HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA (Burgerlijk Wetboek)
SKRIPSI
Oleh: Sofyan Afandi NIM 05210019
JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2009
HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)
Oleh: Sofyan Afandi NIM 05210019
JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2009
HALAMAN PERSETUJUAN
HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)
SKRIPSI
Oleh: Sofyan Afandi NIM 05210019
Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing,
M. Nur Yasin, M.Ag NIP. 1969 1024 1995 031 003
Mengetahui, Ketua Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah
Zaenul Mahmudi, MA NIP 1973 0603 1999 031 001
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Sofyan Afandi, Nim 05210019, mahasiswa Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul: HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada Sidang Majelis Penguji Skripsi.
Malang, 03 Agustus 2009 Pembimbing,
M.Nur Yasin, M.Ag NIP
ii
PENGESAHAN SKRIPSI Dewan penguji skripsi saudara Sofyan Afandi, NIM 05210019, mahasiswa Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul: HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) Telah dinyatakan LULUS dengan nilai: B
Dewan Penguji:
1.DR. Roibin MHi NIP. 1968 1218 1999 031 002
(__________________) Penguji Utama
2.Erfania Zuhria S.Ag.MH NIP. 1973 0118 1998 032 002
(__________________) Ketua
3. M.Nur Yasin, M.Ag NIP. 1969 1024 1995 031 003
(__________________) Sekretaris
Malang, 26 Oktober 2009 Dekan,
Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. NIP. 1959 0423 1986 032 003
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 03 Agustus 2009 Penulis
Sofyan Afandi NIM 05210019
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam Dan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)” sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi) dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam selalu senantiasa terlimpahkan dan tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Adalah Beliau penghulu para nabi yang benar dalam ucapan dan perbuatannya, yang diutus kepada penghuni alam seluruhnya, sebagai pelita dan bulan purnama bagi pencari cahaya penembus kejahilan gelap gulita, serta atas izinNYA memberi Syafa’at pada hari yang tidak ada seorang pun yang mampu memberikan pertolongan pada umatnya. Berdasar cinta kepada Beliaulah, penulis mendapatkan motivasi yang besar untuk menuntut ilmu. Sesungguhnya, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan sebagai wujud dari partisipasi kami dalam mengembangkan serta mengaktualisasikan ilmu yang telah kami peroleh selama menimba ilmu dibangku perkuliahan, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan mudah mudahan atas izin Allah pula dapat juga bermanfaat kepada para penuntut ilmu yang lain.
v
Penulis juga menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan ungkapan terima kasih, kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3. Drs. M.Nur Yasin, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi ini. Terima kasih penulis haturkan atas keikhlasan bimbingan, arahan, dan motivasi. Semoga Beliau beserta seluruh anggota keluarga besar selalu diberi kemudahan dalam menjalani kehidupan oleh Allah SWT. Amin Ya Robbal ‘Alamin. 4. Drs. Fadil Sj.M.Ag, selaku Dosen Wali penulis selama kuliah di Fakultas Syari’ah Universitas Islama Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 5. Dosen Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang seluruhnya, yang telah mendidik, membimbing, mengajarkan, dan mengamalkan ilmu-ilmunya kepada penulis. Semoga ilmu yang telah disampaikan dapat bermanfaat bagi kami di dunia dan akhirat. Amin. 6. Abah serta ibu yang tidak mungkin penulis lupakan sampai kapanpun, penulis haturkan ber-ribu-ribu rasa hormat serta ta’dhim kepada beliau yang telah membimbing, mencintai, memberi semangat, harapan, arahan dan motivasi serta
vi
memberikan dukungan baik secara materil maupun spiritual yang bagi penulis semuanya tidak pernah tergantikan.
7. Semua pihak yang berpartisipasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu Jazaakumullah khairan kastiran. Penulis sebagai manusia biasa yang takkan pernah luput dari salah dan dosa, menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis sangat mengharap kritik dan saran konstrutif demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, teriring do’a kepada Allah SWT, penulis berharap semoga skripsi ini dapat barmanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya yang tentu dengan izin dan ridho-Nya. Amin.
Malang, 03 Agustus 2009 Penulis
Sofyan Afandi NIM 05210019
vii
MOTTO
∩∉∪ ...... #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (At-Tahrim : ayat 6)
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN................................................................. ii PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................. v MOTTO..................................................................................................... vi PERSEMBAHAN..................................................................................... vii KATA PENGANTAR............................................................................... viii DAFTAR ISI.............................................................................................. xii TRANSLITERASI.................................................................................... xiv ABSTRAK.................................................................................................. xvi BAB I : PENDAHULUAN....................................................................... 1 A.
Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B.
Batasan Masalah.................................................................. 6
C.
Rumusan Masalah................................................................ 7
D.
Definisi Operasional............................................................ 7
E.
Tujuan Penelitian................................................................. 7
F.
Manfaat Penelitian............................................................... 8
G.
Metode Penelitian................................................................. 8 1. Jenis Penelitian............................................................... 8 2. Pendekatan Penelitian.................................................... 9 3. Metode Pengumpulan Data............................................ 10 4. Sumber Data.................................................................... 10
H.
Teknik Pengolahan Data....................................................... 11
I.
Penelitian Terdahulu............................................................. 13
ix
J.
Sistematika Pembahasan....................................................... 14
BAB II : KAJIAN TEORI......................................................................... 16 A.
Pengertian Hukum Islam...................................................... 16
B.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)....................... 18
C.
Hadhonah…………………………………………………... 19 1. Pengertian Hadhonah…………………………………... 19 2. Orang Yang Berhak Atas Hadhonah…………………... 26
D.
Pembatalan Perkawinan Dalam Islam.................................... 30 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan................................. 30 2. Sebab-Sebab Terjadinya Pembatalan Perkawinan........... 33 3. Akibat Pembatalan Perkawinan....................................... 40
E.
Pembatalan Perkawinan Perspektif KUH Perdata (BW)…… 41 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan……………………..41 2. Sebab-Sebab Pembatalan Perkawinan…………………..42
BAB III : ANALISIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (BW) A. Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata(BW).............................................................. 47 B. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua Akibat Dari Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata (BW)53 BAB V : PENUTUP.................................................................................... 58 A. Kesimpulan…………………………………………………... 58 B. Saran………………………………………………………..... 59 DAFTAR PUSTAKA
x
ABSTRAK Sofyan Afandi 05210019. 2009. Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Skripsi. Jurusan Al Akhwal Al Syakhsiyah. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Dosen pembimbing: Drs. M. Nur Yasin, M.Ag Kata kunci : Hak Asuh Anak, Pembatalan Perkawinan. Perkawinan dalam Islam telah diatur secara lengkap mulai dari peminangan sampai proses perkawinan, tidak menutup kemungkinan di dalam aturan-aturan tersebut juga didapati aturan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Oleh karena itu, apabila terjadi perkawinan yang menyimpang dari tujuan perkawinan karena cacat hukum yang merugikan salah satu pihak, maka untuk membatalkan sebuah perkawinan yang tidak lain adalah didasarkan pada kepatuhan dalam batasan prikemanusiaan dan kesusilaan tersebut merupakan suatu keniscayaan. Perkawinan yang batal menurut hukum mempunyai konsekuensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada. Kemudian bagaimanakah hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat dari pembatalan perkawinan tersebut, dan bagaimana pula pengasuhan anak jika pernikahan orang tua batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata? Oleh karena itu penulis bermaksud menelaah lebih lanjut baik dari sisi Hukum Islam dan KUH Perdata sebagai hukum yang diterapkan dengan asas konkordansi di negara jajahan Belanda seperti Indonesia akibat hukum yang ditimbulkan terhadap perkawinan yang dibatalkan terutama terhadap pengasuhan anak. Penulisan ini adalah jenis penulisan hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan, karena penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku yang terkait dalam pengumpulan data, yang mana penulis dapat dari sumber dat primer, sekunder dan tersier yang kesemuanya bermuara dalam judul pembahasan ini. Hasil dari pada penelitian hukum ini menggambarkan bahwa menurut hukum Islam dan KUH Perdata perpisahan sebuah perkawinan baik itu berupa perceraian atau perpisahan yang diputuskan oleh Pengadilan berupa pembatalan perkawinan memberikan perlakuan yang sama dalam hal pengasuhan seorang anak, kecuali pembatalan perkawinan itu terjadi akibat hal-hal tertentu yang mengakibatkan hasil dari pembatalan perkawinan tersebut (Anak) tidak diakui secara hukum.
xi
BAB I PENDULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa untuk menyatukan dua insan yang berlainan jenis maka ditempuhlah jalan berdasar ketentuan Allah yang terdapat dalam syariat Islam, dengan mengadakan akad perkawinan dengan dasar kecintaan dan saling rela antara keduanya yang dilakukan oleh pihak wali, menurut sifat dan syarat yang telah ditentukan agar menjadi halal percampuran antara keduanya.1 Perkawinan dalam Islam memang suatu hal yang suci, dimana tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, hal inilah yang melatar belakangi sebuah perkawinan merupakan yang suci, yang bukan untuk dipermainkan. Untuk itu diperlukan beberapa syarat untuk melangsungkan sebuah perkawianan, dengan syarat1
Sosroatmojo,Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hal 53.
1
syarat tersebut perkawinan yang dilakukan diharapkan akan berjalan sesuai yang diinginkan bersama tentunya juga tidak lepas dari aturan-aturan Syar’i, serta merasa tentram penuh dengan kasih sayang, sebagai nama firman Allah S.W.T.2
4 ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ $yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡àΡr& ô⎯ÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿ⎯ÏμÏG≈tƒ#u™ ⎯ÏΒuρ
∩⊄⊇∪ tβρã©3xtGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir3.
Perkawinan dalam Islam telah diatur secara lengkap mulai dari peminangan sampai proses perkawinan, tidak menutup kemungkinan didalam aturan-aturan tersebut juga didapati aturan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Oleh karenanya, apabila ada terjadi perkawinan yang menyimpang dari tujuan perkawinan itu sendiri karena didapati cacat hukum yang nantinya dapat merugikan salah satu pihak, maka untuk membatalkan sebuah perkawinan yang tidak lain adalah didasarkan pada kepatuhan dalam batasan prikemanusiaan dan kesusilaan tersebut merupakan suatu keniscayaan. Dan perkawinan yang batal menurut hokum mempunyai konsekuensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada. Dalam Islam, pembatalan perkawinan disebut juga dengan istilah fasakh, Fasakh disini bisa terjadi karena tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat perkawinan atau sebab lain yang dilarang dan diharamkan oleh agama Islam.4
2
QS.Ar-Ruum (30): 21. DEPAG, Qur’an dan Terjemah Q.S. Ar-Rum (30): 21 4 Al Manar, Fiqh Nikah (Bandung: PT.Syamil Cipta Media, 2003), hlm 141 3
2
Dengan batalnya sebuah perkawinan maka ada beberapa pihak yang dirugikan, sebut saja anak, dalam pasal 42 Undang-Undang No1 tahun 1974, disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai dari perkawinan yang sah. Dalam tujuan perkawinan sebagaimana umumnya tentunya ada keinginan yang ingin diwujudkan dalam sebuah kenyataan, salah satu keinginan tersebuat adalah sebuah keturunan, dimana keturunan yang baik akan menjadi penolong bagi kedua orang tuanya kelak seusai meninggal dunia. Keturunan yang baik diperoleh dari perkawinan yang sah baik secara hukum islam maupun aturan-aturan dalam hukum positif. Pengasuhan anak mempunyai arti merawat dan mendidik anak kecil, pengasuhan adalah hak mendidik dan merawat5, yang dimaksud mendidik ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hak anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri6 Dalam ajaran Islam penjagaan keturunan (anak) diajarkan dengan penuh perhatian semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan perlindungan dan menjaga hak-hak asasi manusia mulai dari masa penciptaanya (proses pembuahan dalam rahim) sampai dia bertemu dengan ajalnya. Anak merupakan anugerah dari Allah yang tak ternilai, untuk itulah kita harus merawat dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, jangan sampai anak yang lahir disia-siakan oleh para orang tua, bahkan sampai diterlantarkan. Anak tersebut harus kita
5
Poerwardarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarata: Balai Pustaka, 1989), hlm 63. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998), hlm 426.
6
3
didik dan kita arahkan agar dimasa yang akan datang menjadi anak yang ditunggu oleh agama dan Negaranya. Dengan berlakunya hubungan anak dengan ibu yang melahirkannya itu,maka dengan sendirinya berlaku hubungan kekerabatan antara anak yang dilahirkan dengan orangtua yang melahirkannya, dengan demikian secara sederhana terbentuklah hubungan kekerabatan menurut garis ibu. Dalam hubungan kekerabatan tersebut diatas yang dapat dijadikan mazhinahnya adalah akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang melahirkan anak tersebut. Selanjutnya akad nikah tersebut yang menjadi factor penentu hubungan kekerabatan itu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari ibu yang melahirkannya dengan perkawinan yang sah, atau dengan akad nikah yang sah. Jumhur ulama berpendapat bahwa dengan hanya adanya perkawinan yang sah belum menjamin hubungan kekerabatan yang sah. Untuk sahnya hubungan kekerabatan yang sah itu selain disamping akad nikah yang sah disyaratkan pula bahwa diantara suami istri diduga kuat telah berlangsung hubungan kelamin secara memungkinkan seperti telah tidur sekamar, dan pernah hubungan badan. Di lain fihak ulama Hanafiah mempunyai pendapat yang berbeda, menurut mereka semuanya adalah adanya akad nikah yang sah sudah cukup untuk menjadi dasar menetapkan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya. Dalam gambaran diatas
4
menurut ulama ini anak yang lahir adalah anak yang sah dari laki-laki yang mengawini wanita tersebut.7 Pada dasarnya tidak semua pasangan baik laki-laki maupun perempuan dapat melaksanakan perkawinan. Namun yang dapat melaksanakan perkawinan hanyalah mereka yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam KUH Perdata syarat untuk melakukan perkawinan dibagi menjadi dua macam secara garis besar : Syarat meteril8 dan Syarat formal9, jika dalam pelaksanaannya tidak terpenuhi maka demi hukum pula perkawinan tersebut batal demi hukum, kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata) beberapa pasal menyebutkan berkenaan dengan pembatalan perkawinan salah satunya adalah pembatalan perkawianan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim10 jika perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan Bab ke-4 Bagian ke-satu pasal 27 KUH Perdata.11 Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “ privat materiil”,yaitu hukum yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan perseorangan,12 termasuk didalamnya hukum keluarga, adapun hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah 7
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Fiqh, (Jakarta: Persada Media 2004), hlm 177. Syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melaksanakan perkawinan. 9 Syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam melaksanakan perkawinan. 10 Pasal 85 KUHPer 11 Pasal 27 “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. 12 Subekti, Pokok pokok Hukun Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa), hlm 9. 8
5
pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri. Anak tentunya hal ini termasuk dalam pembahasan kekeluargaan karena perkawinan. Dan ini senada dengan bunyi pada Bab ke-12 Bagian ke-satu pasal 250 KUH Perdata13 dan dalam bab yang lain Bab ke-14 Bagian ke-satu pasal 298 KUH Perdata disebutkan tentang perihal kekuasaan orang tua berbunyi “…orang tua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa…”. Seperti
halnya
perceraian,
pembatalan
pernikahan
ternyata
membawa
konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian, dalam kaitannya dengan perkawinan antara dua orang hal tersebut juga juga turut mempengaruhi status dari anak yang dilahirkan Dari sini lahir sebuah pertanyaan bagaimana jika anak tersebut, lahir dari perkawinan yang dibatalkan, mengingat perkawinan yang batal menurut hukum mempunyai konsekwensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada, kepada siapa hak asuh anak pasca batalnya perkawinan? dan Bagaimana hubungan hukum antara anak dan orang tuanya? Berangkat dari pembatalan perkawinan sinilah akhirnya anak memperoleh getahnya, dan dari sinilah penulis mengamati lebih jauh berkenaan dengan kepada siapa hak asuh anak diberikan pasca pembatalan perkawinan guna memberkan gambaran umum secara formil dan materil terhadap anak, yang sejauh ini masuh belum mendapat perhatian yang khusus.
13
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh sisuami sebagai bapaknya.
6
Karena itulah penulis begitu tergerak untuk menulis permasalahan tersebut, adapun judul yang
diangkat
PEMBATALAN
pada
masalah
ini
PERKAWINAN
adalah
HAK
TINJAUAN
ASUH HUKUM
ANAK
AKIBAT
ISLAM
DAN
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) B. Batasan Masalah Supaya penulisan ini lebih terfokus dan sesuai dengan tujuan dan tidak melebar kemana-mana, maka dirasa perlu adanya pembatasan masalah, dalam penulisan ini adalah pembahasan hukum dalam yakni difokuskan kepada masalah Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata. Penulisan ini mencakup dua sisi yakni mengkaji yang berkenaan dengan hukum islam, Sedang hukum islam yang dimaksud dalam penulisan ini adlah hukum Islam yang meliputi kitab-kitab Fiqh, Undang-Undang Perkawinan,dan KHI. Dan keperdataan Indonesia yang dimaksud dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) C. Rumusan Masalah Untuk memperjelas permasalah yang dikemikakan dalam penulisan ini, penulis akan menyebutkan permasalahan sbb: 1. Bagaimana persamaan dan perbedaan hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata? 2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan perkawinan menurut Hukum Islam dan KUHPerdata?
7
D. Definisi Operasional Supaya pembahasan ini dapat mudah dipahami dan dimengerti maka definisi operasional / Istilah kunci dari pembahasan penulisan ini adalah : 1. Hak asuh anak, Hak merawat, mendidik, menjaga, memimpin, melindungi, dan mengatur segala hak seorang anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri14 2. Pembatalan perkawinan, Perkawinan yang tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat (formil / materil) perkawinan atau sebab lain yang dilarang dan diharamkan oleh agama Islam. Sehingga dalam perjalanannya perekawinan tersebut dibatalkan demi hukum15. 3. Hukum Islam, Suatu disiplin dari jenis-jenis ilmu pengetahuan islam atau ilmu-ilmu keislaman, yang merupakan suatu pengetahuan produk fuqoha atau mujtahid dan sebagai sebuah disiplin ilmu maka hukum islam ada yang menyebutnya sebagai “Hukum Positif Islam”.16 E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dilakukan adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara anak dan orang tua menurut Hukum Islam dan KUHPerdata. 2. Untuk memaparkan Bagaimana hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata. 14
Poerwardarminta, Op.Cit. Sulaiman Rasjid, Op.Cit 16 A.Qodri Azizy, Hukum Nasional Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, (Bandung: Teraju PT. Mizan Publika 2004), hlm 22. 15
8
F. Manfaat Penelitian Secara teoritis Penulisan ini sebagai upaya perluasan wawasan keilmuan dan peningkatan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai hak asuh anak dan pembatalan perkawinan.dan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti selanjutnya. Secara praktis 1. Sebagai Syarat untuk memperoleh gelar SHI di Universitas Islam Negeri Malang (UIN Malang). 2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan perkawinan menurut Hukum Islam dan KUHPerdata. 3. Untuk mengetahui hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata. 4.
Sebagai bahan kepustakaan dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan ke Syari’ahan khususnya ke-Ahwal As-SyahSyiyah-an.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, atau yang disebut dengan kepustakaan (Library Research), yaitu merupakan penelitian hukum yang di dasarkan pada bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan mencoba untuk menganalisa suatu permasalahan hukum melalui peraturan Perundang-undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan lainnya yang relevan.
9
Winarno Surakhmad menempatkan metode deskriptif ini adalah metode penyelidikan yang lebih tepat untuk menjelaskan data yang telah lampau, ada yang lebih tepat lagi untuk menjelaskan data waktu sekarang, dan ada lagi yang lebih wajar iguinakan untuk meamalkan peistiwa-peristiwa yang akan datang / yang akan terjadi.17 Jenis yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut sebagai penelitian pepustakan atau dokumen. Disebut sebagai penelitian hukum doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada dalam perpustakaan.18 Sedang yang mendasari penelitian ini adalah konsep Hukum Islam dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dalam memberikan sebuah payung Hukum terhadap pemeliharaan anak pasca pembatalan perkawinan. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, Taylor dan Bogdan dalam bukunya bagong suyanto dkk19 bahwa penelitian kuatitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data data deskriptif mengenai kata-kata lisan atau tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari masalah yang diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang hak asuh anak pasca
17
Soejono dan Abdurrahman, Metode penelitian Hukum(cet.2, Jakarta: Renika Cipta,2003),21. Bambang Waluyo, Penelitan Hukumn Dalam Praktek,(cet.3, Jakarta:Sinar Grafika,2002), 13. 19 Bagong Suyatno dkk,Metode penelitian sosial bebagai alternatif pendekatan( jakarta,kencana:2005),166 18
10
pembatalan perkawinan dalam tinjauan hukum islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pedata (Burgerlijk Wetboek) 3. Metode pengumpulan data Sesuai dengan metode penelitian diatas, maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik kepustakaan (Library Reseach). Maka dalam pengumpulan data penulisan karya Ilmiah ini penulis menggunakan metode Dokumentasi artinya adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.20 4. Sumber Data Karena penelitian ini bersifat kepustakaan, maka sumberdata terbagi atas dua bahan; 1. Bahan hukum primer, yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru maupun mutakhir,ataupun pengetahuan yang baru tentang fakta yang diketahui ataupun mnegenai suatu gagasan (Ide). Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ; 1. Kitab-kitab Fiqh. 2. Undang-Undang Perkawinan. 3. Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI). 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.).
20
Suharsimi Arikunto Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm 231.
11
2. Bahan atau sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi yang menjadi memperkuat bahan primer.21 3. Bahan hukum tertier, Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain22. H. Teknik Pengolahan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini nantinya akan disajikan secara deskriptif kualitatif. Adapun yang dimaksud deskriptif kualitatif, menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip Moleong adalah metode sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati.23 Dalam hal ini analisis terhadap data digunakan secara deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi dan hubungannya yang ada, pendapat yang sedang bersentuhan dengan proses yang sedang berkembang.24 Atau analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagi sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dalam catatan lapangan, dokumentasi pribadi, dokumen remi, foto dan sebagainya.25
21
Soerjono Soekanto dan Srimandji, penelitian Hukum Noematif, ( Jakarta; Raja Grafindo Persada , cet. VI , 2003), hlm 33. 22 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke IV, 2008), hlm 392. 23 Lexy.J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm 103. 24 Sunarto, Metodologi Penelitian Deskriptif (Surabaya: Usaha Nasional), hlm 47 25 Lexy.J.Moleong, Op.Cit, hlm 190.
12
Dalam penulisan ini nantinya dianalisis datanya dilakukan dalam satu proses, proses yang berarti pelaksanaannya sudah dilakukan sejak pengumpulan data, yang dikerjakan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan, dan menarik kesimpulan sebagai akhir analisis data.26 Setelah data-data diproses dengan proses di atas, maka tahapan selanjutnya adalah pengolahan data. Dan untuk menghindari agar tidak terjadi banyak kesalahan dan mempermudah pemahaman, maka penelitian dalam menyusun skripsi nanti melakukan beberapa upaya diantaranya adalah: a. Editing (Editing) Pemeriksaan ulang, dengan tujuan data yang dihasilkan berkualitas baik.27 Dalam hal ini penulis membaca dan memeriksa ulang data atau keterangan yang telah dikumpulkan melakukan melalui buku-buku, yang berkaitan dengan rumusan masalah. b. Klasifikasi (Classifying) Pengelompokan, dimana data hasil wawancara diklarifikasikan berdasarkan katagori tertentu, yaitu berdasarkan pertanyaan dalam urusan masalah, sehingga data yang diperoleh benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian,28 dalam penulisan ini dibagi 2 (dua) kelompok, pertama, data yang berkenaan dengan hubunga hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan perkawinan, kedua¸ Hak Asuh anak akibat perkawinan.
26
Ibid, hlm 104. LKP2m, Reseach book for (Malang: UIN-Malang, 2005), hlm 60-61. 28 Lexy.J.Moleong, Op.Cit. hlm 104 27
13
c. Verifikasi (Verifying) Menelaah secara mendalam, data dan informasi yang diperoleh dari lapangan agar validitasnya terjamin.29 Verifikasi sebagai langkah lanjutan, penulismemeriksa kembali data yang diperoleh,30 misalnya dengan kecukupan refrensi, triangulasi (pemeriksaan melalui sumber data lain), d. Analisis (Analyzing) Sedangkan metode analisis yang penulis gunakan adalah deskriptif komparatif adalah mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, dan membuat ikhtisar serta mencari kejelasan mengenai konsep Pembatalan Perkawinan dan Pengasuhan Anak dalam konsep Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. e. Konklusi (Conluding) Langkah terakhir adalah kesimpulan, yaitu dengan cara menganalisa data secara komprehensif serta menghubungkan makna dengan secara komprehensif yang ada kaitannya dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Langkah terakhir harus dilakukan dengan cermat dengan mengecek kembali data-data yang diperoleh, khususnya teori tentang Pengasuhan Anak dan Pembatalan perkawinan menurut Hukum Islam dan KUHPerdata. Sehingga, akhirnya penulisan skripsi ini menghasilkan persamaan dan perbedaan antara dua konsep yang dimaksud. I. Penelitian Terdahulu
29
Nana Saujana, Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hlm 84-85. 30 Ibid.
14
Agar tidak terjadi pengulangan pembahasan maupun penelitian, maka diperlukan wacana atau pengetahuan tentang penelitian-penelitian sejenis, maka kajian terdahulu yang penulis sajikan dalam proposal ini adalah penelitian tentang “KEDUDUKAN ANAK DILUAR NIKAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) dan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (B.W.)” dilakukan oleh mahasiswa dengan jurusan yang sama Nama :M.Nahya Sururi Al-Haq, Nim : 01210008 dibawah bimbingan Drs. Fadil Sj.MAg yang berjudul Dalam penelitian tersebut dan setelah penulis baca dan pelajarui dapat disimpulkan bahwasanya dalam penelitian tersebut anak yang lahir dari setelah hubungan diluar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dan kewarisannya hanya dengan ibunya bahkan kewaliannya diserahkan pada hakim. Selanjutnya penelitian teredahulu yang sedikit banyak ada kaitannya dengan pembahasan ini adalah berjudul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA RADHA’AH DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ANAK PERSPEKTIF FIQH” yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang, nama Ahmad Sofyan, pada tahun 2004. Pada penelitian tersebut berfokus pada seputar pembatalan perkawinan yang disebabkan karena Radha’ah, sedang dampak yang timbul terhadap anak tidak begitu signifikan dan hanya meneliti dari satu sudut pandang saja yakni dalam perspektif fiqh. Sedangkan penelitian ini berusaha menginformasikan dan mendeskripsikan bagaimana hak asuh anak pasca pembatalan perkawinan dalam tinjuan Hukum Islam dan KHU Perdata.
15
J. Sistematika Pembahasan Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang mana setiap Bab-nya terdiri dari suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk suatu uraian sistematis dalam satu kesatuan. Bab I adalah merupakan Bab Pendahuluan yang memuat mengenai latar belakang, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan apa yang diperoleh dalam proses penelitian sedangkan manfaat penelitian berisi tentang temuan baru yang diupayakan dan akan dihasilkan dalam penelitian serta apa manfaat temuan tersebut baik secara toeritis maupun praktis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan atau praktik hukum. kemudian metode dan teknik penelitian serta memuat sistematika penelitian itusendiri. Karena pendekatan masalah dilakukan secara yuridis normatif, maka dalam Bab II adalah Bab yang berisikan tentang teori yang membahas mengenai keabsahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan juga membahas mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan.serta ulasan Hadhonah
sebagai pelengkap dari pada
kesempurnaan dari pada penulisan karya ilmiaah ini. Selanjutnya dalam Bab III Didalamnya termuat tentang Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan yang meliputi bagaimana hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan tinjauan hukum islam dan tinjauan KUHPerdata. Diakhiri dengan Bab IV yang merupakan Bab Penutup memuat suatu kesimpulan dan saran-saran diketengahkan sebagai sumbangan pemikiran ilmiah yang diharapkan dapat memberi masukan untuk memperbaiki penulisan karya Ilmiah ini.
16
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Hukum Islam Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “ Hukum” dan “ Islam”. kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Alqur’an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. Bila kata hukum dan islam dihubungkan maka hukum islam akan berarti ” seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.31 Alqur’an dan Sunnah melengkapi sebagian besar dari hukum-hukum islam dalam bidang fiqh, kemudian para sahabat dan tabiin menambahkan atas hukum-hukum Islam itu, aneka hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang timbul dalam masyarakat. Yang kemudian dapat kita katakan bahwa hukum Islam
31
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 9.
17
adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan suatu masa.32 Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masingmasing luas cakupannya yaitu33: a.
Kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliyah dan harus diikuti umat islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara sederhana disebut dengan fiqh dalam artian khusus dengan segala lingkup bahasannya.
b.
Kajian tentang ketentuan cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terperinci, yang selanjutnya kajian ini dikenal dengan “ushul fiqh” atau dalam arti lain “system metodologi fiqh”
B. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W) Perkataan “Hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepantingan perseorangan, atau yang lazim, disebut sebagai lawan dari hukum pidana. Ada juga yang memakai sebutan hukum sipil, karena menyabutnya hukum sipil jaga dapat disebut dengan lawan hukum militer, akan tetapi yang lebih sesuai dan lebih umum digunakan adalah hukum perdata.34
32
Teungku Muhammad Hasbi As-Shidiqie, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 29 33 Syarifuddin, Op Cit., hlm 10. 34 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1957), hlm 9.
18
Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang yang lain, dengan demikian menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.35 Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) diatur dalam sumber pokok yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang disingkat dengan Burgerlijk WetBoek (BW) dan didalamnya terbagi atas empat buku, yang kemudian dibagi dalam Bab-bab, sedangkan setiap bab masih dibagi lagi dalam Bahagian-bahagian yang selanjutnya dibagi lagi atas ayat-ayat Buku I, yang berjudul Perihal Orang (Van Personan) yang memuat tentang peraturan-peraturan hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan seperti hubungan orang tua dengan anak, perkawinan, harta perkawinan dll. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken) yang memuat peraturanpeaturan hukum mengenai kekuasaan orang lain atas benda seperti mengenai milik, kedudukan kekuasaan, hak dan kewajiban antara pemilik, pewarisan karena kematian, dfadai dsb. Semua perturan itu merupakan materi hukum benda. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintennissen) yang memuat peraturan-peraturan hubungan hukum antara dua orang/lebih seperti pembeli dan penjual, harta Kekayaan dan berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku begi orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Buku IV, yang memuat tentang Perihal Pembukltian dan Kedaluarsa atau lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.36 35
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm 214.
19
C. Hadhonah 1. Pengertian Hadhonah Dalam ajaran Islam penjagaan keturunan (anak) diajarkan dengan penuh perhatian semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Hadhonah dalam definisi Al-Hamdani adalah “pemeliharaan anak, laki-laki ataupun perempuan yang masih kecil. atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidiknya, jasmani dan rohani serta akalnya, supaya si anak dapat berkmbang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.37 Adapun menurut Sayyid Sabiq hadhonah ialah pemeliharaan anak-anak yang masih kecilbaik laki-laki maupun perempaun yang sudah besar tetapi belum tamyis38 tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari kerusakannya, mendidik jasmani dan rohani agar ia mampu menghadapi hidup39 Ketentuan Umum mengenai hukum perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh,
36
Nisa ngani, A.Qiram Syamsyudinmelialla, Profil Asas-Asas Hukum Perdata (BW) (Yogyakarta: Liberti, 1989), hlm 5-6 37 Hamdani Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat,Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm 318. 38 Beberapa tingkatan dalam tingkatan anak, yakni At-Tufulah adalah anak yang belum mampu membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya sendiri, Balikh adalah masa ketika ditandai dengan datangnya Haid bagi perempuan dan mimpi berhubungan seks bagi laki-laki atau seorang yang telah melangsungkan pernikahan baik laki-laki atau perempuan, Mumayyis adalah Anak yang sudah mampu membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya yang kira-kira berumur 7 tahun. Lihat Ensiklopedia Islam, hlm 1225. 39 Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa Thalib, (Bandung: PT.Al-Maarif, 1991), hlm 160
20
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.40 Semua itu maksudnya adalah menjaga, memimpin, mengatur segala hal yang mana anak-anak itu belum sanggup mengaturnya sendiri. Jadi dari beberapa pengertian hadhonah yang telah diterangkan diatas dapat disimpulkan bahwa hadonah itu merupakan pemeliharaan anak kecil yang masih membutuhkan orang lain untuk mengurus dirinya sendiri sampai ia dapat menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Memelihara anak hukumnya wajib, mengabaikannya berarti mengantarkan anak ke dalam jurang kehancuran dan hidup tanpa guna. Memelihara anak adalah kewajiban bersama, ibu dan ayah, karena si anak memerlukan pemeliharaan dan asuhan, dipenuhi kebutuhannya dan diawasi pendidikannya. Orang yang lebih berhak mengasuh adalah ibu,
hal
ini
berdasarkan
sabda
Nabi
Muhammad
S.A.W
tatkala seorang perempuan yang diceraikan suaminya mengadu dan berkata
وﺛﺪﺑﻲ, آﺎن ﺑﻄﻨﻲ وﻋﺎء: ﻳﺎرﺳﻮاﷲ إن اﺑﻨﻴﻲ هﺬا:أن رﺳﻮاﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﺎءﺗﻪ اﻣﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ. و إن أﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﻨﻲ وأراد أن ﻳﻨﺰﻋﻪ ﻣﻨﻲ, وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء,ﻟﻪ ﺳﻘﻘﺎء ( )رواﻩ أﺑﻮ داود. أﻧﺖ أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻨﻜﺤﻲ: ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
40
Pasal 1 huruf g
21
“ Ya Rasulallah, perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka Rasulullah bersabda: engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah41.” Hukum ini berkenan dengan ibu tersebut kalau kawin lagi dengan laki-laki lain, akan tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tesebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonanya tidak hilalang. Hal ini karena paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat dengan anak kecil tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memerhaikan haknya. Dengan demikian, akan terjadilah kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dan suamin yang baru, Berbeda halnya kala suami barunya itu orang lain. Sesungghnya, jika laki-laki lain mengawini ibu dari anak kecil tadi, ia tidak bias mengasihinya dan tidak dapat memperhatkan
kepentingannya
dengan
baik,
karenanya
ini
nantinya
dapat
mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesrah, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik. Akan tetapi al-hasan dan ibnu hazm berpendapat bahwa ibu yang kawin dengan laki-laki manapun tidaklah kehilangan hak hadhonahnya. 1. Anak perspektif sysri’at Islam
41
Abi Suju’, At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii, (Surabaya: Al-Hidayah, Tth) hlm 189.
22
Persoalan pengasuhan anak atau hadhonah tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun hartanya. Hadhonah adalah perkara mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaga untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini Imam Ja’far, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali sepakat bahwa mengasuh anak adalah hak ibu.42 Hadhonah (mengasuh anak) pada Bab VII pada pasal 105 dalam hukum perkawinan Islam empat madzhab adalah: 1.
Apabila terjadi perceraian antara kedua suami istri, maka anak-anak yang masih berumur kurang dari tujuh tahun, diasuh oleh ibunya, selama ibunya belum kawin dengan laki-laki lain.
2.
Anak-anak yang sudah berumur 7 tahun ke atas dapat memilih, apakah ikut serta ibunya atau bapaknya.
3.
Bapak memikul biaya untuk memelihara dan mendidik anak-anak sampai mereka dewasa.
4.
Pengadilan agama menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan mendidik anak-anak tersebut, bila tidak dapat persetujuan antara dua belah pihak
42
M.Jawad Muqhniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Khomsah (fiqh lima madzhab), penerjemah Masykur AB, Afif Mahmud, Idris Al-Kaff, (Jakarta: PT. Lentera Baritama, 1999), hlm 415.
23
Dari penjelasan pasal 105 di atas apabila terjadi perceraian antara suami dan istri, baik dengan jalan fasakh maupun talak, sedangkan keduanya telah dikaruniai anak, lakilaki maupun perempuan yang masih berumur kurang dari 7 tahun, maka anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya. 2. Anak perspektif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan KHI Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab IX pasal (42) disebutkan tentang kedudukan anak, yaitu “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”43 Bahkan pada status anak akibat dari pembatalan perkawinan, Pada pasal 28 ayat (2) juga ditegaskan meskipun terjadi pembatalan pernikahan keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap, “anak-anak yang dilahirkan dari perkawina tersebut”. Dalam Bab X Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak pada pasal 45 ayat 1 dan 2 adalah44; 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak dapat berdiri sendiri, kewajiban yang mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. 43
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc.Cit., hlm 32. Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama, 2001)
44
24
Adapun dalam KHI bab XIV tentang pemeliharaan anak pasal 99, anak yang sah adalah45: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dalam pasal yang lain yakni pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum anak dengan orang tuanya. Adapun dalam pasal 105 juga secara tegas tentang pemeliharaan anak, dalam terjadinya perceraian, maka : a. pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah haknya ibu. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara
ayah
atau
ibunya
sebagai
pemeliharaannya. c.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah
3. Anak perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
45
Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000)
25
hak
pemegang
Perihal tentang pengasuhan anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada bab ke-XII, bagian ke satu pasal 250 tentang dikatakan anak-anak sah “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Kemudian mengenai hak asuh dan kekuasaan anak juga di jelaskan dalam bab ke XIV bagian ke 1 tentang kekuasaan orang tua pasal 299 yang menyatakan sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung dalam kekuasaannya mereka, sekedar mereka tidak membebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan adalah anak-anak yang dianggap sebagai anak sah, anak-anak itu dapat mewarisi baik dari bapak maupun ibunya dan ia juga mempunyai hubungan kekeluargaan baik si bapak maupun si ibu.46 2. Orang yang berhak atas Hadhonah Hadonah merupakan hak bagi anak yang masih kecil, sebab ia masih membutuhkan pengawasan, pendidikan dan perawatan. Sedangkan orang yang berkewajiban memeliharanya adalah kedua orang tuanya, yang demikian ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shaheh bukhari:47
أن ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ و:ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﺔ رﺿﻲ ااﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺳﻌﺪ ﺑﺘﻦ أﺑﻲ وﻗﺎ ص إﺧﺘﺼﻤﺎ اﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻲ إﺑﻦ أﻣﺔ زﻣﻌﺔ ﻓﺎﻗﺒﻀﻪ ﻓﺎﻧﻪ اﺑﻨﻰ 46
Ali afandi, Op.Cit., hlm 121. Abi’Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shaheh Bukhari (Surabaya: Tanpa penerbit, 1992), hlm 127.
47
26
هﻮ ﻟﻠﻚ ﻳﺎ:أﺧﻰ واﺑﻦ أﻣﺔ أﺑﻰ وﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﺮاش أﺑﻰ ﻓﺮأى اﻟﻨﺒﻰ ﺷﺒﻬﺎ ﺑﻴﻨﺎ ﻓﻘﺎل:وﻗﺎل ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ ( واﺣﺘﺠﻲ ﻣﻨﻪ ﻳﺎ ﺳﻮدة )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري.ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش Artinya Dari A’isyah R.A.: Sesungguhnya ‘Abdu Zam’ah dan Sa’ad bin Abi Waqas mengadu kepada Nabi tentang ibn Amat Zam’ah, Saad berkata : Ya Rasulullah berilah nasehat saudaraku tatkala aku hadir dan melihat ibn Amat Zam’ah, maka kupegang dia, sesungguhnya dia adalah anakkn, kemudian ibn Zam’ah berkata : wahai saudaraku ibn Zam’ah adalah ayahku yang dilahirkan dari firosy ayahku lalu Rasulullah mengungapkan perumpamaan yang jelas pada “Utbah lalu berkata : Dia adalah untukmu wahai “abd ibn Zam’ah, sesungguhnya anak adalah berdasarkan firosy dan berpalinglah dari padanya wahai saudah (H.R. Bukhori) Apabila terjadi perceraian, maka urutan orang yang paling berhak atas hadhonah adalah ibu, dalam Fiqh ‘Ala MAdzahib Al-Arba’ah yang terdapat pendapat ulama madzhab, dengan uraian48 : Menurut ulam Hanafi, orang yang paling berhak atas hadonah adalah ibu baik masih menikah dengan ayah atau sudah bercerai, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, lalu ayah, ibunya ayah dan terus keatas, lalu saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, dst. Orang yang paling berhak atas hadhonah, ulama Syafi’I membagi 3 keadaan, Pertama, berkumpulnya pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini, ibu lebih behak dari pada ayah, lalu ibunya ibu dan terus gari lurus keatas dengan syarat masih termasuk ahli waris, setelah itu ayah, ayahnya ayah dan terus keatas, dengan syarat masih ahli waris juga, Kedua, berkumpulnay pihak perempuan saja, dalam hal ini yang lebih utama 48
Al-Juzairi,Fiqh ‘ala Madzahibul Arba’ (Beirut: Darul Kutub Al-Limiyah, 1992), hlm 127 – 128.
27
adalah ibu, lalau ibunya ibu, ibunya bapak, lalu saudara perempuan bibi dari ibu, anak perempuan dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki, bibi dari ayah, anak perempuan bibi dari ibu,anak perempuan bibi dari ayah. Ketiga, berkumpulnya pihak perempuan saja, maka yang lenih didahulukan adalah ayah, lalu kakek, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki kandung, paman dari ayah dan ibu, paman seayah, paman seayah,anak paman dari bapak. Menurut ulama Hanabilah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah ibu, kemudian ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, setelah itu ayah, ibunya ayah dan garis lurus keatas, kakek, ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan seibu. Menurut ulama Malikiyah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah ibu, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, lalu bibi sekandung dari ibu, bibi se ibu, bibi seayah, neneknya ayah dan garis lurus keatas. 3. Syarat Hadlin Mengingat kemaslahatan anak, maka tidak semua orang dapat memeliharanya, oleh karena itu dibutuhkan beberapa syarat, Didalam Islam terdapat syarat-syarat untuk dapat mengasuh anak, orang yang hendak mengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan anak, mampu melaksanakan tugas sebagai pengasuh anak, maka adanya kemampuan dan kafa’ah mencakup beberapa
28
syarat tertentu dan apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Islam Ulama Malikiyah berpendapat pengasuh tidak tidak disyaratkan harus beragama Islam baik laki-laki maupun perempuan. Jika dikhawatirkan anak yang dipelihara tersebut diberikan makan dan minuman yang tidak halal, maka pemeliharaan tersebut pindah keorang yang beragama islam, hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatamn anak tersebut. Dalam hal ini ditegaskan Zakariyah Ahmad Al-Barri salah satu Ulama Malikiyah, beliau berpendapat bahwa islamnya hadlin (pengasuh) adalah tidak termasuk syarat dari pemeliharan anak karena tidak mempengaruhi rasa kasih sayang seorang ibu secara alami.49 Begitu juga dengan Ulama Hanabilah, tidak afda persyaratan Hadlin (pengasuh) harus Islam, jika Ibu seorang kafir Zimmi, tetap ia lebih berhak atas anak yang diasuhnya asalkan terjaga dari kekafiran dan kerusakan. Apabila terjadi sebaliknya, misalnya diketahui ibu bersama anak pergi kegereja, atau diberi makanan dan minuman yang tidak halal, maka ayahnya boleh mengambil anak dari ibu yang kafir zimmi tersebut. Sedangkan Ulama Syafi’iyah jelas tidak memperbolehkan orang yang kafir memelihara anak yang beragama islam, karena orang kafir berhak atas orang kafir saja.
49
Zakariyah Ahmad Al-Barri, Ahkamul Aulad fil Islam (Kairo: Darul Al-Qoumiyah, 1994), hlm 43.
29
Hal ini ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-Bajuri salah seorang ulama Syafi’I dengan mengatakan bahwa syarat Hadlonah adalah berkaitan dengan agama, tidak ada hadlonah bagi orang kafir terhadap orang Islam, memeperkuat pendapat dari Alqur’an yang berbunyi50:
∩⊇⊆⊇∪ ¸ξ‹Î6y™ t⎦⎫ÏΖÏΒ÷σçRùQ$# ’n?tã t⎦⎪ÌÏ≈s3ù=Ï9 ª!$# Ÿ≅yèøgs† ⎯s9uρ 3 141. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.51
Hal ini akan berbeda ketika yang berbeda agama adalah si anak, maka Imam Taqiyudn Abi Bakri Muhammad Al-Hasan dalm kitab Kifayatul Akhyar fi Ghoyatul Ikhtisar berpendapat pengasuhan terhadap anak yang kafir tetap dapat diserahkan dalam pemeliharaan ibu yang islam, yang demikian itu berdasarkan atas kemaslahatan semata.52 2. Baliqh 3. Waras akalnya (Tidak gila) 4. Dapat dipercaya 5. Tidak Kawin 6. Mampu mendidik anak D. Pembatalan Perkawinan dalam Islam 1. Pengertian pembatalan perkawinan 50
QS. An-Nisa’ (4), 141 DEPAG, Alqur’n dan Terjemahnya QS. An-Nisa’ (4), 141. 52 M.Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar (Semarang, CV.Toha Putra, TTh), hlm 53. 51
30
Hukum islam dalam sebuah perkawinan menganut asas poligami terbatas, tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan. Kalau diantara suami istri atau keluarga tenyata tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka penyelesaiannya bukan diajukan pembatalan perkawinan tetapi dengan jalan Talaq. Dalam hukum islam hanya mengenal perkawinan yang sah dan tidak sah. Perkawinan yang tidak sah dianggap perkawinan itu tidak ada, sedangkan yang sah hanya mungkin putus karena kematian, Talak,53 Khulu’,54 Syiqaq,55 pelanggaran taklik talak, dan fasakh. Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Mansur dalam Lisanul ‘arab menyatakan pembatalan perkawinan dengan istilah Fasakh yang berarti batal ( )ﻧﻘﺬatau bubar ) ﻓﺮق (sedang secara istilah pembatalan perkawinan atau Fasakh ialah:
.ﻞ ا ﻟ ّﺮا ﺑﻄﺔ ا ﻟّﺘﻲ ﺗﺮ ﺑﻂ ﺑﻴﻦ اﻟﺰوﺟﻴﻦ ّ و ﺣ, ﻓﺴﺦ اﻟﻌﻘﺪ ﻧﻘﻀﻪ “fasakh ‘aqdi adalah membatalkan akad, dan melepaskan ikatan perkawinan suami istri.”56 Lepas atau batalnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri, dan ada kalanya
53
Secara bahasa berarti melepaskan ikatan, yang dimaksud sini adalah melepaskan ikatan pernikahan. Lihat Sulaiman Rasyid H, Fiqh Islam, Sinar Baru Al-gensindo, Bandung 2006, Hlm 401 54 Khuluk berarti tebusan, maksudnya disini adalah Talak yang diucapkan istri dengan mengembalikan mahar yang pernah diberikan oleh suaminya. Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis (Menurut AlQur’an, As-Sunnah dan pendapat para Ulama), (Bandung: Mizan, 2002), hlm 218. 55 Adalah perselisihan antara suami istri, yang berujung pada seorang Hakam (penengah) guna menyelidiki permasalahan yang terjadi diantara keduanya. Hamdani, Risalah An-Nikah, penerjemah Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm257. 56 Ibnu Manzur, Lisan al-Arab Juz III, (Qatar: Dar Al-Fikr, 1994), hlm 45. makna senada juga digambarkan oleh Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indoneia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
31
disebabkan hal-hal yang mendatang yang menyebabkan akad nikah perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Sedangkan Abdul Wahab Khalaf memberikan penjelasan bahwa apabila perkataan fasakh disandarkan pada nikah, maka ia akan membawa maksud membatalkan atau membubarkan pernikahan yang resmi oleh sebab-sebab tertentu yang menghalangi kekalnya perkawinan tersebut. Pendapat Imam Muhammad Abu Zahro yang dinukil dalam kitabnya Al-Ahwal AlSayahayiah menyebutkan “fasakh pada hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekwensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi akad, yang menjadikan akad tersebut tidak sah” 57 Dalam Bab VI pasal 37 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”58 dalam pasal tersebut dapat dimengerti bahwa pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena sebab-sebab tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke pengadilan dan harus melalui keputusan Pengadilan. Dalam UU Perkawinan pada Bab IV pasal 22 UU Perkawinan NO. 1 Tahun 1974, disebutkan, “perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
57
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahsyiyah fii al-Syari’ati al-Islamiyah, (Quwait : Darul Qolam, 1990) hlm 60. 58 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002), hlm 97.
32
syarat untuk melangsungkan pernikahan”.59 Pengertian kata “dapat” pada pasal ini diartikan bias batal atau bias tidak batal, yakni tergantung apakah dengan sebab-sebab yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak menentukan lain. Sebagai contoh dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan adalah adanya walini nikah, hal ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV tentang “ Rukun dan Syarat Perkawinan” pasal 14 huruf c. kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ini mengenai syarat wali nikah, yaitu pada ayat (1) “ Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, syarat tersebut diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut dapat dibatalkan.60 Sebagaimana peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan, didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak diberikan secara rinci mengenai pembatalan perkawinan, akan tetapi dari penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Bab XI pasal 70 KHI,61 dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setaelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia. 59
Ibid, hlm 18. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm 20-21 61 Perkawinan batal apabila: (a). suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i. (b). seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya. (c). seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,… (d). perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,… (e). Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. 60
33
2. Sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan Para imam madzhab yakni, Imim Malik, Syafi’I, Hanafi dan Hambali, sepakat bahwa jika terjadi perkawinan dengan perempuan yang disebut dalam Al-Qur’an62
ˈF{$# ßN$oΨt/uρ öΝä3çG≈n=≈yzuρ öΝä3çG≈£ϑtãuρ öΝà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3è?$oΨt/uρ öΝä3çG≈yγ¨Βé& öΝà6ø‹n=tã ôMtΒÌhãm àM≈yγ¨Βé&uρ Ïπyè≈|ʧ9$# š∅ÏiΒ Νà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3oΨ÷è|Êö‘r& û©ÉL≈©9$# ãΝà6çF≈yγ¨Βé&uρ ÏM÷zW{$# ßN$oΨt/uρ (#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù £⎯ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ©ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ ⎯ÏiΒ Νà2Í‘θàfãm ’Îû ©ÉL≈©9$# ãΝà6ç6Íׯ≈t/u‘uρ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ βr&uρ öΝà6Î7≈n=ô¹r& ô⎯ÏΒ t⎦⎪É‹©9$# ãΝà6Í←!$oΨö/r& ã≅Íׯ≈n=ymuρ öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù ∅ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ∩⊄⊂∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tΒ ωÎ) È⎦÷⎫tG÷zW{$# š⎥÷⎫t/ (#θãèyϑôfs? 23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-
saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.63
Secara jelas dari ayat di atas perempuan yang haram untuk dinikahi, sehingga kalau di antara mereka menikah, berarti hukumnya adalah haram dan perkawinan itu harus difasakh, dan menunjukkan larangan abadi untuk orang-orang yang dinikahi, Maka ketika hal-hal tersebut diketahui, akad tersebut dinyatakan rusak seketika itu juga tanpa memerlukan adanya keputusan pengadilan.64 62
Q.S An-Nisa’ (4): 23 DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. An-Nisa’(4): 23 64 M.Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama (Bandung: CV.Diponegoro, 1991), hlm. 73. 63
34
Selain itu dalam hal pembatalan perkawinan, para Imam Madzhab menambahkan beberapa alasaan yang menjadi bolehnya pembatalan perkawinan tersebut diantaranya: a.
Madzhab Hanafi memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan sebab: 1. Perpisahan karena murtadnya kedua suami istri tersebut 2. Perceraian disebabkan rusakny perkawinan itu. 3. Bubar dikarenakan tiadanya kesamaan status (kufu).
b.
Madzhab Syafi’i dan Hambali memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan sebab: 1. Perpisahan karena cacatnya seseorang dari pasangan tersebut. 2. Perceraian disebabkan berbagai kesulitan suami (I’sar). 3. Bubar dikarenakan li’an. 4. Salah seorang dari suami atau istri murtad. 5. Rusaknya perkawinan. 6. Tiada kesamaan status atau (tidak kufu).
c.
Madzhab Maliki memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan sebab: 1. Terjadinya li’an. 2. Rusaknya Percaraian. 3. Murtadnya salah seorang pasangan
Perngertiaan murtad menurut bahasa adalah “kembali”, sedangkan menurut istilah adalah kembali menjadi kafir setelah islam (keluar dari agam islam dan kembali ke
35
agama semula)65 atau keluar dari agama islam dalam bentuk niat, perkataan atau perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.66 Kekufuan (Kufu) atau kesamaan status adalah adanya persesuaian antara kondisi suami dengan istri dalam hal agama, keturunan (Nasab), Profesi, Kehormatan, dan Harta.67 Miskin atau mu’sir adalah keadaan suami yang tidak memberi harta dan tidak mempunyai mata pencaharian yang layak dengan nafkah yang paling minimal atau dalam hal tidak dapat memberkan pakaian atau maskawin.68 Hilang atau Mafqud adalah Ghaibnya suami sehingga tidak diketaui alamatnya, juga tidak diketahui apakah dia mampu atau tidak memberi nafkah sebab terputus beritanya juga tidak meninggalkan harta benda dalam jarak dua marhalah (kurang lebih 77 Km)69 Selain itu suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah bisa mengalami kerusakan atau fasakh tanpa harus ada putusan hakim dengan empat sebab; dengan perincian sebagai berikut: Pertama kerusakan akad, Rusaknya akad pernkahan antara suami istri misalnya disebabkan oleh hal-hal sbb: a. Apabila diketahui bahwa ternyata yang mengakadkan adalah saudara perempuan. 65
M.Rifa’I, Op.Cit., hlm 83-85. Ensiklopedia Islam 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm 304. 67 Abdullah Nashih Ulwan, Adab al-Khitbah wa al-zafaf (etika memilih jodoh), penerjemah Abdul Halim Hamid, (Jakarta: Cahaya Press, TTh), hlm 72-73. 68 M.Anwar, Op.Cit.,, hlm 79. 69 Ibid, hlm 76. 66
36
b. Akad terjadi ketika perempuan masih berada dalam masa Iddah dari suami pertamanya. c. Apabila diketahui bahwa akad tidak dihadiri oleh saksi. Dalam hal sebab-sebab rusaknyna akad diatas, para ulama sepakat bahwa perpisahan suami istri karena hal-hal tersebut disebut fasakh, bukan talaq, karena talak hanya biasa terjadi pada perkawinan yang akadnya sah, sedang dalam hai ini diketahui bahwa akadnya telah rusak. Kedua, munculnya kemahraman karena mushaharah, menurut madzhab Hanafi dan Hambali, munculnuya kemahraman karena mushaharah jika salah seorang suami atau istri (zina) atau hal-hal yang mendahului hubungan tersebut bersama far’inya (anak, cucu, dan seterusnya) sehingga menimbulkan kemahraman nikah karea mushaharah70 Misalnya : suami berzina dengan anak istrinya atau berzina dengan ibu istrinya atau berzina dengan bapak dari suaminya, maka seketika itu juga, perpisahan antara suami dan istri terjadi tanpa memerlukan putusan dari pengadilan. Ketiga, karena murtad, murtad atau riddah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain atau tidak beragama sama sekali, orang yang melakukan riddah secara hukum islam tidak ditetapkan sebagai penganut agama baru itu, Keempat, karena Li’an. Menurut arti bahasa berarti “saling melaknat”. Sedang menurut arti istilah adalah kesaksian kesaksian yang diperkuat dengan sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami istri jika sang suami menuduh istrinya berzina atau mengingkari bahwa anak yang dilahirkan dari
70
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1996), hlm 110.
37
sang istri adalah anak keturunan atau darah dagingnya, disertai dengan ucapan dari pihak suami kepada istri dan do’a kemungkaran Allah dari istri pada suaminya.71 Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 22, pasal 24, pasal 26 dan pasal 27, dijelaskan sebab-sebab / alasan–alasan dibatalkannya suatu perkawinan sebagai berikut: Pasal 22 “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Pasal 24 “Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) fdan pasal 4 Undang-undang ini”. Pasal 26 1) “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pencatat perkawinan tidak berwenang, wali nikah yang tdak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) oaring saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri”. Pasal 27
71
M.Rifa’i, Loc.Cit., hlm.307.
38
1) “seorang suami istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.” 2) “seorang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.”72 Di dalam Bab XI pasal 70 KHI tentang batalnya perkawinan disebutkan bahwa perkawinan batal apabila: (a). Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i. (b). Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya. (c). Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi Ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya (d). Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No 1 tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
72
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Loc Cit, hlm 19
39
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara saudara dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. (e). Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. 3. Akibat Pembatalan Perkawinan Akibat hukum pembatalan perkawinan dalam UU Perkawinan No 1 yatun 1974 pasal 28 sebagai berikut: 1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. 2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut b. Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang dahulu. c. Orang-prang ketiga lainnya termasuk a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan I’tiokad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai hukum tetap.73
73
Ibid.
40
Dalam pasal 76 KHI disebutkan bahwa “batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orangtunya”. Selain itu juga disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut kepada: a. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut b. Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang dahulu. c. Orang-prang ketiga lainnya termasuk a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan I’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai hukum tetap.74 E. Pembatalan Perkawinan perspektif KUHPerdata (BW) 1. Pengertian Pembatalan perkawinan Dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Pembatalan Perkawinan biasa disebut dengan kebatalan perkawinan. Dan cara untuk meminta kebatalan perkawinan yang telah berlangsung adalah dari suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Pada prinsipnya suatu perkawinan yang dilakukan adalah sah, sampai pada saat perkawinan itu dinyatakan batal. Dan hak untuk meminta kebatalan dari suatu perkawinan itu hanya diberikan kepada beberapa orang tertentu saja. Orang itu dapat
74
Loc.Cit., hlm 42.
41
mempergunakan haknya untik meminta kebatalan dari suatu pernikahan, tapi kalau tidak maka perkawinan tersebut dapat berlangsung terus dan sah.75 Dalam KUHPerdata pada bagian ke empat adalah membahas tentnag kebatalan perkawinan yang terdapat pada pasal 85 sampai dengan pasal 99. dalam KUHPer pembatalan perkawinan disebut dengan “ kebatalan perkawinan”, pengertian yang juga sama dengan yang ada dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam KUHPer memang ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI untuk itulah jika diperlukan KUHPer dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim di Pengadilan Agama. 2. Sebab Pembatalan Perkawinan Sebagai mana telah disebutkan bahwa batalnya perkawinan hanya dapat dituntut dalam hal-hal tertentu dan oleh orang-orang tertentu saja. Adapun alasan pembatalan perkawinan sebagaimana terdapat dalam KUHPerdata bagian ke VI tentang kebatalan perkawinan yaitu; Pasal 86 kebatalan perkawina yang dilangsungkan bertentangan dengan pasal 27, dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan lebih dahulu oleh telah terikat dengan salah satu darti suami istri, oleh si suami-istri itu senderi, oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu dan jawatan kejaksaan.
75
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm 117.
42
Apabila kebatalan perkawinan yang lebih dahulu itu diperlawankan, maka terlabih dahulu harus diputuskan, soal absah atau tidak absahnya perkawinan itu. Pasal 87 keabsahan suatu perkawinan yang berlangsung tanpa kebebasan kata sepakat suami istri atau salah satu dari mereka, hanya dapat ditentangkan oleh suami istri itu sendiri, atau salah satu dari mereka, yang secara tak bebas telah memberikan kata sepakatnya. Apabila telah terjadi suatu kekhilafan tentang diri orang, dengan siapa siapa seorang telah mengikat dirinya dengan perkawinan, maka keabsahan perkawinan itu hanya dapat ditentang oleh si suami atau si istri yang telah tersesat dalam kekhilafan itu. Pasal 88 apabila terjadi, seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh dibawah pengampuan, telah mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, maka keabsahan perkawinan yang demikian hanya boleh dilawan oleh bapaknya, ibunya dan para keluarga sedarahnya yang lain dalam garis keatas, pula oleh orang saudaranya lakiSetelah pengampuan itu dihapuskan, maka pembatalan perkawinan masih boleh dituntut oleh si suami atau si istri yang dulu ditaruh dibawa pengampuan, akan tetapi tuntutan ini pun tak dapat diterima, apabila kedua suami-istri berturut-turut telah berumah tinggal bersama-sama enam bulan lamanya, semenjak pengampan disebutkan. Pasal 89. Apabila seorang yang belum mencapai umur yang disyaratkan oleh pasal 29, mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, maka pembatalan perkawinan yang
43
demikian boleh dituntut, baik oleh si yang belum cukup umur tadi, maupun oleh Jawatan Kejaksaan. Sementara itu, keabsaan perkawinan tadi tak lagi dapat dilawan. 1e. Apabila pada hari tuntutan pembatalan dimajukan dimuka hakim, si suami atau istri atau keduana telah mencapai umur yang disyaratkan. 2e. Apabila si istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan, sebelum tuntutan pembatalan dimajukan, dalam keadaan mengandung. Pasal 90. Pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan termuat dalam pasal 30, 31, 32, 33, boleh dituntut baik oleh suamiistri sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, baik akhirnya oleh Jawatan Kejaksaan. Pasal 91. Apabila suatu perkawinan berlangsung tanpa izin dari bapak atau ibu, dari kakek atau nenek, atau pun dari wali atau wali pengawas, maka dalam segala hal, bila mana menurut pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40 izin perkawinan harus diperoleh, ataupun si wali harus didengar, pembatalan perkawinan itu hanya boleh dituntut oleh mereka, dari siapa menurut undang-undang izin itu diperoleh atau menurut undangundang harus didengar.
44
Apabila keluarga sedarah, dari siapa izin itu sedianya harus diperoleh, sementara itu tidak lagi diperbolehkan melancarkan tuntutan pembatalan mereka, apabila baik dengan tegas, maupun dengan diam-diam, perkawinan itu telah mereka setujui, atau apabila tanpa suatu tentangan apapun juga dari pihak mereka enam bulan telah berlangsungnya perkawinan itu. Pasal 92. Pembatalan suatu perkawinan, yang dilangsungkan tidak didepan pegawai catatan sipil yang berkuasa, pun, tidak dihadiri oleh sejumlah saksi-saksi sebagai mana mestinya, boleh dituntut oleh suami istri sendiri, oleh bapak atau ibu meraka, oleh para keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas, pula oleh wali, wali pengawas atau segala mreka yang berkepentingan dan akhirnya pula oleh Jawatan Kejaksaan. Apabila terjadi suatu pelanggaran aka pasal 70, sekedar mengenai keadaan saksisaksi, maka perkawinan itu tidaklah secara mutlak harus mengalami kebatalan, melainkan Hakimlah yang harus memecahkan soal ini, selaras dengan keadaan. Jika perhubungan selaku suami-istri jelas menampakkan adanya, dan sebuah akta perkawinan yang dibuat dimuka seorang pegawai catatan sipil yang berkuasa, dapat diperlihatkan pula, maka suami-istri tidak dapat diterima dengan permintaan merekauntuk membatalkan suatu perkawinan berdasarkan pasal ini.76 4. Akibat Pembatalan Perkawinan
76
Subekti, Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2006), hal 22-24.
45
Adapun dampak atau akibat dari pembataln perkawinan sebagaimana tersebut dalam Bab ke- 4 bagian ke-enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W) menyatakan; “ Suatu perkawinan yang kemudian dibatalkan, mempunyai akibat perdata baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, asalkan perkawinan itu oleh suami istri kedua-duanya dilakukan dengan I’tikad baik”. Akan tetapi jika I’tikad baik itu hanya pada salah satu pihak saja, maka pasal selanjutnya yakni pasal 96 menyatakan bahwa pihak yang berlaku dengan I’tikad baik mendapat akibat perdata yang menguntungkan saja, begitu pula anak-anaknya Sebaliknya bagi yang beri’tikad buruk, maka pembalatan perkawinan itu mengakibatkan penghukuman untuk membayar segala biaya ganti rugi dan bunga bagi pihak lainnya. Didalam soal perkawinan, seseorang dianggap beri’tikad baik, jika ia tidak mengetahui larangan yang ditentukan menurut hukum suatu perkawinan sehingga dalam perjalanannya perkawinan itu dibatalkan dikarenakan sebab larangan yang telah dilanggarnya.
46
BAB III ANALISIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (BW)
A. Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan pada bab III bahwasanya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau telah terjadi pelanggaran ketentuan baik rukun maupun syarat sah perkawinan. Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang Ilmu pengetahuan (The body of knowladge) akan tetapi ditelaah dalam disiplin ilmu yang lain yang memberikan pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang agama, hukum, dan secara disiplin ilmu lainnya.
47
Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orang tuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu”77. Artinya yang dibatalkan itu adalah di mana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami istri yang perkawinan dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di dalamnya. Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh anak. Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau dibatalkan oleh hukum78. Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak memang tidak dapat dimarginal kan, sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku, UndangUndang No 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan pasal 28 dan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) huruf a berbunyi :
77 78
Departemen Agama RI, Ibid Ali Afandi, Loc Cit, hlm 121
48
(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi perpisahan, merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak menjadi generasi yang kuat dan tidak terjerumus dalam kebodohan, kelemahan dari sisi tertentu, yang mana itu semua sangat tidak dicintai oleh Allah. Dalam sebuah hadist Qudsi dinyatakan ” ( “ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻗﻮي ﺧﻴﺮ و أﺣﺐ اﻟﻰ اﷲ ﻣﻦ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﺿﻌﻴﻒseorang mukmin yang kuat itu lebih baiak dan dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah) HR.Muslim79. Menelantarkan anak berarti secara tidak langsung menyeret anak dalam curam kebodohan yang dapat membawa anak ke dalam lembah kefakiran dan kefakiran dapat merentankan kekufuran, sebagaimana sabda nabi Muhammad S.A.W. “ آﺪ اﻟﻔﻘﺮأن
”ﻳﻜﻮن آﻔﺮا (Hampir-hampir kefakiran itu menjadikan (seorang) dalam kekufuran) dan kekufuran membawa korbannya kedalam lembah api neraka. Tidak pelak lagi, hal ini merupakan kewajban yang sangat diperhartikan oleh Islam dalam menjaga masing-masing individu terlebih keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat AtTahrim ayat 6 yang berbunyi80 :
79 80
Ali Asshabuni, Muhammad, Min Kunuzis sunnah, (Beuirut: Darul Qutub Al Islamiy, 1999) DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. At-Tahrim (66): 6
49
îπs3Íׯ≈n=tΒ $pκön=tæ äοu‘$yfÏtø:$#uρ â¨$¨Ζ9$# $yδߊθè%uρ #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ ∩∉∪ tβρâsΔ÷σム$tΒ tβθè=yèøtƒuρ öΝèδttΒr& !$tΒ ©!$# tβθÝÁ÷ètƒ ω ׊#y‰Ï© ÔâŸξÏî “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. Dalam ayat di atas menjaga dari api neraka merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim terhadap dirinya pribadi dan pada keluarganya, Ini bisa teridentifikasi pada lafadz ﻗﻮاyang mana kata ini menunjukkan kata perintah (Amr) yang pada dasarnya setiap kata perintah menunjukkan suatu kewajiban, dalam sebuah kaidah fiqh menyatakan ” ( ” اﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﻷﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮبAsal dari pada perintah itu adalah wajib), artinya jika perintah itu bebas bebas tidak disertai qarinah yang menyimpangkan kepada tujuan selain wujud, maka ternyata pengertian hukum yang keluar dari amr itu ialah wajib.81 Dalam memberikan pengasuhan beberapa hadist telah menjelaskan berkenaan dengan siapa yang layak untuk mengasuh anak lebih-lebih ketika perkawinan itu putus (baik disebabkan karena perceraian maupun karena suatu hal yang menjadikan perkawinan itu terputus atau dibatalkan) dan hadist-hadist itu menunjukkan pengasuhan berada pada ibu kandung si anak. Sebagaimana sebuah hadist yang di kutib oleh Abi
81
Riva’I, Muhammad, Ushul Fiqh, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1983) hlm 20
50
Suju’ dalam kitabnya At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqriib melalui jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﺎءت: ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ و إن, وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء, وﺛﺪﺑﻲ ﻟﻪ ﺳﻘﻘﺎء, آﺎن ﺑﻄﻨﻲ وﻋﺎء: ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ إن اﺑﻨﻴﻲ هﺬا:اﻣﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ أﻧﺖ أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ: ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.أﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﻨﻲ وأراد أن ﻳﻨﺰﻋﻪ ﻣﻨﻲ ( )رواﻩ أﺑﻮ داود.ﺗﻨﻜﺤﻲ “ Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya R.A: Bahwa sanya datang seorang perempuan kepada Rasulullah SAW dan berkata :Ya Rasulallah, ini adalah anakku, perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka Rasulullah bersabda: Engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah.” (HR. Abu Dawuud)82. Dalam hadist di atas selain menerangkan seorang yang lebih berwenang dalam pengasuhan juga dapat memberikan suatu hukum berkenaan dengan masa pengasuhan ibu, yakni hukum di mana selama ibu belum kawin lagi dengan laki-laki lain, selama itu pula hak pengasuhan seorang anak berada dalam pengasuhan ibu. Tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonahnya tidak hilang. Hal ini karena paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat 82
Abi Suju’, Op.Cit hlm 189.
51
dengan anak tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya. Dengan demikian, akan terjadi kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak, si ibu dan suami yang baru. Ini cukup beralasan andai suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya, dikhawatirkan suami barunya tadi tidak bisa mengasihi anak dan tidak dapat memperhatikan kepentingannya dengan baik, sebagaimana kasih sayang yang diberikan dari kerabat yang masih dekat dengan si anak seperti paman dari ayah misalkan. Karenanya ini nantinya dapat mengakibatkan suasana keluarga tanpa kasih sayang, hampa akan udara yang mesra, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak kurang baik akibat kondisi keluarga yang tidak kondusif. Dalam hal ini bisa dilihat Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 45 ayat 1 tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak. Kewajiban orang tua yang dimaksud adalah : (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus. Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 secara tegas disebutkan pemeliharaan anak dalam terjadinya perceraian. d. Pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
52
e. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai hak pemegang pemeliharaannya. Pada bab ke- 4 bagian ke-enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W) menyatakan; “Suatu perkawinan yang kemudian dibatalkan, mempunyai akibat perdata baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, asalkan perkawinan itu oleh suami istri kedua-duanya dilakukan dengan I’tikad baik”83. Dalam pasal ini secara implisit jelas menyatakan Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan adalah anak-anak yang juga secara keperdataan dan akibat hukumnya dianggap sama kedudukannya sebagai anak yang sah. Kemudian mengenai pengasuhan dan kekuasaan anak dijelaskan dalam bab empat belas, bagian ke 1, tentang kekuasaan orang tua pasal 299 yang menyatakan “Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung dalam kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak membebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.” Selanjutnya dalam Pasal 300 juga dijelaskan “Kecuali dalam hal adanya pembebasan atau pemecatan dan dalam hal berlakunya ketentuan-ketentuan sekitar perpisahan meja dan ranjang, kekuasaan itu dilakukan oleh si bapak sendiri.” Sekiranya si bapak diluar kemungkinan melakukan kekuasaan orang tua, maka, kecuali pula dalam hal perpisahan meja dan ranjang, si ibulah yang melakukannya. Selanjutnya penulis tidak menemukan penjelasan dalam KUH Perdata ini mengenai pengasuhan anak secara khusus, sebagaimana pembahasan sebelumnya yakni
83
Subekti, Tjitrosubidio, Loc Cit.
53
pengasuhan dalam Islam. Dalam hal anak dikatakan dewasa di atas penulis menganalogikan pada usia perkawinan sebagaimana dalam bab ke empat, bagian ke satu, pasal 29 menyebutkan “seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, seperti pun pula seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak diperbolehkan dirinya mengikat dalam perkawinan.”
B. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua Akibat Dari Pembatalan Perkawinan Tinjaun Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Di dalam Islam terdapat bermacam-macam status anak dari para anak, sesuai dari sumber anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang nantinya akan menentukan status seorang anak. Setiap keadaan menentukan kedudukannya, membawa sifatnya sendiri dan memberi haknya. Hukum mengenai status anak berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Dengan sendirinya jalan yang demikian menjadikan seorang anak dekat atau jauh dengan kedua orang tuanya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah ataupun yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang dulunya pernah ada itu di perbolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu bapaknya mempunyai syarat-syarat yang membenarkan hubungan yang ada yang terdapat antara mereka. Perkawinan menentukan status anak, sang anak bergantung kepada perkawinan atau hubungan antara ibu dan bapaknya. Adapun anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Dan di dalam Islam
54
hendaknya anak diberikan nama dengan disertaia nama bapaknya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya. Pengertian anak sebagaimana dalam kamus besar Bahasa Indonesia84, posisi anak akibat dari pembatalan perkawinan memang memiliki kedudukan yang tidak berlaku surut atau dengan pengertian tetap sebagai anak yang sah, walaupun akibat putusan Pengadilan Agama berupa pembatalan perkawinan, ia mempunyai hak pengasuhan dan kesambungan nasab baik dari bapak maupun dari ibunya dari perkawinan yang batal atau dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Suami istri yang perkawinannya di batalkan akan mengakibatkan antara keduanya seolah-seolah tidak pernah ada atau terjadi perkawinan diantara keduanya, meskipun suatu pembatalan itu pada dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam hal suatu perkawinan dibatalkan tidak boleh beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan karena banyak kepentingan dari berbagai pihak yang harus dilindungi. Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orang tuanya. Secara hukum formil ini terurai jelas dalam bab ke-I, bagian ke enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Suatu perkawinan, walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik terhadap suami istri, maupun terhadap anak anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami istri kedua duanya telah dilakukan dengan itikad baik”.
84
Keturunan yang kedua. Lihat Poerwardarminta, Loc Cit, hlm 60
55
Dan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ayat (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu. Artinya yang dibatalkan itu adalah dimana sejak saat perkawinan tersebut dilangsungkan, yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami dan istri yang perkawinan dibatalkan. Secara sederhana pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini merupakan ketentuan yang menurut penulis sangat adil, bijaksana dan sangat mencerminkan kemanusiaan, karna mmperhitungkan pihak-pihak yang msecara tidak langsung menjadi korban dari pembatalan perkawinan dalam hal ini adalah anak karena menimbang hubungan nasab dan perwalian ketika anak tersebut menjadi tumbuh dewasa. Dan dimensi soialnya menjaga kedudukan seorang anak yang sebelum terjadi pembatalan perkawinan sebagai anak sah, tetap berkedudukan sebagai anak yang sah seusai pernikahan orangtuannya dibatalkan oleh pengadilan. selanjutnya pada ayat (2) ditegaskan keputusan tidak belaku surut terhadap Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan berlaku keperdataan terhadap anak-anak yang terlahir didalamnya. Dan dalam KHI Bab XI pasal 76 “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”. Maka dapat dipahami bagi anak-anak yang terlanjur lahir setelah pengadilan membatalkan perkawinan orang tuanya, maka anak-anak tersebut tetap dianggap anak sah. Hal ini di dasarkan pada nilai kemanusiaan dan kepentingan anak tersebut ketika beranjak dewasa, agar memilki perlindungan hukum. Jadi dalam hal nasab dan perwalian tetap di nisbatkan pada ayahnya atau lelaki yang mengumpuli
56
ibunya, serta anak tersebut dapat mewarisi harta dari ayah atau ibunya dan juga nak itu mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga si ayah (ibu). Kecuali jika pembatalan perkawinan tersebut disebabkan salah adanya salah satu dari suami atau istri yang murtad. Alasan murtad dalam pembatalan perkawinan selain diatur dalam hukum Islam juga merupakan tambahan dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maupun KHI, tentang pembatalan perkawinan yang sebelumnya menyebutkan alasan murtad hanya dapat diputus dengan perceraian, tetapi ada penambahan pada pasal selanjutnya bahwa terhadap suami istri yang murtad maka perkawinan juga dapat dibatalkan. Terhadap pembatalan perkawinan yang terputus karena salah satu pihak murtad, maka anak dalam kewarisannya tidak dapat memperoleh hak waris dari bapak maupun ibunya, secara hukum Islam hal ini tentunya menjadi pengecualian tersendiri dan ini disebut sebagai penghalang kewarisan. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
(ﻻﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ و ﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮاﻟﻤﺴﻠﻢ )رواﻩ اﻹﻣﺎم أﺣﻤﺪ Artinya: “Seorang muslim tidak dapat mewarisi dari orang (keluarganya)yang kafir, dan orang yang kafir tidak bias mewarisi orang (keluarganya) yang muslim”. (H.R. Imam Ahmad).85 Untuk hubungan hukum yang berkaitan dengan kewarisan, KUH Perdata tidak mempermasalahkan perbedaan agama, terlihat dalam uraian pasal 838: “yang dianggap tak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah: 85
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, (Mesir: Darul Al-Qhad Al- Jadid, 2004) hlm 370.
57
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal. 2. Mereka dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman lima tahun penjara lamanya atau hukuman uyang lebih berat. 3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya. 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal. Namun dalam bab ke 12 bagian ke tiga pasal 283 KUH Perdata disebutkan “Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekali-kali tak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam pasal 273.” Dari pasal ini secara otomatis bila tidak ada pengakuan, maka segala akibat hubungan perdata antara anak dan orang tua.
58
SEBAB PEMBATALAN PERKAWINAN PESAMAAN
PERBEDAAN
HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (BW) 1. Adanya hubungan
HUKUM ISLAM
1. Sebab salah satu atau keduanya 1. Sebab telah memiliki lebih
Mahram/Mushaharah/Semenda. 2. Ada unsur salah sangka diantara keduanya atau
Murtad (Berpindah Agama).
dari 4 orang Istri. (Pasal 86)
2. Tidak ada kesesuaian status 2. Sebab seorang yang tidak
salah satu pihak. 3. Adanya ancaman / tidak ada kebebasan kata
KUH perdata (BW)
(Tidak Kufu).
sempurna aklnya. (Pasal 88).
3. Salah satu pihak pernah saling 3. Belum mencapai Umur yang
sepakat antara suami dan istri atau salah satu
melaknat (Li’an).
pihak.
telah di tetapkan. (Pasal 89) 4. Adanya hubungan
4. Tidak terpenuhinya syarat-syarat Formil dan
Mahram/Mushaharah/Seme
Materil pernikahan al:
nda. (Pasal 90)
1. Kecakapan umur.
5. Tanpa memperoleh Izin dari
2. Beristri lebih dari 4 orang.
Wali. (Pasal 91)
3. Rusaknya akad nikah (wali yang tidak seharusnya) 5. Pengajuan pembatalan pernikahan hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.
59
PENGASUHAN DAN HUBUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT DARI PEMBATALANPERKAWINAN PENGASUHAN ANAK PERSAMAAN 1. Pengasuhan anak yang belum dewasa / mumayis berada dalam pengasuha Ibu.
HUBUNGAN HUKUM
PERBEDAAN HUKUM ISLAM 1. Pengasuhan
PERSAMAAN
KUH perdata (BW)
1. Pembatalan perkawinan tidak
1. sepanjang
anak tidak
perkawinan bapak
diberikan
dan ibu, tiap-tiap
terhadap Ibu
anak sampai ia
yang memiliki
menjadi dewasa,
keyaknan
tetap bernaung
agama yang
dalam
berbeda
kekuasaannya
dengan anak.
mereka (Bab XIV,
berlaku surut terhadap anak. 2. Jika pembatalan Perkawinan tersebut dulunya karena suatu kesengajaan maka keperdataan anak tidak diakui.
PERBEDAAN HUKUM ISLAM 1. Jika
yang dilahirkan dari
perkawinan
pembatalan
terjadi karena
perkawinan adalah
salah satu
anak yang sah, dan
atau keduanya
dapat mewarisi baik
murtad,
dari bapaknya
maka anak
maupun dari ibunya
dan orang tua
saling mewarisi.
60
1. Anak anak
pembatalan
tidak dapat
Pasal 299)
KUH perdata (BW)
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa di kemukakan: 1. Bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan, maka anak-anak itu tetap dianggap sebagai anak yang sah, anak-anak itu juga mempunyai hubungan keperdataan dan hubungan kekeluargan dengan keluarga si ayah atau ibu. Hal ini didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Menurut KUH Perdata hal hal tersebut diatas berlaku ketika pembatalan perkawinan yang terjadi karena pelanggaran dalam syarat formal saja sepeti: wali yang tidak berwenamg atau poligami tanpa izin. Namun jika pelanggaran yang terjadi karena syarat materiil (larangan tetap seperti perkawinan
61
karena nasab) dan pelanggaran lain seperti karena zina, maka perkawinan yang ada dapat batal dengan sendirinya atau dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang timbul dari hubungan pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada pula atau tidak mendapat perlindungan hukum. 2. Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi perpisahan (baik dikarenakan karena perceraian maupun perpisahan dengan putusan pengadilan) merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak menjadi generasi yang di cita-citakan bersama.
SARAN 1. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi, maka dari itu perlu diadakan penelitian dan pengkajian lebih lanjut berkenaan dengan penulisan ini. 2. Bagi pihak-pihak yang hendak melangsungkan pernikahan, alangkah baiknya jikalau masing-masing yang bersangkutan memperhatikan berkenaan dengan hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan tersebut, semua itu semata-mata demi kemaslahatan bagi semua pihak terutama bagi anak. 3. Keluarga adalah merupakan amanah dari Allah SWT, maka sudah barang tentu kita harus menjaga amanah tersebut dengan tulus dan Ikhlas terutama anak.
62
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama (2004) Al-qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Diponegoro. Departemen Agama, Direktorat Jendral Bimbngan Masyarakat Islam Dan Haji (2002) Himpunan Perundang-Undangan RI. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam.
Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Atmajoyo, Sastro (2003) Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Al Manar (2003) Fiqh Nikah. Bandung : PT.Syamil Cipta.
Abdurrahman dan Soejono (2003) Metode Penelitian Hukum. Cet ke 2 Jakarta: Renika Cipta.
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Islmail (1992) Shaheh Bukhari. Surabaya: Tanpa Penerbit.
Al-Juzairi (1992) Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’. Beirut: Darul Qutub Al-Limiyah.
Al-Barr, Zakariyah Ahmad (1994) Ahkamul Aulad Fil Islam. Kairo: Darul AlQoumiyah.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir (2002) Fiqh Praktis Menurut Alqur’an, As-sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan. Anwar, Muhammad (1991) Dasar-Dasar Hukum Islam Dlama Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama. Bandung: CV.Diponegoro. Afandi, Ali (1986) Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina Aksara Ali Asshabuni, Muhammad (1999), Min Kunuzis sunnah, Beuirut: Darul Qutub Al Islamiy. Abi Suju’ (Tth) At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii Surabaya: AlHidayah. Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (2005) Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Ensiklopedia Hukum Islam (2003) Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Hasbi As Shidiqi, Teungku Muhammad (2001) Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Hamdani (2002) Risalah An-Nikah. Alih Bahasa Agus Salim Jakarta: Pustaka Amani Idris, Masykur, Afif Mahmud Fiqh Lima Madzhab Jakarta: Lentera Baritama Ibrahim, John (2008) Teori Dan Penelitian Hukum Normatif. Cet ke IV Malang: Bayumedia. Kompilasi Hukum Islam (2000) Jakarta: Departemen Agama
Kamus Besar Bahasa Indonesi (1995) Edisi Kedua. cet.VII; Jakarta: Balai Pustaka
Kusuma, Hadi Hamdani (2003) Hukum PErkawinan Indonesia Menurut PerundangUndangan Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. LKP2M (2005) Reseach book for. Malang: UIN-Malang. Moleong, Lexy J (1998) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Manzur, Ibnu (1994) Lisanul ‘Arab. Juz III Qatar: Darul Fikr.
Munawir (1997) Kamus Al-Munawir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
M.Jawad Muqniyah (1999) Fiqh ‘Ala Madzahibul Al-Khomsah. Penerjemah Al-Kaff Poerwardarminta (1989) Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (2004) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Rasjid, Sulaiman (1998) Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Riafa’i, Muhamad (TTh) Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar. Semarang: CV.Toha Putra. Riva’I, Muhammad (1983) Ushul Fiqh, Bandung: PT.Al-Ma’arif
Syarifuddin (2004) Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Persada Media.
Subekti (1994) Pokok pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT.Intermasa.
Suyanto, Bagong dkk (2005) Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono dan Srimanji (2003) Penelitian Hukum Normatif. Cet ke VI Jakarta: Raja Grafindo Persada Sunarto (2003) Metodologi Penelitian Deskriptif. Surabaya: Usaha Nasional. Sabiq, Sayyid (1991) Fiqh Sunnah. Bandung: PT.Al-Maarif. Waluyo, Bambang (2002) Penelitian Hukum Dalam Praktek. Cet ke 3 Jakarta: Sinar Grafika.
Ulwah, Abdullah Nashih (Tth) Adab Al- Khitbah Wa Az-Zawaf. Penerjemah Abdul Halim Hamid dengan Judul Adab Memilih Jodoh Jakarta: Cahaya Press. Yunus, Muhammad (1996) Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, Hambali. Jakarta: PT.Hidakarya Agung. .
.
.