J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 109
Hukum HibahWasiat Terhadap Anak Angkat menurut Hukum Perdata Enik Isnaini*) *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRACT It’s natural for a parent to be wanting a child. However, in reality it’s quite not a rarity that a parent doesn’t get what they want. By far, the most sustainable way to get an offspringto complete that purpose is by adopting someone’s child. Adopted children has the same position as biological children of their adoptive parents.; That way, they can inherit their adoptive parents possession only on the inheritable parts. For that matter, adoptive parents can inherit that for them based on Undang-Undang or based on the testament (Hibah wasiat). Keywords :Hibah Wasiat, Adopted Chidren. 1. Pendahuluan Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya.Sudah merupakan kodrat manusia untuk hidup berdampingan sesama manusia dan berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara melangsungkan perkawinan. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur. Dalam hal ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa Peraturan – Peraturan dan Undang – Undang yang mengatur tentang perkawinan terutama Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara. Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan : “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga. Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Keinginan untuk mempunyai seorang anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi pada kenyataannya tidak jarang sebuah rumah tangga atau keluarga tidak mendapatkan keturunan. Apabila suatu keluarga itu tidak dilahirkan seorang anak maka untuk melengkapi unsur keluarga itu atau untuk melanjutkan keturunannya dapat dilakukan suatu perbuatan hukum yaitu dengan mengangkat anak (adopsi). Didasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 9 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa : ”Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”. Dengan demikian sahnya pengangkatan anak menurut hukum apabila telah memperoleh putusan pengadilan.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 110 Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak, Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Perbuatan pengangkatan anak mengandung konsekuensi - konsekuensi yuridis bahwa anak angkat itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya. Di berbagai daerah di Indonesia anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunan sendiri, juga termasuk hak untuk dapat mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia, akan tetapi dalam kenyataannya anak angkat yang sah masih dianggap bukan bagian dari keluarga yang merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sehingga mereka dianggap tidak berhak atas harta peninggalan orang tuanya karena bukan ahli waris dari orang tua yang mengangkatnya. Hal ini karena adanya pengaruh dari sistem hukum Islam yang tidak mengatur tentang adanya pengangkatan anak yang dijadikan sebagai anak kandung hal ini tidak dibenarkan. Untuk melindungi agar anak angkat tetap mendapatkan haknya atas harta peninggalan orang tua angkatnya , maka orang tua angkat membuat hibah wasiat. Hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa masih hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris, yang baru akan berlaku setelah ia meninggal. Di dalam Pasal 957 KUH Perdata disebutkan : “ Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan
beberapa barang – barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya, segala barang bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya”. II. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukuan adalah metode penelitian hukum normatif yang disebut juga penelitian kepustakaan (Library Research), adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi normatif. Oleh karena itu penelitian hukum ini difokuskan untuk mengkaji penelitian hukum tentang kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Selain itu juga digunakan pendekatan analisa (Analisis Aproach). Pendekatan analisa ini digunakan dalam rangka untuk menganalisa penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek sesuai dengan ketetapan. Bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu : (1) Bahan primer yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti yakni putusan pengadilan tentang hibah wasiat anak angkat, (2) Bahan sekunder yaitu data yang diambil dari tulisan-tulisan para ahli hukum, artikel, makalah yang berkaitan dengan tinjauan hukum hak mewaris anak angkat didasarkan hibah wasiat, (3) Bahan tersier yaitu data yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan sekunder, seperti kasus hukum, majalah, dan lain-lain. Pengumpulan bahan hukum Baik bahan primer maupun sekunder dikumpulkan berdasakan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan diklarifikasi menurut sumber dan hirarkinya untuk dikaji secara komprehensif.Pengolahan bahan hukum adalah kegiatan merapikan hasil pengumpulan data kepustakaan sehingga siap pakai untuk dianalisis. Prosedur pengolahan bahan hukum dimulai dengan memeriksa data secara korelatif yaitu yang hubungannya antara gejala yang satu dengan yang lain, selanjutnya data dianalisa sehingga dapat diperoleh gambaran
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 111 yang jelas tentang Hibah Wasiat terhadap Anak Angkat menurut Hukum Perdata. III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan A. Dasar Hukum Waris Yang dinamakan mewaris ialah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Adapun yang digantikan itu adalah hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan, artinya hak dan kewajiban dapat dinilai dengan uang. Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris KUH Perdata ada dua cara, yaitu: 1. Menurut ketentuan undang-undang. 2. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen) adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato. Hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk di Indonesia maka yang berlaku hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa atau timur asing Tionghoa, bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam mereka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris Islam. Bila pewaris termasuk golongan penduduk timur asing Arab atau India, bagi mereka berlaku hukum adat mereka. B. Pengertian Hukum Waris Barat (KUH Perdata) Tidak terdapat pasal yang memberikan pengertian tentang hukum waris, namun sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 830 KUH Perdata, bahwa:
“pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Dengan demikian menurut hukum Barat terjadinya pewarisan apabila adanya orang yang mati dan meninggalkan harta kekayaan. Untuk terjadinya pewarisan harus dipenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) Pewaris adalah orang yang meninggal dunia meninggalkan harta kepada orang lain, (2) Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian, (3) Harta warisan adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia. C. Kedudukan Anak Angkat Perbuatan mengangkat anak mempunyai akibat hukum. Menurut pasal 14 Staatblad 1917 no.129 pengangkatan anak memberi akibat bahwa status anak yang bersangkutan berubah menjadi seperti seorang anak sah. Hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali. Pengangkatan anak menurut hukum perdata (BW) mempunyai akibat hukum anak angkat mempunyai kedudukan seperti anak kandung dan memperoleh bagian warisan dari orang tua angkatnya. Sedangkan pengangkatan anak menurut hukum adat mempunyai akibat hukum yang berbeda-beda baik mengenai kedudukannya maupun kewarisannya. Hal ini tergantung pada kelembagaan pengangkatan anak (sistem hukum) yang hidup dan berkembang didaerah yang bersangkutan. D. Ahli Waris Menurut KUH Perdata KUH Perdata membagi dua ahli waris, yaitu : (1) Ahli waris menurut undang-undang adalah ahli waris yang ditunjuk atau ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang menunjuk sebagai ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami atau istri yang masih hidup. Jadi seluruh pewarisan menurut undangundang berdasarkan atas hubungan sedarah dan hubungan perkawinan, (2) Ahli waris menurut tastemen adalah siapa saja yang disebutkan dalam testemendengan tidak mengurangi kekecualian yang diatur dalam Pasal 895-912 KUH Perdata. Ahli waris menurut surat wasiat jumlahnya tidak tertentu tergantung kehendak pembuat wasiat. Dengan demikian, ahli waris mendapat bagian warisan berdasarkan penunjukan si pewaris pada waktu
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 112 ia masih hidup. Terkadang wasiat berisi penunjukan seorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian warisan dan memperoleh segala hak dan kewajiban dari pewaris. Namun demikian, kebebasan untuk membuat surat wasiat dibatasi Pasal 881 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan, bahwa: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah yang demikian, si yang mewariskan tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak.” Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahli waris yang manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris menurut surat wasiat. Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris Ab Intestato yang berdasarkan hubungan darah dibedakan menjadi empat golongan : a) Golongan 1 : Keluarga dalam garis lurus kebawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami/istri yang ditinggalkan/yang hidup paling lama. Suami/istri yang ditinggalkan atau hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/istri tidak saling mewarisi. b) Golongan 2 : Anggota keluarga garis lurus keatas yaitu, ayah, ibu, saudara dan keturunannya. Menurut Pasal 854 KUH Perdata : a. Ayah dan ibu masing-masing mendapat 1/3 bagian dari harta warisan jika hanya terdapat 1 orang saudara pewaris. b. Ayah dan ibu mendapat ¼ bagian dari harta peninggalan jika pewaris meninggalkan lebih dari 1 orang saudara laki-laki atau perempuan. Jika ibu atau ayah sudah meninggal dunia, maka yang hidup terlama menurut ketentuan Pasal 855 KUH Perdata akan memperoleh bagian sebagai berikut :
1) 1/2 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan saudaranya, baik laki-laki atau perempuan. 2) 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika mewaris bersamasama dengan 2 orang saudara. 3) 1/4 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersamasama dengan 3 orang atau lebih saudara pewaris. Apabila ayah dan ibu pewaris sudah tidak ada lagi maka harta peninggalan dibagikan kepada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan 2 baik saudara seayah maupun saudara seibu. c) Golongan 3 : Kakek, nenek dalam garis lurus keatas dari pihak ayah dan ibu si pewaris. Dalam hal ini, sebelum harta warisan dibuka terlebih dahulu dibagi dua (Kloving) yaitu 1/2 merupakan bagian keluarga dari ayah pewaris dan 1/2 bagian keluarga dari ibu pewaris. (Pasal 850 dan Pasal 853 Ayat (1) KUH Perdata). d) Golongan 4 : Garis menyamping (paman, bibi, sepupu) sampai derajat ke 6. Ahliwaris menurut surat wasiat (testamentair) yaitu siapa saja yang disebutkan dalam testamenterdengan tidak mengurangi kekecualian yang diatur dalam Pasal 895-912 KUH Perdata tentang kecakapan seseorang untuk membuat wasiat atau untuk menikmati keuntungan dari surat wasiat. Jumlah ahli waris menurut wasiat tidak tentu, karena ahli waris ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Surat wasiat seringkali berisi penunjukan seorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan dan mereka tetap akan memperoleh segala hak dan kewajiban dari pewaris seperti halnya ahli waris menurut undang-undang. Seseorang yang akan menerima waris harus memenuhi syarat-syarat, yaitu: 1. Harus ada yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata). 2. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. 3. Ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam artian tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris karena kematian
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 113 atau dianggap tidak cakap menjadi ahli waris. Di dalam Pasal 838 KUH Perdata ditegaskan tentang orang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan dikecualikan dari pewarisan adalah : 1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal. 2. Mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah menunjukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara 5 tahun lamanya atau hukuman berat. 3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat dan mencabut surat wasiatnya. 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal. Ketidakpatutan ini menghalangi ahli waris tersebut untuk menerima warisan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pewaris dan keluarganya dari tindakan pihak lain (ahli waris) yang tidak beritikad baik. Dalam KUH Perdata, peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya tergantung pada kehendak dan kerelaan ahli waris yang bersangkutan. Ahli waris dimungkinkan untuk menolak warisan, karena apabila ia menerima maka harus menerima segala konsekuensinya, salah satunya adalah melunasi seluruh hutang pewaris. E. Warisan Menurut KUH Perdata Warisan menurut hukum waris Barat (KUH Perdata) meliputi seluruh harta benda beserta hak – hak dan kewajiban – kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang, akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak – hak dan kewajiban – kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada para ahli waris, antara lain : 1. Hak memungut hasil (vruchtgebruik). 2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.
3. Perjanjian pengkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun Firma menurut WvK, sebab pengkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota / persero. F. Pengertian Pengangkatan Anak Di dalam Pasal 1 angka (9) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, disebutkan : “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan” Dari pengertian tersebut diatas dapat dibedakan antara pengangkatan anak dengan adopsi. Di dalam pengangkatan anak hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak putus sehingga ia mewaris baik dari orang tua angkatnya maupun orang tua kandungnya, sedangkan dalam adopsi hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya putus sama sekali sehingga ia hanya mewaris dari orang tua angkatnya saja. G
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Barat Pengangkatan anak dalam Hukum Barat (Perdata) hanya terjadi dengan akta Notaris, tata cara pembuatannya adalah sebagai berikut : 1. Para pihak datang menghadap Notaris 2. Boleh dikuasakan, tetapi untuk itu harus didasarkan surat kuasa khusus yang dibubuhi materai. 3. Pada akta dituangkan pernyataan persetujuan bersama antara orang tua kandung dengan orang tua angkat. 4. Akta tersebut disebut „akta adopsi‟. H. Pengertian Hibah Wasiat Hibah wasiat adalah pernyataan kehendak seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia kelak. Pelaksanaan hibah wasiat ini baru dilakukan setelah pewaris meninggal dunia. Didalam praktik pelaksanaannya, hibah wasiat harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 114 agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan ketentuan hukum waris dan tidak merugikaan para ahli waris lain yang tidak memperoleh pemberian melalui hibah wasiat. Dalam kaitan ini pula hukum membatasi kekuasaan seseorang untuk menentukan kehendak terakhirnya melalui hibah wasiat agar ia tidak mengesampingkan anak sebagai ahli waris melalui hibah wasiat. Hibah wasiat dapat dibuat oleh pewaris sendiri atau dibuat secara notariil. Yang mana Notaris khusus diundang untuk mendengarkan ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh dua orang saksi, dengan cara demikian maka hibah wasiat memperoleh bentuk akta notaris dan disebut wasiat atau testamen. Dalam Pasal 875 KUA Perdata menyebutkan pengertian tentang surat wasiat, yaitu : “Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali”. I. Pembatasan Dalam Hal Membuat Hibah Wasiat Menurut Hukum Barat (KUH Perdata) pembatasan dalam hal membuat hibah wasiat yaitu tentang besar kecilnya harta warisan yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris yang disebut “Ligitime Portie”, atau ”wettelijk erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang). Hal ini diatur dalam Pasal 913-929 KUH Perdata. Ligitime Portie( bagian mutlak ) adalah suatu bagian dari harta peninggalan atau warisan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus, terhadap bagain mana si pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah wasiat. Begitulah bunyi pasal 913 KUH Perdata. Dalam garis lurus kebawah, apabila si pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu – satunya, maka bagian mutlak baginya itu adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi apabila tidak ada testamen maka anak satu – satunya itu mendapat seluruh harta warisan, jika ada testamen anak satu – satunya itu dijamin akan mendapat setengah dari harta peninggalan.
Apabila 2 ( dua ) orang anak yang ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah masing – masing 2/3. Ini berarti bahwa mereka itu dijamin bahwa masing – masing akan mendapat 2/3 dari bagian yang akan didapatnya seandainya tidak ada testamen. Apabila 3 ( tiga ) anak atau lebih yang ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah masing – masing ¾ . Ini berarti bahwa mereka dijamin masing – masing akan mendapatkan ¾ dari bagian yang akan didapatnya seandainya tidak ada testamen. Dalam garis lurus keatas ( orang tua, kakek dan seterusnya ) bagian mutlak itu selamanya adalah setengah, yang menurut Undang – undang menjadi bagian tiap – tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian. Perlu juga diperhatikan bahwa anak luar kawin (anak angkat) yang telah diakui dijamin dengan jaminan mutlak, yaitu setengah dari bagian yang menurut Undang– undang harus diperolehnya. Seandainya tidak ada keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas serta tidak ada anak luar kawin yang telah diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh meliputi seluruh harta peninggalan. Apabila ketentuan – ketentuan mengenai bagian mutlak seperti yang dijelaskan diatas dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan bagian mutlak itu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya hibah atau hibah wasiat tersebut dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan Undang – Undang khususnya KUH Perdata. Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini pada hakekatnya merupakan pembatasan terhadap kebebasan orang membuat testamen. J. Cara Penghibahan Wasiat Menurut Pasal 931 KUH Perdata,bahwa dalam pembuatan wasiat atau hibah wasiat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu : 1. Testamen Rahasia (geheim) 2. Testamen Umum 3. Testamen tertulis sendiri (olografis), yang biasanya bersifat rahasia ataupun tidak rahasia. Dalam ketiga testamen ini dibutuhkan campur tangan seorang notaris. Dalam testamen olografis (Pasal 932 KUH Perdata) ditetapkan bahwa testamen ini seluruhnya ditulis dengan tangan dan ditandatangani
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 115 pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris dan penyerahan kepada notaris ini ada dua cara, yaitu bisa diserahkan dalam keadaan terbuka bisa juga dalam keadan tertutup. Kedua cara penyerahan dan penyimpana pada notaris itu mempunyai akibat hukum yang satu sama lain berbeda, yaitu: 1. Apabila surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka maka dibuatlah akta notaris tentang penyerahan itu dan ditandatangani oleh pewaris, saksi-saksi, dan juga notaris. Akta penyimpanan tersebut ditulis dikaki surat wasiat tersebut, jika tidak ada tempat kosong pada kaki surat wasiat tersebut, maka amanat ditulis lagi pada sehelai kertas yang lain. 2. Apabila surat wasiat diserahkan kepada notaris dalam keadaan tertutup, maka pewaris harus menuliskan kembali pada sampul dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan wasiatnya dan harus menandatangani keterangan itu dihadapan notaris dan saksi-saksi. Setelah itu pewaris harus membuat akta penyimpanan surat wasiat pada kertas yang berbeda. Dalam Pasal 932 Ayat 2 KUH Perdata mengulas tentang kemungkinan berhalangannya si peninggal warisan untuk menandatangani sampul atau akta penerimaan setelah menulis dan menandatangani testamennya. Jika hal ini terjadi maka notaris wajib mencatat hal ini serta penyebab berhalangnya ini. Ditetapkan pada Pasal 933 KUH Perdata, bahwa : “kekuatan testamen olografis ini sebanding dengan kekuatan testamen terbuka yang dibuat dihadapan Notaris dan dianggap terbuat di tanggal dari akta penerimaan oleh Notaris. Jadi tidak dikesampingkan tentang tanggal yang ditulis dalam testamennya sendiri”. Pasal 933 Ayat 2 KUH Perdata berisi suatu peraturan tentang keaslian dari testamen tersebut apakah benar-benar ditulis dan ditandatangani oleh si peninggal warisan, atau di belakang hari terbukti palsu. Melalui pasal tersebut dicegah terjadinya perselisihan di hadapan hakim tentang pembagian tugas membuktikan sesuatu hal. Berdasarkan Pasal 934 KUH Perdata, bahwa:
“si peninggal warisan bisa menarik kembali testamenya”. Biasanya hal ini dilaksanakan dengan cara permintaan kembali tersebut harus dinyatakan dalam suatu akta otentik (akta notaris). Dengan menerima kembali testamen olosgrafis ini, hibah warisan harus dianggap seolah-olah ditarik kembali (herroepen), hal ini ditegaskan oleh ayat 2 Pasal 934 KUH Perdata. Sedangkan oleh Pasal 937 ditetapkan, jika testamen olosgrafis ini diserahkan kepada Notaris dengan cara tersebut pada suatu sampul bersegel, maka Notaris tidaklah berhak membuka segel tersebut. Jadi segel tersebut boleh dibuka setelah si peninggal warisan wafat, dengan cara menyerahkannya kepada Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk dibuka dan diselesaikan sebagaimana dengan testamen rahasia (Pasal 942 KUH Perdata), yakni dengan membuat proses verbal atas pembukaan ini dan atas keadaan testamen yang diketemukan, selanjutnya testamen tersebut harus diserahkan kembali kepada notaris. Testamen umumdiatur pada Pasal 938 KUH Perdata menetapkan testamen umum wajib dibuat dihadapan Notaris dengan mengajukan dua orang saksi. selanjutnya orang yang meninggalkan warisan mengutarakan keinginannya kepada Notaris dengan secukupnya maka Notaris wajib mencatat keterangan – keterangan ini dalam kalimat – kalimat yang jelas. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantara orang lain, baik anggota keluarganya maupun notaris yang bersangkutan. Dalam Pasal 939 Ayat 2 KUH Perdata menerangkan bahwa : “Jika penuturan itu berlangsung diluar hadirnya saksi-saksi, dan rencana surat wasiat telah disiapkannya, makasebelum rencana dibacakannya, simewariskan harus sekali lagi menuturkan kehendaknya dihadapan saksisaksi” Selanjutnya menurut Pasal 939 Ayat 3 KUH Perdata menerangkan bahwa: “kemudian dengan dihadiri saksi-saksi, notaris harus membacakan surat tadi, setelah mana kepada si yang mewariskan harus ditanya, apakah benar yang dibacakan tadi memuat kehendaknya.” Dalam pembuatan testamen umum, terdapat beberapa orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu:
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 116 1. Para ahli waris atau orang-orang yang diberi hibah atau sanak saudara mereka sampai derajat keempat. 2. Anak-anak, cucu-cucu, dan anak-anak menantu,dan anak atau cucu Notaris. 3. Pelayan-pelayan Notaris. Testamen Rahasia yaitu surat wasiat yang ditulis sendiri atau orang lain yang disuruhnya untuk menulis kehendak terakhirnya. Kemudian ia harus menandatangani surat tersebut. Surat wasiat macam ini harus disampul dan disegel, kemudian diserahkan kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi. Penutupan dan penyegelan dapat juga dilakukan dihadapan notaris dan empat orang saksi. Selanjutnya pembuat wasiat harusmembuat keterangan dihadapan notaris dan saksi-saksi bahwa yang termuat dalam sampul itu adalah surat wasiatnya yang ia tulis sendiri atau ditulis orang lain dan ia menandatangani. Kemudian notaris membuat keterangan yang isinya membenarkan keterangan tersebut. Pasal 940 Ayat 4 KUH Perdata menetapkan bahwa: “Tiap-tiap surat wasiat tertutup atau menerimanya, diantaranya surat-surat asli yang ada padanya.” Pasal 941 Ayat 1 KUH Perdata menjelaskan bahwa: “Jika si yang mewariskan tidak dapat bicara, namun dapat juga menulis, maka dalam hal yang demikianpun bolehlah ia membuat surat wasiat tertutup, asl surat tersebut ditulis, ditanggali dan ditandatangani olehnya sendiri, surat tadi kemudian harus ditunjukkan kepada notaris dihadapan saksi-saksi, setelah itu dihadapan saksi-saksi tersebut, diatas skta pengalamatan surat harus ditulis dan ditandatangani pula, bahwa kertas yang ditunjukkannya memuat wasiatnya,akhirnya notaris harus menulis akta pengalamatan surat wasiat tadi dengan menerangkan didalamnya, bahwa si yang mewariskan telah menulis surat itu didepannya dan didepan saksi-saksi,pun harus diperhatikan juga, apa yang telah ditentukan dalam pasal yang lalu.” Jika si penghibah wasiat meninggal dunia, maka yang berkewajiban memberitahukan kepada mereka yang berkepentingan adalah Notaris, hal ini berdasarkan Pasal 943 KUH Perdata menjelaskan bahwa:
“Tiap-tiap notaris yang menyimpan surat-surat wasiat diantara surat-surat aslinya, biar dalam bentuk apapun juga, harus setelahsi yang mewariskan meninggal dunia, memberitahukannya kepada semua yang berkepentingan.” 4. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Anak angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri (kandung) dari orang tua angkatnya sebagaimana anak yang lahir dari perkawinan orang tua angkatnya. Demikian juga anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya tetapi anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan. Karena ketentuan ini, maka anak angkat tidak mempunyai bagian yang ditentukan. 2. Hak mewaris anak angkat tidak diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun demikian khusus bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak sah. Untuk itu ia berhak mewaris harta warisan orang tua angkatnya menurut Undang-undang atau mewaris berdasarkan hukum waris Testamentair apabila ia mendapatkan testament (Hibah Wasiat). B. Saran Adapun saran-saran yang penulis kemukakan adalah sebagai berikut : 1. Staatsblad 1917 nomor 129 tentang pengangkatan anak sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Karena itu UndangUndang dan Peraturan-peraturan Pemerintah yang mengatur pengangkatan anak sangat dibutuhkan agar tidak adanya perbedaan dalam pengangkatan anak, baik bagi Warga Negara Indonesia Keturunan maupun Warga Negara Indonesia Asli, serta bagi anak yang diangkat tidak hanya pada anak laki-laki saja, tetapi juga bagi anak perempuan. Dan juga diperlukan adanya Undang-undang nasional tentang hukum waris sehingga adanya kesamaan dalam pembagian hak waris baik bagi anak sah maupun anak angkat yang dapat
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 117 dijadikan pedoman dalam penyelesaian sengketa waris. 2. Supaya masyarakat yang mampu secara sosial dan ekonomi, serta mampu mengemban amanah untuk tergerak hatinya membantu anak-anak yang miskin, terlantar dan kurang mampu yang sangat membutuhkan bantuan, kasih sayang dan belas kasihan dengan jalan mengangkat anak.
DAFTAR PUSTAKA Djaja S. Meliala. 1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung. Tarsito.
Eman
Suparman. 2011. Hukum Waris Indonesia-Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung. Refika Aditama. Subekti, S.H. 1990. Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris.. Jakarta. Intermasa. Peraturan Perundang – Undangan : - Kitab Undang-Undang Hukum perdata - Staatblad 1917 Nomor 129 - Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. - Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 118
Pengaruh Merek Dagang Dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian Produk Shampo Masyarakat Desa Payaman Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan Ratna Handayati*, Nur Auwaliyah **) * Dosen Program Studi Manajemen FE Unisla ** Program Studi Manajemen FE Unisla
ABSTRAK Dalam perkembangan dunia yang semakin maju dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menyebabkan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai segi kehidupan, baik sosial, ekonomi, atau bisnis, politik, hukum serta agama. Unsur – unsur dalam bauran ada 4 unsur diantaranya : unsur strategi produk, strategi harga, strategi distribusi pemasaran, strategi promosi. Dari keempat strategi bauran pemasaran tersebut peneliti cenderung memiliki strategi produk dan harga sehingga saya tertarik untuk mengetahui perilaku konsumen dalam keputusan pembelian produk shampo dilihat dari merek dagang dan harga bagi masyarakat desa payaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah merek dagang dan harga berpengaruh terhadap keputusan pembelian shampo dan mengetahui variable manakah yang berpengaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian shampo. Dalam penelitian ini penulis mengambil hipotesis, yaitu diduga merek dan harga berpengaruh terhadap keputusan pembelian produk shampo di desa Payaman. Dan diduga harga mempunyai pegaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian produk shampo di Desa Payaman. Alat analisis yang digunakan mengetahui merek dan harga terhadap keputusan pembelian produk shampo adalah Regresi Linier Ganda. Dan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh merek dagang terhadap keputusan pembelian produk shampo digunakan analisa korelasi yang dibuktikan dengan uji t. I. Pendahuluan Dalam perkembangan dunia yang semakin maju dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengetahuan yang semakin pesat menyebabkan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai segi kehidupan, baik sosial, ekonomi atau bisnis, politik hukum serta agama. Dari berbagai perubahan yang terjadi saat ini kehidupan ekonomi bisnis mengalami perubahan yang cukup pesat, sebagai contoh permasalahan sekarang bagi banyak perusahaan yang bergerak dibidang produk barang maupun jasa melainkan lebih dari itu yaitu masalah pemasaran, karena pemasaran merupakan kegiatan yang utama bagi perusahaan baik perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Saat ini banyak perusahaan yang berlomba-lomba untuk menarik konsumen agar bersedia membeli produk yang ditawarkan melalui media-media yang ada saat ini baik cetak maupun elektronik, sehingga dari pemikiran tersebut dapat diketahui perilaku konsumen dalam keputusan
pembelian shampo dilihat dari merek dagang dan harga bagi masyarakat desa payaman. Dalam bauran pemasaran semua unsur yang terkait didalamnya merupakan suatu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, sehingga unsur yang satu menjadi penunjang bagi unsur yang lain. Adapun unsur dalam bauran diantaranya unsur strategi produk, strategi harga, strategi distribusi pemasaran, strategi pemasaran. Adapun strategi produk yang saya bahas adalah merek dagang untuk itu dalam mengembangkan strategi perusahaan terutama unsur strategi atau kebijakan produk yaitu pemberian merek dagang hal ini untuk membedakan barang atau jasa dari kelompok penjual dan dari produk saingan. Merek dagang hendaknya mudah dii. ngat, dibaca, dan mudah dibedakan sehingga konsumen dapat mencari dan membeli produk yang diinginkan tersebut. Strategi produk yang dibahas di sini adalah masalah merek dagang, untuk itu dalam mengembangkan strategi perusahaan terutama unsur strategi atu kebijakan produk yaitu
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 119 pemberian merek dagang hal ini untuk membedakan barang atau jasa dari kelompok penjual dan dari produk saingan. Merek dagang hendaknya mudah diingat, dibaca dan mudah dibedakan. Sehingga dengan pemberian merek, konsumen dapat mencari dan membeli produk yang diinginkan tersebut. Merek tertentu juga merupakan suatu standar kualitas atau mutu tertentu, sehingga dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli agar penjualan dan pesnguasaan pasar dapat dicapai bahkan diharapkan lebih besar. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah faktor merek dagang dan harga mempengaruhi keputusan pembelian produk shampo ? b. Faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi keputusan pembelian produk shampo ? Pengertian merek dagang dalam pengembangan strategi pemasaran untuk produk – produk individual, penjual harus mnghadapi keputusan pembelian merek (branding). Pemberian merek merupakan masalah utama dalam strategi produk sehingga dalam pemasaran profesional yang paling khusus adalah kemampuan mereka menciptakn, memelihara, melindungi dan meningkatkan merek. Merek adalah nama istilah, tanda, symbol, atau desain atau kombinasi semuanya atau yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok dan untuk membedakan dari barang atau jasa pesaing. Tujuan merek (a) Sebagai identitas, yang bermanfaat dalam diferensiasi atau membedakan produk suatu perusahaan dengan produk pesaingnya, (b) Alat promosi yaitu sebagai daya tarik produk, (c) untuk membina citra yaitu dengan memberikan keyakinan jaminan kualitas serta prestise tertentu terhadap konsumen, (d) mengendalikan pasar. Harga adalah jumlah uang (ditambah beberapa produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya. Harga masih tetpa merupakan salah satu unsur terpenting yang menentukan mangsa pasar dan profitabilitas perusahaan. Harga merupakan slah satu elemen bauran pemasaran yang paling fleksibel karena harga dapat dirubah
dengan cepat. Oleh sebab itu, harga juga merupakan masalah nomor satu yang dihadapi oleh eksekutif pemasaran, maka dari itu penetapan harga menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Berdasarkan penjelasan tersebut setiap perusahaan dapat menetapkan harga dapat memberikan keuntungan yang lebih baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun beberapa tujuan penetapan harga (a) kelangsungan hidup, (b) laba sekarang maximum, (c) pendapatan sekarang maximum, (d) pertumbuhan sekarang maximum, (e) skimming pasar maximum (memerah pasar maximum), (f) kepemimpinan mutu produk. Prosedur penetapan harga antara lain penetapan harga dengan orientasi biaya yang meliputi penetapan harga secara mark up (mark up pricing) yang dilakukan dengan cara menambah suatu prosetase tertentu dari total biaya varfiabel atau harga beli dari seseorang; penetapan harga dengan cost plus (cost plus pricing) yang dilakukan dengan cara menambahkan prosentase tertentu dari total biaya; penetapan harga sasaran(target pricing) yang dalam hal ini harga jual yang ditetapkan dapat memberikan tingkat keuntungan tertentu yang dianggap wajar, keuntungan yang wahar ini diperoleh untuk suatu tingkat investasi tertentu dan resiko yang mungkin terjadi. Penetapan harga ini kan memberikan target keuntunganpada suatu tingkat total biaya dengan suatu volumeproduksi standar yang diperkirakan. Penetapan harga dengan orientasi permintaan yang meliputi penetapan harga berdasarkan persepsi/ penilaian konsumen terhadap suatu produk yang sangat berpengaruh terhadap posisi produk di pasar, dan penetapan harga dengan cara diskriminasi/diferensiasi harga yang dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan permintaan berdasarkan langganan, produk, tempat, dan waktu. Penetapan harga dengan orientasi persaingan yang meliputi penetapan harga berdasarkan tingkat harga rata – rata industri, penetapan harga seperti ini ditetapkan dengan alasan bahwa perusahaan mengalami kesukaran untuk menukar biaya sehingga sulit menetukan harga yang wajar. Kemudian untuk penepatan harga tender atau pelelangan biasanya diajukan dalam sampul yang tertutup, sedangkan pembeli dapat memilih penjual yang dianggapnya mempunyai harga yang rendah dengan spesifikasi yang diharapkannya.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 120
II. Metode Penelitian Data yang diperoleh dari pengamatan dan observasi secara langsung terhadap obyek yang diteliti atau dengan kata lain data ini dikumpulkan langsung dari responden yang diteliti dan diolah sendiri. Dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai maka jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Data ini adalah sumber utama penelitian yang akan dilakukan. Kelayakan penelitian ini tergantung pada pengolahan data primer yang akan diperoleh setelah pengisian kuisioner oleh pihak-pihak yang dipilih secara acak. Adapun populasi dari penelitian ini yaitu keseluruhan objek penelitian dari semua elemen yang ada dalam wilayah penilaian. Alat analisis yang digunakan oleh peneliti yaitu kuesioner dan dokumentasi. III. Hasil Dan Pembahasan Dalam memperlancar dan melakukan kegiatan perusahaan, perusahaan menawarkan produknya kepada konsumen untk mengkonsumsi produk – produk yang telah dibuatnya yaitu memberika janji dari manfaat yang ada pada produk tersebut. Dalam menentukan tehnik penarikan sampel, terlebih dahulu harus ditetapkan populasinya yaitu kelompok atau individu yang diminati dalam penelitian yang berarti kelompok atau individu yang akan dikenakan untuk diambil penelitian dan semakin dipersempit populasinya maka penilaian yang dilakukan aka menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Oleh sebab itu sasaran yang mudah untuk diakses adalah warga desa Payaman. Dari hasil penelitian di atas merupakan jawaban dari diskripsi data, analisa data dan pengujian hipotesis dengan jawaban di atas di peroleh hasil bahwa untuk megetahui sejauhmana hubungan antara merek dagang dan harga terhadap keputusan pembelian diperoleh hasil korelasi yaitu : r1 = 0.745 dan r2 = 0.866 artinya hipotesis yang menduga antara merek dagang dan harga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian shampo terbukti kebenarannya. Dan hipotesis yang menyatakan bahwa harga lebih dominan terhadap keputusan pembelian produk
shampoo terbukti kebenarannya. Dan apabila untuk membuktikan signifikan atau tidaknya pengaruh antara kedua variable maka dihitung dengan uji t, dimana t1 hitung = 8,448 > t table = 2,000 sedang t2 hitung = 13,19 > t table = 2,000 dan selisih yang terjadi antara t hitung dan t table adalah cukup besar sehingga dari keadaan tersebut dapat diarik kesimpulan Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti variable merek dagang dan harga mempengaruhi keputusan pembelian produk shampoo terbukti. Pengaruh merek dagang dan harga terhadap keputusan pembelian produk shampoo dibuktikan dengan regresi linier ganda yang hasilnya Y=-32,382 + 1.67X1 + 1,5X2. Dari persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa a= -32,382 yang artinya tingkat keputusan pembelian rata-rata adalah sebesar -32,382 set bila merek dagang dan harga nol, b1 = 1,67 yang artinya merek dagang shampoo Clear akan mempengaruhi keputusan pembelian sebesar 1,67 produk, b2 = 1,5 yang berarti harga akan mempengaruhi keputusan pembelian sebesar 1,5 produk.
IV. Kesimpulan Dan Saran a. Kesimpulan Berdasarkan penelitian mengenai merek dagang dan harga terhadap keputusan pembelian produk shampoo, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara merek dagang dan harga terhadap keputusan pembelian diperoleh hasil korelasi yaitu : r1 = 0.745 dan r2 = 0.866 yang berarti hipotesis antara merek dagang dan harga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian shampoo terbukti kebenarannya. Dan hipotesis yang menyatakan bahwa harga lebih dominan terhadap keputusan pembelian produk shampoo terbukti kebenarannya. Sedangkan untuk membuktikan signifikan atau tidaknya pengaruh antara kedua variable maka dihitung dengan uji t, dimana t1 hitung = 8,448 > ttabel = 2000 sedang t2 hitung = 13,19 > t table = 2,000 dan selisih yang terjadi antara t hitung dan t table adalah cukup besar sehingga dari keadaan tersebut dapat diarik kesimpulan Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti variable merek dagang dan harga mempengaruhi keputusan pembelian produk shampoo terbukti.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 121 b. Saran Saran yang bisa dikemukakan setelah mempelajari keadaan yang terjadi pada masyarakat desa Payaman sebagai rekomendasi penunjang hasil penelitian, yang sekiranya berguna bagi masyarakat atau konsumen adalah dengan diketahui harga maka faktor yang paling dominan terhadap keputusan pembelian shampoo, hendaknya konsumen bukan hanya memperhatikan harga saja tetapi konsumen juga harus memperhatikan cocok atau tidaknya shampoo yang dipakai. Kosumen dalam pamakaian shampoo hendaknya tidak mengganti-ganti merek sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan menggunakan shampoo sesuai dengan kebutuhan pada rambut. DAFTAR RUJUKAN Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta, Asdi Mahastya.
Assauri sofyan, 1991. Manajemen Produksi. Jakarta, Edisi Keempat, FEUI. Kotler Philip, 1997. Manajemen Pemasaran, PT. Prenhalindo. Jakarta. Kotler dan Amstrong, 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Terjemahan oleh damus Sihombing. Jakarta Erlangga. Kotler Philip, 1998. Manajemen Pemasaran, Yogyakarta, BPFE. Nitisemito S. Alex, 1981. Marketing. Jakarta : Ghalia Indonesia Prof. Dr. Sudjana M.A, M.Sc. 1996. Metoda Statistika. Edisi Keenam, penerbit Tarsito Bandung. Prof. Dr. Sugiono, 2006. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit CV. ALFABETA Bandung. Swastha Basu dan Irawan, 2005, Manajemen Pemasaran Modern, Yogyakarta Liberty. Tjiptono Fandy, 1997. Strategi Pemasaran. Penerbit ANDI Yogyakarta.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 122
Problematika Pembelajaran Bahasa Arab Bagi Mahasiswa Non Arab (Studi Kasus Kondisi Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN STS Jambi) Yusraini dan Yogia Prihartini * Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN STS Jambi Jl. Jambi Ma-Bulian KM. 16 S. Sungai duren Kab. Muaro Jambi Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedang Untuk memeriksa keabsahan dan kebenaran data, maka dilakukan dengan trianggulasi data. Tujuan umum perkuliahan Bahasa Arab di IAIN STS Jambi adalah membangun kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab, baik istima’, kalam, qira’ah maupun kitabah. Karakteristik mata kuliah bahasa Arab di IAIN STS Jambi adalah materi perkuliahan bahasa Arab disusun pihak Institut, pengelolaan bahasa Arab dikelola secara independen oleh setiap fakultas. Kendala pembelajaran bahasa Arab di IAIN STS Jambi adalah: Waktu perkuliahan kurang efektif karena dilakukan di siang hari, Lingkungan berbahasa kurang efektif, kurangnya sarana pembelajaran bahasa Arab dan jumlah mahasiswa pada setiap kelas terlalu banyak, kejenuhan mahasiswa belajar bahasa Arab serta tidak adanya follow up dari pembelajaran bahasa Arab. Karakteristik mahasiswa perkuliahan bahasa Arab adalah: Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa, dan kurang motivasi mahasiswa dalam belajar bahasa Arab. Kata Kunci : Problematika, Pembelajaran dan Bahasa Arab. Abstract The objective this research is to discribe The Problem of Arabic Instruction for Non Arabic Spoken Student : A Spoken Student : A Case Study Study Condition of Arabic Instruction IAIN STS Jambi. This is a cualitative research the data were obtained by observation, documention, and interview, checked by data trianggulation. The general objective of arabic instruction at IAIN STS Jambi is to develop, student skill is listening, speaking, reading ang writting of arabic. Caracteristict of arabic instruction is the teaching material is provided by institute, while its instruction is handled by the individual faculty. Its found that the problem of arabic instruction at IAIN STS Jambi is that the timing of instruction, enviroment an facility are an adequited, and in addition large of number is student in is class, and limited time provided for arabic instruction also constribute to the problematic faced by arabic instruction, differcity of student educational background and lack of student motivation in studying arabic also constribute to the Arabic instruction. Key words : Problematic, Instruction and Arabic masalah belajar, sedang definisi kedua A. Pendahuluan Teknologi Pendidikan sering menitik beratkan pada pendayagunaan didefinisikan sebagai proses yang berbagai sarana belajar. Namun keduakompleks dan terpadu yang melibatkan duanya mempunyai arah yang sama dan orang, prosedur, ide, peralatan, dan bermuara pada upaya untuk membantu organisasi untuk menganalisis masalah, memecahkan masalah belajar manusia. mencari jalan pemecahan, melaksanakan, Pemecahan masalah belajar dapat mengevaluasi, dan mengelola pemecahan dilakukan dengan memanfaatkan secara masalah yang menyangkut semua aspek teoritis dan praktis 5 domain (desain, belajar manusia (AECT, 1986: 1). pengembangan, pemanfaatan, Definisi lain yang lebih singkat dan lebih pengelolaan, dan evaluasi) dalam kawasan mutakhir menyebutnya sebagai studi Teknologi Pendidikan. Teori tersusun atas sistematis tentang sarana yang digunakan konsep, konstruk, prinsip, proposisi yang untuk mencapai tujuan pendidikan (Seels memberikan kontribusi pada khasanah & Richey, 1994: 19). Definisi pertama pengetahuan. Sedang praktek merupakan menitik beratkan pada pemecahan penerapan pengetahuan itu untuk
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 122 memecahkan masalah (Seels & Rchey, 1994: 11). Domain desain merupakan proses menspesifikasi kondisi belajar. Domain pengembangan merupakan proses penerjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik. Domain pemanfaatan tindakan untuk menggunakan berbagai proses dan sumber untuk belajar. Domain pengelolaan merupakan melibatkan pengontrolan Teknologi Pembelajaran melalui perencanaan, organisasi, koordinasi, dan supervisi. Domain evaluasi merupakan suatu proses penentuan kesesuaian pembelajaran dan belajar. Kondisi pembelajaran yang merupakan salah satu cakupan strategi pembelajaran dalam domain desain, sering diidentikkan dengan model pembelajaran (Seels & Richey, 1994: 32). Model pembelajaran dan strategi pembelajaran perlu melaksanakan model yang berbeda sesuai dengan situasi belajar, sifat isi pembelajaran dan tipe belajar yang dikehendaki. Menurut Degeng, kondisi pembelajaran merupakan variabel pembelajaran yang tidak dapat dimanipulasi dan karena itu harus diterima sebagai adanya (given) oleh desainer pembelajaran. Namun demikian, penerimaan ini harus tetap disertai dengan analisis pembelajaran secara mendalam. (Degeng, 1988: 37) Analisis ini diperlukan untuk lebih memahami berbagai komponen kondisi pembelajaran, agar lebih mudah dalam mendeskripsikan hubungan antar berbagai variabel pembelajaran. Dengan ini diharapkan pembelajaran akan memberikan makna teoritis dan praktis bagi desainer pembelajaran. Dalam perspektif Bahasa Arab, kondisi pembelajaran juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar. Namun demikian, kajian mengenai kondisi pembelajaran Bahasa Arab belum banyak dilakukan. Kajian pembelajaran Bahasa Arab, selama ini lebih banyak diorientasikan pada metode pembelajaran. Padahal metode pembelajaran dan kondisi pembelajaran mempunyai pengaruh yang sama dalam
meningkatkan hasil pembelajaran (Ali, 1996: 105). Hasil belajar dalam Bahasa Arab ditandai dengan kemampuan mahasiswa untuk dapat menguasai materi Qiraah, Kalam, Istima‟, dan Kitabah. Kemampuan ini akan dapat dicapai kalau variabel pembelajaran, termasuk kondisi pembelajaran, mempunyai kontribusi yang signifikan dalam pembelajaran. Untuk itu, kondisi pembelajaran dalam pembelajaran Bahasa Arab tidak dapat diabaikan (Ali, 1996: 128). Meskipun banyak penelitian yang dilakukan di IAIN, tetapi untuk penelitian yang mengkaji tentang kondisi pembelajaran Bahasa Arab belum pernah dilakukan. Untuk itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menemukan kondisi pembelajaran Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. B.
Pembelajaran Bahasa Arab Mempelajari bahasa kedua (B2) berarti berupaya bagaimana mampu menggunakan bahasa tersebut selain bahasa ibu. Dalam hal ini ia mampu memahami simbol-simbol B2 ketika ia mendengarkannya, mampu dalam hal berbicara, mambaca dan menulis. Dari sisi dipahami bahwa ada dua tahap yang ditempuh oleh pelajar bahasa, pertama menerima bahasa itu,dan Kedua, menggunakannya. Sehingga pada tujuan idealnya, proses pembelajaran bahasa arab diharapkan dapat mencapai tahap-tahap sebagai berikut (Rusydi Ahmad Thaimiyah, 44) : 1). Menguasai bunyi dan spesifikasinya yaitu memahami konotasi bunyi yang didengarkannya atau sebagaimana istilah Karl”menguasai symbol-simbol bunyi”. 2). Memahami berbagai aspek dalam pola pembentukkan (sintaksis) dan penyusunan kalimat (tarakib) atau yang disebut oleh Karl”Kepekaan grametika”. 3). Menguasai kaidah umum yang membentuk ungkapan kalimat, termasuk memahami segi-segi sinonim, himonimy dan seterusnya. 4). Mampu menggunakan bahasa arab secara benar sesuai kultur penutur aslinya.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 123 Dalam konteks pengajaran, mengajarkan bahasa atau ilmu lainnya tidak lain adalah merekturisasi kemampuan, ilmu, orientasi serta nilai yang didapatkan oleh pebelajar. Prinsip ini dinilai lebih efektif dibanding sekedar menyuguhi pebelajar sekian banyak macam ilmu. Hal senada disampaikan oleh Bruner; menurutnya: ketika kita mengajarkan ilmu tertentu kepada seseorang, bukan bertujuan agar kemudian otaknya penuh dengan ”beban otak”, melainkan kita mengajarkan bagaimana murid turut berpartisipasi dalam proses. Kita mengajarkan suatu ilmu bukan bertujuan akan menghasilkan suatu catatan kesimpulan, akan tetapi kita mengantar pebelajar untuk dapat berfikir secara mandiri (Bruner sebagaimana dikutip oleh Hamid, 1982; 262). Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, telah diajarkan di sekolahsekolah pada umumnya, dan sekolahsekolah agama pada khususnya, sejak tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga tingkat Perguruan Tinggi. Adapun materi yang diajarkan di sekolah-sekolah itu sangat bervariatif sesuai dengan tingkat pengetahuan anak didik. Untuk anak-anak usia MI, pembelajaran bahasa Arab biasasnya dimulai dengan pengenalan huruf-huruf Arab dan cara membacanya dengan benar, tanpa harus memahaminya dari sisi makna. Sedangkan untuk tingkat yang lebih tinggi, yaitu sejak kelas III MI, mereka sudah mulai diajari dengan kosa kata-kosa kata Arab yang bersifat ringan dan mudah dihafal. Kemampuan itu terus ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga anak mampu mendengar, bercakap, membaca dan menulis bahasa Arab dengan baik dan benar. Di perguruan tinggi Agama Islam, baik negeri maupun swasta, pembelajaran bahasa Arab diajarkan dalam bentuk Mata Kuliah Bahasa Arab yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina kemampuan berbahasa Arab fusha', baik produktif maupun reseptif, serta menumbuhkan sikap postif terhadap bahasa itu sendiri. Kemampuan bahasa Arab produktif adalah kemampuan
menggunakan bahasa itu sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa reseptif adalah kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain dan kemampuan memahami bacaan. Kemampuan berbahasa Arab dan sikap positif terhadap bahasa Arab merupakan unsur penting, karena dapat membantu mahasiswa dalam memahami sumber Islam seperti AlQur'an, hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab lainnya. C. Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab Secara umum pembelajaran bahasa Arab, memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut. Menurut Abid Taufiq AlHasyimi dalam bukunya "Al-Muwajih AlAmali Limudarrisi Al-Lughah AlArabiyah dijelaskan bahwa tujuan umum pengajaran bahasa Arab adalah (AlHasyimi, 1983: 16 ) 1. Memperindah susunan kalimat dalam berbicara dan menulis. Dengan belajar bahasa Arab diharapkan siswa mampu menyusun kalimat-kalimat pendek dan panjang, baik dalam bahasa lisan maupun tulis. 2. Membiasakan untuk menggunakan bahasa fushah dalam berbicara dan menulis. 3. Membiasakan ketepatan dalam memberikan harakah dan sukun pada tiap huruf. 4. Melafalkan setiap huruf dengan tepat. 5. Memperkaya kemampuan dalam pelafalan. 6. Menunjukkan cara penulisan yang benar dan indah. 7. Menumbuhkan rasa kebahasaan. Menurut criteria di atas maka pembelajaran bahasa Arab secara umum dapat dikatakan sebagai sarana untuk melatih dan membiasakan siswa untuk menggunakan bahasa Arab secara tepat dan benar, baik dalam bahasa lisan maupun tulis, yang dilanjutkan dengan pemupukan rasa keindahan dalam berbahasa dan berkomunikasi. D. Materi Pembelajaran Bahasa Arab. Menurut Al-Hasyimi Abid Taufiq (1983;14) bahwa materi pembalajaran
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 124 bahasa Arab secara umum dapat dikategorikan menjadi enam macam : 1. Qira'ah: yaitu sebuah materi kebahasaan yang titik tekannya pada kemampuan siswa untuk membaca teks-teks yang tertulis. 2. Kajian sastra: yaitu materi kebahasaan yang titik tekannya pada aspek keindahan berbahasa dan rasa kebahasaan. 3. Kaidah bahasa (Nahwu): yaitu materi kebahasaan yang titik tekannya pada aspek gramatikal dan susunan kalimat 4. Insya': yaitu materi kebahasaan yang titik tekannya pada kemampuan siswa untuk menulis dan mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran ke dalam bahasa tulis. 5. Imla': yaitu materi kebahasaan yang titik tekannya pada kemampuan siswa dalam menulis kata dan kalimat secara tepat dan benar. 6. Khath: yaitu materi kebahasaan yang titik tekannya pada kemampuan siswa untuk menulis bagus dan indah. E. Efektivitas Pembelajaran Bahasa Arab Efektivitas adalah sebagai tingkat keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuan. (Robbin, 1995: 49) Efektivitas juga dapat dikatakan ukuran keberhasilan pencapai suatu tujuan, atau apa yang dicapai dibandingkan dengan apa yang direncanakan. (Santono, 1999: 27) Efektivitas adalah apabila suatu kegiatan dapat diselesaikan. pembelajaran yang efektif adalah belajar yang bermanfaat dan bertujuan bagi peserta didik melalui prosedur yang tepat (Miarso: 2004, 636). Pengertian ini mengandung 2 indikator , yaitu pertama , terjadinya proses belajar pada peserta didik, kedua, apa yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Oleh karena itu, rencana yang telah ditetapkan tenaga pendidik dan terbukti peserta didik akan dijadikan fokus dalam usaha meningkatkan efektivitas pembelajaran bahasa Arab. Adapun ciri-ciri pembelajaran yang efektif diantaranya: pertama, peserta didik menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkunganya melalui observasi, perbandingan, penemuan kesamaan dan perbedaaan-perbedaan serta membentuk
konsep dan generalisasi berdasarkan kesamaan yang ditemukan, ketiga, guru menyediakan materi sebagai fokus berpikir dan berinteraksi dalam pembelajaran; keempat, aktivitas peserta didik sepenuhnya didasarkan pengkajian,; kelima, guru secara aktif terlibat dalam pemberian arahan dan tuntunan kepada peserta didik dalam menganalisis informasi; keenam, orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan pengembangan keterampilan berpikir. Ketujuh, guru menggunakan teknik yang bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya pembelajaran tenaga pendidik.(Warsita: 2008, 289). F. Bentuk-Bentuk Keterampilan Berbahasa. Menurut Nashir Abdullah AlGhali (1991: 51) dalam bukunya "Ususu I'dadi Al-Kutub At-Ta'limiyah Lighairi An-Nathiqina bi Al-Arabiyah" menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan ketrampilan (kemahiran) adalah kecepatan, kedetilan dan kebagusan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Jika ada seseorang memiliki kecepatan, kedetilan dan kebagusan dalam berbicara dengan lafal yang fasih, susunan kalimat yang bagus, memperhatikan setiap titik dan koma, mengungkapkannya dengan suara yang pas dan sebagainya, maka pada saat itu kita katakan bahwa dia mahir dalam berbicara. Dengan demikian yang dimaksud dengan kemahiran atau ketrampilan berbahasa adalah kecepatan, kedetilan dan kebagusan seseorang dalam berbahasa. G. Peranan Pembelajaran Bahasa Arab Bahasa Arab juga memiliki peran yang sama bila dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Di samping sebagai bahasa komunikasi, di perguruan tinggi Islam, bahasa Arab juga memiliki peran dan fungsi lain yang bisa kita klasifikasikan dalam beberapa poin berikut: 1). Bahasa Arab Sebagai Bahasa komunikasi, salah satu fungsi utama bahasa Arab dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah sebagai alat komunikasi bagi penggunanya, khususnya orangorang Arab dan orang-orang Islam di seluruh penjuru dunia yang
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 125
F.
memahaminya. 2). Bahasa Arab Sebagai Bahasa Literatur, fungsi dan peran bahasa Arab lainnya dewasa ini yang sangat kelihatan nyata buktinya secara fisik adalah bahasa Arab sebagai bahasa literatur. Sangat banyak sekali buku-buku keagamaan yang ditulis dengan bahasa Arab. Bahkan bisa dikatakan bahwa teksteks asli buku keagamaan di masa lampau dan masa kini adalah tertulis dengan bahasa Arab, karena sumber asli ilmuilmu keagamaan berasal dari Arab yang kemudian ditransfer atau diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa dunia lainnya, baik yang bersifat local, nasional maupun internasional. Sebagai bahasa literatur, di Perguruan Tinggi Islam, bahasa Arab sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Bahkan untuk materi-materi keagamaan tertentu, seperti tafsir, hadits, dan fikih, bahasa Arab telah menjadi sebuah keniscayaan. 3). Bahasa Arab Sebagai Bahasa Pengantar,di samping sebagai bahasa literatur, bahasa Arab di lingkungan perguruan tinggi Islam, juga digunakan sebagai bahasa pengantar perkuliahan.. Bahkan di beberapa perguruan tinggi Islam, mengharuskan belajar bahasa Arab dulu sebelum memasuki perkuliahan, supaya mereka benar-benar siap menerima materi perkuliahan yang disampaikan dengan bahasa Arab. 4). Bahasa Arab Sebagai Bahasa Ilmiah, fungsi lain bahasa Arab di perguruan tinggi Islam adalah sebagai bahasa ilmiah. Telah banyak universitas dan perguruan tinggi Islam di dunia, yang mewajibkan kepada mahasiswanya untuk menulis skripsi, tesis maupun disertasi dengan bahasa Arab. Ini berarti bahwa bahasa Arab telah menjadi salah satu bahasa ilmiah di perguruan tinggi agama. Metode Pembelajaran Bahasa Arab Dalam pembelajaran bahasa Arab, terdapat lima metode klasik yang hingga kini masih eksis dipergunakan di berbagai lembaga pendidikan formal tentu saja dengan modifikasi, inovasi dan perkembangan masing-masing. Kelima metode tersebut adalah: 1). Metode Gramatika Tarjamah (Thariah al-qawa‟id wa al-tarjamah) 2). Metode Langsung (alThariqah al-Mubasyarah) 3). Metode
Membaca (al-Thariqah al-Qira‟ah) 4). Metode Audiolingual (al-Thariqah alsam‟iyyah al-syafahiyyah) 5). Metode Eklektik (al-Thariqah al-Intiqaiyyah). (Radliyah. 2005: 37-43) H. Kondisi Pembelajaran Menurut Reigeluth dan Stein kondisi pembelajaran sebagai salah satu variabel pembelajaran terdiri atas tiga sub-komponen, yaitu: (1) tujuan dan karakteristik bidang studi, (2) kendala dan karakteristik bidang studi, dan (4) karakteristik siswa. Ketiga komponen tersebut mempunyai hubungan interaktif yang saling mempengaruhi( Reigeluth, C.M. & Stein, F.S.1983 :19). Tujuan pembelajaran pada hakekatnya mengacu pada hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan pengajaran terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum merupakan pernyataan umum mengenai hasil pembelajaran yang diinginkan. Sedang tujuan khusus merupakan pernyataan khusus mengenai hasil pembelajaran yang diinginkan. Karakteristik bidang studi merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada bidang studi. Karakteristik bidang studi terdiri atas struktur bidang studi dan tipe isi bidang studi. Struktur bidang studi mengacu pada hubungan-hubungan di antara bagian-bagian bidang studi itu. Sedang tipe isi bidang studi merupakan konstruk bidang studi yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, dan prosedur (Degeng, 1988:61). Kendala pembelajaran merupakan keterbatasan sumber-sumber belajar, seperti waktu, media, personalia, dan uang. Kendala ini harus menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan strategi penyampaian pembelajaran. Karakteristik siswa (mahasiswa) merupakan aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa. Aspek ini berupa bakat, motivasi belajar, atau kemampuan awal yang telah dimiliki. Pada bagian ini akan menitikberatkan pada uraian mengenai kemampuan awal mahasiswa. Ini dilakukan karena kemampuan awal amat penting peranannya dalam meningkatkan kebermaknaan
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 126 pembelajaran, yang selanjutnya membawa dampak dalam memudahkan prosesproses internal yang berlangsung dalam diri mahasiswa ketika belajar. Kondisi pembelajaran dalam aplikasinya tidak terlepas dari setting pembelajaran. Ia akan terkait dengan berbagai karakteristik obyek dan subyek pembelajaran. Demikian juga kondisi pembelajaran dalam Bahasa Arab, akan selalu terkait dengan kelebihan dan keunikan Bahasa Arab tersebut. Kelebihan dan keunikan Bahasa Arab tersebut antara lain: (1) memiliki kekayaan istilah-istilah yang baku dalam epistemologi Islam yang sampai sekarang belum tergantikan dengan istilah lain yang memadai, (2) autentisitas keilmuan, dimana dengan metode transkripsi dari guru kepada siswa dan dari generasi ke generasi, kualifikasi sanad dapat terjaga secara ketat, (3) memiliki dokumentasi pemikiran dan penalaran para cendekiawan muslim dalam menghadapi dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an maupun As-Sunnah dan cara mereka mengambil solusi masalah fiqhiyah yang pantas diteladani, dan (4) sebagai pembawa mata rantai keilmuan Islam dari satu masa ke masa lainnya, sehingga terjadi kesinambungan budaya dan keutuhan wawasan (Hasan, M.T, 1987:104). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedang instrumen, sesuai dengan sifat penelitian kualitatif, maka instrumen pokok dari penelitian ini adalah peneliti sendiri dibantu dengan alat kamera, tape recorder, pedoman wawancara, dan alat-alat lain yang diperlukan secara insidentil. Disamping itu, peneliti juga akan dibantu oleh beberapa orang pemandu (guider) dan pekerja lapangan (field worker) sesuai dengan permasalahan yang ada di lapangan. Untuk memeriksa keabsahan dan kebenaran data, maka dilakukan dengan a) observasi terus menerus, b) menguji secara triangulasi, c) mencari kasus yang bertentangan, d) melibatkan informan untuk me-review, e) mendiskusikan data dengan ahli
IAIN f) memeriksa kembali catatan lapangan, dan g) mencocokkan data pada obyek penelitian (Moleong, 1990: 175). PEMBAHASAN 1. Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN STS Jambi Di dorong oleh keinginan mewujudkan “Ulama Yang Intelek Professional” dan “Intelek Professional Yang Ulama”, IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, berupaya memadukan penguasaan ilmu pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu agama. IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi menilai bahwa pengembangan Bahasa Arab di IAIN sangat strategis dan sifatnya mendesak karena banyak kalangan yang merasa prihatin dengan kondisi riil perguruan tinggi Islam di Indonesia, termasuk para menteri dan mantan menteri agama. Tujuan umum program khusus perkuliahan Bahasa Arab adalah membangun kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab yang selanjutnya dijadikan sebagai alat untuk melakukan kajian keislaman. Melalui pembelajaran Bahasa Arab secara intensif dan kreatif ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan kajian terhadap literature yang berbahasa Arab secara mandiri, sehingga harapan agar mahasiswa mengembangkan keilmuan lebih lanjut dapat terwujud. Dapat diungkapkan bahwa tujuan umum perkuliahan Bahasa Arab di IAIN Saifuddin Jambi adalah memberikan empat kemahiran berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis secara sederhana. Tujuan secara khusus adalah a). Mahasiswa mampu mengenalkan diri dan orang lain secara sederhana. b). Mahasiswa mampu melafalkan dan membuat pola kalimat yang terdapat unsur kata benda. c). Mahasiswa mampu melafalkan dan membuat pola kalimat yang terdapat unsur kata kerja. d). Mahasiswa menguasai secara sederhana empat kemahiran berbahasa Arab yaitu istima„, kalam, Qira‟ah dan Kitabah. (dokumentasi IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Tahun 2013) Berdasarkan observasi dan wawancara dengan dosen yang mengampu mata kuliah bahasa Arab, tujuan dari pembelajaran bahasa Arab yang diinginkan sulit untuk tercapai dengan baik karena pada saat proses perkuliahan sebagian besar mahasiswa
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 127 khususnya jurusan tadris, Ekonomi Islam, belum pernah belajar bahasa Arab dan tidak dapat menulis huruf hijaiyah dengan baik serta tidak memiliki kosa kata bahasa Arab. Ini menjadi penyebab tujuan perkuliahan bahasa tidak dapat tercapai dengan baik. 2. Karakteristik Mata Kuliah Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Mata kuliah bahasa Arab termasuk mata kuliah institut dan mata kuliah wajib di semua fakultas dan jurusan. Baik itu fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, fakultas Syari‟ah, fakultas Ushuluddin maupun fakultas Adab, dan setiap mahasiswa wajib mengambil mata kuliah bahasa Arab sebagai prasyarat perkuliahan. 1). Materi Perkuliahan Bahasa Arab, Materi perkuliah Bahasa Arab untuk semester satu dan pada semester enam (mata kuliah TOAFL) disusun oleh Tim Ahli dari setiap fakultas. Mata kuliah bahasa Arab pada tahap pertama di perkenalkan kata benda sepert muannas dan muzakar, kata tempat, kata ganti orang, kata sifat, kata superlatif, warna dan bentuk benda. Dan pada tahap kedua dikenalkan dengan kata kerja yang meliputi kata kerja masa lampau (Fi‟il Madhi) kata kerja masa sekarang (Fi‟il Mudhori‟) dan kata kerja perintah (Fi‟il Amar). (dokumentasi IAIN STS Jambi, tahun 2013) Berdasarkan observasi dan wawancara dengan dosen mata kuliah bahasa Arab yaitu M.Qadri, Siti Khodijah, Maria Ulfa, Badaruddin, Ismail Fachri menyatakan: materi-materi tersebut terlalu padat untuk diajarkan dengan 14 kali tatap muka di luar Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. karena latar belakang pendidikan dari SMA, SMK, MAN dan MAS maka kemampuan mahasiswa juga sangat kurang dibandingkan mereka yang dari pesantren. 2). Pengelolaan Mata Kuliah Bahasa Arab secara independen, pengelolaan Bahasa Arab dibedakan dengan mata kuliah-mata kuliah yang lain karena dalam belajar bahasa diperlukan kontinuitas dan evaluasi yang terus menerus, baik terhadap peserta pembelajaran maupun terhadap dosen. Sehingga untuk upaya memudahkan tercapainya semua tujuan pembelajaran itu maka perkuliahan bahasa Arab dikelola secara khusus oleh setiap fakultas yang ada di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Terutama roster perkuliahan
bahasa Arab. Menurut dosen bahasa Arab Musli, Rasidin, Badaruddin, Nurlaily : sebenarnya mata kuliah bahasa Arab mulai tahun 1999 sampai sekarang akan di kelola oleh Lembaga Pusat Studi Bahasa, yaitu Arab dan Inggris, baik dari segi dosen maupun materi perkuliahan, namun tidak dapat terealisasi sampai sekarang masih di kelola oleh fakultas masing-masing. (Wawancara, tanggal 14,15 dan 16 Agustus 2013) ketika hal ini dikonfirmasi ke ketua lembaga pusat bahasa, membenarkan hal tersebut. Karena keterbatasan dana dan tenaga dan kurangnya koordinasi dengan para dosen bahasa dan pihak jurusan maka ide tersebut tidak dapat dilaksanakan. (wawancara, Mahyuzar Rahman, tanggal 20 Agustus 2013) 3). Kemahiran Berbahasa, dalam pembelajaran Bahasa Arab menekankan empat ketrampilan berbahasa sebagai berikut:Ketrampilan mendengar (maharatul istima‟), Ketrampilan berbicara( maharatul kalam ), Ketrampilan membaca (muthala’ah) Ketrampilan kitabah (kitabah insya’iyah). Dalam tujuan pembelajaran bahasa Arab yang disusun oleh pihak IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi cukup jelas bahwa mahasiswa diharapkan menguasai secara sederhana empat kemahiran berbahasa Arab yaitu istima„, kalam, Qira‟ah dan Kitabah. 3. Kendala Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi 1). Waktu Perkuliahan, pembelajaran Bahasa Arab dilaksanakan sesuai dengan roster perkuliahan yang telah ditetapkan oleh setiap fakultas. Dengan waktu sesuai dengan jumlah sks dari mata kuliah bahasa Arab 2 SKS dan waktu yang disediakan adalah 100 menit, dengan waktu 100 menit tersebut idealnya mahasiswa cepat menyerap materi yang diberikan oleh dosen, juga cukup waktu untuk latihan-latihan berbahasa. Berdasarkan observasi dan wawancara, bahwa kejenuhan mahasiswa dalam belajar bahasa Arab diantara penyebabnya adalah keterbatasan waktu dengan komposisi materi cukup padat dan waktu perkuliahan bahasa Arab lebih banyak dilaksanakan pada siang hari, pada jam-jam kurang efektif untuk belajar bahasa Arab. 2). Lingkungan berbahasa, lingkungan bahasa tidak terbentuk secara maksimal di kampus IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, termasuk juga di jurusan Pendidikan Bahasa
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 128 Arab dan Jurusan Sastra Arab. Lingkunga bahasa yang ada di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yaitu di Ma‟had al‟Aly karena semua mahasiswa baru wajib masuk asrama selama 2 semester untuk ditempatkan dalam satu lingkungan yang mudah terkontrol, namun karena keterbatasan tempat maka tidak semua mahasiswa baru dapat ditempatkan di asrama, penempatan mahasiswa sebagai mahasantri di ma‟had al‟Ali ditentukan berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan oleh Ma‟had al Aly. Berdasar hasil pengamatan bahwa lingkungan al-‟Arabiyah yang telah dibentuk belum berjalan sesuai visi dan misi Ma‟had al‟Aly. 3). Kurangnya sarana pembelajaran Bahasa Arab, faktor pendukung dalam keberhasilan proses pembelajaran bahasa Arab salah satunya media pembelajaran karena fungsi media pembelajaran adalah untuk membangkitkan rasa senang dan gembira serta konsentrasi kepada pelajaran. Media pembelajaran bahasa Arab antara lain berupa laboratorium bahasa, parabola, dan alat-alat permainan bahasa. Jumlah sarana yang ada sangat tidak seimbang dengan jumlah mahasiswa perkuliahan bahasa Arab. Jika dilihat dari jumlah mahasiswa baru angkatan 2013 sebanyak 1.250 mahasiswa, sedangkan laboratorium bahasa yang dimiliki IAIN STS Jambi hanya 1 laboratorium bahasa. Ini tentu jauh dari rasio jumlah mahasiswa yang ada. (Observasi dan dokumentasi IAIN STS Jambi 2013) Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola laboratorium bahasa dan para dosen yang pernah menngunakan laboratorium mengatakan bahwa kondisi laboratorium cukup baik namun dari segi peralatan tidak dapat difungsikan dengan baik seperti komputer tidak dapat dipakai karena aliran listrik tidak memadai jika semua komputer dihidupkan. Dan ada beberapa headphone tidak dapat digunakan karena rusak. (wawancara. 15 September 2013). Parabola dan alat-alat permainan bahasa memang tidak ada baik itu di jurusan Pendidikan bahasa Arab maupun di jurusan Sastra Arab. Perkuliahan bahasa arab lebih banyak verbal dan latihan. 4). Jumlah mahasiswa, pada tahun 2013 IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi menerima mahasiswa baru sebanyak 1250 mahasiswa kontribusi yang paling besar pada fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, peminat terbesar
untuk jurusan adalah jurusan TadrisMatematika, jumlah mahasiswa pada setiap kelas terlalu banyak. Rata-rata jumlah setiap kelas 30 sampai 35 orang. Dan jumlah ini hampir berlaku disemua fakultas yang ada di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi kecuali fakulta ushuluddin. Dan Jumlah itu terlalu banyak untuk perkuliahan bahasa. ( Dokumentasi dan Observasi, 1 Agustus 2013) 5). Kejenuhan Mahasiswa dalam belajar bahasa Arab, kejenuhan mahasiswa dalam belajar bahasa Arab karena mahasiswa belum memahami bahasa dengan baik. Berdasarkan pengamatan peneliti terlihat memang mahasiswa yang mampu dan termotivasi belajar berbahasa Arab adalah mahasiswa yang mempunyai basic pondok pesantren. mahasiswa IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sebagian besarnya memang bukan tamatan pondok pesantren, rata-rata mereka tamatan Madrasah Aliyah dan sekolah umum, maka secara umum mereka menjadi jenuh untuk belajar bahasa Arab sedangkan mahasiswa yang mempunyai kemampuan dalam berbahasa memilih jurusan pendidikan bahasa Arab pada fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Jurusan Sastra Arab pada Fakultas Adab. 6). Tidak adanya follow up pembelajaran Bahasa Arab, perkuliahan bahasa Arab hanya dilaksanakan satu semester yaitu pada semester satu, setelah itu apa yang telah mereka pelajari nyaris tidak digunakan. Lebihlebih untuk mereka yang berada di Jurusan Tadris. Padahal bahasa adalah sebagai alat komunikasi jika tidak pernah digunakan maka seseorang tidak akan menguasainya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Arab tidak akan bisa dipahami jika diajarkan satu semester tanpa dilakukan follow up. 4. Karakteristik Mahasiswa peserta Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi a). Perbedaan Latar belakang Pendidikan Mahasiswa, mahasiswa yang memiliki kemampuan berbahasa Arab yang berbedabeda. Ada yang berasal dari pesantren dengan jenjang pendidikan Madrasah Aliyah Diniyyah mereka telah memiliki bekal kemampuan bahasa Arab yang baik, ada juga yang berasal dari Madrasah Aliyah Keagamaan, tetapi ada juga yang memiliki kemampuan bahasa Arab yang lemah, bahkan ada yang sama sekali
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 129 belum pernah belajar bahasa Arab sebelumnya, karena mereka berasal dari SMU atau SMK dan sejenisnya. b). Kurang motivasi mahasiswa dalam belajar bahasa Arab, kurangnya Motivasi mahasiswa dalam belajar bahasa Arab, terutama mahasiswa yang di jurusan-jurusan umum. Mereka masuk IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dengan tujuan ingin mendalami keilmuan sesuai dengan jurusan yang dipilih, sehingga perkuliahan bahasa Arab bagi mereka hanyalah mata kuliah sampingan, yang tidak begitu penting bagi mereka. Terdapat beberapa mahasiswa yang sebenarnya masuk IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi atas keinginan orang tuanya saja, jadi tidak karena kehendaknya sendiri, sehingga ketika memperoleh perkuliahan Bahasa Arab, motivasi belajar mereka rendah. Mahasiswamahasiswa seperti ini, meskipun tidak banyak, sangat mudah menular dan mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa yang lain. KESIMPULAN Tujuan umum perkuliahan Bahasa Arab di IAIN STS Jambi adalah membangun kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab, baik istima’, kalam, qira’ah maupun kitabah. Karakteristik Mata Kuliah Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi adalah materi perkuliahan Bahasa Arab, pengelolaan Bahasa Arab dikelola secara independen dan Kemahiran berbahasa. Kendala Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi adalah: Waktu perkuliahan kurang efektif, Lingkungan berbahasa, Kurangnya sarana pembelajaran Bahasa Arab dan Jumlah mahasiswa pada setiap kelas terlalu banyak, kejenuhan mahasiswa belajar bahasa Arab serta tidak adanya follow up dari pembelajaran Bahasa Arab. Karakteristik mahasiswa adalah perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa dan kurang motivasi dalam belajar Bahasa Arab. .
PUSTAKA AECT. 1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Ali, N. 1996. Strategi Penyampaian Pembelajaran Bahasa Arab di Pesantren, Studi Kasus di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP. Abdullah, Abdul Hamid. 1991 Ususu I'dad AlKutub At-Ta'limiyah Lighairi Nathiqina bi Al-Arabiyah, Riyad: Darul Ghali. Degeng, I.N.S. 1988.Ilmu Pengajaran, Taksonomi Variabel. Jakarta: P2LPTK. Dhofier, Z. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Glaser, B.G. & Strauss, A.M. 1980. The Discovery of Grounded Theory, Strategis for Qualitative Research. New York: Aldine Publishing Company. Hasan, M.T. 1987. Islam Dalam Perspektif Sosial Budaya. Jakarta: Galasa Nusantara. Moleong, L.J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Radliyah, dkk 2005 Metodologi dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab. Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group. Robbin, P. Stephen. 1995. Organisasai: Struktur Desain dan Aplikasi. Terjemahan Yusuf Udaya Jakarta: Arcan. Santono, Prawira Suryadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan Yogyakarta: BPFE. Seels, B. Barbara & Richey C. Rita 1994. Instructional Technology: The Definition and Domains of The Field. Washington, DC: AECT. Miarso, Yusuf Hadi. 2004 Menyemai Benih Pendidkan . Jakarta: Prenada Media. Warsita, Bambang .2008 Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 130
The Relationship Between Morphological Awareness And Vocabulary Knowledge Of EFL Learners Of Islamic University Of Lamongan Chothibul Umam1) and Mohammad Faizal Mubarok2) 1
) Faculty of Teacher Training, Islamic University of Lamongan, email:
[email protected]
2) Faculty of Teacher Training, Islamic University of Lamongan, email:
[email protected]
Abstract The present study examines the relationship between morphological awareness and English vocabulary mastery of EFL learners of UNISLA. The participants are 46 fifth semester students of UNISLA who had taken English Morphology subject. To determine the relationship between morphological awareness and their vocabulary knowledge, it is necessary to first measure these two variables in the study. Two types of tests are used: the Morphological Awareness Test and the Vocabulary Knowledge Test. Then, correlational analysis is done to test the scores on the two tests. The result of Morphological Awareness test shows that, among 46 students, 19 students have low morphological awareness, 26 students have fair morphological awareness, and 1 student has high morphological awareness. The vocabulary knowledge test results show that the highest vocabulary level the student can reach is 6900 word families, the lowest is 2300 word families and the voabulary knowledge of the average students is estimated to be 4052 word families. The correlation between students’ morphological awareness and their vocabulary knowledge was 0.227 in two tailed level of significant. Seeing the result of statistical computation of correlation between them and considering the interpretation table of significance, 0.227 is in the interval 0,200-0,400, it means that the variables have low positive correlation. Keywords: Morphological awareness, vocabulary knowledge, word family Introduction Vocabulary, a set of words that is the basis for making and understanding sentences (Miller, 1991), is a key part of any language-teaching program. Vocabulary plays an important role and is central to English language teaching because without sufficient vocabulary students cannot understand others or express their own ideas. It is one of the essential and fundamental components of communication. Without some knowledge of that vocabulary, neither language production nor language comprehension would be possible (Anglin, 1993: 2). Wilkins (1972: 111–112) wrote that while without grammar very little can be conveyed, without vocabulary nothingcan
be conveyed. Lewis (1993: 89) went further to argue that lexis is the core or heart of language. The research literature in vocabulary learning in a second language (L2) or foreign language (FL) has revealed the importance of knowing a sufficient number of words to be able to function in the language (Zimmerman, 2005: 52-60). There have been many studies about the significance of vocabulary in language learning. For example, Walker, Greenwood, Hart and Carta (1994) stated that early vocabulary knowledge has been shown to be a strong predictor of school progress in the first language (L1). They found that vocabulary knowledge was particularly important in reading
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 131
achievement. In addition, Tschirner (2004) states that vocabulary size has been identified as one of the most important indicators of L2 reading proficiency and of academic language skills in general. He discusses the relationship between the extent of ESL students‟ English vocabulary and other background information such as length of time spent in English language-speaking countries, number of English books read per year, learning strategies, etc. In other studies, the size of students‟ vocabulary has also been found to closely correlate with L2 writing ability (Laufer and Nation, 1995; Laufer, 1998; Zimmerman, 2005). Furthermore, Duin and Graves (1987) found that if students are given a related set of words (through an intensive vocabulary instruction as a prewriting technique) before they write an essay in which the words might be used, the quality of their writing improves. Vocabulary provides the enabling knowledge, which is required to be successful in other areas of language proficiency (Laufer and Nation, 1999). Considering the importance of vocabulary, then methods for learning vocabulary are an important part of language learning. Nation (2001) proposed four general goals that are important in a language classroom. These learning goals concern on: Language, which includes vocabulary; Ideas, which covers content and subject matter as well as cultural knowledge; Skills; and finally Text or discourse. In learning a language, specifically for vocabulary goals, there are three aspects to be looked at: the number of words in the language, the number of words known by the native speakers, and the number of words needed by a learner to use the language productively. Anglin (1993)proposed three approaches in the research literature to the development of vocabularyknowledge. The first approach is direct instruction of vocabulary in school (McKeown, Beck,
Omalson, and Pople, 1985). The second is learning words and their meanings from context, especially during readingactivities (Miller, 1991; Nagy and Anderson, 1984). In addition, Zimmerman(2005) emphasizes that the primary method for acquiring new vocabulary(breadth) and deepen understanding for existing vocabulary(depth)is throughextensive reading. Furthermore, Krashen, (1985, 1989, as cited in Morin,2003) believes that reading is the most efficient way to learn vocabularynaturally. And the third is by applying morphological knowledge to infer the meanings of words (Nagy andAnderson, 1984; Wysocki and Jenkins, 1987). The third approach is the focus of this study. Although only a handful of studies have examined the role of morphological awareness in L2 vocabulary development, the findings suggest that various aspects of morphological awareness may be particularly useful for vocabulary building. For example, Wysocki and Jenkins (1987) found that students were able to learn new words by generalizing from those sharing a root morpheme. Pica (1988, in Morin, 2003: 107) also states the importance of the study of interlanguage morphology and the belief that "morpheme analysis can provide important insights into the sequences, processes, and input relevant to second language acquisition" (Morin, 2003: 107). Related to the link between morphological awareness and vocabulary mastery, there have only been a limited number of studies done on languages such as Finnish, Spanish and Hebrew. Therefore, more research is needed to provide a stronger empirical basis for our understanding of the issue. Motivated by earlier studies, this research investigates the importance of morphological awareness in learning and teaching English vocabulary in Indonesian university. The present study examines the relationship
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 132
between English vocabulary mastery and morphological awareness of EFL learners of Islamic University of Lamongan. Vocabulary Learning Learning strategies can play an important role in development because theyencourage the learner‟s active involvement in the learning process. Vocabularyinstruction is most effective when students are positively and actively involved in theirlearning and they are allowed to use their own strategies to learn the vocabulary (Longand Rule, 2004). Therefore, investigating instructional approaches to the use ofmorpheme or root word families in teaching vocabulary could develop the students‟ vocabulary better when vocabulary was taughtthrough concrete representations or traditional class instruction methods. The use of morphological knowledge as a potential strategy for vocabularylearning was the focus of the following studies. Anglin (1993) found that the studentscould analyze the morphological structure of complex words which they have notactually learned before to figure out the meanings. Morin (2003) proposed the strategy ofusing morphological knowledge to infer word meanings, and with it, the need to developmorphological awareness in the L2. She characterizes morphological awareness as theability to reflect on and manipulate morphemes and word formation rules in a language. Similarly, Chang et al. (2005) define morphological awareness as theawareness of and access to the meaning and structure of morphemes (the smallest unitsof meaning in a language) in relation to words. Morphology and Morpheme English morphology involves knowledge of both inflectional and derivationalprocesses, and each makes a distinctive contribution to language
learning and use.Fromkin, Blair and Collins (1999) define inflectional morphology as changes in the formof a word according to its grammatical function, for example, talk becomes talked toindicate activity in the past time. On the other hand, derivational morphology concernschanges of a word to give additional meaning to the original word (e.g. sufficientbecomes insufficient) and may be in a different grammatical class from the underivedword as well (e.g. beauty, a noun, becomes beautiful, an adjective). The term morpheme refers to the smallest, visible unit of semantic content or grammatical function of which words are made up (Katamba, 1993). Morphemes can be divided into four general classes: free, bound, derivational, and inflectional morphemes. Free morphemes are those which can stand alone in words such as dog, cat, and house. Bound morphemes must be attached to other morphemes to make sense, such as un-, dis-, and ex-. Derivational morphemes create new words by changing the part of speech or the meaning, e.g. legal/illegal. Inflectional morphemes add a grammatical element to the word without changing its meaning or part of speech, e.g. book/books. In English, the same morpheme, -s, can be both inflectional and derivational. For example, the s in the word organizers is both inflectional and derivational; it changes the verb into a noun and indicates plural form. Morphological Awareness as a Vocabulary Learning Strategy Morphological awareness refers to the awareness of and access to the meaning and structure of morphemes that are part of or related to the word. It includes knowledge of derivational morphology such as prefixes (e.g., the un- in undisciplined to indicate the antonym of the original, disciplined), suffixes (e.g., the –ion in graduation changes the part of
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 133
speech of the base word –graduate is a verb whereas graduation is a noun), and compounding (e.g., cowboy to create new word combining the two root morphemes: cow and boy). On the other hand, knowledge of inflectional morphology focuses primarily on indicating grammatical changes in words (e.g., the s in dogs to indicate the plural form of the base or the -ed in acted to refer to the action in the past time). Kuo and Anderson (2006) argue that morphological awareness in L1 English becomes an increasingly important predictor of reading ability, as children grow older because this awareness contributes to the decoding of morphologically complex words and it is therefore assumed to contribute to the development of reading comprehension. They also suggested that morphological awareness is intertwined with other aspects of metalinguistic awareness and linguistic competence, especially phonological awareness, syntactic awareness, and vocabulary knowledge. Schiff and Calif (2007) compared previous studies that investigated the relationship between phonology and reading, and morphology and reading. They found that the relationship between phonology and reading development in English (as an L1) is well-documented (Nagy and Anderson, 1998), but the parallel relationship between morphological awareness and reading skill has been less studied (Singson, Mahony, andMann, 2000). Even fewer studies have dealt with vocabulary learning and morphology or morphological awareness, but the small corpus of existing research suggests a strong link between morphological awareness and vocabulary learning. Prince (2007) reports a study done by Nonie Lesaux, a profesor of education at Harvard University, that shows that a learner who understands how words are formed, by combining prefixes,
suffixes, and roots, tends to have larger vocabularies and better reading comprehension. The main concern for this present study is to relate morphological knowledge to vocabulary learning in the L2. They conclude that an awareness of morphology should benefit the development of children's vocabulary. Thus, for L1 learners, knowledge of English morphology makes a significant contribution to the vocabulary size and other language skills. This present study is then aimed to investigate if such knowledge makes a significant contribution to English vocabulary learning for EFL students in Indonesia. Research Method The primary goal of this study is to investigate whether morphological awareness can be related to the vocabulary size of EFL Indonesian university students. First, a measure of English morphological awareness for these learners is obtained. Then the English vocabulary size of the English department students of UNISLA is measured. Finally, the link between morphological awareness and vocabulary size is assessed, with possible implications for morphological awareness as a predictor of vocabulary learning. The participants are 46 fifth semester students of UNISLA who had taken English Morphology subject. Two kinds of test are used as the instrument in this research ; the Morphological Awareness Test and the Vocabulary Size Test. Morphological awareness test required the test-takers to choose the base word of 50 morphologically complex words. In this test, the participants were asked to identify the simpler word that is morphologically related to each of the complex words. By itself, the score of the test would represent the student‟s basic knowledge of general
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 134
derivational word-formation processes (or UNISLA, Pearson product-moment morphology skill). formula in the software of SPSS 20 was Meanwhile, the students‟ applied. Afterward, the researcher uses vocabulary mastery is tested by using the coefficient correlationas an index to simplified version of Vocabulary Size Test measure the relation. which was created by Nation and Beglar (2007) based on the British National Results Corpus (BNC). It consists of 14 levels of The data about the students‟ 1,000 words, with the first level consisting morphological awareness is obtained from of the most frequent word families and the morpheme identification test that consists 14th level consisting of the least frequent. of 50 multiple choice questions. From the The simplified version of the test used in test, it is concluded that 19 or 41,3% of the this study contains 80 multiple-choice whole students have low morphological items, 10 at each 1,000-word family level. awareness, 26 students or 56,5% among 46 Because there are ten items at each 1,000 students have fair morphological word level, each item in the test represents awareness, and there is only 1 student who the knowledge of that level of vocabulary. has high morphological awareness. If a test-taker got every item on the test From the vocabulary knowledge correct, then it is assumed that that person test, it can be summarized that the highest knows the most frequent 8,000 word vocabulary level the student can reach is families of English. 6900 word families. Then, the lowest A student‟s score needs to be vocabulary level the student has is 2300 multiplied by 100 in order to estimate total word families. Meanwhile, the voabulary vocabulary size out of 8,000 word families. knowledge of the average students is For example, if a student‟s score on this estimated to be 4052 word families. Using test was 43 out of 80, his vocabulary Nation‟s (2012) framework on word knowledge is 4,300 word-families (43 x family level, the data shows that 8,7% 100), which means he is in the fourth students among 46 students reach 2nd 1,000-word-family level. In this test, each 1000 word families, 52,2% of the studenst word appears in the context of a sentence. reached 3rd 1000 word families, 21,7% of Students choose the correct definition from the students reached 4th word families, four choices. To know the relationship 2,2% reached 5th 1000 word families, and between morphological awareness and 15,2% of the students reached 6th 1000 vocabulary mastey of EFL learners at word families . Table 1. The level of vocabulary knowledge of English Department students of UNISLA based on Nation‟s (2012) framework. Level Number of Students Category 1st 1000 0 (0%) High frequency words 2nd 1000 4 (8,7%) 3rd 1000 24 (52,2%) 4th 1000 10 (21,7%) Mid frequency words 5th 1000 1 (2,2%) 6th 1000 7 (15,2%) 7th 1000 0 (0%) 8th 1000 0 (0%)
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 135
From the scores of two tets, the researcher then draws the descriptive statistics to get the mean and standard
deviation of both test. The following are the table of the descriptive statistics result.
Table 2. The descriptive statistics of morphological awareness and vocabulary test Descriptive Statistics Mean Std. Deviation N Morphology 58.61 11.360 46 Vocabulary 50.74 14.361 46 The table shows that the mean score of morphological awareness is 58.61 and the std. deviation is 11.360. Meanwhile, the mean score of vocabulary test is 50.74 and the std. deviation is 14.361. Then, to know the correlation
between students‟ vocabulary knowledge and their morphological awareness, the researcher uses SPSS 20 to calculate the correlation. The result is as shown in the following table.
Table 3. The Correlation between students’ morphological awareness and their vocabulary knowledge Morphology Vocabulary Morphology Pearson 1.000 .227 Correlation Sig. (2-tailed) .130 N 46.000 46 Vocabulary Pearson .227 1.000 Correlation Sig. (2-tailed) .130 N 46 46.000 The correlation table above explains that the correlation between students‟ morphological awareness and their vocabulary knowledge was 0.227 in two tailed level of significant. While, the value of Sig. 0,000 < 0,005 which shows that H0 was rejected (there is correlation). Seeing the result of statistical computation of correlation between them and considering the interpretation table of significance, 0.227 is in the interval 0,2000,400, it means that the variables have low correlation.
Discussion The findings demonstrate that thestudents‟ overall morphological awareness seems somewhat unsatisfactory. It is because the number of the students who have low morphological awareness is relatively great in quantity, i.e. 19 or 41,3% of the whole students. The score of these students are under 60. The score of the students who have fair morphological awareness shows the greatest in quantity. And there is only 1 student who has high morphological awareness. These percentages show that the overall morphological awareness of the
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 136
students was relatively limited. The score of this finding is considered low if it is compared to the finding of McBrideChange et al. (2005: 428). They found that „morphological awareness were good predictorsof vocabulary knowledge‟. This highlights the students‟ limited abilities toreflect and manipulate the morphological structure of words. Inability to recognize the morphological structure of complex words suggests thatthere is an urgent need for morphological awareness intervention and explicit teachingof morphological units. For one thing, it is likely that morphological awareness leadsto better learning outcomes as it is related to various language skills such as, spelling(Bear, Invernizzi, Tempelton Templeton, & Johnston, 2008), vocabulary growth, andreading comprehension (Fowler & Liberman, 1995; Qian, 2002). Moreover, it hasbeen demonstrated that learners are able to use their morphological knowledge toarrive at the meaning of complex words (Gordon, 1989; Carlisle, 2000; Carlisle andStone, 2003; Wysocki and Jenkins, 1987). Then, the Vocabulary knowledge test was used to measure the participants‟ vocabulary mastery after studying the English language for two years at the college level. The test score revealed that the participants‟ vocabulary mastery was over 4,000 word-families. In other studies that used this test, the results revealed that undergraduate non-native speakers studying at an English-speaking university have a vocabulary of 5,000-6,000 wordfamilies. Similarly, competent non-native speaking doctoral students have around a vocabulary of 9,000 word-families (Nation & Beglar, 2007). This means that a certain size of vocabulary has to be known to the .
learners before the students can approach a text comfortably. Furthermore, in order to comprehend a text, readers should be familiar with 98% of the words in the text at any level (Hu & Nation, 2000). Considering that the vocabulary mastery of competent undergraduate nonnative speakers studying at an Englishspeaking university is in the range of 5,000-6,000 word-families, the low vocabulary size of the participants in the current study (around 4,000 word families) requires rapid intervention. Therefore, the teachers or lecturers should do everything they can to enlarge the vocabulary size of the students. Since they encounter more academic and specialized texts, a large vocabulary size is essential for their academic success. Good vocabulary size is critical for understanding and interpreting written texts. Students in this study are supposed to read different texts in the foreign language as a part of their translation program. Thus, increasing their vocabulary size should be a top priority. According to Nation (1997), 2000 word families cover 90% of the text of the novel for teenagers, which means that the students who master 2000 word families will find 1 unknown word in every 10 words in the novel. The 2000 words plus proper nouns cover 93,7% text in the novel which means that the students with the mastery of these words will find 1 unknown word in every 16 words. Students with 2600 words will find 1 unknown word in every 25 words because these words cover 96% of words used in teenagers‟ novel. And those who master 5000 words will find 1 unknown word in every 67 words in teenagers‟ noovel. These words cover 98,5% of words used in the novel. The following table shows this description
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 137
Table 4. Vocabulary size and text coverage in novels for teenagers Vocabulary size % Coverage Density of unknown words 2000 words 90% 1 in every 10 2000 + proper 93.7% 1 in every 16 nouns 96% 1 in every 25 2600 words 98.5% 1 in every 67 5000 words Another opinion is proposed by Francis & Kucera (1982). The test takers of this vocabulary knowledge test will face a great
difficulty if they are asked to read American present day text.
Table 5. Vocabulary size, Coverage, and Density of Difficulty in reading American Present Day text (Francis & Kucera, 1982) Vocabulary size % coverage Density of unknown words 1000 72% 1 word in every 4 words 2000 79,70% 1 word in every 5 words 3000 84% 1 word in every 6 words 4000 86,80% 1 word in every 8 words 5000 88,70% 1 word in every 9 words 6000 88,90% 1 word in every 10 words 15.851 97,80% 1 word in every 45 words A thousand word families cover 72% of American present day text which means that the students who master these words will find 1 unknown word in every 4 words. 2000 word families cover 79,70% of the same texts and the density of unknown word is 1 in every 5 words. The students with 3000 to 6000 word families will find 1 unknown word in every 6 to 10 ten words used in American day text. It is needed 15.851 word families to cover 97,80% of the words which means that the students who master the vocabulary in this level will just find 1 unknown word in every 45 words used in American present day text. Liu Na and Nation (1985) has shown that this ratio of unknown to known words is not sufficient to allow reasonably successful guessing of the meaning of the unknown words. At least 95% coverage is needed for that (guessing). The importance of measuring vocabulary size is a preliminary step in identifying the amount
of vocabulary needed to perform basic tasks at the university level, such as reading a novel, reading newspapers, watching movies, and listening to friendly conversations. Some studies have suggested that the vocabulary size needed for EFL learners to carry on such receptive tasks is a vocabulary size of 8,000 wordfamilies (Nation& Beglar, 2007). The study conducted by McBrideChang et al. (2005) showed that morphological awareness was significantly correlated with word identification, word attack, and vocabulary scores among kindergartners and second graders. Itwas expected that performance on vocabulary knowledge, as assessed by the vocabulary test, wouldcorrelate positively with the performance on morphological awareness. However, the correlation between students‟ morphological awareness and their vocabulary knowledge was 0.227 in two tailed level of significant. Seeing the result of statistical computation of
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 138
correlation between them and considering the interpretation table of significance, 0.227 is in the interval 0,200 - 0,400, it means that the variables have low positive correlation. Pedagogical Implication Vocabulary growth is especially important for English language learners (ELLs). Limited vocabulary size is a serious problem for these students. Students with deficits in their vocabulary are less able to comprehend texts, succeed academically, and communicate with speakers of the target language. The data obtained from the testing instruments indicates that the vocabulary size of the students in this study and their morphological awareness level are relatively low. Teachers of English as a foreign language should focus more on expanding the vocabulary size of their students. Teachers should give vocabulary a high profile in the syllabus and in the classroom so that students can see its importance and understand that learning a language involves more than just its grammar. Also, teachers should discover what learning strategies work best for their students to learn vocabulary. Teachers should introduce different learning strategies to their students. Students should be explicitly taught word-learning strategies to deepen their knowledge of how to decode an unknown word and choose the appropriate meaning in any given context. Since learning the entire lexicon of a language is impossible, having the right strategies can be useful. However, these strategies must be adapted to the strengths and needs of ELLs. Conclusion The conclusions here are made based on the focus of the study. They consist of the students‟ morphological awareness, the students‟ vocabulary mastery, and the correlation between the
students‟ morphological awareness and their vocabulary mastery. First, after calculating the students‟ score of morphological awareness test, then it can be concluded that 19 or 41,3% of the whole students have low morphological awareness, 26 students or 56,5% among 46 students have fair morphological awareness, and there is only 1 student who has high morphological awareness. Second, from the vocabulary knowledge test, it can be summarized that the highest vocabulary level the student can reach is 6900 word families. Then, the lowest vocabulary level the student has is 2300 word families. Meanwhile, the voabulary knowledge of the average students is estimated to be 4052 word families. Using Nation‟s framework on word family level, the data shows that 8,7% students among 46 students reach 2nd 1000 word families, 52,2% of the studenst reached 3rd 1000 word families, 21,7% of the students reached 4th word families, 2,2% reached 5th 1000 word families, and 15,2% of the students reached 6th 1000 word families. Third, the correlation between students‟ morphological awareness and their vocabulary knowledge was 0.227 in two tailed level of significant. While, the value of Sig. 0,000 < 0,005 which shows that H0 was rejected (there is correlation). Seeing the result of statistical computation of correlation between them and considering the interpretation table of significance, 0.227 is in the interval 0,2000,400, it means that the variables have low correlation. To sum up, the results of the present study supported that the students‟ overall morphological awareness and vocabulary knowledge were limited. References Anglin, J. M. (1993). Vocabulary development: A morphological analysis. Monographs of the Society
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 139
for Research in Child Development, 58 (10), Serial #238. Bear, D.R., Invernizzi, M., Tempelton, S., and Johnston, F. (2008). Words TheirWay:Word Study for phonics, vocabulary, and spelling instruction th (4 edition). Upper Saddler River, NJ: Pearson Prentice Hall. Carlisle, J. F. (2000). Awareness of the structure and meaning of morphologically complexwords: Impact on reading. Reading and Writing: An Interdisciplinary Journal, 12, 169–190. Carlisle, J. F & Stone, C. A. (2003). The effect of morphological structure onchildren‟s reading derived words in English. In E. M. Assink, & D.Sandra. (Eds). (2003). Reading complex words: cross- language studies(2752). New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers. Chang, C. M., Wagner, R. K., Muse, A., W.-Y., B., & Chow, H. S. (2005). The role of morphological awareness in children‟s vocabulary acquisition in English. AppliedPsycholinguistics, 26, 415–435. Duin, A. H., & Graves, M. F. (1987). Intensive vocabulary instruction as a prewritingtechnique. Reading Research Quarterly, 22(3), 311-330. Fowler, A. E., & Liberman, I. Y. (1995). The role of phonology and orthography inmorphological awareness. In L. B. Feldman (Ed.) Morphological aspects of languageprocessing (pp. 157–188). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Francis, W. N. and H. Kucera (1982). Frequency Analysis of English Usage: Lexicon and Grammar. Boston: Houghton Mifflin. Fromkin, V., Blair, D., & Collins, P. (1999). An Introduction to Language (4th Ed.).Sydney: Harcourt Australia. Gordon, P. (1989). Levels of affixation in the acquisition of English
morphology.Journal of Memory and Language, 28, 519- 530. Hu, M. & Nation, I.S.P. (2000). Unknown vocabulary density and reading comprehension. Reading in a Foreign Language 13 (1), 403-430. Katamba, F. (1993). Morphology: Modern linguistics. New York, NY: Palgrave Macmillan. Kuo, L.-j., & Anderson, R. C. (2006). Morphological awareness and learning to read: A cross-language perspective. Educational Psychologist, 41(3), 161–180. Laufer, B., and Nation, P. (1995). Vocabulary size and use: lexical richness in L2written production. Applied Linguistics, 16 (3), 307- 322. Laufer, B., & Nation, P. (1999). A vocabulary-size test of controlled productive ability.Language Testing, 16, 33 - 51. Laufer, B. (1998). The development of passive and active vocabulary in a secondlanguage: same or different? Applied Linguistics, 19(2), 255-271. Lewis, Michael. (1993). The Lexical Approach: The State of ELT and a Way Forward. Hove, England: Language Teaching Publications. Liu Na and I.S.P. Nation. 1985. Factors affecting guessing vocabulary in context. RELC Journal 16, 1: 33-42 Long, D., & Rule, A. C. (2004). Learning vocabulary through morpheme word family object boxes. Journal of Authentic Learning, 1, 40-50. Mc-Bride-Chang, C., Wagner, R. K., Muse, A., Chow, B. W, & Shu, H. (2005). The role of morphological awareness in children‟s vocabulary acquisition in English. Applied Psycholinguistics, 26(3), 415- 435. McKeown, M. G., Beck, I. L., Omason, R. C., & Pople, M. T. (1985). Some effects of the nature and frequency of vocabulary instruction on the
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 140
knowledge and use of words. Reading Research Quarterly, 2 (5), 522-535. Miller, G. A. (1991). The Science of Words. New York: Scientific American Library. Morin, R. (2003). Derivational morphological analysis as a strategy for vocabulary acquisition in Spanish. The Modern Language Journal, 87, 200-221. Nagy, W. E., & Anderson, R. C. (1984). How many words are there in printed school English? Reading Research Quarterly, 19(3), 304-330. Nation, I. S. P., & Waring, R. (1997). Vocabulary size, text coverage, and word lists. In N. Schmitt and M. McCarthy (Eds.), Vocabulary: Description, acquisition and pedagogy (pp. 6–19). Cambridge: Cambridge University Press. Nation, , I. S. P. (2012) Vocabulari Size Test Information and specificatio. Retrieved 27 August 2013 from https://www.victoria.ac.nz/lals/about/s taff/paul-nation-pubsdate Nation, I. S. P. (2001). Learning vocabulary in another language. Cambridge; New York: Cambridge University Press. Nation, P. & Beglar, D. (2007) A vocabulary size test. The Language Teacher 31(7), 9- 13. .
Prince, R. E. C. (2007). Morphological analysis: New light on a vital reading skill [Electronic Version]. Retrieved 14 May 2007 from http://www.uknow.gse.harvard.edu/te aching/TC102-407.html. Qian, D. D. (2002). Investigating the relationship between vocabulary knowledge andacademic reading performance: an assessment perspective. Languagelearning, 52 (3), 513-536. Schiff, R., & Calif, S. (2007). Role of phonological and morphological awareness in L2 oral word reading. Language Learning, 57(2), 271–298. Singson, M., Mahony, D., & Mann, V. (2000). Reading ability and sensitivity to morphological relations. Reading and Writing, Volume 12(3), 191-218. Tschirner, E. (2004). Breadth of vocabulary and advanced English study: An empirical investigation. Electronic Journal of Foreign Language Teaching, 1 (1), 27-39. Walker, D., Greenwood, C., Hart, B., & Carta, J. (1994). Prediction of school outcomesbased on early language production and socioeconomic factors. ChildDevelopment, Children and Poverty 65(2), 606-621
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 141
Formalisasi UMKM ke dalam Sistem Perpajakan dan Dampaknya Terhadap Inklusi Finansial di Indonesia M.Yaskun *) *)
Program Studi Ekonomi Manajemen Universitas Islam Lamongan
Abstrak Sebuah fenomena di dunia institusi keuangan yang bertujuan untuk menggandeng semua lapisan masyarakat di suatu negara untuk ikut serta dalam sektor keuangan dan diyakini dapat mengurangi kesenjangan sosial. Femonena tersebut disebut dengan inklusi finansial (financial inclusion), bahkan Indonesia merupakan salah satu negara yang mencoba menerapkan program ini. Dengan salah satu program yang dijalankan oleh sektor swasta dan sektor perbankan yakni branchless banking, merupakan sebuah langkah awal akan adanya realisasi program tersebut. Namun, pada kenyataanya inklusi finansial belum berjalan secara maksimal di Indonesia yang dibuktikan dengan masih meningkatnya kesenjangan sosial di masyarakat. Penelitian ini akan bersifat sebagai bahan yang membangun terhadap regulasi pemerintah (regulator’s advice) dimana penulis memberikan solusi mengenai “formalisasi UMKM ke dalam sistem perpajakan”, yaitu program yang dijalankan oleh pihak swasta khususnya UMKM yang memformalkan dirinya menjadi Wajib Pajak. Program ini diyakini akan membawa beberapa dampak positif terhadap perekonomian Indonesia . I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan sektor finansial di Indonesia saat ini digambarkan oleh dua paradoks (twin paradoxes) yang masih timpang keterkaitannya. Paradoks yang pertama adalah kemajuan Indonesia sebagai pemimpin dalam sektor microfinance selama dua puluh lima tahun berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mengakses sektor keuangan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka koefisien Gini yang menjadi indikator kesenjangan ekonomi mencapai poin 0.41 pada 2011. Padahal, pada faktanya pertumbuhan perekonomian Indonesia secara umum dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibanding negara berkembang (emerging country) lainnya. Indonesia mengalami pertumbuhan ratarata 6%, menduduki peringkat ketiga setelah Republik Rakyat China dan India. Paradoks yang kedua adalah kondisi usaha mikro, kecil dan menegah mengalami kesulitan modal dan kredit macet, sedangkan kondisi sektor perbankan Indonesia khususnya bank-bank komersial memiliki kas yang cukup, dapat memberikan kredit dan profitable. Kedua kondisi ini menjadi pertanyaan yang harus diselesaikan oleh pakarpakar ekonomi guna mendukung terwujudnya financial inclusion di Indonesia. Financial inclusion merupakan strategi yang dikembangkan oleh beberapa negara untuk meningkatkan partisipasi seluruh lapisan, baik pemerintah maupun swasta dalam sektor keuangan guna mempermudah masyarakat untuk menggunakan jasa keuangan. Di Indonesia, strategi
ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengentasan kemiskinan, distribusi pendapatan dan stabilitas keuangan dengan sistem yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pihak. Salah satu program yang dikembangkan oleh pemerintah melalui sektor perbankan dalam mensukseskan terwujudnya financial inclusion di Indonesia adalah branchless banking. Branchless banking merupakan program inovasi di bidang saluran distribusi dimana jasa keuangan yang diberikan kepada masyarakat tidak melalui kantor cabang resmi, namun diberikan melalui penggunaan teknologi seperti operator jaringan telekomunikasi, dan beberapa instansi pemerintahan seperti PT Pos Indonesia. Program branchless banking memberikan keuntungan bagi bank, yaitu meminimalisasi biaya operasional dan alokasi sumber daya manusia. Di sisi lain, program ini juga memberikan keuntungan bagi pihak swasta yang menjadi partner pelaksana program branchless banking seperti perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, mengingat tingginya jumlah pengguna telepon genggam di Indonesia. Kerjasama antar institusi juga sangat penting dalam perwujudan financial inclusion, khususnya kerjasama pihak swasta yang memiliki programprogram inovasi lainnya dan BUMN ataupun pemerintah sebagai regulator serta penyedia infrastruktur ke seluruh pelosok negeri. 1.2 Tujuan Penulisan Kertas kerja ini dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu:
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 142 1.
2.
Mengetahui strategi-strategi dan tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh sektor swasta dalam mendukung terwujudnya financial inclusion di Indonesia. Mengetahui pengaruh terbesar dari sektor perbankan (bank led) atau sektor teknologi (technological led) yang dapat mendorong operasional branchless banking beserta kelebihan, kekurangan dan pengaruhnya di segala aspek, terutama regulasi.
II. PEMBAHASAN MASALAH 2.1 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mendominasi sektor swasta di Indonesia Kementrian Negara Koperasi dan UKM mendefinisikan UMKM sebagai berikut: Usaha mikro adalah sebuah kegiatan ekonomi yang dimiliki oleh perorangan atau usaha perorangan dengan aktiva bersih sebesar Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan, dengan tingkat penjualan tidak kurang dari Rp 300juta. Usaha kecil adalah sebuah kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh perorangan atau bisnis independen, bukan sebuah cabang, anak perusahaan atau bagian dari bisnis entitas lain yang secara langsung maupun tidak langsung dimiliki atau dikontrol oleh
perusahaan menengah atau besar dengan aktiva bersih antara Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan. Serta memiliki penjualan lebih besar dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2.5 miliar. Usaha menengah adalah sebuah kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh perorangan atau bisnis independen, bukan sebuah cabang, anak perusahaan, atau bagian dari bisnis entitas lain yang secara langsung maupun tidak langsung dimiliki atau dikontrol oleh perusahaan kecil atau besar. Dengan aktiva besar antara Rp 500 juta sampai 10 miliar, tidak termasuk dengan tanah dan bangunan dan penjualan mencapai lebih dari Rp 2.5 miliar sampai 50 miliar. Dari pengertian di atas, jumlah dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Grafik 2.1 menunjukan perbandingan antara bisnis unit UMKM dengan unit perusahaan besar, dimana meningkatnya jumlah UMKM dalam beberapa tahun terakhir dari tahun 2005 sampai 2010 yang terhitung sebanyak 99 persen dari unit bisnis di Indonesia. UMKM juga menyumbang lebih dari 50 persen dari PDB indonesia yang ditunjukan pada Grafik 2.2
. Grafik 2.1. Bisnis unit di Indonesia di dominasi oleh UMKM(UMKM: sumbu disebelah kanan, dalam jutaan)
Sumber: StatistikdariKementriankoperasidanUMKM
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 143
Grafik 2.2 UMKM memberikan kontribusi lebih dari 50% dari total PDB (di sebelah kiri)(sisi kiri dalam persen, kanan dari miliar rupiah) Sementara itu, penyerapan tenaga kerja UMKM
terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja, diikuti
bervariasi antara satu sektor ekonomi dengan sektor yang lain dan juga bergantung terhadap ukuran perusahaan. Untuk bisnismikro, sektor pertanian – termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan – adalah penyumbang terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja diikuti oleh sector perdagangan, hotel dan restoran. Untuk bisnis kecil, sektor manufaktur merupakan penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja diikuti oleh sector perdagangan, hotel dan restoran. Untuk bisnis menengah, sektor manufakturjuga menjadi penyumbang angka
oleh sektor pertanian dan konstruksi di tempat kedua dan ketiga secara berurutan. Secara keseluruhan, sektor ekonomi seperti pertanian;perdagangan, hotel dan restoran; manufaktur; dan konstruksi mendominasi penyerapan tenaga kerja UMKM. Di sisi lain, semakin besar ukuran suatu bisnis, justru akan menurunkan ketergantungannya terhadap sektor pertanian. Dan, semakin kecil ukuran perusahaan, kendala akses pendanaan dari sektor perbankan pun pada umumnya akan cenderung meningkat.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 144
Grafik 2.3 Penyerapan tenaga kerja UMKM bervariasi dan bergantung dari jenissektorekonomi danukuran perusahaan(2010, Usaha mikro pada sumbu sisi kiri, dalam ribuan orang)
Sumber: StatistikdariKementriankoperasidan UKM Bahkan saat ini, jumlah nilai investasi UMKM hampir setengah dari total investasi bisnis swasta di Indonesia. Namun, pertumbuhan dari investasi perusahaan besar sedikit lebih besar daripada investasi di UMKM. Grafik 2.4 menunjukkan 49.19 persen dari investasi bisnis swasta yang berasal dari UMKM, sementara 50.81 persen berasal dari investasi perusahaan besar. Kontribusi UMKM terhadap total investasi swasta pada dasarnya bersumber dari bisnis menengah dengan menyumbangkan 23.24 persen dari nilai investasiUMKM. Dalam hal pertumbuhan
investasi, UMKM rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 2009 ke 2010, sedangkan perusahaan besar tumbuh sebesar 15 persen tahun 2010. Diantara UMKM, tingkat pertumbuhan terbesar adalah berasal daribisnis mikro yang mencapai 13.72 persen, diikuti oleh bisnis kecil dan menengah 9.5 persen dan 9.78 persen secara berurutan. Potensi pertumbuhan investasi dari sektor mikro menunjukkan angka terbesar, namun justru masalah kendala akses pendanaan cenderung berada di sektor mikro.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 145
600
120
500
100
400
80
300
60
200
40
100
20
Mikro
Dalam triliun
Dalam triliun
Grafik 2.4. UMKM memberikan kontribusi hampir separuh dari total investasi swasta(Investasi dari usaha mikro,kecil dan menengah pada sisi kanan, dalam triliun rupiah)
UMKM Kecil Menengah Perusahaan besar
0
0 2009
2010
Sumber: StatistikdariKementriankoperasidan UKM 2.2 Formalisasi UMKM mendorong inklusi finansial 2.2.1 Profil pengusaha di Indonesia berdasarkan survei Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagaian besar pengusaha di Indonesia di sektor non-formal mempunyai rata-rata tingkat
pendapatan bersih per bulan di bawah Rp 20 juta. Grafik 2.5 menunjukkan bahwa pengusahapengusaha non-formal di Indonesia sebagaian besar berada di sektor UMKM dengan pendapatan bulanan pekerja yang relatif kecil.
3.0e-07 2.0e-07
0
1.0e-07
Densitas probabilitas
4.0e-07
Grafik 2.5. Densitas Distribusi Normal
0
20000000
40000000 60000000 Pendapatan bersih per bulan
80000000
Sumber :Susenas 2012, diolaholehtim.
100000000
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 146 Namun, jika melihat lebih jauh kontribusi di sektor UMKM terhadap PDB Indonesia yang begitu besar yakni melebihi 50 persen (Grafik2.2), hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor UMKM memiliki potensi yang signifikan untuk meningkatkan pendapatan pajak negara.
itu, demi tercapainya redistribusi pendapatan, tingkat kepatuhan wajib pajak termasuk pelaku UMKM dalam malaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum UMKM beralih dari sektor non-formal menjadi sektor formal yang lebih bankable. Peningkatan wajib pajak juga menjadi hal penting dalam rangka mendorong pendapatan pajak pemerintah Indonesia. Data dari World Bank berikut menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, tingkat pendapatan pajak per PDB (tax/GDP ratio) di Indonesia masih sangat rendah. Grafik 2.6 menunjukkan bahwa persentase pendapatan pajak terhadap PDB di Indonesia hanya 11.8 persen di tahun 2011 dan berada cukup jauh jika dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan Brazil.
2.2.2
Perlunya formalisasi sektor UMKM ke dalam sistem perpajakan di Indonesia Bersamaan dengan mendorong perkembangan ekonomi melalui pertumbuhan UMKM, upaya peningkatan pendapatan pajak juga menjadi hal penting di Indonesia. Selain pajak sebagai sumber utama penerimaan negara yang nantinya diperuntukkan dalam pembiayaan berbagai pengeluaran pemerintah, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuan ekonominya lebih rendah. Oleh karena
Grafik 2.6PendapatanPajak (% dari PDB) Indonesia adalah yang terendah 20 18 16 Persentase (%)
14 12 10
12.4
12.3
12.5
12.3
12.4
13 11.4
10.9
2009
2010
11.8
8 6 4 2 0
2003
2004
Indonesia
2005
2006
Malaysia
2007
Filipina
2008 Thailand
Brazil
2011 Peru
Sumber : World Bank Peningkatan pendapatan pajak sangat penting dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengingat bahwa pajak memiliki peran penting sebagaiautomatic stabilizer dalam sebuah negara. Automatic stabilizer adalah struktur pajak dan program pengeluaran pemerintah yang menyebabkan anggaran deficituntuk tumbuh secara otomatis selama menghadapi krisis, atau surplusuntukmengurangi pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Ketika Indonesia menghadapi krisis, pemerintah akan menurunkan pajak (tax rate) guna menstimulasi kegiatan perekonomian di
masyarakat. Sebaliknya, ketika Indonesia dalam masa pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi, pemerintah akan menaikkan tax rate dengan tujuan untuk menyerap uang beredar (money supply) yang berlebih di masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya pendapatan pajak yang signifikan, Indonesia tidak akan memiliki pendapatan APBN yang cukup jika terjadi krisis atau gejolak makro.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 147 2.3 Dampak positif formalisasi UMKM ke dalam sistem perpajakan Formalisasi UMKM ke dalam sistem perpajakan bertujuan meningkatkan kualitas pendataan usaha-usaha yang berkembang di Indonesia. Apabila formalisasi UMKM dapat dilakukan secara maksimal, dampak positif yang ditimbulkan sangat besar terhadap pemerintah maupun UMKM itu sendiri. Dampak positif yang pertama adalah meningkatkan proporsi investasi di Indonesia. Suksesnya formalisasi pajak juga membawa dampak positif terhadap peningkatan pendapatan pajak negara seperti yang telah dipaparkan pada poin 2.2. Meningkatnya pendapatan pajak negara akan berpengaruh terhadap meningkatnya program-program pemerintah untuk mendorong inklusi finansial dalam rangka meningkatkan pertumbuhan UMKM. Formalisasi UMKM juga akan membuat sektor UMKM menjadi sektor formal yang akan menurunkan kendala pembiayaan dari sektor perbankan. Dampak positif formalisasi UMKM lainnya adalah meningkatkan PDB Indonesia. Meningkatnya pendapatan pajak berpengaruh terhadap kenaikan pengeluaran negara (government spending). Selama pengeluaran dialokasikan untuk tujuan produktif, termasuk untuk mendorong program-program pengembangan UMKM, maka akan meningkatkan output ekonomi.
III. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1. Dalam mendukung program inklusi finansial kepada sektor swasta, dalam hal ini UMKM, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh sektor swasta atau UMKM itu sendiri adalah sebagai berikut: 1.1. Perlu kesadaran dari sektor UMKM untuk mendaftarkan diri ke dalam sistem perpajakan di Indonesia dengan menjadi Wajib Pajak. Hal ini penting dikarenakan UMKM yang sudah memiliki nomor wajib pajak akan otomatis terdaftar di dalam basis data milik pemerintah, sehingga pemerintah dapat memonitor kinerja UMKM tersebut dalam rangka mendorong pertumbuhan bisnis mereka. Di saat yang sama, hal ini akan memudahkan pemerintah untuk melakukan kebijakan terstruktur dengan menjalin kerjasama dengan bank-
1.2.
1.3.
bank lokal untuk mendanai UMKM berpotensi yang sudah terdaftar. Pendataan yang baik juga akan membuat data-data UMKM lebih akurat di tingkat daerah, sehingga pemerintah akan lebih mudah mengidentifikasi sektor-sektor mana yang dominan di suatu daerah tertentu, dan sektor-sektor mana yang perlu dibantu oleh akses pendanaan dari perbankan. Dari Grafik 2.3, terlihat bahwa sebagian besar bisnis mikro yang menyerap tenaga kerja adalah di sektor pertanian dan jasa. Hal ini berarti bahwa sektor mikro hanya bertumpu pada dua sektor ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah sektor pertanian ini cukup berisiko dari kacamata perbankan. UMKM yang hanya bertumpu pada produk-produk bahan mentah, terutama untuk tujuan ekspor, tentu akan mendapatkan kendala pembiayaan lebih besar dari sektor perbankan. Hal ini dikarenakan harga-harga bahan mentah bersifat fluktuatif di pasar internasional, sehingga akan meningkatkan risiko gagal bayar ketika bank-bank memberikan kredit kepada sektor UMKM tersebut. Dengan demikian, sektor swasta khususnya UMKM perlu beralih dari sektor pertanian menuju sektor yang lebih memiliki value-added seperti sektor manufaktur agar kendala pembiayaan dari sektor perbankan berkurang. Dalam hal ini pemerintah juga perlu memberikan credit guarantee kepada bank-bank yang memberikan kredit kepada sektor-sektor UMKM potensial yang dapat membuat produkproduk dengan value-added yang lebih tinggi selain di sektor nonpertanian. Dengan demikian, bank-bank tidak takut akan risiko gagal bayar ketika berinvestasi dalam mendanai UMKM. Peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) dapat diperluas sebagai penjamin kredit di tingkat lokal.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 148
2. Dalam
rangka mengoptimalkan pengaruh terbesar dari sektor perbankan (bank led) atau sektor teknologi (technological led) yang dapat mendorong operasional branchless banking;hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 2.1. Melakukan edukasi dan capacity building bagi sektor UMKM agar mempunyai kemampuan teknologi informasi, setidaknya dalam melakukan transaksi perbankan, dan mengoperasikan komputer dalam kegiatan seharihari mereka. Edukasi ini dapat dilakukan oleh pemerintahpemerintah lokal beserta lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berkonsetrasi untuk pengembangan UMKM. 2.2. Regulasi-regulasi terkait aktivitas branchless banking kepada sektor UMKM justru sedapat mungkin diminimalkan karena terlalu banyak regulasi akan menambah kompleksitas yang akan sulit dipahami oleh sektor UMKM. 2.3. Mendorong bank-bank lokal dan kecil, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk melakukan pendampingan kepada UMKM. Sektor UMKM yang skala aktivitas ekonominya relatif kecil akan lebih cocok ketika didampingi oleh bankbank kecil juga, dan bukan bankbank besar apalagi bank-bank asing. Dalam konteks ini, perlu dukungan dari pemerintah sebagai credit guarantee, termasuk di dalamnya regulasi yang baik, agar memperluas ruang gerak bank-bank kecil di sektor UMKM. Hal ini secara tidak langsung membatasi ruang gerak atau pasar bank-bank besar dan asing yang akan masuk ke sektor UMKM. Dengan demikian, kompetisi yang tidak adil antara bank-bank kecil dan besar dapat dihindari, sehingga bank-bank kecil dapat mengatur biaya operasional mereka secara efisien ketika tidak berkompetisi dengan bank-bank besar. Pada akhirnya, efisiensi biaya dari bank-bank kecil ini akan dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan branchless banking dan teknologinya yang kemudian berdampak pada turunnya biaya kredit (intermediation cost) bagi sektor UMKM, dan inklusi finansial dapat diperkuat. Dari beberapa langkah diatas, dapat disimpulkan bahwa demi tercapainya kesuksesan financial inclusion, sektor perbankan memiliki peran yang lebih dominan (bank led). Ketikan bank led diimplementasikan, pemerintah secara tidak langsung akan mengikutsertakan sektor teknologi untuk mendukung branchless banking. Hal ini tidak berlaku sebaliknya, ketika technological led diutamakan, sektor perbankan belum tentu dapat berkembang dan diikutsertakan dalam program inklusi finansial karena adanya ketidaksiapan menghadapi perubahan teknologi. PUSTAKA Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. (2013). Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2010 – 2011. Diunduh 17 April 2013 dari http://www.depkop.go.id/ Mourougane, A. (2012). Promoting SME development in Indonesia. OECD Economics Department Working Papers, No. 995, OECD Publishing. Diunduh pada 16 April 2013 dari http://dx.doi.org/10.1787/5k918xk464f7en Rand, J., & Torm, N. (n.d). The benefits of formalization: evidence from vietnamese smes. Diunduh 16 April 2013 dari mit.econ.au.dk/dgpe/dgpe-workshop2010/torm.pdf World Bank. (2013). Tax revenue (% of GDP). Diunduh 18 April 2013 dari http://data.worldbank.org/indicator/GC.TA X.TOTL.GD.ZS
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 149
Analisa Faktor Psikologis Perilaku Konsumen Yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Pembelian Produk-Produk Momilen (Studi Kasus Pada Pasien Bidan Praktek Swasta (BPS) Muhammad rizal Nur irawan *)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah fakor psikologis, diantaranya: motivasi, persepsi dan pembelajaran. Pokok permasalahannya adalah apakah fakor psikologis perilaku konsumen (motivasi, persepsi, pembelajaran) berpengaruh secara simultan maupun secara parsial terhadap keputusan pembelian?Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor psikologis yang terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran terhadap keputusan pembelian produk-produk Momilen.Data diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner kepada responden yang merupakan pasien ibu hamil BPS Widya Desa Geger.Analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor psikologis terhadap keputusan pembelian adalah dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Dari hasil analisa data diperoleh hasil Y = 2,038 + 0,383X1 + 0,709X2 + 0,681X3. Dari pengujian model regresi dengan uji F diketahui nilai F hitung (221,602) > Ftabel (2,807). Ini berarti keseluruhan variabel bebas memberikan pengaruh simultan yang signifikan terhadap keputusan pembelian.Dari pengujian model regresi dengan uji t diketahui bahwa semua variabel bebas, secara parsial memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (keputusan pembelian).Dari pengujian model regresi dan uji t juga diketahui bahwa pada variabel Motivasi (X1) thitung> dari ttabel (2,154 > 2,013), persepsi (X2) thitung> dari ttabel (2,783 > 2,013), pembelajaran (X3) thitung> dari ttabel (2,374 > 2,013).Variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian adalah variabel persepsi, karena mempunyai koefisien regresi yang paling besar dan mempunyai nilai signifikasi yang lebih kecil daripada variabel bebas lainnya. Kata Kunci : Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, dan Keputusan Pembelian LATAR BELAKANG Perubahan terjadi setiap detik selama kehidupan berjalan, setiap orang mengalami perubahan dalam segala hal setiap saat. Perubahan tersebut meliputi perubahan psikologis, budaya, teknologi, lingkungan sosial, dan lingkungan makro lain yang tentu memiliki implikasi terhadap perubahan gaya hidup masyarakat. Perubahan tersebut telah mengubah berbagai aspek kehidupan termasuk perilaku konsumen. Studi tentang perubahan perilaku konsumen akan menjadi dasar yang amat penting dalam manajemen pemasaran. Hasil dari kajiannya akan membantu para pelaku pasar untuk: merancang bauran pemasaran, menetapkan segmentasi pasar, merumuskan positioning dan pembedaan produk, memformulasikan analisis lingkungan bisnisnya, dan mengembangkan riset pemasarannya. Menganalisis perilaku konsumen akan lebih mendalam dan berhasil apabila kita dapat memahami aspek-aspek psikologis manusia secara keseluruhan. Schiffman dan Kanuk (2007) mengatakan bahwa psikologi konsumen berisi konsep dasar psikologi yang menentukan perilaku
individu dan mempengaruhi perilaku konsumsi. Kemampuan dalam menganalisis perilaku konsumen berarti keberhasilan dalam menyelami jiwa konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Perusahaan dalam menjalankan usahanya harus selalu memantau perubahan perilaku konsumen sehingga dapat mengantisipasi perubahan perilaku konsumen tersebut untuk memperbaiki strategi pemasarannya. Perusahaan yang berorientasi pada konsumen akan selalu beradaptasi dan bereaksi terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen yang selalu berubah, dengan cara menerapkan perencanaan strategi pemasaran. Demikian halnya juga dengan perusahaan farmasi, pemenuhan kebutuhan dan keinginan akan produk obat-obatan perlu direncanakan dengan strategis agar produk dan perusahaannya selalu menjadi yang terdepan. PT.First Medipharma dengan produknya “Momilen” sebagai produk farmasi yang menjadi teman setia ibu hamil dan bayi, juga perlu mengetahui sejauhmana faktor-faktor psikologis perilaku konsumen berpengaruh terhadap keputusan pembelian produknya. Hal tersebut
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 150
berguna dalam penentuan inovasi dan modifikasi yang diperlukan baik dalam penyusunan strategi pemasaran, maupun pengembangan produk sesuai dengan kebutuhan konsumen.. METODE Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Pengertian penelitian deskriptif kualitatif yaitu prosedur penelitian berdasarkan data deskriptif, yaitu berupa lisan atau kata tertulis dari seseorang subjek yang diamati dan telah memiliki karakteristik bahwa data yang diberikan merupakan data asli yang tidak diubah serta menggunakan cara yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (http://www.bimbingan.org/pengertian-penelitiandeskriptif-kualitatif.html) :
Operasional masing-masing variabel yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu variabel bebas adalah Faktor Psikologis (X) yang dijabarkan dalam beberapa variabel antara lain: Motivasi (X1), Persepsi (X2), dan Pembelajaran (X3). Variabel terikat yaitu Keputusan Pembelian (Y). Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan alat analisa antara lain: uji validitas, uji reliabilitas, regresi linear berganda,korelasi berganda,uji F, uji t, determinasi) Berdasarkan hasil dari penyebaran kuesioner penelitian yang dilakukan kepada 50 responden telah didapatkan sikap dari jawaban responden, berikut penyajian data sikap dan jawaban responden sebagai berikut:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Motivasi Indikator SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) F % F % F % F % F % Anda akan lebih memilih produk-produk obat yang 30 berkualitas tanpa 2 4% 15 22 44% 9 18% 2 4% % mempertimbangkan terlalu jauh berapa harganya Jika anda merasa sudah sehat, anda akan tetap 60 berusaha meningkatkan 1 2% 30 11 22% 8 16% 0 0% % kesehatan anda walaupun harus mengeluarkan biaya Total Skor
Total Skor
156
174
330
Sumber : Data diolah, 2014 Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Persepsi SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) F % F % F % F % F % Menurut anda produkproduk Momilen mempunyai kinerja yang 2 4% 27 54% 16 32% 3 6% 2 45 lebih baik dari produkproduk lain sejenis Menurut anda produkproduk Momilen mempunyai harga yang 8 16% 24 48% 15 30% 3 6% 0 0% sebanding dengan kualitasnya Total Skor Sumber : Data diolah, 2014 Indikator
Total Skor
174
145
319
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 151
Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Pembelajaran SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) F % F % F % F % F % Berdasarkan pengalaman pribadi anda, anda akan tetap mengkonsumsi obat yang telah terbukti manjur 7 14% 28 56% 12 24% 3 6% 0 0% meskipun ada tawaran produk baru yang kelihatannya lebih menarik Anda akan membeli produk obat yang disarankan orang lain atau yang menurut orang lain produknya 3 6% 28 56% 17 34% 2 4% 0 0% berkualitas meskipun anda belum pernah menggunakannya. Total Skor Sumber : Data diolah, 2014 Indikator
Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Keputusan Pembelian Indikator SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) F % F % F % F % F % Anda memiliki kebutuhan 8 16% 30 60% 7 14% 5 10% 0 0% akan kesehatan diri dan bayi Anda selalu bertanya kepada bidan mengenai obat/produk yang dapat 3 6% 35 70% 10 20% 2 4% 0 0% mengoptimalkan kesehatan diri dan bayi Dari sekian banyak obat/produk maternity & baby care anda menyadari bahwa Momilen paling 0 4% 29 60% 19 32% 1 4% 1 0% mampu memenuhi kebutuhan kesehatan diri dan bayi Setiap kali anda membutuhkan obat/produk maternity & baby care 3 6% 30 60% 14 28% 2 4% 1 2% maka anda menjatuhkan pilihan pada Momilen Total Skor Sumber : Data diolah, 2014
Total Skor
156
182
338
Total Skor 191
189
176
182
738
h a l | 152 Berdasarkan data di atas, dengan perhitungan menggunakan Program SPSS 19 maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Regresi berganda Y = 2,038 + 0,383X1 + 0,709X2 + 0,681X3 a = 2,038, artinya konstanta yang menyatakan bahwa jika variabel bebas yaitu motivasi (X1), persepsi (X2), danpembelajaran (X3) konstan, maka keputusan pembelian sebesar 2,038. b1 = 0,383, artinya koefisien regresi X1(motivasi)diperoleh sebesar 0,383 dengan tanda positif. Hal ini berarti apabila motivasi dinaikkan sebesar 1 satuan, maka keputusan pembelian akan meningkatkan sebesar 0,383 dengan asumsi variabel lain yang mempengaruhi dianggap konstan (a, X2, dan X3 = 0). b2= 0,709, artinya koefisien regresi X2(persepsi) diperoleh sebesar 0,709dengan tanda positif. Hal ini berarti apabila persepsi dinaikkan sebesar 1 satuan, maka keputusan pembelian akan meningkatkan sebesar 0,709 dengan asumsi variabel lain yang mempengaruhi dianggap konstan (a, X1, dan X3 = 0). b3= 0,681, artinya koefisien regresi X3(pembelajaran) diperoleh sebesar 0,681dengan tanda positif. Hal ini berarti apabila pembelajaran dinaikkan sebesar 1 satuan, maka keputusan pembelian akan meningkatkan sebesar 0,681 dengan asumsi variabel lain yang mempengaruhi dianggap konstan (a, X1, dan X2 = 0). Secara keseluruhan dari ketiga variabel tersebut, berdasarkan hasil analisis diatas dapat diketahui bahwa variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian adalah variabel persepsi dengan nilai Beta sebesar 0,414 yang lebih besar dari variabel independent lainnya. 2. Dari uji ANOVA atau F test, diperoleh Fhitung adalah 221.602dengan tingkat signifikan 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Sedangkan nilai Ftabel pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) maka diperoleh nilai Ftabel = 2,807 dengan demikian Fhitung> Ftabel, yaitu 307,115 > 2,807. Oleh karena itu maka dapat dikatakan, motivasi, persepsi, dan pembelajaran secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan pembelian terhadap produk-produk Momilen. 3. Pada variabel motivasi hasil nilai thitung sebesar 2,154 yang lebih besar dari ttabeldengan α = 5% yaitu sebesar 2,013. Ini berarti bahwa thitung> dari ttabel (2,154 > 2,013), sehingga dapat disimpulkan bahwa
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
4.
5.
6.
motivasi mempunyai pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap keputusan pembelian. Maka dari pengujian hipotesis kedua yang menyatakan motivasi berpengaruh terhadap keputusan pembelian, hipotesis tersebut diterima. Pada variabel persepsi hasil nilai thitung sebesar 2,738 yang lebih besar dari ttabeldengan α = 5% yaitu sebesar 2,013. Ini berarti bahwa thitung> dari ttabel(2,738 > 2,013), sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi mempunyai pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap keputusan pembelian. Maka dari pengujian hipotesis kedua yang menyatakan persepsi berpengaruh terhadap keputusan pembelian, hipotesis tersebut diterima. Pada variabel pembelajaran hasil nilai thitung sebesar 2,374 yang lebih besar dari ttabel dengan nilai α = 5% yaitu sebesar 2,013. Ini berarti bahwa thitung>ttabel(2,374 > 2,013), sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mempunyai pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap keputusan pembelian. Maka dari pengujian hipotesis kedua yang menyatakan pembelajaran berpengaruh terhadap keputusan pembelian, hipotesis tersebut diterima. R square diketahui sebesar 0,935. Hal ini berarti sekitar 93,5 % keputusan pembelian dapat dijelaskan oleh motivasi, persepsi, dan pembelajaran. Sedangkan sisanya ( 100 % - 93,5 % = 6,5 % ) dijelaskan oleh sebab-sebab lain.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada BAB V, maka dapat diambil kesimpulan antara lain : 1. Motivasi (X1), persepsi (X2), dan pembelajaran (X3) secara bersama-sama (simultan) mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap keputusan pembelian produk-produk Momilen. Hal ini berarti hipotesis pertama terbukti, yang dilihat dari hasil uji F, dimana Fhitung> Ftabel, yaitu 221,602 > 2,807. 2. Secara parsial, Motivasi (X1), persepsi (X2), dan pembelajaran (X3) mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap keputusan pembelian produk-produk Momilen. Hal ini berarti hipotesis kedua terbukti, yang dilihat dari hasil uji t, dimana pada variabel Motivasi (X1) thitung> dari ttabel (2,154>2,013), persepsi (X2) thitung> dari ttabel (2,783>2,013),
ISSN : 2302-3562
h a l | 153
3.
A.
pembelajaran (X3) thitung> dari ttabel (2,374>2,013). Diantara ketiga variabel indepedent yang memiliki pengaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian produkproduk Momilen adalah variabel persepsi (X2) karena mempunyai koefisien regresi dan nilai thitung yang paling besar yaitu 0,709 dan 2,783, hal ini membuktikan bahwa hipotesis yang menyatakan persepsi memiliki pengaruh paling dominan terbukti.
Saran – Saran Saran yang penulis kemukakan sebagai rekomendasi penunjang hasil penelitian, yang sekiranya berguna bagi perusahaan antara lain sebagai berikut : 1. Bagi perusahaan atau produsen produkproduk Momilen harus selalu memperhatikan perilaku konsumen yang setiap saat selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. 2. Dalam penelitian ini faktor psikologi (motivasi, persepsi, dan pembelajaran) mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mempengaruhi keputusan pembelian yaitu sebesar 93,5%, oleh karena itu perusahaan harus selalu memperhatikan dan memaksimalkan keputusan konsumen yang dipengaruhi oleh faktor psikologis tersebut.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
3.
Perusahaan harus selalu melakukan market research terhadap produk pesaing yang beredar di pasar dan harga yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Setiadi,
Nugroho.J, 2013. Perilaku KonsumenPasar, Cetakan Ke-5, Penerbit, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2013. Philip Kotler, 2002. Manajemen Pemasaran, Edisi Millenium, Jilid 1, Alih Bahasa,Hendra Teguh, Rony A. Rushi dan Benjamin Molan, Jakarta: Prenhalindo. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Bisnis, cetakan ke-17, penerbit, Alfabeta Bandung: 2013. Tatik Suryani, 2013. Perilaku Konsumen di Era Internet,Implikasi Pada Strategi Pemasaran, cetakan pertama, Penerbit, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2013 Basu Swastha DEI, 2009. Manajemen Berani Dalam Pemasaran, Edisi ke Dua, cetakan pertama, penerbit, 13PFE, Yogyakarta : 2009. Joseph 1‟. Guiltinan dan Gordon W. Paul, 1990.Manajemen Pemasaran, Edisi ke Dua, Alih Bahasa Jr. Agus Maulana, Cetakan kedua, penerbit, Airlangga. Suharsimin Arikunto, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta.
ISSN : 2302-3562
h a l | 154
SISTEM PENGENDALIAN INTERN KREDIT DAN DAMPAK PELUNASAN KREDIT PARA NASABAH PADA PT. BPR DAMATA ARTA NUGRAHA BRONDONG LAMONGAN Abdul Ghofur Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan ABSTRAKSI Bank BPR merupakan lembaga keuangan atau perbankkan dimana salah satu kegiatan usahanya adalah memberikan kredit kepada nasabah- nasabah. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh bank adalah ketidak sanggupan debitur dalam melunasi kreditnya pada jatuh tempo yang sudah ditentukan. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut maka dalam pemberian putusan kredit atas permohonan kredit. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana sistem pengendalian intern yang digunakan diperusahaan serta mengetahu dampak sistem pengendalian intern kredit terhadap pelunasan kredit nasabah. Sehubungan dengan masalah tersebut penelitian ini menggunakan methode deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan demgam cara dua tahap yaitu : sitem pengendalian intern yang digunakan di Bank Damata arta Nugraha Brondong Lamongan dan dampak pngendalian intern terhadap pelunasan kredit. Dari hasil penelitian ini adalah: Sistem pengendalian intern yang digunakan diBank Damata arta Nugraha Brondong Lamongan meliputi :Lingkungan pengendalian, Penaksiran resiko, Aktivitas pengendalian, Informasi dan komunikasi, Pemantaun. Dan dampak sistem pengedalian intern terhadap pelunasan kredit adalah untuk meminimalkan jumlah kredit yang bermasalah. PENDAHULUAN Bank merupakan lembaga masyarakat yang menghimpun dana dan menggunakannya semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga. Perbankan Indonesia merupakan sector yang mengalami dampak langsung krisis moneter berkepanjangan yang menyebabkan perekonomian Indonesia pada tahun 1998 terpuruk sampai kondisi terendah, sehingga mempengaruhi keadaan makro ekonomi nasional. Puspani (2004 : 1) menyatakan bahwa “kondisi perbankan saat iini sudah lebih baik dibandingkan sebelum dilaksanakannya rekapitalisasi kredit yang mulai berjalan, baik yang ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) maupun masing-masing bank”. Bank sebagai salah satu badan usaha keuangan merupakan lembaga perantara antara pihak yang kelebihan dana (deposan) dan pihak yang kekurangan dana. Pihak yang kelebihan dana menanamkan uangnya pada bank dalam bentuk deposito, tabungan, dan produk-produk simpanan bank lainnya, sedangkan pihak yang kekurangan dana memperoleh bantuan keuangan dari bank dalam bentuk pinjaman. Adanya rentang waktu pengembalian pinjaman menimbulkan resiko yang sangat besar yang mungkin ditanggung bank terhadap ketidakpastian pengembalian pinjaman dari debitur. Timbulnya kredit bermasalah selanjutnya dapat mengakibatkan kesulitan dari bank tersebut untuk memenuhi kewajibannya kepada para deposan. Bank dengan aktivitas penyaluran kredit, bank menghadapi resiko yang cukup besar yaitu tidak sanggupnya debitur membayar pinjaman pokok dan bunganya pada saat jatuh tempo. Inilah
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
yang dinamakan tunggakan kredit atau kredit macet. Kredit macet menjadi bagian dari kinerja bank tetapi jika jumlahnya sangat besar akan mengganggu kinerja dan kesehatan bank yang bersangkutan. Kredit bermasalah di sebuah bank dapat berupa kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet. Diantara beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu timbulnya kredit macet adalah kurang ketatnya pengamanan pada saat pencairan atau penyaluran kredit, misalnya kredit tanpa agunan (jaminan) yang pasti atau kredit digunakan dengan agunan yang nilainya lebih kecil dari nilai kredit. Untuk mengantisipasi hal tersebut, bank perlu mempertimbangkan beberapa factor dalam mengavulasi pemberian kredit pada debitur, mengenai prinsip-prinsip perkreditan yang di kenal dengan 7P, antara lain Personality, Party , Purpose, Prospect, Payment, Profitability, Protection. Pemberian kredit merupakan resiko bank yang paling besar, struktur pengendalian intern dalam perkreditan dimulai sejak adanya permohonan kredit hingga pelunasan dan penyelesaian kredit. Pengalokasian dana ke dalam bentuk kredit bukan merupakan hal yang mudah, karena kredit itu sendiri pada dasarnya adalah pengelolaan resiko yang tidak luput dari kemungkinan timbulnya resiko kredit bermasalah merupakan konsekuensi yang akan diterima. Oleh Karena itu salah satu cara untuk meminimaliskan resiko tersebut adalah melakukan pengendalian kredit dengan baik sesuai struktur pengendalian intern. Menurut Mulyadi (2002) bahwa pengendalian intern suatu perusahaan atau organisasi atas kebijakan dan prosedur yang
ISSN : 2302-3562
h a l | 155 diciptakan untuk memberikan jaminan yang memadai agar tujuan perusahaan atau organisasi dapat dicapai. Dimana sistem dan prosedur kebijakan suatu Bank perkreditan pada pengendalian terhadap pemberian kredit untuk mencegah timbulnya kredit macet. Kredit yang telah diberikan oleh suatu lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan, sehingga dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Ini berarti suatau lembaga kredit akan memberikan kredit kalau mereka betul-betul yakin bahwa si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua pihak, tanpa keyakinan tersebut suatu lembaga kredit akan meneruskan simpanan masyarakat yang diterimanya. Pemberian kredit mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pemberian kredit tersebut tidak akan terlepas dari misi bank. Adapun tujuan utama pemberian kredit yaitu :mencari keuntungan,membantu usaha nasabah,membantu pemerintah, Oleh karena itu, dalam proses pemberian kredit, bank harus memperhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang benar. Artinya sebelum suatu fasilitas kredit diberikan maka bank harus merasa yakin terlebih dahulu bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan.Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai prinsip untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang bersifat deskriptif kualitatif. dengan metode penelitian kualitatif sebagai pendekatan penelitian, maka penelitian menghadapi objek penelitian yang bersifat alamiah, dimana sebagai instrument mempunyai peran yang sangat penting. Penelitian dihadapkan pada kenyataan - kenyataan yang terjadi pada objek, dimana penelitian diharapkan tidak melakukan intervensi dalam objek tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian ini adalah biro pemasaran dimana mempunyai tugas memasarkan dan menyalurkan dana dalam bentuk kredit pada periode Desember 2012–Desember 2013, mencari pasar sebagai sumber pemodalan dana dan penghimpun dana dari masyarakat atau lembaga lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan. Dimana penelitian ini merupakan studi tentang evaluasi pelaksanaan prosedur sistem penegendalian intern penyaluran kredit pada Bank dan juga pengendalian intern kredit guna mendukung pelunasan kredit para nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan masalah yang akan dianalisis, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :Melakukan evalusi terhadap sistem pengendalian intern yang digunakn di Bank Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan, dengan memperhatikan aspek – aspek pengendalian intern, Mengidentifikasi sistem pengendalian intern kredi tpada Bank BPR Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan. Mengidentifikasi prosedur permohonan kredit yang berdasarkan analisis kelayakan kredit yang menggunakan criteria 7P. Dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa Sistem Pengendalian Intern Sebuah sistem merupakan suatu cara tertentu dan biasanya berulang untuk melaksanakan suatu atau serangkaian aktivitas, para manajer pada umumnya menghadapi situasi dimana aturan tidak terdefinikasikan secara baik sehingga harus menggunakan penilaian terbaik mereka dalam memutuskan tindakan apa yang akan diambil. Keefektifan tindakan mereka ditentukan oleh kepiawaian dalam berhadapan dengan orang-orang terutama para nasabah. Aspek – aspek sistem pengendalian intern terdiri dari : lingkungan pengendalian,penaksiran resiko,aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, pemantauan. Dalam upaya untuk meningkatkan pemantauan secara dini terhadap kredit-kredit yang akan atau diduga merugikan bank, maka bank wajib melakukan pengawasan secara khusus. Yaitu dengan cara memperhatikan prosedur permohonan kredit, menguji kelayakan kredit dengan menggunakan 7P & analisis keuangan, mengelompokkan jenis kredit, serta memberikan keputusan kredit pada kreditur yang layak menjadi nasabah. penaksiran resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi dan penerapannya pada entitas kecil dan menengah (pemantauan). PEMBAHASAN Didalam penelitian ini analisis dan pembahasan mengenai audit kepatuhan dibatasi pada efektifitas struktur pengendalian intern perusahaan atas kepatuhan terhadap persyaratan tertentu yaitu berkaitan dengan pemberian kredit. Oleh karena itu analisis yang disampaikan adalah terdiri dari lima aspek dalam pengendalian intern yang meliputi lingkungan pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang mencerminkan sikap menyeluruh manajemen puncak, menengah dan dibawah dalam hal ini perusahaan telah berusaha untuk menciptakan lingkungan pengendalian kondusif sehingga manajemen dan karyawan memiliki kesamaan sikap dan presepsi terhadap setiap program dan prosedur yang diterapkan. Berkaitan dengan manajemen resiko kredit maka dalam hal ini untuk mengenali beberapa kelemahan yang ada dimana
ISSN : 2302-3562
h a l | 156 selanjutnya telah dilakukan upaya-upaya perbaikan. Ada beberapa hal dimana penyebab masalah tersebut:sisi debitur dan sisi intern bank. Dalam aktifitas pengendalian adalah kebijakan dalam prosedur yang dibuat manajemen untuk mematuhi tujuannya. Banyak sekali kebijakan dan prosedur dalam suatu satuan usaha. Secara umum prosedur pengendalian dapat dikelompokkan kedalam lima kategori yaitu; pemisahan tugas yang cukup, otoritas yang pantas atas transaksi dan aktivitas bank, dokumen dan catatan yang memadai, pengendalian fisik atas aktiva dan catatan, pengendalian independent atas pelaksanaan Didalam satuan usaha komunikasi dan informasi digunakan untuk mengidentifikasi, menggabungkan, mengklarifikasi, menganalisa, mencatat dan melaporkan transaksi satu satuan usaha dan untuk mengelola akuntabilitas atas transaksi terkait. Keadaan ini sudah sesuai dengan teori yang ada, untuk itu pihak bank harus melakukan bank to bank information dengan maksud agar pihak bank dapat mengetahui informasi mengenai calon debitur sehingga dapat menghindari kemungkinan yang akan merugikan pihak lain. Selain itu dengan adanya prosedur ini dalam pengendalian ini dalam pengendalian internal juga ditunjukkan dengan adanya kesesuaian informasi yang terdapat dlam surat perjanjian kredit dengan informasi yang tercantum dalam dokumen pendukung hal ini sudah pasti terjadi karena surat perjanjian kredit dilakukan dihadapan notaris dan dibuat berdasarkan analisis pelayakan kredit pada saat pengajuan kredit. Didalam operasional perusahaan maka memiliki pedoman dalam pelaksanaan perkreditan yang memiliki peranan sebagai berikut :(a) Merupakan penjabaran kebijakan umum perkreditan yang disusun unuk mencapai sasaran. (b)Merupakan pedoman operasional kredit yang berisi tentang sistem dan prosedur kegiatan perkreditan.(c)Untuk menjadi acuhan dalam membuat surat edaran (SE) atau surat keputusan (SK) direksi, yang merupakan petunjuk pelaksanaan perkreditan. (d)Sebagai acuhan yang harus dipahami dalam melaksanakan manajemen resiko kredit. Untuk pemantaun yang berkaitan dengan penilaian evektifitas rancangan dan operasi sruktur pengendalian internal secara periodik dan terus menerus oleh manajemen untuk melihat apakah telah dilaksanakan dengan semestinya dan telah diperbaiki sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini pemantauan data tidak hanya dilaksanakan pada saat permohonan kredit tetapi harus dilakukan sampai pada pelaksanaannya. Kemudian kemudian melakukan identifikasi potensi ekonomi disemua unit kerja dan juga melakukan pembinaan kredit dari pencairan kredit sampai dengan pelunasan kredit, dalam artian bahwa inspeksi ketempat usaha
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
debitur harus dilakukan secara rutin untuk meyakinkan pihak manajemen bahwa kredit yang diberikan telah digukan dengan sebenarnya. Selain itu peninjau lapangan juga berfungsi untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan usaha debitur setelah menerima kredit dari pihak bank. Untuk itu pihak bank harus benar-benar melakukan seleksi terhadap calon debitur sebelum melakukan persetujuan kredit. Dan jika ada debitir yang mengalami kesulitandalam melunasi kreditnya atau usahanya tidak mempnyai prospek lagi atau mempunyai itikad tidak baik, maka pihak bank harus mengambil tindakan penyelesaian kredit bermasalah. Untuk itu pihak bank harus benar-benar melakukan seleksi terhadap calon debitur sebelum melakukan persetujuan kredit. Dan jika ada debitir yang mengalami kesulitandalam melunasi kreditnya atau usahanya tidak mempnyai prospek lagi atau mempunyai itikad tidak baik, maka pihak bank harus mengambil tindakan penyelesaian kredit bermasalah.(1) Penyelesaian kredit bermasalah secara damai, (2)penyelesaian melalui jalur hukum. (3)kewenangan memutus. KESIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sistem pengendalian intern pada PT. BPR Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan dan dampak terhadap pelunasan kredit pada nasabah. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Sistem pengendalian intern atas penyaluran kredit yang telah diterapkan oleh PT. BPR Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan adalah sentralisasi. Untuk mewujudkan lingkungan pengendalian ynag efektif maka bank telah menyusun struktur organisasi yang telah membatasi garis tanggung jawab dan wewenang yang ada dan juga pada aktivitas pengendalian dan pemantauan telah dijalankan dengan dibuatnya prosedur penyaluran kredit, meskipun masih terdapat kekurangan pada prosedur penyaluran kredit. Dan Mengenai sistem pengendalian atas penyaluran kredit yang tercantum didalam prosedur penyaluran kredit. Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sistem pengendalian intern yang baik maka sangat berdampak untuk pelunasan kredit. SARAN Adapun saran – saran yang dianggap penulis perlu disampaikan dengan tujuan sebagai penyempurnaan penerapan sistem pengendalian intern atas penyaluran kredit yang efektif adalah sebagai berikut : (1)Sebaiknya Bank BPR Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan tetap mempertahankan sistem pengendalian intern yang digunakan agar kualitas Bank tetap bertahan. karena hal ini sangat
ISSN : 2302-3562
h a l | 157 berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan bank terhadap kemajuan usaha debitur untuk menghindari adanya kredit yang bermasalah. (2)Untuk lebih meningkatkan efektifitas kebijakan perkreditan dan meningkatkan kualitas dalam proses pencairan kredit, hendaknya PT. BPR Damata arta Nugraha Brondong perlu melakukan pengendalian resiko secara efektif dan efisien untuk menghindari penyimpangan atau kejadian yang tidak diharapkan dengan cara lebih meningkatkan sistem dan prosedur pemberian kredit dengan menerapkan sistem pengendalian intern yang mencakup lima hal yaitu lingkungan pengendalian, penaksiran resiko, aktivitas pengendalian, komunikasi dan informasi serta pemantauan dengan tepat agar dapat dilakukan pencegahan timbulnya kredit macet.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
DAFTAR PUSTAKA Mulyadi, 2002, Auditing,Edisi Kelima, Salemba Empat Jakarta. Suharsimi Arikunto,2010,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rhineka Cipta, Jakarta. Puspani, 2004. Penerapan Prosedur dan Kebijakan Pemberian Kredit Bank Rakyat Indonesia. Skripsi Sarjana tak diterbitan. Universitas Airlangga Surabaya. Al Haryono Jusup, 2011, Dasar-dasar Akuntansi,Edisi Ketujuh, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta Kasmir, 2012, Bank dan Lembaga keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anthony, Robert N dan Govindarojan Vijay, 2002, System Pengendalian Manajemen, Salemba Empat Jakarta, Edisi Pertama. Thomas Suyatno, 2009, Dasar-dasar perkreditan, Gramedia Pustaka Cipta, Jakarta.
ISSN : 2302-3562
h a l | 158
Analisa Keberadaan Departemen Store Ramayana Dan Lamongan Plaza Terhadap Minat Belanja Masyarakat Lamongan Titin *) *)
Dosen Fakultas ekonomi prodi ekonomi manajemen universitas islam lamongan ABSTRAKSI
Semakin ketatnya persaingan bisnis dimasa sekarang baik perusahaan jasa maupun perusahaan social, setiap perusahaan dituntut untuk memiliki kelebihan yang dapat memikat hati pelangganya salah satunya dengan memberikan pelayanan prima. Menurut Tjiptono (2006), salah satu cara untuk merebut hati konsumen adalah dengan meningkatkan pelayanan kepada konsumen dengan sebaik-baiknya. Hal ini tidak terkecuali pada PT.RAMAYANA TBK.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh keberadaan departemen store Ramayana dan lamongan plaza terhadap minat belanja masyrakat lamongan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian eksplanatori (ekplanatory research), dengan pegambilan sampel menggunakan teknik Accidental sampling (berdasarkan kebetulan), jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 100 responden. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data skunder dengan teknik observasi, wawancara, dan angket.Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung lokasi (0.813), Produk (2.456), harga (5.033), promosi (0.871), suasana toko (3.604) dan pelayanan ritel (1.275). Variabel bebas produk, harga dan suasana toko yang mempunyai nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel (1,68) yang berarti bahwa variabel bebas produk, harga dan suasana toko mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap minat belanja. PENDAHULUAN Dalam era yang serba modern seperti saat ini, tingkat persaingan bisnis yang tinggi membuat perusahaan berlomba-lomba untuk mempertahankan,memenangkanpersaingan pasar serta memperluas keeksistensiannya. Industrisejenisakanselaluberusaha memperebutkan pasar yang sama. Imbas dari persaingan itu tentunya sangat jelas dimana konsumen kemudian menjadi semakin kritis memilih yang terbaik bag imereka. Maka dari itu pemasar perlu mengetahui dan mempelajari,serta karakter yang dimiliki konsumen Salah satu bidang usaha yang berkembang pesat saatini adalah retail.Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya usaha retail di Indonesia karena banyaknya permintaan masyarakat dan gaya hidup masyarakat yang semakin modern, yakni lebih menyenangi suasana kenyamanan berbelanja, kemudahan dalam menemukan produk, kepraktisan dengan harga terjangkau. Departemen Store Ramayana dan lamongan plaza merupakan suatu sarana berbelanja retail yang menawarkan berbagai jenis produk berbagai supplier untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.Oleh karena itu, peran bauran penjualan eceran menjadi semakin penting dan persaingannya pun semakin ketat. Pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang penting dijalankanoleh suatu perusahaan dalam usahanya untuk mengembangkan, mendapatkan keuntungan dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Pada suatu perusahaan, pemasaran adalah keseluruhan bisnis yang dilihat dari hasil akhirnya, yaitu dari sudut pelanggan. Keberhasilan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh produsen melainkan pula
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
ditentukan oleh pelanggan. Pemasaran juga merupakan suatu fungsi bisnis perusahaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi atau menganalisis kebutuhan dan keinginan konsumen, menetapkan pasar sasaran utama yang dapat melayani organisasi secara baik dan merancang produk atau jasa, serta program yang paling tepat yang akan digunakan untuk melayani pasar. Pengertian pemasaran menurut Djaslim Saladin (2007:1), adalah sebagai berikut : “Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, promosi, dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan”. Definisi lain yang dikemukakan oleh Philip Kotler dan Keller yang dialih bahasakan oleh Bob Sabran (2009:6), mendefinisikan pemasaran adalah sebagai berikut : “Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain”. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemasaran adalah suatu proses atau kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, promosi, serta memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan akan barang dan jasa, serta menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan melalui proses pertukaran dan mencapaipasar sasaran serta tujuan perusahaan.Sedangkan menurut Hurlock dalam Efnita (2005:17), minat adalahsuatu sumber
ISSN : 2302-3562
h a l | 159 motivasi yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan apayang diinginkannya.Pada dasarnya minat merupakan bentuk penerimaan akan suatuhubungan antara diri seseorang dengan sesuatu di luar dirinya, semakin kuat Atau dekat hubungan tersebut maka semakin besar minat. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa minat tidak dibawa dari lahir,melainkan diperoleh kemudian sebagai akibat rangsangan adanya suatu hal yang menarik.sedangkan minat beli adalah ketertarikan seseorang atau individu terhadap barang atau jasa dalam hal ini di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah:faktor mempengaruhi minat beli adalah variabel (lokasi (x1),produk (x2),harga (x3),promosi (x4), suasana toko (x5), pelayanan ritel (x6).dengan pertanyaan apa ada pengaruh secara parsial maupun simultan diantara 6 variabel tersebut dengan minat belanja masyrakat lamonagan? sedangkan variabel apa yang piling signifikan dalam mempengaruhi minat belanja masyarakat lamongan untuk menjawab pertanyaan di atas kita menggunakan metode analisis data yaitu uji realibilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsistensi apabila pengukuran pada gejala yang sama diulangi dua kali atau lebih. Dengan kata lain reabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan.Berikut ini adalah langkah-langkah untuk melakukan uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Crombach diproses dengan SPSS. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan eksplanatori dengan pendekatan kuantitatif. Adapun penelitian eksplanatori menurut Sugiyono (2006:10) adalah penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel yang mempengaruhi hipotesis. Pada penelitian ini minimal terdapat dua variabel yang dihubungkan dan penelitian ini berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala. Oleh karena itu dalam penelitian ini nantinya akan dijelaskan mengenai adanya hubungan interaktif atau timbal balik antara variabel yang akan diteliti dan sejauh mana hubungantersebut saling mempengaruhi.Alasan utama pemilihan jenis penelitian eksplanatori ini untuk menguji hipotesis yang diajukan agar dapat menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat baik secara parsial maupun simultan yang ada dalam hipotesis tersebut.Penelitianini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode yang digunakan adalah metode penelitian survai. Menurut Sugiyono (2006:7), penelitian survai adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut.Metode penelitian
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
survai bertujuan untuk memperoleh data atau faktafakta yang tidak dapat diamati, keterangan masa lalu yang belum dicatat maupun dari sikap responden. Menurut Sugiyono (2012:61), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Menurut Arikunto (2010:173) “Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian”. Berdasarkan pengertian populasi tersebut, populasi yang akan menjadi pengamatan dalam penelitian ini adalah minat belanja masyrakat lamongan. Sampel Menurut Arikunto (2010:174) “Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. Pendapat lain menurut Sugiyono (2012:62) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”.minimal jumlah sampel yang di gunakan 100 responden. Menurut Sugiyono (2012:137), jenis dan sumber data terbagi menjadi 2(dua) yaitu: Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data,dan sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data Data sekunder adalah merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data tersebut diperoleh”. Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang diperoleh melalui berbagai sumber, yaitu literatur, artikel, situs internet yang berkenaan dengan objek penelitianMenurut Arikunto (2010:172) Penelitian Lapangan (Field Research)Field research adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan peninjauan langsung ke objek penelitian, melalui: Wawancara adalah bentuk komunikasi secara lisan baik langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data primer melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan pewawancara kepada responden. Kuisioner adalah alat penelitian yang berupa daftar pertanyaan mengenai masalah yang akan diteliti untuk memperoleh data primer dari sejumlah responden. ObservasiYaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati langsung objek yang akan diteliti. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata mengenai store atmosphere yang dilakukan oleh perusahaan. Library research adalah alat penelitian untuk meneliti objek penelitian yang digunakan sebagai data sekunder melalui teori-teori yang sudah teruji kebenarannya, di mana data diperoleh melalui dokumen-dokumen,buku-buku atau tulisan
ISSN : 2302-3562
h a l | 160 ilmiah yang ada kaitan dengan teman penelitian penulis, dengan maksud untuk melengkapi data primer yang ada di lapangan.uji validitas Instrumen penelitian yang digunakan harus diuji validitasnya. Valid artinya dapat digunakan untuk mengukur apa yang harus sebenarnya diukur (Sugiyono 2010: 172). Analisis ini digunakan untuk mengetahui kuat atau lemahnya hubungan variabel bebas dengan variabel tidak bebas.Uji validitas merupakan sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya.Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. PEMBAHASAN Dari hasil jawaban responden dengan menggunakan berbagai teori di antaranya Variabel Lokasi (X1)jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan lokasi untuk soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat setuju 64 responden (64%), setuju 36 responden (36%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). dan dua menunjukkan jawaban sangat setuju 63 responden (c%), setuju 37 responden (37%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Variabel Produk (X2)Dari table diatas dapat kita ketahui bahwa jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan produk untuk soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat setuju 64 responden (64%), setuju 36 responden (36%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Sedangkan untuk soal nomor dua menunjukkan jawaban sangat setuju 53 responden (53%), setuju 47 responden (47%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Variabel Harga (X3) jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan harga untuk soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat setuju 58 responden (58%), setuju 42 responden (42%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Sedangkan untuk soal nomor dua menunjukkan jawaban sangat setuju 59 responden (59%), setuju 41 responden (41%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Variabel Promosi (X4) jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan promosi untuk soal nomor satu dan dua menunjukkan jawaban sangat setuju 52 responden (52%), setuju 48 responden (48%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Variabel Suasana Toko (X5) jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan suasana toko untuk soal nomor satu
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
menunjukkan jawaban sangat setuju 66 responden (66%), setuju 34 responden (34%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Sedangkan untuk soal nomor dua menunjukkan jawaban sangat setuju 59 responden (59%), setuju 38 responden (38%), cukup setuju 3 responden (3%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Pelayanan ritel (X6) jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan pelayanan ritel untuk soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat setuju 56 responden (56%), setuju 44 responden (44%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Sedangkan untuk soal nomor dua menunjukkan jawaban sangat setuju 51 responden (51%), setuju 49 responden (49%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan dengan minat belanja untuk soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat setuju 52 responden (52%), setuju 48 responden (48%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%) dan dua menunjukkan jawaban sangat setuju 51 responden (51%), setuju 49 responden (49%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0 responden (0%). Dalam menganalisa hasil penelitian digunakan pengujian statistic dengan menggunakan bantuan aplikasi SPSS versi 20 sehingga diperoleh hasil sebagai berikut: Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner.Uji signifikansi dilakukan dengan membandingkan nilai r dengan r hitung tabel atau dengan melihat nilai signifikasi tiap soal < 0,05. Adapun hasil perhitungan melaui IBM SPSS versi 20 terlihat pada tabel berikut ini : hasil uji validitas dapat diketahui bahwa untuk masing-masing soal pada tiap variabel bebas (lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko, dan pelayanan ritel) dan variable terikatnya (minat belanja) nilai Sig (2-tailed)< p=0.05, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini valid. Reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.Reliabilitas menunjuk tingkat keterandalan sesuatu.Reliabel artinya dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha (𝛼) > 0,60. Adapun hasil uji reliabilitas yang dilakukan terhadap instrumen penelitian ini dengan menggunakan bantuan aplikasi program IBM SPSS versi 20 dapat dijelaskan pada tabel berikut ini.semua variabel bebas (lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko, dan pelayanan ritel) dan
ISSN : 2302-3562
h a l | 161 variable terikat (minat belanja) nilai alpha-nya lebihbesar dari 0,6, sehingga dapat disimpulkan variable yang dipakai dapat dikatakan realibel. Analisa regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh masingmasing variabel harga, pelayanan terhadapminat belanja. Dalam regresi linear berganda dilakukan uji F dan uji t.Dengan berdasarkan hasil perhitungan regresi pada tabel di atas didapatkan suatu persamaan regresi sebagai berikut: Y= -1,120 + 0,059 X1 + 0,234 X2 + 0,451 X3 + 0,065 X4 + 0,242 X5 + 0,085 X6 + e Persamaan regresi dapat dijelaskan sebagai berikut: a = -1,120merupakan intersep (constan) yang berarti bahwa apabila variabel bebas dalam penelitian (lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko, dan pelayanan ritel) pengaruhnya = 0, maka hasil yang diperoleh dari minat belanjaadalah sebesar -1,120. b1= 0,059artinya untuk variabel lokasi koefisien regresi (bi) menunjukan nilai 0,059yang berarti apabila variabel lokasimengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja sebesar 0,059pada saat variabel bebas yang lain sama dengan nol. b2 =0,234artinya untuk variabel produk koefisien regresi (b2) menunjukan nilai 0,234yang berarti apabila variabel produk mengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja sebesar 0,234pada saat variabel bebas yang lain sama dengan nol. b3= 0,451artinya untuk variabel harga koefisien regresi (bi) menunjukan nilai 0,451yang berarti apabila variabel hargamengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja sebesar 0,451pada saat variabel bebas yang lain sama dengan nol. b4 =0,065artinya untuk variabel promosi koefisien regresi (b2) menunjukan nilai 0,065yang berarti apabila variabel promosi mengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja sebesar 0,065pada saat variabel bebas yang lain sama dengan nol. b5= 0,242artinya untuk variabel suasana toko koefisien regresi (bi) menunjukan nilai 0,242yang berarti apabila variabel suasana tokomengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja sebesar 0,242pada saat variabel bebas yang lain sama dengan nol. b6 =0,085artinya untuk variabel pelayanan ritel koefisien regresi (b2) menunjukan nilai 0,085yang berarti apabila variabel pelayanan ritel mengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja sebesar 0,085pada saat variabel bebas yang lain sama dengan nol. Dari hasil koefisien variabel-variabel bebas diatas bernilai positif. Hal ini berarti mempunyai arah perubahan yang searah dengan variabel terikat.Disamping itu koefisien variabel harga dengan koefisien regresi sebesar 0,484
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
mempunyai nilai terbesar dibandingkan dengan koefisien regresi variabel bebas lainnya.Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang pailng dominan mempengaruhi minat belanja adalah faktor harga. Untuk melihat seberapa jauh pengaruh parameter yang dihasilkan maka dilakukan pengujian statistik. Pengujian statistik dilakukan secarakeseluruhan (uji F) dan secara parsial (uji t). 2
diperoleh koefisien determinasi ( R ) 2
yaitu sebesar 0,554.Dari nilai R tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel bebas lokasi, produk,harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel secara bersama-sama telah mampu menjelaskan atau menerangkan keragaman dari variabel terikat yaitu minat belanja. Pengaruh variabel bebasbebas lokasi, produk,harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel terhadap minat belanja (Y) memberikan kontribusi sebesar 55,4%. Sedangkan sisanya sebesar 44,6% dijelaskan oleh variabel bebas yang lain yang tidak dimasukkanke dalam model persaial Uji t pada dasarnya menunjukkan apakah variabel bebas secara individu mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Adapun kriteria daerah penolakan dan penerimaan hipotesis adalah: H0 ditolak dan Ha diterima yaitu jika thitung > ttabel artinya variabel bebas secara parsial mempengaruhi variabel terikat. H0 diterima dan Ha ditolak yaitu jika thitung < ttabel artinya variabel bebas secara parsial tidak mempengaruhi variabel terikat. Dengan analisa sebagai berikut: Variabel Lokasi (X1) tidak berpengaruh Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (0.813) lebih kecil dari nilai t tabel (1,68) sehingga t hitung t tabel
maka H0 diterima dan Ha ditolak,
yang berarti variabel bebas secara parsial mempengaruhi variabel terikat yang artinya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan variabel lokasi ramaya departemen store dan plaza lamongan terhadap minat belanja masyarakat. Variabel Produk (X2) berpengaruh Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (2.456) lebih besar dari nilai t tabel (1,68) sehingga t hitung t tabel
maka H0 ditolak dan Ha diterima,
yang berarti variabel bebas secara parsial mempengaruhi variabel terikat. yang artinya bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel produk terhadap minat belanja. Variabel Harga (X3) paling dominan Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (5.033) lebih besar dari nilai t tabel (1,68) sehingga t hitung t tabel
maka H0 ditolak dan Ha diterima,
yang berarti variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.
secara parsial yang artinya
ISSN : 2302-3562
h a l | 162 bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel harga terhadap minat belanja. Variabel Promosi (X4) tidak berpengaruh Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (0.871) lebih kecil dari nilai t tabel (1,68) sehingga t hitung t tabel
maka H0 diterima dan Ha ditolak,
yang berarti variabel bebas secara parsial tidak mempengaruhi variabel terikat. yang artinya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan variabel promosi terhadap minat belanja. Variabel suasana toko (X5) berpengaruhDari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (3.604) lebih besar dari nilai t tabel (1,68) sehingga t hitung t tabel
maka H0 ditolak dan Haditerima,
yang berarti variabel bebas secara parsial mempengaruhi variabel terikat. yang artinya bahwaada pengaruh yang signifikan variabel suasana toko terhadap minat belanja Variabel pelayanan ritel (X6) tidak berpengaruhDari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (1.275) lebih kecil dari nilai t tabel (1,68) sehingga t hitung t tabel
maka H0 diterima dan Ha ditolak,
yang berarti variabel bebas secara parsial tidak mempengaruhi variabel terikat. yang artinya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan variabel pelayanan ritel terhadap minat belanja sehingga dapat dilihat dibawah ini. Ujisimultandigunakan untuk mengetahui apakah variable bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tiddak nyata terhadap variable terikat. Jika H0 ditolak dan Ha diterima yaitu Fhitung > Ftabel berarti variable bebas (X1,X2) secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (Y). Jika H0 diterima dan Ha ditolak yaitu Fhitung < Ftabel berarti variable bebas (X1,X2) secara simultan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
terikat
19.225sedangkan F hitung > F tabel
(Y)diperoleh F tabel
maka H
F hitung sebesar
sebesar 2,39. Karena o
ditolak dan Ha diterima
artinya bahwa variabel bebas (lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel) secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap minat belanja. Sehingga dapat di lihat pada kurva di bawah ini; Uji F untuk mengetahui apakah semua variabel independen mampu menjelaskan variabel dependennya, maka dilakukan uji hipotesis secara bersama-sama (simultan )terhadapvariable independen (ghozali,2005:84). Berdasarkan analisa diatas dapat diintrepetasikan sebagai berikut: Dari uji validitas dapat diketahui bahwa untuk masing-masing soal pada tiap indikator variabel bebas dan terikat nilai Sig (2-tailed) < p=0.05, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini valid.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
KESIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Hasil penelitian ini Dari uji realibilitas, nilai alpha semua variabel bebasnya yaitu harga, pelayanan dan minat belanja lebih besar dari 0,6 dengan tingkat signifikasi α = 5 % sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen dalam variabel bebas dan terikatnya realibel. Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung lokasi (0.813), Produk (2.456), harga (5.033), promosi (0.871), suasana toko (3.604) dan pelayanan ritel (1.275). Variabel bebas produk, harga dan suasana toko yang mempunyai nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel (1,68) yang berarti bahwa variabel bebas produk, harga dan suasana toko mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap minat belanja. Sedangkan untuk persamaan regresinya diperoleh: Y= -1,120 + 0,059 X1 + 0,234 X2 + 0,451 X3 + 0,065 X4 + 0,242 X5 + 0,085 X6 + e. Dengan melihat koefisien regresi masingmasing variabel bebasnya pada persamaan regresi dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang pailng dominan mempengaruhi minat belanja adalah faktor harga. Dari tabel Anova diperoleh F hitung sebesar 19,225 sedangkan F tabel F hitung > F tabel
maka H
sebesar 2,39. Karena o
ditolakdan Ha diterima
artinya bahwa variabel bebas (lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel) secara bersama-sama mempunyaipengaruh yang signifikan terhadap minat belanja Dari uji koefisien determinasi didapatkan kesimpulanpengaruh variabel bebasbebas lokasi, produk,harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel terhadap minat belanja (Y) memberikan kontribusi sebesar 54,4%. Sedangkan sisanya sebesar 45,6% dijelaskan oleh variabel bebas yang lain yang tidak dimasukkanke dalam model persamaan. Berdasarkan hasil analisis dan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung lokasi (0.813), Produk (2.456), harga (5.033), promosi (0.871), suasana toko (3.604) dan pelayanan ritel (1.275). Variabel bebas produk, harga dan suasana toko yang mempunyai nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel (1,68) yang berarti bahwa variabel bebas produk, harga dan suasana toko mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap minat belanja. 1. Dari
tabel
Anova
diperoleh F hitung sebesar
19,225 sedangkan F tabel
sebesar 2,39. Karena
F hitung > F tabel
maka H
o
ditolak dan
Ha
diterima
artinya bahwa variabel bebas (lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel)
ISSN : 2302-3562
h a l | 163 secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap minat belanja Y= -1,120 + 0,059 X1 + 0,234 X2 + 0,451 X3 + 0,065 X4 + 0,242 X5 + 0,085 X6 + e. Dengan melihat koefisien regresi masing-masing variabel bebasnya pada persamaan regresi dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang pailng dominan mempengaruhi minat belanja adalah faktor harga. SARAN Keberadaan departemen store Ramayana di lamongan sebaiknya kita manfaatkan sebagai fasilitas tempat pembelanjaan yang baik,dari berbagai factor yang mempengaruhi minat belanja saya mempunyai saran hendaknya Ramayana lebih efisien dalan menentukan kebijakan harga. DAFTAR PUSTAKA Philip Kotler, 2002, Manajemen Pemasaran, Edisi Milinnium, Prenhallindo, Jakarta.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
Tjiptono, 2002, Strategi Pemasaran, Jogjakarta, Andi Offset Nazir, 2003, Metodelogi Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia Suharsimi arikunto, 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi, P.Rineka, Jakarta Kotler,philip dan G. Amstrong, 2006, Prinsipprinsip pemasaran, Edisi Kedua Belas, Jakarta : Erlangga Tjiptono,2004, Kualitas Layanan, Jogjakarta, Andi Offset Sutrisno Hadi,2000, Analisis Regresi, Andi Yogjakarta. Kotler, philip,2007, Manajemen Pemasaran, Edisi Millenium jilid I, II, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Soejono, 2005, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta : Rineka Cipta Singarimbun, 1995, Metodelogi Penelitian Survai, Jakarta LP3S
ISSN : 2302-3562
h a l | 164
Motivasi Berprestasi Dan Kinerja Guru Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah HM. Tsalits Fahami *) Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan Abstraks: This study is to explain the function of achievement motivation of teachers to improve the quality of education and its relationship with the performance of the teacher in the learning process, futhermore to get the affects the quality of student learning outcomes in schools. Achievement motivation is influenced by the personality of teachers and environmental conditions, on the other hand of the policies adopted by educational decision makers. School institution have the authority to the policies related to teachers' motivation and performance. The school leadership, encourage and motivate the teachers to improved performance and achievements of teachers in improving the quality of education in schools. Keyword : Motivasi, Kinerja Guru, Mutu Pendidikan.
A.
Pendahuluan Berbagai persoalan sekolah memerlukan pendekatan strategis untuk diurai dan didaya gunakan sehingga memunculkan sebuah lembaga pendidikan yang mampu menghantarkan peserta didiknya menuju keberhasilan yang dicita-citakan. Berbagai persoalan sekolah menghadang untuk menjadi sekolah yang mampu berkembang dan memiliki prestasi membanggakan sesuai dengan harapan para orang tua ataupun stakeholder melalui prestasi yang dihasilkan oleh siswa. Tantangan yang dihadapi sekolah datang dari dalam sekolah itu sendiri dan juga datang dari luar sekolah yang secara bersamaan mempengaruhi kelangsungan hidup sekolah baik sebagai energi pendorong atau sebagai penghambat perkembagangan sekolah. Salah satu tantangan lembaga sekolah yang dominan adalah sumberdaya manusia terutama tenaga pendidik atau guru. Upaya pengembangan guru menjadi program strategis sekolah bilamana sekolah menginginkan peningkatan mutu pendidikannya. Permasalahan guru juga memiliki kompleksitas tersendiri, oleh karenanya kajian ini akan menfokuskan pada persoalan motivasi berprestasi guru hubungannya dengan kinerja guru yang akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Motivasi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keefektifan kerja, ia juga sebagai tenaga pendorong guru dalam menggerakan tingkah laku kearah tujuan yang hendak dicapai. Motivasi dapat dekati dalam pandangan dua katagori, Motivasi ekstrinsik yang merupakan motivasi yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dari luar dan motivasi intrinsik yang ditentukan oleh pengaruh dari dalam diri sendiri. Guru yang mempunyai motivasi ekstrinsik akan melaksanakan tugas dengan giat dan semangat untuk meraih kegembiraan ketika siswanya sukses, giat bertugas karena adanya jaminan kesejahteraan, lingkungan yang kondusif, dan penghargaan dari pimpinan. Motivasi instrinsik
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
guru membawa guru pada semangat bekerja karena dorongan pengabdian yang ada pada diri guru sehingga mendapatkan kepuasan atas usahanya serta memandang bahwa tugas yang dilakukan didorong dan akan bermanfaat bagi dirinya. Motivasi ekstrinsik dan motivasi instrinsik sebagai dua kesatuan, keduanya adalah kontekstual dan dapat berubah setiap saat. Guru yang memiliki dan mampu mendaya gunakan faktor pendorong dalam berkarya menjadi giat bekerja dan haus akan prestasi, selanjutnya menjadi motivasi berprestasi yang mempengarui kinerja guru. Motiasi guru dipengaruhi oleh sebab dari pengaruh diri sendiri yaitu kemampuan abstraksi dan komitmen guru, abstraksi guru meliputi; kemampuan keilmuan, kemampuan paedagogis untuk membuat persiapan mengajar, membuat bahan ajar, RPP, penggunaan media pembelajaran, pengelolaan kelas. Sedangkan tingkat komitmen guru adalah kedewasaan dan kepribadian adiluhung guru. Pengaruh lingkungan memberikan sumbangsih terhadap motivasi guru juga dominan, antara lain; kepemimpinan sekolah, budaya dan iklim sekolah serta reward yang diberikan oleh lembaga sekolah. Mutu pendidikan di sekolah akan ditentukan selanjutnya oleh pengaruh motivasi berprestasi dan kinerja guru, oleh karenanya muara kajian ini ada pada capaian yang dapat diperoleh oleh sekolah setelah adanya motivasi berprestasi dan kinerja guru. B.
Teori Motivasi Motivasi merupakan kekuatan dalam diri seseorang yang menggerakkan tingkah laku, menuntun upaya pada tujuan, dan tata cara menghadapi tantangan. Motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu guna memenuhi dan memuaskan kebutuhan pribadi. (Robbin, 2001) Motivasi merupakan energi yang ada dalam diri seseorang untuk berupaya kearah
ISSN : 2302-3562
h a l | 164 tujuan guna memenuhi kebutuhan individual. Dalam hal tahapan untuk melakukan sesuatu (Maslow, 1970) memberikan pengertian bahwa motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan selangkah demi se langkah dimulai dari tingkatan yang paling rendah. Dalam pandangan psikologis (Owens, 1995) Motivasi merupakan kondisi kejiawaan seseorang yang mampu memberikan dorongan untuk berbuat suatu tindakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi ini berpungsi untuk meberikan tenaga dan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu, memberikan arah dan mengatur prilaku, serta menetukan tingkah laku. Menurut (Amstrong, 1988) Motivasi merupakan sesuatu yang membuat orang bertindak atau berprilaku dalam cara-cara tertentu. Motivasi sebagai sesuatu yang menggerakkan orang untuk mencapai rasa memiliki tujuan bersama dengan memastikan bahwa sejauh mungkin keinginan dan kebutuhan organisasi serta keinginan dan kebutuhan anggotanya berada dalam keadaan harmonis dan seimbang. Ada empat rincian tahapan motivasi berpretasi, a) mengenal kebutuhan, b) menentukan sasaran untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, c)melakukan tindakan untuk mncapai sasaran, d) menimbulkan keinginan atau motivasi yang dalam diri untuk memenuhi kebutuhan. Berhubungan dengan motivasi berprestasi (Mc Clleland, 1986) memberikan pendapatnya, motivasi adalah unsur penentu untuk mempengaruhi perilaku yang terdapat dalam setiap individu. Salah satu determinan perilaku dalah motivasi yang mempengaruhi unjuk kerja seseorang. Motivasi berprestasi seseorang adalah dorongan untuk mencapai keberhasilan, memenuhi kebutuhannya, dan memperoleh penghargaan atas apa yang telah dicapai. Dorongan keberhasilan inilah yang disebut sebagi kebutuhan berprestasi. Oleh karena itu, berdasarkan teori-teori dan pendapat para ahli yang telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa Motivasi berprestasi adalah dorongan atau hasrat untuk meraih keberhasilan atau untuk mengerjakan sesuatu lebih baik dan keinginan untuk terhindar dari kegagalan. Mc. Clelland mengelompokan 3 kebutuhan manusia yang dapat memotivasi gairah bekerja seseorang, yaitu : Kebutuhan akan Prestasi (Need for Achievment), Kebutuhan akan Afiliasi (Need for Affiliation), dan Kebutuhan akan Kekuasaan (Need for Power). Teori Existence, Relatedness, and Growth dari Alderfer, memberikan penyempurnaan dari teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Bahwa ada 3 kelompok kebutuhan yang utama, yaitu : 1) Kebutuhan akan Keberadaan (Existence Needs), eksistensi ini berhubungan dengan
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
kebutuhan dasar yang didalamnya ada Physiological Needs dan Safety Needs sebagaimana yang dikemukanan dalam teori Maslow. 2) Kebutuhan akan Afiliasi (Relatedness Needs), kebutuhan ini menekankan akan pentingnya hubungan antar individu (interpersonal relationship) dan bermasyarakat (social relationship). Dan 3) Kebutuhan akan Kemajuan (Growth Needs), dimana keinginan atau motif intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau meningkatkan kemampuan pribadinya. Beberapa teori tentang motivasi kerja memberikan jawaban dan penjelasan terhadap permaslahan mengapa guru berperilaku dalam organisasi. teori kandungan motivasi kerja berfokus pada apakah yang memotivasi guru. Teori proses berfokus kepada menjelaskan mengapa pekerja termotivasi untuk mencapai hal berbeda dan untuk memahami bagaimana pekerja memutuskan mana perilaku yang akan dilakukan, berapa banyak usaha diberikan, dan seberapa teguh saat berhadapan dengan kesulitan (George & Jones, 1996). Beberapa kajian teori diatas utamanya berfokus kepada empat teori yang menjelaskan hubungan tentang motivasi dan prestasi kerja: Teori kebutuhan, sebuah teori kandungan yang berfokus kepada pernyataan bahwa kebutuhan yang memotivasi pekerja untuk memenuhi pekerjaannya menggunakan teori kebutuhan Maslow Teori harapan, sebuah teori proses yang menjelaskan bagaimana pekerja membuat pilih di antara perilaku alternatif dan level usaha Teori ekuitas, teori proses yang didasarkan pada ide bahwa ketika pekerja memutuskan apa perilaku yang dilakukan, tingkat usaha, dan level keteguhan untuk melakukan pekerjaannya, mereka dimotivasi oleh keinginan mendapatkan ekuitas atau keadilan. Teori keadilan prosedural, sebuah teori proses yang menyampaikan bahwa motivasi dipengaruhi oleh seberapa besar pekerja merasa proses pengambilan keputusan organisasi adil dan wajar. Teori-teori Motivasi kerja tersebut diatas menjadi urgen untuk difahami dan diaplikasikan oleh pimpinan sekolah sehingga dapat menggerakkan komponen sumberdaya manusia sekolah utamanya guru dalam meningkatkan motivasi berprestasi dan kinerja guru. C. Motivasi Berprestasi Motivasi berprestasi adalah keinginan individu untuk mencapai prestasi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Motivasi berprestasi merupakan keinginan sesorang untuk meraih kesuksesan, untuk melibatkan diri dalam tugas, dengan keinginan seserang untuk berhasil dalam menjalankan tugas yang sulit (chalphin, 1979 dan salvin, 1994). Individu dengan Motivasi berprestasi
ISSN : 2302-3562
h a l | 165 yang tinggi dapat diketahui melalui karakteristik sebagai berikut : 1) senang bekerja keras untuk mencapai keberhasilan, 2) menyukai situasi yang dapat menilai sendiri kemajuan dan keberhasilan, 3) senang melakukan control pribadi atas pelaksanaan tugasnya, 4) cenderung bertindak atau menetapkan pilihan yang realitas, 5) memiliki persfektif waktu yang jauh kedepan. Motivasi beprestasi guru adalah suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan guru agar prilaku mereka dapat diarahkan pada upaya-upaya nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sehingga akan memunculkan dorongan dari dalam diri dan dari luar diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan hasil yang maksimal, yang mencakup dimensi doronngan internal dan dimensi dorongan external. Dalam meraih keberhasilan dan mengantisipasi kegagalan, (Owens, 1995) mengemukakan bahwa setiap individu digerakkan 2 karakteristik yang dapat dipelajari yaitu, 1) Keinginan atau hasrat untuk meraih keberhasilan, dan 2) keinginan untuk menghindari kegagalan. Dua karakter yang merupakan dua sifat Motivasi ini berbeda pada sesorang dengan yanga lain. Sebagian orang memiliki keinginan keberhasilan tinggi dan keinginan menghindari kegagalan rendah ,sementara sebagaian orang memiliki keinginan untuk menghindar dari kegagalan tinggi, sedangkan keinginan untuk keberhasilan rendah. Motivai berprestasi merupakan hal yang komplek, karena Motivasi itu melibatkan falktorfaktor individual dan factor-facktor organisasional. Yang termasuk factor individual antara lain kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals) sikap (attitude), dan kemampuan (ability). Sedangkan factor-faktor organisasioanal abatara lain pembayaran, atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama pekerja (coworker), pengawasan (supervision) pujian(praise), dan pekerjaan itu sendiri (job it self) (chung & Meginson, 1981) Secara umum Motivasi berprestasi timbul diakibatkan dua faktor, yaitu faktor internal yang timbul dari dalam diri sendiri atau instrinsik dan factor ekternal, yang berada diluar individu yang disebut factor ekstrinsik. Factor yang berasal dari dalam diri sendiri menyangkut kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau kemasa depan. Sedangkan factor diluar diri dapat ditimbul;kan oleh berbagai sumber, diantaranya karena pengaruh pimpinan, kolega, budaya, dan iklim organisasi, kebutuhan akan keperluan diri dan tugasnya. Motivasi berprestasi dalam lingkup organisasi, (Mc Clleland, 1986) mengemukakan bahwa Motivasi untuk berprestasi meliputi : 1) Kebutuhan akan prestasi (need for achivement), yaitu dorongan untuk mengungguli, mencapai standar yang telah ditetapkan, berjuang untuk
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
keberhasilan, dan 2) kebutuhan akan kekuatan (need for fower), yaitu kebutuhan untuk membuat orang lain berprilaku seperti yang diinginkan olehnya, serta 3) kebutuhan akan afiliasi (need for Avilation), yaitu keinginan untuk bersahabat dan menjalin hubungan yang baik dan personal. D.
Kinerja Guru Istilah kinerja berkaitan dengan perilaku individu dalam melaksanakan pekerjaan. Upaya untuk memperoleh kinerja yang baik diperlukan suatu proses dan pengelolaan yang berkesinambungan agar diperoleh hasil yang diinginkan. (Baird, 1986), bahwa "Performance is a working with people to accomplish desires results". Sedangkan Menurut (Webster, 1980), "Performance is the ability to perform; capacity to achieve desired resulf'. Dan "is output derived from processes, human or otherwise” - Ini berarti bahwa kinerja adalah kemampuan dan ketrampilan yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan atau merupakan hasil pelaksanaan dari ruatu proses kerja seseorang. Kinerja adalah suatu aktivitas yang berhubungan dengan aspek perilaku (kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan), aspek hasil dan aspek keefektifan organisasi (langkahlangkah dalam mempertimbangkan pelaksanaan kerja dan hasil kerja). Kinerja adalah kuantitas dan kualitas kontribusi tugas individu atau kelompok melaksanakan pekerjaan. Penekanan dalam pengertian ini adalah pada kualitas dan kuantitas kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja dengan kuantitas dan kualitas kerja seseorang sesuai dengan kemampuannya dalam mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilanya dalam melaksanakan tugas sehingga memperoleh hasil yang nyata. Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalarn melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tinggi kinerja pekerja berkaitan dengan sistim penghargaan yang diberikan oleh organisasi tempat seseorang bekerja. Penghargaany ang diberikan kepada pekerja atau pegawai, bila tidak tepat, akan berpengaruh pada kinerjanya. Kinerja dipengaruhi oleh beberapa fackor dari (Yamin, M dan Masiah, 2010), yaitu: 1) factor personal/individu 2) faktor kepemimpinan/manajer, 3) faktor tim, berupa dukungan dan semangat dari rekan satu tim 4) faktor sistem, dan 5) factor kontektual/situsional Kinerja merupakan perpaduan motivasi dan kemampuan (Suryadi Prawirosentono 1999) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi dalam rangka upaya mencapai tujuan secara legal. Kinerja dipandang sebagai hasil
ISSN : 2302-3562
h a l | 166 perkalian antara kemampuan dan motivasi. Kemampuan menujuk pada kecakapan seseorang dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu, dan motivasi merupakan keinginan (desire) individu untuk menunjukkan perilaku dan kesediaan berusaha. Kinerja guru akan berdampak pada kualitas hasil pendidikan. Sedangkan kebijakan dalam pendidikan yang diambil oleh penentu kebijakan juga akan berdampak pada kinerja guru. Sebagai contoh, adanya pergantian sistim kurikulum yang terlalu sering juga akan mempengaruhi guru secara psikologis. Guru dengan kemampuan yang terbatas akan merasakan kesulitan penyesuaian diri terhadap kebijakan pergantian kurikulum yang terlalu sering. Terdapat 5 komponen kinerja guru, meliputi ; pengajaran (instruction), penilaian (assessment), lingkungan pembelajaran (learning environtment), komunikasi (communication/community relations), dan profesionalisme (Profesionalism). Pengukuran untuk kinerja guru didasarkan atas standar kinerja (Performance standsrds), yang selanjutnya diuraikan dalam indicator kinerja (Performance indicators) yang mencakup 5 domain kinerja guru tersebut diatas. Harus diakui bahwa guru merupakan faktor utama dalam proses pembelajaran,. Meskipun fasilitas pembelajarannya lengkap dan canggih,namun bila tidak ditunjang oleh keberadaan guru yang berkualitas, maka mustahil akan menimbulkan proses belajar dan pembelajaran yang maksimal. (Davis dan Thomas 1989), ciri-ciri guru yang efektif antara lain memiliki kemampuan yang berkaitan dengan iklim belajr di kelag memiliki kemampuan yang berkaitan dengan strategi manajemen pembelajaran, memiliki kemampuan yang berkaitan dengan pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement), dan memliki kemampuan yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan diri. Kinerja guru dalam pembelajaran dapat dilihat dari seorang guru mulai dari merencanakan program pembelajaran, persiapan mengajar, pelaksanaan pembelajaran, pengelolaan kelas, penciptaan situasi belajar yang kondusif, pembimbingan terhadap peserta didik, melaksanakan evaluasi belajar, diskusi dengan kolega, dan pengembanganp rofesi melalui pelatihan dan karya-karya ilmiah. Dalam tugas pembelajaran, guru juga mempertimbangkan tentang metodologi yang akan digunakan, alat media pendidikan yang akan dipakai, dan alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi. E. Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Sekolah maju atau juga disebut sekolah berprestasi, (Arifin, 2008) sering diasumsikan masyarakat di Indonesia sebagai sekolah atau
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
madrasah favorit ditengah-tengah masyarakat. Eksistensi sekolah favorit diidentikkan pula dengan sekolah unggul, sekolah mahal atau sekolah mewah. (Sergiovani, dalam Arifin 2008) menetapkan criteria sekolah maju dengan pendekatan tujuan dan pendekatan proses. Oleh karenanya tolok ukur keefektifan sekolah salah satunya dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa melalui motivasi berprestasi dan kinerja guru. Guru yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan perfomansi yang ditopak oleh kompetensi professional akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah. (Mantja, 2010) Dalam pandangan profesionalisme kerja, guru bertanggungjawab secara profesional untuk terus menerus meningkatkan kompetensinya. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat dilihat dari kinerja guru dan prestasi yang dicapai oleh peserta didik. Kinerja guru dapat tergambar dalam performant guru yang bisa berwujud Prestasi kerja guru, dimana stakeholder sekolah akan mudah menilai sebagai sebuah tampilan aktivitas guru atau kemampuan profesionalnya sesuai dengan standar kerja yang telah ditetapkan dalam tujuan organisasi sekolah dalam waktu tertentu. Tampilan aktifitas guru tersebut dapat berupa : 1. menguasai landasan pendidikan 2. menguasai bahan pengajaran 3. menyusun program pengajaran 4. menyajikan program pengajaran 5. mengevaluasi belajar 6. menganalisis hasil belajar 7. menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan Kinerja guru yang efektif - konstruktif, dengan gaya kerja yang kreatif, inovatif, penuh dedikasi dan bersumber dari motivasi berprestasi yang positif. Guru yang professional dituntut mampu menampilkan kinerja yang konstruktif dalam mengajar, yang akan berdampak positifterhadap prestasi belajar siswa. Kinerja guru yang baik akan menghasilkan kualitas mengajar yang tinggi. Richey (1973), menjelaskan bahwa ada lima hal pokok yang dapat dijadikan tolok ukur terhadap kualitas mengajar yang tinggi. 1. Bekerja dengan siswa secara individu, meliputi pemberian tugas secara individual, memeriksa pekerjaan siswa dan segera mengembalikan hasilnya, sering melakukan percakapan guru-siswa untuk memberikan Motivasi kepada sisuwa dan menciptakan hubungan yang akrab antara guru dan siswa. 2. Perencanaan dan persiapan mengajar yang meliputi pembuatan rencana dan strategi pembelajaran, mengadakan praktik lapangan, pengetahuan guru sebagai sumber
ISSN : 2302-3562
h a l | 167 dan ditambah dengan buku- buku,dan selalu menyajikan materi pelajaran yang esensial. 3. Penggunaana lat bantu mengajar,y ang meliputi pemanfaatan buku sumber belajar, pemberian tugas dan ketrampilan yang berhubungan dengan alat-alat praktik, dan pemberian tugas yang berkaitan dengan perpustakaan. 4. Mengikutsertakan siswa dalam berbagai pengalaman belajar, yang meliputi pelibatan siswa dalam perencanaan pembelajaran, pemberian tanggungiawab siswa terhadap tugas-tugasnya, memberi Motivasi belajar kepada siswa, dan penyajian bermacammacam pengalaman belajar oleh guru. 5. Kepemimpinan guru, meliputi membantu siswa dalam memecahkan masalah, memberi kesempatan kepada siswa untuk menjadi pemimpin, memberi kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapatnya dan mendayagunakan permainan untuk media belajar. Guru-guru yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi memiliki potensi dan keunggulan berupa kinerja yang baik, usaha-usaha dan pekerjaan yang mereka lakukan dapat disumbangkan sepenuhnya untuk kemajuan sekolah. Namun, apabila tidak dikelola dengan baik, tentu dapat menjadi masalah bagi sekolah. Bahwa guru yang memiliki dorongan untuk keberhasilan yang kuat, memiliki konstribusi yang besar terhadap keefektifan sekolah. Guru-guru pada sekolah tersebut menunjukkan prilaku professional yang dapat diimplementasikan berdasarkan kemandirian yang dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugas pembelajaran di kelas. Guru juga tertantang untuk dapat menyesuaikan dengan tantangan baru, dan menerapkannya dalam tugas lain dari kegiatatan pembelajaran di kelas. Untuk memahami apakah guru sudah termotivasi untuk berprestasi dapat dilihat melalui perfomansi yang dimiliki : 1. 2.
3.
4. 5. 6.
Hasrat untuk mengerjakan sesuatu lebih baik. Usaha untuk mendapakan tanggungjawab dalam pemecahan masalah. Usaha untuk memperoleh umpan balik atas apa yang telah dikerjakan untuk perbaikan kemudian. Tujuan yang menantang. Sikap tidak menyukai keberhasilan yang diperoleh secara kebetulan. Sikap lebih menyukai pekerjaan yang memerlkan keterampilan yang dimiliki.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
7.
Kepuasan dari prestasi dan apa ayang diuasakan. Selanjutnya mutu pendidikan di sekolah yang baik memerlukan evaluasi dan penilaian kinerja. Keberhasilan pembelajaran di sekolah perlu dilakukan penilaian kinerja, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perbaikan pelaksanaan pekerjaan Penyusunan kompensasi Keputusan penempatan Kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan karir Kekurangan dalam proses penyusunan tenaga kerja Ketidaktelitian informasi Kesalahan rencana jabatan Kesempatan kerja yang sama Tantangan ekstrim
E.
Kesimpulan Guru professional memiliki komitmen untuk belajar secara terus menerus, motivasi yang melandasi kinerja guru akan berdampak pada meningkatnya mutu pendidikan di sekolah. Secara sistematis dapat digambarkan bahwa dorongan dari dalam diri guru berupa motivasi berprestasi bersemai dengan ketersediaan kondisi dan lingkungan yang dinamis, merangsang untuk maju, dan harmonis akan menghasilkan kinerja guru yang performansinya terarah dan terukur. Motivasi berprestasi dan kinerja guru dimaksud tidak muncul secara kebetulan, melainkan perlu dikondisikan sedemikian rupa oleh kepemimpinan sekolah. Mutu pendidikan di sekolah merupakan tanggungjawab bersama antara guru dan pimpinan sekolah. Guna kepentingan mengembangkan sekolah menjadi sekolah unggul, maka guru dan pimpinan sekolah mesti berpadu dalam merawat motivasi berprestasi dan kinerja guru untuk selalu progresif dan siap menghadapi tantangan dunia pendidikan yang menghadang. Dengan demikian upaya untuk menciptakan hari ini lebih baik dari kemaren melalui terciptakanya penningkatan mutu pendidikan di sekolah akan semakin terasa indah dan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional secara nyata dan merata.
ISSN : 2302-3562
h a l | 168 DAFTAR RUJUKAN Amstrong, M. 1998. Manajemen sumber daya Manusia. Alih Bahasa : hadyana Pujaatmaja. Jakarta:PT Elex Media Komputindo Arifin, Imron. 2008. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Sekolah Berprestasi. Yogjakarta: Aditya Media. Bafadal, Ibrahim. 2009. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Baird, L. 1986. Managemen Performance. Toronto: John Wiley and Sons, inc Davis, G.A & Thomas, M.A. 1989. Effectifve school and effective Teachers. Boston, MA: Allyn and Bacon George & Jones. 1996. Organizational Behavior. USA, wisely publishing company, inc Mc Clelland D.C. 1986. How Motive, skill, and Values Determine what people Do. New York: American Psychologist
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
Mantja,
W. 2010. Profesionalisasi tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pendidikan. Malang: Elang Mas. Owens, RG, 1995. Organizational Behavior in educational, Boston: Allyn and Bacon, Inc Richey, R 1973. Planning for teaching. New York : logman. Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior : 9th Edition. New Yersey : Prentice Hall Sergiovani, T. J. & Starrat, 1983, The supervision: Human Perfective (3rd). New York: McGraw-Hill Book Co Soetopo, Hendyat. 2010. Prilaku organisasi: teori dan Praktek dalam Bidang Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Suryadi Prawirosentono, 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan , Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas. Yogyakarta:BPFE Yamin, M dan Masiah, 2010. Standarisasi Kinerja Guru. Jakarta: Gaung Persada GP Pres
ISSN : 2302-3562
h a l | 164
Pengaruh Pendidikan, Pengalaman dan Independensi Terhadap Kinerja Auditor Dengan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Noer Rafikah Zulyanti *) Universitas I slam Lamongan
ABSTRAKSI Pengawasan yang dilakukan Auditor Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan efisiensi nasional, sehingga auditor pemerintah harus menjaga dan meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pendidikan, pengalaman dan Independensi terhadap Kinerja Auditor dengan motivasi sebagai variable intervening. Penelitian ini menggunakan adalah metode pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan terhadap Motivasi Auditor ditunjukan, tidak terdapat pengaruh signifikan antara Independensi dan Pengalaman terhadap Motivasi Auditor, tidak terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan dan Pengalaman terhadap Kinerja Auditor, terdapat pengaruh signifikan antara Independensi dan motivasi terhadap Kinerja. Tidak terdapat pengaruh signifikan Pendidikan dan Pengalaman terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi dan terdapat pengaruh signifikan antara Independensi terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi secara tidak langsung. Kata Kunci: Pendidikan, Pengalaman, Independensi, Motivasi, Kinerja Auditor LATAR BELAKANG Terdapat tiga aspek yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak di luar eksekutif, yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan (Efendy, 2010). Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin bahwa sistem dan kebijakan manajemen dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Sedangkan pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Secara garis besar di Indonesia yang melaksanakan fungsi pemeriksaan dipisahkan menjadi dua bagian yaitu auditor eksternal dan auditor internal. Auditor eksternal pemerintah diimplementasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan Auditor internal pemerintah diimplementasikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) INSPEKTORAT dan badan pengawas internal di setiap departemen yaitu Inspektorat Jendral (IRJEN). Salah satu unit yang melakukan audit/pemeriksaan terhadap pemerintah daerah adalah Inspektorat Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota). Pengawasan yang dilakukan oleh auditor pemerintah memiliki peran yang sangat penting
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
dalam menciptakan efisiensi nasional, sehingga auditor pemerintah harus menjaga dan meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi adalah pendidikan di bidang akuntansi, karena dengan pendidikan di bidang akuntansi maka seorang auditor dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang erat kaitannya dalam melaksanakan tugas audit. Untuk membuktikan keahlian atau profesionalisme seorang auditor harus memiliki pengalaman dalam praktek audit.. Independensi adalah sikap mental dimana auditor tidak memihak terhadap kepentingan pihak manapun, Dalam Efendy (2010) menyatakan bahwa kerjasama dengan obyek pemeriksaan yang terlalu lama dan berulang bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki oleh auditor. Motivasi dibedakan menjadi dua bagian yakni motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun materi sehingga dapat dikatakan orang tersebut sedang melakukan hobynya. Motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi. Kinerja audit pemerintahan merupakan salah satu elemen penting dalam rangka penegakan good government.
ISSN : 2302-3562
h a l | 164 Inspektorat Kabupaten Lamongan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 04 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Lamongan dan mempunyai tugas pokok yaitu “ Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan didaerah, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan dan pelaksanaan urusan Pemerintahan Desa“. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif karena data yang disajikan berhubungan dengan angka dan menggunakan analisis statistik. Penelitian ini berupa studi kasus yang bertujuan untuk mencari pengaruh antara variabel bebas yaitu Pendidikan (X1), Pengalaman (X2), dan Independensi (X3) terhadap variabel terikat yaitu Kinerja Auditor (Y) pada Inspektorat Kabupaten Lamongan dengan variabel intervening Motivasi (M). Populasi penelitian adalah staf Inspektorat Kabupaten Lamongan yang berjumlah 34 (tiga puluh empat) orang dijadikan sampel. Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode survey (survey method), yaitu pengumpulan data primer yang diperoleh secara langsung dari sumber asli dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan (kuesioner) secara personal yang akan diisi atau dijawab oleh responden. HASIL Inspektorat Kabupaten Lamongan merupakan salah satu Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) yang ada pada Pemerintah Kabupaten Lamongan dimana Inspektorat Kabupaten Lamongan memiliki tugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pemerintahan Desa. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu dari Kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Timur dengan nilai Belanja yang cukup besar. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa dari 35 (tiga puluh lima) orang responden sebanyak 21 (dua puluh satu) orang laki-laki sedangkan sisanya sebanyak 14 (empat belas) orang adalah perempuan. Mayoritas usia responden adalah 3140 tahun yakni 16 (enam belas) orang sedangkan sisanya 5 (lima) orang usia 20-30 tahun, 9 (sembilan) orang usia 41-50 tahun sedangkan 5 (lima) orang sisanya berusia diatas 50 tahun. Karakteristik Responden Berdasarkan tingkat Pendidikan SMA sebanyak 7 (tujuh) orang, Diploma III 1 (satu) orang, Sarjana (S1) sebanyak 17 (tujuh belas) orangdan Magister (S2) sebanyak 10 (sepuluh) orang responden. Sedangkan Kareakteristik menurut Masa kerja antara lain 0-3 tahun sebanyak 12 (dua belas) orang, 4-7 tahun sebanyak 6 (enam) orang, 8-14 tahun sebanyak 12
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
(dua belas) orang dan sisanya sebanyak 5 (lima) orang memiliki masa kerja lebih dari 15 (lima belas) tahun. PEMBAHASAN Berikut hasil pengolahan data yang telah dilakukan menggunakan bantuan Program SPSS 16 for Windows diperoleh hasil: Uji Validitas Data penelitian yang telah terkumpul kemudian diolah untuk menguji kualitas data berupa uji validitas dan reliabilitas. Dari hasil uji validitas yang dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 16 menunjukkan bahwa koefisien korelasi pearson moment untuk setiap item butir pernyataan dengan skor total variabel Kinerja Auditor (Y), Pendidikan (X1) Pengalaman (X2), Independensi (X3) dan motivasi (M) signifikan pada tingkat signifikansi 0,01. Hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh butir pertanyaan valid. Uji Reabilitas Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan uji One Shot, artinya satu kali pengukuran saja dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lainnya atau dengan kata lain mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. Hasil perhitungan uji reliabilitas menunjukkan bahwa nilai Cronbach Alpha (α) untuk masing-masing variabel adalah lebih besar dari 0,60. Dari hasil penelitian seluruh item-item instrumen untuk masing-masing variabel adalah reliabel. Uji Partial (Uji T) Terdapat Pengaruh Signifikan antara Pendidikan terhadap Motivasi Auditor Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama (H1) yang menyebutkan bahwa Pendidikan aparat inspektorat berpengaruh signifikan terhadap motivasi. Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada untuk kelancaran pelaksanaan tugas. Untuk meningkatkan motivasi khususnya dalam rangka aktualisasi diri seorang auditor perlu untuk memperoleh penghargaan ekstrinsik yakni peningkatan karir dan status. Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan seorang auditor maka makin tinggi pula motivasinya. Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Pengalaman terhadap Motivasi Auditor Pengalaman tidak berpengaruh terhadap Motivasi atau dengan kata lain Hipotesis kedua ditolak. Semakin sering auditor/pemeriksa melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pengalaman kerja yang semakin kaya dan luas, dan semakin berpeluang bagi auditor untuk meningkatkan motivasi mereka. Pengalaman secara
ISSN : 2302-3562
h a l | 165 tidak langsung memberikan penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan kesempatan membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan status) bagi seorang auditor. Pada Responden Inspektorat Kabupaten Lamongan pengalaman tidak mempengaruhi motivasi mereka hal ini disebabkan bagi mereka baik berpengalaman maupun tidak berpengalaman mereka tidak akan mendapatkan penghargaan apapun dari pimpinan. Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Independensi terhadap Motivasi Auditor Independensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi dan Hipotesis ketiga ditolak. Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, seorang auditor/pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Para Auditor/pemeriksa bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. Seharusnya hal ini mampu memotivasi seorang auditor yakni dalam kebutuhan Sosial dan Kasih sayang dimana auditor merasa perlu untuk diterima oleh orang lain (sense of belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak gagal (sense of achievement), kekuatan ikut serta (sense of participation). hal ini disebabkan mereka tidak peduli akan pendapat orang serta diduga karena independensi aparat inspektorat Kabupaten Lamongan masih terpengaruh dengan penentu kebijakan dan sering adanya mutasi antar satuan kerja perangkat daerah. Akibatnya, meskipun aparat acapkali mendapat fasilitas dari auditee. Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Pendidikan terhadap Kinerja Auditor Hipotesis ini tidak dapat dibuktikan diduga karena aparat Inspektorat Kabupaten Lamongan beranggapan bahwa tidak peduli latar belakang pendidikan mereka apa mereka pasti bisa melakukan audit (tidak perlu latar belakang pendidikan akuntansi) cukup memiliki pengetahuan dibidang pemerintahan saja. Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Pengalaman terhadap Kinerja Auditor Pengujian H5 dimana terdapat pengaruh signifikan antara Pengalaman terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan diperoleh hasil bahwa Pengalaman aparat inspektorat tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor dengan kata lain H5 ditolak. Diduga tidak dapat dibuktikan karena adanya anggapan bahwa mereka merasa bisa melakukan audit walaupun mereka orang baru serta adanya anggapan bahwa pembuatan laporan yang tepat waktu bukanlah ukuran untuk menunjukkan kinerja mereka bagus
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
atau tidak melainkan diukur dengan jenis temuannya. Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Independensi terhadap Kinerja Auditor Independensi merupakan sikap mental dimana auditor tidak memihak kepada kepentingan pihak manapun. Tingginya independensi auditor mendorong Kinerja Auditor menjadi semakin tinggi karena auditor merasa perlu untuk menjaga performanya dimata orang lain (masyarakat atau obyek pemeriksaan) Terdapat pengaruh signifikan antara Motivasi terhadap Kinerja Auditor Hasil pengujian ini menginterpretasikan bahwa variabel Motivasi aparat inspektorat signifikan terhadap Kinerja Auditor pada taraf signifikansi 5% atau dengan kata lain H7 diterima. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Goleman (2001) dalam Muh. Taufiq Efendy tahun 2010 bahwa hanya motivasi yang akan membuat seseorang mempunyai semangat juang yang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar yang ada. Rasa ingin membuat hati pimpinan merasa senang atas keberhasilan tugas yang dilaksanakan memotivasi auditor untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Analisis Jalur (Variabel Intervening) Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Pendidikan Terhadap Kinerja Auditor Di Inspektorat Kabupaten Lamongan Melalui Motivasi. Pendidikan tidak dapat mempengaruhi Kinerja Auditor melalui motivasi yang dimilikinya diduga karena persepsi auditor mereka tidak akan dapat menduduki jabatan dengan segera walaupun pendidikan mereka tinggi hal ini disebabkan karena aturan birokrasi yang menggunakan Daftar Urut Kepangakatan sehingga siapa yang pangkatnya lebih tinggi walaupun mereka hanya lulusan SMA dialah yang akan menduduki jabatan dulu. Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Pengalaman Terhadap Kinerja Auditor Di Inspektorat Kabupaten Lamongan Melalui Motivasi. Diduga tidak dapat karena karena persepsi auditor mereka tidak akan dapat menduduki jabatan dengan segera walaupun pengalaman mereka banyak ini terbukti aturan birokrasi yang menggunakan Daftar Urut Kepangkatan sehingga siapa yang pangkatnya lebih tinggi walaupun tidak memiliki pengalaman audit dialah yang akan menduduki jabatan dulu Terdapat Pengaruh Signifikan Antara Independensi terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan Melalui Motivasi Hasil analisis jalur diketahui bahwa Independensi tidak berpengaruh secara langsung terhadap Kinerja Auditor melalui motivasi namun
ISSN : 2302-3562
h a l | 166 berpengaruh secara tidak langsung melalui motivasi terhadap kinerja dengan nilai 0,0107 (0,272 x 0,374). SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan (1)Terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan terhadap Motivasi Auditor. Untuk meningkatkan motivasi khususnya dalam rangka aktualisasi diri seorang auditor perlu untuk memperoleh penghargaan ekstrinsik yakni peningkatan karir dan status. Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan seorang auditor maka makin tinggi pula motivasinya (2)Tidak terdapat pengaruh signifikan antara Pengalaman terhadap Motivasi Auditor diduga bagi mereka baik berpengalaman maupun tidak berpengalaman mereka tidak akan mendapatkan penghargaan apapun dari pimpinan. (3)Tidak terdapat pengaruh signifikan antara Independensi terhadap Motivasi Auditor. Diduga mereka tidak peduli akan pendapat orang serta karena independensi aparat inspektorat Kabupaten Lamongan masih terpengaruh dengan penentu kebijakan dan sering adanya mutasi antar satuan kerja perangkat daerah. Akibatnya, meskipun aparat acapkali mendapat fasilitas dari auditee. (4) Tidak Terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan terhadap Kinerja Auditor diduga karena aparat Inspektorat Labupaten Lamongan beranggapan bahwa tidak peduli latar belakang pendidikan mereka apa mereka pasti bisa melakukan audit (tidak perlu latar belakang pendidikan akuntansi) cukup memiliki pengetahuan dibidang pemerintahan saja (5)Tidak terdapat pengaruh signifikan antara Pengalaman terhadap Kinerja Auditor. Diduga tidak dapat dibuktikan karena adanya anggapan bahwa mereka merasa bisa melakukan audit walaupun mereka orang baru serta adanya anggapan bahwa pembuatan laporan yang tepat waktu bukanlah ukuran untuk menunjukkan kinerja mereka bagus atau tidak melainkan diukur dengan jenis temuannya. (6)Terdapat pengaruh signifikan antara Independensi terhadap Kinerja Auditor. Tingginya independensi auditor mendorong Kinerja Auditor menjadi semakin tinggi karena auditor merasa perlu untuk menjaga performanya dimata orang lain (masyarakat atau obyek pemeriksaan) (7) Terdapat pengaruh signifikan antara Independensi terhadap Kinerja Auditor. Rasa ingin membuat hati pimpinan merasa senang atas keberhasilan tugas yang dilaksanakan memotivasi auditor untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. (8) Tidak terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi. Hal ini diduga disebabkan karena aturan birokrasi yang menggunakan Daftar Urut Kepangakatan sehingga siapa yang pangkatnya lebih tinggi walaupun
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
mereka hanya lulusan SMA dialah yang akan menduduki jabatan dulu. (9) Tidak terdapat pengaruh signifikan antara Pengalaman terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi. Diduga tidak dapat karena karena persepsi auditor mereka tidak akan dapat menduduki jabatan dengan segera walaupun pengalaman mereka banyak ini terbukti aturan birokrasi yang menggunakan Daftar Urut Kepangkatan sehingga siapa yang pangkatnya lebih tinggi walaupun tidak memiliki pengalaman audit dialah yang akan menduduki jabatan dulu. (10) Terdapat pengaruh signifikan antara Independensi terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi Hasil analisis jalur diketahui bahwa Indepensi tidak berpengaruh secara langsung terhadap Kinerja Auditor melalui motivasi namun berpengaruh secara tidak langsung melalui motivasi terhadap kinerja dengan nilai 0,0107 (0,272 x 0,374). Munculnya pengaruh tidak langsung karena adanya perasaan takut dari aparat inspektorat jika mereka tidak independen maka atasan tidak akan puas dan menegur atau memberikan hukuman kepada mereka. Saran Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dan kesimpulan di atas maka dapat diberikan saransaran antara lain sebagai berikut: (1) Bagi Auditor Pendidikan, pengalaman dan Independensi serta adanya pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari motivasi Untuk meningkatkan Kinerja Auditor dibutuhkan pendidikan yang diperoleh dari bangku perkuliahan maupun pelatihan.(2)bagi Peneliti Lain dimana Penelitian mendatang sebaiknya melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan metode wawancara langsung untuk mengumpulkan data penelitian agar dapat mengurangi adanya kelemahan terkait internal validity dan memperluas objek penelitian pada aparat inspektorat kabupaten/kota se-Provinsi Jawa Timur sehingga hasilnya dapat digeneralisasi. DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 04 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Lamongan.Lamongan. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lamongan. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 2008. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Jakarta
ISSN : 2302-3562
h a l | 167 Efendy, Muh. Taufiq. 2010. Pengaruh Kompetensi, Independensi, Dan Motivasi Terhadap Kualitas Audit Aparat Inspektoratdalam Pengawasan Keuangan Daerah (Studi Empiris Pada Pemerintah Kota Gorontalo). Tesis Program Studi Magister Sains Akuntansi Program Pascasarjana Universitas diponegoro.
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI
Mulyadi. 2002. Auditing Buku 1. Salemba Empat. Jakarta Mareta, Rena. 2011. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pengalaman Dan Kompensasi Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
ISSN : 2302-3562