Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
HAK MEWARIS ANAK ANGKAT MENURUT BW Rosmawati SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Abstract Adoption (adoption) is not a new thing in Indonesia because it is customarily performed by the people of Indonesia. It's just the way and the motivation that varies according to the legal system practised in the districts concerned. The existence of adoption result the transitions in families from her biological parents to parents who adopted him/her. The status of the child is the same as the child who is legitimate in and the law of inheritance, also they are also known as heirs to the adoptive parents. According to civil law (BW), the adopted child has the same legal position as well as the breaking of the legal relationship between the adopted child and his/her biological parents. Kata Kunci : Hak Waris, Anak Angkat
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
217
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
PENDAHULUAN
K
eluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat kecil, yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. Akan tetapi tidak selalu keinginanya terpenuhi, karena kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak mempunyai anak sehingga diadakan pengangkatan anak angkat (adopsi). 1 Pengangkatan anak (adopsi) bukan merupakan hal yang baru di Indonesia karena hal ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut didaerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak (adopsi) akhir-akhir ini banyak diperbincangkan dan sudah mendapat perhatian pula dari pihak . Keanekaragaman hukum yang mengatur masalah pengangkatan anak di Indonesia ini akan tampak jika kita teliti secara cermat ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan ini dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik hukum Barat dari BW dan hukum Adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang banyak dianut masyarakat Indonesia. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema masyarakat, terutama menyangkut masalah ketentuan hukumnya. Lembaga pengangkatan anak telah lama di kenal dalam masyarakat adat kita yang pelaksanaannya pada umumnya dengan suatu upacara adat dan pemberian benda-benda sebagai tanda peralihan kekuasaan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat tersebut. Akan tetapi anak yang berkedudukan sebagai anak angkat, apakah ia berhak mewarisi harta dari orang tuanya, akan ditentukan oleh hukum adatnya masing-masing daerah hukum adat itu di pertahankan oleh penganutnya. Sedangkan hukum Islam semua anak yang berstatus anak angkat dan anak piara dimana saja ia tetap tidak dapat mewaris dari orang tua angkatnya.2 Ada beberapa sebab sehingga lembaga pengangkatan anak berkembang dalam masyarakat, antara lain : a. Karena tidak mempunyai anak; b. Karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu; c. Hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja; d. Sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri. Dengan adanya beberapa alasan yang ada dibeberapa daerah menyangkut pengangkatan anak (adopsi) ini menandakan terdapat keanekaragaman hukum 1Bushar 2Ibid.,
218
Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Cet. I (Jakarta : PT. Pradnya, paramita, h. 33 h. 48.
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
adat yang mengatur masalah anak angkat, hal ini memberikan pengaruh pada kedudukan anak angkat demikian pula dalam hal pembagian warisannya. Dari uraian tersebut diatas motivasi pengangkatan anak mempunyai hukum yang berbeda-beda. Akibatnya hukum yang penting adalah kekuasaan orang tua, hak waris, hak alimentasi atau hak pemeliharaan dan juga soal nama. Adanya pengangkatan anak tersebut mengakibatkan perpindahannya keluarga dari orang tua kandungnya kepada orang tua yang mengangkatnya. Status anak tersebut seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Jadi status anak angkat itu sama dengan anak sah dan di dalam hukum waris ia disebut juga sebagai ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut. Oleh karena itu penulis ingin mengkaji tentang sejauhmana pengaturan Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata. PEMBAHASAN 1. Pengertian Anak Angkat Secara etimologi, pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda “adoptie” atau “adop” adoption” dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab “tabbani” yang menurut Machmud Yunus dalam bukunya Kamus Arab Indonesia diartikan “ittkhadzuhu ibnan” yaitu menjadikan anak angkat. Menurut Poewardarminta W. J. S, 3 dalam Kamus Umum bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pengangkatan anak angkat berasal dari kata dasar “angkat” artinya membawa ke atas, kemudian di tambahkan awalan peng dan akhiran an yang membentuk maksud kata kerja suatu proses. Jadi “pengangkatan” berarti suatu proses untuk membawa ke atas. Sedangkan kata “anak” berarti keturunan yang kedua artinya anak itu diambil dari lingkungan asalnya (orang tua kandungnya), dan kemudian dimasukkan dalam keluarga yang mengangkatnya (orang tua angkatnya) menjadi anak angkat. Sedangkan secara terminologi dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu ”anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anak sendiri.”4 Menurut Soerojo Wigyodiporo, bahwa “Mengangkat anak (Adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang
3Poewardarminta 4Muderis
W. J. S, Kamus Umum bahasa Indonesia, (1984 :309). h. 10. Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007).h. 51
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
219
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
dipungut itu timbul suatu hubungan keluarga yang sama seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandung sendiri”.5 Ter Haar berpendapat “Bahwa perbuatan yang memasukkan kedalam keluarganya seseorang anak yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa sehingga menimbulkan hubungan kemasyarakatan yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia, perbuatan ini disebut pengangkatan anak atau adopsi”. Sedangkan menurut A. Farid memberikan defenisi mengenai anak angkat sebagai berikut : “bahwa anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik ia masih kanak-kanak (belum dewasa) maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama dengan adopsi ini.6 Oleh karena itu kitab Undang-undang Hukum Perdata Barat (BW) tidak mengenal hal pengangkatan anak ini. Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termasuk perbuatan perdata yang merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimana pun juga lembaga adopsi ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak dari arah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan masyarakat walupun dalam KUHPerdata, tidak mengatur masalah adopsi ini, sedangkan adopsi itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat. Staatsblad 1917 Nomor 129 seperti yang disebutkan oleh Pemerintah Belanda yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata (BW) yang ada, maka untuk mengemukakan data adopsi menurut versi Hukum Barat ini semata-mata beranjak dari staatsblad tersebut.7 Menurut ketentuan dalam Staatsblad 1917 No. 20 menyatakan bahwa : “Yang dapat mengakat anak ialah laki-laki beristeri dan tidak mempunyai keturunan anak laki-laki. Sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanyalah anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil sebagai anak angkat oleh orang lain”. Anak angkat atau adopsi tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
5Ter
Haar Bzn.Mr.B., “Beginselan en steselmvan het adatrecht, JB. Wolters Graningen Djakarta, 4e druk, 1950. Hlm 197. 6Staatsdlad 1917 Nomor. 129 7Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. h. 61.
220
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
Berdasarkan yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Tahun 1962), ketentuan dalam S. 1917 No.129 tersebut mengalami perubahan yang memungkinkan pengangkatan anak perempuan. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orangorang Tionghoa sebagaimana diatur dalam S. 1917 No.129, adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki. Jadi, hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandung setelah terjadi pengangkatan anak menurut KUHPerdata (BW) adalah mempunyai kedudukan hukum yang sama serta terputusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. 2. Anak Angkat dalam Hukum Perdata Barat (BW) Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), kita tidak menemukan satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanya adalah ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku I BW bab XII bagian ketiga, Pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh di katakan tidak ada sama sekali hubungannya dengan masalah adopsi ini. Oleh karena itu, kitab Undang-undang Hukum Perdata Barat tidak mengenal hal pengangkatan anak ini, maka bagi orang-orang Belanda sampai kini tidak dapat memungut anak secara sah, hanya diterima baik oleh Staten General Nerderland sebuah Undang-undang Adopsi. Maksudnya bahwa keluarga buatan telah dikenal dan dilakukan diseluruh dunia sebagai mode/cara untuk memperoleh kedudukan di masyarakat primitif, apakah atas dasar pertalian darah atau di anggap seakan-akan ada pertalian darah. Dengan keluarga buatan ini orang asing pun dapat diperlakukan sebagai salah satu anggota keluarga. Banyak cara yang di pergunakan untuk ini, upacara yang paling terkenal adalah penyajian darah (the blood covenant). Landasan pemikiran di terimanya Undang-undang tersebut adalah bahwa setelah perang dunia II, dimana seluruh Eropa timbul golongan manusia baru, orang tua yang telah kehilangan anak yang tidak bisa mendapatkan anak baru lagi secara wajar, anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya dalam peperangan, dan lahir banyak anak luar perkawinan. Atas landasan itulah, maka Staten General Nedeland telah menerima baik sebuah Undang-undang adopsi (adoptie wet) tersebut yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi ini. Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termaksud perbuatan perdata yang merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan ini melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan manusia. Bagaimana pun
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
221
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
jumlah lembaga adopsi ini mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang harus beranjak kearah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan masyarakat walaupun KUHPerdata. Tidak mengatur tentang adopsi ini., maka pemerintah hindia belanda berusah untuk membuat aturan yang terdiri tentang adopsi ini. Karena itulah di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, khususnya Pasal 5 sampai pasal 15 : Pasal 5 Saatsblad 1917 pasal 129 mengatur tentang siapa saja yang mengadopsi, yaitu ayat 1 menyebutkan bahwa seorang laki beristri atau pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena angkatan, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Ayat 2 di sebutkan bahwa pengangkatan anak demikian harus dilakukan oleh seorang laki tersebut, bersama-sama dengan istrinya atau jika dilakukan dengan perkawinannya oleh dia sendiri. Sedangkan ayat 3 menyatakan , apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak telah kawin lagi, oleh semuanya yang telah meninggal dunia, tidak di tinggalkan seorang keturunan sebagai yang termaksud ayat kesatu pasal ini, maka bolehlah dia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Pada pasal 6 dan 7 mengatur siapa saja yang dapat di adopsi. Pasal 6 yang boleh di angkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristripun tidak beranak, serta yang tidak telah di angkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, orang yang diangkat harus 18 tahun lebih mudah dari pada suami dan paling sedikitnya 15 tahun lebih muda dari pada si istri atau si janda yang mengangkatnya. Sedangkan ayat 2 mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang di keluarga luar kawin, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas pasal 15 ayat 2 mengemukakan; “pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain dari pada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum.” Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh pasal 8 sampai 10 Saatsblad 1917 nomor 129 pada pasal 8 menyebutkan empat syarat mengangkat anak yaitu: Persetujuan orang yang mengangkat anak : a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak yang sah dari orang tuanya, maka diperlukan izin orang tua itu; jika bapaknya sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta peninggalan selaku penguasa wali. b. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir diluar perkawinan, maka diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta dari balai harta peninggalan. 222
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
c. Jika anak yang akan diangkat itu sudah berusia 19 tahun , maka diperlukan persetujuan dari anak itu sendiri. d. Manakalah yang akan mengangkat anak itu seorang janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhuma suaminya, atau tidak ada saudara laki-laki ayah yang masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhuma suaminya dalam garis laki-laki sampai derajat keempat. Menurut pasal 10, pengangkatan anak angkat ini harus dilakukan dengan akta notaris. Sedangkan yang menyangkut dengan masalah akibat hukum dari pengangkatan anak diatur dalam pasal 11, 12, 13, dan 14. Pasal 11 mengenai nama keluarga orang yang mengangkat anak, namanama juga menjadi nama dari anak yang diangkat. Pasal 12 menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat. Pasal 13, mewajibkan balai harta peninggalan apa bila ada seorang janda yang mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak itu. Pasal 14, suatu pengangkatan anak berakibat putusannya hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri, kecuali: 1. Mengenai larangan kawin yang berdasarkan atas suatu tali keluarga; 2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasarkan tali keluarga; 3. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan; 4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi; 5. Mengenai bertindak sebagai saksi; Dalam hubungan dengan masalah pembatalan suatu adopsi hanya ada satu pasal yang mengatur, yaitu pasal 15 Sataatsblad 1917 nomor 129 yang menentukan bahwa suatu pengangkatan anak tidak dapat di batalkan oleh yang bersangkutan sendiri. Kemudian pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak secara lain dari pada akte notaris, adalah batal dengan sendirinya. Kemudian pula di tentukan bahwa pengangkatan anak dapat di batalkan, apa bila bertentangan dengan pasal 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 ayat 2 dan 3 Saatsblad 1917 nomor 129.8 3. Pengaturan Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata Barat
8
Muderis Zaini, Adopsi; suatu tinjauan dari tiga sistrm hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
h. 45
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
223
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang terdapat pada pasal-pasal yang mengatur tentang bagian mutlak oleh Undang-undang dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat (testamentair erfrecht), yaitu di dalam Pasal 913, 914, 916 dan seterusnya. Suamiistri menurut Undang-undang mendapatkan bagian sama besarnya dengan bagian seorang anak sah sebagai ahli waris, tetapi dia tidak berhak atas bagian mutlak (legitiemeportei), karena suami istri tidak termasuk garis lurus, baik keatas maupun kebawah seperti halnya juga saudara-saudara dari pewaris tidak berhak mendapatkan legietiem portei atau bagian mutlak.9 Agar lebih jelas diuraikan lagi disini. Suami atau istri yang hidup terlama, anak-anak beserta keturunannya dalam garis ke bawah baik sah maupun tidak sah, dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan, dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran. 10Mereka itu menyingkirkan anggota keluarga yang lain dalam garis ke atas, dan dalam garis kesamping meskipun mungkin di antara anggota-anggota keluarga yang belakangan ini ada yang derajatnya lebih dekat dengan orang meninggal (Pasal 832 jo.842 jo.852a). yang berbunyi: Pasal 832 Menurut Undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu. Pasal 842 Pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dahulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. Pasal 852a. Dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuanketentuan dalam bab ini dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si lihat juga pendapat Surani Ahlan Syarif,dalam inti sari Hukum Waris menurut Burgerlijk Wetboek(KUH Perdata),(Jakarta:Gralia Indinesia,1983)/h.10 10R. Subekti, pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa Cet, ke- 19 1984),hlm 96. 9
224
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
meninggal dengan pengertian, jika perkawinan suami istri itu adalah untuk kedua kali atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang baru tak akan mendapat bagain warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal ini bagaimanapun juga, tak bolehlah bagian si istris atau suami itu lebih dari seperempat harta peninggalan si meninggal. Apabila atas kebahagiaan si istri atau suami dari pewarisan kedua kali atau selanjutnya, sebaimana di atas, dengan wasiat telah dihibahkan sesuatu, maka jika jumlah harga hibah wasiat melampaui batas harga termaksud dalam ayat ke satu, bagian warisannya harus di kurangi sedemikian, sehingga jumlah tadi tetap berada dalam batas. Jika hibah wasiat seluruhnya, atau sebagian terdiri atas hak pakai hasil sesuatu, maka harga hak yang demikian harus di taksir, setelah mana jumlah tadi harus dihitung menurut harga taksiran itu. Apa yang diperoleh si istri atau suami yang kemudian menurut pasal ini, harus di kurangkan dalam hitungan akan apa yang menjadi bagiannya, atau akan perjanjia nnya menurut bab kedelapan buku ke satu. b). Ahli waris golongan ke dua “orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan keturunan saudara laki dan perempuan tersebut”.11 Ahli waris golongan kedua diatur dalam pasal-pasal berikut ini: Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata, menentukan: “Apabila seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka mendapat sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki atau perempuan, yang mendapat sepertiga selebihnya. Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu. Dari pasal tersebut dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut : Seorang meninggal dunia, tanpa meninggalkan keturunan maupun suami istri, berarti sudah tidak ada golongan I, maka golongan II, yaitu bapak, ibu, dan saudara-saudara tampil sebagai ahli waris. Besar bagian bapak dan ibu (kedua orang tua pewaris masih hidup), berarti ada bapak, ibu dan saudara. Berdasarkan Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata : 11
Op.cit., h. 56- 65.
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
225
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
Jika bapak dan ibu mewaris bersama seorang saudara laki-laki maupun perempuan, mereka masing-masing memperoleh 1/3 harta warisan. Apabila ternyata pewaris mempunyai saudara lebih dari 2 orang, maka bapak ibu tidak boleh mendapat bagian kurang dari ¼ harta warisan. Bagian bapak dan ibu tersebut harus harus di keluarkan terlebih dahulu, setelah itu sisanya di bagikan di antara saudara-saudara pewaris. Apa bila bapak atau ibu pewaris telah meninggal dunia, maka bagian saudara-saudara pewaris diatur dalam Pasal 856 KUHPerdata bahwa “bagian saudara laki ataupun perempuan dari pewaris, sedangkan bapak ataupun ibunya telah meninggal. Dalam keadaan demikian ini, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki dan perempuan dari pewaris”. Bagian masing-masing 1/5 harta warisan seayah dan seibu, menurut Pasal 857 KUHPerdata. Pembagian saudara sekandung atau saudara seayah dan seibu adalah sebagai berikut: (a). Pewaris Pewaris adalah Pewaris setiap orang yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta, sedangkan ahli waris adalah mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka. Dalam hukum waris perdata, pengaturan yang ada tidaklah hanya sebatas mengatur mengenai siapa sajakah golongan yang mendapatkan warisan serta persentase bagian dari warisan tersebut, akan tetapi juga mengatur mengenai hak serta kewajiban dari pewaris dan ahli waris itu sendiri. Hal ini diatur agar masing-masing pihak, baik si pewaris maupun ahli waris mengerti mengenai posisi masing-masing serta kewajiban yang harus dijalankan dalam memberikan serta mendapatkan warisan tersebut. (b). Ahli waris Ahli waris adalah Seorang ahli waris yang menerima harta peninggalan dari pewaris dan memiliki hak-hak yang antara lain untuk : (1). Menentukan sikap terhadap harta peninggalan; (2). Menerima secara diam-diam atau tegas; (3). Menerima dengan catatan (beneficiare); atau (4). Menolak warisan. Seorang ahli waris juga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu sebagaimana yang disebutkan dibawah ini : (1). Memelihara Harta Peninggalan; (2). Cara pembagian warisan; (3). Melunasi hutang; dan (4). Melaksanakan wasiat. Hazairin merincikan tafsiran Alquran Surat An-Nisaa’ayat 12 ini sebagai berikut: (1). Bagimu seperdua ( ) dari harta peninggalan istri-istrimu, jika bagi istriistrimu itu tidak ada anak
226
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
(2). Bagimu seperempat ( ) dari harta peninggalan isrti-istrimu, jika bagi istriistrimu itu ada anak (3). Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu seperempat ( ) dari harta peninggalanmu,jika bagimu tidak ada anak. (4). Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu ( ) dari harta Pembagian yang dimaksud dalam Alquran Surat An-Nisaa ayat 12 huruf (a) sampai dengan huruf (d) itu setelah dikeluarkan wasiat atau utangmu. (5). Jika seseorang laki-laki maupun perempuan, diwarisi secara kakala dan baginya ada seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan maka bagi saudara itu masing-masing seperenam ( ) (6). Jika seorang laki-laki maupun perempuan,diwarisi secara kakala dan baginya ada beberapa orang saudara,semuanya laki-laki atau semuanya perempuan maka semua saudara itu terbagi sama rata atas sepertiga ( )bagian dari harta peninggalannya (7). Pembagian yang dimaksud dalam Surat An-Nisaa’ayat 12 huruf (f) dan (g) itu adalah sesuatu dikeluarkan wasiat atau utangnya, dengan tidak boleh seseorang pun mengumpat karena terasa dirugikan (ghaira mudaarin) atau dengan tidak boleh ada diskriminasi yang merugikan28. (8). Peninggalanmu jika bagimu ada anak. (c). Harta waris Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat." Dari pengertian di atas, dikatakan bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa: Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atauisteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut. Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara individual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau isteri, harta bawaan dari clan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat. 4. Cara mendapatkan warisan menurut hukum perdata barat.
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
227
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
Pasal 832, 842, 852, 852a, 913, 914, dan 916a yang berhak menjadi ahli waris keluarga sederajat baik sah maupun diluar kawin yang diakui, serta semuanya istri yang hidup terlama. Dalam bagian II Bab XII diatur mengenai pewarisan dari keluarga yang sah dan suami istri. Dalam bagian III diatur tentang dalam pewarisan dalam hal adanya anak luar kawin yang diakui. Para ahli waris yang sah karena kematian terpanggil untuk mewaris menurut urutan di mana itu mereka terpanggil untuk mewaris. 12 Urutan tersebut dikenal ada 4 macam yang disebut golongan ahli waris yaitu: a) Ahli waris Golongan Pertama terdiri dari: (1) Anak-anak dan keturunannya; (2) Suami atau Istri yang hidup terlama. b) Ahli Waris Golongan kedua terdiri dari: (1) “Orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan keturunan saudara laki dan perempuan tersebut”. (2) Ahli waris golongan keduan diatur dalam pasal-pasal berikut ini: 1) Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata, menentukan: “Apabila seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masingmasing mereka mendapat sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki atau perempuan, yang mana mendapat sepertiga selebihnya.13 Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu. Dari pasal tersebut dapat ditarik hal-hal sebagai berikut: Seorang meninggal dunia, tanpa meninggalkan keturunan maupun suami istri, berarti sudah tidak ada Golongan I, maka Golongan II, yaitu bapak, ibu, dan saudara. Bagiannya adalah sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata: Jika bapak dan ibu mewaris bersama seorang suadara baik laki-laki maupun perempuan, mereka masing-masing memperoleh 1/3 harta warisan. Sedangkan berdasarkan Pasal 854 ayat (2) KUHPerdata : Apabila ternyata Pewaris mempunyai saudara lebih dari 2 orang, maka bapak dan ibu tidak boleh mendapat bagian dari ¼ harta warisan. Bagian bapak dan ibu dijamin masing-masing ¼. Bagian bapak ibu tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu, setelah itu sisanya dibagikan diantara saudara-saudara pewaris. 12Hartono 13J.
228
Soerjopratiknjo. Op. cit .h.49. Satrio. Op.cit., h. 50.
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
Selanjutnya Pasal 855 KUHPerdata mengatur bagian bapak atau ibu yang hidup terlama. Hanya ada bapak atau ibu, dan ada saudara.14 Besarnya bagian bapak atau ibu berdasarkan Pasal 855 KUHPerdata: ........., maka bapak atau ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka si ibu atau si bapak yang hidup terlama mendapat setengah dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara perempuan atau laki. Kesimpulan bagian bapak atau ibu masing-masing dijaminkan tidak boleh dari 1/4 . Saudara-saudara selebihnya (dua atau lebih) mendapatkan sisanya secara bersama-sama dibagi rata. Apabila bapak ataupun ibu Pewaris telah meninggal dunia, maka bagian saudara-saudara pewaris diatur dalam Pasal 856 KUHPerdata: “bagian saudara laki ataupun perempuan dari pewaris, sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal. Dalam keadaan demikian ini, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki dan perempuan dari Pewaris”. Bagian saudara sekandung ataupun saudara seayah dan seibu, menurut Pasal 857 KUHPerdata. Pembagian saudara sekandung atau saudara seayah dan seibu adalah sebagai berikut : bahwa dalam hal menghitung jumlah/banyaknya saudara yang turut mewaris bersama-sama dengan bapak/ibu, tidak dibedakan saudara sekandung atau saudara seayah/seibu (pasal 857 KUHPerdata). a) Bagian saudara-saudara sekandung Dalam hal mereka berasal dari perkawinan yang sama, maka mereka berbagi dalam bagian yang sama. Berasal dari perkawinan yang sama di sini maksudnya mereka mempunyai bapak dan ibu yang sama, sehingga dikatakan saudara sekandung. Dengan demikian saudara sekandung mendapatkan bagian yang sama, tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan. b) Saudara kandung dan saudara tiri Apabila mereka berasal dari “lain perkawinan”, maka warisan terlebih dahulu dibagi dua. Setengah bagian untuk saudara dalam garis bapak, setengah lainnya untuk saudara dalam garis ibu.15 Pembagian adalah sebagai berikut: (1) Saudara laki-laki maupun perempuan sekandung menerima dari dua garis (2) Saudara yang bukan kandung, hanya menerima bagian dari dimana dia berada. (3) Warisan dibagi dua, yaitu ½ bagian untuk saudara dalam garis Bapak, ahli warisnya dimisalkan E, F (saudara sekandung) bersama-sama dengan C dan D. E, F, C, D masing-masing menerima 1/4x1/2 bagian=1/8 bagian. Op. cit., h. 56-65. perkawinan”berarti salah satu dari atau kedua-dua orang tua Pewaris, yaitu ayah/dan atau ibu, pernah menikah dua kali dengan dua orang wanita/laki-laki yang berlain-lainan dan dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak. J. Satrio Op. Cit., h. 66-82. 14
15Lain-lain
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
229
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
(4) Dan sisa warisan ½ bagian untuk saudara dalam garis ibu. c. Ahli Waris Golongan Ketiga Ahli Waris Golongan Ketiga terdiri dari: keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, sesudah orang tua. Pasal 853 KUHPerdata mengatakan: “Ahli waris Golongan ketiga ini terdiri dari sekalian keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu”. Yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan garis ibu ke atas adalah kakek, dan nenek, yakni ayah dan ibu dari ayah dan ibu dan ayah dari ibu pewaris. d. Ahli Waris Golongan Keempat. “Ahli Waris Golongan Keempat yaitu keluarga sedarah lainnya dalam garis menyimpang sampai derajat ke enam”. Golongan keempat diatur dalam Pasal-pasal berikut ini: Pasal 858 KUHPerdata menyatakan : “Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam satu garis ke atas, maka separuh harta peninggal itu menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah garis ke samping dari garis keatas lainnya, kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut”. Pasal 858 KUHPerdata tersebut di atas dapat diartikan sebagai berikut: 1) Apabila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan (berarti Golongan II) ; 2) Saudara dalam salah satu garis lurus ke (berarti Golongan III) Harta warisan dibagi dua, yaitu: (a) ½ bagian warisan (kloving), menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup (kelompok ahli waris yang satu) (b) ½ bagian yang lainnya, kecuali dalam hal tersebut dalam pasal berikut, menjadi bagian para sanak saudara dalam yang lain. Sanak-saudara dalam garis yang lain adalah para paman dan bibi serta sekalian keturunan mereka, yang telah meninggal dunia lebih dahalu dari Pewaris, mereka adalah ahli waris golongan keempat.
PENUTUP
230
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik ia masih kanak-kanak (belum dewasa) maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama dengan adopsi ini Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang terdapat pada pasal-pasal yang mengatur tentang bagian mutlak oleh Undang-undang dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat (testamentair erfrecht), yaitu di dalam Pasal 913, 914, 916 dan seterusnya. Cara mendapatkan warisan menurut hukum perdata barat yaitu Pasal 832, 842, 852, 852a, 913, 914, dan 916a yang berhak menjadi ahli waris keluarga sederajat baik sah maupun diluar kawin yang diakui, serta semuanya istri yang hidup terlama. Hendaknya para pihak yang berwenang senantiasa mengadakan pengawasan secara seksama terhadap masalah pengangkatan anak, agar pengangkatan anak tersebut betul-betul didasari pada dasar kemanusiaan yang tinggi sesuai dengan jiwa budaya bangsa Indonesia, agar tidak terjadi pengangkatan anak (adopsi) dengan maksud-maksud tertentu atau terselubung. Penulis juga menyarankan dengan adanya aneka ragam peraturan yang mengatur masalah pengangkatan anak (adopsi) ini. Maka kiranya perlu dibentuk suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang secara khusus mengatur masalah pengangkatan anak serta kedudukan anak angkat sebagai ahli waris.
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
231
Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW
Rosmawati
DAFTAR PUSTAKA Alquran dan Terjemahannya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran. 1980 Ahlan Surini Syarif, 1983. Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata), Jakarta: Ghalia Indonesia. Ahmad Azahar Basyir. 1976. Hukum Waris Islam, Yogyakarta: FE-UII. Amanat.Anisitus. SH.CN,2003. Membagi warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,PT.Raja Grafindo Pesada Jakarta. Budiarto.M,1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum Pressindo,Jakarta. Halim hadikusuma,2003Hukum Perkawinan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya,PT Citra Aditya Bakit Bandung. Oemar Salim. SH, 1991, Dasar; dasar Hukum Waris Indonesia, Renika Cipta Rahman fatchur. 1987. Ilmu Waris. Bandung: Al-Ma’arif. Ramulyo, M. Idris. 1993. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika. Ramulyo Idris H.M, 2004, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab Undang Perdata, Sinar grafika. Sjukrie, Erna, Sofwan, 1992 Lembaga pengangkat Anak (Adopsi), Mahkama AgungRI. Suparman, Eman, 1991.,Inti sari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Soimin, Soedharyo , 1992 Hukum Orang dalam Keluarga, Sinar Grafika. Soedarso. , Hukum waris. Laporan penataran FH-UGM I-II Yogyakarta. 1978. Sayuti, Thalib. dan Rajamuljo, Idris. M. ,Hukum Islam II Diklat FH- UI Jakarta. Sayuti , Thalib Hukum Kekeluargaan Indonesia, Y.P. Univ Indonesia 1974. Satrio. J. Hukum Waris. Bandung: Alumni, 1992. Sajuti, Thalib Receptio a Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam). Jakarta: Academica.1980. Soebekti R & Tjitrosudibio. 1960. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Pradnya paramita.
232
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012