Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah
Kehujahan Hadis Ahad Dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam Oleh : Izzatus Sholihah
Abstrak Hadis dari segi kehujahannya merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur‟an. Sedangkan dalam kaitannya dengan permasalahan hukum, terkadang hadis menjadi penetap atau penguat atas apa yang terkandung dalam Al-Qur‟an, memerinci atau menjelaskan yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum atau menetapkan suatu hukum yang jawabannya tidak ditegaskan dalam Al-Qur‟an. Namun, walaupun demikian tidak semua hadis patut untuk dijadikan dalil. Karena hadis ada yang shahih dan ada juga yang dhaif. Begitu juga ada yang mutawatir dan ada juga yang ahad. Para ulama berbeda pendapat dalam berhujah dengan hadis ahad. Ada yang menerima secara mutlak, ada juga yang menerimanya dengan menetapkan syarat-syarat tertentu. Perbedaan pendapat ini tentu membawa pengaruh pula terhadap para ulama dalam menetapkan suatu hukum. I. Pendahuluan Allah Swt telah menurunkan kepada Nabi Muhammad Saw suatu kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, kemudian memerintahkan kepada beliau Saw untuk menjelaskan isi dari kitab tersebut. Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk menaatinya. Sehingga, Al-Qur‘an dan hadis menjadi dua sumber dan dua cahaya untuk menuju kepada jalan yang lurus. Hadis, sebagaimana yang kita ketahui ada yang shahih dan ada pula yang dhoif. Hadis dhoif tidak dapat dijadikan hujah menurut mayoritas para ulama. Selain dari sisi kualitas seperti di atas, dari segi kuantitas hadis juga terbagi menjadi dua yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Dalam berhujah dengan hadis ahad, para ulama juga berbeda pendapat. Ada yang menerimanya secara mutlak tanpa syarat apapun. Namun ada juga yang menerimanya tapi dengan menetapkan syarat-syarat tertentu. Perbedaan pendapat ini tentu membawa konsekuensi logis dalam menetapkan hukum suatu permasalahan dalam Islam. Boleh jadi ada satu ulama yang menggunakan hadis ahad sebagai hujah tapi ulama yang lain tidak menggunakan hadis tersebut. Perbedaan inilah yang pada akhirnya menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum suatu permasalahan.
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
1
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah II. Pengertian dan Pembagian Hadis Ahad a. Pengertian Hadis Ahad Dari segi etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jamak yang artinya ―satu‖. Hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun dari segi terminologi, hadis ahad adalah hadis yang dalam periwayatannya tidak sampai kepada batas mutawatir. Pengertian ini mencakup baik dalam satu thobaqoh maupun di setiap thobaqoh, dan mencakup pula hadis yang diriwayatkan oleh dua, tiga orang perawi atau lebih selama tidak sampai kepada batas mutawatir.1 b. Pembagian Hadis Ahad Hadis ahad dari segi jalur periwayatannya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib. Ketiga bagian hadis tersebut tidak bisa lepas dari status shahih dan dhaif. Sehingga ketiganya bisa jadi ada yang shahih, hasan ataupun dhaif. Namun, hadis dhaif dalam hadis gharib lebih banyak dari pada yang lainnya. 1. Hadis masyhur secara etimologi adalah isim maf‘ul dari ―Syahartu al-Amr‖. Sedangkan secara terminologi adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih namun tidak sampai kepada batas mutawatir.2 Contoh hadis masyhur adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari,
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ض الْعِْل َم بَِقْب ض الْعُلَ َم ِاء َح ََّّت إِذَا ً ض الْع ْل َم انْتَز ُ ِاعا يَْنتَ ِزعُوُ م َن الْعبَاد َولَكن يَ ْقب ُ ِإِ َّن اهللَ الَ يَ ْقب ٖ ِ َّ ِ َضلُّوا َ َوسا ُج َهاالً فَ َسئَ لُوا فَأَفْ تَوا بِغَ ِْْي ع ْل ٍم ف َ ضلُّوا َوأ ً َّاس َرُؤ ُ ََلْ يَْب َق َعال ًما اَّتَ َذ الن Di antara kitab-kitab yang bisa digunakan sebagai rujukan untuk hadis masyur adalah kitab al-La‟ali al-Mantsurah Fi al-Ahadis al-Masyhurah karya Imam az-Zarkasyi dan kitab al-Maqasid al-Hasanah Fi Bayan Katsir Min al-Ahadis al-Masyhurah „Ala al-Alsinah karya Imam as-Sakhawi. 2. Hadis Aziz Hadis Aziz secara etimologi artinya yang sedikit/jarang atau bisa juga berarti yang kuat. Dinamakan seperti itu adakalanya karena sedikitnya jumlah hadis aziz atau karena kuatnya hadis dari jalur periwayatan yang lain. Sedangkan hadis aziz menurut terminologi adalah hadis yang dalam semua jalur periwayatannya tidak kurang dari dua orang perawi. 4 Contoh hadis aziz adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam alBukhari,
1
Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal 21 Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hal 22 3 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Kitab al-Ilm, Bab Kaifa Yuqbadhu al-Ilm, juz 1, hal 49 4 Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1998 M), hal 415 2
2
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah ٘
ِ ْ َّاس أ ِ ِ ب إِلَْي ِو ِم ْن َوالِ ِدهِ َوَولَ ِدهِ َوالن ي َّ َح َ ْ َْجَع َ َح ُد ُك ْم َح ََّّت أَ ُك ْو َن أ َ الَ يُ ْؤم ُن أ
3. Hadis Gharib Hadis gharib secara etimologi artinya yang jauh dari tanah air atau yang sukar dipahami. Sedangkan menurut terminologi adalah hadis yang dalam jalur periwayatannya hanya terdapat seorang perawi saja baik dalam setiap thabaqah sanad maupun di sebagiannya.6 Hadis gharib dibagi menjadi 2 yaitu gharib mutlaq dan gharib nisby. Gharib mutlaq adalah apabila keghariban tersebut terletak pada asal sanad.7 Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, 8ِ
ال بِالنِّ يَّات ُ إََِّّنَا ْاْل َْع َم
Hadis tersebut diterima dari Nabi Saw, tetapi yang menerima hanya Umar bin al-Khaththab saja. Sedangkan yang dimaksud dengan gharib nisby adalah apabila keghariban terjadi di tengah sanad atau di tengah jalur periwayatan.9 Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa‘,
َعن مالك عن الزىري عن أنس رضي اهلل عنو أ ّن النيب صلى اهلل عليو وسلم َد َخ َل َم َّكة ٔٓ ِ ِ ِ َو َعلَى َرأْسو الْم ْغ َفُر Hadis tersebut diterima dari Zuhri dan yang menerima hanya Malik bin Anas.
III. Ulama Yang Membagi Hadis Kepada Mutawatir Dan Ahad Para shahabat dan tabiin begitu juga para ulama pada masa klasik tidak pernah menyatakan bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah. Begitu pula mereka tidak pernah membagi hadis ke dalam mutawatir dan ahad. Mereka hanya membuat 5
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Hub ar-Rasul Shallallah ‘Alaihi Wa Salam Min al-Iman, juz 1, hal 14 6 Hasan Muhammad Maqbuli al-Ahdal, Mushthalah al-Hadis Wa Rijaluhu, (Shan’a: Maktabah al-Jail al-Jadid, 1414 H/ 1993 M), hal 101 7 Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hal 23 8 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Bid’I al-Wahyi, Bab Kaifa Kana Bid’u al-Wahyi Ila Rasulillah Shallallah ‘Alaihi Wa Salam, juz 1, hal 3 9 Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hal 24 10 An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, (Halb: Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah, 1406 H/1986 M), Kitab Manasik alHajj, Bab Dukhul al-Makkah Bi Ghair Ihram, juz 5, hal 200 Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
3
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah statemen bahwa hadis yang shahih begitu juga hadis hasan bisa dijadikan hujah dalam Islam. Adapun hadis dhaif tidak bisa diamalkan kecuali dalam hal fadhail al-a‟mal (keutamaankeutamaan amal) dengan syarat-syarat tertentu.11 Jika demikian, pertanyaannya sekarang adalah siapa ulama yang mula-mula melakukan pembagian hadis ke dalam mutawatir dan ahad? Menurut Imam Ibn Hazm sebagaimana tercantum dalam kitabnya al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, semua ulama sepakat bahwa riwayat yang berasal dari satu orang yang tsiqah bisa diterima sebagai hujah. Para ulama dari kalangan kelompok ahli kalam juga menyepakati hal tersebut sampai datanglah orang-orang muktazilah setelah abad pertama hijriyah kemudian mereka keluar dari ijma tersebut.12 Salah satu tokoh muktazilah yaitu Abu al-Wahab Abu Ali al-Juba‘i mengatakan bahwa tidak wajib beramal dengan hadis ahad kecuali hadis yang diriwayatkan oleh minimal dua orang perawi dalam setiap thabaqahnya. Selain Abu al-Wahab Abu Ali al-Juba‘i, tokoh muktazilah lainnya juga ada yang menyatakan bahwa tidak wajib beramal dengan hadis ahad kecuali yang diriwayatkan oleh empat orang perawi dalam setiap thabaqah atau di setiap jalur periwayatannya.13 Dari sini, jelas bahwa orang pertama yang melakukan pembagian hadis ke dalam mutawatir dan ahad adalah seorang tokoh muktazilah yang bernama Abu al-Wahab Abu Ali al-Juba‘i. Hal ini terjadi setelah abad pertama hijriyah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ibn Hazm.14
IV. Hukum Dan Kehujahan Hadis Ahad a. Hukum Hadis Ahad Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum hadis ahad apakah memberikan faedah qath‘i (yakin) atau tidak. Setidaknya perbedaan pendapat ini terbagi menjadi 3 kelompok. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak memberikan faedah yakin secara mutlak, baik ada qarinah maupun tidak ada qarinah. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah yakin secara mutlak walaupun tanpa qarinah dan ketiga adalah kelompok yang menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah yakin jika terdapat qarinah.15 Pendapat pertama adalah madzhabnya mayoritas ulama ushul dan ahli kalam, begitu pula dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam asy-Syafi‘i. Pendapat yang kedua adalah pendapatnya Imam Ahmad dan Dawud azh-Zhahiri. Sedangkan pendapat ketiga 11
Abu Bakar bin Muhammad as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), juz 1, hal 160 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1404 H), juz 1, hal 108 13 Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mara an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, (Beirut: Dar Ihya at-Turasts al-‘Araby), juz 1, hal 131 14 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, juz 1, hal 108 15 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa Fi Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1413 H), juz 1, hal 145 12
4
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah adalah pendapatnya Imam Ibn ash-Shalah dan mayoritas ulama ushul, ahli kalam dan ahli hadis.16 b. Berhujah Dengan Hadis Ahad Para ulama juga berbeda pendapat dalam penggunaan hadis ahad sebagai hujah. Mayoritas shahabat, tabiin, ulama-ulama hadis dan fiqih setelah mereka, juga ulama ushul berpendapat bahwa riwayat satu orang yang tsiqah bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum Islam. Adapun kelompok Qodariyah, Rafidhah dan sebagian ulama ahli zhahir berpendapat bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa hanya hadis ahad yang terdapat dalam kitab Shahih alBukhari dan Shahih Muslim saja yang bisa dijadikan sebagai hujah sedangkan di luar dari dua kitab tersebut maka tidak boleh dijadikan sebagai hujah.17 c. Dalil-dalil Kehujahan Hadis Ahad Di antara dalil-dalil yang menguatkan akan kehujahan hadis ahad adalah sebagai berikut: 1. Firman Allah Swt surat al-Hujurat [49] ayat 6
ٍ ِ ِ صبِ ُحوا َعلَى َما ْ ُفَتَبَ يَّنُوا أَ ْن تُصْيبُوا قَ ْوًما ِبَ َهالَة فَت
ِ َيآ أَيُّها الَّ ِذين أَمنُوا إِ ْن جاء ُكم ف اس ٌق بِنَبٍَأ َ َْ َ َ ْ ََ ِِ ي َ ْ فَ َع ْلتُ ْم نَادم
Berita dalam ayat di atas menggunakan redaksi nakirah sehingga mencakup semua berita termasuk berita yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Allah Swt telah mewajibkan untuk mengecek berita dalam ayat di atas jika yang menyampaikan berita tersebut adalah orang fasik. Akan tetapi, jika yang membawa berita bukanlah orang fasik, maka berita tersebut bisa diterima.18 2. Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi,
ِعن عبد اهلل بن مسعود أ ّن النيب صلى اهلل عليو وسلم قال "نَضر اهلل امرأً ََِسع م َقالَِِت ى ِذه َ َ َ َ ْ ُ ََ َّ ب َح ِام ِل الْ ِف ْق ِو فِْي ِو َغْي ُر فَِقْي ٍو َوُر َّ فَ ُر،فَ َح َملَ َها َث ال ٌ َب َح ِام ِل الْ ِف ْق ِو إِ ََل َم ْن ُى َو أَفْ َقوُ ِمْنوُ ثَل
16
Abu ‘Amr Utsman bin Abdurrahman asy-Syahrazury, Ulum al-Hadis, (t.t: Maktabah al-Farabi, 1984 H), hal 10 Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mara an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, juz 1, hal 132 18 Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal 154 17
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
5
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah
ِِ ِ ِ ِ اع ِة َ َاص َحةُ أ ُْوِِل اْْل َْم ِر َولُُزْوُم َْج َ َص الْ َع َم ِل للَّو عز وجل َوُمن َ يَغ ُّل َعلَْي ِه َّن ُ َص ْد ُر ُم ْسل ٍم إ ْخل ٜٔ ِ ِ ِِ ط ِم ْن َوَرائه ْم ُ ي فَِإ َّن َد ْع َوتَ ُه ْم ُُِتْي َ ْ الْ ُم ْسلم Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw mengajak kepada umatnya untuk mendengarkan sabdanya dan menjanjikan kebaikan kepada orang yang menyebarluaskan.
3. Ijma Para Shahabat Ijma para shahabat mengenai kehujahan hadis ahad terlihat dalam banyak kejadian atau peristiwa di mana ketika mereka mendapatkan suatu berita dari satu orang yang tsiqoh maka mereka langsung menerimanya dan mereka tidak lagi berijtihad dengan akalnya. Salah satu contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dalam kasus perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah. Setelah mendengar berita tersebut, para shahabat langsung merubah arah kiblat mereka padahal waktu itu yang membawa berita adalah satu orang yang tsiqah. Seandainya berita dari satu orang tidak bisa dijadikan hujah, tentu para shahabat tidak akan merubah arah kiblat ke Ka‘bah. 20
V. Pengaruh Hadis Ahad Terhadap Hukum Islam Sebelum kita mengetahui bagaimana pengaruh hadis ahad dalam penetapan hukum Islam, harus kita ketahui terlebuh dahulu bagaimana sikap para ulama fiqih dalam menghukumi hadis ahad itu sendiri. Para ulama fiqih yang dimaksud di sini adalah empat imam mujtahid yang menjadi panutan mayoritas umat dalam masalah-masalah fiqih, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keempat imam di atas, walaupun secara umum mereka sepakat bahwa hadis ahad bisa dijadikan sebagai hujah dalam penetapan hukum Islam, namun mereka berbeda pendapat dalam hal kriteria hadis ahad itu bisa diterima dan bisa menjadi hujah. Perbedaan inilah yang pada akhirnya berdampak kepada bedanya pandangan mereka dalam menetapkan hukum Islam.
1. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam Abu Hanifah Madzhab Hanafi menetapkan tiga syarat dalam beramal dengan menggunakan hadis ahad. Ketiga syarat tersebut adalah -
Perawi tidak menyalahi riwayat yang ia sampaikan. Jika seorang perawi menyalahi apa yang ia riwayatkan, maka yang harus diamalkan adalah apa yang ia lakukan
19
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Araby, t.th), Kitab al-Ilm, Bab Ma Ja’a Fi al-Hats ‘Ala Tabligh as-Sima’, juz 5, hal 33 20 Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadis, hal 154-155 6
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah
-
-
bukan apa yang ia riwayatkan. Karena apa yang ia lakukan berasal dari adanya nasakh dalam riwayat tersebut yang ia ketahui.21 Oleh karena itu, madzhab Hanafi tidak mengamalkan hadis riwayat Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa jilatan seekor anjing harus dibasuh sebanyak tujuh kali di mana yang pertama menggunakan tanah. Hal ini karena Abu Hurairah sebagai perawi hadis tersebut hanya membasuh sebanyak tiga kali saja sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni.22 Kandungan hadis tidak berkaitan dengan hal yang sifatnya umum atau populer. Karena apa yang sifatnya umum atau popular harus diriwayatkan melalui jalur yang mutawatir. Jika hal tersebut diriwayatkan secara ahad, maka ia menunjukkan ketidakshahihan riwayat tersebut dan menimbulkan keragu-raguan.23 Oleh karena itu, madzhab Hanafi tidak mengamalkan hadis mengangkat tangan ketika akan rukuk dalam shalat. Hal ini karena hadis tersebut termasuk hadis ahad padahal mengangkat tangan dalam shalat termasuk hal yang sifatnya umum dan populer karena ia dilakukan dalam shalat setiap hari. Selain itu, perawi hadis tersebut yaitu Ibn Umar menyalahi apa yang ia riwayatkan karena menurut Imam Mujahid, ia pernah shalat di belakang Ibnu Umar dan Ibnu Umar tidak mengangkat tangan kecuali dalam takbir yang pertama.24 Hadis tersebut tidak bertentangan dengan qiyas dan dasar-dasar syari‘at.25
2. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam Malik Madzhab Maliki menetapkan syarat-syarat sebagai berikut dalam mengamalkan hadis ahad, yaitu: -
-
Hadis tersebut tidak bertentangan dengan amal penduduk Madinah. Hal ini karena amal penduduk Madinah setara dengan hadis mutawatir karena mereka telah mengamalkannya dari para ulama sebelum mereka yang langsung berinteraksi dengan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, madzhab Maliki menolak hadis khiyar almajlis. Hal tersebut karena penduduk Madinah tidak pernah menetapkan batasanbatasan tertentu dalam urusan khiyar al-majlis.26 Hadis tersebut tidak bertentangan dengan qiyas dan pokok-pokok syariah sama seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini karena Imam Malik lebih mengedepankan qiyas dari pada hadis ahad karena qiyas merupakan hujah berdasarkan kesepakatan para shahabat. Oleh karena itu, berhujah dengan alQur‘an, Sunah dan Ijma lebih kuat dari pada berhujah dengan hadis ahad.27
21
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’atsir, 2004 M), hal 470 Abu al-Hasan Ali bin Umar ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1386 H/ 1966 M), Juz 1, Hal 66 23 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hal 470 24 Muhammad Abu al-Fattah al-Bayanuni, Dirasat Fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah, (al-Qahirah: Dar as-Salam, 1403 H/ 1983 M), hal 71 25 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hal 470 26 Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (al-Qahirah: Dar at-Tauzi’ Wa an-Nasyr al-Islamiyah, 1993 M), hal 177 27 Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, (t.t: t.p, t.th), juz 1, Hal 339 22
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
7
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah 3. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam asy-Syafi‟i Imam asy-Syafi‘i menulis bab khusus dalam kitabnya yang berjudul ar-Risalah yaitu ―Bab Khabar al-Ahad‖. Ia menamai khabar ahad dengan khabar khashah.28 Dalam bab tersebut, ia menyatakan bahwa khabar satu orang dari satu orang sampai kepada Rasulullah Saw bisa dijadikan hujah dan hadis ahad itu memberikan faedah zhan.29 Imam asy-Syafi‘i kemudian menetapkan syarat-syarat diterimanya diterimanya hadis ahad sebagai hujah. Syarat-syarat tersebut adalah: -
Perawi adalah orang yang tsiqah Dikenal sebagai orang yang jujur dalam periwayatan hadis Memahami apa yang ia riwayatkan Mengetahui makna-makna dari lafadz hadis Meriwayatkan hadis dengan riwayat lafzhi bukan riwayat maknawi Hafal jika hadis tersebut diriwayatkan berdasarkan hafalan dan tahu tulisannya jika diriwayatkan berdasarkan dari kitabnya. Perawi harus terbebas dari sifat tadlis yaitu meriwayatkan hadis dari orang yang bertemu dengannya tapi tidak mendengar darinya atau meriwayatkan dari Nabi Saw tapi bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah.30
4. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam Ahmad bin Hanbal Imam Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan dalam beramal dengan hadis ahad kecuali hadis tersebut sanadnya shahih sama seperti Imam asy-Syafi‘i. Namun ia berbeda dalam hal hadis mursal. Hadis mursal diamalkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.31 Dari penjelasan di atas, jelas bahwa Imam Ahmad berpegang teguh kepada hadis baik itu mutawatir maupun ahad. Ia tidak membedakan keduanya sebagai hujah dalam Agama selama terpenuhi syarat-syarat keshahihan hadis. Imam Ibn al-Qayim mengatatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal jika mendapatkan sebuah nash maka ia mewajibkan untuk mengamalkannya. Ia tidak menghiraukan nash lain yang bertentangan atau pendapat lain yang bertentangan dengannya.32 Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak menghiraukan riwayat ‗Umar tentang tayamum bagi orang yang junub karena ada hadis ‗Ammar bin Yasir. Teks hadis tersebut adalah sebagai berikut,
28
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th), hal 369 Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah, hal 369 30 Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah, hal 371 31 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hal 372 32 Muhammad bin Abi Bakr Ayub az-Zar’iy, I’lam al-Muwaqi’in ‘An Rab al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jail, 1973 M), juz 1, hal 30 29
8
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah
ال إِ ِِّّن َ َجاءَ َر ُج ٌل إِ ََل عُ َمَر بن اخلطاب فَ َق:عن سعيد بن عبد الرمحن بن أبزى عن أبيو قال
ال َع َّم ُار بن ياسر لعمر بن اخلطاب أ ََّما تَ ْذ ُكُر أَنَا ُكنَّا ِِف َس َف ٍر َ فَ َق،َب الْ َماء َّ َص ُ َجنَْب ْأ ُ ت فَلَ ْم أ ِ ِأَنَا وأَنْت فَأ ََّما أَنْت فَلَم تُصل وأ ََّما أَنَا فَتمع ْكت فَصلَّيت فَ َذ َكرت َذل َّيب صلى اهلل عليو َ ُ ْ ُ ْ َ ُ َ ََ ِّ ِك للن َ َ َ ِّ َ ْ َ ِ َّيب صلى اهلل َ فَ َق،وسلم َ َّيب صلى اهلل عليو وسلم (إََِّّنَا َكا َن يَ ْكفْي َ َ ف.)ك َى َك َذا ُّ ِب الن ُّ ِال الن َ ضَر ٖٖ ِ ِ .ض َونَ َف َخ فِْي ِه َما ُُثَّ َم َس َح ِبِِ َما َو ْج َهوُ َوَك َّفْيو َ عليو وسلم بِ َك َّفْيو ْاْل َْر Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat keempat imam di atas mengenai kehujahan hadis ahad, kita tahu bahwa perbedaan tersebut pada akhirnya berdampak kepada bedanya sikap mereka dalam mengistinbatkan hukum-hukum Islam. Bisa jadi di antara mereka ada yang menerima dan menjadikan hadis tersebut sebagai hujah sedangkan yang lain menolaknya dan tidak menjadikannya sebagai hujah. Contohnya adalah hadis tentang membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali di mana yang pertama menggunakan tanah. Hadis tersebut dijadikan hujah oleh Imam asy-Syafi‘i karena sanadnya shahih, akan tetapi tidak diamalkan oleh Imam Abu Hanifah karena sikap perawi hadis tersebut yaitu Abu Hurairah bertentangan dengan apa yang ia riwayatkan, karena Abu Hurairah hanya membasuh bekas jilatan anjing sebanyak tiga kali saja. Begitu juga dengan hadis khiyar majlis. Hadis tersebut tidak diamalkan oleh Imam Malik karena bertentangan dengan perilaku penduduk Madinah. Sedangkan Imam Ahmad mengamalkannya karena sanad hadis tersebut shahih.
VI. Kesimpulan dan Penutup Dari kajian di atas, bisa disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi hadis ahad. Setidaknya perbedaan pendapat ini terbagi menjadi 3 kelompok. Pendapat pertama adalah madzhabnya mayoritas ulama ushul dan ahli kalam, begitu pula dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam asy-Syafi‘i, menyatakan bahwa hadis ahad tidak memberikan faedah yakin secara mutlak, baik ada qarinah maupun tidak ada qarinah. Pendapat yang kedua adalah pendapatnya Imam Ahmad dan Dawud azh-Zhahiri menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah yakin secara mutlak walaupun tanpa qarinah dan pendapat ketiga adalah pendapatnya Imam Ibn ash-Shalah dan mayoritas ulama ushul, ahli kalam dan ahli hadis yang menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah yakin jika terdapat qarinah.
33
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tayamum, Bab al-Mutayamim Hal Yanfuhu Fihima, juz 1, hal 129
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
9
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah Selain perbedaan pendapat di atas, para ulama juga berbeda pendapat dalam berhujah dengan hadis ahad. Perbedaan pendapat tersebut jelas terlihat di antara keempat ulama ahli fiqih yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Perbedaan inilah yang pada akhirnya menyebabkan bedanya hasil penggalian atau pengistinbatan mereka terhadap hukum Islam sehingga hasil ijtihadnay pun berbeda.
10
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah Daftar Pustaka Mahmud, ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, t.th Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.th Nur ad-Din ‗Itr, Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1998 M Hasan Muhammad Maqbuli al-Ahdal, Mushthalah al-Hadis Wa Rijaluhu, Shan‘a: Maktabah al-Jail al-Jadid, 1414 H/ 1993 M An-Nasa‘i, Sunan an-Nasa’i, Halb: Maktabah al-Mathbu‘ah al-Islamiyah, 1406 H/1986 M Abu Bakar bin Muhammad as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1404 H Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mara an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Beirut: Dar Ihya at-Turasts al-‗Araby Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa Fi Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyah, 1413 H Abu ‗Amr Utsman bin Abdurrahman asy-Syahrazury, Ulum al-Hadis, t.t: Maktabah alFarabi, 1984 H Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, t.th At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‗Araby, t.th Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘atsir, 2004 M Abu al-Hasan Ali bin Umar ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1386 H/ 1966 M Muhammad Abu al-Fattah al-Bayanuni, Dirasat Fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah, al-Qahirah: Dar as-Salam, 1403 H/ 1983 M Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, al-Qahirah: Dar at-Tauzi‘ Wa an-Nasyr alIslamiyah, 1993 M Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkh asi, t.t: t.p, t.th Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, ar-Risalah, Beirut: al-Maktabah al-‗Ilmiyah, t.th Muhammad bin Abi Bakr Ayub az-Zar‘iy, I’lam al-Muwaqi’in ‘An Rab al-‘Alamin, Beirut: Dar al-Jail, 1973 M
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
11