HADIS AHAD SEBAGAI DASAR PENETAPAN AQIDAH Ahmad Zuhri Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Jl. Williem Iskandar Psr. V Medan Estate, 20371 - Medan e-mail:
Abstrak: The value or the position of hadith ahad is lower than hadith mutawatir because hadith ahad is zhanniy al-wurud (allegedly coming) from the Prophet saw. It is caused the methode or the ways of receiving and giving the narrators do not give confidence that is was reported from Prophet Muhammad saw. Therefore, a fraction scholars like Mahmud Syaltut said that hadith ahad cannot be used as a basic or arguments in the determination of aqeedah and aqeedah is a matter faith and faith is the belief that cases surely cannot be based on the hadith ahad that it is zhanniy. Most scholars of hadith said that hadith ahad can be as a basic or foundation of aqeedah if the hadith has covered justice and dhobith.
Kata Kunci: Hadis, Hadis Ahad, Aqidah. A. Pendahuluan adis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran yang wajib diikuti dan diamalkan oleh setiap muslim. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya harus diaplikasikan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, menjadi suatu keharusan bagi setiap muslim untuk mempelajari dan mendalami kandungan hadis-hadis Nabi tersebut. Di samping itu, mempelajari ilmu hadis juga menjadi suatu kemestian, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang berkaitan dengan hadis Nabi, termasuk pembahasan tentang hadis-hadis yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum maupun yang tidak.
H
Hadis sahīh atau paling tidak hadis hasan merupakan dalil yang dipedomani dan wajib diamalkan. Ia merupakan dasar penetapan hukum maupun aqidah. Sementara hadis dhaīf tidak dapat dipakai sebagai dasar dalam penetapan hukum apalagi yang berhubungan dengan aqidah. Lantas bagaimana dengan hadis ahād ? Hadis ahād sebagaimana yang dikemukakan ulama hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat, dua orang atau lebih dalam setiap tingkatannya, dimana jumlahnya tidak mencapai jumlah periwayat hadis mutawatir. Hadis ahād tidak serta merta langsung menjadi dasar dalam penetapan hukum. Hadis ahād menjadi dalil atau dasar dalam penetapan hukum manakala hadis tersebut memenuhi persyaratan hadis sahih atau paling tidak persyaratan hadis hasan. Sementara hadis ahād yang tidak memenuhi persyaratan hadis di atas, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum.
224
Ahmad Zuhri: Hadis Ahad Sebagai Dasar Penetapan Aqidah
Hadis ahād statusnya zanniy al-wurūd, yaitu diduga kuat berasal dari Rasulullah, sebab dalam proses periwayatannya mungkin saja terjadi kekeliruan atau kesalahan dari para periwayatnya. Sedangkan hadis mutawatir adalah qat’iy al-wurūd, yaitu pasti datang (bersumber) dari Rasulullah. Berangkat dari status hadis ahād yang zanniy ini, sekalipun ia sahih atau hasan, namun tetap terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang penggunaannya sebagai dasar dalam menetapkan aqidah.
B. Pengertian Hadis Ahād Dari sudut kebahasaan, kata ahad adalah sinonim dengan kata wāhid, artinya satu. Dalam terminologi Ilmu Hadis, Hadis ahād atau khabar wāhid adalah hadis yang diriwayatkan satu orang atau lebih dalam setiap jenjang (tabaqah) periwayatnya, dan jumlah itu tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadis mutawātir. Jelasnya, hadis ahād itu diriwayatkan dari Nabi saw. oleh satu orang (sahabat) atau lebih, kemudian dari mereka hadis itu diriwayatkan oleh satu orang tabi’i atau lebih, dan demikian seterusnya, namun jumlah mereka dalam setiap jenjangnya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadis mutawātir. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (t.t: 8) seorang pemuka hadis mengatakan bahwa hadis ahād secara bahasa adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadis ahād menurut istilah adalah suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawātir. Ibn Hazm sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah (t.t: 393), mendefinisikan hadis ahād dengan :
ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻭ ﺍﻷﻛﺜﺮ ﺇﺫ ﱂ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻁ ﺍﻟﺘﻮﺍﺗﺮ Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, dan belum mencukupi (memenuhi) syarat mutawātir”. Para ulama cenderung mendefinisikan hadis ahād seperti tersebut di atas karena menurut mereka, dilihat dari jumlah periwayatnya, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawātir dan hadis ahād. Namun bagi ulama seperti ‘Ajjaj alKhatib (1989: 301) yang membagi hadis jika ditinjau dari segi jumlah periwayatnya menjadi tiga, yaitu hadis mutawātir, masyhūr dan ahād, mendefinisikan hadis ahād dengan :
ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻭ ﺍﻹﺛﻨﲔ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﳑﺎ ﱂ ﺗﺘﻮﻓﺮ ﻓﻴﻪ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﳌﺸﻬﻮﺭ ﺍﻭ ﺍﳌﺘﻮﺍﺗﺮ Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat, dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi syarat-syarat hadis masyhūr atau hadis mutawātir”. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khatib di atas difahami bahwa hadis ahād adalah hadis yang jumlah periwayatnya tidak mencapai jumlah periwayat hadis mutawātir maupun hadis masyhūr. Dan dalam tulisan ini, yang dipedomani adalah definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama hadis yang mengelompokkan hadis masyhūr kepada hadis ahād. 225
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
Ulama kadang berbeda dalam menggunakan istilah untuk hadis ahād. Ada yang menyebutnya dengan khabar wāhid, sunnah ahād, dan ada juga yang menyebutnya dengan khabar khās. Imam Ibn Hazm (t.t: 74) misalnya menggunakan istilah khabar wāhid untuk menyatakan hadis ahād, sebagaimana dalam pernyataannya :
ﻓﺼﺢ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﱪ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻋﻦ ﻣﺜﻠﻪ ﻣﺒﻠﻐﺎ ﺍﱃ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ Artinya: “Maka sahlah menerima khabar al-wāhid (hadis ahād) yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang śiqat dari seorang periwayat yang śiqat sampai (bersambung) kepada Rasulullah Saw”. Sementara Imam Syafi’i (1969: 159) sering menggunakan istilah khabar khās untuk menyatakan hadis ahād, seperti dalam pernyataannya :
ﻭﻻ ﺗﻘﻮﻡ ﺍﳊﺠﺔ ﲞﱪ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﺣﱴ ﳚﻤﻊ ﺍﻣﻮﺭﺍ Artinya: “Khabar al-khāssah (hadis ahād) tidak dapat dijadikan hujjah sehingga memenuhi beberapa perkara”.
C. Pembagian Hadis Ahād Ulama hadis membagi hadis ahād kepada tiga macam, yaitu hadis masyhūr, hadis ‘azīz, dan hadis gharīb. Adapun rincian masing-masing adalah sebagai berikut : a. Hadis Masyhūr Secara bahasa, kata masyhūr adalah merupakan isim maf’ūl dari kata syahara yang berarti masyhur, terkenal dan populer. (Munawwir, 1997: 748). Dengan demikian, hadis masyhūr berarti hadis yang terkenal, meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali, yang kemudian disebut dengan masyhūr gairu istilāhi. Sedangkan menurut istilah, hadis masyhūr adalah :
ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺛﻼﺛﺔ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻗﻲ ﻛﻞ ﻃﺒﻘﺔ ﻣﺎ ﱂ ﻳﺒﻠﻎ ﺣﺪ ﺍﻟﺘﻮﺍﺗﺮ Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang periwayat atau lebih pada setiap tingkatan selama tidak sampai pada batasan mutawātir”. (At-Tahhan, 1979: 22). Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (1989: 301) mendefinisikan hadis masyhūr dengan :
ﻣﺎ ﻟﻪ ﻃﺮﻕ ﳏﺼﻮﺭﺓ ﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺇﺛﻨﲔ ﻭﱂ ﻳﺒﻠﻎ ﺣﺪ ﺍﻟﺘﻮﺍﺗﺮ Artinya: “Hadis yang memiliki jalan sanad yang terbatas, lebih dari dua dan tidak mencapai batasan mutawātir”. Dari dua definisi di atas difahami bahwa hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang periwayat atau lebih pada setiap tingkatan sanad disebut dengan hadis masyhūr, selama jumlahnya tidak mencapai jumlah periwayat hadis mutawātir. Dengan demikian, yang menjadi patokan dalam hadis masyhūr ini adalah 226
Ahmad Zuhri: Hadis Ahad Sebagai Dasar Penetapan Aqidah
pertama, jumlah periwayat pada masing-masing tingkatan tidak kurang dari tiga orang. Kedua, jika jumlah periwayatnya lebih dari tiga orang, maka jumlah tersebut jangan sampai mencapai batasan (jumlah periwayat) hadis mutawātir. Hadis masyhūr ada yang şahīh, hasan, bahkan dha’īf. Oleh sebab itu, hadis masyhūr tidak langsung dapat dijadikan hujjah. Hadis ini dapat dijadikan hujjah manakala sudah memenuhi persyaratan hadis şahīh, atau minimal persyaratan hadis hasan. Contoh hadis masyhūr yang şahīh adalah :
ﻣﻦ ﺍﺗﻰ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻓﻠﻴﻐﺘﺴﻞ Artinya: “Barang siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at, maka hendaklah ia mandi”. (Al-Bukhari, juz. II: 2). Contoh hadis masyhūr yang hasan adalah:
ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻞ ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Menuntut ilmu wajib (hukumnya) bagi setiap muslim”. (Ash-Shalih, 1988: 232). Contoh hadis masyhūr yang dha’īf adalah:
ﻣﻦ ﻋﺮﻑ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻘﺪ ﻋﺮﻑ ﺭﺑﻪ Artinya: “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya”. b. Hadis ‘Azīz Dalam bahasa Arab, kata ‘azīz berasal dari kata: ‘azza – ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang, dan dari kata: ‘azza – ya’azzu yang berarti kuat dan sangat. Disebutkan demikian, karena hadis dalam kategori ini sedikit atau jarang adanya, atau karena kuat dengan adanya sanad yang datang dari jalur lain. (Idri, 2010: 147). Menurut istilah, hadis ‘azīz adalah:
ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻞ ﺭﻭﺍﺗﻪ ﻋﻦ ﺍﺛﻨﲔ ﰱ ﲨﻴﻊ ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ Artinya: “(Hadis) yang periwayatnya tidak kurang dari dua orang pada seluruh tingkatan sanadnya”. (At-Tahhan, 1979: 24). Ulama lain mendefinisikan hadis ‘azīz dengan:
ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺛﻨﺎﻥ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﰱ ﻃﺒﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﰒ ﺭﻭﺍﻩ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﲨﺎﻋﺔ Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat sekalipun dua orang periwayat tersebut terdapat pada satu tabaqat (tingkatan) saja, kemudian setelah itu diriwayatkan oleh sejumlah orang”. Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis ‘azīz adalah hadis yang diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang pada setiap tabaqat (tingkatan) 227
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
sanadnya, dan boleh jadi lebih dari dua orang, dengan syarat bahwa pada salah satu tingkatan sanadnya harus ada periwayatnya yang terdiri dari dua orang. Dengan demikian, suatu hadis yang pada salah satu tabaqat sanadnya diriwayatkan oleh dua orang periwayat, kemudian pada tabaqat yang lainnya diriwayatkan oleh banyak periwayat, maka hadis itu tetap dinamakan hadis ‘azīz. Pada hadis ‘azīz tidak disyaratkan adanya keseimbangan jumlah periwayat pada tiap-tiap tabaqat. Hal ini dikarenakan sulitnya menemukan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat pada tiap-tiap tingkatan sanad, mulai dari awal sampai akhir sanadnya. Contoh hadis ‘azīz adalah:
ﻻ: ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻳﺆﻣﻦ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺣﱴ ﺃﻛﻮﻥ ﺃﺣﺐ ﺍﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﻭﺍﻟﺪﻩ ﻭﻭﻟﺪﻩ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﲨﻌﲔ Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga Aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia”. (HR. Bukhari). (Rahman, 1995: 74). Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas ibn Malik. Dari Anas diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abd al-‘Aziz ibn Syuhaib. Dari Qatadah diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari ‘Abd al-‘Aziz diriwayatkan oleh Ismail ibn ‘Ulayyah dan ‘Abd al-Waris. Kemudian dari masing-masingnya diriwayatkan oleh banyak periwayat. (Yuslem, 2001: 215). Sebagaimana halnya hadis masyhūr, hadis ‘azīz ada yang şahīh, hasan, dan dha’īf, tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan masing-masing. Oleh sebab itu, tidak setiap hadis ‘azīz memiliki kualitas şahīh. c. Hadis Gharīb Menurut bahasa, kata gharīb berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan menurut istilah, hadis gharīb adalah:
ﻣﺎ ﻳﻨﻔﺮﺩ ﺑﺮﻭﺍﻳﺘﻪ ﻭﺍﺣﺪ Artinya: “Hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat”. (AtTahhan, 1979: 25). Definisi ini menggambarkan bahwa hadis gharīb diriwayatkan oleh satu orang periwayat, baik pada semua tingkatan sanad maupun pada sebagiannya saja. Seandainya suatu hadis diriwayatkan oleh satu orang pada satu tingkatan sanad, sedangkan pada tingkatan yang lain diriwayatkan oleh periwayat yang berjumlah lebih dari satu orang, tetap saja hadis itu tergolong kepada gharīb. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani sebagaimana dikutip oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (1989: 360), hadis gharīb adalah:
ﻣﺎ ﺗﻔﺮﺩ ﺑﺮﻭﺍﻳﺘﻪ ﺷﺨﺺ ﻭﺍﺣﺪ ﰲ ﺍﻱ ﻣﻮﺿﻊ ﻭﻗﻊ ﺍﻟﺘﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺪ 228
Ahmad Zuhri: Hadis Ahad Sebagai Dasar Penetapan Aqidah
Artinya: “Hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat pada tempat sanad manapun ketersendirian itu terjadi”. Definisi ini menunjukkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat, baik pada setiap tingkatan sanad, pada sebagian tingkatan maupun pada satu tingkatan sanad saja disebut dengan hadis gharīb. Hadis gharīb itu terbagi dua, yaitu gharīb mutlak dan gharīb nisbi. Hadis gharīb mutlak maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian pada tingkatan sahabat. Sedangkan hadis gharīb nisbi adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian di tengah-tengah sanad, meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada tingkatan sahabat. (Idri, 2010: 150). Contoh hadis gharīb mutlak adalah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn al-Khattab yang berbunyi:
(ﺍﳕﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ Artinya: “Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niat”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis niat di atas hanya diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab secara sendirian pada tingkat sahabat, baru setelah itu diriwayatkan oleh banyak periwayat. Contoh hadis gharīb nisbi adalah:
ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺩﺧﻞ ﻣﻜﺔ (ﻭﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻪ ﺍﳌﻐﻔﺮ)ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ Artinya: “Hadis yang diriwayatkan Malik dari az-Zuhri dari Anas ra., bahwasanya Nabi Saw. memasuki kota Makkah dan di atas kepalanya al-mighfar (alat penutup kepala)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini hanya diriwayatkan Malik secara sendirian dari az-Zuhri. Selain pembagian hadis gharīb seperti tersebut di atas, ada juga ulama yang membaginya menjadi dua, yaitu gharīb pada sanad dan matan, dan gharīb pada matan saja. Pembagian seperti ini didasarkan kepada letak kegharībannya. Gharīb pada sanad dan matan maksudnya adalah hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur. Sedangkan gharīb pada sanad saja maksudnya adalah hadis yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, namun ada seorang periwayat yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan hadis melalui sahabat lain yang tidak populer ini disebut dengan hadis gharīb pada sanad. Contoh hadis gharīb pada sanad dan matan adalah:
229
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
ﻛﻠﻤﺘﺎﻥ ﺣﺒﻴﺒﺘﺎﻥ ﺇﱃ ﺍﻟﺮﲪﺎﻥ ﺧﻔﻴﻔﺘﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﺛﻘﻴﻠﺘﺎﻥ ﰱ ﺍﳌﻴﺰﺍﻥ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﷲ ﻭﲝﻤﺪﻩ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﷲ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ Artinya: “Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan berat pada timbangan (pahalanya), yaitu kalimat: “Subhānallāh wal hamdu lillāh, subhānallah al-‘Azīm”. (Al-Bukhari, jilid. I: 8). Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad Muhammad bin Fudail, Abu Zur’ah ‘Umarah, dan Abu Hurairah. Imam Tirmizi menyatakan bahwa hadis ini adalah gharīb karena hanya periwayat-periwayat tersebutlah yang meriwayatkannya, tidak ada periwayat lainnya. Sedangkan contoh hadis gharīb pada sanad adalah:
ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﻳﺄﻛﻞ ﰱ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻣﻌﺎﺀ ﻭﺍﳌﺆﻣﻦ ﻳﺄﻛﻞ ﻗﻰ ﻣﻌﻲ ﻭﺍﺣﺪ Artinya: “Orang kafir makan dalam tujuh usus, sedang orang mukmin makan dalam satu usus”. Menurut al-Hafiz ibnu Rajab, matan hadis ini melalui beberapa jalur diketahui dari Nabi. Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Umar, dari Nabi. Adapun hadis Abu Musa al-Asy’ari yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Kuraib dianggap gharīb, karena Kuraib menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini. (Suparta, 1996: 106). Hadis gharīb ada yang şahīh, hasan, dan dha’īf. Jika suatu hadis gharīb memenuhi semua persyaratan hadis şahīh, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, diriwayatkan oleh periwayat yang dābit, serta terhindar dari syaz dan ‘illat, maka hadis gharīb tersebut tergolong şahīh. Jika persyaratan di atas terpenuhi, namun kedabitan salah seorang periwayatnya di bawah kedābitan periwayat hadis sahih, maka hadis tersebut tergolong hasan. Namun jika suatu hadis gharīb tidak memenuhi persyaratan hadis şahīh maupun hasan, maka hadis tersebut dinamakan dha’īf.
D. Nilai Hadis Ahād Dilihat dari segi wurūdnya (dari siapa datangnya hadis itu), maka hadis ahād adalah zanniy al-wurūd (diduga keras datangnya) dari Rasulullah saw. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh periwayatperiwayatnya tidak memberikan keyakinan secara pasti bahwa apa yang diberitakan itu berasal dari Rasulullah saw. Berbeda halnya dengan hadis mutawātir. Hadis dalam kategori ini adalah qat’iy al-wurūd (pasti datangnya) dari Rasulullah saw. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh periwayat-periwayatnya memberikan keyakinan bahwa berita itu berasal dari Rasulullah saw. Dilihat dari segi dalalahnya (petunjuk yang diperoleh dari hadis itu), hadis ahād ada qat’iyud dalālah, dan ada yang zanniyud dalālah. Qat’iyud dalālah maksudnya adalah petunjuk yang diperoleh daripadanya memastikan demikian, 230
Ahmad Zuhri: Hadis Ahad Sebagai Dasar Penetapan Aqidah
yaitu apabila pengertian yang ditunjuk oleh hadis ahād tersebut tidak dapat ditafsirkan kepada arti lain di luar arti semula. Sedangkan zanniyud dalālah maksudnya adalah petunjuk yang diperoleh dari hadis ahād tersebut bersifat dugaan keras, yaitu pengertian yang ditunjuk hadis tersebut dapat ditafsirkan kepada arti lain di luar arti semula. Jika dilihat dari segi kualitasnya, hadis ahād ada yang sahīh, hasan, atau dha’īf, bahkan ada yang maudhū’, tergantung kepada kualitas sanad dan matannya. Jika hadis tersebut memenuhi persyaratan hadis sahīh, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, diriwayatkan oleh periwayat yang dābit, tidak mengandung syāz dan ‘illat, maka hadis tersebut dinyatakan sahīh. Jika persyaratan-persyaratan di atas terpenuhi kecuali tentang kedābitan, dimana kedābitan salah seorang periwayatnya di bawah kedābitan periwayat hadis sahīh, maka hadis tersebut disebut dengan hadis hasan. Apabila persyaratanpersyaratan di atas tidak terpenuhi, maka hadis tersebut digolongkan kepada hadis dha’īf.
E. Hadis Ahād Sebagai Dasar Penetapan Aqidah. 1. Pendapat yang mengatakan bahwa hadis ahād tidak bisa menjadi dasar penetapan aqidah. Berpedoman kepada prinsip bahwa masalah-masalah aqidah harus berlandaskan dalil-dalil yang memberikan pengertian pasti atau meyakinkan, dan dalil-dalil itu tidak lain hanyalah ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis mutawātir saja, maka hadis-hadis ahād tidak bisa dijadikan dasar dalam penetapan aqidah karena ia hanya memberikan pengertian yang bersifat zanniy (dugaan kuat) saja, tidak memberikan pengertian yang pasti dan meyakinkan. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syekh Mahmud Syaltut dalam bukunya yang berjudul al-Islam, Aqidah wa Syari’ah. Dalam halaman 24 beliau mengatakan, “Kaum muslimin yang meyakini bahwa sumber aqidah dalam perkara-perkara gaib adalah Alquran semata –kami meyakini bahwa ini adalah benar-, maka mereka hanya beriman kepada malaikat yang hanya diberitakan Alquran kepada mereka.” Dalam halaman 76 dia berkata, “Dari sini jelaslah apa yang telah kami putuskan bahwa hadis-hadis ahād tidak bisa menetapkan perkara aqidah dan tidak bisa dijadikan sandaran dalam perkaraperkara gaib. Ini merupakan ijma’ ulama dan sahih berdasarkan hukum akal yang tidak ada ruang untuk diperselisihkan padanya bagi orang-orang yang berakal.” (Syaltut, 1966: 76). Dalil-dalil yang dipergunakan untuk menolak hadis ahād sebagai dasar penetapan aqidah antara lain : a. QS. Yunus ayat 36 : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” b. QS. al-An’am ayat 116 : 231
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” c. QS. an-Najm ayat 28 : “ Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa persangkaan (zann) itu tidak berguna untuk mencapai kebenaran, persangkaan itu tidak berfaedah terhadap kebenaran, bahkan orang yang mengikuti persangkaan adalah orang yang sesat. Dalam kaitannya dengan hadis ahād (hadis yang jumlah perawinya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir), ia tidak lebih dari dalil zanniy. Dan dalil zanniy tidaklah dapat menetapkan perkara aqidah, karena perkara aqidah adalah perkara yang diimani. Sedangkan iman itu artinya keyakinan yang pasti. Dan tidaklah sampai kepada keyakinan yang pasti kecuali melalui dalil yang qath’iy riwayatnya maupun dalalahnya. Sebenarnya zann (dugaan) yang terdapat dalam beberapa ayat di atas adalah menggambarkan tentang keyakinan orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Mereka itu hanya mengikuti dugaan saja dalam beraqidah, sehingga keyakinan mereka tidak sampai pada tingkat kepastian. Mereka hanya mengikuti zann yang tidak punya kepastian sedikitpun, dan mereka sama sekali tidak berada di atas kebenaran. Jika diteliti lebih jauh tentang lafaz zann yang terdapat dalam Alquran, sebenarnya tidaklah semua lafaz “zann” bermakna dugaan, tetapi ada juga beberapa ayat yang bermakna yakin, seperti yang terdapat dalam QS. al-Hāqqah 20:
ﺇﱐ ﻇﻨﻨﺖ ﺃﱐ ﻣﻠﻖ ﺣﺴﺎﺑﻴﺔ Artinya: “Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku”. Dengan demikian tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa hadis ahād tidak bisa dijadikan dasar (dalil) dalam menetapkan aqidah. 2. Pendapat yang mengatakan bahwa hadis ahād bisa sebagai dasar penetapan aqidah. Berbeda dengan pendapat di atas, para ulama, khususnya para ulama hadis, tidak pernah mengatakan bahwa hadis-hadis ahād tidak bisa dijadikan hujjah (dasar) penetapan aqidah. Yang mereka katakan adalah : hadis sahih, begitu juga hadis hasan menjadi hujjah (dalil) dalam ajaran Islam, baik masalah aqidah, syari’ah maupun akhlaq. Sedangkan hadis dha’if tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah dan syari’ah. Hadis tersebut hanya dapat dipakai dalam masalah fadha’il al-a’mal (amal-amal kebajikan) dengan syarat-syarat tertentu. (Yakub, 2000: 133).
232
Ahmad Zuhri: Hadis Ahad Sebagai Dasar Penetapan Aqidah
Prinsip seperti ini sudah dipakai oleh para sahabat semenjak Nabi saw. masih hidup. Dalam menerima hadis dari Nabi saw., mereka tidak pernah memilah-milah hadis menjadi ahād dan mutawātir, kemudian yang ahād mereka tolak jika berkaitan dengan masalah aqidah. Memang benar hadis-hadis mutawātir lebih unggul kualitasnya bila disbandingkan dengan hadis –hadis ahād karena banyaknya jumlah periwayat yang meriwayatkan hadis-hadis mutawātir. Keunggulan kualitas ini menyebabkan para ulama berpendapat bahwa hadis mutawātir memberikan pengertian yang meyakinkan yang disebut dengan al-‘ilm ad-darūri, dimana seseorang akan merasa yakin seolah-olah ia melihat atau mendengar sendiri apa yang dimaksud dalam hadis itu. Adapun hadis ahād, ia hanya dapat memberikan pengertian yang kebenarannya masih perlu diuji lagi, atau disebut dengan al-‘ilm an-nazari, atau lazim juga diistilahkan dengan sebutan zanniy (dugaan atau perkiraan yang kuat). Manakala dalam penelitian hadis tersebut memenuhi syarat keadilan dan kedhabitan, maka hadis itu harus diikuti dan diamalkan. Subhi ash-Shalih (1988: 152) dalam bukunya ‘Ulūm al-Hadis wa Muştalahuhu menyatakan :
ﺃﻧﻪ ﻻ ﻣﻌﲎ ﻟﻠﻘﻮﻝ ﺑﻈﻨﻴﺔ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻷﺣﺎﺩﻱ ﺑﻌﺪ ﺛﺒﻮﺕ ﺻﺤﺘﻪ ﻷﻥ ﻣﺎ ﺍﺷﺘﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﻗﺒﻮﻝ ﺻﺤﺘﻪ ﻳﺰﻳﻞ ﻛﻞ ﻣﻌﺎﱏ ﺍﻟﻈﻦ ﻭﻳﺴﺘﺮﺟﺐ ﻭﻗﻮﻉ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﻴﻘﲔ ﺑﻪ Artinya: “Sesungguhnya tidak ada makna (arti) pernyataan hadis ahād itu zanniy setelah ditetapkan kesahihannya. Karena hadis yang telah memenuhi persyaratan sahih, maka hilanglah semua makna zanniy, dan menghasilkan pengetahuan yang yakin.”(Ash-Shalih, 1988: 152). Para ulama secara keseluruhan telah menjadikan hadis ahād sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah aqidah, syari’ah maupun akhlak, kecuali beberapa orang saja dari kelompok Mu’tazilah yang berprinsip lain, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa hadis-hadis ahād tidak bisa dipakai dalam penetapan aqidah. Jika prinsip ini diikuti, tentu akan membawa konsekwensi tergusurnya sebagian besar ajaran Islam yang selama ini diimani oleh umat Islam. Adanya syafa’at Nabi saw. di akhirat, mu’jizat Nabi saw. selain Alquran, sifat-sifat malaikat dan jin, sifat-sifat surga dan neraka, siksa kubur, timbangan amal di akhirat, shirat, haudh, berita-berita tentang hari kiamat berikut tanda-tandanya, munculnya Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa as., munculnya Dajjal, dan lain-lain tentu harus digusur dari ajaran Islam. (Yakub, 2000: 133). Argumen tentang hadis ahād sebagai dasar penetapan aqidah, antara lain : a. QS. at-Taubah ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan 233
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukmin agar mereka memperdalam agama (tafaqqah fiddin). Dan tidak diragukan lagi bahwa yang mereka pelajari bukan hanya berkaitan dengan furu’ dan hukum saja. Seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting. Dan salah satu yang lebih penting itu adalah aqidah. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu golongan (thāifah) untuk memperdalam aqidah dan hukum-hukum agar kelak nanti mereka memperingatkan kaumnya sekembalinya dari memperdalam pengetahuan agama tentang aqidah dan hukum-hukum. Thāifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadis ahād tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam hal aqidah, tentulah Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da’wah. Oleh sebab itu, ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahād dapat dijadikan hujjah di dalam menda’wahkan aqidah maupun hukumhukum. b. QS. al-Hujurat ayat 6 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti …” Ayat ini menerangkan bahwa tidak boleh menerima berita yang dibawa orang fasik sebelum diteliti kebenarannya. Oleh karena itu, jika seorang yang adil membawa kabar (berita), maka terima dan jadikanlah hujjah tanpa perlu diselidiki lagi. Ayat ini juga menunjukkan dengan pasti tentang harus diterimanya kabar ahād yang dibawa seorang yang adil dan tidak perlu diteliti lagi. Seandainya kabar itu tidak memberi faedah ilmu, niscaya akan diperintahkan untuk diselidiki hingga didapat ilmu. Dan yang menunjukkan diterimanya kabar ahād adalah apa yang dilakukan oleh salafus shaleh dan para imam. Mereka senantiasa berkata, “Rasulullh saw. telah bersabda, beliau telah melakukan ini, memerintahkan ini, dan melarang begini dan begitu”. Juga kebanyakan sahabat dalam meriwayatkan hadis seorang dari mereka berkata, “Rasulullah telah bersabda”, meskipun ia mendengar dari sahabat yang lain. Seandainya kabar ahād tidak memberikan faedah ilmu (yakin), niscaya ia menjadi saksi atas Rasulullah saw. tanpa ilmu. c. Hadis Nabi Banyak hadis Nabi yang menunjukkan tentang wajibnya menerima hadis ahād sebagai hujjah tanpa membedakan bidang aqidah maupun bidang hukum. Hadis dari Anas bin Malik misalnya, “Bahwa penduduk Yaman datang menemui Rasullullah saw., kemudian mereka berkata, “Ya Rasulullah, utuslah kepada kami seorang yang akan mengajari kami as-Sunnah dan Islam”. Kata Anas, “Lalu Rasulullah memegang tangan Abu Ubaidah seraya berkata : “Ini adalah orang yang terpercaya bagi umat ini.” (HR. Bukhari dan Muslim). 234
Ahmad Zuhri: Hadis Ahad Sebagai Dasar Penetapan Aqidah
Di dalam hadis ini Rasulullah mempercayakan penyampaian ajaran Islam kepada seorang sahabat. Seandainya kabar ahād tidak bisa dijadikan hujjah, niscaya Rasulullah tidak mengutus Abu Ubaidah. Lagi pula ada beberapa hadis sahīh yang mengisahkan beberapa sahabat yang diutus Rasulullah ke beberapa negeri untuk mengajarkan Islam yang mencakup aqidah dan hukum-hukum, seperti mengutus Ali bin Abi Talib, Mu’az bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain.
F. Penutup Ditinjau dari segi wurūdnya (dari siapa datangnya hadis), maka hadis ahād tergolong hadis yang zanniy al-wurūd. Sedangkan hadis mutawātir tergolong qat’iy al-wurūd. Zanniy al-wurūd maksudnya hadis ahād itu tidak secara meyakinkan bahwa bersumber dari Nabi saw., tetapi bersifat dugaan kuat saja. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh periwayatperiwayatnya tidak memberikan keyakinan secara pasti bahwa apa yang diberitakan berasal dari Rasulullah saw. Hadis ahād hanya diriwayatkan oleh satu orang periwayat, dua orang atau lebih yang masih mungkin terjadi kekeliruan dalam periwayatannya. Qat’iy al-wurūd maksudnya hadis mutawātir itu pasti datangnya dari Rasulullah saw., sebab cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh periwayat-periwayatnya memberikan keyakinan bahwa berita itu benar berasal dari Rasulullah saw. Periwayat dalam setiap tingkatannya terdiri dari sejumlah orang yang menurut adat mereka tidak mungkin terlebih dahulu membuat kesepakatan untuk meriwayatkan hadis secara dusta. Hadis ahād yang memenuhi kriteria hadis sahīh maupun hasan merupakan dasar atau dalil dalam menetapkan hukum. Namun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ketika hadis ahād seperti ini dijadikan dasar penetapan aqidah. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hadis ahād sekalipun dari segi wurūdnya tergolong zanniy, tetapi jika kualitasnya sahīh, maka hilanglah makna zanniynya dan beralih menjadi ‘ilm al-yaqin (pasti). Oleh sebab itu, hadis ahād yang memenuhi kriteria hadis sahīh, bisa dijadikan dasar penetapan aqidah. Sebagian yang lain termasuk Mahmud Syaltut berpendapat bahwa hadis ahād tidak bisa dijadikan sebagai dasar aqidah. Salah satu alasanya adalah hadis ahād itu zanniy al-wurūd, sementara aqidah itu bersifat pasti atau yakin. Oleh sebab itu, dasar (dalil) yang zanniy tidak bisa dijadikan dasar untuk menetapkan aqidah (keyakinan).
235
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
DAFTAR PUSTAKA Abu Zahrah, Muhammad, (t.th.), Tārīkh al-Mazāhib al-Islāmiyah, Juz. II, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi Al-‘Asqalani, Ibn Hajar, (t.th.), Syarh Nukhbah al-Fikri, Makkah: al-‘Aqdadiyah. Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, (1981), Şahīh al-Bukhāri, Beirut: Dar alFikr. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, (1989), Uşūl al-Hadīś Ulūmuhu wa Muştalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr. Ash-Shalih, Shubhi, (1988), ‘Ulūm al-Hadīś wa Muştalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin. Asy-Syafi’i, Muhammad ibn Idris, (1969), ar-Risalah, Mesir: Mustafa al-Baby alHalabi. At-Tahhan, Mahmud, (1979), Taisīr Mustalah al-Hadis, Beirut: Dar Alquran alKarim. Hazm, Ibn, (t.th.), al-Muhalla, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Idri, (2010), Studi Hadis, Jakarta: Kencana. Munawwir, Ahmad Warson, (1997), Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif. Rahman, Fatchur, (1995), Ikhtisar Muştalahul Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif. Suparta, Munzier, (1996), Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Syaltut, Mahmud, (1966), al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam. Yakub, Ali Mustafa, (2000), Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus. Yuslem, Nawir, (2001), Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
236