Kajian Utama
Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struktural Eko Cahyono
Abstrak Tulisan ini menguaraikan dan menganlisa persoalan konflik “vertikal” antara masyarakat di sekitar/dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) dan para pendukungnya, beserta proses pemiskinan masyarakat disekitar dan dalam kawasan TNUK. Persoalan konflik dan kemiskinan struktural yang terjadi di sekitar kawasan TNUK akan sajikan dalam perspektif struktural; guna menemukan ketidakadilan struktur sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan rejim pengelola dan penguasa TNUK. Tulisan ini diakhiri dengan refleksi teoritik proses marjinalisasi masyarakat sekitar kawasan taman nasional demi dan atas nama kepentingan konservasi.
“Di Ujung Kulon tidak ada Hak Asasi Manusia (HAM)... Yang ada hanyalah Hak Asasi Badak (HAB).....” Abah Suhaya, (Sesepuh Kampung Legon Pakis)
H Eko Cahyono, Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB), pegiat, peneliti dan pengurus Badan Eksekutif Sajogyo Institute (SAINS) Bogor dan asisten pengajar di FEMA-IPB.
ampir sulit ditolak bahwa keberadaan Taman Nasional di seluruh Indonesia, yang berjumlah 50an lembaga1 melekat di dalamnya konflik. Dalam batas kasus tertentu, terkait dengan konflik sosial yang muncul di sekitar kawasan Taman Nasional, kerap berujung menjadi persoalan konflik agraria2. Adalah rahasia umum, bahwa konflik sos-
1
Sebagian materi pada tulisan ini merupakan ekstraksi dan pengembangan dari tesis penulis di IPB, tahun 2012.
Berdasarkan “Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia”, Departemen Kehutanan di Indonesia, 2007. 2
Jika dilihat dari faktor penyebab konflik, merujuk pada Wiradi (2000), maka , kasus konflik di Taman Nasional disebabkan oleh ketiga incompa7
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
ial kehutanan merupakan persoalan lama yang menjadi bagian dari pengelolan hutan di Indonesia. Bahkan menurut Lisman Sumardjani (2007, v), jika dilacak lebih jauh sudah bermula sejak awal industri kehutanan didesain. Sebab, saat Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diencanangkan pada awal 1970an, para pejabat kehutanan saat itu berasumsi bahwa hutan di seluruh Indonesia bebas masalah. Sehingga saat konsesi pengusahaan hutan diberikan, pertimbangan keberadaan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan, tidak sempat difikirkan, atau sengaja diabaikan. Padahal hutan bukan hanya suatu tegakan kayu dan kehidupan fauna di dalamnya. Hutan merupakan suatu ekosistem sosial politik yang merupakan medan tempur berbagai kepentingan sumber daya alam. Pada saat UU no 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria di tetapkan, memang telah menyebutkan bahwa hak mengusai negara atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan di dalamnya dapat di kuasakan kepada pemerintah pusat, pebilities yang saling berkelindan. Menurut Wiradi (2000) konflik agraria bersumber dari kenyataan ketimpangan (incompatibilities), dalam kasus Indonesia setidaknya terdapat tiga macam ketimpangan menyangkut sumber-sumber agraria yang memenuhi hajat hidup orang banyak; (1) Ketimpangan dalam hal struktur ‘pemilikan dan penguasaan’ tanah; (2) Ketimpangan dalam hal ‘peruntukan’ tanah; (3) Ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Wiradi, Gunawan Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan KPA; 2000). 8
merintah daerah dan masyarakat adat. Tetapi, dalam kenyataannya hak menguasai tersebut hanya diberikan kepada pemerintah pusat dan daerah. Mengabaikan, masyarakat lokal sebagai salah satu pilar penting dalam pengelolaan hutan Taman Nasional. Akibatnya, ketika muncul konflik, para ‘rimbarawan’, pengelola Taman Nasional, pemangku kepentingan dan Pihak Pemerintah yang terkait, tidak siap dan kebingungan mengantisipasinya. Konflik-konflik yang terkait dengan usaha untuk mengklaim ha-haknya atas tanah, sumberdaya hutan dan industri kehutanan—dengan pemerintah meningkat secara konsisten sepanjang limabelas tahun terakhir (Fern 2001; Kusworo 2000). Masih kuatnya pengelolaan hutan berbasis paradigma eko-politik pembangunanisme menempatkan hutan dan Taman Nasional hanya sebagai sumber daya alam yang mempunyai nilai dan manfaat ekonomis semata. Dalam pandangan ini pengelolaan hutan sebagai sumber daya ekonomis dapat digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan pembangunan dengan ideologi ‘pertumbuhan ekonomi’ yang abai samasekali dengan dimensi kompleks dari kehidupan sosial, budaya dan lokalitas. Akibat dari model pengelolaan hutan dengan ideologi pembangunanisme yang berpangku pada pertumbuhan ekonomi, menjadikan korban sosial dan ekologis berjatuhan.3 3
Endriatmo Sutarto, Pengatar dalam, Sutaryono,
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Ketidakpastian penguasan dan kepemilikan atas tanah bagi masyarakat maupun industri menyumbang kepada degradasi lahan dan hutan serta, pada banyak kejadian, menyebabkan terjadinya kekerasan. Secara umum, nuansa konflik yang bersifat vertikal antara warga yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional dengan pihak Pemerintah dalam hal ini direpesentasikan oleh pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) jauh lebih banyak, daripada yang bernuansa horisontal antar warga pemukim kawasan. Diantara sebagaian besar dari konflik-konflik vertikal tersebut lebih terkait dan bersumber pada persoalan perubahan akses akibat penentuan kebijkan garis batas resmi (zonasi) yang telah dilegalkan oleh pemerintah yang berakibat pada perubahan sosial-ekonomi dan ekologis di sekitar pemukiman kawasan Taman Nasional.4 Meskipun kadar perubahan, kerusakan dan trajektori konfliknya memiliki karakteristik dan alurnya yang beragam. Dalam bahasa lain, pandangan yang mirip dengan argumen diatas diajukan oleh Arnoldo Contreras (2006:9). Menurutnya jantung permasalahan tersebut adalah ketidakpastian ‘aturan main’ yang ditetapkan Pemberdayaan Setengah Hati; Sub Ordinasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan, (Yogyakarta: LAPERA UTAMA dan Sekolah Pertanahan Nasional [STPN], 2008). hlm, vi. 4
Soeryo Adiwibowo dkk, Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, (Bogor: Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, 2009), hlm. 3.
Politik Sumberdaya Alam
oleh Departemen Kehutanan. Lembaga negara ini, menurutnya, telah mengklaim kewenangannya atas sebagian besar wilayah Indonesia, tetapi lanjut Orlando, lembaga ini tidak mampu menunjukkan kemampuannya mengelola wilayah yang luas tersebut serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan dan pengelolaan yang dibutuhkan baik oleh masyarakat setempat maupun industri kehutanan. Dengan kata lain, keberadaan pemukiman dan pertanian di dalam kawasan Taman Nasional dan Konservasi yang telah di kukuhkan negara, yang selanjutnya menimbulkan konflik vertikal antara masyarakat dan Balai Taman Nasional, dipandang sebagai pertarungan untuk akses terhadap sumber daya. Di sisi lain, penanganan masalah yang dilakukan, kerap bersifat reaktif sesaat, kasuistik, bahkan seringkali represif, bukan lanagkah dan tindakan strategis, menyeluruh dan berkesinambungan. Tak mengherankan jika persoalan kembali muncul secara fluktuatif; timbul tenggelam menunggu momen, bagai bara dalam sekam yang menunggu pemantiknya saja. Hal ini dapat menjadi salah satu indikasi dari terabaikannya simpul dasar persoalan yang melatarinya yaitu tata kelola dan penguasaan agraria yang adil demi kesejahteraan dan kemakmuaran rakyat, sebagaimana di amanatkan UUD 45 pasal 33. Proses pengendapan ketidakselesaian simpul dasar persoalan ini menyebabkan ketidakadilan agraria yang berlarut 9
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
yang akut, serentak dengan itu proses pemiskinan masyarakat di sekitar kawasan pun terjadi hari demi hari. Maka dengan gamblang dapat difahami, jika ketidakadilan penguasaan sumber-sumber agraria terus berlangsung; hanya dinikmati segelintir atau berpusat pada kelompok kecil masyarakat, jelas bahwa proses akumulasi modal dan kekayaan (dalam makna luasnya) pun juga demikian. Hal itu berarti, kelompok masyarakat lain, yang tak punya ‘kuasa agraria’ (petani gurem, buruh tani, petani miskin, tunakisma dll) mengalami proses pemiskinan yang turun temurun. Jika sumber agraria yang dikuasai secara tidak adil itu adalah kawasan sumberdaya hutan konservasi di dalam Taman Nasional, maka masyarakat di dusun dan desa disekitar kawasan itulah yang mendapat dampak proses pemiskinan lebih dahulu sebelum menyebar ke wilayah daerah yang lebih jauh. Seperti itulah gambaran umum yang terjadi pada masyarakat di beberapa dusun sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Pandeglang-Banten. Dalam proses panjang negoisasi berulang yang masih terus berlangsung hingga sekarang ini, masyarakat yang bermukim di dusun-dusun disekitar kawasan TNUK bertahan dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Masih minimnya dan daya jangkau warga disekitar kawasan, khususnya warga dusun Legon Pakis (salah satu pedusunan terdekat dan ber-
10
batasan langsung dengan batas TNUK, selain dusun lain seperti Cikawung Girang dan Cikawung Sabrang, ketiganya bagian dari desa Ujung Jaya Kec. Sumur-Pandeglang) terhadap fasilitas dasar kebutuhan hidup seperti; ketersediaan air bersih (masih sedikit warga yang memiliki sumur sendiri), tempat tinggal layak huni (rata-rata baratap jerami/ alang-alang), ketiadaan sanitasi yang baik ( mayoritas warga tidak punya MCK, bergantung pada alam terbuka) dan akses kesehatan yang belum tersedia (sekitar 40 Km untuk ke Puskesmas setempat), menjadikan warga dusun hidup dalam standar di bawah garis kemiskinan, baik di ukur dalam indikator batas kilogram beras ala Sajogyo, ukuran kalori BPS, apalagi dalam ukuran dua dolar per hari ala Bank Dunia. Tulisan ini hendak menjawab dan menguraikan dua persoalan utama; pertama, bagaimanakah asal mula terbentuknya konflik vertikal (Pemerintah/Taman Balai TNUK dengan Warga) di sekitar kawasan TNUK? Kedua, bagaimanakah pengaruh konflik pada proses pemiskinan pemukiman warga di dusun-dusun sekitar kawasan TNUK?
PERSPEKTIF KONFLIK DAN KEMISKINAN Beragam pandangan dan perspektif dalam teori konflik. Namun menurut Nasikun (1995) conflic approuch dapat dikelompokkan menja-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
di dua kelompok pedekatan yang lebih kecil yaitu, Strukturalist–Marxist dan Strukturalist-Non-Marxist. Jika kelompok pertama melandaskan pemikirannya pada teori Marxian dan para pengikutnya, sementara kelompok kedua pada kelompok pemikiran yang awalnya melakukan reaksi terhadap aliran fungsianolisme struktural, namun pada level yang lebih kritis. Atau merujuk Ritzer dan Goodman (2004), teori kritis merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Karenanya, seperti kalangan fungsionalis, ahli teori konflik juga berorientasi ke studi struktur dan institusi sosial. Tidak banyak kelompok pemikiran teori konflik yang berlawanan secara langsung dengan pendirian fungsionalis. Dahrendorf (1958, 1959) oleh Ritzer dan Goodman (1994) disebut sebagai salah satu teoritikus konflik yang menjadi antitesis terbaik atas fungsionalis. Ia berusaha mensejajarkan teori konflik dan teori fungsionalis untuk melihat perbedaan mendasar dari keduanya. 5 Menurut 5
..para teoritikus fungsonalis melihat masyrakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan seimbang, sementara menurut teori konflik masyarakat setiap saat tunduk pda proses perubahan. Fugsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, teoritisi konflik melihat elemen kemasyarakatan menunyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secra formal diikat oleh norma, nilai
Politik Sumberdaya Alam
Nasikun (1995) terdapat empat hal ciri pendekatan konflik, yaitu: 1) Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkatan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. 2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan kata lain, adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. 3) Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. 3) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang lain.Pada point terakhir ini dalam penjelasan bahasa Marx disebut dengan perbedaan kelas sosial.6 Kelas sosial inilah yang menu-
dan moral. Teoritisi konflik melihat apa pun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh merek ayang berada di atas. Fungsonalis memusatkan pehatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat, sedangkan teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.......Menurut funsionalis, sistem sosial dipersatukan dengan kerja sama sukarela atau oleh konsesus bersama atau oleh keduanya, teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Lebih jauh lihat, George Ritzer dan Dounglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, (Jakarta: Kencana, 1994)., hlm.153 dan 154. 6
Istilah ‘kelas sosial’ ini menurut Frans Magnis Suseno (1999) tidak didefinisikan secara lugas oleh Marx sendiri dalam karya-karyanya . Seolah-olah istilah ‘kelas’ itu sudah dimengerti dengan sendirinya. Kalau merujuk Lenin, kelas sosial berarti, ‘golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertetu dalam proses produksi. 11
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
rut Marx menjadi pelaku utama perubahan sosial, bukan individu-individu. Dimulai dari proses ketarasingan (aleniasi) masyarakat akibat kepemilikan pribadi alat-alat produksi oleh segelintir orang (yang kemudian disebut Borjuis) yang dengan hak milik tersebut memungkinkan kelaskelas atas hidup dari menghisap tenag-tenaga kerja di bawahnya. Struktur kekuasaan di bidang ekonomi ini dicerminkan dalam struktur kekuasaan di bidang sosial-politik dan ideologi. Kerenanya, menurut Marx kenyataan yang paling menentukan struktur masyarakat dan perkembangannya dalam sejarah adalah struktur kelas-kelas sosial. Kepemilikan pribadi dan kelas sosial bukanlah peristiwa kebetulan, tetapi sebuah keniscayaan manusia untuk mengamankan kepentingan dasar dan memperbaiki kualitas hidupnya. Hubungan antar kelas atas dan bawah adalah merupakan hubungan kekuasaan; yang satu berkuasa atas yang lain. Dan dalam sistem produksi kapitalis kedua kelas ini saling berhadap-hadapan. Maka bagi kelas yang menguasai (hak milik, moda produkPerdebatan yang tentang definisi ‘kelas’ Marx oleh Suseno (1999) disudahi dengan pengertian jalan tengah pragmatis, yaitu disa tu fihak istilah ‘kelas’ digunakan dalam pengertian bahwa setiap golongan sosial yang memiliki kedudukan spesifik dalam proses produksi, tetapi dengan pengertian bahwa ciri sebgai keas baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan tersebut menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebgai kelas. Lihat, Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 111-112. 12
si dan otoritas atau borjuasi) akan akan mempertahan status quo dengan bebagai cara, sedangkan kelas yang di kuasai (proletairiat) sebagai korban penghisapan akan berusaha melaukan perombakan atas stuktur hubungan-hubungan yang tidak adil dan timpang. Dengan demikian kelas sosial yang selalu melekat dalam kondisi masyarakat inilah penentu perubahan sosial. Semakin pertentangan itu tajam, sangat mungkin berpengaruh pada sebarapa revoluisoner perubahan yang akan terjadi. Menurut teori konflik perubahan sosial tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam setiap kehidupan masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu malahan diangap ‘bersumber’ di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat sendiri, suatu hal yang kurang diperhatikan oleh pendekatan funsionalisme struktural. Bagi Dahrendoft (1959), konflik muncul bersumber dari kenyataan akan adanya unsur-unsur dalam setiap masyarakat yang saling bertentangan. Kontradisksi intern tersebut bersumber pada pembagian kewenangan atau otoritas (authority) yang timpang dan tidak merata7. Prinsipn7
Merujuk penjelasan Nasikun (1995) bahwa istilah authority diartikan menurut Weber yang berbeda dengan istilah power. Yang pertama diartikan sebagai perintah-perintah seseorang, di dalam posisi atau kedudukan tertentu, diikuti oleh sekelompok orangorang tertentu satu dengan kata lain, authority bersumber atau melekat dalam kedudukan orang yang memilikinya, sedangkan power bersumber pada kepribadian seseorang. Lihat, Nasikun, Sistem Sosial di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 17.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
ya otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi melekat di dalam sebuah posisi. Otoritas secara tersirat menyatakan supetordinasi dan dan subordinasi, sebab di setiap asosiasi otoritas bersiaft dikotomis yaitu; kelompok yang memiliki otoritas (kelompok atas) dan kelompok suborninat (kelompok bawah) yang di kendalikan dan dikuasai. Dan yang menentukan konflik tersebut adalah kepentingan. Dengan demikian, menurut teori konflik di dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau mengukuhkan status quo dari pola-pola hubungan yang ada, dan kelompok mereka yang tidak memiliki kekuasaan yang otoritatif berupa kepentingan untuk merubah atau merombak status quo dari pola hubungan-hubungan tersebut ke arah yang lebih adil. Karena kepentingan yang terjadi melekat dan tidak disadari oleh masyarakat maka ia disebut dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat laten (latent interest) Dahrendoft (1959: 180) membagi dua kelompok yang terlibat dalam kepentingan ini; pertama, kelompok semu (quasi group); sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama. Disebut semu mengingat kenyataan bahwa pola-pola hubungan yang berkembang di antara para anggotanya terbentuk melalui proses yang tidak mereka sadari. Kedua, kelompok ke-
Politik Sumberdaya Alam
pentingan (interst group), yaitu: perwujudan dan pengembangan dari kelompok semu akibat dari kesamaan kepentingan dan mode tingkah laku mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok semu merupakan sumber dari kelompok kepentingan berasal. Sementara soal definisi akses yang digunakan pada tulisan ini lebih menunjuk pada Ribot dan Peluso (2003:1) yang mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu (“the right to benefit from things”). Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (“ bundle of raights”). Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumber daya termasuk di dalamnya dalah properti tetapi tidak terbatas pda relasi propertinya saja. Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso ini, diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomipolitik yangterhimpun sedemikian 13
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
rupa membentuk ‘bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (“web of powers”) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda.8 Sedangkan teori kemiskinan yang digunakan dalam pengertian ini adalah merujuk pada makna kemiskinan struktural. Sebagaimana dijelaskan oleh Selo Sumardjan (1980) bahwa kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang di derita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber-sumber penda-patan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Salah satu golongan yang termasuk di dalamkategori ini adalah para buruh dan kaum tani tak bertanah (landless) atau petani pemilik tanah kecil/gurem yang tak mam8
Nancy L. Peluso, Jesse C Ribot, (2003) “A Theory of Access”. Rural Sociology. June 3, 2003. 14
pu mencukupi kebutuhan dasarnya, golongan buruh tak terpelajar/terlatih atau biasa disebut unskilled laborers dst. Umumnya mereka sadar akan nasibnya yang bebeda dengan golongan lain yang lebih baik9. Diantara golongan kaum miskin tersebut mungkin ada yang mau melepaskan diri dari belenggu kemisinannya dan mengusahaan kehidupan yang secara ekonomis lebih memuaskan, akan tetapi keinginan itu hanya dapat dicapai secara individual dan dengan usaha yang melebihi kemampuan rata-rata dimiliki oleh para anggota lain dalam golongan itu. Sebagai golongan maka sukar bagi mereka untuk meningkatkan taraf kehidupan para anggotanya secara menyeluruh.
9
Dalam kategorisasi yang dibuat oleh Bayu Krisnamurthi, kemiskinan terbagi menjadi enam kondisi; 1) Kemiskinan Absolut. Terjadi bila seseorang, sekeluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatannya atau pengeluarannya berada dibawah suatu batas minimal tertentu untuk dapat hidup layak sebagai manusia. Batas tersebut disebut dengan ‘garis kemiskinan’. 2) Kemiskinan Relatif. Terjadi bila seseorang, sekeluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatannya atau pengeluarannya lebi rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran masyarkat sekitarnya. 3) Kemiskinan Kronis (chronic) atau Struktural. Terjadi jika kondisi kemiskinan yang terjadi berlangsung terus-menerus dalam jang waktu yang lama. 4) Kemiskinan Sementara (Transitory) atau ‘accidental’. Terjadi akibat adanya perubahan atau ‘shock’ yang mengakibatkan seseorang, keluarga atau masyarakat berubah dari tidak miskin menjadi miskin. 5) Kemiskinan Massal. Terjadi jika sebagian besar dari masyarakat mengalami kemiskinan. 6) Kemiskinan Individual. Terjadi jika hanya beberapa orang atau sebagian kecil masyarakat mengalami kemiskinan. Lihat, Yoyoh Indaryanti (Ed.) 22 Tahun studi Pembangunan. Pengurangan Kemiskinan, Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian, (Bogor: PSP3 dan LPPMIPB, 2006), hlm.177.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Suatu usaha yang dapat memberi keuntungan pada seseorang belum tentu dapat diperluas agar dapat menguntungkan seluruh golongan secara permanen.10 Tulisan ini membatasi dan lebih memfokuskan pada sejarah konflik dan proses pemiskinan yang akibat kebijakan dan pengelolaan TNUK terhadap masyarakat yang tinggal di dusun sekitar kawasan TNUK khususnya di dusun Legon Pakis, dan menyinggung Cikawung Sebrang dan Cikawung Girang kec. Sumur- Pandeglang Provinsi Banten.
Politik Sumberdaya Alam
laan sumberdaya hutan, pengelolaan akses atas hutan12, transformasi kebijakan kehutanan13, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan14, konflik sosial15 hingga sengketa agraria16,
a. Sekilas Tentang TNUK dan Dusun-dusun Pemukiman di sekitarnya Sejak jaman Belanda, wilayah yang saat ini dikukuhkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Gunung Halimun-Salak (National Park Management Project), 2007. 12
POTRET KONFLIK TAMAN NASIONAL DAN KEMISKINAN Hubungan Taman Nasional di seluruh Indonesia beserta dampak dan pengaruhnya pada masyarakat di sekitar kawasan hutan telah lama menjadi objek kajian menarik dari berbagai macam studi dan penelitian. Beragam tema kajian dan pendekatan muncul mengikuti kompleksitas persoalan yang tercipta dalam hubungan dan dampak dari keduanya, yang menjulur dari persoalan penataan batas wilayah, konservasi11, pengelo-
10
Lebih jauh lihat, Alfian, Mely G Tan, Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural; Suatu Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS) dan HIPIS Jakarta, 1980), hlm 5. 11
Dalam persoalan ‘konservasi’ ini, khususnya pengalaman pelaku “orang dalam” (insider), dapat di lihat lebih jauh, buku, Banjar Yulianto Laban, Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah 20002002, yang diterbitkan atas kerjasama JICA dan
Soeryo Adiwibowo dkk, Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor 2009. 13
Lebih jauh hasil riset dari Hariadi Kartodiharjo dalam buku Hariadi Kartidiharjo Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam, Masalah Trnasformasi KebijakanKehutanan, (Jakarta: Kehati, 2007) dapat menjelaskan bagaimana regulasi yang tersedia lebih banyak berwatak eksploitatif atas hutan dan belum sinergis satu dengan yang lain untuk pengelolaan hutan yang berbasis ekologis. 14
Hasil riset tentang Pemberdayaan Masyarakat Lokal di sekitar hutan ini, dapat dilihat dalam buku, Sutaryono, Pemberdayaan Setengah Hati; Sub Ordinasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan, diterbitkan atas kerjasama LAPERA UTAMA dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, 2008. 15
Lebih jauh, laporan hasil riset dalam soal konflik sosial kehutanan ini dapat dilihat salah satunya, karya Lisman Sumardjani, Kehutanan; Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, dicetak oleh Flora Mundial Comminications, 2007. 16
Contoh menarik di tema sengketa desa disekitar hutan adalah ini adalah karya Hary Santoso Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes harian di desadesa sekitar hutan di Jawa, (Damar, Jogjakarta: 2004) dan Nancy Lee Peluso, “Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan sumber daya dan perlawanan di Jawa. (terj.) Landung Simatupang, (Insist Press, Yogayakarta, 2006). 15
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
telah didiami oleh warga 6 desa (Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya) di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Cigorondong pada tahun 1977. Keberadaan masyarakat Desa Ujung Jaya yang terdiri dari 5 kampung: Cikawung Sabrang, Legon Pakis, Cikawung Girang, Sempur, Taman Jaya Girang telah berlangsung turun temurun dengan mengandalkan penghidupannya dari mengolah lahan pertanian (sawah dan kebun). Sebagian besar penduduk hingga saat ini menjadi petani. Dari penuturan masyarakat, Kampung Cikawung Girang, Legon Pakis, Cikawung Sabrang merupakan hadiah (upah kerja) dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah masyarakat melaksanakan kerja pembuatan Lapangan Banteng dan jalan. Secara administratif, Desa Ujung Jaya merupakan hasil dari pemekaran Desa Taman Jaya pada tahun 1982. terdiri dari 3.641 jiwa dengan 869 kepala keluarga, luas desa mencapai 900 Ha, termasuk tanah yang diserobot oleh TNUK. Ujung Kulon diakui memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna. Atas dasar itu kemudian pada tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan Melalui SK. Pemerintah Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921.
16
Tahun 1932, diadakan pengukuran tanah oleh Belanda di Ujung Kulon yang dibuktikan melalui Peta Tanah Milik (PTM) tahun 1935. Kepada warga yang menempati lahan di Desa Ujung Jaya pada saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berbentuk Girik (cap singa) bagi masyarakat. Tahun 1937, Status Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Keputusan No. 17 Juni 1937. Tahun 1958, oleh Kantor Tjabang Pendaftaran Tanah Milik Serang dikeluarkan Surat Tanda Pendaftaran Tanah Milik Indonesia yang dibuktikan melalui sertifikat cap Garuda. Sejak tahun 1965 masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status Kawasan berubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/UM/1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (Pulau Boboko, Pulau Pamanggan). Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16/KPTS/UM/3/1967 tanggal 16 Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas den-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
gan memasukkan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Perluasan areal tersebut juga membuat pemukiman warga sejumlah desa menjadi bagian dari Kecamatan Sumur. Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas. SK. Menteri Pertanian No. 39/KPTS/ UM/1979 tanggal 11 Januari 1979 memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang didiami penduduk yang terbagi beberapa desa di kecamatan Cimanggu kedalam kawasan Cagar Alam. Tahun 1984, Cagar Alam Ujung Kulon yang tadinya dikelola oleh Kehutanan (biasa disebut masyarakat sebagai Bohir) berubah dengan dibentuknya Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha. Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/ Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409.
Politik Sumberdaya Alam
Perubahan bentuk pengelolaan kawasan mulai menimbulkan ketegangan. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunan/ sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan pemukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman nasional menjadi pemukiman yang mula-mula akan direlokasi. Perubahan tapal batas taman nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang awalnya berada di Cilintang, dimana di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, juga ikut dipindahkan. Menurut masyarakat Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah selatan: Cihujan. Masyarakat Legon Pakis sejak itu dipaksa pindah ke Kampung Pamatang Laja. Namun masyarakat tidak bersedia pindah, karena objek relokasi sangat jauh dari tempat asal, tidak terdapat areal pertanian/sawah untuk penghidupan masyarakat dan tanah tidak dapat ditanami. Sejak saat itu, masyarakat yang berdiam di wilayah yang diclaim sebagai kawasan taman nasional mengalami intimidasi, kekerasan dari petugas
17
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
Taman Nasional. Pengadaan listrik secara swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk kebutuhan seharihari, pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian, saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap. Di Legon Pakis, dari 155 KK, jumlah penduduk menyusut menjadi 85 KK akibat masyarakat dilarang menebang pohon yang ditanamnya, dilarang membangun rumah (jumlah rumah dilarang bertambah), sekolah madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah berdiri sejak tahun 1950an harus melalui perundingan yang alot. Tahun 1984 saat program relokasi warga, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim berkunjung ke Legon Pakis. Emil Salim menjanjikan kepada warga untuk tidak langsung menjalankan relokasi sebelum adanya jaminan hidup yang memadai bagi warga (rumah, tanah pertanian, sekolah dsb). Emil Salim menjanjikan akan melindungi warga sebelum jaminan relokasi dipenuhi.17 Meski hingga kini janji itu tetaplah menjadi janji, kemelaratan rakyat tetap terus terjadi.
b. Lintasan Konflik dan Kontestasi Aktor Tepat pada tangal 4 November 2007 terjadi letupan peristiwa konflik di sektitar TNUK. Dimulai dari tertembaknya seorang warga hingga tewas oleh salah seorang petugas Taman Balai TNUK yang kemudian disusul amok dan reaksi aksi massa secara serentak dari beberapa dusun dan desa di sekitar kawasan yang secara spontan merusak 2 motor laut, 3 sepeda motor dan enam pos pengawasaan Taman Nasional Ujung Kulon. Dari peristiwa itu 5 orang warga ditangkapdan di tahan petugas kepolisian, karena dianggap menjadi pelaku utama kerusuhan.18 Dari hasil wawancara dan kajian di lapangan, baik kepada para tokoh maupun masyarakat yang tinggal di perbatasan TNUK19, penulis menge(SAINS) Bogor, 2007-2008, dan pengakuan lisan warga Legon Pakis. 18
Kronologi kasus ini telah di tulis dan disebarluaskan oleh pendamping hukum masyarakat Ujung Kulon, PBHI, dan juga telah sampai di meja KOMNAS HAM Jakarta. Namun pernik-pernik sengketanya masih berlangsung hingga hari ini. Pertengahan bulan Juni lalu, dua orang warga Ujung Jaya di tangkap pihak Balai Taman nasional dengan Pol-Hut nya karena dianggap merambah hutan dan membuka peladangan baru, sekarang masih dalam proses hukum. 19
17
Uraian linbtasan sejarah ini merupakan ringkasan dari berbagai sumber, diantaranya; Laporan Kasus Kekerasan Aparat Kepolisian Taman Nasional Ujung Kulon terhadap Petani dan Sengketa Agraria di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang Banten oleh PBHI Jakarta, Laporan Riset Mandiri dan Pendampingan Konflik Agraria “Masyarakat Sekitar Taman Nasional, yang diprakasai oleh Sajogyo Institute 18
Penulis sempat tinggal bersama (live in) selama tiga minggu lebih di beberapa dusun (Legon Pakis, Cikawung Girang dan Cikawung Sebrang) dan di sekitar kawasan TNUK dalam rangka “Riset Mandiri dan Pendampingan Konflik Agraria “Masyarakat sekitar Taman Nasional, di prakasai oleh lembaga Sajogyo Institute (SAINS) Bogor dan atas undangan tokoh masyarakat di Legon Pakis, Juni-Juli 2007.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
tahui bahwa kasus tanggal 4 November 2006 itu adalah puncak dari lintasan panjang sejarah konflik diamdiam yang tidak ter-ekspos media, atau terabaikan dalam sistem penanganan dan tata kuasa TNUK. Bagai puncak gunung es, yang baru kelihatan ujungnya saja. Sebab menurut pengakuan warga kasus-kasus sengketa kecil masih banyak berserak baik antar pribadi warga maupun kelompok masyarakat dengan Petugas Taman Balai Nasional. Bara itu tersimpan rapi dan mengendap dalam batin dan menjadi catatan pribadipribadi yang menunggu akumulasi dan momentum untuk keluar, berontak di balik berbagai dimensi kemiskinan20 yang dialami dalam kehidupan keseharian warga. Tentu saja letusan sengketa agraria ini hanyalah salah satu episode dari kompleksitas lintasan panjang sengketa agraria di sekitar kawasan TNUK yang bersandingan erat dengan kondisi kemiskinan warganya. Pada dasarnya, jika ditilik lebih dalam akar permasalahan konflik (agraria) di kawasan TNUK adalah
20
Akibat multidimensinya kemiskinan ini, hampir tidak mungkin mendekatinya dari paradigma ekonomistik semata. Sebab banyak aspek lain di luar paradigma ekonomi yang juga harus diperhatikan untuk memahami ikhwal lkemiskinan dan bagaimana menanggulanginya, termasuk misalnya aspek kelembagaan, hukum, kemauan politik (political will) dari pemerintah budaya dll. Untuk memahami lebih jauh multidimensinya dimensi kemiskinan ini, dapat menelusuri buah pikir Prof. Sajogyo dalam buku Mukhtar Sarman (Ed), “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”, Pusat P3R-YAE, 1998.
Politik Sumberdaya Alam
terjadinya perubahan rejim pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di kawasan Ujung Kulon ini, dan seiring dengan perubahan itu hak-hak agraria masyarakat untuk mengakses SDA setempat pun kian berkurang dan dibatasi. Memang, jika sejarah penetapan TNUK ini ditelusuri, akan ditemukan bahwa proses penetapan kawasan yang kini menjadi TNUK ini sebagai kawasan konservasi tidaklah berlangsung sekali jadi ataupun seragam. Sebagian wilayahnya sejak masa kolonial memang telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, sebelum kemudian ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Namun ada sebagian wilayahnya yang status awalnya adalah kawasan hutan produksi, baru jauh belakang waktu kemudian ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, dan terakhir baru ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Lihat perubahan rezim penguasa TNUK: (dirujuk dari Adiwibowo, dkk, 2009). Proses evolusi semacam ini mau tidak mau akan berdampak besar pada akses masyarakat terhadap wilayah yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sebab, dengan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, maka sesuai ketentuan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (beserta peraturan pelaksanaannya) berlakulah sejumlah larangan kegiatan di dalam kawasan taman nasional sebagai berikut ini; (dirujuk dari, Adiwibowo, dkk, 2009). 19
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
20
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Politik Sumberdaya Alam
Larangan Perbuatan atau Kegiatan di dalam Zona Kawasan Taman Nasional
Zona di dalam Taman Nasional
Ketentuan Larangan
Zona Inti
Dasar Hukum
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
-
Psl 33, 19 UU No 5/1990
-
Psl 19 PP No 68/1998
Dilarang melakukan perbuatan yang merubah keutuhan kawasan
w Melakukan perburuan satwa
w
w Memotong, merusak, mengambil, menebang & memusnahkan tumbuhan & satwa
w
w Menggali atau membuat lobang di tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa
w
-
w Mengubah bentang alam yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa
w
-
-
Psl 19 PP No 68/1998
w Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
w
w
w
Psl 33, 19 UU No 5/1990
w Merusak kekhasan potensi pembentuk ekosistem
w
w
w
Psl 44 PP No 68/1998
w Merusak keindahan alam & gejala alam
w
w
w
Psl 44 PP No 68/1998
w Mengurangi, menghilangkan fungsi & luas kawasan yang telah ditentukan
w
w
w
Psl 44 PP No 68/1998
w Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi & rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan
w
w
w
Psl 44 PP No 68/1998
w Melakukan perusakan terhadap keutuhan ekosistemnya
w
w Mengurangi, menghilangkan fungsi zona inti
w
w Memasukkan jenis tumbuhan dan satwa bukan asli
w
Psl 33, 19 UU No 5/1990 Psl 33, 19 UU No 5/1990 Psl 19 PP No 68/1998 Psl 19 PP No 68/1998 Psl 19 PP No 68/1998
Dilarang melakukan perbuatan yang merubah fungsi kawasan/zona
Larangan Perbuatan atau Kegiatan di dalam Zona Kawasan Taman Nasional Apabila ragam respon Balai Taman Nasional jika diuraikan akan ditemukan bahwa pola resetelmen, pengendalian akses dan penindakan keras ternyata merupakan bentuk-bentuk respon yang paling banyak melahirkan potensi konflik, dan bahkan letupan konflik aktual. Gambar di bawah ini lebih lanjut memberikan ilustrasi mengenai gradasi respon yang dilakukan oleh tiga Balai Taman Nasional dan bagaimana tingkat potensi konflik yang dapat timbul sepanjang gradasi respon ini. (dirujuk dari Adiwibowo, dkk, 2009). Dalam kasus TNUK, seperti telah disinggung di muka, dan juga diperli-
hatkan oleh Gambar di atas, respon yang dilakukan pihak Balai Taman Nasional secara umum adalah berupa resetelmen serta penindakan dan pengendalian. Tidaklah mengherankan, oleh karenanya, apabila pengelolaan kawasan konservasi di ujung Pulau Jawa ini cenderung bercorak konfliktual, sebagaimana yang terekam dalam sejarah kekerasan sepanjang interaksi antara otoritas TNUK dengan masyarakat. Maka, sebagaimana dikatakan Nasikun (1995) bahwa empat ciri konflik, telah ditunjukkan dalam situasi konflik di TNUK ini. Bahwa setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkatan lain, perubahan sosial merupakan 21
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. Perubahan rejim penguasa di TNUK membawa serta konflik kepentingan antara kelompok yang memiliki otoritas kelas elit dalam hal ini, BTNUK dan Departemen Kehutanan Pusat-Daerah terhadap kelompok subbordinat yang menjadi korban terus menerus yaitu masyarakat di sekitar kawasan TNUK. Dan setiap perubahan akibat kebijakan baru dari kelompok interest (interest groups), BTNUK, Pemerintah Pusat, WWF, LSM dan golongan warga sendiri yang ikut berkontribusi kangsung maupun tidak dalam soal konflik TNUK membawa serta potensi konflik yang melekat di dalamnya. Sebab setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. Munculnya rejim baru dengan segala kebijakan tapal batas resmi yang diperundang-undangkan negara menjadikan setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orangorang lain. BTNUK yang merepresentasikan Negara berlindung dibawah payung regulasi formal yang menjadi lat pengendalian dan kontrol atas wilayah kelola dan kuasanya pada seluruh kawasan TNUK. Para aktor dalam hal ini, BTNUK, PERHUTANI, Pemerintah Pusat, Para Penguasaha (yang mengincar cadangan dan potensi Sumber Daya Alam yang masih tersembunyi di bawah kawasan TNUK, salah satu22
nya pasir besi, minyak bumi dan gas) terus bermain dalam mempengaruhi perumusan kebijakan dalam perebutan sumber daya di kawasan TNUK. Alotnya negoisasi, perumusan kesepakatan baru antar pihak yang berkonflik meski telah dimediatori Komnas HAM, belakangan ini) dan masih munculnya korban-korban dan penangkapan warga menjadi indikator bagaimana ‘aturan main bersama’ belum diletakkan sebagai utama dalam tata kelola, tata kuasa dan tata produksi TNUK.21
Keterbatasan Akses dan Kemiskinan Proses pemberdayaan masyarakat hutan tidak bisa dilepaskan dari paradigma pengelolaan hutan yang pakai, artiny apandangan pengelola terhadap hutan dan kenyataan di dalamnya berpengaruh terhadap pengelolaan sistem kehutanan di sutau Taman nasiona. Setidaknya terdapat tiga pandangan dominan yang
21
Laporan dari aktivis pendamping warga LegonPakis mnyebutkan bahwa 17 April 2009 shubuh hari, tepatnya pukul 03.00 WIB tiga (3) orang petani ujung kulon ditangkap oleh aparat Kepolisian Sektor SumurPandeglang, Banten. Ketiga anggota Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) tersebut berasal dari Kp. Cikawung girang, Desa Ujung Jaya, Sumur-Pandeglang. Penangkapan tersebut atas tuduhan warga menebang kayu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), padahal menurut warga, kayu yang ditebang berasal dari lahan garapan milik warga yang telah dikelolanya secara turun-temurun. Petani yang ditangkap adalah: SALTA (22 thn) ENDANG (25 thn), RUSMA’IN (29 thn), kini masih dalam proses penyelesaian hukum.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Politik Sumberdaya Alam
23
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
sering dipakai ada tiga kelompok; Pertama, Pandangan Berbasis ekologis yang menempatkan hutan sebgai sebuahkawasan ekosistem yang berfungsi sebagai kawasan kehidupan tidak hanya untuk makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, namun secara global berfungsi juga sebagi paru-paru dunia. Maka, keberadaan hutan dan fungsi utamanya itu harus dijaga dan dilertaikan secara berkelanjutan, (sustainability). Kedua, pandangan eko-politik. Pandangan ini melihat bahwa hutan sebagai sumber daya alam yang memiliki nilai dan manfaat ekonomis. Pandangan ini memberi arahan bahwa pengelolaan hutan sebgai sumber daya ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan. Hutan dipandang sebagai sumber bahan baku produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan. Ketiga, pandangan sosial-budaya. Padangan ini lebih menitik beratkan pada fungsi dan potensi hutan sebgai bagian dari kehidupan keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kehidupan hutan dipandang sebagai suatu kegiatan kehidupan dengan nilai-nilai dan ritual kemasyarakatan termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan menuju keberlanjutannya untuk sebesar-besarnya demi eksistensi kehidupan masyarakat manusia di dalamnya, dan disekitarnya.22
22
Karyono, Pemberdayaan.....Op.Cit, hlm. Vii.
24
Dilihat dari tiga model pandangan diatas, kasus pengelolaan TNUK lebih terlihat dominannya padangan yang kedua; nalar eko-politik. Digtum pembangunansime yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi mempengaruhi cara melihat dan memperlakukan SDA dalam hal ini kuasa atas TNUK, yang semata sebagai komuditas ekonomi. Sehingga yang dapat menunjang pemanfaatan dalam meraih keuntungan ekonomi sebesarbesarnya akan terus dilakukan, baik melalui regulasi, kebijakan dan usaha-usaha ekonomis lainnya dengan ragam pihak (pengusaha, swasta dan juga pemodal asing) yang segaris dengan ‘ideologi’ pembangunanisme. Sebaliknya, segala hal yang diangap menghambat dan menghalangi pencapaian keuntungan ekonomis ini akan dengan sengaja (baik halus maupun kasar) akan dihilang-paksakan. Bentuk-bentuk teror, pembatasan akses melalui regulasi, peningkatan kontrol oleh Polhut (yang dipersenjatai dengan senjata api), dan pemaksaan (preasure) lain dalam usaha untuk ‘mengkosongkan’ wilayah TNUK baik dengan merelokasi warga Legon Pakis dan sekitarnya maupun mendesak dan memepersempit gerak kehidupan pemukim di sekitar TNUK agar terus dilakukan. Tepat pada titik inilah tarik ulur ketegangan antara ruang ekonomi dan ruang ekologi dalam mekanisme saling meniadakan (zero sum game) satu sama lain terjadi. Program yang menekankan peningkatan ekonomi akan merusak fung-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
si ekologis dan sosial dari SDA, sebaliknya, program yang mengutamakan perlindungan SDA secara berlebihan dan abai atas fungsi ekologis dan sosialnya berakibat pada terkurangnya manfaat ekonomi.23 Atas nama komuditas ekonomi dengan payung ‘konservasi’ berwatak pembangunanime, kesejahteraan warga pemukiman di kawasan TNUK diabaikan, bahkan jika perlu ‘dianggap tidak ada’. Ketidakadilan penguasan, kepemilikan dan pengelolaan sumber agraria yang terjadi di kawasan sumberdaya hutan TNUK, telah mendorong masyarakat di dusun dan desa disekitar kawasan mendapat dampak proses pemiskinan. Gejala semacam itu adalah gambaran umum di dunia ketiga. Peluso (2006) menggarisbawahi bahwa kebanyakan sistem pen-
23
Seluruh rangkaian sejarah ekonomi politik pemanfaatan sumber daya alam dari jaman Kolonial sampai pelasanaan Otonomi Daerah, menurut Hariadi Kartidihardjo, masih menyisakan empat masalah mendasar; 1) keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa disertai dengan kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan SDA oleh berbagai pihak, baik secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2) Substansi Undang-Undang maupun peraturan-perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor, cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 3) tindakan eksploitasi SDA secra illegal telah menjadi instrumen memperoleh keadilan pemanfaaatan SDA bagi sebagian rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar lokasi SDA. 4) proses-proses politi terutama di lembaga legislatif. Pusat maupun daerah. Cemderung menggarah pada kebijakan SDA eksploitatif melalui mobilitas suara. Lebih jauh lihat, Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, (Jakata: PT Equinox Publishing Indonesia, 2006), hlm 46-47.
Politik Sumberdaya Alam
gelolan hutan di Dunia Ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan memperparah kemerosotan sumberdaya hutan karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan.24 Inilah dasar penyebab utama proses pemiskinan terjadi di dusun-dusun sekitar TNUK, termasuk di dalamnya warga Legon Pakis yang sampai saat ini jauh dari strandar kehidupan yang layak. Jika ditilik pada problem penguasaan, pemilikan dan penggunaan SDA. Kepemilikan sumber daya memiliki sifat yang kompleks. Di satu pihak ada bagian dari satu ekosistem yang dapat memeberikan manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak (public benefit/cost), di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komudity (privat goods) yag manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Karena itu tersedia pilhan bentuk-bentuk hak-hak (right)—lajim disebut rejim hak (regime of property right)—terhadap sumber daya alam, yang terdiri dari; apa yang dikuasai negara (state property), diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common ptoperty), atau berupa hak individu (individual property) (Hanna, dkk 1996). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya alam dan menentukan keterkaitan serta ketergan24
Nancy Lee Peluso, Hutan Kaya...Op.Cit. hlm.8. 25
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
tungan antar kelompok masyarakat tertentu dengan yang lainnya (Bromley, 1991). Dalam perjalanannya arus neoliberalisme dan demokrasi yang menyerbu dunia berkembang, termasuk Indonesia mendorong konsep individu lebih dominan menguasai sumberdaya alam dalam perumusan kebijakan politik negara. Namun demikian, pengendalian kerusakansumberdaya alam dan leingkungannya seringakali terpisah dari atau tidak mempertimbangkan common ptoperty.25 Singkatnya, meskipun secara dejure kawasan Taman Nasioan di Indonesia, termasuk di dalamnya TNUK adalah termasuk dalam dari model state property, tetapi secara defacto adalah bersatus open acces. Sehingga kepentingan neoliberalisme dan kapitalisme lebih mudah melakukan eksplorsi dan pengurasan SDA hutan di Indoesia. Kuatnya rejim penguasa dan pengelola pendukung BTNUK telah berhasil menyusun relasi kekuasaan yang dominan untuk memperoleh manfaat dan sumber daya termasuk di dalamnya adalah common property tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja. Terlihat bahwa kekuasan yang dihimpun memiliki elemen-elemen material (berupa kawasan TNUK dengan segala isinya), budaya dan ekonomi-politik (berupa jaringan swasta-penguasaha, badan LSM luar negeri WWF, dan elit politik 25
Hariadi K dan Hira Jhatmani, Politik....Op. Cit., hlm. 63. 26
di Senayan dan negara) yang terkumpul sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (“web of powers”) yang kemudian menjadi penentu terhadap akses ke sumber daya yang ada mengalahkan sama sekali kekuatan warga dusun pemukiman yang memang belum memiliki bargaining power baik secara budaya, ekonomi maupun politik. Keberadaan Serikat Tani Ujungkulon (STUK) yang dibentuk oleh aktivis pendamping masih menjadi rintisan yang belum tegak berdiri berhadapan dengan penguasa BTNUK berserta bundel kekuasaannya. Akibat lebih jauh, tersusunlah ketidakadilan struktural yang menimpangkan kondisi sosial-ekonomi warga pemukim dengan penguasa TNUK beserta pendukungnya. Perubahan dan pembatasan akses dalam makna kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things) dalam hal ini sumber-sumber agraria yang telah dimiliki secara turun temurun warga disekitar kawasan TNUK, khususnya warga Legon Pakis, Cikawung Girang dan Cikawung Sebrang menjadikan mereka terbelit kemiskinan struktural yang terus menerus. Kekayaan sumber penghidupan, sawah, sayur mayur, kebun kelapa, kopi, lada yang telah menjadi gantungan hidup mereka secara turun temurun terancam hilang karena kebijakan pelebaran batas sejak 1992 lalu secara sepihak dan non-partisi-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Politik Sumberdaya Alam
patif (tidak menghargai suara warga yang telah meyakini dan menhayati tapal batas lama dari TNUK). Akibat dari struktur sosial yang timpang inilah masyarakat di Legon pakis dan sekitarnya tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka disekitar kawasan hutan titipan (sekarang tercaplok sebagian kawasannya oleh ketentuan tapal batas baru 1992) yang diyakini oleh mereka dapat dimanfaatkan seperlunya, sebagaimana nenek-moyang mereka dan tetap menghormati dan mengharamkan pemanfaatan kawasan hutan tutupan yang merupakan kawasan TNUK.
dimiliki oleh para anggota lain dalam golongan itu. dan sebagian besar dari warga di Legon Pakis sukar untuk meningkatkan taraf kehidupan warganya secara menyeluruh. Nampak bahwa usaha yang dapat telah memberikan keuntungan pada pak KDR ternyata belum dapat diperluas agar dapat menguntungkan seluruh warga di Legon pakis secara permanen. Sampai hari inipun warga di Legon Pakis hidup dalam serba keterbatasaannya tergantung pada kemurahan alam dan penyelesaian konflik yang masih terus-menerus berlanjut tak tentu arah terang penyelesaiannya.
Mesipun sebenarnya mereka sadar bahwa nasib dan kondisi mereka tidak lebih baik bahkan jauh dari setara dibandingakan dengan desa lain di wilayah kecamatan Sumur-Pandeglang (setidaknya untuk kebutuhan dasar hidup; air bersih, sanitasi, kesehatan dan pendidikan), namun mereka tak dapat berbuat banyak untuk merubah tat sosial ekonomi mereka. Yang tertinggal hanyalah semangat perlawanan. Memang, terdapat sebagian warga yang berusaha melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, salah satunya –satu-satunya (yang juga satu-satunya pemilik televisi dan sumur sendiri) adalah pak KDR yang berdagang kelapa ke Jakarta guna mengusahaan kehidupan yang secara ekonomis yang lebih baik, akan tetapi keinginan itu dapat dicapai pak KDR dengan sebuah usaha yang melebihi kemampuan rata-rata
Sayang, model pemberdayaan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan warga di dusun kawasan TNUK masih berkiblat pada model pembangunanisme yang berwatak intervensionistik ‘serba dari atas’ dan seolah ‘paling tahu’ maksud dan kehendak warga TNUK masih berpayung pada kebijakan politik pembangunan. Artinya, penanganan, pengurusan, pemberdayaan dan penguatan atas nasib mereka tidak bisa sekedar kebijakan ‘relokasi’ atas nama aturan legalitas formal undangundang baru yang tidak partisipatif. Tetapi mesti mempetimbangkan dan berbasis pengetahuan yang utuh atas basis kompleksitas; struktur, stratifikasi, aset historis (bukan hanya materialistik an sich), kearifan, budaya, ekosistem dan aspek sosio-antripologis lainnya yang masih exsis di masyarakat Legon pakis dan sekitar 27
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
TNUK. Sesuatu yang tidak diperhatikan dan di urus sungguh-sungguh oleh pihak pemangku kebijakan TNUK. Alih-alih menyusun program partisipatif, justru ketegangan-ketegangan makin hari makin memuncak. Tak heran, pada saat pemantik nya terbuka, ledakan konflik pun mudah menyala. Bisa jadi benar apa yang dikatakan Hery Santoso (2004): ….orientasi kegiatan pemberdayaan masyarakat desa hutan justru menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang menyangkut hutan dan kehutanan. Apa yang dinamakan pemberdayaan masyarakat umumnya memiliki arti mengurangi ketergantungan ekonomi masyarakat dari hutan. Maka tidak heran jika sampai hari ini masaih saja terjadi ketegangan-ketegangan antara masyarakat pengguna hutan dengan para petugas kehutanan… masyarakat lokal memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutanhutan disekitarnya. Adalah naïf kalau apa yang dinamakan sebagai proyek etika sosial itu justru menyingkirkan mereka dari hutan-hutan yang selama ini menjadi tempat bergantung.26 Di sisi lain, kekayaan budaya lokal yang telah hidup lama dan diyakini
26
Hary Santoso, Perlawanan...Op.Cit., hlm. 396397. 28
oleh warga di Legon Pakis yang bersumber pada ajaran Abah Pelen, dan terkait dengan ‘etika berhutan’27 tidak digali menjadi potensi penting bagi pengelolaan TNUK. Justru model pemberdaayaan ekonomi yang dilakuakan baik oleh WWF mapun BTNUK lebih menitik beratkan pada capaian pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan warga dalam ruang modernisasi pedesaan yang mengecilkan arti lokalitas dan ke khasan potensi yang dimiliki warga; kultur, sejarah dan sistem pengetahuan lokal lainnya.
27
“Etika berhutan” (beberapa memakai istilah ‘pamali’) yang sangat dipatuhi secara turun temurun di masyarakat Legon Pakis dan sekitar hutan TNUK, diantaranya:1) Jangan memotong dahan/ranting pohon dengan tangan kosong, harus dengan parang, 2). Jangan makan dan minum dengan berdiri, 3). Jangan kencing dengan berdiri, 4). Jangan bersiul, 5). Kalau duduk dihutan harus pakai alas. 6). Jangan bekerja jika sudah magrib, 7). Jangan menebang dan merusak Hutan Tutupan, 8). “Hutan itu adalah perkampungan hidup yang punya tata tertib, aturan dan norma sendiri, sehingga hutan harus dihormati dan dilestarikan sebagaimana seharusnya”, 9) “Belajar paling istimewa adalah dari Alam dan kehidupannya. Sebab hakekatnya dan bagaimanapun alam tidak akan pernah berbohong. dll. Etika ini dapat menunjukkan bagaimana masih adanya hubungan harmonis dan ketergantungan antara warga Legin Pakis dengan alam sekitarnya. Dituturkan oleh Abah Suhaya (pemimpin/sesepuh dusun Legon Pakis dan murid langsung dari abah Pelen) kepada penulis, di Legon Pakis: Kamis 19 Juli 2007, di teras rumahnya jam 10.13 WIB.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Refleksi Teoritik; Konflik, Kemiskinan dan Skema Eksklusi Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi Secara teoritik politik lingkungan hidup dibentuk oleh sudut pandang utama; pertama, pandangan yang meletakkan lingkungan hidup sebagai komoditi. Kedua, lingkungan hidup sebagai sesuatu yang harus dilindungi (acardia). Ketiga, lingkungan hidup sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Multi pihak negara, pengusaha, LSM/NGO dan masyarakat bisa saling berbeda posisi sesuai kepentingan ekonomi dan politik masingmasing. Proses eksklusi masyarakat di pinggiran kawasan hutan bukan hanya terkait dengan persoalan rejim dan relasi kuasa yang timpang antara aparatus konservasi negara (TNUK) dengan masyarakat petani pedesaan tetapi juga terkait dengan domain paradigmatik atau bangun-susun pengetahuan yang mengendap dalam sistem ‘ideologis’ yang dianut oleh penguasa dalam mengurus penataan ruang di kawasan konservasi. Orientasi konservasi klasik yang mendewakan species sebagaimana dipraktikkan oleh BTNUK dan para pendukungnya dan iqnorence atas kesejahteraan manusia di sekitar kawasan dapat menjadi simpul utama bagaiamana tata kelola dan penguasaan sebuah kawasan konservasi diurus. Setidaknya, ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan produksi, yang dapat berlaku juga
Politik Sumberdaya Alam
pada jenis hutan yang lainnya, yaitu penguasaan tanah; penguasaan/pengendalian species, dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga komponen ini masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya kekuasaan (Weber, 1978) atau sebagai perwujudan kekuasaan negara atau perusahaan (korporasi). Dengan dalih kekuasaan dan pengendalian berdasarkan azaz konservasi TNUK dengan species utama Badak Jawa, politik kawasan konservasi dilaksanakan dengan sistematis dengan tujuan utama menyingkirkan masyarakat dari pinggiran hutan. Hutan masih dipersepsi dalam sudut paradigma konservasi klasik yang melihat kawasan hutan sebagai wilayah yang tidak berpenghuni. Selama ini pengelolaan sumberdaya hutan oleh pemerintah dan swasta mayoritas memandang kawasan hutan sebagai kawasan kosong manusia, hanya terdiri dari aneka ragam kayu komersial, flora dan fauna yang memiliki nilai tinggi secara ekonomi dan konservasi (Tadjudin, 2000). Padahal Masyarakat lokal adalah bagian sub-sistem hutan yang tak terpisah dan setara dengan tumbuhan dan binatang. Pembatasan akses dan kontrol masyarakat di sekitar kawasan hutan dan Taman Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003: 1) akses diartikan sebagai kemampuan untuk 29
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu (“the right to benefit from things”). Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (“bundle of rights”). Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja. Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003), diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (“web of powers”) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber30
daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda 28. Titik penting dari analisa akses adalah untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumberdaya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak memperoleh haknya terhadap sumberdaya tersebut. Dalam sudut pandang ini, proyek Javan Rhino Sunctuary (JRS) yang diusung BTNUK, YABI dan Pemerintah Pusat-Daerah sejak 2007 lalu dengan mengatasnamakan demi konservasi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi, perlu dianalisa dan dipertanyakan ulang, siapa yang diuntungkan dalam proyek ini? Sebab prakteknya, justru mengabaikan dengan sengaja (iqnorance) hakhak dasar masyarakat beserta ruang hidup (life space)nya, yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan. Merujuk pada Ribot dan Peluso (2003) dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara analisa akses dan analisa property.
28
Nancy L. Peluso, Jesse, C Ribot, “A Theory of Access”, dalam Rural Sociology. June 3, 2003.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Jika property lebih pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih pada bagaimana memahami beragam cara orangorang memperoleh keuntungan dari sumberdaya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property. Dengan demikian untuk memahami keduanya mesti dibandingkan terlebih dahulu antara akses dengan ‘property’, sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya, transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang , institusi, atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu. Untuk memahami perbedaannya maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak. Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan dalam dua cara :pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk mempengaruhi praktik-praktik dan gagasan orang lain (Webber 1978 dan Lukes 1986). Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang-orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan sosial. Dilihat dari struktur dan rasionalisasinya, relasi sebuah mekanisme akses harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu
Politik Sumberdaya Alam
dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumberdaya tersebut diusahakan. Menurut Blaikie (1985) tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan identitas sosial sangat berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses sumberdaya alam. Atas dasar pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa ada nuansa bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses. Dengan batasan pengertian di atas, nampak bahwa pengabaian hak dan akses ruang hidup masyarakat Legon Pakis dan masyarakat lainnya di sekitar/dalam kawasan TNUK lambat laun telah mendorong penurunan akses dan kontrol sekaligus kemampuan warga sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar TNUK. Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik dalam makna struktural maupun kultural. Kebijakan politik konservasi yang berwatak konservasionis-developmentalistic tersebut ikut menghambat warga sekitar hutan mendapatkan akses atas sumberdaya melimpah di sekitarnya. Di sisi lain, kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal yang telah hidup dan diyakini lama oleh masyarakat semakin terkikis dan 31
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
akhirnya luntur akibat penggerusan paksa aturan normatif negara yang mengadopsi sistem pengelolaan hutan dari Barat.29 Ketika konflik agraria di Taman Nasional meledak, kondisi keterbatasan (hak dan akses) masyarakat semakin berkurang, dan mendorong proses pemiskinan yang semakin masif. Tanpa membongkar struktur ketimpangan-ketimpangan politik, ekonomi sosial, budaya yang menyelimutinya, sulit menangkap akar persoalan kemiskinan yang terjadi. Sebab, pada umumnya, menurut Shohibuddin dan Soetarto (2009) kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih sering dilihat sebagai sebuah “kondisi”, ketimbang sebuah “konsekuensi”. Tanpa memahami berbagai proses yang membentuk kemiskinan dan ketimpangan, dan mekanisme-mekanisme sosial yang membuatnya terus bertahan dan berlanjut (bahkan dicipta kembali), maka penetapan level-level kesejahteraan maupun introduksi program-program pengentasan kemiskinan konvensional, tidak bakal dapat men-
29
Pengertian ‘kearifan lokal’ disini “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di anatar warga masyarakat”. Lihat Alpha Amirrachman, “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian” dalam Alpha Amirrachman (ed.) Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, (ICIP, Jakarta: 2007), hlm. 11. 32
jawab problem kemiskinan pada akar permasalahannya. (Mosse 2007). Kemiskinan hanyalah salah satu dari hasil proses eksklusi. Proses eksklusi ini tidak bisa hanya dilihat pada sudut pilihan “baik atau jelek” atau apakah suatu hal yang menyenangkan atau tidak, sebab ia bukanlah opposisi biner dari inclusive, pun enclousure. Tetapi eksklusi lebih tepat dihubungkan dengan konsep akses, sebagaimana dijelaskan Ribot dan Peluso (2003). Dalam pandangan di atas maka dapat dijelaskan, sebagaimana diuraikan pula dalam Hall, et.al (2011), bahwa proses eksklusi bebeda dengan proses deferensiasi, baik dari segi proses maupun aktornya. Jika dalam deferensiasi, prosesnya adalah: Pertama, melalui proses perubahan pada penajaman-penajaman persoalan perbedaan hubunganhubungan produksi, ketimpangan akses atas tanah dan konsentrasi lahan (land consentration). Kedua, Perubahan-perubahan hubungan antara produser dan non produser yang dilihat dari bagaimana proses dan mekanisme dalam transfer dan mekanisme ekstraksi surplus. Seperti; rent labor service, cash, kind, surplus value in wage, sale & purchase, taxes, interests). Ketiga, Bentuk-bentuk kehadiran sekaligus antara proses polarisasi dan deferensiasi.30 Sedangkan para aktornya adalah: local powers, seperti, tuan tanah, penye-
30
Derek Hall dkk, Powers…Op.Cit.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
wa, lintah darat, pemungut cukai dan negara. Sedangkan dalam eksklusi prosesnya adalah: Pertama, melalui empat powers dominan yaitu: Regulasi (regulation), Tekanan (force), Pasar (market), Legitimasi (legitimation). Kedua, Yang membentuk enam proses: (1) Regulasi akses atas tanah. Seperti sertifikasi, legalisasi aset, transmigrasi, dll) ; (2) Ekspansi spasial dan intensifikasi untuk usaha konservasi hutan dengan pembatasan untuk petanian. Seperti pelarangan aktifitas petani di sekitar hutan atas nama konservasi, yang biasanya berakhir dengan bentuk-bentuk eko-fasism) (3) ‘Boom crops’ bentuk baru dan konversi lahan untuk produksi monocrops. Seperti, Booming Sawit, Karet, Jarak, dll); (4) Konversi lahan untuk pemanfaatan post agrarian. Seperti pembangunan Perumahan, Pertokoan, Perkantoran Mall, POM Bensin di lahan-lahan subur bekas pertanian, dll. (5) Formasi kelas agraria dalam “intimate” dalam skala desa. seperti persoalan pribumi dan pendatang dan persoalan lain yang sangat intim di pedesaan) (6) Mobilisasi Kolektif untuk mempertahankan dan meneguhkan akses mereka atas lahan. Sedangkan actor dalam proses eksklusi ini adalah: Petani kecil, perkebunan skala besar, aktor-aktor negara, LSM Transnasional, Lembaga Donor, Gerakan Sosial Lokal/Nasional dan Perusahaan Transnasional dan Nasional.
Politik Sumberdaya Alam
Dalam kasus konservasi, apa yang terjadi di masyarakat pinggiran Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) barangkali dapat menjadi contoh. Bagaimana tekanan (force) negara melalui Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) baik melalui regulasi (regulations) berupa kebijakan konservasi dan legitimasi (legitimation) sebagai penguasa hutan konservasi negara, melakukan proteksi ketat bagi pelestarian dan perlindungan Badak Jawa yang dikatakan sebagai warisan dunia yang sudah sangat langka dan hampir punah. Namun niat baik konservasi Rhino, telah nyata-nyata menyebabkan ekslusi bagi masyarakat yang telah lama tinggal dan hidup bergantung dari sumberdaya hutan di sekitar TNUK, sehingga mereka makin hari kehilangan akses atas ruang hidup dan hak-hak dasar (basic of right) mereka. Dengan pandangan semacam ini, dapat diperiksa dan petakan lebih lanjut apakah kebijakan dan programprogram atas nama konservasi di TNUK sejak sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional dan setelahnya, Kekuasaan-kekuasaan (powers) apa yang dominan mempengaruhi kebijakan mereka? Siapa dan bagaimana atau dengan mekanisme apa kekuasaan tersebut dimainkan? Siapa aktor utamanya dan dan siapa yang diuntungkan dalam beragam arena dan waktu? Namun yang sudah nampak jelas adalah bahwa masyarakat miskin di sekitar dan dalam kawasan se-
33
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
lalu dan tetap menjadi korban dan kelompok marjinal. Setidaknya terdapat empat bentuk perlakuan pemerintah yang menyebabkan masyarakat menjadi “marjinal”. Pertama, pengingkaran terhadap hak adat atau (hak tradisional) masyarakat lokal melalui pengundangan peraturan pemerintah. Hak-hak adat dan tardisional lainnya secara sistemik terbukti dikebiri dan diimplisitkan. Pengingkaran itu berjalan lebih intensif (lebih jauh dari jangkauan hukum itu sendiri) akibat sikap pemerintah yang tidak memihak kepada masyarakat dengan beragam kebijakan privatisasi aset hutan atas nama “Hak Menguasai Negara”. Kedua, pengabaian terhadap pengetahuan unggul yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Terdapat proses sistemik pengabaian atas pengetahuan tradisional dalam hal pendayagunaan masyarakt atas sumberdaya hutan yang lebih ramah dan harmoni dengan stigmatisasi primitive dan ketinggalan zaman. Sehingga model pemberdayaan yang diinjeksikan adalah hal-hal yang dikatakan “modern”, tanpa diimbangi oleh penyiapan prasyarat kelembagaan yang relevan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat lokal. Akibatnya bukan memberdayakan, yang terjadi adalah penjinakan (domestifikasi). Ketiga, pemerintah masih melihat masyarakat di dalam dan sekitar kawasan sebagai perambah atau berpotensi sebagai perambah. Artinya,
34
masyarakat masih merupakan ekternalitas. Sehingga tindakan pemerintah lebih bersifat teknikal, dengan cara menyingkirkan mereka daripada tindakan berdimensi sosial ekonomi untuk internalisasi terhadap ekternalitas itu. Misalnya memberi ruang, kesempatan dan pengakuan pada masyarakat untuk mengembangkan sendiri pengelolaan kawasan menurut nilai-nilai kearifan dan tradisional mereka, sebagaimana banyak dibuktikan oleh suku-suku di pedalaman Kalimantan, Sumatera dan Papua. Keempat, dalam pembangunan sektor pertanian, pemerintah memandang kawasan hutan sebagai “bukan kawasan binaannya”; dan dengan demikian penduduk yang hidup dalam kawasan tersebut menjadi “sasaran binaan” meski pencaharian mereka adalah tergantung pada kawasan lahan di sekitar dan dalam kawasan hutan. Sehingga model sumber mata pencaharian ekonomi semacam ini maka mereka tidak diintegrasikan dengan program-program ekonomi layanan pemerintah. (Tadjudin, 2000). Dengan cara pandang “tradisional” semacam ini maka, perlahan namun pasti akses dan kontrol masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan (Taman Nasional) tereduksi dan pada gilirannya tereksklusi secara “alamiah” dan wajar. Belum lagi dukungan kekerasan, teror dan intimidasi yang sering digunakan untuk menegakkan “keamanan dan ketertiban” berlandaskan normatifitas hukum kehutan-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Politik Sumberdaya Alam
an yang memang sejak awal tidak berpihak pada masyarakat sekiatar dan dalam kawasan hutan.
baru menjadi mutlak untuk menjadi menu utama materi belajar bersama dengan masyarakat.
Proses pemiskinan, kekerasan dan eksklusi yang dialami masyarakat kampung Legon Pakis dan di sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, tidak bisa dilihat dalam satu potret yang berdiri stagnan, namun mesti diamati secara historis dalam alur panjang sejarah penguasaan rejim TNUK yang di masing-masing sirkuit historis tersebut ikut menyumbang pembentukan proses eksklusi masyarakat dengan beragam jenis power (regulation, force, legitimation dan market) dan dengan jalan proses yang berbeda-beda. Hanya dengan cara demikian gambar utuh problem kewajaran dan alamiahnya proses kekerasan dan eksklusi masyarakat dari ruang hidupnya mampu dijelaskan secara terang benderang.
Dengan jalan ini diharapkan dinamika perubahan sosial-ekonomipolitik yang berlangsung di sekitar kawasan konservasi tetap mampu dibongkar dan dianalisa secara kritis, guna menemukenali kekuatan-kekuatan apa saja berada di balik lahirnya sebuah kebijakan, program, peraturan dan diterima beragam proses ketidakadilan struktural lainnya yang kerap hadir di tengah masyarakat dengan aman dan mulus, diterima apa adanya. Tanpa disadari efeknya mengikat dan menjerat masyarakat lapisan bawah untuk terus menjadi korban pemilik kuasa (politikekonomi).
Dengan uraian dan cara pandang di atas, maka persoalan konflik di kawasan konservasi mesti diletakkan pada satu sketsa besar sebagai arena kontestasi beragam kekuatan dan kepentingan baik yang manifest maupun laten, yang terlihat maupun yang terselubung. Bekal perangkat pengetahuan dan alat analisa yang dapat mengurai dan memahami secara benar tentang masalah-masalah baru di sekitar konservasi beserta gambar utuh para kontestan berikut kepentingan yang melekat di dalamnya, skema-skema eksklusi dan marjinalisasi
Suatu hal yang ironis jika sebuah kasus kekerasan yang dialami masyarakat pinggiran kawasan konservasi TNUK (yang secara jarak tidak jauh dari pusat kota-kota besar, Banten, Bandung, Bogor dan Jakarta) seperti sepi dari mata tajam NGO Wacth nasional. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bandingkan dengan kasus konflik dan kekerasan sejenis di kawasan taman nasional lainnya. Sulit diterima jika persoalannya hanya karena letak geografis, ataupun alasan instrumental-teknis lainnya. Jangan-jangan ini persoalan kecanggihan para pemilik kuasa (powers) di TNUK yang tidak menghendaki dan sengaja menutup rapat-rapat ‘blow up” segala hal yang buruk tampil di permukaan pub-
35
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
lik yang berasal dari kawasan konservasi Ujung Kulon?. Karena beragam pertimbangan kepentingan politikekonomi yang mendekam di dalamnya. Jika benar hal ini yang terjadi, maka apa yang disebut dengan proses “normalisasi” kekerasan telah berjalan dengan baik tanpa ada gangguan yang berarti. Dan, tentu saja masyarakat lapisan bawah di pinggiran dan dalam kawasan konservasi TNUK tetap menjadi korban yang sengaja untuk “diwajarkan”31. Dengan cara baca semacam ini, maka bisa diperlihatkan dengan gamblang siapa yang sebenarnya diuntungkan dan dirugikan dalam tata kelola dikawasan konservasi TNUK? Tentu saja kelompok masyarakat miskin, lemah dan marjinal yang masih terus menjadi korban dan objek penderita dari beragam kemuliaan program dan kebijakan konservasi yang masih berwatak ignorance (masa bodoh) atas eksistensi masyarakat di sekitar dan kawasan konservasi yang masih dipandang sebagai “masalah dan ancaman bukan bagian integral dalam solusi pengurusan ekosistem hutan. Dengan watak kebijakan dan pengelo-
laan kawasan TNUK semacam ini, nampaknya “Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera” masih jauh panggang dari api. Realitas kekerasan (fisik dan non fisik) yang yang berujung pada proses eksklusi yang dialami masyarakat Legon Pakis dan masyarakat di pinggiran/dalam kawasan TNUK, hanyalah salah satu dari beragam kasus sejenis di ranah pengelolaan Sumberdaya Alam dan Agraria di Indonesia. Rejim kehutanan di Indonesia yang mengklaim menguasai lebih separoh kawasan daratan di Indonesia32 masih memakai model pengelolaan yang memandang kawasan hutan sebagai wilayah yang tak berpenghuni dan kosong dari manusia. Di sisi lain, kawasan hutan juga dipandang sebagai aset atau komoditi ekonomi yang tidak boleh diganggu oleh kepentingan masyarakat lokal yang ada di pinggir dan dalam kawasan. Padahal banyak di temukan bahwa masyarakat telah lama hidup dan tinggal di pinggiran dan dalam kawasan jauh lebih lama atau seumuran hutan itu sendiri.
32 31
Terima kasih mendalam pada Dr. Suraya Afif, yang telah memberikan masukan dan kritik atas pentingnya mengurai kemungkinan kekerasan-kekerasan di TNUk yang sukses di normalisasikan oleh pemegang otoritas kawasan konservasi. Dan menganjurkan pentingnya mendapatakan “tiket” untuk bisa masuk kembali ke TNUK untuk menguarai lebih dalam tentang soal normalisasi kekerasan, kekuatan-kekuatan sipil yang menjadi patron BTNUK dan bagaimana powers of actor bermain di kawasan TNUK. 36
Data resmi terbaru yang diterbitkan Departemen Kehutanan didasarkan pada Kawasan Hutan yang ditetapkan lewat proses yang disebut “harmonisasi” dengan melibatkan Departemen Kehutanan dan pemerintah-pemerintah daerah menunjukkan bahwa peruntukan secara hukum Kawasan Hutan seluas 120 juta hektar atau sekitar 62% dari luas daratan Indonesia. Tanggung jawab pengelolaannya hutanhutan tersebut adalah berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan. Lebih jauh lihat, Orlando Contreras dan Chip Fay, Memperkokoh… Op. Cit. hlm 5.
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Sementara itu kondisi peningkatan populasi penduduk di sekitar hutan dengan beragam kebutuhan pemenuhan kehidupan sosial ekonomi mereka adalah sebuah keniscayaan persoalan yang tidak bisa dihindari. Kenyataan realitas peningkatan populasi masyarakat dengan segala kebutuhannya sudah semestinya menjadi dasar pengelolaan dan semangat dasar bagi segala kebijakan dan program di kawasan konservasi. Sebab masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan umumnya adalah kaum petani yang membutuhkan lahan. Mayoritas dari mereka bergantung hidup dari tanah dan bermata pencaharian berbasis tanah dan sumberdaya hutan lainnya. Rata-rata dari mereka umumnya—sebagaimana warga masyarakat Legon Pakis di TNUK— memiliki sejarah panjang hubungannya dengan tanah dan sumberdaya hutan disekitarnya. Hubungan masyarakat dengan kawasan hutan memiliki beragam bentuk demi memenuhi kebutuhan kehidupan mereka baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Dalam kasus TNUK, sebagaimana diakui sendiri oleh pihak BTNUK,33 hubungan dekat masyarakat dengan kawasan hutan terlihat jelas pada beragam kebutuhan masyarakat mulai dari kebutuhan pemanfaatan seumberdaya lah-
33
Lebih jauh lihat, Laporan Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak Pembangunan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), tahun 2012, hlm. 19-21.
Politik Sumberdaya Alam
an, sumberdaya air, pemanfatan hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan pemanfaatan sumberdaya laut. Dengan demikian, mengabaikan sama sekali kenyataan hubunganhubungan manusia dengan sumber kehidupannya berupa tanah dan alam tentu saja akan menimbulkan goncangan-goncangan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Merujuk pandangan Karl Polanyi (1944) dalam karya klasiknya The Great Transformation, menegaskan, bahwa tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan goncangan-goncangan yang akan menghancurkan sendisendi keberlajutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar, dengan sendirinya akan melahirkan gejolak perlawanan. Seturut dengan dasar pandangan Polanyi di atas, meski kondisi masyarakat Legon Pakis secara sosiologis merupakan masyarakat yang “cair”
37
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
akibat belum terpenuhinya prasyarat sebagai sebuah masyarakat yang solid secara sosial ekonomi, ternyata tetap mampu menumbuhkan kesadaran dan melakukan perlawanan sebagai respon atas politik pengelolaan dan penguasaan kawasan TNUK yang mengeksklusi dari ruang hidup mereka. Aksi perlawanan dengan beragam strateginya muncul karena mereka hendak dipaksa terpisah dari hubungan panjang dan turun temurun dengan tanah dan sumberdaya hutan ruang hidup mereka selama ini. Dengan beragam jalan-jalan kebijakan konservasi dan aksi kekerasan yang nampak ternaturalisasikan. Sehingga ketidakadilan struktural yang terjadi nampak dipermukaan nampaknya seperti wajar-wajar saja. Klaim tanah negara dan atas nama konservasi pemagaran Badak Jawa membolehkan pengambilalihan lahan warga, pengusiran dan relokasi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan sebagaimana dialami masyarakat Legon Pakis menjadi salah satu contohnya. Dengan beragam cara, otoritas TNUK menyelubungi kebijakan tersebut sehingga, di mata masyarakat, hal itu adalah wajar, sebab BTNUK adalah wakil Negara di wilayah hutan. Namun, sebenarnya telah mengabaikan hak warga negara yang hidup di wilayah tersebut yang juga harus dihormati, sebagaimana mandat konstitusi UUD 1945, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang
38
sama untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, secara empirik dan teoritik titik penting yang bisa menjadi kontribusi dalam kasus aksi petani di TNUK setidaknya terletak pada dua hal; pertama, upaya menelusuri dan memaparkan bagaimana proses naturalisasi kekerasan (fisik dan non fisik) yang berujung pada ketidakadilan struktural, mencipta konflik dan proses eksklusi masyarakat petani di sekitar dan dalam kawasan konservasi (Taman Nasional). Kedua, menelusuri dan menjelaskan upaya-upaya keras masyarakat petani pedesaaan di kawasan konservasi yang “rapuh” secara sosial-ekonomi, membangun aksi perlawanan mereka secara bertahap, kemudian mampu menawarkan konsep dan argumen untuk membangun proses negosiasi multi pihak secara terus menerus kepada otoritas pengelola Taman Nasional. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kasus marjinalisasi petani yang terjadi di masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUK adalah satu bentuk contoh apa yang dikemukakan oleh Hall, Philip, Li (2011) sebagai bentuk proses eksklusi masyarakat petani atas nama konservasi. Maka dengan uraian dan analisa diatas maka persoalan yang dirumuskan diawal tulisan dapat dijawab dengan uraian berikut; 1) Sejarah konflik vertikal antara warga pemukiman di dusun-dusun sekitar TNUK dengan pihak BTNUK beserta bundel kekua-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
saan (bundle of power) pendukungnya (aktor-aktor yang berkontestasi, Pemerintah Pusat, Daerah, BTNUK, Politisi, Swasta-Pengusaha, lembaga konservasi International dan interest groups lainnya) berakar pada terjadinya perubahan rejim pengelolaan SDA di kawasan Ujung Kulon, dan seiring dengan perubahan itu hak-hak agraria masyarakat untuk meng-akses SDA setempat pun kian berkurang dan dibatasi. Struktur sosial-ekonomi politik yang tercipta menjadi tidak adaik/timpang. Praktisnya lebih banyak menguntungkan dan berpihak pada kepentingan penguasa TNUK daripada warga miskin di sekitar kawaan TNUK. Sikap dan tindakan perlawanan warga dilakukan sebagai pemberontakan struktural sekaligus pembuktian existensi mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem TNUK yang terabaikan dari kebijakan yang masih menganut ideologi pembangunanisme demi pertumbuhan ekonimi dan meletakkan hutan sebagai basis komoditas eksploitatif ekonomistik. 2) Proses kemiskinan struktural terjadi di sekitar dusun-dusun pemukiman kawasan TNUK setidaknya disebabkan dua hal; pertama, akibat ketimpangan struktural akibat kebijakan regulasi baru tentang tapal batas yang memihak penguasa dan abai pada suara warga disekitar kawasan sehingga makin mempersempit akses atas SDA yang sebenarnya tersedia di sekitar mereka. Kedua, sebagai konsekwensi logis dari model pengelo-
Politik Sumberdaya Alam
laan TNUK yang di dominasi pandangan dasar eko-politik yang mengabaikan dan tidak peka pada hak hidup manusia disekitar hutan. Model seperti ini lebih mengutamakan kepentingan komuditas dan keuntungan ekonomistik dari pemanfaatan produksi hutan TNUK. Sehingga seluruh orientasi kegiatan pemberdayaan masyarakat dusun/desa hutan justru menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang menyangkut hutan dan kehutanan. Apa yang dinamakan pemberdayaan masyarakat umumnya memiliki arti mengurangi ketergantungan ekonomi masyarakat dari hutan. Kalau perlu ditiadakan dari sekitar hutan. Sementara warga sekitar kawasan masih belum memiliki bargaining power yang kuat berhadapan dengan penguasa TNUK. Dengan demikian, kedepan perlu difeleksikan lebih jelas model pengelolaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Sebab ledakan konflik sebagimana terjadi di TNUK merupakan kulminasi dari kebijakan serba ‘dari atas’ yang kaku dan straight tanpa pelibatan sungguhsungguh suara masyarakat dari bawah. Konsep pengelolaan dan model konservasi hutan yang masih menekankan pada perlindungan species dan mengabaikan manusia yang sejak keberadaan hutan itu memiliki hubungan saling tergantung dengan ekosistemnya menyebabkan penanganan konflik terus berlarut. Seyogyanya konsep pengelolaan Taman Nasioanal dan Sumber Daya Alam apap39
Eko Cahyono: Konflik Kawasan
un dapat mengintegralkan seluruh unsur dalam jaringan ekosistem menjadi satu kesatuan yang utuh. Manusia dan masyarakat disekitar hutan dengan segala dimensi sosialnya (sosio-antropologisnya; termasuk di dalamnya nilai-nilai kearifan lokal) harusnya menjadi basis pengelolaan ekosistem Taman Nasional. Sebab tanpa basis pengetahuan yang utuh dan keterlibatan yang sistemik dari masyarakat, potensi konflik agraria tetap akan menjadi ancaman yang tidak sederhana. Untuk menutup makalah ini ada baiknya mengutip Peluso (2006):
….”Saatnya sekarang bagi Perhutani dan badan-badan kehutanan lain di Jawa untuk berkomitmen bukannya pada represi dalam gaya yang lebih agresif, melainkan pada gaya pembangunan yang agresif, pembangunan yang terarah dan tulus bagi orang miskin di kawasan hutan. Dengan ini mungkin pohon-pohon akan tetap berdiri tegak, tumbuh” 34
Wallahu ‘alam bi-assowab
34
Ibid. Nancy Lee Peluso, Hutan Kaya...Op.Cit. hlm. 363.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Soeryo, dkk (peny.), Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor,2009. Alfian, Mely G Tan, Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural; Suatu Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS) dan HIPIS Jakarta, 1980. Breman, Jean,” Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Hawa di Masa Kolonial”, LP3ES Jakarta, 1986. “Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia”, Departemen Kehutanan di Indonesia, 2007. Contreras, Arnoldo, Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia; Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan dan Tindakan, World Agroforestry Center dan Forest Trends, Bogor, 2006. Giddens, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, Depok: Universitas Indonesia Press, 1985. Hall, Derek, Hirsch, Philip, dan Murray Li, Tania. 2011. Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: National University of Singapore. Hardin, Garrett. 1968. Tragedy of The Commons, Science 162:1243-1248. Kartodiharjo, Hariadi. 2007. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam, Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan, Jakarta: Kehati. Kartodiharjo, Hariadi dan Jhamtani, Hira. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakata: PT Equinox Publishing Indonesia. 40
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Politik Sumberdaya Alam
Hanna, Susan .all, “Property Right and the natural Environment” dalam Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institution for Environment. Stockholm (Sweden): Island Press, 1996. Hary Santoso Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes harian di desa-desa sekitar hutan di Jawa, Damar, Jogjakarta: 2004. Johnson, Paul Doyle, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia, 1994. Magnis Siseno, Frans, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 1999. Mosse, Adam. 2007. “Power and the Durability of Poverty: a Critical Exploration of the Links between Culture, Marginality and Chronic Poverty.” Working Paper 107, Chronic Poverty Research Centre. Lisman Sumardjani, Kehutanan; Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, dicetak oleh Flora Mundial Comminications, 2007. Mukhtar Sarman (ed), “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”, Pusat P3R-YAEBogor.1998. Nasikun, Sistem Sosial di Indonesia, Jakarta: rajawali Pers, 1995. Peluso, Nancy Lee, dan Ribot, Jesse C. 2003. “A Theory of Access”. Rural Sociology. Peluso, Nancy Lee, “Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan sumber daya dan perlawanan di Jawa. (terj.) Landung Simatupang, Insist Press, Yogayakarta, 2006. Pickles, John. 2004. A History of Space: Cartographic reason, mapping and the geo-coded world, New York : Routledge. Polanyi, Karl. 1944. The Great Transformation. New York: Rinehart. Permenhut No. P. 26/Menhut/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Pasya, Gamal dan T. Sirait, Martua. 2011. Analisis Gaya Sengketa (AGATA); Panduan Ringkas untuk membantu memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bogor; Shamdana Institute. Ritzer , George dan Goodman, Dounglas J, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 1994. Repilita K, Elisabet (Tesis). 2007. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi; Analisis Ekologi Politik, Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor. Sajogyo, Ekososiologi; Deideologisasi Teori Restrukturisasi Aksi(Petani dan Pedesaan sebagai Kasus Uji), Francis Wahono dkk, (ed)Cindelaras; Yogyakarta, Sains; Bogor dan Sekretariat Bina Dessa Sadjiwa; Jakarta: 2006. Sutaryono, “Pemberdayaan Setengah Hati; Sub Ordinasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan”, dieterbitkan atas kerjasama LAPERA UTAMA dan Sekolah Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, 2008. Tjondronegoro, Sediono dan Wiradi, Ginawan (Peny), “Dua Abad Penguasaan Tanah; Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa”, Buku Obor, 1984. Wiradi, Gunawan:”Reforma Agraria Untuk Pemula”, Bina Desa Jakarta, 2005. Yulianto Laban, Banjar, “Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah” 2000-2002, yang diterbitkan atas kerjasama JICA dan Gunung Halimun-Salak (National Park Management Project), 2007. 41
Jurnal Politika Vol. 1 No. 1 Mei 2005 Eksperimentasi Politik Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi
wSyamsuddin Haris, Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah wSaldi Isra, Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu dalam UU No. 32/2004 wMuhammad Asfar, Sistem Pilkada Langsung: Beberapa Problem, Implikasi Politik dan Solusinya wAnas Urbaningrum, Antisipasi MasalahMasalah Pilkada Langsung wBurhan D. Magenda, Pilkada dalam Hubungan Pusat dan Daerah wM. Alfan Alfian M, Hak Politik TNI dan Pilkada wFerry Mursyidan Baldan, Tidak Sekedar Mencari Legitimasi wTinjauan Buku, Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi.w
Jurnal Politika Vol. 1 No. 2 Agustus 2005 60 Tahun Indonesia Merdeka
wA. Eby Hara, Nasionalisme Indonesia: dari Nasionalisme Lokal ke nasionalisme Kosmopolit wTeuku Kemal Fasya, Nasionalisme Indonesia Tergugat, Nasionalisme Aceh Menggugat wM.A.L. Wanaha, Papua dalam 60 Tahun Indonesia Merdeka wAidul Fitriciada Azhari, Koherensi dan Efektifitas Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Amandemen UUD 1945 wBustanul Arifin, Pembangunan Pertanian Indonesia Selama 60 Tahun wWawancara, Soedarpo Sastrosatomo, Sayidiman Suryohadiprojo, Budiman Sudjatmiko, Mustafa Kamal, Nurul Arifin wGaleri Pendapat, Burhanuddin (JIL), Wahyuni Refi (GMNI), Heri Heryanto Azumi (PMII), Emmanuel Josafat Tular (PMKRI), Ahmad Rofiq (IMM), Kenly Poluan (GMKI), Hasanuddin (HMI) wTinjauan Buku, Melecut Kebangkitan Bangsa-Bangsa Asia.w Jurnal Politika Vol. 1 No. 3 Desember 2005 Sekitar NKRI dan Federalisme
wAnhar Gonggong, Bangsa-Negara Indonesia: Bentuk Negara dan Sistem Demokrasi yang Berubah-ubah wJ. Kristiadi, Jalan Berliku Menuju dan Mewujudkan Otonomi Khusus Papua wSuzie S. Sudarman, Evolusi Sistem Federalisme Amerika Serikat wWidhyawan Prawiraatmadja, Energy Security: Pengertian dan Relevansinya di Indonesia wTinjauan Buku, Negara Kuat versi Fukuyama.w
42