti dari data yang diperoleh di Kecamatan Pangkalan Lada, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, jumlah perkawinan pada usia 16-20 tahun dari Januari 2012 sampai Agustus 2014 menunjukkan jumlah yang tidak sedikit. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor KUA Kecamatan Pangkalan Lada, menunjukkan pada tahun 2012 terdapat 141 perkawinan remaja putri usia 16-20 tahun dari 346 perkawinan, kemudian pada tahun 2013 terdapat 160 perkawinan remaja putri usia 16-20 tahun dari 309 perkawinan, selain itu pada tahun 2014 dari bulan Januari hingga Agustus terdapat 80 perkawinan remaja putri usia 14-20 tahun dari 214 perkawinan. Pendidikan orang tua yang kurang, kemudian status pekerjaan orang tua yang rendah, dan sosioekonomi yang rendah serta kehamilan di luar nikah merupakan beberapa faktor penyebab pernikahan pada usia remaja (Philip, 2008). Selain itu juga, dalam beberapa dekade terakhir banyak penelitian yang berusaha menjelaskan waktu dalam pernikahan, dan telah teridentifikasi bahwa faktor-faktor ekonomilah sebagai penentu utama dari waktu pernikahan seseorang(Uecker, 2014). Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang mudah bagi ibu dengan usia yang masih pada tingkatan usia remaja. Kehamilan remaja menciptakan resiko kesehatan baik pada bayi maupun ibu. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang masih remaja cenderung memiliki bobot yang rendah, ini merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian pada bayi,
6
maupun
masalah-masalah
neorologis
dan
penyakit
pada
bayi
(Santrock
2011).Pernikahan dinidapatmemiliki konsekuensinegatif individu, termasukpencapaian pendidikan, pendapatan, kesehatan, danstabilitasperkawinan (Dupre dan Meadows 2007; Loughran dan Zissimopoulos 2009, Marini 1985; Teachman, Polonko, dan Scanzoni 1986; serta Whitehead dan Popenoe 2001, dalam Uecker, 2014).Selain itu juga, peran sebagai orang tua dalam rangka untuk mempertahankan dan memelihara anak sendiri, sebelum menyelesaikan tugas perkembangan sebagai seorang remaja dengan baik, berakibat pada banyaknya ibu remaja yang meninggalkan tugas perkembangan mereka sebagai seorang remaja atau yang sesuai dengan tingkatan perkembangan mereka, yaitu remaja, remaja yang menjadi ibu cenderung berasal dari latar belakang sosio ekonomi yang rendah (Santrock, 2011). Berdasarkan paparan di atas, peneliti menemukan permasalahan yang menarik untuk diteliti. Seorang remaja putri yang memutuskan untuk menikah dan menjadi seorang ibu pada usia yang masih muda, ternyata memiliki banyak resiko dan merupakan hal tersulit yang harus mereka putuskan. Disaat teman-teman sebaya mereka tengah mengalami proses untuk mengejar karir di masa depan serta masih menikmati kehidupan sebagai seorang remaja, mereka justru dihadapkan dengan kehidupan yang penuh dengan tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu. Selain itu, mereka dipaksa untuk berkembang lebih jauh dari yang seharusnya mereka jalani. Hal ini perlu diteliti karena (1) fenomena ini telah berlangsung sejak lama hingga saat ini; (2) melihat manfaat kebahagiaan yang sangat penting untuk kehidupan seseorang, maka upaya untuk memilikinya perlu ditingkatkan; (3) melihat perkembangan psikologi positif dan perkembangan saat ini yang sangat pesat, sehingga melakukan
sebuah
penelitian
mengenai
kebahagiaan
dan
kaitannya
dengan
7
perkembangan menjadi kajian yang menarik. Walaupun UU RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab 2 pasal 7 menyebutkan bahwa, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita usia 16 tahun, namun banyak terdapat kasus pernikahan dibawah dari usia yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika dilihat dari kaca mata psikologi, usia tersebut bukanlah usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah. Apa lagi bagi seorang remaja putri, selain karena mental yang belum mencapai pada tahap kematangan untuk menjadi seorang istri dan ibu, juga karena pada usia tersebut merupakan usia dimana seseorang baru akan memulai untuk mempersiapkan perkawinan dan keluarga. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, karena faktor tertentu seperti, sosioekonomi keluarga yang rendah, remaja putri di hadapkan pada keharusan mereka mengambil keputusan untuk menikah atau berkeluarga pada usia mereka yang masih remaja, di luar itu adanya konflik dengan orang tua berakibat pada pernikahan yang tidak mendapatkan restu. Terjadinya konflik dengan orang tua yang berkepanjangan dan intens juga menimbulkan beberapa efek negatif pada seorang remaja, seperti minggat dari rumah, kenakalan remaja, putus sekolah, kehamilan, pernikahan dini, keanggotaan dalam kelompok keagamaan, dan pemakaian obat-obatan (Santrock, 2007). Hal ini juga yang menjadi penguat pentingnya penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana happiness wanita usia dewasa awal yang menikah pada usia remaja tanpa mendapat restu dari ibu; serta memberikan dorongan bagi peneliti lain agar tertarik pada fenomena pernikahan usia remaja yang banyak ditemui di Indonesia.
8
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dengan wawancara dan observasi. Pengambilan data dilakukan di Desa Mandala Jaya, Kecamatan Pangkalan Lada,Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengahpada tanggal 29 April 2015 untuk wawancara pertama dan pada tanggal 5 Mei 2015 untuk wawancara kedua. Wawancara bertempat di kediaman partisipan. B. Partisipan Metode
pemilihan
partisipan
penelitian
menggunakan
purposive
sampling.Kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah: 1.
Wanita yang menikah di usia remaja 16-20 tahun
2.
Tanpa mendapat restu dari Ibu
3.
Pasangan yang siap menikah dan telah bekerja
4.
Saat ini berusia dewasa awal
5.
Telah memiliki anak atau keturunan
C. Metode Pengumpulan Data Penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan wawancara dan observasi, serta untuk mengecek hasilwawancara partisipan diminta untuk mengecek kebenarannya. HASIL Menikah di usia remaja DA menikah pada usia 19 tahun ketika ia baru lulus SMA. Saat ini pernikahan DA dengan suami telah berusia 5 tahun dan mereka telah dikaruniai anak laki-laki yang berusia 3 tahun. DA mengambil keputusan untuk menikah di usia remaja karena
9
beberapa alasan. Alasan pertama adalah karena orang tua tidak memiliki biaya untuk membiayai DA melanjutkan kuliah. “Aku kan dulu disuruh kuliah, cuma ayah ku kan ya maklum belum begitu mampu gitu lah, ya otomatis aku mikir juga kan.” Alasan kedua adalah karena ayah DA yang berencana untuk berhenti bekerja, sedangkan keluarga DA belum memiliki rumah sendiri, sehingga DA memutuskan untuk membantu ayah dengan cara menikah dengan pacar DA. “Terus kata bapak ku juga kalok aku gag jadi (kuliah) gitu dia mau keluar dari kerjaan. Sedangkan dia (bapak) kan belum punya rumah gitu luh kita, keluarga kita tu belum punya rumah jadi aku ya gimana ya, yaudah terus ... terus ya nikah aja gitu.” Pada awalnya DA memiliki keinginan untuk melanjutkan kuliah. Tapi karena rencana ayah DA dan mengingat hanya ibu yang menyanggupi untuk membiayai kuliah DA, pada akhirnya DA memutuskan untuk menikah dan tidak melanjutkan kuliah. “Ya keinginan untuk kuliah juga ada, cuman karena alasan bapak ku gag punya anu kan, gag punya biaya. Terus yang nyanggupi aku kuliahkan cuman ibu ku aja gitu luh, jadi ya kasihan juga sih sama bapak ku, orang adek-adekku juga masih kecil.” Konflik dengan ibu Setelah DA mengambil keputusan untuk menikah, ibu DA tidak menyetujuinya, karena ibu DA menginginkan agar DA melanjutkan kuliah. Dengan kata lain, DA menikah tanpa mendapatkan restu dari sang ibu, namun DA tetap melangsungkan pernikahan dengan keadaan tersebut. “Walaupun ibu ku sendiri masih mendiamkan diri ku. Ya masalah itu, masalah aku gag bisa kuliah itu. Gag mau kuliah itu Malah bilang anu, yaudah sana kalok mau pergi nggak papa ibu masih punya anak dua, katanya gitu. Hancur lebur berantakan, hancur berkeping-keping. Ya sakit hati, kenapa kok gitu, kenapa sih kok nggak di setujuin aja.Ya nggak setuju sih, cuman kita tetep anu kita tetep bikin ya pesta kecilkecilan lah dulu.”
10
Hingga saat ini hubungan DA dengan ibu belum membaik. DA dan ibu tidak pernah mengobrol dan hanya saling menyapa, hal yang sama juga terjadi antara ibu DA dengan suami DA. “Kalok sekarang, kalok ngobrol enggak. Cuma kan paling kalok aku datang kerumah gitu, ya pamitan, ya salaman tetep.” DA dan suami pernah mencoba berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan ibu, tapi DA mengaku tidak ada hasil, sehingga DA dan suami memutuskan untuk pasrah dengan keadaan yang ada dan berdoa supaya hati ibu bisa luluh dan merestui pernikahan mereka. “Kayak ya istilahnya memperbaiki hubungan duluan gitu lo, menyambung silahturahmi duluan, tapi ya kita udah mencoba tapi gag anu ya yaudah pasrah aja. Kalok masalah itu mah aku berdoa aja, nanti suatu saat juga apa ibu ku baik sendiri.” Tanggapan ayah DA akan masalah ini adalah agar DA tidak membenci ibu DA yang telah melahirkan DA walaupun saat ini keadaan ibu yang tidak merestui pernikahan DA. “Ya nggak papa kamu kayak gitu, nggak pernah maen kerumah bapak juga nggak papa. Tapi yang penting kamu jangan benci ibu mu, katanya gitu. Karena dia yang melahirkan mu, gitu.” Suami DA sendiri tidak memberikan tanggapan apapun, karena suami DA terkenal sebagai pribadi yang pendiam, dan DA sendiri yang tidak mau mengungkit masalah ibu karena tidak ingin suami DA merasa sakit hati. Saat ini DA memutuskan tidak terlalu memikirkan masalah konflik dengan ibu, DA tidak ingin masalah tersebut membuatnya stress, DA ingin menjalankan hidupnya yang sekarang dengan enjoy bersama suami dan anaknya. “Enggak, kalok aku nggak menghambat soalnya nggak terlalu anu sih, nggak terlalu aku pikirin gitu luh. Yang penting sekarang aku jalanin hidup aku sendiri, sama suami ku, sama anak ku, udah itu aja.”
11
Kebahagiaan dan kepuasan pernikahan DA mengaku sangat yakin dengan keputusannya untuk menikah, dan ia merasa kehidupannya yang sekarang lebih baik dari sebelumnya, dan cukup bahagia serta cukup puas dengan hidupnya yang sekarang walaupun masih memiliki keinginan yang belum tercapai.Walaupun pada kenyataannya hubungan dengan ibu tidak baik, tapi DA tidak ingin memikirkan hal tersebut. “Ya kalok aku sih merasa bener. Ya nanti kalok misalnya, kalok dulu nggak jadi terus bapak ku keluar nggak punya rumah, terus mau tinggal sama siapa. Ya aku sih merasa lebih baiklah, aku dah cukup bahagia dengan kehidupan yang sekarang. Ya kalau puasnya sih ya belum, soalnya masih ada keinginan yang belum tercapai, cuma kalok ngomongin sekarang ya udah cukup lah.” Saat awal pernikahan DA merasakan bahagia dan bingung. DA bingung karena belum begitu bisa memasak, bagaimana harus bersikap, dan bagaiamana melayani suami saat akan bekerja. Selain itu, DA tidak merasakan hambatan atau kesusahan saat awal pernikahan. Kalaupun ada masalah DA selalu berusaha untuk menyelesaikannya dengan cepat agar tidak berlarut-larut. “Yang dirasain? Bingung. Bingung belum begitu bisa masak, terus gimana harus bersikap itu masih bingung dulu. Ya bersikap kayak, ya melayani suami maksudnya melayani dalam hal yang biasa ya nggak nggak melayani yang masalah pribadi gitu enggak. Nyiapin apa, apa, keperluan dia itu kadang agak susah. Dulu kan dia berangkat pagi setengah enam gitu kan bawa nasi bekal dari rumah kadang masih kesiangan, kadang masih gimana kayak gitu. Kaget lah bahasanya, kaget.” Setelah menikah dan berkeluarga DA merasa lebih dewasa setelah menjalankan pernikahan. Dari segi batin, mengatur keuangan, mengatasi masalah, mengatur diri sendiri, dan dalam menjaga sikap. “Kita kalok ngatasi masalah ya alhamdulillah selalu apa, selalu berhasil gitu lah, alhamdulillah berhasil lah, ya. Ya, selalu ada jalan keluarnya. Belum, justru perubahannya ya sekarang-sekarang ini. Lebih dewasa mungkin kalok akunya. Ya dalam hal keuangan, terus sikapnya, ya cara menghadapi masalah gitu. Lebih ngerti’ ajalah harus gimana gitu.”
12
Menjadi seorang ibu di usia muda DA memiliki satu anak berusia 3 tahun. DA merasa semakin bahagia dan sangat menikmati peran sebagai ibu setelah memiliki anak. Selain itu juga, semakin dewasa dan dalam mengasuh anak DA dan suami selalu bergantian atau bekerjasama dengan baik. “Setelah punya anak ya tambah bahagia aja, ya tambah lebih dewasa, menikmati jadi ibu lah. Kalok masalah yang ngasuh anak ya bareng-bareng, kalok aku lagi megang apa anakku minta apa ya dia yang suami ku yang ngasih gitu lah, ya pokoknya bareng-barenglah bagi tugas. Ya... rumahnya jadi rame, terus keluarganya kita jadi tambah seru, tambah kompak lah, dan kasih sayangnya juga lebih terasa gitu .Ya pastinya tambah bahagia” DA sering mengalami kesulitan dalam mengasuh anak, karena DA masih muda dan masih belum tahu (berpengalaman). Untuk mengtasinya biasanya DA bertanya kepada keluarga atau tetangga yang lebih berpengalaman. “Ya sering sih, soalnya kan umur ku masih muda kan jadi ya gag anu gitu. Belum tau lah, ya belajar aja tanya-tanya sama orang gimana biasanya kalok anak tu kayak gini, kayak gini, misalnya sakit atau gimana gitu, ya tanya-tanya orang aja nantikan di ambil saran mana yang baik, nanti di terapkan gitu. Gitu sih aku biasanya.” “Ya... ya itu sih seringnya kesulitannya pas sakit, atau pas nggak mau makan, atau gimana gitu kan. Ya tanya-tanya aja sama orang-orang yang udah berkeluarga lama gitu kan biasanya mereka udah berpengalaman.” Walaupun DA ingin bertanya kepada ibu DA saat menemukan kesulitan setelah menikah atapun saat menemukan kesulitan dalam mengasuh anak.DA selalu mengurungkan niatnya tersebut, karena dari awal ibu DA sudah memperingatkan DA agar tidak usah bertanya apabila menemukan kesulitan, oleh karena itu DA lebih memilih bertanya kepada saudara yang lain ataupun tetangga.
13
Perencanaan masa depan Untuk masa depan banyak hal yang DA inginkan dan DA capai, salah satunya menaikan Haji orang tua DA, dan untuk keluarga inti mendidik anak, memiliki rumah sendiri, kehidupan sendiri, tidak ada masalah, kehidupan yang baik, serta kehidupan yang cukup (tidak berlebihan). “Naikin Haji bapak ku, belum bisa.Ya bapak ibu lah belum bisa... yang terpenting itu lah. Kalok keluarga inti ya pastinya pengen punya ruamah sendiri, terus pengen punya kehidupan sendiri gitu lah.” Untuk mencapai hal tersebut DA dan suami telah memiliki beberapa cara atau usaha, yaitu menabung ataupun rencana DA yang ingin membuat sebuah usaha, dan yang telah dilakukan adalah berinvestasi tanah, karena suami dan DA berpikir apabila suatu saat tiba-tiba memerlukan uang untuk keperluan yang mendesak mereka bisa menjual tanah tersebut. Dan hal sama yang diungkapkan DA mengenai hidup ideal yang DA harapkan, yaitu kehidupan yang berkecukupan, memiliki rumah sendiri, kendaraan, bahagia lahir-batin, dan DA yakin hal tersebut akan tercapai karena, DA dan suami memiliki visi misi hidup yang sama. “Sebenernya ya selalu berusaha kayak nabung, atau aku bikin usaha apa gitu. Investasi mungkin... investasi, kemaren aku kan habis beli tanah aku. Ya... nggak bikin rumah cuman buat investasi aja kan misalnya kalok kita beli sekarang beberapa tahun lagi kan mahal, jadikan misalnya kepepet perlu uang buat apa gitu kan bisa di jual juga.” PEMBAHASAN Pernikahankadang-kadangterkutuksebagaiboladanrantai, dan kadang-kadangdipuji sebagaisukacitaselamanya. Tidak sepertiuang, yangmemiliki paling banyakefek yang kecil, pernikahan paling kuat memilikiketerkaitan denganhappiness (Seligman, 2002). Partisipan sendiri lebih memilih untuk menikah daripada melanjutkan kuliah, yang berakibat terjadinya konflik antara partisipan dan ibu. Santrock (2011) menjelaskan bahwa pada usia remaja konflik dengan orang tua sering kali meningkat di
14
remaja awal, masih tetap berlangsung selama SMA, kemudian menurun ketika remaja mencapai usia 17 hingga 20 tahun. Meskipun demikian, terdapat pula relasi orangtuaremaja yang diwarnai dengan konflik dalam taraf yang tinggi. Konflik yang lama dan intens itu diasosiasikan dengan sejumlah masalah remaja: keluar dari rumah, kenakalan remaja, putus sekolah, kehamilan dan pernikahan dini, menjadi anggota kelompok tertentu, dan penyalahgunaan obat. Belum adanya penyelesaian terhadap konflik tersebutberujung pada tidak direstuinya pernikahan partisipan hingga saat ini. Konflik yang terjadi antara partisipan dan ibu termasuk dalam konflik yang lama dan intens. Tidak direstuinya pernikahan partisipan, hubungan yang tidak baik antara suami partisipan dan ibu partisipan, serta partisipan yang menghindari percakapan dengan ibu, dan juga partisipan yang tidak mendapatkan arahan dari ibu dalam mengasuh anak ataupun rumah tangga merupakan efek negatif yang terjadi akibat konflik yang lama dan intens tersebut. Hal-hal tersebut memengaruhi terhadap tidak terpenuhinya faktor happiness, yaitu hubungan sosial yang baik. Pengambilan keputusan yang dilakukan partisipan mengenai konflik dengan ibu sesuai dengan model proses-ganda (dual-process model) yang disebutkan oleh Santrock (2011), yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dipengaruhi oleh dua sistem, yaitu analitis dan pengalaman yang saling bersaing. Model proses-ganda ini menekankan bahwa sistem pengalamanlah yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan remaja, bukan sistem analitis. Sama halnya yang terjadi pada partisipan, keputusan yang partisipan ambil untuk tidak terlalu memikirkan konflik dengan ibu dan hanya pasrah serta berdoa, menunjukkan sesuai dengan model proses-ganda. Setelah partisipan dan suami pernah mencoba untuk menyelesaikan konflik tersebut tetapi tidak berhasil, partisipan memutuskan untuk tidak ingin memikirkan masalah tersebut karena
15
tidak ingin stres. Selain itu, karena suami pernah di hina oleh ibu partisipan juga memutuskan tidak ingin mengungkit-ngungkit masalah dengan ibu, partisipan tidak mau jika suami marah dan sakit hati karena hal tersebut. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa pengalamanlah yang sangat memengaruhi pengambilan keputusan partisipan dalam menghadapi konflik dengan ibu. Namun keadaan tersebut tidak sesuai dengan tahapan perkembangan partisipan sebagai seorang dewasa awal. Usia dewasa awal adalah usia seorang individu yang telah mengalami perubahan atau peningkatan perkembangan kognitif yang menjadikannya mampu berpikir secara reflektif dan pascaformal. Keputusan partisipan untuk tidak memikirkan atau tidak menyelesaikan konflik dengan ibu berakibat pada tidak sesuainya hal tersebut dengan tahap perkembangannya yang seharusnya partisipan telah mampu berbikir secara pascaformal. Labouvie-Vief (dalam Papalia, Feldman, & Martorell 2014) mengungkapkan pemikiran pascaformal merupakan pemikiran yang bersifat relatif. Seperti berpikir reflektif memungkinkan individu dewasa untuk melampaui sistem logika tunggal dan mencoba berdamai atau memilih diantara konflik yang ada atau tuntutan, masing-masing dari perspektif ini, bisa menjadi sebuah kebenaran valid. Kebahagian dan kepuasan yang partisipan rasakan setelah memasuki kehidupan pernikahan, menunjukkan bahwa kehidupan pernikahan yang partisipan jalani telah memenuhi dua aspek sosial yang saling berhubungan yang mampu meningkatkan kesehatan fisik maupun psikis pada usia dewasa awal yang diungkapkan oleh Cohen (dalam Papalia, Feldman, & Martorell 2014), yaitu integrasi sosial dan dukungan sosial. Menurutnyaintegrasi sosial merupakan keterlibatan aktif dalam berbagai hubungan sosial yang luas, aktivitas dan peran (pasangan, orang tua, keluarga, teman kerja,
16
kerabat, dan lain-lain).Jaringan sosial dapat memengaruhi kesejahteraan emosi begitu juga partisipasi dalam perilaku yang sehat. Sedangkan, dukungan sosial mengacu pada sumber-sumber materi, informasi, dan sumber daya psikologis yang berasal dari jaringan sosial, tempat individu dapat bertumpu pada bantuan dalam bertahan yang berhubungan dengan stres. Walaupun konflik yang terjadi antara partisipan dan ibu masih berlangsung, tapi kehidupan pernikahan yang partisipan jalani memiliki peran yang besar terhadap kebahagiaan dan kepuasan hidup partisipan. Sehingga menunjukkan bahwa aspek integrasi sosial dan dukungan sosial yang partisipan butuhkan didapatkan atau telah dipenuhi oleh kehidupan pernikahan partisipan. Belum mampunya partisipan untuk mengontrol emosinya berakibat pada yang partisipan sering membentak anak apabila anak melakukan kesalahan atau keras kepala, seperti dalam hasil observasi yang peneliti lakukan. Melihat usia partisipan sekarang yang telah menginjak usia dewasa awal, belum mampunya partisipan mengontrol emosi juga menunjukkan bahwa partisipan belum berhasil mencapai usia perkembangan yang seharusnya, yaitu usia dewasa awal. Usia dewasa awal seorang individu memiliki keterampilan yang disebut dengan kecerdasan emosi (EI)menurut Salovey dan Mayer (dalam Papalia, Feldman, & Martorell 2014), yang mengacu pada empat keterampilan yang saling berhubungan. Kemampuan untuk melihat, menggunakan, memahami, dan mengelola atau mengatur emosi (milik kita sendiri atau orang lain) sehingga dapat mencapai tujuan. Kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk memanfaatkan emosi untuk menghadapi lingkungan sosial secara lebih efektif. Hal ini membutuhkan kesadaran mengenai tipe-tipe perilaku yang sesuai dalam suatu kondisi sosial.
17
Belum mampunya partisipan mengontrol, mengelola ataupun mengatur emosi ini sangat memengaruhi keterlibatan partisipan dalam mengasuh anak. Seligman (2002) menyebutkan bahwa dalam keterlibatan memerlukan semua sumber daya kognitif dan emosi yang membentuk pikiran dan perasaan, belum mampunya partisipan mengontrol emosi mengakibatkan emosi negatif yang sering ia tunjukkan atau gunakan ketika mengasuh anak. Seligman (dalam Swart&Rothman, 2012) juga menjelaskan bahwa salah satu acuan dari happiness adalah seringnya emosi positif dan rendahnya emosi negatif. Seringnya emosi negatif yang partisipan munculkan membuatnya belum mampu memenuhi acuan dalam happiness tersebut. Partisipan juga memiliki banyak hal yang ingin dicapai di masa depan.Halini sangat sesuai dengan tahap perkembangan partisipan pada usia dewasa awal menurut Schaie (dalam Papalia, Feldman, & Martorell 2014), yaitu tahap pencapaian. Dewasa muda tidak lagi memperoleh pengetahuan yang tidak hanya untuk memenuhi keinginan mereka semata, mereka menggunakan apa yang mereka tahu untuk mencapai tujuan, seperti karier dan keluarga. Partisipan sendiri sangat yakin dan optimis dengan tujuannya, percaya dengan perencanaan masa depannya, dan percaya diri bahwa ia mampu mewujudkan apa yang telah ia rencanakan dengan usaha-usaha yang telah ia dan suami lakukan. Keyakinan dan rasa optimis partisipan terhadap tujuan hidupnya menghasilkan harapan-harapan yang ingin partisipan dan suami capai, sehingga dari harapan-harapan tersebut partisipan dan suami berusaha untuk memenuhinya, adapun usaha-usaha yang telah partisipan dan suami lakukan adalah berinvestasi tanah ataupun rencana partisipan untuk membuka sebuah wirausaha sendiri, serta menabung. Partisipan percaya dengan
18
perencanaan tersebut, dan percaya diri akan usaha-usaha yang dilakukan karena partisipan mengaku memiliki visi dan misi yang sama dengan suami. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, penelitian ini memperoleh kesimpulanbahwa partisipan merupakan seorang yang cukup bahagia,penerimaan partisipan terhadap perannya sebagai seorang istri dan ibu pada usianya yang masih muda memengaruhi kebahagiaan dan kepuasan hidup partisipan dalam pernikahan, dan hal tersebut juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif dan emosi partisipan. Partisipan mulai berpikir secara dewasa, dan mulai memikirkan hal-hal yang diprioritaskan setelah berkeluarga, yaitu perencanaan masa depan, serta usaha-usaha apa saja untuk dapat mewujudkan perencanaan tersebut. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa partisipan merupan seorang yang belum mampu menuju kebahagiaan yang sempurna. Partisipan mengalami kesulitan dalam hal mengontrol emosi, hal tersebut terlihat saat partisipan mengasuh anak sehari-hari. Belum terselesaikannya konflik antara partisipan dengan ibu memiliki pengaruh negatif terhadap kehidupan partisipan hingga saat ini. Pengaruh negatif tersebut anata lain, tidak baiknya relasi partisipan dan suami dengan ibu, kurangnya kemampuan partisipan dalam mengahdapi kesulitan-kesulitan ketika berkeluarga maupun mengasuh anak akibat tidak adanya arahan dari ibu, dan konflik-konflik dalam keluarga yang sulit terselesaikan.
19
B. Saran 1. Bagi peneliti selanjutnya Penulis sadar bahwa hasil penelitian ini jauh dari sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan, oleh karenanya bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut, penulis menyarankan beberapa hal dibawah ini. Pertama, dalam penelitian ini penulis kesulitan dalam menemukan partisipan dengan kriteria yang ada, sehingga penulis hanya menggunakan satu partisipan. Penulis juga menyarankan agar peneliti selanjutnya dapat meneliti tidak hanya pernikahan dengan usia remaja, bisa saja pernikahan dengan usia dewasa yang juga tidak mendapatkan restu orang tua atau konflik tertentu dengan orang tua yang masih belum terselesaikan. Kedua, peneliti juga bisa membandingkan antara pernikahan remaja yang tidak mendapatkan restu orang tua dengan pernikahan remaja yang mendapatkan restu orang tua dan bagaimana kaitannya terhadap happiness. Selain itu, peneliti juga bisa memberikan tingakatan usia yang lebih bervariasi, seperti remaja awal, pertengahan, ataupun usia-usia dewasa atau usia matang. 2. Bagi partisipan Berkaitan dengan happiness, penulis mengharapkan partisipan mampu meningkatkan emosi positif dan menurun emosi negatif, yang berkaitan dengan kehidupan sosial partisipan, terutama relasi partisipan dengan ibu. Diharapkan juga partisipan mampu menyelesaikan masalah tersebut dan mampu mengendalikan keadaan menjadi semakin lebih baik demi hubungan yang harmonis antara anak dan ibu.
20
Selain itu, ketidakstabilan partisipan dalam hal emosi menunjukkan bahwa partisipan belum mampu menyelesaikan fase usia perkembangan yang seharusnya, sehingga diharapkan partisipan mampu berpikir secara lebih matang dalam pengambilan keputusan ataupun ketika partisipan menghadapi dan mengasuh anak. 3. Bagi remaja yang belum menikah dan yang telah menikah dengan kasus yang sama Bagi para remaja yang belum menikah diharapkan untuk lebih berpikir secara kritis mengenai efek-efek dan akibat-akibat yang akan dihadapi ketika pada usia yang masih remaja telah memiliki kehidupan pernikahan. Banyak hal yang masih bisa dilakukan apabila seorang remaja tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan mereka, misalnya bekerja. Saat ini begitu banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh remaja pada usia remaja akhir atau usia lulus SMA, tidak harus dengan pendidikan tinggi banyak lapangan pekerjaan yang masih mencari kriteria sebatas lulus SMA. Bagi para remaja yang berada pada situasi dan masalah yang sama seperti topik penelitian ini, diharapkan mampu berpikir secara kritis ketika menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan konflik keluarga serta diharapkan mampu lebih mengendalikan emosi ketika mengalami kesulitan dalam hal pengasuhan anak. Selain itu, diharapkan mampu menghadapi masalah atau memandang masalah dari berbagai macam sudut pandang, agar berpengaruh positif terhadap pengambilan keputusan yang akan memengaruhi keberlangsungan kehidupan serta relasi antarkeluarga yang harus selalu dijaga.
21
4. Bagi orang tua Pengarahan yang tepat kepada anak memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam hal pengambilan keputusan bagi anak pada usia remaja. Usia remaja merupakan usia bagi individu untuk mengambil keputusan bagi hidup mereka selanjutnya, oleh karena itu arahan yang tepat dari orang tua juga berperan penting. Relasi yang baik dengan anak juga memiliki pengaruh yang kuat bagi keberlangsungan kehidupan selanjutnya bagi orang tua maupun anak sendiri, sehingga sangat perlu untuk menyikapi berbagai konflik dengan bijak dan dan lebih berpikir secara kritis agar terhindar dari konflik yang intens dan berkepanjangan. DAFTAR PUSTAKA Meleddu, M., Guicciardi, M., Scalas, F. L., & Fadda, D. (2012). Validation of an Italian version of the Oxford happiness inventory in adolescence. Journal of Personality Assessment, 94(2), 175–185.
Papalia, D. E., Feldman, R. F., & Martorell, G. (2014). Menyelami perkembangan manusia. Jakarta: Salemba Humanika.
Peterson, C., & Park, N., & Seligman, M. E. P. (2005). Orientations to happiness and life satisfaction: The full life versus the empty life. Journal of Happiness Studies, 6, 25-41.
Philip, F. R. (2008). The adolescent: Development, relationships, and culture(12th ed).USA: Pearson Education, Inc.
Seligman, M. E. P. (2012). Beyond authentic happiness: Menciptakan kebahagiaan sempurna dengan psikologi positif.Bandung: Kaifa.
22
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment.USA: Simon & Schuster, Inc.
Santrock, J.W. (2011). Life-span development (edisi ke 13 buku 1).Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2012). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: CV.Alfabeta.
Swart, J., & Rothman, S. (2012). Authentic happiness of managers, and individual and organisational outcomes. South African journal of psychology,42(4), pp. 492-508.
Uecker, E. J. (2014). Religion and early marriage in the United States: Evidence from the add health study. Journal for the scientific study of seligion, 53(2):392-415.
Undang-Undang Republik Indonesia. (tanpa tanggal). 1974tentang perkawinan. Diambil 2 Oktober, 2015, dari http://search.mahkamahkonstitusi.go.id/mkges/gesResult
Veenhoven, R. (2006). How do we assess how happy we are? Tenets, implications and tenability of three theories. Paper presented at conference on New Directions in the Study of Happiness: United States and International Perspectives; University of Notre Dame, USA.