HAKIM AGAMA PEREMPUAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN (Studi Tentang Peluang Dan Hambatan Dalam Peningkatan Karir)
Fatimah The study explores how the female judges take available chances in Medan Religious Court and what challenges facing them in pursuing their career. My analysis in the study indicates that the female judges have not used the existing opportunities comparably. They prefer to pursue chances for their capacity building rather than higher careers in the court. Certain challenges facing the female courts when trying to promote their careers in the Religious Court. Term kunci: hakim perempuan, peradilan agama
Hakim secara etimologi merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu hakim yang berarti orang yang memberi putusan atau diistilahkan juga dengan qadi,1 Hakim juga berarti orang yang melaksanakan hukum, karena hakim itu memang bertugas mencegah seseorang dari kezaliman.2 Kata hakim ini dalam pemakaiannya 1
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), h. 286. 2 Ibn Manzur, Lisan Arab, (Beirut: Dar Sadir li Taba’ah wa al- Nasyar, 1956), Juz. 12, h. 140-141. Dalam sejarah Islam, sebutan bagi orang yang mengadili suatu perkara biasa dikenal dengan nama qadi. Antara qadi dan hakim, pada dasarnya mempunyai makna yang sama yaitu orang yang mengadili suatu perkara. Namun, antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu bahwa qadi adalah hakim terutama yang mengadili perkara yang ada sangkut-
1
2
Jurnal Penelitian: Medan Agama
dipersamakan dengan qadi yang berarti orang yang memutus perkara dan menetapkannya.3 Lembaga peradilannya disebut dengan qada. Menurut Undang-Undang Peradilan Agama hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.4 Ia merupakan salah satu unsur terpenting dalam lembaga peradilan termasuk peradilan agama dan memainkan peranan yang sangat besar dalam melaksanakan pemberlakuan hukum Islam dan merupakan orang yang paling bertanggung jawab sepenuhnya dalam menjaga dan mempertahankan hukum Islam. Demikian beratnya tugas hakim, tentu tidak semua orang mampu menduduki jabatan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pemberian kriteria khusus dan penyaringan tersendiri bagi orang yang akan diangkat menjadi hakim. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa orang yang memegang jabatan hakim benar-benar credible dan berkelayakan. Secara umum, bila berbicara mengenai kesiapan untuk menjadi hakim, terlebih lagi yang menyangkut mental, maka secara hipotesis yang sering didiskriminasikan adalah pihak pautnya dengan agama Islam. Dengan demikian, setiap qadi pasti hakim, tetapi tidak setiap hakim itu adalah qadhi. Lihat WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 339, 441 dan lihat juga Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-’A`lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 146, 636. 3 Muhammad Salam Madkur, Al- Qada fi al- Islam, (Mesir: Dar alNahdah al- Arabiyah, t. t.), h. 11. Selanjutnya disebut Salam Madkur. 4 Undang-Undang Peradilan Agama, Ed. Yudha Pandu, (Indonesia Legal Center Publishing, 2006), h. 6.
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama perempuan.
Kemampuan
perempuan
3 dalam
hal
ini
selalu
dipertanyakan. Sikap seperti ini terjadi karena semasa Rasulullah SAW. hidup, tidak pernah ditemukan contoh kasus bahwa beliau pernah memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk mengemban tugas sebagai hakim. Sedangkan untuk pria telah banyak, seperti Abu Musa al-Asy`ari, Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Talib, Mu`az ibn Jabal, dan sebagainya. Pendirian seperti ini berlanjut terus sampai masamasa sesudahnya, bahkan berdasarkan ini juga jumhur ulama, khususnya kalangan mazhab Syafi`i, tidak membolehkan perempuan menjadi hakim. Pada tahun 1975 Departemen Agama merekrut para sarjana syari’ah untuk diangkat sebagai hakim pada Pengadilan Agama. Sehubungan dengan hal ini banyak juga para sarjana wanita mengajukan permohonan untuk diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Agama. Terhadap hal ini timbul pro dan kontra, sehing+ga Menteri Agama R.I. menyarankan untuk dibicarakan di dalam sidang Alim Ulama Terbatas pada tanggal 14-17 Juli 1975 di Jakarta. Dalam musyawarah tersebut disimpulkan antara lain; (1) hakim wanita dalam pengadilan adalah masalah perselisihan di kalangan mujtahidin; (2) ada wanita yang menjadi hakim pada Pengadilan Agama yang sudah berjalan beberapa waktu yang lalu adalah sesuai kemaslahatan; (3) oleh karena itu pengangkatan wanita pada jabatan hakim Pengadilan Agama dapat dibenarkan. Edisi 8, Desember 2008
4
Jurnal Penelitian: Medan Agama
Berkenaan dengan hal tersebut, apabila kita lihat kenyataan yang ada dan berlaku sekarang ini, perempuan telah disejajarkan dengan pria dalam hal eksistensinya sebagai hakim di Pengadilan Agama. Terlebih lagi setelah adanya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, peluang wanita untuk menjadi hakim dan peran yang dapat mereka lakukan setelah menjabat jabatan hakim benar-benar telah disamakan dengan pria. Hal ini dapat dipahami dari maksud pasal 13 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dan dipertegas lagi pada pasal 13 ayat 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yaitu tentang persyaratan menjadi hakim Pengadilan Agama.5 Persyaratan tersebut datang dalam bentuk umum tanpa menyinggung asas personalitas yang didasarkan pada jenis kelamin tertentu. Sebagai konsekuensinya dapat dipahami bahwa baik pria maupun perempuan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi hakim agama. Ternyata
konsep
keseimbangan
hakim
laki-laki
dan
perempuan di atas belum menjadi kenyataan. Ini dapat dibuktikan dari data keadaan hakim yang ada di Pengadilan Agama Medan bahwa dari 18 hakim yang ada hanya terdapat empat hakim perempuan. Seleksi calon hakim pada tahun 2004 meluluskan dua orang dan keduanya adalah laki-laki, pada tahun 2005 calon hakim yang diterima
5
Undang-Undang Peradilan Agama, Op. Cit, h. 6-7 dan 74-75.
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
5
keduanya adalah perempuan, dan pengangkatan tahun 2007 sebanyak delapan orang, dua diantaranya perempuan.6 Selain itu dari sebelas Pengadilan Agama yang ada di Sumatera Utara hanya ada tiga hakim perempuan yang menduduki jabatan sebagai ketua dan wakil ketua yaitu sebagai ketua di Pengadilan Agama Tanjung Balai, dan wakil ketua di Pengadilan Agama Kisaran dan Binjai. Padahal 3 hakim perempuan yang ada di Pengadilan Agama Medan berpeluang menduduki jabatan sebagai ketua atau wakil. Paparan di atas menunjukkan minimnya kuantitas hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan, dan ini tidak sesuai dengan peluang yang ditawarkan oleh Undang-Undang Peradilan Agama No 7 tahun 1989. Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan peluang bagi perempuan untuk menjadi hakim pada pengadilan agama dan mengisyaratkan adanya hambatan dalam mengaktualisasikan diri untuk pengembangan karir mereka. Inilah yang memberikan inspirasi bagi peneliti untuk meneliti dengan judul “Hakim Agama Perempuan; Studi Tentang Peluang dan Hambatan Dalam Peningkatan Karir” di Pengadilan Agama Medan. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan studi lapangan yang menggunakan metode made of inquiry
qualitative, yaitu metode kualitatif yang
6
Data Keadaan Pegawai Pengadilan Agama Kelas I A tahun 2007.
Edisi 8, Desember 2008
6
Jurnal Penelitian: Medan Agama
menggunakan teknik berhadapan langsung dalam pengumpulan data dengan informan atau subjek penelitian di dalam latar alamiah mereka. Sesuai sifat permasalahan penelitian yang diajukan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data ke subjek dan informan penelitian serta analisisnya secara lebih holistik dan komprehensif adalah sangat sesuai dengan pendekatan kualitatif, yang merupakan analisis interpretif dan naturalistik terhadap fenomena yang ada. Penggunaan pendekatan kualitatif ini kemudian akan terefleksi dalam pemilihan subjek dan informan penelitian, serta dalam tehnik pengumpulan data dan analisis data yang akan diterapkan. Penjelasan berikut menjadi justifikasi mengapa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pertama, permasalahan akan dijawab melalui pemahaman dan pemaknaan, dua hal penting mengapa penelitian selayaknya dilakukan secara kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami eksistensi hakim agama perempuan di Pengadilan Agama. Bagaimana para hakim perempuan tersebut memaknai profesi dan tugas mereka sehingga mereka berhak untuk mendapatkan kesempatan atau peluang mengembangkan karir sama dengan hakim laki-laki, serta apa saja hambatan yang mereka dapati dalam pengembangan karir di Pengadilan Agama Medan, merupakan hal-hal yang akan digali melalui penelitian ini. Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama Kedua,
realita
kesetaraan
7 atau
ketidaksetaraan
jender
merupakan refleksi dari akumulasi berbagai trend global, norma sosial, tradisi lokal, dan penafsiran ajaran agama yang hidup di tengah masyarakat akan mempengaruhi sistem dalam suatu lembaga. Oleh karena itu, kajian terhadap realita ini harus dilakukan dengan menganalisa konteks yang mengitarinya, dan ini hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Subjek dan Informan Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan yang berlokasi di jalan Sisingamaraja Km. 8.8 Medan. Pengadilan ini merupakan salah satu dari 11 pengadilan Agama yang ada di Sumatera Utara. Pengadilan Agama Medan dibentuk berdasarkan surat Penetapan Menteri Agama Nomor 58 Tahun 1957 merupakan satu-satunya Pengadilan Agama Kelas I A7 dari 11 Pengadilan Agama; Binjai, Tanjung Balai, Rantau Prapat, Sibolga, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Balige, Padang Sidempuan, Lubuk Pakam, Kisaran, dan Simalungun, yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Medan, yang memiliki luas wilayah hukum 300.288 m2, terdiri atas 21
7 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia diklasifikasikan dalam kelas IA, kelas IB, kelas IIA dan kelas IIB, jumlah Pengadilan Agama yang ada di Indonesia 305 dengan klasifikasi kelas IA berjumlah 52, kelas IB=74, kelas IIA=83 dan kelas IIB=96.Keputusan Menteri Agama RI No.73 Tahun 1993 Tentang Penetapan Kelas Pengadilan Agama.
Edisi 8, Desember 2008
8
Jurnal Penelitian: Medan Agama
kecamatan dengan jumlah penduduk 1.904.273 jiwa dengan rincian: muslim 1.291.751 dan non muslim: 612.522 jiwa. Subjek penelitian ini adalah hakim-hakim perempuan yang bertugas di Pengadilan Agama Medan yang diantara mereka ada yang sudah cukup lama dan intensif melaksanakan tugasnya di Pengadilan Agama Medan, dan informan penelitian ini terdiri dari; Ketua Pengadilan Agama Medan, Panitera/sekretaris Pengadilan Agama Medan, Ketua Pengadilan Agama Tanjung Balai dan hakim laki-laki. Strategi Pengumpulan Data Pengumpulan dan analisa data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara sirkuler, demikian Miles dan Huberman.8 Sejalan dengan itu, Mc Milan dan Shumacher9 juga menyatakan bahwa pengumpulan dan analisa data kualitatif berlangsung secara interaktif dan overlapping, karenanya tidak disebut sebagai prosedur tetapi straregi pengumpulan dan analisis data. Lebih lanjut pengumpulan data kualitatif pada dasarnya sama, fase-fase penelitian secara relatif sama, yaitu dimulai dari: (1) fase perencanaan, (2) fase permulaan dan pengumpulan data, (3) fase
8 Mathew B. Miles dan Michael huberman, Analisis Data Kualitatif, edisi Indonesia terj. Thetjep Rohendi Rohidi, ( Jakarta: UI Press, 1992), 9 James H. McMillan dan Michael Schumacher, Research in Education A. Conceptual Introduction ( New York:: Longman, edisi kelima, 2001), h. 505
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
9
mengumpulkan data dasar atau pokok ,(4) fase mengakhiri pengumpulan data, dan (5) fase melengkapi data.10 Lima fase pengumpulan data di atas dimodifikasi kepada tiga fase: 1. Pada fase perencanaan, strategi yang digunakan adalah studi dokumen atau telaah literatur. Strategi ini dipergunakan adalah untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pemahaman teoritik tentang profesi hakim dan peradilan agama. 2. Pada Fase pengumpulan data pokok, strategi pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Penelitian ini akan menggunakan tekhnik wawancara sebagai cara utama untuk mengumpulkan informasi atau data pokok. 3.
Pada fase melengkapi data, maka strategi yang digunakan adalah dengan observasi langsung ke Pengadilan Agama untuk melihat secara langsung aktifitas para hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan.
Analisis Data Analisis yang dilakukan dapat dikemukakan sebagai berikut; pemilihan dan pengklasifikasian/pengelompokan data, menginformasikan
data
secara
rinci
kemudian
menarik
kesimpulan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan penelitian yang telah diajukan. Proses ini secara ringkas melalui tahapan-tahapan yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman 10
Ibid,. h. 405-407.
Edisi 8, Desember 2008
10
Jurnal Penelitian: Medan Agama
yang melalui tiga tahapan; reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan.11 Tehnik Penjaminan Keabsahan Data Penelitian ini menggunakan tehnik penjaminan keabsahan data yang umum terdapat dalam penelitian kualitatif yaitu kredibilitas dan transferabilitas (credibility and transferability). Kerangka Konseptual Tujuan penciptaan manusia dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan adalah untuk mengabdi kepadaNya, sementara tujuan syari’ah antara lain adalah mewujudkan keadilan (QS al- Nahl: 90) dan 11
M.B. Miles and A. M.Huberman, Qualitative Data Analysis, An
Expanded Sourcebook,
( Canada; Sage Publication, Thousand Oaks,
1994), h.21-22. Reduksi data merupakan unsur utama dari tiga tahap yang ditawarkan oleh Miles dan Huberman. Dijelaskan bahwa reduksi data merujuk
kepada
proses
memilih,
memfokuskan,
menyederhanakan,
mengabstraksikan dan mentransformasikan data yang tertulis dari catatan lapangan
atau
transkrip
wawancara
dan
data
dokumen
yang
diperoleh.Display data unsur kedua dari tiga tahapan tadi, pada tahap ini data yang telah direduksi diorganisir dan disusun sedemikian rupa sehingga mungkin ditarik suatu kesimpulan. Dalam penelitian ini display data yang ditampilkan adalah teks, dari sini peneliti diharapkan dapat menarik kesimpulan dan hubungan-hubungan. Tahap ketiga dari teknik Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi, untuk melihat implikasi-implikasi temuan pada topik penelitian.
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
11
menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS Ali Imran: 104), karenanya secara umum kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Bahkan secara kualitas individu, kedudukan laki-laki dan perempuan di mata Tuhan tidak ada perbedaannya (QS al- Hujarat: 13). Amal dan prestasi mereka sama-sama diakui Tuhan, sama berpotensi memperoleh kehidupan dunia yang layak dan sama punya potensi untuk masuk surga (QS Ali Imran: 195). Alquran secara langsung mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan yakni pada fungsi reproduksi. Meskipun begitu pembedaan ini bukanlah pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya, melainkan hanya untuk mendukung obsesi Alquran yaitu terciptanya hubungan yang harmonis yang didasari rasa kasih sayang di lingkungan keluarga dan meluas ke masyarakat dan dunia. Kepemimpinan perempuan termasuk kedudukannya sebagai hakim dalam Islam menjadi hal yang debatable karena adanya perbedaan pemahaman terhadap QS al- Nisa: 34 dan sebuah hadis yang meragukan kepemimpinan perempuan. Ayat 34 surat al- Nisa ini menggunakan kata al- rijal untuk laki-laki dan al- nisa untuk perempuan, peran mana berlaku tidak mutlak. Kata qawwamuna diterjemahkan pemimpin dalam Tafsir Departemen Agama RI.12
12
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Jamunu, 1970), h. 123.
Edisi 8, Desember 2008
12
Jurnal Penelitian: Medan Agama
Menurut penelitian Riffat Hasan13 kata qawwamuna dalam bahasa Semit memiliki 20 arti antara lain: bertanggung jawab, pencari nafkah, mengayomi, menolong, melindungi, memimpin, memelihara dan menyediakan sarana pendukung, Itu artinya kata tersebut tidak semata-mata berarti pemimpin yang selama ini telah disalahtafsirkan, tapi bervariasi sesuai dengan perkembangan budaya setempat ke arah mana yang tepat terjemahan maupun penafsirannya. Menurut Jawad al- Mughniyah dalam tafsirnya mengatakan bahwa maksud ayat ini bukankah menciptakan perbedaan yang menganggap perempuan itu lebih rendah dibandingkan laki-laki, tetapi keduanya sama. Sedang ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada lakilaki sebagai suami dan perempuan sebagai istri, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami dalam memimpin istrinya bukan untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan untuk menjadi penguasa yang diktator.14
13 Fatima Mernissi, Rifft Hassan, Setara di Hadapan Allah, (LSPPAYayasan Prakarsa, 1995) 14 Muhammad Jawad al- Mughniyah, Tafsir al- Kasyf II , (Beirut: Dar al- Ilmi al- Malayin, 1968), h. 314. Huzaemah T. Yanggo 14 mengatakan bahwa kebolehan perempuan unuk menjadi top leader ditopang oleh QS al- Taubah: 71. Menurutnya dalam ayat tersebut Allah SWT mempergunakan kata auliya bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja tetapi juga kepada perempuan secara bersama-sama. Karena menurut tafsir al- Maraghi dan al- Manar, kata auliya tersebut punya makna beragam mencakup wali penolong, wali solidaritas dan wali kasih sayang. Huzeimah T Yanggo, Konstruksi Figh Wanita dalam Peradaban Masyarakat Indonesia Modern, dalam M. Hajar Dewantoro dan Admawi (ed), Rekonstruksi Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Ababil, 1996), h. 89.
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
13
Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita boleh menjadi hakim, meskipun kebolehan dibatasi dengan persoalan hudud dan qisas. Adapun argumentasi yang dikedepankannya adalah jika diterima kesaksian seseorang dalam kasus tertentu maka orang tersebut dapat menjadi hakim dalam kasus serupa, begitu juga sebaliknya.15 Adapun dasar hukum pendapat Imam Hanafi ini adalah QS. Al- Baqarah: 28216 yang menjelaskan tentang kebolehan wanita menjadi saksi. Imam Hanafi dalam pemahamannya terhadap ayat di atas berpendapat bahwa kebolehan wanita menjadi saksi meski dengan adanya syarat dua orang ditambah satu lelaki menunjukkan wanita sebagai orang yang ahli (al- Ahliyah) dalam bidang kesaksian.17 Selain itu adanya suruhan Allah untuk menulis dan menyaksikan atas transaksi hutang piutang yang menjadi pembahasan dalam ayat ini karena hal tersebut menyangkut hak manusia, untuk itulah maka diberlakukanlah secara umum dalam konteks hak manusia tadi pada
15 Alau al- Din Abi al- Hasan Ibn Kholil al- Tarabalis al- Hanafi, Mu’in al- Hukkam fima Yataraddad bain al- Khasamain min al- Hakam, (Mesir: Mustafa al- Babi al- Halbi wa Auladih, 1973), h. 25.
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki
16
diantara kamu, jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridoi, jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...” 17 Ibn Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al- Muqtasid, (Indonesia: Dar Ihya al- Kutub al- Arabiyah, t. t. ), Juz 2, h. 384.
Edisi 8, Desember 2008
14
Jurnal Penelitian: Medan Agama
hal persaksian. Artinya persaksian yang diperintahkan Allah bukan hanya hak kaum lelaki saja melainkan juga hak wanita.18 Pemahaman Imam Hanafi di atas kemudian dilanjutkan dengan analogi bahwa setiap seseorang yang diterima kesaksiannya dalam kasus tertentu maka orang tersebut bisa menjadi hakim dalam kasus tersebut. Beranjak dari analogi yang dikedepankannya dapat disimpulkan bahwa menurut Imam Hanafi wanita boleh menjadi hakim sebagaimana pria pada semua kasus kecuali hudud dan qisas. Pendapat Imam Hanafi inilah kemudian secara aplikatif melegalisasikan eksistensi hakim agama perempuan yang ada di Indonesia. Ini dapat dilihat dari wewenang absolut Pengadilan Agama sampai saat ini hanya terbatas pada kasus-kasus perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syari’ah sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.19 Eksistensi Hakim Perempuan di Pengadilan Agama Medan Hakim perempuan yang ada di Pengadilan Agama Medan saat ini berjumlah empat orang dari 18 orang hakim yang ada. Tiga orang di antara mereka tergolong hakim yang cukup senior karena masa 18 Syams al- Din Al- Sarkhasi, Al- Mabsut, (Mesir: Al- Sa’adah bi Jawari Muhafazatiha, 1324H), h. 113. 19 Undang-Undang Peradilan Agama, Ed. Yudha Pandu, ( t. tp: Indonesia Legal Center Publishing, 2006), h. 95.
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
15
tugas mereka terbilang cukup lama, lebih dari 12 tahun. Keempat hakim perempuan ini adalah juga para ibu rumah tangga. Berkenaan dengan judul di atas maka untuk melihat eksistensi hakim perempuan di Pengadilan Agama akan dilakukan dengan dua cara, yakni cara pengangkatan hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan dan dari cara mereka beraktivitas sebagai hakim. 1. Pengangkatan Hakim Perempuan Pengangkatan Hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan merujuk kepada Undang-Undang Peadilan Agama baik UndangUndang No. 7 Tahun 1989 maupun Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, namun pada masa pengangkatan Hakim perempuan di PA. Medan yang peneliti jadikan informan utama dan informan tambahan Undang-Undang yang dijadikan dasar rujukan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Di dalam pasal 13 Undang-Undang tersebut dinyatakan: (1). Untuk dapat diangkat sebagai calon Hakim Pengadilan Agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia, b. beragama Islam, c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, d. setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, e. Sarjana Syari’ah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, f. Sehat jasmani dan rohani, g. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela, h. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk anggota massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung Edisi 8, Desember 2008
16
Jurnal Penelitian: Medan Agama
dalam Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia. (2). Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 tahun. Berdasarkan Undang-Undang tersebut pengangkatan hakim dilakukan dengan dua pola yaitu, pengangkatan calon hakim berdasarkan seleksi calon hakim non pegawai dan pengangkatan calon hakim berdasarkan seleksi calon hakim yang sudah pegawai negeri. Baik calon hakim yang telah lulus melalui seleksi non pegawai maupun yang lulus seleksi dari pegawai negeri keduanya harus mengikuti pendidikan bagi calon hakim selama satu tahun, yang pada waktu itu dipusatkan di IAIN Jakarta. Perbedaan pengangkatan ini akan terlihat pada lamanya masa menjadi pegawai negeri dan lamanya masa berprofesi sebagai hakim. Hakim agama perempuan di Pengadilan Agama Medan ini merupakan lulusan kedua model seleksi di atas, oleh sebab itu ditemukan hakim perempuan yang sudah lama masa kepegawaiannya tetapi baru masa jabatan hakimnya, dari Data Keadaan Pegawai Pengadilan Agama Kelas I-A Tahun 2007 serta Lampiran S.K. Ketua Pengadilan Agama Medan Tentang Susunan Majelis Hakim dapat dilihat:
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
No Nama
17
Jabatan Mulai Pegawai Kode
1
Drs. Pahlawan Hrp S.H. M.H Ketua
1980
A
2
Drs. Irsan Mukhtar Nst
Wakil
1984
B
3
Drs. Syaifuddin, S.H.M.H
Hakim
1991
C.4
4
Dra. Harmala Hrp. SH. MH
Hakim
1992
C.5
5
Dra. Nurhidayah S.H. M.H
Hakim
1992
C.6
6
Dra. Hj. Nelliati, S.H. M.H
Hakim
1982
C.7
7
Hj. Maswari Lubis, S.H.M.H
Hakim
1979
C.12
Kode huruf A, B, dan C digunakan untuk menunjukkan status jabatan dan senioritasi para hakim. Huruf A untuk Ketua Pengadilan, B untuk wakil Ketua, C untuk Hakim sedangkan D untuk Panitera. Angka yang tertulis di depan huruf C menunjukkan tingkat senioritas seorang Hakim, semakin kecil angka yang tertulis semakin tinggi tingkat senioritasnya. 2. Aktivitas Hakim Perempuan di Pengadilan Agama Medan Pada sub ini akan dilihat aktivitas hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan yang difokuskan kepada kegiatan-kegiatan para hakim perempuan dalam beracara di ruang sidang dan dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian di Pengadilan Agama Medan. Aktifitas beracara dimulai dari menerima berkas perkara, memeriksa Edisi 8, Desember 2008
18
Jurnal Penelitian: Medan Agama
perkara, menyidangkan serta memutuskan perkara. Pelaksanaan seluruh kegiatan tersebut dilakukan di dalam ruang sidang kecuali membuat salinan putusan yang mereka lakukan di luar ruang sidang seperti di ruang hakim bahkan adakalanya di rumah. Kegiatan persidangan dilakukan dari mulai hari Senin sampai Kamis dengan susunan majelis Hakim yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dan susunan tersebut berlaku selama enam bulan. Susunan majelis hakim ini terdiri dari satu orang Ketua Majelis, tiga orang hakim anggota dan satu atau dua orang Panitera. Penunjukan seorang Hakim sebagai Ketua Majelis Hakim sangat ditentukan oleh senioritasnya, artinya hakim yang tertua dalam jabatan hakim dianggap lebih tinggi senioritasnya dibanding dengan hakim yang lebih muda jabatan hakimnya. Hakim yang senior diletakkan pada urutan teratas dan sudah otomatis menjadi ketua majelis hakim. Hal
ini
berdasarkan
pada
SEMA
tgl.
21-8-1971
No.
MA/Pemb/1910/71 mengenai ketua majelis hakim bagi peradilan umum dapat diambil sebagai pedoman oleh peradilan agama. Berikut ini akan dilihat susunan majelis hakim berdasarkan SK. Ketua Pengadilan Agama Medan Tanggal 28 Juni 2007:
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
19
Majelis Hakim / Panitera Pengganti Senin I No Majelis Hakim 1 Drs. Irsan Mukhtar Nst 2 Drs. M.Harun Dly 3 Drs. Sohel S.H Panitera Pengganti 1 Jumrik, S.H 2 Jasman S.H
Kode B C3 C8 Kode D5 D4
Senin II No Majelis Hakim 1 Drs. M. Ghozali 2 Drs. Syaifuddin 3 Drs. Hafifulloh Panitera Pengganti 1 Hj Jumini, SH 2 Misdaruddin, S.Ag
Kode C2 C4 C10 Kode D13 D21
Ketua majelis hakim memiliki tugas untuk menetapkan hari sidang perkara (PHS), membaca dan mempelajari perkara-perkara yang akan disidangkan. Berkas perkara tersebut diterima biasanya seminggu sebelum hari persidangan atau bisa kurang dari itu, barulah ketua majelis menetapkan hari sidang.Di dalam persidangan ketua majelis hakim melakukan upaya damai, pemeriksaan perkara/ gugatan yang
diawali
dengan
pembacaan
surat
gugatan,
kemudian
mendengarkan jawaban tergugat, mendengarkan tanggapan penggugat atas jawaban tergugat (Replik), mempersilahkan tergugat untuk memberikan tanggapan atas jawaban penggugat (Duplik), selanjutnya melakukan pemeriksaan alat bukti, tahap terakhir adalah majelis hakim mengambil kesimpulan dari pihak-pihak yang berperkara sesuai prosedur persidangan yang dilaksanakan, setelah semua prosedur dijalankan majelis hakim bermusyawarah secara tertutup untuk mengambil keputusan yang tepat terhadap suatu perkara. Di dalam sidang tertutup majelis hakim ini setiap hakim mengeluarkan analisa Edisi 8, Desember 2008
20
Jurnal Penelitian: Medan Agama
dan pendapatnya terhadap perkara yang disidangkan berdasarkan bukti-bukti dan proses sidang yang telah berlangsung. Di dalam musyawarah ini para hakim masih diberikan ruang untuk berijtihad, walau ijtihad yang dilakukan masih merujuk kepada berbagai sumber kitab-kitab fiqh atau disebut ijtihad thatbi’i. Setelah sidang majelis hakim tertutup ini selesai ketua majelis membuka sidang terbuka untuk umum untuk pembacaan putusan atau penetapan. “Ada seperti barang hantaran itukan cuma di Medan yang memiliki tradisi semacam itu, ketika ada tuntutan pembagian harta itu dihitung harta siapa? Itukan membutuhkan pengetahuan kita tentang budaya setempat.” Tugas dan kegiatan ketua majelis hakim tidak hanya dilaksanakan di dalam persidangan, di luar persidangan mereka juga harus membuat salinan putusan-putusan perkara yang telah disidangkan, tugas membuat salinan putusan ini diselesaikan di kantor mereka yakni di ruang hakim bahkan jika tidak selesai, di bawa pulang ke rumah, seperti yang diungkapkan seorang hakim perempuan: “ Oh..... ini kakak sedang mengetik, kalau hari Jum’at inilah tugas kami membuat salinan putusan, kan sekarang salinan itu harus diketik dengan komputer, kalau dulu tulis tangan ajapun boleh jadi, di rumah sambil golekpun bisa kita mengerjakannya”. Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
21
Para hakim perempuan ini juga aktif di kegiatan ekstra seperti organisasi Hakim yaitu IKAHI yang berkegiatan mengadakan diskusi dan seminar antara sesama hakim, meski mereka tidak terlibat dalam kepengurusan organisasi ataupun pemerasaran dalam diskusi atau seminar. Dua orang hakim perempuan memberikan alasan ketidak terlibatan mereka sebagai pengurus organisasi ini dan tidak pernah sebagai penyaji diskusi. Peluang Hakim Perempuan Mengembangkan Karir di PA Medan A. Peluang Meningkatkan Kwalitas dan Profesionalitas Peluang peningkatan kualitas keilmuan dan profesionalitas sudah dimanfaatkan para hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan. Meski mereka (3 orang di antara 4 orang Hakim perempuan) adalah lulusan sarjana S-I fakultas Syari’ah tetapi mereka juga sudah mengambil kuliah S-I di fakultas hukum, tidak hanya sampai di situ, keempat hakim perempuan ini sudah menyelesaikan program S-2 dengan gelar Magister Hukum. Keempat hakim perempuan ini merupakan lulusan Program Pasca Sarjana UMSU. Peluang untuk peningkatan kualitas hakim di bidang materi dan teknik persidangan juga dilaksanakan dalam bentuk in training service yang diadakan oleh Mahkamh Agung. Pelatihan- pelatihan yang diadakan oleh Mahkamah Agung seperti pelatihan teknik yustisial Hakim Peradilan Agama yang dilaksanakan di Jakarta atau di Edisi 8, Desember 2008
22
Jurnal Penelitian: Medan Agama
berbagai tempat yang lain, atau seminar-seminar yang bersifat lokal maupun nasional, diikuti oleh hakim perempuan. B. Peluang Meningkatkan Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama No 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang dan No 3 Tahun 2006, setiap hakim berhak
meningkatkan
dan
mempunyai
kesempatan
untuk
meningkatkan karir dan jabatannya. Secara hirarkis jabatan-jabatan yang dapat dilalui oleh seorang Hakim seperti berikut: a).Hakim Tinggi Agama yakni Hakim Pengadilan Tinggi Agama, b). Wakil Ketua Pengadilan Agama, c). Ketua Pengadilan Agama, d). Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama, d). Ketua Pengadialan Tinggi Agama, e).Hakim Agung atau jabatan-jabatan lain yang berpuncak di Mahkamah Agung. Undang-undang No 3 tahun 2006 di dalam beberapa pasalnya menyebutkan;1. Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama. ( pasal 13 ayat 3). 2. Untuk dapat diangkat menjadi hakim Pengadilan Tinggi Agama, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut: a)Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h. b). Berumur paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun. c). Pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
23
(lima belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama. d). Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.Begitu juga untuk menduduki jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Agama atau wakil ketua Pengadilan Tinggi
bahkan menjadi Hakim Agung kesemuanya
memiliki persyaratan yang didasarkan pada senioritas atau masa kerja dan masa menduduki jabatan. Ketua Pengadilan Agama Medan selaku pejabat yang paling berkompeten untuk menawarkan atau mensuggesti para hakimnya yang sudah dipandang layak untuk menduduki jabatan-jabatan yang ada. Dua orang hakim perempuan di PA Medan yang sudah cukup senior karena masa jabatannya sudah lebih dari 12 tahun dan dari segi umur mereka juga sudah memeuhi syarat, pernah ditawarkan untuk dipromosikan menduduki jabatan Ketua di salah satu Pengadilan. Terkait dengan penawaran yang diberikan kepada hakim perempuan, bagihakim laki-laki hal tersebut tidak menjadi permasalahan, meski peluang itu juga pernah ditawarkan kepada mereka: salah seorang hakim laki-laki mengungkapkan: “Undang-Undang itukan berlaku untuk semua hakim, tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan dia berlaku umum, jadi kalau memang sudah memiliki krieria untuk itu siapapun yang naik tidak menjadi masalah, apalagi di Pengadilan Agama ini, segala sesuatunyakan atas petunjuk Mahkamah Agung, seperti si.... sama si...., mereka itukan sudah pernah ditawari dan mereka memang sudah pantas untuk naik”. Bentuk atau cara yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama Medan ini untuk menawarkan para hakim tersebut adalah Edisi 8, Desember 2008
24
Jurnal Penelitian: Medan Agama
dengan secara langsung atau lisan pribadi tidak ada sistem terbuka atau kompetitif. “Caranya ya dia mendatangi dan menawarkan langsung tidak dengan terbuka dan tidak ada seleksi untuk itu”. “Mana ada sistem terbuka atau dipromosikan, caranya ya dipilihnya saja siapa yang pantas”. Disamping itu mereka juga tidak mengetahui apa alasan-alasan penawaran itu, karena yang berpeluang untuk naik menjadi Wakil Ketua atau Ketua Pengadilan Agama itu bukan hanya mereka, karena ada beberapa orang hakim laki-laki dan perempuan yang dari segi persyaratan formalnya juga sudah cukup untuk menduduki jabatan tersebut. “Dari segi senioritas siapapun berhak untuk dipromosikan tapi misalnya ada beberapa orang yang berhak maka Ketua yang memutuskan siapa yang pantas untuk di promosikannya dan itu kita tidak tahu karena dia yang menilai.” “....Kita enggak tahu, mungkin ada yang dilihatnya dari kita, sama seperti guru jika ada beberapa orang muridnya pasti tidak sama semua pasti ada diantaranya yang dipilihnya.....”. Hambatan Hakim Perempuan dalam Peningkatan Karir Pada dasarnya para hakim perempuan di Pengadilan Agama Medan ini mengakui tidak adanya hambatan untuk meraih peluangpeluang yang ada untuk peningkatan karir mereka baik dari diri maupun di luar diri mereka seperti, keluarga, lingkungan bekerja, Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
25
masyarakat, ataupun sistem kerja yang dihadapi. Namun dari hasil wawancara mendalam dengan dua orang hakim perempuan yang pernah ditawarkan untuk dipromosikan sebagai Ketua atau Wakil Ketua, peneliti menemukan adanya faktor-faktor yang menghambat diri mereka untuk menerima tawaran yang pernah ditawarkan dalam rangka peningkatan karir. Faktor-faktor ini menjadi alasan penolakan mereka untuk menerima tawaran-tawaran yang pernah ditawarkan. Faktor-faktor penghambat dalam peningkatan karir tersebut dikategorikan kepada dua, yakni faktor internal yakni dari dalam diri hakim perempuan sendiri dan faktor eksternal yaitu dari luar diri hakim seperti keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Faktor internal yang dimaksudkan adalah faktor psikologis hakim perempuan dalam menjalani tugasnya dan pandangan mereka terhadap diri dan pekerjaannya. Secara psokologis hakim perempuan Pengadilan Agama Medan ini merasakan pekerjaan-pekerjaan yang mereka laksanakan sebagai hakim dirasakan sesuatu yang cukup berat dan melelahkan, meski awalnya profesi ini adalah suatu pilihan yang diidamkan seperti yang tergambar dalam ungkapan berikut: “Ah kakak enggaklah, ini aja pekerjaannya repot, kami sidang dari Senin sampai Kamis, cuma hari Selasa aja Kakak enggak nyidang tapi di situlah baru menyiapkan salinan putusan yang disidangkan kemarin”.
Edisi 8, Desember 2008
26
Jurnal Penelitian: Medan Agama
Sementara profesi hakim adalah suatu yang sudah diidamkan sejak lama dan sesuatu yang sangat menyenangkan sekaligus membanggakan.20 Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor dari luar diri hakim perempuan, keluarga yang meliputi ekonomi keluarga, peran perempuan dalam rumah tangga dan, sistem kerja di Pengadilan Agama. Dua orang dari hakim perempuan yang telah ditawari dan menolak untuk dipromosikan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama mengakui secara ekonomi mereka adalah keluarga yang berkecukupan karena suami-suami mereka memiliki penghasilan yang cukup. Ibu.. adalah ibu dari tiga orang anak yang mempunyai suami seorang pengusaha dan juga aktif di salah satu organisasi politik dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Sementara ibu ... adalah ibu dari 2 orang anak dan bersuamikan seorang pegawai di Perusahaan Perkebunan Lonsum dan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya.
“ Kakak tertarik menjadi hakim sejak dari mahasiswa setelah kami magang selama satu tahun di 2 pengadilan, di Pengadilan Agama 6 bulan dan di Pengadilan Negri 6 bulan. Ketika klinis hukum dan seminarium semua unsur yang terkait dengan persidangan kan harus diperankan kebetulan waktu itu kakak yang berperan sebagai hakim ketuanya, jadi rasanya kakak memang menyukai profesi hakim ini, lagi pula hakim itu berwibawa, dan tidak semua orang bisa lulus untuk menjadi seorang hakim, karena seleksi hakim itu ujiannya kan susah banyak tahapan yang harus dilaui, lagipula waktu itu hakim perempuan masih langka, ya..... bangga lah rasanya”. 20
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
27
Sebagai perempuan yang bekerja dan berpenghasilan mereka mengakui bahwa penghasilan yang mereka peroleh juga dinikmati oleh semua anggota keluarga, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang di antara mereka: tapi....”
“..... dan gimanapun yang kita peroleh untuk mereka juga Hambatan eksternal lain adalah peran perempuan dalam
keluarga. Peran hakim perempuan ini tidak hanya di tempat tugas ketika mereka bertugas sebagai Hakim Pengadilan Agama Medan, tetapi juga di rumah sebagai ibu rumah tangga dan isteri dari seorang suami. Peran sebagai isteri dan ibu rumah tangga juga dilaksanakan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab. Pekerjaan mengasuh anak, menyiapkan keperluan anak-anak, mempersiapkan kebutuhan sekolah anak-anak, kebutuhan suami dan segala sesuatu yang dibutuhkan anggota keluarga adalah juga tanggung jawab hakim perempuan ini. Tentu saja kesibukan-kesibukan untuk mengurus keluarga sangat mempengaruhi kepada perasaan hakim perempuan sehingga timbul perasaan tidak nyaman ketika bertugas sampai-sampai menjadikan kantor sebagai tempat beristirahat, dan bersikap keluarga adalah sesuatu yang harus menjadi prioritas, Kesibukan di rumah pada akhirnya terbawa ke kantor sehingga di tempat bekerja ini menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat. “Waktu kakak masih tugas di Pakam, begitu nyampe menulislah kakak, entah apalah ada kerjaan kakak, disitulah rasanya baru beristirahat. Edisi 8, Desember 2008
28
Jurnal Penelitian: Medan Agama
Faktor eksternal lainnya adalah sistem kerja di Peradilan agama yang mengharuskan mutasi kepada para unsur terkait yang ada di dalam termasuk Hakim. Mutasi ini terjadi apabila seseorang naik ke suatu jabatan baru ia akan dipindahkan ke Pengadilan Agama lain yang letaknya tersebar di seluruh wilayah Tingkat II di Indonesia. Para hakim dimutasikan bukan hanya antar daerah Tingkat II tetapi bahkan juga antar Propinsi. Adanya mutasi kerja ke luar daerah dimana mereka telah menetap selama ini membuat para hakim enggan untuk meningkatkan karir, karena mutasi ini akan memberi berbagai dampak yang kurang baik untuk keluarga hakim perempuan tersebut. Perpindahan tempat kerja itu tidak hanya melibatkan dirinya sendiri melainkan melibatkan seluruh anggota keluarga. Apalagi keberadaan mereka sebagai hakim di Pengadilan Agama Medan yang letaknya di ibu kota Propinsi, dimana berbagai fasilitas yang baik dan bermutu mudah didapatkan terutama fasilitas pendidikan bagi anak-anak mereka. Selaras dengan hal di atas apa yang diungkapkan seorang hakim perempuan: “....untuk sementara ini enggak usah dululah. Soalnya nantikan susah mindah-mindahkan anak sekolah. Di sini anak-anak itukan sekolahnya sudah bagus, sekolahnya di Al-Azhar”. Meski secara tegas mereka mengakui bahwa suami dan anakanak mereka tidak menghalangi untuk mengembangkan karir, tetapi Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
29
jika yang terjadi adalah perpindahan, mereka menolak, apalagi jika perpindahan itu tidak diikuti keluarga, maka yang muncul adalah perasaan bersalah. “Kalau suami, anak-anak enggak pernah menghalangi tapi kita sendirinya, kita di sini sudah meninggalkan mereka, sudah kita biarkan mrk biarpun bukannya sengaja karena tugasnya dan gimanapun yang kita peroleh untuk mereka juga tapi tetap aja rasanya sudah kita abaikan mereka”. Ketika ditanyakan kepada seorang hakim laki-laki tentang penolakan
hakim
perempuan
ini
untuk
menerima
tawaran
peningkatan jabatan ini dia menanggapi “Hal tersebut adalah suatu kewajaran karena mereka adalah seorang ibu, kultur menjadi seorang ibu begitu melekat pada diri mereka dan itu menurutnya berlaku pada setiap diri permepuan yang sudah berkeluarga. Jadi jika mereka menerima tawaran sebagai Ketua misalnya itu akan menambah beban bagi mereka apalagi menduduki jabatan tersebut diiringi dengan perpindahan tempat tentulah itu suatu hal yang sulit”. Pembahasan Undang-Undang Peradilan Agama dituangkan dalam pasalpasal yang berlaku umum, tidak terdapat pemihakan kepada satu jenis kelamin tertentu, untuk menduduki suatu jabatan dalam rangka peningkatan karir. Meski demikian ternyata peneliti melihat para Edisi 8, Desember 2008
30
Jurnal Penelitian: Medan Agama
hakim perempuan lebih memanfaatkan peluang peningkatan kwalitas keilmuan dubanding peluang untuk menduduki jabatan. Menurut mereka peluang peningkatan kwalitas keilmuan tidak mengganggu kondisi sosialnya, maksudnya mereka tetap bisa eksis di dalam profesinya tetapi tidak mengganggu kewajibannya di dalam rumah tangga sebagai isteri dan ibu dari anak-anaknya, apalagi sebagai seorang hakim dituntut untuk selalu meningkatkan kwalitas keilmuannya. Kalaupun ada pelatihan atau pendidikan in trainining service yang durasinya seminggu atau sebulan baik di daerah maupun di luar daerah mereka tetap memanfaatkan peluang tersebut karena hal tersebut bersifat insidentil dan tidak sampai mengganggu stabilitas keluarga. Berbeda dengan peluang untuk menduduki jabatan, ketika mereka mau mengambil peluang itu mereka juga harus siap dengan segala konsekwensi dari jabatan yang akan didudukinya. Konsekwensi itu dapat berupa beban tugas yang pasti lebih banyak, tanggung jawab yang lebih besar dan berat dibanding jika mereka sebagai Hakim biasa. Selain itu kemungkinan besar mereka akan ditempatkan di luar daerah tempat tugas dan tempat tinggal sebelumnya. Pertimbangan yang lain dari konsekwensi yang kedua adalah terganggunya stabilitas keluarga jika para hakim perempuan itu diposisikan di luar daerah. Sistem mutasi yang pasti terjadi jika menduduki jabatan Ketua atau Wakil Ketua. Apabila seorang Hakim Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
31
perempuan bersedia menjadi Ketua Pengadilan Agama yang berada di Gunung Sitoli misalnya, maka dia harus meninggalkan keluarga apabila keluarga tidak turut menyertainya konsekwensinya adalah peran Hakim perempuan sebagai isteri dan ibu dari anak-anaknya akan berkurang dan hal itu akan bisa berpengaruh negatif pada stabilitas keluarga. Sedangkan pada posisinya sebagai Hakim saat ini saja dirasakan telah banyak mengabaikan perannya sebagai isteri dan ibu. Sementara stabilitas keluarga adalah sesuatu yang harus dijaga sebagai penunjang etika profesi Hakim.21 Adapun
hambatan
hakim
agama
perempuan
dalam
memanfaatkan peluang yang ada di Pengadilan Agama dalam rangka peningkatan karir dapat dikelompokkan kepada dua yakni; hambatan internal atau hambatan yang datang dari dalam diri hakim agama perempuan itu sendiri yakni faktor psikologis Hakim perempuan tersebut dalam memandang diri dan pekerjaannya, dan yang kedua adalah hambatan eksternal yaitu hambatan dari luar diri hakim agama perempuan yang bisa di sebabkan oleh keluarga dan sistem kerja dari Pengadilan Agama itu.
21
Stabilitas keluarga adalah salah satu dari tiga hal yang harus dijaga oleh seorang Hakim, yang pertama; Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, kedua; Menjaga ketenteraman dan keutuhan keluarga dan yang ketiga; Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat. Ketiga hal ini diatur didalam Kode Etik Profesi Hakim dalam pasal 4 tentang Sikap Hakim. Abdul Manan, Kode Etik Profesi Hakim, Lampiran pada Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 280.
Edisi 8, Desember 2008
32
Jurnal Penelitian: Medan Agama
Secara psikologis Hakim agama perempuan memandang tugas-tugas yang mereka laksanakan sebagai hakim adalah tugas yang berat dan merepotkan karena dikaitkan dengan peran mereka sebagai isteri dan ibu di rumah, sehingga perasaan ini menjadi penghambat untuk mendapat tugas dan tanggung jawab yang lebih dari itu. Sebagai perempuan tidak terpisahkan perasaan antara sebagai perempuan ketika bekerja dan perempuan sebagai isteri dan pengasuh anak, hal ini menurut Nancy Chorodov dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis-Frued yang mengakui adanya pengaruh aspek biologis (nature) pada peran gender (nurture), untuk menjelaskan terjadinya subyektivitas gender atau identitas gender pada dua jenis kelamin.22 Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi hakim perempuan tersebut, selain bekerja di luar, mereka juga harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
22
Dia menjelaskan bahwa peranan universal perempuan adalah sebagai ibu yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Hubungan ibu dengan anak sangatlah penting namun perkembangan subyektivitas yang dialami anak lakilaki dan perempuan kenyataannya berbeda. Anak perempuan diidentifikasikan dengan peran yang dilakukan ibunya. Peran keibuan inilah akhirnya meluas ke dunia pekerjaan yang sama sekali tidak terkait dengan pengasuhan anak. Reproduksi peran semacam inilah yang menimbulkan terbatasnya peran perempuan.Tim Penulis Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar kajian gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah dan McGill Project/IISEP, 2003), h. 168-170.
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
33
Dalam budaya Patriarkhi pembagian kerja dibagi secara dikotomis publik-domestik, laki-laki berperan publik sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah sementara perempuan menjalani peran domestik malaksanakan tugas mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapian rumah, membimbing belajar anak-anak dan sebagainya. Pekerjaan domestik yang berat tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat, tidak bertanggung jawab terhadap beban kerja domestik tersebut.23 Pemberdayaan perempuan yang semestinya disandang adalah peran ganda-berkonotasi positif berubah menjadi beban ganda (double burden ) yang berkonotasi negatif. Karena itu rekonstruksi budaya patiarkhi merupakan kebutuhan yang mendesak, agar persoalan ketidakadilan gender dalam beban kerja perempuan menjadi proporsional. Hambatan yang datang dari luar lainnya adalah kebijakan peraturan atau sistem kerja di Pengadilan Agama. Meski secara umum Undang-Undang Peradilan Agama mengemban peraturan yang tidak 23
Pembagian kerja secara dikotomis, publik-domestik, menyebabkan hasil kerja perempuan yang terlalu berat, dianggap pekerjaan rendah dan tidak memperoleh imbalan materil yang seimbang dengan pekerjaannya. Realitas ini memperkuat ketidak adilan gender yang telah melekat dalam kultur masyarakat. Lebih-lebih lagi jika perempuan harus bekerja pada peran publik untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, maka semakin berat beban yang ditanggung perempuan. Ibid. h 80
Edisi 8, Desember 2008
34
Jurnal Penelitian: Medan Agama
berpihak pada salah satu jenis kelamin tapi pada kenyataannya peraturan-peraturan yang ada telah mengakibatkan ketidakadilan gender. Tidak terwakilinya jumlah perempuan yang menduduki jabatan pimpinan di Pengadilan Agama, di Sumatera Utara dari 11 Pengadialan Agama yang ada hanya 3 orang yang menduduki jabatan, 2 orang wakil ketua dan 1 orang ketua, hal ini menunjukkan rendahnya atau kurangnya peluang perempuan untuk menduduki suatu jabatan di jajaran Pengadilan Agama. Dapat dikatakan peraturan-peraturan yang diciptakan oleh pemerintah kurang memperhatikan prinsip-prinsip yang harus terakomodir dalam suatu kebijakan publik dalam hal ini Undang-Undang Peradilan Agama, padahal jika peraturan tersebut sudah mengakomodir prinsip-prinsip yang harus ada dalam suatu kebijakan tentunya ketimpangan ini tentu tidak akan terjadi. Di samping itu, sistem kerja yang berpindah ( mutasi) ketika menduduki
jabatan
dinilai
sangat
tidak
mempertimbangkan
kepentingan perempuan baik dari aspek hak-hak reproduksi dan hakhak domestiknya. Di satu sisi Hakim perempuan dituntut untuk loyal dan aktif dalam melaksanakan tugas publiknya tetapi di sisi lain mereka juga dituntut untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dan stabilitas rumah tangga.24
24
Dalam perspektif gender dalam perumusan kebijakan publik hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip: a). Prinsip perlindungan melalui
Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
35
Sistem penawaran untuk menduduki jabatan yang bersifat tertutup menjadi penghambat hakim perempuan untuk menduduki jabatan. Penawaran yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama dengan cara lisan dan tanpa diketahui oleh hakim lainnya dinilai sangat tidak objektif dan memungkinkan adanya unsur subjektifitas di dalam penilaian, karena penilaian terhadap hakim yang sudah memenuhi persyaratan secara formal, masih memungkinkan tidak ditawarkan kepadanya. Meski secara fungsional hakim adalah pejabat negara yang berstatus pegawai negeri, tetapi sistem penilaian terhadap para hakim sangat tidak transpran. Sistem ini disamping tidak objektif juga tidak membuat rangsangan para hakim meraih peluang yang ada, dan karena ketidak transparanan inilah mengakibatkan banyaknya penolakan hakim ketika dipromosikan. PENUTUP Menurut para hakim dan informan di Pengadilan Agama Medan dapat dilihat bahwa hakim agama perempuan diakui eksistensinya dalam menjalani profesinya sebagai hakim dengan
affirmative action, yakni memberi peluang untuk melangkah lebih awal bagi yang tertinggal di belakang; b).Prinsip keadilan dan kesetaraan gender dengan mempertimbangkan kepentingan perempuan, kodrat perempuan, dan hak-hak publik dan domestik perempuan, serta c). Prinsip partisipasi (buttom up), yakni berupa akses terhadap keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik. Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Perempuan Pembaru Keagamaan), (Bandung: Mizan, 2004), h. 347-348.
Edisi 8, Desember 2008
36
Jurnal Penelitian: Medan Agama
melakukan aktivitas-aktivitas yang ada di Pengadilan Agama Medan secara optimal dan bertanggung jawab. Peluang berupa peningkatan kualitas intelektualitas hakim melalui jalur formal dan non formal tidak dimanfaatkan secara seimbang dengan peluang menduduki jabatan tertentu. Ternyata para hakim perempuan lebih memanfaatkan peluang pendidikan dibanding jabatan, hal ini terlihat secara tegas penolakan mereka dalam menerima tawaran jabatan yang lebih tingi di lingkungan Pengadilan Agama. Penolakan ini disebabkan beberapa hambatan. Faktor yang pertama adalah internal yang muncul dari dalam diri hakim perempuan tersebut. Kultur peran sebagai isteri dan ibu dari anakanaknya lebih kuat dan membatasi geraknya dalam berkarir dibanding peran hakim perempuan sebagai perempuan yang bekerja di wilayah publik. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal yaitu keluarga, pembagian kerja yang memerankan perempuan sebagai pekerja domestik menambah beban kerja hakim perempuan, dimana mereka harus bisa berperan sebagai pekerja domestik sekaligus pencari nafkah tambahan (double burden). Faktor lainnya adalah sisitem kerja dan penawaran untuk menduduki jabatan di pengadilan tidak transparan. Pustaka Acuan Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggara Peradilan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007 Edisi 8, Desember 2008
Jurnal Penelitian: Medan Agama
37
Alau al- Din Abi al- Hasan Ibn Kholil al- Tarabalis al- Hanafi, Mu’in al- Hukkam fima Yataraddad bain al- Khasamain min al- Hakam, Mesir, Mustafa al- Babi al- Halbi wa Auladih, 1973 Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyah, Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1973 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997 Data Keadaan Pegawai Pengadilan Agama Kelas I A tahun 2007 Fatima Mernissi, Rifft Hassan, Setara di Hadapan Allah, LSPPAYayasan Prakarsa, 1995 Huzeimah T Yanggo, Konstruksi Figh Wanita dalam Peradaban Masyarakat Indonesia Modern, dalam M. Hajar Dewantoro dan Admawi (ed), Rekonstruksi Fiqh Perempuan, Yogyakarta, Ababil, 1996 Ibn Manzur, Lisan Arab, Beirut, Dar Sadir li Taba’ah wa al- Nasyar, 1956 Ibn Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al- Muqtasid, Indonesia, Dar Ihya al- Kutub al- Arabiyah James H. McMillan dan Michael Schumacher, Research in Education A. Conceptual Introduction, New York, Longman, 2001 Keputusan Menteri Agama RI No.73 Tahun 1993 Tentang Penetapan Kelas Pengadilan Agama Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-’A`lam, Beirut, Dar al-Masyriq, 1986 Mathew B. Miles dan Michael huberman, Analisis Data Kualitatif, edisi Indonesia terj. Thetjep Rohendi Rohidi, Jakarta, UI Press, 1992 Muhammad Jawad al- Mughniyah, Tafsir al- Kasyf II , Beirut, Dar alIlmi al- Malayin, 1968
Edisi 8, Desember 2008
38
Jurnal Penelitian: Medan Agama
Muhammad Salam Madkur al-Qada fi al-Islam, Kairo, Dar an-Nahdah al-`Arabiyah, t.t. Murthada Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, Jakarta, Lentera, 1995 M.B. Miles and A. M.Huberman, Qualitative Data Analysis, An Expanded Sourcebook, Canada, Sage Publication, Thousand Oaks, 1994 PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta, PSW UIN Jakarta, 2003 Undang-Undang Peradilan Agama, Ed. Yudha Pandu, Indonesia Legal Center Publishing, 2006 Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar dan Aplikasi), Malang, YA3, 1990 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung, Mizan, 2005 Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Medan Nomor: W2A1/976/PW.01.03/VI/2007 Tanggal 28 Juni 2007 tentang susunan majelis hakim di PA Medan Syamsuddin Muhammad bin Ali Abbas ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Mesir, al-Maktabah al-Islamiyah Syams al- Din Al- Sarkhasi, Al- Mabsut, Mesir, Al- Sa’adah bi Jawari Muhafazatiha, 1324H WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1993 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Jakarta, Jamunu, 1970
Edisi 8, Desember 2008