164
STAIN Palangka Raya
HAKIKAT DAN SISTEM NILAI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN (Sistem Nilai: Keluarga, Masyarakat, Kebudayaan, dan Agama) Muslimah
Abstract Philosophy looks the value as some thing that contains a beneficence. The measure are ethics and morality. Islam has a different statement, that islam looks some thing or some case as a beneficence. The value system there is in family, society, culture, and religion. Idealist community, realist community and pragmatic community have a different opinion to determine the hierarchy value. All of religion have a universal value. The value system in islam included islamic education, base on the normatif category and law standard. All of it base on al-qur’an and hadist. Kata Kunci: Values, education
A.
PENDAHULUAN
Pertengahan abad ke-20, masyarakat di sebagian besar dunia dikejutkan oleh kemajuan penalaran manusia dalam berbagai bidang keilmuan, dengan ambisinya yang besar mereka menciptakan berbagai jenis ilmu dan teknologi, untuk meningkatkan kesejehteraan hidup manusia dengan berbagai fasilitas dan kemudahan.Tanpa disadari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu cepat atau lambat, membawa perubahan terhadap pola dan gaya hidup yang semakin jauh dari nilai-nilai mental spiritual dan nilai-nilai etika religius1. Semua orang mengakui pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan. hubungannya dengan pengakuan yang di anggap penting tersebut, bukan sekedar pengakuan teoritis tetapi yang lebih utama adalah aplikasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan pribadi dan masyatakat, termasuk dalam dunia pendidikan. Kenyataannya sekarang harus diakui, bahwa terjadi pergeseran nilai, lebih-lebih dewasa ini, di era globalisasi termasuk dalam dunia pendidikan. Sekian banyak hal baru yang terjadi dalam berbagai bidang, yang mengubah pandangan bahkan prilaku manusia. Hal ini akan berakibat timbulnya erosi nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa yang menjadi jati dirinya2. Hubungannya dengan hal tersebut, penyelenggaraan pendidikan, yang kering dari nilai-nilai moral dan agama, harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius, maka proses pendidikan haruslah mampu
Mahasiswa S3 IAIN Antasari Banjarmasin angkatan tahun 2012/2013, Program Studi Pendidikan Agama Islam. Saat ini sedang melakukan pra-penelitian, mengangkat permasalahan mengenai “Penanaman Nilai-Nilai Religius, (Time Serial pada Remaja Usia Sekolah Menengah Tingkat Atas di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah). Email//
[email protected] 1 Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2007), hal. 54 2 Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal. 88
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
165
STAIN Palangka Raya
mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi di dalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Tata Abdulah (2004:30) menyebutkan bahwa sistem nilai tidak hanya diupayakan di sekolah formal, tetapi dalam semua lini kehidupan membawa dan berkembang sistem nilai keluarga, masyarakat, kebudayaan dan agama. Tulisan berikut ini akan menguraikan tentang hakikat dan sistem nilai dalam konteks pendidikan, secara sistematis akan membahas: pengertian dan hakikat nilai, sistem nilai keluarga, sistem nilai masyarakat, sistem nilai kebudayaan, dan sistem nilai agama. Penulis tambah dengan bagaimana cara menanamkan nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan. B. PENGERTIAN DAN HAKIKAT NILAI Nilai atau value menurut Zahruddin AR (2004:85) adalah sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Pengertian yang singkat menyebutkan bahwa nilai adalah sesuatu yang baik3. Pengertian ini lebih kurang sama seperti yang dijelaskan Henry Hazlitt, sebagaimana yang dikutip oleh Amril M bahwa nilai itu adalah sesuatu yang menarik, dicari, menyenangkan, diinginkan dan disukai dalam pengertian yang baik atau berkonotasi positif 4. Lebih jelas lagi tentang hakikat nilai ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhmidayeli bahwa nilai itu dapat bermakna benar dan salah, baik dan buruk, manfaat atau berguna, indah dan jelek, dan sebagainya5. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesuatu yang baik itu adalah sesuatu yang punya nilai. Sebaliknya, sesuatu yang tidak baik atau tidak bermanfaat, dikatakan tidak punya nilai (disvalue), atau belum mencapai nilai baik. Sesuatu dianggap bernilai apabila arah pilihan ditujukan kepada yang baik, yang menarik dan yang dibolehkan, karena ada manfaatnya bagi manusia dan inilah yang diinginkan oleh manusia. Memperjelas pemahaman tentang nilai, ada baiknya dijelaskan dengan memperbandingkan nilai dengan fakta. Misalnya terjadi kebakaran daerah pasar baru Palangkaraya pada awal bulan Oktober 2013. Ini disebut dengan fakta. Serentak juga peristiwa kebakaran tersebut mengandung nilai, yaitu adanya sikap tolong menolong antar warga. Sisi lain disesalkan juga terjadi pencurian sebagai non-nilai. Pemburu berita segera hadir di tempat kejadian kebaran hebat untuk tahun-tahun terakhir, merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat disaksikan. Para pedagang tidak bisa melanjutkan aktivitasnya dan bisa mengakibatkan terjadinya pengangguran (non-nilai), tapi dalam bebeapa waktu ke depan, pemerintah menata ulang bangunan pasar, sehingga kelihatan rapi, dan sesuai dengan kebutuhan pedagang dan pembeli (nilai). Para pembeli yang datang dari jauh dengan maksud berbelanja pada hari kejadian sempat kecewa karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka berbelanja (non-nilai). Contoh ini sangat jelas untuk memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai.
3
Bertens, K., Etika, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Cetakan VIII), hal.139 M., Amril., Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran Dan Fungsionalisasi Etika Islam, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Press, Volume 5 Nomor 1,2006), hal. 58 5 Muhmidayeli., Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, 2007), Cetakan I, 89 4
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
166
STAIN Palangka Raya
Kajian nilai dalam ilmu filsafat berkaitan dengan kajian aksiologi terhadap sesuatu hal. Sebagaimana pengertian aksiologi yang berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori, jadi aksiologi adalah teori tentang nilai 6. Teori tentang nilai dalam ilmu filsafat menjelaskan bahwa nilai dari sesuatu itu haruslah yang mendatangkan manfaat bagi alam semesta ini. Sehingga sesuatu itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bernilai. Apabila tidak bermanfaat, dan malah mendatangkan petaka, berarti tidak ada nilainya, disinilah letaknya bahwa aksiologi dari ilmu itu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan7. Pandangan filsafat, nilai tidak bisa dipisahkan dengan moral. Moral adalah “kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Hubungannya dengan sisten nilai, HM. Arifin (2010:165) mendefinisikan tentang sistem nilai dan moral adalah: “suatu keseluruhan tatanan yang berdiri dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lainnya saling mempengaruhi atau saling bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat berorientasi kepada nilai dan moralitas Islam”. Adanya sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi rujukan cara berpikir dan berperilaku lahiriyah dan rohaniyah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama Islam sebagai wahyu Allah Swt., yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad Saw., di mana nilai dan moralitas Islami tersebut bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu tidak terpecah-pecah bagian satu dengan yang lainnya berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas mengandung kaidah atau pedoman yang menjadi landasan segala amal perbuatan manusia. Sangat berbeda dengan Islam, bahwa setiap yang terdapat di atas dunia ini tentu mengandung nilai, nilai yang telah ada diberikan Allah Swt. terhadap ciptaan-Nya, dan yang dapat menentukan apakah sesuatu itu punya nilai atau tidak, tergantung kepada manusianya sebagai mu’abbid, khalifah fil ardh maupun ‘immarah fil ardh, karena manusia sebagai subjek di atas dunia ini, maka semua nilai itu haruslah mengacu kepada etika yang dianut, apabila mencermati tentang tujuan Allah Swt. menciptakan manusia di dunia ini adalah agar menjadi hamba-hamba yang selalu mengabdi kepada-Nya. Islam mengajarkan bahwa setiap sesuatu yang diciptakan Allah Swt. memiliki nilai yang baik atau mulia, dan bermanfaat bagi umat manusia. Tidak ada satu pun ciptaan Allah Swt. di dunia ini yang tidak ada nilai atau tidak baik, semua itu tergantung kepada manusianya sendiri sebagai ‘immarah fil ardh. Sebagaimana yang difirmankan Allah:
6 7
Bakhtiar Amsal., Filsafat Ilmu, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2010), hal.163 Ibid., hal. 165
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
167
STAIN Palangka Raya
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran:191) C. SISTEM NILAI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN 1. Sistem Nilai Keluarga Islam menaruh perhatian besar terhadap kehidupan keluarga, dengan meletakkan kaidah-kaidah yang bijak guna memelihara kehidupan keluarga dari ketidakharmonisan dan kehancuran. Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah pondasi pertama, untuk membangun istana masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yg diharapkan dapat mencetak generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan kalimat Allah Swt. di muka bumi. Apabila pondasi ini kuat, lurus agamanya, dan baik akhlak anggotanya, diharapkan akan kuat pula masyarakat dan akan terwujud keamanan yg diidamkan. Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan sistem peraturan dari Allah Swt. yang mengandung karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki dan perempuan (secara fitrahnya saling tertarik) dengan aturan yang khusus. Buah dari pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan dari perkawinan tersebut, dari perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga yang di atasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan tersebut. Islam telah memerintahkan dan mendorong untuk melakukan pernikahan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban, maka hendaklah ia kawin, karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa itu dapat menjadi perisai". Setiap keluarga atau kelompok masyarakat tertentu mempunyai sistem nilai yang hidup dalam pikiran sebagian besar atau seluruh anggota keluarga atau kelompok masyarakat tertentu. Sistem nilai tersebut menjadi acuan prilaku dan perbuatan anggota keluarga atau kelompok masyarakat yang bersangkutan. Sistem nilai tersebut berkembang seirama dengan meningkatnya kebutuhan dan interaksi dalam keluarga atau kelompok masyarakat di mana tinggal. Selanjutnya perkembangan sistem nilai sebagai pengaruh timbal balik antara dua atau lebih keluarga atau kelompok masyarakat dapat menciptakan sistem nilai baru yang lebih maju, yang dapat menuntun anggota keluarga atau kelompok masyarakat menuju kearah pola kehidupan yang lebih bermanfaat. Misalnya saling menolong, membuat peraturan untuk pembatasan waktu bertamu di malam hari, bersama-sama bekerja keras membaikkan lingkungan, system keamanan lingkungan, penyelesaian konflik secara kekeluargaan. Sistem nilai tersebut memerlukan pembinaan, pengarahan dan pengawasan dari keluarga atau anggota masyarakat ataupun tokoh kelompok masyarakat, sehingga terpola menjadi sistem nilai dalam arti posiif. Sistem sosial adalah seperangkat peraturan yang mengatur pertemuan antara pria dan wanita atau sebaliknya, dan mengatur hubungan yang muncul antara keduanya, serta segala sesuatu yang menyangkut hubungan tersebut. Sedangkan sistem sosial kemasyarakatan adalah peraturan bagi masyarakat, yang mengatur hubungan yang terjadi antara sesama manusia yang hidup dalam masyarakat tertentu tanpa diperhatikan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
168
STAIN Palangka Raya
pertemuan atau perpisahan di antara anggota masyarakat tersebut. Ini memunculkan berbagai macam peraturan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan bentuk hubungan yang mencakup aspek ekonomi, hukum, politik, pendidikan, sanksi, perdagangan, peradilan dan lain sebagainya8. 2.
Sistem Nilai Masyarakat Manusia bukanlah semata-mata makhluk individu yang disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan dirinya saja, tetapi juga terlibat dalam kehidupan masyarakatnya yang mempunyai fungsi dan status efektif. Prilaku-prilaku manusia di dalam masyarakat pun terikat dengan sistem nilai yang terikat dengan fungsi-fungsi dalam masyarakat. Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun (1332-1406 M), seorang sosiologsejarawan Spanyol muslim, menjelaskan dalam Muqaddimah kitab al-Ibar bahwa kondisi sosial dan budaya masyarakat membawa pengaruh yang kuat dalam mengkonstruksi prilaku sosial dan budaya manusianya9. Oleh karena itu prilaku manusia yang berada dalam struktur sosial budaya tertentu secara langsung atau tidak langsung di determinasi oleh struktur sosial budayanya. Sebagai contoh sederhana, orang India menggunakan kain sari untuk melaksanakan shalat, orang Arab mengenakan surban dan gamis panjang sebagai pakain shalatnya, sedangkan orang Indonesia melaksanakan shalat dengan mengenakan kain sarung dan peci, ini merupakan indikasi yang jelas tentang hal tersebut. Meskipun demikian, baik orang India, orang Arab, maupun orang Indonesia melaksanakan ibadah shalat yang sama, tetapi aktualisasi sosial budayanya berbeda-berbeda. Nilai-nilai tersebut dalam aplikasinya di masyarakat sudah menjadi hal biasa apabila dihadapkan pada pilihan nilai dominan yang mungkin dipakai oleh anggotaanggota suatu masyarakat dalam memecahkan masalah. Berdasarkan kenyataannya, masalah yang biasanya dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat adalah: a. Setiap manusia berhadapan dengan bagaimana mereka memandang sesamanya, dan bagaimana mereka harus bekerja bersama serta bagaimana mereka bergaul bersama dalam suatu kesatuan sosial. b. Setiap manusia berhadapan dengan waktu. Setiap kebudayaan menentukan dimensi waktu yang dominan yang menjadi ciri khas kebudayaan tersebut. Secara teoritis ada tiga dimensi waktu yang dominan yang menjadi orientasi nilai kebudayaan suatu masyarakat, yaitu: yang berorientasi masa sekarang, masa lalu, dan masa yang akan datang. c. Setiap manusia berhubungan dengan alam. Hubungan dapat berbentuk apakah alam yang menguasai manusia, atau hidup selaras dengan alam, atau manusia yang harus menguasai alam. d. Masalah yang mendasar yang dihadapi manusia adalah masalah kerja. Apakah orang berorientasi nilai kerja sebagai sesuatu untuk hidup saja, atauk kerja untuk mencari kedudukan, atau kerja untuk prestise, atau kerja untuk menghasilkan kerja yang lebih berkualitas. e. Masalah kepemilikan kebudayaan. Alternatif pemilikan kebudayaan yang tersedia adalah suatu kontinum antara pemilikan kebudayaan yang berorientasi pada materialisme atau yang berorientasi pada spiritualisme. 8 9
Khadun, Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) hal. 50 Khadun, Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) hal. 51
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
169
STAIN Palangka Raya
f. Masalah hakikat hidup manusia. Orientasi nilai yang tersedia adalah pandanganpandangan bahwa hidup itu sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang buruk tetapi dapat diperbaiki. Pakar yang menganalisa nilai inti atau pola orientasi nilai suatu masyarakat adalah Talcots Parson, telah memperkembangkan suatu taksonomi nilai dasar yang dinamakannya ”pattern variables” yang menentukan makna situasi-situasi tertentu dan cara memecahkan dilema pengambilan keputusan. Lima pattern tersebut adalah: a. Dasar-dasar pemilihan objek terhadap mana sebuah orientasi berlaku, yaitu apakah pemilihan ditentukan oleh keturunan (ascription) atau keberhasilan (achievement). b. Kepatutan atau ketak-patutan pemuasan kebutuhan melalui tindakan ekspresif dalam konteks tertentu, yaitu apakah pemuasan yang patut harus disarankan atas pertimbangan perasaan, (affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality). c. Ruang lingkup perhatian dan kewajiban terhadap sebuah objek yaitu apakah perhatian harus jelas dan tegas untuk sesuatu (specificity) atau tidak jelas dan tegas, atau berbaur (diffuseness). d. Tipe norma yang menguasai orientasi terhadap suatu objek yaitu apakah norma yang berlaku bersifat universal (universlism) atau normanya bersifat khusus (particularism). e. Relevan atau tidak relevannya kewajiban-kewajiban kolektif dalam konteks tertentu, yaitu apakah kewajiban-kewajiban didasarkan kepada orientasi kepentingan pribadi (self-orientation) atau kepentingan kolektif (collective orientation). Menurut pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang menggunakan struktur nilai-nilai yang universal yang ada dalam masyarakat. Menurutnya yang dinamakan kebudayaan adalah penjelmaan dari nilai-nilai. Bagian penting adalah membuat klasifikasi nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Dia merasa klasifikasi nilai yang digunakan E. Spranger adalah yang terbaik untuk dipakai dalam melihat kebudayaan umat manusia. Spranger mengemukakan ada enam nilai pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu: a. Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu. b. Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan. c. Nilai agama yang berbentuk das Heilige atau kekudusan. d. Nilai seni yang menjelmakan expressiveness atau keekspresian. e. Nilai kuasa atau politik. f. Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan lainlain sebagainya. Keenam nilai ini masing-masing mempunyai logika, tujuan, norma-norma, maupun kenyataan masing-masing. Nilai-nilai yang dominan yang berfungsi menyusun organisasi masyarakat adalah nilai kuasa dan nilai solidaritas. Semua manusia dalam hidupnya dinilai, atau akan melakukan sesuatu karena nilai. Nilai mana yang akan dipegang tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Misalnya seorang yang telah melakukan kesalahan, kemudian ia melakukan pengakuan dosa atas perbuatan salanya, dan dalam pengakuannya itu ia benar-benar menggambarkan suatu kesalahan atau dosa. Hal ini karena dilatarbelakangi nilai ketuhanan atas nilai baik dan buruk menurut agama, sehingga berbuat salah itu adalah salah dan dihukum berdosa. Berbeda dengan orang yang menganggap hal itu suatu pembelaan yang harus ditempuh, maka perbuatan salah bukanlah merupakan suatu kesalahan, akan tetapi merupakan pembelaan atau justru kebanggaan yang harus dijunjungnya.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
170
STAIN Palangka Raya
Bayangkan apabila setiap perbuatan tidak memiliki landasan nilai, maka akan sulit menentukan bagaimana mengatakan perbuatan itu baik atau buruk, walaupun menurut pandangan etika umum menyatakan perbuatan itu buruk, misalnya orang primitif memiliki kebiasaan tidak memakai baju bahkan hanya memakai koteka10 dia tidak akan mengerti kalau hal itu dikatakan telah melakukan kesalahan. Manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam mengembangkan nilai yang bersifat sosial. Nilai-nilai itu merupakan faktor internal dengan hubungan antar masyarakat tersebut, sebagaimana dikatakan “di mana ada suatu masyarakat, di sana pasti ada hukum”. Kata lainnya, sebagaimana pandangan aliran progressivisme, nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktorfaktor lain dari masyarakat saat nilai itu timbul. Nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial dan bermasyarakat dengan manusia lain, masyarakat menjadi wadah nilai-nilai tersebut berkembang. 3.
Sistem Nilai Kebudayaan Sistem nilai budaya yang telah dikembangkan oleh seorang ahli antropologi bernama (Koentjaraningrat, 1982) berorientasi pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok tersebut adalah hakikat: a. Mengenai hidup manusia, ada kebudayaan yang memandang hakikat hidup manusia adalah buruk dan menyedihkan, karena itu harus dihindari dengan usaha agar hidup menjadi baik dan menyenangkan. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat hidup itu sebagai sesuatu yang baik/ menggembirakan, makanya itu harus diisi. b. Mengenai karya manusia. Ada kebudayaan yang memandang hakikat karya manusia untuk memungkinkan manusia hidup, karena itu karya dipandang sebagai sumber nafkah hidup. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat karya manusia untuk memberi manusia kedudukan atau kehormatan dalam masyarakat, karena itu karya manusia menjadi sumber kedudukan dalam masyarakat dan harga diri dalam masyarakat. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat karya manusia sebagai gerak hidup untuk menghasilkan karya yang lebih banyak lagi, karenanya menjadi pendorong agar manusia selalu kreatif. c. Mengenai kedudukan manusia dalam ruang waktu. Ada kebudayaan yang memandang hakikat waktu hidup manusia lebih mementingkan kehidupan manuisa di masa lampau, ada yang berorientasi mementingkan kehidupan di masa sekarang, dan ada pula yang berorientasi sejauh mungkin di masa yang akan datang, karena itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting bagi manusia. d. Mengenai hubungan manusia dengan alam. Ada kebudayaan yang memandang hakikat alam adalah begitu dahsyat, sehingga manusia hanya menyerah pada alam yang dahsyat itu. Ada pula kebudayaan yang memandang dapat dilawan, karena itu manusia harus menaklukkan alam dan mengambil manfaatnya. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat alam itu baik dan indah karena itu manusia harus harmonis dengan alam dan memelihara hubungan baik antara manusia dan alam lingkungan tempat tinggalnya. e. Mengenai hubungan manusia dengan sesamanya. Ada kebudayaan yang memandang hakikat hubungan sesama manusia lebih mementingkan hubungan horizontal antara sesama manusia, karena itu ada rasa kebergantungan dengan sesamanya, antara lain jiwa gotong-royong dan tolong-menolong. Ada pula kebudayaan yang memandang 10
Penutup terbuat dari kulit untuk menutup kemaluan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
171
STAIN Palangka Raya
hakikat hubungan sesama manusia lebih mementingkan hubungan vertikal, yaitu hubungan dengan senior, tokoh masyarakat, pemimpin atau atasan, karena itu ada rasa kebergantungan pada nereka. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat hubungan sesama manusia itu individualistis, yaitu menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri, karena itu dia memerlukan sedikit mungkin bantuan orang lain dalam hidupnya. Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangat penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sistem perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam perilaku, dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat setempat. Berikut kita uraikan perkembangan nilai-nilai budaya khususnya dalam pendidikan, dikelompokkan dalam tiga tingkatan, yaitu oleh kaum idealis, kaum realis dan kaum pragmatis. a.
Nilai dan pendidikan menurut kaum idealis Kaum idealis berpendirian bahwa pendidikan dan nilai memiliki hubungan signifikan dengan hakikat dan tujuan hidup manusia yang memang merupakan ide kebaikan tertinggi manusia, sesungguhnya telah ada bersamaan dengan kemunculan dirinya di dunia. Nilai apapun yang ada di dunia ini selalu bersifat tetap dan tidak berubah-ubah, atau absolut. Sesuatu yang baik, yang benar dan yang cantik atau bahkan yang menyenangkan dan lain sebagainya, tidak dapat berubah secara fundamental dari generasi ke generasi, dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Nilai dalam hal ini bukanlah produk manusia tetapi merupakan bagian dari alam jagad raya, yang eksitensinya mengikuti sifat dan watak natural manusia yang sejati. Oleh karena tugas manusia adalah bagaimana agar nilai-nilai kebaikan dan kebajikan itu dapat teraplikasi dalam keseluruhan realitas aktifitasnya di dunia, maka tugas utama para pendidik adalah bagaimana subjek didiknya memiliki kestabilan mental yang dapat memampukan dirinya untuk merealisasikan ide bawaan yang bercirikan moralitas ini dapat terealisasi sedemikian rupa sehingga benar-benar menjadi watak dan tabiatnya. Mengigat pengaplikasian nilai-nilai kemanusiaan itu erat kaitannya dengan keseluruhan aktifitas spritual manusia, maka dalam upaya pendidikan dan peraihan nilai, subjek didik mesti diposisikan sebagai makhluk spiritual yang sepenuhnya mesti menyadari bahwa dirinya membutuhkan pengupayaan nilai-nilai kebaikan dalam realitas, agar ia benar-benar menjadi manusia sesuai dengan kelahirannya ke dunia sedemikian rupa, sehingga bagi kelompok ini, subjek didik ditempatkan secara harmonis dengan keseluruhan spiritual lebih besar dari yang ia miliki.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
172
STAIN Palangka Raya
Selanjutnya subjek didik harus menyadari bahwa dosa atau perbuatan salah itu tidak semata-mata untuk dirinya atau masyarakat atau bahkan umat manusia secara keseluruhan, tetapi juga jiwa alam jagad raya ini. Nilainya menjadi signifikan hanya ketika terkait kepada tatanan alam spiritual yang lebih tinggi. Plato sebagai salah satu tokoh yang disebut sebagai bapak idealism, mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan dan kebajikan bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan seperti mengajarkan pengetahuan sains tetapi lebih berupa pelatihanpelatihan, pembiasaan-pembiasaan dan pencontohan dalam relasi antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran guru harus memberikan settingan contoh yang baik bagi kelasnya untuk diikuti11. b. Nilai dan pendidikan menurut kelompok realis Kelompok realis sependapat dengan kelompok idealis bahwa nilai fundamental adalah permanen, tetapi mereka berbeda pendapat tentang alasan untuk hal seperti itu. Kelompok realis klasik sependapat dengan Aristoteles bahwa ada hukum-hukum moral yang universal yang mengikat semua sebagai makhluk rasional. Sesungguhnya kita dapat memahami hukum moral itu tanpa pertolongan wahyu, tetapi karena hakikat kita telah dirusak oleh dosa warisan, sehingga tidak mampu mempraktikkannya tanpa bantuan dari Tuhan. Menurut kelompok realis klasik, sekolah harus mampu menciptakan individu-individu yang hidup dalam lingkungan yang baik. Anak harus diajarkan untuk hidup dengan standar moral yang absolute dan universal, karena apa yang benar itu adalah benar juga bagi semua orang secara umum. Sementara kelompok realis saintis menyangkal bahwa nilai itu memiliki sangsi supernatural. Sesuatu yang baik adalah yang mendekatkan kita pada lingkungan, sedangkan sesuatu yang jahat adalah sesuatu yang menjauhkan kita dari lingkungan. Kelompok realis saintifik mengajarkan bahwa yang benar dan yang salah datang dari pemahaman kita tentang sesuatu, bukan dari perinsip-perinsip agama. Moral harus didasari pada penelitian saintifk yang telah menunjukkan kemanfaatannya kepada manusia sebagai makhluk yang paling tinggi 12. c.
Nilai dan pendidikan menurut kelompok pragmatis Nilai itu relative , inilah pendapat kelompok pragmatis. Nilai bukanlah merupakan atuaran-aturan moral yang bersifat permanen, karena memang ia tampil selalu sesuai dengan perubahan budaya dan pembiasaan dalam masyarakat. Kelompok pragmatis meminta untuk menguji ketinggian nilai-nilai moral, seharusnya memperhatikan problema kehidupan manusia baik secara keseluruhan maupun saintifik, dan memilih nilai-nilai mana yang kelihatannya dapat memecahkan problematika manusia tersebut. Tiga tingkatan nilai yang diuraikan di atas, terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/ hierarki nilai: 1) Kaum Idealis. Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (niai material); 2) Kaum Realis. Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis; dan, 3) Kaum Pragmatis. Menurut 11
Muhmidayeli., Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan I, 2007), hal. 108 12 Ibid., hal. 89
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
173
STAIN Palangka Raya
mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang meghargai masyarakat. 4.
Sistem Nilai Agama Menurut Peter Berger, nilai agama merupakan bentuk legitimasi yang paling efektif. Agama mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi persoalan-persoalan sosial seperti kematian, perang, kenakalan remaja, kemiskinan dan lain sebagainya, juga mampu memberikan warna bagi berjalannya nilai dan norma di masyarakat. Agama seakan paling besar yang menaungi kehidupan masyarakat untuk bertindak sejalan dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu agama disebut dengan langit suci (sacred canopy), yang melindungi masyarakat dari situasi meaningless, chaos, dan chauvinistic13. Mengacu pada pemikiran Berger tersebut, agama sangat berperan dalam membentuk prilaku masyarakat, dengan posisi sebagai elemen nilai masyarakat ini, agama merupakan bentuk legitimasi yang solid. Agama membangun kesadaran manusia untuk bertindak sesuai dengan dinamika nilai dalam masyarakat. Tegasnya dalam kontek ini, agama yang berintikan “iman” (belief) akan mengarahkan bahkan akan membentuk prilaku masyarakat (practice). Belief yang dalam ranah sosiologis dikategorikan dalam sesuatu yang abstrak dan berada pada wilayah kesadaran (mind) akan mendeterminasi prilaku dan tindakan (matter) yang dilakukan oleh manusia, baik sebagai individu atau masyarakat dalam wilayah nyata yaitu dalam kehidupan manusia. Nabi Muhammad Saw. bersabda:
ﺻ َﻮِرُﻛ ْﻢ َوأَْﻣﻮَاﻟِ ُﻜ ْﻢ َوﻟَﻜِ ْﻦ ﻳـَْﻨﻈُُﺮ إ َِﱃ ﻗُـﻠ ُْﻮﺑِ ُﻜ ْﻢ ُ ْل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ واﻟﺴﻼم اِ ﱠن اﷲَ ﻻَﻳـَﻨْﻈُُﺮ إ َِﱃ ُ ﻋﻦ أﰉ ﻫﺮﻳﺮة ﻗﺎل ﻗﺎل َرﺳُﻮ َوأَ ْﻋﻤَﺎﻟِ ُﻜ ْﻢ Dari Abu Hurairah Ra berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan (menilai) bentuk rupamu dan hartamu, melainkan Allah memperhatikan (menilai) hatimu dan perbuatanmu.”(Al-Hadits). Oleh karenanya, apapun nilai itu, seyogyanya harus dipandang baik dan indah, walau dinilai buruk oleh pihak tertentu. Contoh lain ditegaskan dalam firman Allah Swt. berikut:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al-An’am: 108) 13
Berger, Peter L., Langit Suci: Agama Sebagai realitas Sosial, terj. Hartono,( Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 40
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
174
STAIN Palangka Raya
Atas dasar nilai itulah seseorang/ satu komunitas bergabung dan menyatu dengan pihak lain dan atas dasarnya pula mereka menilai pandangan/ nilai yang dianut oleh pihak lain, dan nilai-nilai itu juga yang menjadi filter bagi apapun yang datang dari luar komunitas mereka. Nilai-nilai universal adalah nilai-nilai yang diterima oleh semua golongan, tidak dibatasi oleh suku, agama ras ataupun kepercayaan kelompok lainnya. Paling tidak ada empat nilai yang cocok untuk semua golongan dan dari suku maupun agama manapun: a. Nilai Ketuhanan. Mengakui adanya kekuatan yang maha dan segala yang maha, dan tempat manusia meminta dan memohon pertolongan merupakan landasan dasar dari perilaku seseorang. Nilai inilah biasanya kental sekali dengan pola prilaku atau watak bahkan nasib seseorang. Nilai ketuhanan erat kaitannya dengan prinsip hidup sesorang, sehingga sangat mempengaruhi pada respon seseorang atau bahkan rencana hidup di masa yang akan datang. b. Nilai kemanusian dan keadilan. Setiap orang yang hidup di muka bumi ini tentunya sangat mengerti nilai-nilai kemanusian, di mana semua orang memiliki hak yang tentunya dibatasi oleh hak-hak orang lain. Semua orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama, saling menghormati dan menghargai antar sesama tanpa melihat strata sosial, pangkat atau jabatan atau pun kekayaan seseorang. Semua harus dipandang adil tanpa membedakan satu sama lain sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai mahluk manusia. c. Nilai Kekeluargaan. Nilai ini tentunya, diejawantahkan dengan kebersamaan antar anggota keluarga, masyarakat ataupun negara. Semua orang merasa bagian dari keluarga besar, tentu semuanya harus berdasarkan musyawarah dan mufakat tanpa harus mengorbankan beberapa pihak saja, atau secara pribadi harus mencoba untuk mengerti terlabih dahulu orang lain, selanjutnya orang lain akan mengerti yang lainnya lagi. d. Nilai Kejujuran. Kejujuran merupakan salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi di manapun. Nilai ini dianggap sangat penting dalam berbagai hal dan segala lini dalam kehidupan. Nilai ini juga dijadikan salah satu kunci sukses seseorang. Islam beranggapan bahwa pengertian nilai yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik dan buruk tidak dilalui oleh pengalaman, akan tetapi telah ada sejak pertama kali ruh ditiupkan kepada seseorang.
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.(QS. al-Syams:6-7) Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan. Uraian di atas juga dapat dipahami bahwa nilai-nilai dalam Islam dimaksud mengandung dua kategori, yaitu: pertama, jika dilihat dari segi normatif, pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan bathil, diridhai dan dikutuk oleh Allah Swt.; kedua, jika dilihat kategori pengertian yang menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yang meliputi: (a) Wajib dan Fardhu, yakni bila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan akan mendapat siksa atau berdosa; (b) Sunnah dan Mustajab, yakni bila dikerjakan maupun ditinggalkan akan tidak disiksa; (c) Mubah dan Jaiz, yaitu bila dikerjakan maupun ditinggalkan tidak akan disiksa atau berdosa; (d) Makruh, yaitu bila Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
175
STAIN Palangka Raya
dikerjakan orang tidak disiksa atau berdosa, hanya tidak disukai Allah, dan bila ditinggalkan tidak mempengaruhi pahala; dan, (e) Haram, yakni bila dikerjakan orang akan mendapat siksa atau berdosa, dan bila tidak dikerjakan akan mendapatkan pahala. D. MEMASYARAKATKAN NILAI SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN Memasyarakatkan nilai-nilai termasuk dalam dunia pendidikan sekarang ini, bukan perkara gampang. Seseorang disamping harus mampu memahami dan menjelaskan nilai-nilai tersebut, juga harus mampu menciptakan hubungan harmonis. Manusia harus mampu memilah dan memilih. Nilai-nilai serta perubahan-perubahan positif yang terjadi, harus dapat di ambil dan dalam saat yang sama yang buruk harus tinggalkan, bahkan harus mampu membuktikan kesalahan dan bahayanya bagi kehidupan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengandung nilai-nilai yang baik, sesuai dengan semangat dari ruh pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, harus senantiasa mengembangkan nilai-nilai pendidikan tersebut ke arah yang lebih baik. Terlebih lagi bagi Pendidikan Islam, haruslah memiliki semangat yang sangat tinggi, selaras dengan kemuliaan Islam tunya berdasarkan pada al-Quran dan hadis. Sangat tegas dalam al-Quran melalui mengamanatkan nilai-nilai. Misalnya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;14 merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104) Ayat di atas menggambarkan dua kelompok nilai yang diamanatkan al-Quran, yaitu al-khair dan al-ma'rûf. 1. Al-khair Al-khair adalah al-Quran dan hadis. Begitu ditafsirkan oleh Ibnu Katsir berdasar riwayat yang dinisbahkan kepada Rasul Saw. Ia adalah nilai-nilai universal yang diajarkan oleh al-Quran dan Sunnah. Kelompok nilai ini dinamai juga ats-Tsawâbit yakni sesuatu yang tidak dapat diubah. Ia harus langgeng dan diakui serta dipertahankan oleh umat Islam. Firman Allah tersebut sering menyimpulkan nilai utama yang diamanatkannya dalam kalimat al-Imân Billâh wa al-yaum al-Âkhir atau dengan kata lain tauhid dan kepercayaan akan keniscayaan hari kemudian, dari sinilah lahir prinsip-prinsip yang menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat, atau pandangan tentang dunia, manusia dan Tuhan Yang Maha Esa. Tauhid dapat diibaratkan dengan matahari. Kalau di alam raya ini ada matahari yang diciptakan Allah Swt. menjadi sumber kehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yang berkeliling padanya planet-planet tata surya lagi tidak dapat melepaskan diri darinya, maka begitu juga dengan Tauhid. Sekelilingnya ada kesatuan-kesatuan yang 14
Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
176
STAIN Palangka Raya
tidak boleh dilepaskan darinya, seperti kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dengan keadilan dan kemaslahatan, dan lain sebagainya. Dua nilai yang menjadi inti inilah yang diamanatkan al-Quran. Sebenarnya masih banyak nilai-nilai lainnya, jika ingin menguraikan dan mengupasnya lebih dalam lagi. Intinya dapat dikatakan bahwa bahwa dua nilai di atas merupakan pokok dari aqidah, syariah dan akhlak dalam Islam. 2.
Al-Ma‘rûf Al-Ma‘rûf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khair. Ia adalah hak/ kebenaran yang diakui, dan dengan kadar yang diakui pula, dan ini tidak dapat diukur dengan waktu tertentu, karena dia terus menerus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan kondisi dan perkembangan situasi masyarakat. Tolok ukurnya adalah bahwa dia tidak menghalalkan yang haram, tidak juga mengharamkan yang halal. Lawannya adalah al-munkar15. Konteks ini dapat dipahami ungkapan dari yang menyatakan: (Apabila ma’ruf telah kurang diamalkan maka dia menjadi munkar dan apabila munkar telah tersebar maka dia menjadi ma’ruf). Terhadap konsep “al-ma’ruf” ini, al- Quran membuka pintu yang cukup lebar guna menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Perlu dicatat bahwa konsep al-ma’ruf hanya membuka pintu bagi perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya. Filter al-khair harus benar-benar difungsikan. Begitu juga dengan al-munkar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muruah, identitas dan integritas seseorang. Gabungan dari nilai-nilai ini dinamai juga al-mutaghayyirât. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang diamanatkan oleh alQuran ada yang bersipat mendasar, universal dan abadi (ats-tsawâbit) dan ada juga bersifat praksis, lokal, dan temporal, sehingga dapat berubah dan berbeda antara satu tempat/ waktu dengan tempat/ waktu yang lain (al-mutagayyirât). Cara berdakwah yang digaris bawahi oleh ayat di atas ada dua macam: pertama, mengajak dan ini tertuju kepada al-Khair; dan, kedua, menyuruh tertuju kepada al-Ma'ruf untuk dikerjakan dan Munkar untuk ditinggalkan. Nilai–nilai Qur’ani yang bersifat universal (al-Khair) tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sebagaimana firma-Nya berikut:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah16 dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. anNahl:125) 15
At-Tumy, Muhammad., Almujtama' Al-Islamy fi Al-Qur'an Al-Karim , (Tunis: Dar At-Tunisiah Li Annsyar, 1986), hal.337 16 Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
177
STAIN Palangka Raya
Baik ajakan maupun perintah, keduanya adalah upaya memberi hidayat/ petunjuk. Hidayah seakar dengan kata hadiah, yakni sesuatu yang seharusnya baik/ bermanfaat, yang dikemas dengan indah dan diserahkan dengan lemah lembut. Sejak dini, Nabi Muhammad Saw. diingatkan al-Qur‘an bahwa:
…
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Âli ‘Imrân:159) Berucap kasar menggambarkan sisi luar manusia, dan berhati keras menunjuk sisi dalamnya. Keduanya "berucap kasar" dan "berhati keras" secara bersamaan harus dihindari, karena boleh jadi ada yang berucap seolah-olah kasar tapi sebenarnya berhati lembut, atau ucapannya seolah-olah manis tapi hatinya tidak baik, yang bersikap menggabungkan, yaitu berperilaku yang sopan, berkata-kata yang lembut, sekaligus hati yang luhur, penuh kasih walau terhadap sasaran yang durhaka dan kejam sekalipun. Islam mengajarkan, informasi yang diberikan bukan saja harus benar, tapi juga bermanfaat bagi sasaran. Itulah cermin nilai dalam pendidikan, sedang kata-kata yang lembut, halus dan kasih saying merupakan kunci kesediaan sasaran mendengar ajakan orang lain. Menurut Muhmidayeli (2007:71-72) dalam QS. Ali Imran: 104 di atas, ada tiga syarat menjadi umat terbaik, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah Swt. Ketiga syarat tersebut mengandung nilai-nilai ilahiyah yang harus dikerjakan oleh umat manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Ayat tersebut juga mengandung dua makna sebagai hamba Allah yang mulia, yaitu iman dan amal shaleh. Iman artinya keyakinan kita kepada Allah Swt., serta amar ma’ruf dan nahi mungkar itulah yang disebut sebagai amal shaleh. Apabila di dalam diri seorang hamba telah teraplikasi dua syarat ini, maka disebutlah ia oleh muhmidayeli sebagai manusia tauhid. Manusia tauhid dapat juga dikatakan sebagai Insan kamil, atau manusia paripurna. Semakin tinggi nilai iman dan amal soleh seseorang, maka semakin mulia dia disisi Allah Swt. Oleh karena itu, banyak makna dalam ayat tersebut, di antaranya manusia haruslah senantiasa menciptakan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya, disisi Allah Swt. setiap kebaikan itu akan dinilai sebagai amal shaleh, walaupun perbuatan baik yang dilakukan manusia itu ibaratnya benda yang terkecil yang ada di dunia ini. Sebagaimana ditulis dalam firman Allah Swt. berikut:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. al-Zalzalah:7) Hakikat nilai dalam Islam itu adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi manusia, alam, serta mendapatkan keridhaan dari Allah Swt. yang dapat dijabarkan dengan luas dalam konteks Islam. Penempatan posisi nilai yang tertinggi ini adalah dari Tuhan, juga dianut oleh kaum filosofis idealis tentang adanya hirarki nilai. Menurut kaum idealis ini, nilai spiritual lebih tinggi dari nilai material. Kaum idealis merangking Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
178
STAIN Palangka Raya
nilai agama pada posisi yang tinggi, karena menurut mereka nilai-nilai ini akan membantu merealisasikan tujuan yang tertinggi, penyatuan dengan tatanan spiritual 17. Islam dalam hal ini, mengakui bahwa landasan utama dari kebaikan nilai adalah dari Allah Swt., yang kemudian penting diutusnya Nabi dan Rasul untuk lebih memperjelas pesan-pesan Tuhan kepada umat manusia. Sandaran nilai dalam Islam ialah al-Quran dan Hadis, untuk menjabarkan kedua dimensi ini, diperlukan daya akal atau rasionalitas manusia, agar pesan-pesan tersebut dapat sampai pada tataran hidup sepanjang zaman. Pembolehan akal, bahkan raga ruhani dalam memahami sesuatu, hal ini dapat dicermati dari firman Allah Swt. berikut:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl:78) Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut sebagai filasafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Konteksnya dalam etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adatistiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional. Sedangkan nilai-nilai Qurani, yaitu nilai yang bersumber kepada al-Quran adalah kuat, karena ajaran al-Quran bersifat mutlak dan universal18. Agar nilai-nilai tersebut berdaya guna, maka mau tidak mau nilai-nilai tersebut haruslah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengajarkan suatu kebenaran tentang nilai tanpa mengajarkan nilai itu sendiri, hanya saja dalam bentuk pengajaran, guru diharapkan mampu memperkenalkan nilai, tentang segala hal yang dipelajari siswa dituntut dapat memasukkan nilai-nilai kedalam materi pelajaran mereka berdasarkan hasil antusias personal mereka masing-masing. Nilai yang dipahami siswa berasal dari materi yang mereka pelajari dalam aktifitas pembelajaran mereka19. Pembelajaran materi apapun dalam pendidikan mesti mengikutkan nilai-nilai moral disamping pengetahuan yang akan diberikan, bahkan yang pertama, merupakan sesuatu yang sangat esensial, sekaligus sasaran utama dalam penilaian keberhasilan pembelajaran pendidikan20. Berbicara tentang nilai dalam pendidikan Islam, berarti berbicara tentang hakikat pendidikan, proses, dan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Hakikat Pendidikan Islam 17
Muhmidayeli., Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan I, 2007), hal. 91 18 Husin Al Munawar, Said Agil., Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat, Ciputat Press, Cetakan II, 2005) hal. 4 19 Muhmidayeli., Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan I, 2007) hal. 89 20 Ibid., hal. 89
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
179
STAIN Palangka Raya
hampir sama dengan tujuan pendidikan Islam. Achmadi menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia, serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Begitu juga dengan hakikat tujuan pendidikan Islam yang oleh Zakiah Daradjat adalah untuk membentuk kepribadian seseorang menjadi Insan Kamil dengan pola taqwa21. E. KESIMPULAN Pandangan filsafat tentang nilai adalah sesuatu yang baik. Ukurannya adalah etika dan moral. Berbeda dengan Islam yang memandang bahwa setiap yang terdapat di atas dunia mengandung nilai yang baik atau mulia, dan bermanfaat bagi umat manusia. Keluarga mempunyai sistem nilai yang menjadi acuan prilaku dan perbuatan anggota keluarga atau kelompok masyarakat yang berkembang mengikuti keadaan dan dapat menciptakan nilai baru. Merupakan pondasi pertama yang harus kuat, diharapkan kuat pula masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai sisten nilai, karena disamping sebagai makhluk individu, juga terlibat dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai fungsi dan status, serta terikat dengan sistem nilai yang ada di masyarakat. Nilai tersebut berbeda-beda. Masyarakat biasa menghadapi masalah seperti: bagaimana memandang sesamanya; setiap manusia berhadapan dengan waktu dan berhubungan dengan alam; masalah kerja; dan masalah kepemilian kebudayaan; serta hakikat hidup. Sedangkan sistem nilai budaya berorientasi pada masalah: hidup, karya manusia, hubungan dengan alam dan dengan sesamanya. Beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/ hierarki nilai: 1) Kaum Idealis, berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (niai material); 2) Kaum Realis, menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis; 3) Kaum Pragmatis, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Agama mempunyai sisten nilai secara universal bagi semua agama , yaitu nilai: ketuhanan, kemanusian dan keadilan, kekeluargaan, serta kejujuran. Islam memandang nilai-nilai mengandung dua kategori dilihat dari segi normative yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, dll, dan dilihat kategori pengertian yang menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia mencakup: wajib dan fardhu; sunnah dan mustajab; mubah dan jaiz; makruh; dan haram. Manusia harus mampu memilah dan memilih nilai positif dan negatifnya. Landasan hakikatnya adalah al-Quran dan hadits, serta menjadi bagian yang integral dalam pendidikan.
21
SM, Ismail., Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang, RaSAIL Media Group, Cetakan IV, 2009), hal. 35
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013
180
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Abdulah, Tata, Landasan dan Prinsip Pendidikan Umum, Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, 2004 Abdullah ,Muhammad Husein, Mafaahim Islamiyyah’ Daarul Bayaariq, Beirut Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2007 At-Tumy, Muhammad, Almujtama' Al-Islamy fi Al-Qur'an Al-Karim , Tunis: Dar AtTunisiah Li Annsyar, 1986 Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2010 Berger, Peter L., Langit Suci: Agama Sebagai realitas Sosial, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES, 1994 Bertens, K., Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan VIII, 2004 Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2010 Husin Al Munawar, Said Agil, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat, Ciputat Press, Cetakan II, 2005 Khadun, Ibnu, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986 M., Amril, Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran Dan Fungsionalisasi Etika Islam, Pekanbaru, PPs UIN Suska Press, Volume 5 Nomor 1, 2006 Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan I, 2007 SM, Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang, RaSAIL Media Group, Cetakan IV, 2009
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 2, Desember 2013