59
BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG JUAL-BELI ASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS MAHRAM ANAK A. Pandangan Hukum Islam Tentang Jual-Beli ASI ASI adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh seorang ibu dan tidak diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia. Dimana dengan adanya ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. Dan ASI tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam kehidupan mereka. Karena pentingnya ASI tersebut untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi kebutuhannya dengan membeli ASI pada orang lain. Praktik jual-beli ASI manusia itu sendiri di dalam fikih Islam merupakan cabang hukum yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat oleh para ulama. Adapun perbedaan pendapat tersebut yaitu sebagai berikut:1
Pertama, pendapat yang mengharamkan; ASI manusia tidak sama seperti benda-benda yang boleh diperjual-belikan. ASI adalah barang istimewa. Bayi mengonsumsi ASI karena mereka tidak bisa memperoleh gizi dengan cara lain. Berarti bagi bayi meminum ASI adalah keterpaksaan (darurat). Buktinya, jika bayi sudah tumbuh besar dan kuat, dia tidak boleh lagi minum ASI. Sedangkan dalam prinsip fikih disebutkan, benda yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dalam keadaan darurat, dia tidak termasuk kategori harta
1
Masjfuk, Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. XI, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 157.
60
(maal) yang boleh dijual-belikan. ASI tidak dijual bebas di pasaran karena ia tidak termasuk harta-benda. Kemudian, ASI merupakan bagian dari tubuh manusia. Sedangkan manusia beserta seluruh organ tubuhnya adalah terhormat. Maka, menjual-belikan ASI sama saja dengan menjatuhkan derajat kemuliaan manusia. Alasan lainnya yaitu, tubuh manusia itu haram dijual kecuali budak, dan budak tidak boleh dijual kecuali dalam keadaan hidup. Sedangkan ASI bukanlah benda yang hidup, sehingga tidak boleh dijual-belikan. ASI itu juga hakikatnya adalah restan (organ sisa) yang keluar dari tubuh manusia, sama seperti air mata, keringat, ingus, dan sebagainya. yang tidak boleh diperjual-belikan. Dan meskipun ASI itu suci, tapi setiap benda yang suci belum tentu boleh dijual. Contohnya air; ia tidak boleh dijual kecuali sudah diolah dan terjamin kebersihannya. Kedua, pendapat yang membolehkan: ASI itu suci dan bisa diambil manfaatnya (intifa’) sehingga boleh dijual seperti halnya air susu hewan. Mengenai tidak adanya budaya jual-beli ASI, hal itu tidak bisa menjadi landasan bahwa ASI tidak boleh dijual. Sebab, ada juga barang yang jarang dijual-belikan di pasaran, padahal ia boleh diperjual-belikan. Kemudian, mengenai kemuliaan organ tubuh manusia, hal itu memang benar. Akan tetapi, kenyataannya kita mengenal kebolehan menjual budak yang notabenya adalah manusia juga. Budak boleh dijual karena bermanfaat. Sedangkan yang tidak boleh dijual adalah organ tubuh orang merdeka (bukan
61
budak) dan organ tubuh yang terpotong, karena tidak bermanfaat. Jika bermanfaat, berarti boleh dijual seperti ASI (bermanfaat bagi bayi). Mengenai penyamaan ASI dengan keringat, itu adalah analogi yang kurang tepat. Karena keringat, ingus, atau air mata itu tidak dapat dimanfaatkan. Sedangkan ASI sangat bermanfaat. ASI adalah gizi bagi manusia (bayi) sehingga boleh dijual. Sama seperti beras dan lauk-pauk yang merupakan pemasok gizi bagi kehidupan manusia. Selain itu, terdapat prinsip fikih bahwa: Benda yang tidak haram dikonsumsi, berarti tidak haram mengonsumsi hasil penjualannya. Karena ASI boleh dikonsumsi, otomatis boleh pula dijual dan hasil penjualannya tidak haram. Perselisihan perbedaan
pendapat tersebut pada dasarnya adalah pada
persoalaan boleh tidaknya menjual ASI manusia. Jika permasalahan jual-beli ASI tersebut dikembalikan pada hukum dasar dari jual-beli itu sendiri maka hukum jual-beli ASI adalah mubah atau boleh. Dan jual-beli ASI tersebut dalam hukum Islam bisa dimasukkan ke dalam wilayah muamalah. Dalam persoalan muamalah, berlaku kaidah-kaidah umum yaitu:
األصم فً انًؼايهة اإلباحة إال أٌ ٌدل دنٍم ػهى جحرًٌها Artinya: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” Secara terperinci terdapat pula dalil-dalil yang menunjukkan atas kebolehan muamalah jual-beli . Kebolehan muamalah jual-beli ditegaskan oleh al-Quran surat alBaqarah ayat 275:
َّ َوأ َ َح َّم... انربَا ّ ِ اَّللُ ْانبَ ٍْ َغ َو َح َّر َو
62
Artinya:….. Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba Berdasarkan hukum dasar di atas dapat disimpulkan bahwa seandainya tidak ada pertimbangan (qarinah) lain, hukum pemberian atau donor atau jual-beli ASI adalah mubah. Kesimpulan tersebut didasarkan atas hukum dasar jual-beli yaitu boleh dan didasarkan atas tidak adanya syarat atau rukun yang dilanggar dalam praktek donor atau jual-beli ASI tersebut. Yang menjadi persoalan adalah bahwa persusuan oleh perempuan selain ibu memiliki konsekuensi hukum. Konsekuensi-konsekuensi hukum tersebut antara lain: 1. Munculnya hubungan hukum antara ibu susu dengan anak yang disusui. 2. Hubungan hukum tersebut meniscayakan; a) pengharaman nikah antara ibu susu atau anak kandung ibu susu dengan anak susuannya dan b) penghalalan khalwat antara ibu susu dengan anak susu atau anak susu dengan saudara sepersusuannya.
Konsekuensi-konsekuensi tersebut perlu mendapatkan perhatian karena ajaran Islam sangat memperhatikan persoalan kehormatan dan keturunan. Oleh karena itu, salah satu tujuan syariat Islam adalah memelihara kehormatan/ atau keturunan. Hal ini ditunjukkan melalui hukum iddah bagi perempuan yang ditalak atau ditinggal mati suami dan telah digauli oleh suami yang bertujuan untuk mengetahui kondisi rahim. Demikian pula dengan larangan perzinaan yang mengakibatkan rusaknya hubungan nasab.
63
Karena dalam praktik jual-bel ASI tersebut dapat menimbulkan ketidak jelasan hubungan antara anak susu dengan ibu susu sehingga terbuka bagi terjadinya pernikahan antara anak susu dengan anak kandung ibu susu. Bila hal itu terjadi, maka nikahnya tidak sah karena melanggar larangan yang menyangkut akad dalam muamalah. Pelanggaran terhadap larangan yang menyangkut akad dalam muamalah menyebabkan batalnya muamalah.
ًُّإذا بطم شٍئ بطم يا فً ض Artinya:“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya” Seorang muslim jauh lebih bijak apabila berhati-hati dalam masalah syari‟at, terutama dalam hal peniadaan saudara sesusuan hanya karena bayi tidak menyusu langsung pada ibu susuan, melainkan melalui jual-beli ASI. Kehatihatian disini, semata-mata untuk menjaga diri dari syubhật (keragu-raguan), untuk mengambil yang lebih hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil yang terkadang membuat kita menjadikan hukumhukum agama ini sebagai himpunan kehati-hatian dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam. Nabi saw bersabda;
ُّ فَ ًَ ٍِ اجَّقَى اَن ( ِّ ٍْ َػه َ ) ُيحَّفَ ٌق,.ِّ ض ِ فَقَ ِد اِ ْسحَب َْرأ َ ِندٌُِِ ِّ َو ِػ ْر,ِشبُ َهات Artinya: “Barangsiapa yang menjaga diri dari syubhật, maka ia telah mencari kebersihan bagi agama dan kehormatannya”. (HR. Muttafaq‟alaih)2
2
Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qawa’idul Fiqhiyyah, cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 77.
64
Maka dalam hal ini praktik jual-beli ASI penulis bisa dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya yaitu sebagai berikut: Pertama, untuk menjadi penerima donor ASI harus memiliki alasan yang sangat kuat mengapa tidak bisa menyusui sendiri. Bukan karena sekedar mau kembali bekerja setelah cuti melahirkan dan tidak memiliki stok ASI, akan melakukan perjalanan keluar kota, pergi haji, umroh, atau kesibukan lain yang menyebabkan ibu tidak bisa menyusui. Kedua, bagi pendonor ASI harus memastikan dalam keadaan kesehatan yang baik. Jika perlu menggunakan rekam medik dari dokter. Dalam ilmu kedokteran, kualitas air susu ibu juga akan membawa pengaruh pada biologis anak, jadi bukan cara menyusuinya saja. Itu sebabnya Rasulullah saw menganjurkan kepada orang tua agar tidak menyusukan anaknya pada orang yang lemah pikirannya (idiot) karena hal itu akan membawa pengaruh pada diri anak. Karena pada praktiknya, tidak mustahil akan bercampur antara ASI dari orang Islam dengan non Islam, dari orang yang baik dan buruk akhlaknya sehingga mengakibatkan terjadinya pewarisan mental yang tidak baik pada bayi. Berdasarkan hadis Nabi saw;
ُّ )أ َ ْخ َر َج.ض َغ ا َ ْن َح ًْقَى َّ ػ ٍْ ِزٌَا ِد اَن ُ ََ َهى َر:ًَ رضً هللا ػُّ قَال َ أ َ ٌْ ج ُ ْسح َْر: سى ُل ا َ ََّّللِ ملسو هيلع هللا ىلص َ َو ِّ ًِ س ْه (َأَبُى دَ ُاود Artinya: “Dari Ziyad As-Sahmi ra beliau berkata: “Rasulullah saw. melarang disusukan anak pada wanita yang dungu.” (HR. Abu Daud)3 3
Imam Muhammad bin Ismail Al Amirul Zaman Ash Shan‟any, Subulussalậm Syarah Bulụghul Marrậm, cet. ke-4 (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), Jilid III, hlm. 225.
65
Ketiga, bagi umat Islam, harus memastikan bahwa pendonor ASI tidak mengonsumsi makanan yang haram karena ASI merupakan saripati makanan ibu yang akan tumbuh menjadi daging dan tulang bagi anak yang meminum ASI. Keempat, memastikan identitas, alamat, dan kontak pendonor bisa dihubungi untuk menghindari terjadinya pernikahan saudara sepersusuan. Hal ini mengacu pada jumhur ulama yang mengikuti mazhab Imam Syafi'i dan Hanafi yang menyatakan bahwa batasan minum ASI hingga terjadi hukum radha’ah atau sepersusuan adalah lima kali kenyang. Sehingga pendonor dan penerima ASI harus benar-benar memahami hal tersebut. Menghitung berapa kali bayi kenyang dan disusui oleh pendonor, juga alamat dan identitas pendonor yang jelas jikalau terjadi lebih dari lima kali kenyang, maka ibu yang menyusui, suami, dan anak-anak pendonor akan menjadi mahram bagi bayi yang disusui dan tidak boleh menikah selamanya.
B. Pandangan Hukum Islam Tentang Pengaruh Jual-beli ASI Terhadap Status Mahram Anak Terkait dengan pengaruh jual-beli ASI terhadap status mahram anak hal ini masih menjadi kontroversi di kalangan para ulama. Ada beberapa pihak yang mengharamkan jual-beli ASI karena berpengaruh pada status mahram anak ada pula yang membolehkan jual-beli ASI karena tidak berpengaruh terhadap status mahram anak, dalam hal ini Jumhur Fuqaha termasuk tiga imam madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi‟i) adalah pihak yang mendapati
66
adanya konsekuensi bahwa jual-beli ASI dapat menjadikan saudara sesusuan dan mengharamkan perkawinan. Sedang Yusuf Qardhawi adalah pihak yang membolehkan jual-beli ASI. Ia sendapat dengan Ibnu Hazm, bahwa tidak ada proses penyusuan melalui jual-beli ASI sehingga tidak akan menjadikan saudara sesusuan dan mengharamkan perkawinan. Wajar terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum dari jual-beli ASI tersebut, hal ini dikarenakan ketiadaan nash yang secara langsung membolehkan atau mengharamkan jual-beli ASI. Nash yang ada hanya bicara tentang hukum penyusuan, sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda. Karena berbeda dalam menetapkan syarat-syarat inilah, sehingga para ulama juga berbeda dalam menetapkan hukumnya. Para imam madzhab sepakat bahwa penyusuan yang menjadikan mahram adalah apabila air susu itu dari tetek perempuan.4 Tidak ada perbedaan pendapat dari seorang ulamapun terhadap makna penyusuan ini, sebagaimana makna yang tersurat di dalam ayat Al-Quran;
ػ ِة َّ ٍَض ْؼَُ ُك ْى َوأَخ ََىاج ُ ُك ْى ِي َ ضا َ انر َ َوأ ُ َّي َهاج ُ ُك ُى انالَّ جًِ أ َ ْر Artinya: “ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;”
Terlepas dari kontroversi di atas, tentu masing-masing pendapat memiliki tujuan yang sama yakni memperoleh kemaslahatan dan menghilangkan kemadharatan untuk tecapainya maqậshid al-syarî’ah. Terjadinya penetapan
4
Syaikh al-„Alamah Muhammad bin „Abdurrahman ad- Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab, alih bahasa „Abdullah Zaki Alkaf, cet. ke-2 (Bandung: Hasyimi Press, 2004) hlm. 409.
67
hukum mengenai jual-beli ASI, disebabkan adanya perbedaan dalam memaknai radlha’ah. Radha’ah mempunyai makna yang lebih luas dari pada makna yang telah disebutkan di atas, tidak hanya terbatas pada menyusu melalui puting payudara ibu saja. Oleh karena itu, untuk menetapkan hukum jual-beli ASI perlu adanya kosekuensi, apakah menyusu melalui jual-beli ASI juga dapat memahramkan atau tidak? Pertanyaan ini akan terjawab setelah diketahui macam pemaknaan radha’ah itu sendiri. Diantara makna radha’ah adalah bahwa “penyusuan itu terjadi karena lapar”.
ُ َْ ُ ا ) ٍّػ ِة ( يحفق ػه َّ ظ ْر ٌَ ِي ٍْ ا ِْخ َىاَِ ُك ٍَّ فَإََِّ ًَا َ ػةُ ِي ٍْ ْان ًَ َجا َ ضا َ انر Artinya: “Perhatikanlah oleh kalian, siapakah saudara-saudaramu, karena penyusuan itu terjadi karena lapar.” (HR. Bukhari Muslim)5 Hadis di atas menunjukkan bahwa susuan yang menyebabkan seorang menjadi mahram adalah susuan dikarenakan lapar (maja’ah).6 Lapar dapat terpenuhi dengan makan. Proses makan terjadi ketika anak memakan dengan cara wajar, dimulai dari memasukkan makanan ke dalam mulutnya, mengunyah (menghisap susu baik lewat tetek ibu maupun botol bayi) kemudian menelan air susunya. Sekalipun penyusuan tidak dilakukan secara langsung sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya, tapi keduanya sama-sama dapat mengobati rasa lapar.
5
Imam Muhammad bin Ismail Al Amirul Zaman Ash Shan‟any, Subulussalậm Syarah Bulụghul Marrậm, cet. ke-4 (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), Jilid III, hlm. 220. 6 Ibnu al-Atsîr, an-Nihậyah fî Gharîb al-Hadits wa al-Atsậr, (Mekkah: Dậr al-Baaz), I : hlm. 316.
68
Kemudian dikuatkan dengan hadis Ummu Salamah ra. bahwa “penyusuan itu yang mengenyangkan”;
َ َو َكاٌَ قَ ْب َم ْان ِف، ِ ػ ِة ِإ َّال َيا فَحَقَ ْاأل َ ْي َؼا َء فًِ انث َّ ْدي ط ِاو َّ ٍََال ٌَحْ ُر ُو ِي َ ضا َ انر Artinya: “Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang mengenyangkan dan terjadi sebelum disapih.” (HR. Tirmidzi)7 Tidak dikatakan penyusuan melainkan anak yang bisa dikenyangkan dengan air susu itu, makanannya air susu itu serta tidak membutuhkan makanan lain selain air susu itu. Jumhur Ulama, Jumhur Fuqaha termasuk tiga imam madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi‟i) dan riwayat pertama dari Imam Ahmad, memaknai penyusuan yang dapat memahramkan ialah "segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa’uth (yaitu menuangkan air susu lewat hidung lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikkan lewat dubur (anus).8 Alasannya melalui mulut (al-wajur), karena hal itu dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. Sebagaimana hadis dari Ibnu Mas‟ud;
ْ َع إِ َّال َيا أ َ َْشَسَ ا َ ْنؼ َ َوأ َ َْبَث,ظ َى ُ قَا َل َر:َػ ٍِ اِب ٍِْ َي ْسؼُى ٍد رضً هللا ػُّ قَال َ ضا َ َال َر:سى ُل ا َ ََّّللِ ملسو هيلع هللا ىلص َ َو ( ) َر َواُِ أَبُى دَ ُاود.اَنهَّحْ َى 7
Imam Muhammad bin Ismail Al Amirul Zaman Ash Shan‟any, Subulussalậm Syarah Bulụghul Marrậm, cet. ke-4 (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), Jilid III, hlm. 244 8 Dr Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, alih bahasa Drs. As‟ad Yasin, cet. ke-2 (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), II : hlm. 784-785
69
Artinya: “Tidak disebut penyusuan kecuali yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.” (HR. Abu Daud) 9 Yang perlu diketahui adalah, bahwa ASI tersebut akan masuk ke tempat penyimpanan makanan pada tubuh bayi dan akan menjadi gizi bagi bayi tersebut dan kemudian akan menghasilkan pertumbuhan pada bayi. Sedangkan lewat hidung (as-sa’uth), karena merupakan salah satu jalan yang dapat membatalkan puasa, sehingga ia juga menjadi sebab terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut. Pendapat di atas dibantah oleh Imam al-Laits bin Sa‟ad, golongan Zhahiriyah dan riwayat kedua dari Imam Ahmad. Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, madzhab Daud, dan perkataan Atha‟ al-Khurasani mengenai assa’uth, bahwa “yang demikian ini bukan penyusuan.”10 Alasan mereka, menyamakan as-sa’uth sama dengan halnya memasukkan susu melalui luka pada tubuh. Yusuf Qardhawi juga mengomentari, “Kalau „illatnya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apapun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusi darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab
9
Imam Muhammad bin Ismail Al Amirul Zaman Ash Shan‟any, Subulussalậm Syarah Bulụghul Marrậm, cet. ke-4 (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), Jilid III, hlm. 221 10 Dr Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, alih bahasa Drs. As‟ad Yasin, cet. ke-2, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), II : hlm. 785.
70
tranfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu.”11 Argumentasi di atas membenarkan bahwa as-sa’uth bukan termasuk penyusuan, tapi al-wajur (minum melalui mulut) merupakan salah satu cara penyusuan yang dapat memahramkan. Alasanya, karena para ulama di atas hanya memperdebatkan penyusuan melalui as-sa’uth. Sedang pada penyusuan lewat mulut tidak ada resistensi. Berdasarkan hadis dari Ummu Salamah di atas, lafadz “ats-Tsadyi” (puting payudara) tidak dimaksudkan bahwa menyusui itu harus dengan cara lazimnya seorang bayi menyusu kepada ibunya secara langsung, tetapi maksudnya adalah umur ketika sedang menyusu. Sebagaimana orang Arab sering mengatakan: Fulan meninggal diputing payudara, artinya meninggal waktu kecil, pada umur menyusu. Dari situ, bisa dikatakan bahwa jika seorang anak bayi minum susu seorang perempuan dari botol, maka bayi tersebut telah menjadi anak susuan secara sah.12 Dari penjelasan beberapa makna radha’ah di atas, Ketika air susu diminum oleh anak yang berusia kurang dari atau sama dengan dua tahun melalui proses menyusu lewat al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan) kepada bayi maka air susu yang menimbulkan hilangnya rasa lapar maka hal tersebut menimbulkan hubungan hukum, baik susu tersebut
11
Ibid., hlm. 786. Al Mubarkufuri, Tuhfatû al-Ahwậdzi, cet. ke-1 (Beirut: Dậr al-Kutûb al-Ilmiyah, 1990), IV: hlm. 263. 12
71
dicampur dengan susu dari banyak perempuan atau ibu atau pun dari satu perempuan atau ibu saja. Hubungan hukum yang timbul adalah terjadinya larangan menikahi (mahram) sebagaimana larangan untuk menikahi saudara berdasarkan hubungan nasab.