HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
OLEH :
MUHAMAD ALI SAFI H1A1 11 055
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Ujian Skripsi Pada Bagian Hukum Perdata
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
ABSTRAK MUHAMAD ALI SAFI (H1A1 11 055) “HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM” dibawah bimbingan Bapak Dr.H. Sukring, M.Pdi. sebagai pembimbing I dan Bapak Rasmuddin, S.H.,M.H. sebagai pembimbing II. adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam? 2. Bagaimana status pengasuhan anak akibat pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam?. Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana status pengasuhan anak akibat pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Penelitian dalam skripsi ini adalah menggunakan tipe penelitian normatif. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan penelitian pustaka (Library Research). Sumber-sumber bahan hukum dalam objek penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan: 1. pasal 75 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami/istri yang murtad, Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, serta Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap” 2. pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”. Dengan demikian pemeliharaan anak akibat pembatalan perkawinan dilaksanakan berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mummayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibu, dan pemeliharaan anak yang sudah mummayyiz diserahan pada anak untuk memilih diantara ayah/ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, namun yang dibebani biaya pemeliharaan dan pendidikan anak adalah ayah dari anak tersebut.
iv
KATA PENGANTAR Puji dan syukur atas kehadirat Alah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam” dapat terselesaikan walaupun dalam bentuk yang sederhana. Dalam penyusunan skripsi ini dari sejak persiapan hingga selesai, penulis menemukan berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan, arahan, dan bantuan dari pihak-pihak terutama kedua pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Dr.H. Sukring, M.Pdi. sebagai pembimbing I dan Bapak Rasmuddin, S.H.,M.H. sebagai pembimbing II. Penulis ucapkan sembah sujud kepada kedua orang tua tercinta malaikatku di dunia ini Ayahanda La Saena Dan Ibunda Wa Fibe yang telah memberikan curahan kasih sayang, doa restu perhatian dan dukungan serta pengorbanan yang tidak ternilai harganya selama ini dalam menempuh pendidikan hingga di Perguruan Tinggi. Ayahanda dan ibunda menjadi pilar dan simbol keagungan dalam merai mimpiku. Terimakasih penulis juga sampaikan kepada saudarasaudaraku yang tidak bosan-bosanya selalu memberiku semangat dan motifasi.
v
Ucapan
terimakasih
dan
penghargaan
setinggi-tingginya
penulis
sampaikan kepada yang terhormat: 1.
Bapak Prof.H. Usman Rianse, M.S., selaku tektor Universitas Halu Oleo
2.
Bapak Prof.Dr.H. Muhammad Jufri, S.H.M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
3.
Bapak Rizal Muchtasar, S.H.LL.M., selaku Wakil Dekan Bagian Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
4.
Bapak Herman, S.H.LL.M., selaku Wakil Dekan Bagian Keuangan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
5.
Bapak Jabal Nur, S.H.M.H., selaku Wakil Dekan Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
6.
Ibu Heryanti, S.H.M.H., selaku Ketua Bagian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
7.
Bapak Haris yusuf, S.H.M.H., selaku Koordinator Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
8.
Ibu Nur Intan, S.H,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
9.
Bapak/Ibu dosen serta Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
10. Kepada kakakku Muh. Sahar, adik-adikku Ika, Ima, Fani, dan saudarasaudaraku Fauzin, Nening Yuniar, Sofyan, Afta, Nasrudin, Iwan yang terus meberikan dukungan dan motifasi hingga dapat menyelesaikan kuliah. 11. Saudara-saudara seperjuangan Uly, Nining, Pepti, Saubil, Hery, Nasir, Andri, Asdar, Jayadi, dan semua teman-teman reguler 2011 yang tidak
vi
sempat
penulis
sebutkan
namanya
satu
persatu,
terimakasih
atas
kebersamaannya selama empat tahun terakhir suka duka selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum telah dilalui bersama. Demikianlah ucapan terimakasih atas penghargaan setinggi-tingginya, semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan saran dari semua pihak sangata penulis butuhkan demi kesempurnaan penulisan berikutnya.
Kendari ,
Penulis
vii
Juli 2017
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii ABSTRAK .............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan ................................................. 8 1. Pengertian Perkawinan……………………………………………8 2. Hukum Pernikahan......................................................................... 10 3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan………………………….. 12 4. Tujuan Perkawinan…………………………………………….... 19 5. Larangan Perkawinan.................................................................... 20 6. Akibat Perkawinan……………………………………………… 23 B. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan ........................... 29 1. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ............................................................................................. 29 2. Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ......
32
C. Tinjauan Umum Tentang Anak ......................................................... 33 1. Pengertian Anak ........................................................................... 33 2. Hak-Hak Anak .............................................................................. 34
viii
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian .................................................................................... 37 B. Sumber Bahan Hukum ........................................................................ 37 C. Teknik pengumpulan Data .................................................................. 38 D. Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................... 38 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ................................................................................................... 39 B. Status Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ..................................................................... 42 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................ 49 B. Saran-Saran ............................................................................................ 50 DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan adalah momen yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena akan dikenang sepanjang hidupnya. Pernikahan menyatukan dua insan manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga akan menyatukan kedua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan sehingga kedua keluarga besar tersebut bisa saling mengenal satu sama lain sekaligus dapat menjalin ikatan persaudaraan yang semula belum terikat menjadi lebih terikat. Pada hakikatnya manusia merupakan mahluk sosial dan sebagai mahluk sosial sudah tentu harus menghendaki interaksi antara sesamanya. Dengan adanya interaksi tersabut, maka akan muncul sebagai peristiwa hukum yang merupakan akibat dari interaksi tersebut. Salah satunya ialah perkawinan yang merupakan sunatullah yang umum yang berlaku bagi semua mahluk Tuhan, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada seseorang yang sudah mampu untuk melaksanakannya. Pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral karena perkawinan memiliki nilai-nilai spiritual, sehingga perkawinan harus dilaksanakan dengan rangkayaan upacara yang bersifat religius dan dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaan dari para pihak yang melangsungkan perkawinan. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Islam memandang bahwa pernikahan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT dan mengikuti sunah Rasul. Di samping mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi nurani hidup manusia juga melestarikan keturunan dan mewujudkan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat (Ahmad Azhar Baasyir, 2000:13). Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan secara jelas dan terperici. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan. Misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, biaya hidup yang harus di adakan setelah putusnya perkawinan dan lain-lain (Soemiyati, 2007:5). Dalam
Undang-Undang
Perkawinan
telah
ditentukan
pengertian
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan yang di lakukan orang Islam adalah sah apabila mengikuti ajaran Islam. Dengan demikian utuk sahnya
2
suatu perkawinan harus dipenuhi dengan rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam (Afdol, 2006:83). Sesuai dengan bunyi pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan bagi orang Islam di Indonesia sah apabila telah dilaksanakan dengan hukum Islam dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan dalam Undang-Undang perkawinan. Jadi perkawinan tidak sah dan batal apabila tidak memenuhi syarat dan rukun yang telah di tentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 peraturannya bersifat umum, sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang bersifat khusus, karena hanya diperuntukan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam juga dijadikan pegangan bagi para Hakim Pengadilan Agama seluruh Indoneisa dalam melaksanakan tugasnya dalam penyelesaian perkara yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Perkawinan dalam agama Islam disebut “nikah” yaitu suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dan seorang wanita guna menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentaraman dengan cara-cara yang di ridhoi Allah (Soemiyati, 1986:8). Pada dasarnya perkawinan itu di lakukan untuk selama-lamanya sampai mati dari salah seorang suami-istri. Inilah yang sebenarnya yang di kehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki 3
putusnya perkawinan itu sendri. Dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka hanya kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melannjutkan rumah tangga sehingga dengan di putusnya sebuah perkawinan akan menjadi jalan keluar yang baik bagi dirinya maupun pasangan hidupnya (Amir Syarifuddin, 2007:191). Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir oleh karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, karena percerian yang terjadi diantara keduanya, atau karena sebab-sebab lain yang salah satunya adalah karena adanya sebab fasakh atau adanya pembatalan perkawinan demi hukum yang dilakukan di depan siding pengadilan (Abdul Rahman Ghazali, 2003: 91). Dalam hal terjadinya pembatalan perkawinan (fasakh) telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan di jelaskan bahwa batalnya suatu perkawinan di mulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinnan. Bagi yang beragama Islam, Pembatalan perkawinan dapat di ajukan di Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian. Konsekuensi-konsekuensi tersebut berupa 4
hak waris-mewarisi, perwalian, kedudukan anak/kejelasan nasab (keturunan), dan pemberian nafkah. Salah satu contoh kasus tentang perkawinan yang dibatalkan seperti yang terjadi
di
pengadilan
Agama
Sidoarjo
dalam
putun
nomor
978/Pdt.G/2001/PA.Sda, karena para pihak ada hubungan pertalian darah yaitu saudara se-Ibu, dan dalam perkawinan kedua belah pihak telah dikaruniai satu orang anak berumur 3 (tiga) tahun. Dalam pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. Dalam hal ini orang tua berkewajiban untu menjaga, merawat, memberi nafkah, mendidik dan memberikan segenap kasih sayang untuk anaknya. Komiplasi Hukum Islam dalam pasal 75 poin (b) menyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dalam hal ini, pembatalan perkawinan kedua orang tua tidak berlaku bagi anak-anak yang dilahirkan. Namun jika terjadi pembatalan perkawinan sudah tentu akan membawa dampak terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak, mengenai siapa yang berhak mengasuh anak tersebut, kerana pembatalan perkawinan tidaklah sama dengan perceraian, pembatalan perkawinan memiliki akibat bahwa perkawinan dianggap tidak pernah ada setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap.
5
Dari uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik utuk mengkaji lebih mendalam mengenai “Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adala : 1. Bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam..? 2. Bagaimana status pengasuhan anak akibat pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam..? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana status pengasuhan anak akibat pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberiakan manfaat, baik bagi penyusun maupun bagi pihak lainnya. Manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Menambah pustaka dibidang ilmu hukum khususnya dalam pembatalan perkawinan. 6
b. Dapat memberikan bahan masukan serta referensi bagi penelitian terkait yang akan dilakukan selanjutnya. 2. Manfaat praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan teori tambahan dan informasi khususnya pada pihak-pihak yang akan mengajukan gugatan pembatalan perkawinan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan masukan dan melengkapi referensi yang belum ada.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah “akad” (pernikahan) antara wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad itu harus di ucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa serah (ijab) dan terima (kabul) oleh si calon suaminya yang di laksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat (Hadikusuma, 1990:11). Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Soimin, 1992:6). Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhana
Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin adalah
hubungan formal yang dapat di lihat, di bentuk menurut Undang-Undang, mengikat kedua belah pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal, tidak tampak langsung, merupakan ikatan piskologi, tanpa paksaan, berdasarkan cinta kasih suami istri, ada kemauan 8
bersama yanng sungguh-sungguh, yang mengikat kedua belah pihak saja. Bila defenisi tersebut ditelaah, maka terdapat lima unsur di dalamnya (Soetojo Prawirohamidjojo, 1986:38): 1. Ikatan lahir batin, 2. Antara seorang pria dan wanita, 3. Sebagai suami istri, 4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal, 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kompilasi Hukum Islam merupakan pegangan bagi Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan dan perwakafan bagi yang beragama Islam. Agama Islam memandang perkawinan Islam dari berbagai segi, antara lain (Benyamin, 1988:5): 1. Dari segi Ibadat: Menurut agam Islam, melangsungkan perkawinan berarti melaksanakan sebagian dari ibadat yang berarti pula telah menyempurnakan sebagian dari agamanya. Alasannya adalah hadist Nabi Riwayat Ath Tabrani dan Al Hakim yang terjemahannya sebagai berikut: “barang siapa yang telah di anugerahi Allah istri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah 9
mengusahakan sebagian agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada bagian yang lain. 2. Dari segi hukum: Pekawinan itu apabila di laksanakan menurut yang di syariatkan dalam agama Islam merupakan suatu perjanjian yang kuat hal ini di dasarkan pada Surah An-Nissa ayat (21) yang artinya: “bagaimana kamu akan mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas istrimu, padahal sebagian kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu janji yang kuat”. 3. Dari segi sosial: Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk suatu keluarga yang diliputi rasa penuh kasih sayang di antara anggota. Keluarga merupakan inti dari masyarakat dan masyarakat merupakan bagian dari bangsa. 2. Hukum Pernikahan Menikah telah disyariatkan, sementara hukum asalnya adalah sunnah. Hukum menikah akan berbeda, tergantung situasi dan kondisi masing-masing individu. Artinya masing-masing individu harus menimbang hukum menikah untuk dirinya, sesuai dengan kelima hukum yang ada dalam syari’at, yaitu (Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, 2005:21): a. Wajib Menikah menjadi wajib bagi orang yang takut akan jatuh dalam jurang
10
perzinahan, dan ia sudah sanggup secara materiil maupun moril. Selain itu tidak ada niat untuk menyakiti wanita yang nantinya menjadi istrinya, atau melalaikan kewajiban sebagai suami. Yang lebih penting lagi adalah ia sudah tidak sanggup lagi menahan hasrat seksnya, meskipun dengan berpuasa. b. Sunnah Menikah menjadi sunnah jika seorang tidak dikhawatirkan akan jatuh ke jurang kemaksiatan bila tidak segera menikah. Juga tidak punya niat menzhalimi istrinya. c. Mubah Hukum menikah menjadi mubah bagi orang yang tidak mempunyai syahwat atau keinginan untuk menikah dan tidak punya niat untuk menzhalimi istrinya atau meninggalkan kewajiban sebagai suami bila menikah. d. Makruh Hukum menikah menjadi makruh bagi orang yang mempunyai niat ingin berbuat zhalim kepada istrinya atau ia yakin tidak akan mampu melaksanakan
kewajiban
sebagai
suami,
seperti
tidak
sanggup
memberi nafkah, memberi kepuasan seks. e. Haram Menikah menjadi haram bila dilakukan oleh orang yang mempunyai niat
11
menzolimi istrinya. 3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan Di dalam Islam ada 5 (lima) rukun yang wajib dipenuhi untuk melangsukan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan harus ada : a. Calin suami b. Calon istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan kabul Syarat dan ketentuan mengenai calon suami dan istri hampir sama dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu batas usia calonn suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kuarangnya berumur 16 (enam belas) tahu, dan bagi calon mempelai yangbelum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan. Selain itu berdasarkan pasal 16 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai, bentuk persetujian calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,
12
liasan atau isyarat tapi juga dapat diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Dan juga yang menjadi syarat bagi kedua mempelai berdasarkan pasal 18 Kompilasi hukum Islam adalah tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI. Wali nikah diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan pasal 20 Kompilasi Hukum Islam, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memennuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil baliq. Wali terdiri dari: 1. Wali nasab Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki calon mempelai perempuan yang memiliki hubungan darah partilinear dengan calon mempelai perempuan seperti bapak, saudara laki-laki bapak, dan saudara laki-laki sendiri (Neng Djubaedah, dkk, 2005:64). Wali nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidakknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Keempat kelompok tersebut berdasarkan pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yaitu: a. Kelompok pertama, meliputi kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. b. Kelompok kedua, meliputi kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
13
c. Kelompok ketiga, meliputi kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. d. Kelompok keempat, meliputi saudara laki-laki kandung kakek, saaudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. Apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang, yang sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali nikah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita (pasal 21 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Dan apabila dalam suatu kelompok sama derajatnya kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandunng dari kerabat yang hanya seayahnya ( pasal 21 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam). 2. Wali hakim Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari departemen agama (Neng Djubaedah, dkk, 2005:64). Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali apabila wali nasab tidak ada lagi atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya (pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Selain ada calon suami, calon istri dan wali nikah, rukun nikah menurut Kompilasi Hukum Islam Juga mengharuskan adanya saksi nikah.
14
Yang dapat ditunjuk sebagai saksi nikah ialah saudara laki-laki muslim, adil, aqil baliqh, tidak terganggu ingatan dan tidak tunarungu atau tuli (Mohd Idris Ramulio, 1996:75). Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan. Rukun nikah yang terakhir menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu ijab dan kabul. Ijab yaitu penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan daan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan kabul yaitu penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami istri yang dilakukan pihak laki-laki (Neng Djubaedah, dkk, 2005:63). Dalam pasal 29 ayat (2) Komilasi Hukum Islam menyatakan bahwa pengucapan kabul nikah dapt diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah mempelai pria. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan perkawinan, yaitu: 1. Ada persetujuan dari kedua belah pihak. Menurut ketentuan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa Perkawinan harus di langsungkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
15
Artimya
kedua
calon
mempelai
sepakat
untuk
melangsungkan
perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. 2. Mempelai pria sudah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun. Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawian, bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Batas umur ini, di tetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan. 3. Izin orang tua/Pengadialan jika belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka belum dewasa menurut hukum. Jika salah satu orang tua meninggal, izin cukup dari orang tua yang masih hidup. Jika yang meniggal keduanya, izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang berhubungan darah dalam garois keturunan lurus keatas. Jika ada perbedaan pendapat antara orang tersebut, Pengadilan dapat memberi izin, setelah mendengar orang tersebut lebih dahulu. 4. Tidak terdapat larangan kawin. Ketentuan tentang larangan melangsungkan perkawinan antara orang yang berhubungan persaudaraan terdapat dalam pasal 8 huruf (a) sampai dengan 16
huruf (f) Undang-Undang Perkawinan, di sebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: a) Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan kebawah ataupun keatas. b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan. e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang. f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peratuuran lain yang berlaku dilarang kawin. 5. Tidak terikat oleh suatu perkawinan lain. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat suatu perkawinan lain yang kawin lagi. Pengecualian terhadap pasal ini ialah dalam ketentuan pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan.
Pasal
3
ayat
(2)
Undang-Undang
memuat ketentuan izin yang diberikan oleh Pengadilan
kepada suami untuk poligami. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang 17
Perkawinan
memuat
ketentuan
mengenai
pengajuan
permohonan
poligami, sedangkan pasal 4 ayat (2) Undang-Undan Perkawinan memuat ketentuan mengenai kondisi istri yang menyebabkan suami boleh poligami. Sedangkan pasal 5 Undang-Undang Perkawinan memuat ketentuan menganai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami untuk dapat mengajukan permohonan poligami. 6. Tidak bercerai kedua kali dengan suami/istri yang akan di kawini. Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai suami istri yang boleh bercerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Maksud dari pasal 10 Undang-Undang Perkawinan dalam penjelasan Undang-Undang Perkawinan yaitu, agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal, oleh karena itu, suatu tindakan yang mengakibatkan terputusnya perkawinan harus benar-benar di pertimbangkann dan di pikirkan matang-matang. 7. Bagi janda telah lewat masa tunggu (tenggang iddah) Pasal 11 ayat (1) Undand-Undang Perkawinan menentukan bahwa bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku juga waktu tunggu. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan.
Penetapan tenggang iddah sangat penting karena berhubungan langsung dengan persoalan anak yang akan di lahirkan melepas perkawinan itu 18
terputus. Melalui masa tunggu dapat di temukan anak dari siapakah sesunggunya anak yang lahir itu. 8. Memenuhi tatacara perkawinan. Undang-Undang Perkawinan menetakpan pencatatan dan tatacara perkawinan pada peraturan pelaksanaannya. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 2 hingga pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. 4. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan natara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasi sayang untuk memperoleh keturunan dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah (Soemiyati, 1982:12) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di katakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut Perundangundangan adalah untuk kebahagiaan suami istri untuk mendapatkan keturunan dan menegakan keagamaan (Hilman Hadikusuma, 1990:22). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 menyatakan, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakina, mawadha, 19
dan warahmah. Tujuan perkawinan dalam Islam ialah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidup di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat (Idris Ramaulyo, 1996:26). 5. Larangan Perkawinan Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih tergantunng lagi satu hal, yaitu perkawinan itu telah lepas dari segala hal yang menghalangi. Halangan perkawinan tersebut disebut jga dengan larangan kawin (Febriana Feramitha, 2010:31). Larangan perkawinan dalam kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab IV tentang larangan kawin, pasal 39 sampai dengan pasal 44, menyatakan bahwa: 1. Dilarang melangsungkan perkawwinan anatara seorang pria dengan seorang waanita disebabkan (pasal 39 Kompilasi Huukum Islam): a. Karena pertalian nasab
20
1) Dengan
seorang
waanita
yang
melahirkan
atau
yang
mennurunkannya atau keturunannya. 2) Dengan wanita keturunan seayah atau seibu 3) Dengan wanita saudara yang melahirkannya b. Karena pertalian kerabat semenda 1) Dengan seorang wanita yang melahirkaan istrinya. 2) Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. 3) Dengan seorang waita keturunan istri atau bekas istrinya kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul. 4) Dengan seorang waanita bekas istri keturunannya. c. Karena pertalian susuan 1) Dengan wanita yang menyusuinya menurut garis lurus keatas 2) Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah. 3) Dengan seorang wanita saudara dan kemanakan sesusuan kebawah 4) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas. 5) Dengan anak yang disusui oleh istrinya danketurunannya. 2. Dilarang melangsungkann perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita karena keadaan tertentu (pasal 40 Kompilasi Hukum Islam) 21
a. Karena wanita bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah denga pria lain. c. Seorang wanita yanng tidak beragama islam. 3. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubunngan pertalian nasab atau susuan deng istrinya (pasal 41 Kompilasi Hukum Islam) a. Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya. b. Wanita dengan bibi atua kemanakannya. Larangan tersebut tetap berlalku meskipun istrri-istrinya ditalak raj’I tapi masih dalam masa iddah. 4. Seorang pria dilarang melansungakan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’I ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan dengan yang lain dalam masa iddah talak raj’I (pasal 42 Kompilasi Hukum Islam). 5. Dilarag melangsukan perkawinan antara seorang pria (pasal 43 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam): a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yanng ditalak 3 (tiga) kali b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li’an.
22
Larangan tersebut gugur kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya (pasal 43 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). 6. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang priayang tidak beragama Islam (pasal 44 Kompilasi Hukum Islam). 6. Akibat Perkawinan Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut: 1. Timbulnya hubungan antara suami istri. 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan. 3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Akibat perkawinan yang menyangkut hubungan antara suami istri diatur dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: 1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. 2. Suami istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. 3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anakanak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani roahani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya. 23
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya. 5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, maasing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. 6. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. 7. Rumah kediaman tersebut ditentukan oleh suami istri bersama. Kedudukan suami
istri menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
seimbang, sehingga masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum (pasal 79 Kompilasi Hukum Islam). Kewajiban suami istri diatur dalam pasal 80 sampai dengan pasal 83 Kompilasi Hukum Islam kewajiban antara suamu dan istri yaitu: 1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal uruusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. 2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3. Suami wajib memberikann pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. 4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
24
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak. 5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti nafkah, kiswah, tempat kediaman, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. 6. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah. 7. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesui dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam (pasal 83 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, di atur dalam pasal 35 sampai pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut: Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
25
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadia atau warisan, adalah di bawa penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena percearaian, harta benda diatur berdasarkan hukum masing-masing. Harta bawaan suami istri menjadi harta bersama apabiala kedua belah pihak membuat suatu perjanjian untuk menentukan agar harta bawaan dari keduanya menjadi harta bersama. Perjanjian kawin harus di buat secata tertulis dan di sahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan di langsungkan. Perjanjian kawin adalah perjanjianperjanjian yang dibuat calon suami dan istri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka (Tjai Sing Ko, 1981:271). Mengenai perjanjian kawun, diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang di sahkan 26
oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersngkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat di sahkan bila mana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Selain menyangkut harta benda, perkawinan juga menimbulakan akibat hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang juga diatur dalam pasal
45 sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menetapkan sebagai berikut: Pasal 45 (1) Kedaa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46: (1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
27
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu. Pasal 49 (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dalam keputusan pengadilan dalam hal-hal: a. Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan buruk sekali. 28
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan terhadap anak tersebut. B. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan 1. Pembatalan Perkawinan Meurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pembatalan perkawinan atau dalam bahasa Arab fasakh, fasakh bersal dari bahasa Arab dari kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan. Bila di hubungkan kata ini dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam arti etimologis di temukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya diantaranaya yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia: “pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadialan Agama karena pernikahan yang dapat di benarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum penikahan (Amir Syarifuddin, 2011: 242). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 70 menetapkan bahwa perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawian, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena ia telah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i. b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li’annya. c. Seorang yanng menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah meikah dengan
29
pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan dara semenda dan sesusuan samapai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dan saudara orang tua, dan antra seorang dan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, anak sesusuan saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri atau istri-istrinya. Kemudian dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, mengatakan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin pengadilan Agama.
30
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi pria lain yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan. Sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau di laksanakan oleh wali yang tidak berhak. f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksa. Tuntutan pembatalan perkawinan ini di sebabkan salah satu pihak menemui cela pada pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum di ketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Pada dasarnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaanya lebih banyak di lakukan oleh pihak istri daripada pihak suami. Hal ini mungkin di sebabkan suami telah mempunyai hak talak yang di berikan agama kepadanya (Muchtar Kamil, 1974:194). Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi pada talak ba’in sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilangnya hak talak itu, yaitu talak raj’I (Ghazali, 2003:86).
31
2. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pembatalan perkawinan adalah tindakan Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah dan dianggap tidak pernah ada. Suatu perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan dapat di batalkan, seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 22 yang menyatakan bahwa : “perkawinan dapat di batalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”. Menurut
Soedaryo
Soimin:
“pembatalan
perkawinan
adalah
perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan Unudang-Undang”. Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnaya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada (Muchlis, 1986:2). Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan umum bagi agama lainnya (pasal 63 ayat (1) UU Perkawinan). Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam yang mencari keadialan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di Indoneisa (Zainuddin Ali, 2006:92).
32
Perkawinan dapat di katakan sah, apabila telah memenuhi syaratsyarat dan rukum-rukun perkawinan. Sehubungan dengan sahnya perkawinan, apabila dikemudian hari ditemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikannya ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus hal ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah ada, dan suami istri yang perkawinanya di batalkan dianggap tidak pernah menjadi suami istri. Waktu berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: “batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku saat berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk melakukan banding atau kasasi. Akibatnya kembali keposisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada. C. Tinjauan Umum Tentang Anak 1. Pengertian Anak Arti anak dalam Kamus Besar Bahas Indonesia adalah keturunan insan (manusia) yang kedua (poerwadarminta, 1976:38). Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan
33
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yanng masih ada dalam kandungan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Dalam kompilasi hukum islam, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Dan dalam konvensi hak-hak anak,batasa umur anak adalah dibawah umum 18 tahun (Gatot Supramono, 2000:5). Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitrah merupakan mahluk sosial. Jiwa anak itu lembut dan sangat mudah terpengaruh, anak-anak adaalah miniatur manusia yang belum memiliki kapabilitas untuk mencapai pertumbuhan. Anak merupakan minniatur manausia yang kenyataannya memerlukan cinta dan kasih sayang yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih sayang (ibrahim, 2006:141). 2. Hak-Hak Anak Oleh karenanya anak memerlukan cinta dan kasih sayang, dalam islam hak-hak anak dimulai sejak masih ada dalam kandungan hingga mencapai
34
dewasa secara fisik maupun piskis. Hak-hak tersebut antara lain (Mufidah, 2006:63): 1. Hak mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dalam kandungan maupun setelah lahir. 2. Hak mengetahui nasab (keturunan) 3. Hak menerima yang baik. 4. Hak mendapatkan asi dari Ibu atau penggantinya 5. Hak mendapatkann asuhan. 6. Hak mendapatkan harta warisan 7. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. 8. Hak mendapatkan perlindungan hukum. Adapun menurut wabhah Al-Zuhaili, ada lima macam hak anak dalam terhadap orang tuanya, yaitu hak nasab (keturunan), hak radla (menyusui), hak radhanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri. Salah satu hak anak yang di sebut dalam Hukum Islam adalah hak mengetahui nasab. Hak mengetahui nasab merupakan suatu hak yang sangat penting bagi kehidupan seorang anak. Krena dengan hak ini seorang anak dapat mendapatkan hak-hak yanng lainnya dari kedua orang tua terutama bapak.
35
Seorang anak yang dinasabka kepada bapaknya, secara otomatis dia mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapat berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Dengan hubungan anak, ada sederetan hak-hak anak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya. Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab tehadap anaknya. Jika digolongkan, hak anak dapat dikategorikan dalamm 4 (empat) kelompok besar, yaitu hak utuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapatkan perlindugan dan hak untuk beradaptasi. Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya berbuat baik kepada orang tuanya secara tulus, karena orang tuala yang menjadikan sebab terlahirnya ia ke dunia.
36
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif, yaitu suatu penelitian untuk mencari dan menemukan kebenaran logis keilmuan hukum dari sisi normatif, terutama yang berkaitan dengan hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan
dengan menganalisa secara mendalam Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang Perkawinan, serta Peraturan Perundang-undangan yang relefan dengan penelitian. B. Sumber Bahan Hukum Untuk dapat
memecahkan isu
hukum
yang dihadapi
sekaligus
memberikan deskripsi mengenai apa yang seyogiyanya, maka diperlukan sumbersumber penelitian atau sumber bahan hukum. Sumber bahan hukum yang dapat dipergunakan secara uumum dalam melakukan penelitian hukum normatif adalah sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. 1. Sumber bahan hukum primer (primary law material), yakni bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya bahan hukum yang mempunyai otoritas dan bahan hukum yang mengikat dalam penelitian ini yang dapat diuraikan senagai berikut : a) Kompilasi Hukum Islam b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
37
2. Bahan hukum sekunder (secundary law material) yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupan dokumen-dokumen resmi antara lain buku-buku teks, makalah, jurnal, hasil penelitian ilmiah, kamus hukum serta laporan hukum pada media cetak maupun media elektronik. C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam melakukan penelitian terkait demgan isu hukum yang dihadapi maka penulis melakukan pengumpulan bahan hukum dengan kegiatan pengelompokan bahan-bahan hukum dalam suatu sistem informasi yang saling berkaitan sehingga memudhkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Dalam penelitian Skripsi ini, pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research), pengumpulan bahan hukum dengan
menggunakan
metode
sistematis
yakni
pengumpulan
Peraturan
Perundang-undangan untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum dari isu hukum yamg sedang diteliti atau posisi hukum yang berkaitan dengan hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan. D. Teknik Analisis Bahan Hukum Dari keseluruhan bahan hukum yang ada, maka bahan hukum yang di dapatkan akan dilakukan analisi secara deskriptif untuk menemukan jawaban terkait isu hukum yang sedang dihadapi yaitu menguaraikan bahan-bahan hukum yang telah didapatkan secara logis dan sistematis sehingga dapat memudahkan penulis dalam memecahkan isu hukum yang sedang dipahami.
38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Terkait dengan akibat hukum kiranya perlu dicermati permasalahan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. apabila perkawinan sudah di batalkan oleh Pengadilan Agama, maka seorang suami istri itu tidak boleh tinggal bersama lagi karena sudah tidak ada ikatan perkawinan, akan tetapi anak yang di lahirkan dari perkawinan yang tidak sah tersebut tetap menjadi anak yang sah yang di nasabkan kepada ayah dan ibunya, sesuai dengan kompilasi Hukum Islam. Akibat hukum yang di timbulkan karena adanya pembatalan perkawinan juga di atur dalam pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 75 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 menentukan bahwa: Keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau istri yang beritikad baik, kecuuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. 39
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. a) Terhadap anak Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga dengan demikian anak ini dapat dianggap sebagai anak yang sah, meskipun salah satu atau kedua orang tuanya beritikad buruk. Ini berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa patut mendapatkan perlindungan hukum. Tidak seharusnya anak-anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai oranng tua hanya karena kesalahan orang tuanya. b) Terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan Harta bersama menjadi akibat hukum dalam pembatalan perkawinan karena pembatalan perkawinan merupakan perkawinan yang putus karena putusan pengadilan, maka apabila ada pihak-pihak yang ingin menyelesaikan masalah perselisihan harta bersama, bisa langsung diajukan kepengadilann agama. Oleh karena itu yang berhak atas harta bersama adala suami atau istri sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang perkawinan pasal 36 ayat 1 bahwa “mengenai harta bersama, suami istri mempunyai hak sepenuhnya unntuk melakukan perbuatan hukum untuk harta bendanya”. Namun hal ini tidak belaku terhadap perkara pembatalan perkawinan yang mana pembatalan tersebut didasarkan dengan adanya alasan perkawinan 40
terdahulu maka status harta bersama dianggap tidak pernah ada. Oleh karena perkawinan tersebut merupakan pligami liar yang tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harta yang diperoleh selama dalam massa perkawinan yang dibatalkan tersebut dianggapp tidak pernah ada dan menjadi hak milik perkawinan terdahulu. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 28 ayat (2) hurif (b), suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atass perkawinan yang lain terlebih dahulu. c) Terhadap pihak ketiga Pihak ketiga yang beritikad baik tidak menimbulkan akibat hukum yang berlaku surut terhadap pembatalan perkawinan yang berkaitan dengannya, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami istri dengan pihak ketiga sebelum pembatalan perkawinan masih tetap berlaku dan harus dipenuhi oleh suami istri tersebut sehingga pihak ketiga tidak dirugikan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 75 menyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami/istri yang murtad. b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c. Pihak ketiga sepanjang beritikad
baik,
mereka
sebelum 41
memperoleh
keputusan
hak-hak
pembatalan
dengan
perkawinan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”. B. Status
Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut
Kompilasi Hukum Islam Setiap perbuatan hukum pasti menimmbulkan akibat hukum. Demikian halnya dengan perkawinan, perkawinan merupakan perjanjian perikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengansyarat perkawinan tersenut sah secara hukum dalam arti perkaawinan tersebut dilangsungan dengan memenuhi secara sempurna syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Kompilasi Islam, karena dengan perkawinan yang sah maka akan membawa akibat hukum yang baik dimata hukum dan masyarakat. Lain halnya dengan perkaawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang dilakukan dengan tidak mengindahkan syarat-syarat perkawinan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan, oleh karena itu terhadap pihak-pihak yang mengetahui adanya hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu tidak sah secara hukum, maka harusnya segera mengajukan permohonan pembatalan perkawinan di Pengadila Agama. 42
Selain berakibat pada putusnya hubungan suami istri. Batalnya perkainan juga membawa akibat hukum pada kedudukan anak. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai isi pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dua penafsiran, penfsiran pertama, bahwa pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai suatu makna yaitu anak yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang lahir akibat dari perkawinan yang sah. Dengan demikian kata atau dalam pasal 42 hanyalah bersifat menegaskan dari kalimat yang sebelumnya. Kemudian penafsiran yang kedua, bahwa pasal 42 UndangUndang nommor 1 Tahunn 1974 mempunyai dua makna yakni pertama, walaupun anak itu lahir, sebelum atau diluar perkawinan yang sah berlangsung, baik antara pria dan wanita yang menyebabkan terjadinya anak itu, maka anak tersebut tetap sebagai anak sah. Kemudian makna yang kedua yakni adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah dengan kata lain bahwa anak yang sah (sesuai dengan anak sah dalam hukum indonesia). Dengan demikian dari cara atau pada tafsiran yang kedua menunjukan bahwa pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terdiri dari dua kalimat yang mempunyai makna yang berbeda satu sama lain. Dari uraian mengenai maksud pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa perkawinan yang sah merupakan penentu dari sah/tidak sahnya seorang anak. Untuk itu penulis akan menguraikan lebih dahulu 43
mengenai syarat sahnya perkawinan, berdasarkan pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahu 1974 menegaskan bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannnya, dengan demikian untuk orang yang beragama Islam, sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum Islam oleh karenanya apabila perkawinan dilaksanakan dengan melanggar Hukum Islam maka perkawinan tidak sah. Selanjutnya sahnya perkawinan menurut hukum islam ialah apabila perkawina itu secara sah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian patokan dari sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum agama masing-masing mengenai pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya bagi orang Islam. Sebaliknya apabila perkawinan dilakukan dengan tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (pada prinsipnya tidak ada pembedaan yang mendasar antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Kompilasi Hukum Islam), maka perkawinan tidak sah menurut hukum sehingga dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun karena hukum positif (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) tidak menghendaki anak yang tidak berdosa menjadi
44
korban dari perbuatan orang tuanya maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Memberikan Pengecualian terhadap anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang tidak sah (dalam hal ini tidak memenuhi secara sah syarat-syarat perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai perkawinan dapat batal) yakni anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan tidak sah tetap mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya. Dengan demikian status anak adalah anak sah sehingga berhak mewarisi apabila orang tuanya meninggal dan yang berhak menjadi wali nikah adala bapak dari anak itu. Ini tercermin dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa keputusan tidak berlaku surut pada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan batalnya perkawinan tidak akan memutus hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Di samping itu, meski hubungan perkawinan orang tuanya putus, kedua orang tua tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya samapi anak itu kawin atau berdiri sendiri. Di dalam tinjauan fikih, pemeliharaan anak disebut hadhanah yang mengandung arti merawat dan mendidik anak yang belum munayiz. Subtansi dari merawat dan mendidik anak adalah karena yang bersengkutan tidak dapat memenuhi keperluannya sendiri. Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berebagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. 45
Kompilasi Hukum Islam secara rinci mengantur kekuasaan orang tua terhadap anak dengan menggunakan istilah pemeliharaan anak yang tertuang dalam Pasal 98 yaitu: 1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau deawa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsunngkan perkawinan. 2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. 3. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat deka yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Sebagai landasan hukum tentang kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak tersebut, didalam pasal 54 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang hak dan kewajiaban orang tua dan anak yang menyatakan bahwa: 1. Kedua orang tua wajib mendidik dan memelihara anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
46
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Namun Undang-Undang tidak menegaskan tentang siapa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak sebagai akibat dari pembatalan perkawinan. Dalam hal ini dapat dikembalikan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat (3) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 79 ayat (1), yang menegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Dihubungkan dengan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa suami suami wajib melindaungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian Undanng-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menentukan juga bahwa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami (bapak anak). Dari urayan diatas dapat dilihat bahwa Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam sesui dengan hal nafkah anak. Sesuai dengan pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan anak yang belum mencapai umur 18 (dalapan belas) tahun, belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannyan dan pasal 105 Huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan pemeliharaan anak yang belum mummayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibu dan pasal
47
105 huruf b Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang sudah mummayyiz diserahan pada anak untuk memilih diantara ayah/ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
48
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam menimbulkan akibat sebagaimana diatur dalam pasal 75 yang menyatakan bahwa “keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami/istri yang murtad, Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, serta Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap”. 2. Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap status pengasuhan anak, Dalam pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya”. Dengan demikian pemeliharaan anak akibat
pembatalan perkawinan dilaksanakan berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mummayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibu, dan pemeliharaan anak yang sudah mummayyiz diserahan pada anak untuk memilih diantara ayah/ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya,
49
namun yang dibebani biaya pemeliharaan dan pendidikan anak adalah ayah dari anak tersebut. B. Saran-Saran Saran-saran yang perlu penulis kemukakan sehubungan dengan pembahasan mengenai hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Bagi masyarakat Pernikahan merupakan suatu peristiwa yang suci maka hendaknya ketika akan diberlangsunngkan pernikahan agar lebih teliti untuk lebih teliti memeriksa status calon suami dan istri, dan juga lebih memperhatikan nasab keduanya. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan seperti pembatalan perkawinan tidak terjadi, karena dampaknya yang sangat bisa merugikan kedua belah pihak. 2. Bagi pemerintah Untuk Kompilasi Hukum Islam masih perlunya penegasan mengenai pihak yang memperoleh hak pengasuhan anak sebagai akibat dari dibatalkannya suatu perkawinan agar tidak terjadi kebingungan dalam masyarakat.
50
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Referensi Abdurrahman. 1996, Kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressindo, Jakarta. Afdol. 2006, Legalisasi Hukum Islam Di indonesia, Airlangga University Press, Surabaya. Ash-Shadiqy, Habsy dan Tengku Muhammad, 2001, Hukum-hukum Fiqih Islam, Tinjauan Antar Mazhab, PT. Pusraka Rizki Putra, Semarang. Baasyir, Ahmad Azhar. 2000, Hukum perkawinan Islam, UII Pres, Jogjakarta. Dahlan, Abdul Azis. 2003, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta. Darmabrata, wahyono dan Syarif, Surini Ahlan. 2004, Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, Badan Penerbit Fakiltas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Ghazaly, Abdurrahman. 2003, Fiqh Munakahat, Kencana. Jakarta. Hadikusuma, Halim. 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar maju, Bandung. Katansil, CST. 2011, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Rineke Cipta. Jakarta Ko, Tjay Sing. 1981, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Itikad Baik, Semarang. Mukhtar, Kamal. 1974, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta. Mufidah. 2006, Haruskah Perempuan Dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula Untuk Pendamping Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak, PSG Publishing Dan Sinar Media, Malang. Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto. 1986 Hukum Islam II, Buana Cipta, Surakarta.
Prawirohamidjojo, Soetojo. 1986, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan, Airlangga University Press, Indonesia. Ramulyo, Mohd. Idris, 1996, Hukum Perkawinan Islam, BumiAksara, Jakarta. Syarifuddin, Amir. 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta.
Suparmono, Gatot. 1998, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta. Soemiyati. 1986, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Liberti, Yogyakarta. Tim Redaksi Nusantara Aulia. 2008, Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Bandung.
B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991Tentang Kompilasi Hukum Islam