hal 0 dari 11 halaman
PENGGUNAAN LEMBAGA PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) OLEH Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung RI (H. SUWARDI, SH, MH) I.
PENGERTIAN Subekti
menyebut,
putusan
pelaksanaan
lebih
dahulu
sebagai
terjemahan dari bahasa aslinya Uitvoerbaar bij voorraad. Mahkamah Agung menggunakan istilah putusan serta merta, yang artinya
hakim
berwenang
menjatuhkan
putusan
yang
berisi
amar,
memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan atau banding. II.
DASAR HUKUM Kewenangan
hakim
untuk
menjatuhkan
putusan
serta
merta
(Uitvoerbaar bij voorraad) diatur dalam :
Pasal 180 ayat (1) HIR untuk Jawa dan Madura, serta
Pasal 191 ayat (1) RBg untuk luar Jawa dan Madura
yang bunyinya sebagai berikut : Pasal 180 ayat (1) HIR : “Biarpun orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang besit.” Pasal 191 ayat (1) RBg : “Pengadilan Negeri dapat memerintahkan pelaksanaan sementara keputusannya meskipun ada perlawanan atau banding jika ada bukti yang otentik atau ada surat yang ditulis dengan tangan yang menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku mempunyai kekuatan pembuktian, atau karena sebelumnya sudah ada hal 1 dari 11 halaman
keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, begitu juga jika ada suatu tuntutan sebagian yang dikabulkan atau juga mengenai sengketa tentang hak besit.” Baik dalam HIR maupun RBg yang berhubungan dengan putusan serta merta hanya diatur dalam satu pasal saja, sehingga kurang lengkap, oleh karena itu untuk melengkapi kebutuhan dalam praktek, Mahkamah Agung berkali-kali mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) yaitu : SEMA No. 13 Tahun 1964. SEMA No. 5 Tahun 1969. SEMA No. 3 Tahun 1971. SEMA No. 6 Tahun 1975. SEMA No. 3 Tahun 1978. SEMA No. 4 Tahun 2001. Dari beberapa SEMA tersebut yang hingga surat ini masih berlaku dan harus dijadikan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan putusan serta merta dan eksekusinya adalah SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001, sedangkan SEMA yang lainnya sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. III.
PENJATUHAN PUTUSAN SERTA MERTA Pada prinsipnya putusan Pengadilan baru dapat dilaksanakan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi undang-undang yaitu Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan dengan perintah putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada verzet, banding. Kewenangan hakim tersebut bersifat eksepsional, oleh karena itu hakim dalam memeriksa dan memutus perkara perdata yang didalamnya terdapat petitum gugatan tentang putusan serta merta sebelum memutuskan untuk menolak atau mengabulkan harus memahami sifat penggunaan atau penerapan lembaga putusan serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad). Penerapan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg bersifat fakultatif bukan imperatif, hakim tidak wajib untuk mengabulkannya akan tetapi dapat mengabulkan. Kewenangan hakim menjatuhkan putusan serta merta
hal 2 dari 11 halaman
merupakan diskrisioner, oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan putusan serta merta, sekalipun persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang secara formil telah terpenuhi, karena apabila putusan serta merta sudah dieksekusi barang sudah diserahkan kepada pemohon eksekusi kemudian di tingkat banding atau kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan dan gugatan ditolak akan timbul masalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula obyek eksekusi. Pengalaman dalam praktek masa lalu sebelum keluarnya SEMA tersebut diatas banyak putusan-putusan pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan putusan serta merta, tanpa pertimbangan yang mendasar sehingga banyak putusan yang dibatalkan di tingkat kasasi. Bertitik tolak dari pengalaman tersebut Mahkamah Agung berkali-kali mengeluarkan SEMA yang bertujuan memberikan petunjuk agar hakim tidak terlalu mudah menjatuhkan putusan serta merta dan eksekusinya harus selektif. IV.
SYARAT-SYARAT UNTUK MENJATUHKAN PUTUSAN SERTA MERTA Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg pada pokoknya menentukan syarat untuk menjatuhkan putusan serta merta yaitu : a. Ada surat otentik atau tulisan tangan (handscrift) yang menurut undangundang mempunyai kekuatan bukti. b. Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap. c. Ada gugatan provisional yang dikabulkan d. Dalam sengketa mengenai bezitreecht. Sedangkan berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 2000 persyaratan untuk menjatuhkan putusan serta merta adalah sebagai berikut : a. Gugatan didasarkan pada bukti autentik atau surat tulisan tangan (handscrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti. b. Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. c. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad tidak baik. hal 3 dari 11 halaman
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap. e. Dikabulkannya gugatan provisonil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv. f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan. g. Pokok sengketa mengenai bezitsreht. Jika dibandingkan persyaratan yang ditentukan dalam HIR/RBg dengan persyaratan yang ditentukan dalam SEMA, pada dasarnya sama hanya dalam SEMA diperluas dan terperinci. Selain syarat-syarat di atas, sebelum menjatuhkan putusan harus memperhatikan asas ultra petitum yang diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, pengabulan bertitik tolak petitum gugatan. Apabila dalam gugatan diajukan petitum yang meminta putusan serta merta hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta, akan tetapi apabila dalam gugatan tidak ada petitum tersebut maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan serta merta. Didalam SEMA No. 3 Tahun 2000 Mahkamah Agung memerintahkan agar petunjuk dalam SEMA tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab dan bila ternyata ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya Mahkamah Agung akan mengambil tindakan-tindakan terhadap pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian dalam SEMA tersebut terdapat ancaman sanksi administratif bagi Ketua Pengadilan dan Hakim yang melakukan penyimpangan, dalam penerapan lembaga putusan serta merta. V.
NILAI PEMBUKTIAN SURAT OTENTIK Undang-Undang dalam hal ini Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg menentukan bahwa surat otentik sebagai salah satu syarat untuk menjatuhkan putusan serta merta. Permasalahannya ialah apakah dengan adanya surat otentik misalnya Sertifikat Tanah, sudah cukup alasan untuk menjatuhkan putusan serta merta. hal 4 dari 11 halaman
Untuk menajwab permasalahan tersebut perlu dikaji secara mendalam apa sebenarnya syarat utama untuk menjatuhkan putusan serta merta. Syarat utama menjatuhkan putusan serta merta harus didukung dengan buktibukti yang memiliki kekuatan pembuktian (bewijskracht) sebagai berikut : 1. yang cukup sempurna (vollendig bewijskracht) 2. yang bernilai kekuatan mengikat (bidende bewijskracht) 3. yang bernlai kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijskracht) Apabila dari hasil pemeriksaan gugatan Penggugat didukung oleh alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan baru hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta. Pertanyaanya apakah bukti otentik berupa Sertifikat Tanah sudah memenuhi 3 unsur nilai pembuktian tersebut? Sertifikat Tanah, misalnya SHM, SHGB, SHGU, walaupun merupakan bukti otentik yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat, baru mempunyai nilai pembuktian yang menentukan apabila tidak ada bukti lawan yang menyanggah. Apabila atas alat bukti otentik berupa Sertifikat Hak Milik tersebut diajukan bukti lawan baik berupa bukti otentik maupun saksi-saksi maka bukti otentik yang diajukan Penggugat tersebut belum mempunyai nilai pembuktian yang menentukan. Oleh karena itu hakim sebaiknya tidak menjatuhkan putusan serta merta, karena besar kemungkinan putusan tersebut akan dibatalkan di tingkat banding atau kasasi. Berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2001 Mahkamah Agung menegaskan kembali agar hakim yang memutus perkara serta merta hendaknya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan berpedoman pada SEMA No. 3 Tahun 2000 dan ditegaskan pula, apabila majelis hakim akan mengabulkan permohonan putusan serta merta harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg serta Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut di atas, yang berwenang menjatuhkan putusan serta merta adalah Pengadilan Negeri sedangkan Pengadilan Tinggi tidak berwenang (dalam praktek masih ada Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan putusan serta merta). hal 5 dari 11 halaman
VI.
EKSEKUSI PUTUSAN SERTA MERTA Pada asasnya pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat dijalanlan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam arti terhadap putusan yang
bersangkutan sudah tertutup upaya hukum banding dan kasasi, akan tetapi asas umum selalu ada pengecualian (eksepsional) yaitu terhadap putusan serta merta. Putusan serta merta eksekusinya dapat dijalankan walaupun putusan belum berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan putusan/eksekusi, termasuk eksekusi putusan serta merta sepenuhnya merupakan kewenangan Ketua Pengadilan Negeri dibawah pengawasan Ketua Pengadilan Tinggi selaku kawal depan (voorpost) Mahkamah Agung. Dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 ditentukan, setelah putusan serta merta dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri maka selambat-lambatnya 30 hari setelah diucapkan, turunan putusan yang sah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Apabila Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan serta merta dan putusan provisional dilaksanakan, maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Pengadilan Tinggi harus meneliti secara cermat dan sungguh, sungguh faktor ethos, pathos, logos serta dampak sosialnya sebelum memberikan persetujuan eksekusi putusan serta merta. Permasalahannya, jika perkara sudah sampai di tingkat kasasi sedangkan putusan serta merta belum dieksekusi, siapa yang berwenang untuk memberikan persetujuan, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan Tinggi. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 tidak merinci perkara sampai dimana, akan tetapi menentukan yang pada pokoknya, untuk melaksanakan putusan serta merta dan putusan provisonil Ketua Pengadilan Negeri meminta persetujuan ke Pengadilan Tinggi. Dari ketentuan tersebut maka yang berwenang untuk memberikan persetujuan eksekusi putusan serta merta adalah Pengadilan Tinggi sekalipun pemeriksaan perkara sudah sampai di tingkat kasasi.
hal 6 dari 11 halaman
Memang berdasarkan SEMA terdahulu ditentukan pelaksanaan putusan serta merta harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Mahkamah Agung, akan tetapi sejak keluarnya SEMA No. 5 Tahun 1969 untuk memberikan persetujuan tersebut didelegasikan kepada Pengadilan Tinggi. VII.
PEMBERIAN JAMINAN Apabila Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, maka kepada Penggugat dibebani untuk memberikan jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi, dengan tujuan agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 tidak dirinci jaminan tersebut dalam bentuk apa, akan tetapi dalam SEMA No. 6 Tahun 1975 ditentukan : 1. Bahwa benda-benda jaminan hendaknya yang mudah disimpan dan mudah digunakan untuk mengganti pelaksanaan jika putusan yang bersangkutan tidak dibenarkan nanti oleh hakim banding atau dalam kasasi. 2. Jangan
menerima
penjaminan
orang
(borg)
untuk
menghindarkan
pemasukan pihak ketiha dalam proses. 3. Penentuan benda serta jumlahnya terserah Ketua Pengadilan Negeri. 4. Benda-benda jaminan dicatat dalam daftar tersendiri seperti daftar bendabenda sitaan dalam perkara perdata. Tentang pemberian jaminan tersebut dipertegas lagi dalam SEMA No. 4 Tahun 2001, bahwa tanpa jaminan tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta. Mengacu pada ketentuan SEMA No. 6 Tahun 1975 tersebut maka jenis jaminan dapat berbentuk uang maupun berbentuk benda/barang, yang mudah disimpan dan mudah untuk dijual misalnya emas, akan tetapi untuk mempermudah mengganti pelaksanaan jika putusan Pengadilan Negeri dibatalkan di tingkat banding atau kasasi sebaiknya jaminan dalam berbentuk uang. VIII.
PEMULIHAN DALAM KEADAAN SEMULA
hal 7 dari 11 halaman
Apabila putusan serta merta telah dieksekusi, obyek eksekusi telah diserahkan kepada pemohon eksekusi, kemudian putusan Pengadilan Negeri di tingkat banding dan kasasi dibatalkan dan gugatan Penggugat ditolak seluruhnya, maka harus dilakukan pemulihan dalam keadaan semula. Jika obyek eksekusi masih utuh, obyek eksekusi tersebut harus diserahkan kembali kepada termohon eksekusi. Permasalahannya, bagaimana kalau obyek eksekusi berupa tanah sudah dibongkar, sehingga mengalami kesulitan untuk mengembalikan dalam keadaan semula. Disinilah letak pentingnya lembaga penjaminan dalam eksekusi putusan serta merta, karena dengan adanya jaminan, maka apabila jaminan dalam bentuk uang pengadilan dapat langsung menyerahkan uang jaminan tersebut kepada termohon eksekusi, akan tetapi kalau jaminan berbentuk barang memakan waktu yang cukup lama karena barang tersebut harus dijual dulu. Dalam praktek masih ada Ketua Pengadilan yang tidak memahami tentang eksekusi putusan serta merta dan pemulihan dalam keadaan semula sehingga dapat merugikan pencari keadilan. contoh kasus : Pernah terjadi di Pengadilan Negeri Majalengka, berdasarkan putusan serta merta telah diserahkan tanah terperkara kepada Penggugat. Pada tingkat kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan. Sudah 3 tahun sejak putusan Mahkamah Agung diberitahukan, tanah dan rumah belum dipulihkan dalam keadaan semula dengan jalan menyerahkan kembali kepada Tergugat. Berkali-kali Tergugat meminta pemulihan akan tetapi ditolak Pengadilan Negeri, dengan alasan untuk pemulihan kembali dalam keadaan semula eksekusi putusan serta merta harus melalui gugatan perdata, sedangkan menurut Tergugat pemulihan kembali dapat dilaksanakan tanpa gugatan, sebab pemulihan kembali dapat dilaksanakan tanpa gugatan, sebab pemulihan itu merupakan satu kesatuan yang melihat pada eksekusi putusan tersebut. Dalam
kasus
Pengadilan
Negeri
Majalengka
tersebut
di
atas
nampanknya Ketua Pengadilan Negeri pada saat itu belum memahami acara perdata mengenai eksekusi serta merta, akan tetapi sebaliknya justru termohon eksekusi/Tergugat lebih mengetahui. hal 8 dari 11 halaman
Pendapat termohon eksekusi/Tergugat tersebut benar, pemulihan hak kepada Tergugat dalam putusan serta merta merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan eksekusi yang mendahuluinya. Pada hakikatnya eksekusi yang dijalankan berdasarkan putusan serta merta, bukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (res judicata) oleh karena itu eksekusi yang dijalankan masih bersifat sementara, oleh karena itu harus segera dipulihkan dalam keadaan semula tanpa syarat apabila putusan serta merta dibatalkan di tingkat banding atau kasasi. Pemulihan dalam keadaan semula dapat dilaksanakan : 1. Dilakukan secara suka rela. 2. Dieksekusi dengan paksa melalui Pengadilan apabila Penggugat tidak mau melaksanakan secara suka rela. IX.
PEMULIHAN DARI PIHAK KETIGA Apabila eksekusi serta merta telah dijalankan, obyek sengketa telah diserahkan kepada Penggugat, kemudian Penggugat menjual kepada pihak ketiga, kemudian putusan serta merta dibatalkan dalam tingkat banding dan kasasi dan Tergugat menghendaki agar obyek eksekusi dipulihkan kepadanya dalam bentuk fisik, maka pemulihannya tidak bisa langsung, harus melalui gugatan perdata, akan tetapi apabila terbukti bahwa pihak ketiga tersebut sebagai pembeli yang beritikad baik harus dilindungi. Proses demikian ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung
No. 323 K/Sip/1968 yang
menyatakan : Pembeli dalam lelang eksekusi apabila telah terjadi execute bij voorraad, sedang putusan pengadilan yang bersangkutan kemudian dibatalkan, jalan yang dapat ditempuh untuk mengembalikan upaya semula adalah penuntutan terhadap barang-barang jaminan yang diserahkan oleh executans pada waktu mengajukan permohonan executie. X.
KESIMPULAN Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan dengan perintah supaya putusan dilaksanakan lebih dahulu meskipun ada perlawanan atau banding hal 9 dari 11 halaman
(putusan serta merta), akan tetapi hakim harus berhati-hati jangan terlalu mudah menjatuhkan putusan serta merta meskipun syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg dan SEMA telah terpenuhi. Apabila hakim akan menjatuhkan putusan serta merta harus mengkaji secara mendalam syarat utama menjatuhkan putusan serta merta, yaitu harus didukung dengan bukti-bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, bernilai kekuatan mengikat dan bernilai kekuatan pembuktian yang menentukan. Tanpa terpenuhinya 3 unsur tersebut sebaiknya hakim tidak menjatuhkan putusan serta merta, karena besar kemungkinan putusan akan dibatalkan dalam di tingkat banding atau kasasi. Yang berwenang menjadikan putusan serta merta adalah Pengadilan Negeri sedangkan Pengadilan Tinggi tidak dapat menyatukan putusan serta merta. Eksekusi putusan serta merta harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 jo SEMA No. 4 Tahun 2001, yaitu adanya persetujuan Pengadilan Tinggi dan adanya jaminan yang nilainya setara dengan nilai obyek eksekusi. Apabila putusan serta merta telah dilaksanakan kemudian putusan Pengadilan Negeri di tingkat banding atau kasasi dibatalkan maka harus dilakukan eksekusi pengembalian dalam keadaan semula. Jika obyek eksekusi masih ada di tangan pemohon eksekusi, pengembalian dalam keadaan semula dilaksanakan secara langsung. Jika obyek eksekusi telah dipindahtangankan kepada pihak ketiga misalnya dijual atau dihibahkan, maka pengembalian dalam keadaan semula harus dilakukan dengan mengajukan gugatan. Berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 2000 ditentukan apabila ternyata ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan SEMA tersebut, Mahkamah Agung akan mengambil tindakan-tindakan terhadap pejabat yang bersangkutan.
hal 10 dari 11 halaman