Hakikat Haji Yang Mabrur Dan Balasanya Sabtu, 10 April 04 Mukaddimah Haji adalah rukun Islam kelima dan tidak wajib dilaksanakan kecuali terhadap orang yang sudah memenuhi syaratnya, yaitu memiliki kemampuan (al-Istithaa-'ah) sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…" . (Q.S. ali 'Imran/3: 97). Berkaitan dengan ayat tersebut, terdapat beberapa poin: Pertama, berdasarkan ayat tersebut, para ulama secara ijma' sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Kedua, mereka juga secara ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya diwajibkan selama sekali seumur hidup. Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur ulama sebagai dalil wajibnya haji. Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya haji bagi orang yang sudah mampu, namun mereka berbeda mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut. Mengenai poin terakhir ini, maka kemampuan yang terdapat dalam ayat diatas ada beberapa macam: terkadang seseorang mampu melakukannya dengan dirinya sendiri, terkadang pula mampu melakukannya dengan perantaraan orang lain sebagaimana yang telah me njadi ketetapan di dalam kitab-kitab al-Ahkam (tentang hukum-hukum). Sedangkan mengenai makna as-Sabiil, terdapat beberapa penafsiran, yaitu: • • • •
Az-Zaad wa ar-Raahilah (bekal dan kendaraan); riwayat dari Ibnu 'Umar, Anas, Ibnu 'Abbas Memiliki uang sebesar 300 dirham; riwayat lain dari Ibnu 'Abbas Az-Zaad wa al-Ba'iir (bekal dan keledai); riwayat lain dari Ibnu 'Abbas Kesehatan jasmani ; riwayat dari 'Ikrimah
Merujuk kepada penafsiran diatas, setidaknya dapat disimpulkan satu kesamaan, yaitu adanya kemampuan untuk mengadakan perjalanan dalam melaksanakannya sedangkan bagi yang tidak memiliki persyaratan itu; maka tidak wajib baginya melakukan haji. Namun, bila melihat fenomena yang ada di masyarakat, nampaknya mereka kurang memahami hal ini sehingga ada sebagian dari mereka yang memaksakan diri untuk melakukan haji meskipun harus menjual semua harta bendanya alias sepulangnya dari haji nanti dia sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
Fenomena lainnya, nampaknya ada semacam kultur di kalangan masyarakat tertentu yang seakan mewajibkan masyarakat tersebut melakukan haji apalagi bila sudah berusia lanjut dan menanamkan kepada mereka yang berusia lanjut tersebut bahwa bila mereka sudah melakukan haji dan meninggal di sana, mereka akan masuk surga. Hal ini menyebabkan banyaknya diantara mereka yang enggan pulang ke tanah air dan dengan segala upaya bertekad akan tinggal dan meninggal disana padahal mereka sudah tidak memilik bekal yang cukup dan akibat ketatnya ketentuan kependudukan di sana, mereka selalu diuberuber dan terancam dipulangkan secara paksa. Demikian pula (dan tema inilah yang ingin kami angkat), terdapat pemahaman yang keliru ataupun kejahilan terhadap pengertian dari haji yang mabrur. Sebagian kalangan menganggap bahwa siapa saja yang sudah melaksanakan haji, maka haji yang dilaksanakannya sudah pasti menjadi haji yang mabrur. Mengingat fenomena yang ada tersebut, maka urgen sekali menjelaskan pengertian apa hakikat haji yang mabrur sekaligus balasan yang akan diterimanya. Dalam kajian hadits bulanan kali ini, kami akan memaparkan hadits yang berkaitan dengan tema tersebut. Dan secara khusus, kami berharap dapat memberikan gambaran yang benar mengenai pengertian tersebut kepada para calon jema'ah haji yang kebetulan membaca rubrik ini. Tentunya, dalam pemaparan tersebut terdapat beberapa kesalahan dan kekurangan di sana sini, untuk itu bagi para pembaca yang kebetulan menemukan hal itu kiranya berkenan memberikan taushiah kepada kami sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan pada kajian selanj utnya. Naskah Hadits Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: " 'Umrah -yang satu- bersama (hingga ke) 'umrah -yang lain- merupakan kaffarat (penghapus dosa) bagi (dosa yang telah dilakukan) diantara keduanya. Sedangkan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga ". (H.R. Muslim, no. 2403 dalam kitab al- Hajj, bab: Fadhl al-Hajj wal 'Umrah wa yaumi 'Arafah )
Takhrij Hadits Secara Global Hadits diatas ditakhrij (dikeluarkan) oleh : 1. Imam at-Turmuzi dalam kitab al-Hajj , no. 855 2. Imam an-Nasai dalam kitab Manaasik al-Hajj, no. 2575, 2576, 2582 3. Imam Ibnu Majah dalam kitab al-Manaasik, no. 2879 4. Imam Ahmad dalam Baaqi Musnad al-Muktsiriin, no. 7050, 9562, 9569 5. Imam Malik dalam kitab al-Hajj, no. 675 6. Imam ad-Darimi dalam kitab al-Manaasik, no. 1727
Pembahasan Hadits Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam :
" 'Umrah - yang satu- bersama (hingga ke) 'umrah - yang lain- merupakan kaffarat (penghapus) bagi (dosa yang telah dilakukan) diantara keduanya" Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Muslim, berkaitan dengan makna penggalan hadits diatas, berkata: "Disini sangat jelas sekali bahwa yang dimaksud adalah keutamaan 'umrah, yaitu menghapus dosa-dosa yang terjadi antara kedua 'umrah tersebut. Penjelasan tentang dosa-dosa tersebut telah disinggung pada kitab ath-Thaharah , demikian pula penjelasan tentang bagaimana menyinkronkannya dengan hadits-hadits tentang kaffarat wudhu' terhadap dosa-dosa tersebut, kaffarat semua shalat, puasa pada hari 'Arafah dan 'Asyura' ". Dalam kitab Tuhfah al-Ahwazi Syarh Sunan at-Turmuzi, Pensyarahnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa disini adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar (Kaba- ir ), sepertihalnya dalam sabda beliau yang berkaitan dengan keutamaan hari Jum'at, bahwa Jum'at yang satu bersama (hingga ke) Jum'at yang lainnya merupakan kaffarat (penghapus) dosa yang telah dilakukan diantara keduanya. Berkaitan dengan hal yang sama, Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap Sunan Ibni Majah menukil perkataan Ibnu at-Tin yang menyatakan bahwa huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: diatas dapat diartikan dengan (Ma-'a/bersama); jadi, maknanya 'Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain… Atau dapat juga diartikan dengan makna huruf (Ila) itu sendiri dalam kaitannya dengan kaffarat. Ibnu 'Abd al-Barr mengkhususkan kaffarat dalam hadits tersebut terhadap dosa-dosa kecil saja, akan tetapi menurut Syaikh as-Sindy, pendapat ini kurang tepat sebab menjauhi Kaba- ir (dosa-dosa besar) juga merupakan kaffarat baginya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga) ". (Q.S. an-Nisa'/4 : 31). Karenanya, timbul pertanyaan: dosa apa yang dapat dihapus oleh 'umrah?. Jawabannya enteng sebab orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecilnya dihapus dengan 'umrah sedangkan orang yang tidak memiliki dosa kecil atau dosa-dosa
kecilnya telah dihapus melalui sebab yang lain, maka posisi 'umrah baginya disini merupakan sebuah keutamaan. Imam az-Zarqany dalam kitabnya Syarh Muwaththa' Malik menyatakan bahwa makna huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: diatas adalah bermakna (Ma-'a); Dalam hal ini, pengertiannya sejalan dengan firmanNya Ta'ala dalam ayat :
"Dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu" (Q.S. an-Nisa/4:2) Jadi, maknanya adalah " 'Umrah -yang satu- bersama 'umrah -yang lain- merupakan kaffarat (penghapus) bagi dosa yang telah dilakukan diantara keduanya ". Huruf ?? (Maa) dalam penggalan hadits tersebut merupakan lafazh yang bersifat umum, maka dari sisi lafazhnya bermakna penghapusan terhadap semua dosa yang terjadi diantara keduanya kecuali hal yang sudah dikhususkan oleh dalil tertentu. Masalah : berapa kali 'umrah boleh dilakukan? Para pendukung mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur ulama berpegang kepada hadits ini mengenai dianjurkannya melakukan 'umrah berkali-kali dalam satu tahun. Sedangkan Imam Malik dan sebagian shahabatnya menyatakan bahwa melakukannya lebih dari satu kali adalah makruh. Al-Qadhi, ('Iyadh-red) berkata: 'ulama yang lain berkata:" tidak boleh melakukan 'umrah lebih dari satu kali". Masalah : Kapan waktu dibolehkan atau tidak dibolehkannya 'umrah dilakukan? Imam an-Nawawi berkata: "Ketahuilah bahwa sebenarnya waktu melakukan 'umrah berlaku sepanjang tahun. Jadi, shah dilakukan pada setiap waktunya kecuali bagi orang yang sedang melakukan haji dimana tidak shah 'umrahnya hingga selesai melakukan haji. Menurut ulama kami (ulama mazhab asy-Syafi'i-red) tidak makruh hukumnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji baik pada hari 'Arafah, 'Iedul Adhha, Hari Tasyriq dan seluruh waktu sepanjang tahunnya. Pendapat semacam ini dikemukakan oleh Imam Malik, Ahmad dan Jumhur Ulama...". Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa 'umrah tersebut makruh dilakukan pada lima hari; hari 'Arafah, hari an-Nahr (Qurban) dan hari- hari Tasyriq (tiga hari). Abu Yusuf, shahabat Abu Hanifah berkata: "Makruh dilakukan pada empat hari; hari 'Arafah dan hari- hari Tasyriq (tiga hari)".
Masalah : Apakah 'umrah itu wajib hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya 'umrah: Mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur menyatakan hukumnya wajib. Demikian pula 'Umar, Ibnu 'Abbas, Thawus, 'Atha', Ibnu al-Musayyab, Sa'id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu Sirin, asy-Sya'bi, Abu Burdah bin Abu Musa al- Asy'ari, 'Abdullah bin Syaddad, ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid dan Daud. Imam Malik, Abu Hanifah dan Abu Tsaur menyatakan hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat seperti ini dihikayatkan juga dari Imam an-Nakha'i. Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : " Sedangkan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga" Menurut Imam an-Nawawi dan Syaikh as-Sindy, pendapat yang paling shahih dan masyhur adalah bahwa makna Mabrur disini; sesuatu yang tidak terkontaminasi oleh dosa. Yakni diambil dari kata al- Birr yang maknanya adalah ath- Thaa'ah (keta'atan). Ada yang berpendapat maknanya adalah al-Maqbul (haji yang diterima). Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah haji yang tidak dilakukan karena riya'. Pendapat lainnya lagi; maknanya adalah haji yang tidak disudahi dengan perbuatan maksiat. Kedua pendapat terakhir ini masuk dalam kategori makna sebelumnya. Imam al-'Iyni berkata - mengenai makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam:' Haji yang mabrur' - ; " berkata Ibnu Kha lawaih: al-Mabrur artinya al-Maqbul (yang diterima). Berkata selain beliau: ' (maknanya adalah) Haji yang tidak terkontaminasi oleh sesuatu dosa. Pendapat ini didukung oleh Imam an-Nawawi..". Imam al-Qurthubi berkata: "pendapat-pendapat seputar penafsirannya hampir mendekati maknanya satu sama lain, yaitu haji yang dilaksanakan tersebut memenuhi hukum- hukum yang berkaitan dengannya dan manakala dituntut dari seorang Mukallaf (orang yang dibebani perintah syara') agar melakukannya secara sempurna, hajinya tersebut kemudian menempati posisi tertentu". Dalam syarahnya terhadap kitab Muwaththa Malik, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "dan haji yang mabrur" ; dapat berarti bahwa orang yang melakukan haji tersebut mengimplementasikan perbuatannya setelah itu ke jalan kebajikan (karena kata Mabrur diambil dari kata al-Birr yang artinya kebajikan-red).
Sedangkan makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: "tidak ada balasan baginya selain surga" ; menurut Ima m an-Nawawi adalah bahwa balasan bagi orang yang melakukannya tidak hanya sebatas terhapusnya sebagian dosa-dosanya akan tetapi dia pasti masuk surga. Wallaahu a'lam ". Selanjutnya, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa Rasulullah menyebutkan dan menjanjikan bahwa tidak ada balasan bagi orang yang hajinya mabrur selain surga, dan menegaskan bahwa yang selain itu (surga) bukan merupakan balasannya meskipun balasan dari 'umrah dan perbuatan-perbuatan kebajikan lainnya adalah terhapusnya dosadosa dan kesalahan; hal itu, lantaran balasan bagi pelakunya itu hanya berupa penghapusan terhadap sebagian dosa-dosanya saja. Oleh sebab itu, hal tersebut pasti menggiringnya masuk ke dalam surga. Syaikh as-Sindy berkata, berkaitan dengan pengecualian dalam sabda beliau Sha llallâhu 'alaihi wasallam : "..selain surga" : "bahwa pengecualian ini maksudnya adalah dari sisi prinsipnya saja sebab bila tidak, sebenarnya syarat masuk ke surga itu cukup dengan iman. Jadi, konsekuensinya adalah diampuninya seluruh dosa-dosanya baik dosa-dosa kecil ataupun dosa-dosa besarnya bahkan yang terdahulu dan yang akan datang". Tanda-Tanda diterimanya haji (haji yang mabrur) Imam an-Nawawi berkata: "Diantara tanda-tanda diterimanya adalah bahwa sepulangnya dari haji, orang tersebut menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya dan tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya". Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap hadits ini. Bahan bacaan: • • • • • •
Al-Mu'jam al-Mufahris Li alfaazh al-Qur'an al-Karim karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqi Kitab Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya Ibnu Katsir Kitab Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi Kitab Tuhfatul Ahwazi Syarh Sunan at- Turmuzi karya Syaikh 'Abdul 'Azhim alMubarakfury Kitab Syarh Sunan Ibni Majah karya Syaikh as-Sindy Kitab al-Muntaqa Syarh Muwaththa' Malik karya Imam az-Zarqany
Haji Mabrur Rabu, 07 April 04 1. Kita Kembali Alhamdulillah telah kembali para "Dhuyufur Rahman" Tamu Allah Tuhan Yang Maha Pemurah dari "Baitullah". Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menolong, membimbing dan mensukseskan perjalanan mereka dengan segenap manasik, itulah nikmat yang besar yang sangat patut kita syukuri, sebab seorang hamba bila telah ditolong untuk berdoa maka patut baginya untuk dikabulkan dan bila telah ditolong untuk beribadah maka patut pula untuk diterima: Rasulullah bersabda: "Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga" (Mutafaq Alaih) Ditanyakan: Apa tanda kebaikannya (ya Rasul) ?: Beliau menjawab "Suka memberi makan dan indah pembicara-annya" (HR.Ahmad) Mereka menjadi insan dermawan, mereka menjadi insan bangsawan.
2. Membawa Oleh-oleh Betapa besar balasan yang disediakan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mereka. Betapa puas dan suka cita mereka, mereka membawa pulang kembali ke kampung halamannya berupa: •
Ketenangan hidup dan kebahagiaan, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan janji tersebut, hal ini menjadikan lebih giat beribadah dan mempelajari ilmu syar'i demi peningkatan dan penyempurnaan amal ibadah bukan karena bangga namun kerena syukur semata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia." (QS. 3:97) •
Lapang dada, bersih hati dan pemikiran, karena mereka telah mem-buktikan berbagai peristiwa, manasik, pimpinan umat manusia Khalilullah Ibrahim alaihissalam dan Rasulullah ditempat yang suci. Mereka telah banyak mengambil Ibrah dan keteladanan dari keduanya dengan penjiwaan lahir batin. Itulah yang menjadikan mereka semakin wara', menajaga diri dari nafsu, pemikir-an yang
kurang mulia / kurang berarti demi menapak tilasi peri kehidupan pemimpin terpilih. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang meng-harap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab 33:21) •
Penambahan dan pendalaman ilmu, karena mereka telah menerima berbagai ceramah dan ta'lim diberbagai tempat; di Masjidil Haram, Mina, Arafah dan lainnya, yang membikin mereka semakin haus dengan ilmu itu, juga kesadaran dan gairah untuk menyebar-kan demi manfaat bersama dalam merealisasikan amal shalih dalam syari'at Al-Qur'an bukan untuk perdebatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema'af-kan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyan-tun." (QS. Al Maidah 5:101) •
Luasnya pengetahuan tentang dunia alam Islami, manambah ta'jub ta'dhim dan khudhu mereka kepada Allah, yang Maha Kuasa menciptakan beraneka makhluqNya dengan dihimpun dalam satu aqidah, selanjutnya menjalin ukhuwah dan kerjasama, untuk mendaki derajat tertinggi yaitu At-Taqwa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al Hujuraat 49:13) •
Menanam benih cinta kasih dan menebar kasih sayang serta pertolongan; menggalang persatuan dan kesatuan serta kerjasama antar bangsa dalam berbagai sektor, dimulai dari para pakar pada bidang masing- masing sampai pada lembaga dan badan-badan resmi antar bangsa dan negara, untuk betul-betul mengagungkan Allah dengan penuh Ihsan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat AlHajj: 37:
"Supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. 22:37) •
Pendidikan rohani dan pelatihan jiwa bagi setiap orang karena mereka harus melaksanakan kegiatan yang melelahkan di samping adanya kemacetan dan antrian panjang di tempat-tempat tertentu. Mereka dilarang berbicara kasar maupun kotor, bercumbu, menggauli istri, menikahkan, menutupi kepala memakai pakaian berjahit bagi laki- laki, minyak wangi dan berburu. Mereka terus melatih diri, bersabar, bertoleransi dan bertindak bijaksana, ini suatu peristiwa yang berat, terlebih bagi mereka yang terbiasa dengan hidup nyaman dan serba rilek, maka pelatihan ini adalah sangat agung pengaruhnya bagi kesadaran dan tanggung jawab, kesungguhan/ keteguhan pribadi dalam menata dan persiapan diri untuk selalu menghadap kepada Kholiq dengan khusyu dan Tadharru' juga selalu siap behubungan dengan makhluq dengan akhlaqul karimah.
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya." (QS. 22: 30) Dalam ayat lain disebutkan:
"Maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh
(kepada Allah). (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka." (QS. 22 Al-Hajj: 34-35) •
Menambah Manfaat dan kebaikan duniawi yang terpuji di samping kebaikan ukhrawi yang abadi. Allah berfirman,
artinya: "Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa'at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orangorang yang sengsara lagi fakir". (QS. 22:28)
"Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat". (QS. 2:198) Sangat menakjubkan bahwa negeri yang dikelilingi padang pasir dan gurun (Makkah) disana ditemukan segala keperluan duniawi terutama berbagai jenis buah-buahan dan makanan halal, itu termasuk kandungan do'a Nabi kita Ibrahim AlaihisSalam:
"Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian". (QS. 2:126)
Alangkah baiknya jika barang-barang konsumsi itu diproduksi oleh kaum muslimin sendiri dari berbagai negeri. Alangkah indahnya pertemuan ini yang dapat dimanfaatkan oleh para pakar dan yang berwenang dalam urusan- urusan khusus dan umum dalam membahas kepentingan umat dan dienul Islam di seluruh penjuru dunia. Sebagai mana tugas setiap umat Islam yang paling mulia adalah memegang teguh ayatayat suci Al-Qur'an dan hadits Rasulullah kemudian mengamalkan pada dirinya dan menyampaikan kepada yang lain; seperti dalam pertemuan mulia itu Rasulullah berwasiat, artinya: "Aku tidak tahu sungguh, apakah aku dapat menemui anda sekalian pada tahun depan? Namun ingatlah, sungguh darah kalian, harta dan kehormatan kalian adalah mulia, suci antar kalian, sebagaimana sucinya hari ini dan negeri ini, sampai kalian bertemu Tuhan kalian, kemudian Dia meminta pertanggung jawaban amal kalian, perhatikanlah, haruslah yang lebih dekat menyampaikan kepada yang lebih jauh? Ingatingatlah, bukankah saya telah menyampaikan?" (HR. Abu Daud). "Banyak kadang-kadang orang yang diberi khabar lebih perhatian dari pada yang mendengar (langsung)" (HR. Al- Bukhari). Semoga Allah menerima amal ibadah kita, menambahkan rizki, mengampuni kesalahan dan kekhilafan, serta meningkatkan ketaqwaan kita semua. Amin. (Waznin Mahfud )
Sumber: Buletin An-Nur, alsofwah.or.id
Htm2PDF by www.as-salaam.co.cc