HADIAH KEPADA PEJABAT TINJAUAN HADIS RASULULLAH SAW. Oleh: Enizar ABSTRAK Sungguh sangat mengejutkan dan di luar dugaan, ketika data yang ditemukan di lapangan, banyak sekali pejabat di legislatif, eksekutif dan bahkan penegak hukum yang terkait masalah korupsi. Pada hal jika dilihat dari regulasi tentang anti korupsi yang ada di negara Indonesia sangat banyak, jelas dan tegas. Bahkan ada larangan bagi pejabat untuk menerima apapun yang berkaitan dengan jabatan yang diembannya. Dari beberapa kasus yang sudah terungkap, penyebabnya
berawal
dari
hadiah
yang
diberikan
oleh
pihak
yang
berkepentingan kepada pejabat bersangkutan. Di zaman Rasulullah ada perbedaan
yang
tegas
antara
hadiah/pemberian
pemberian/hadiah kepada pejabat.
biasa
dengan
Hadis Rasulullah melarang pejabat
menerima hadiah atau pemberian dari seseorang yang berkaitan dengan tugas yang diembannya. Ketentuan itu antisipatif agar pejabat tidak melakukan penyelewenangan terhadap amanah yang diembannya, ancaman hukumannya adalah gulul, dan laknat. Sementara langkah kuratif, semua hadiah yang diterima oleh pejabat harus dikembalikan kepada negara, jika yang bersangkutan tidak mau ada pengambilan paksa. Hukuman lain adalah tidak diberi kepercayaan untuk memegang amanah apapun. Jika merujuk kepada hadis dan realitas pada masa itu, apa yang dilakukan Rasul dapat dijadikan untuk penangan masalah korupsi di Indonesia. Kata Kunci : Hadiah
Pejabat
Korupsi
Hadis Rasul
A. Pendahuluan Dalam
perkembangan
belakangan
ini,
hadiah
berpotensi
dan
berimplikasi pada kedekatan hubungan dan adanya saling menyayangi antara pemberi dengan penerima, sering disalahgunakan dan disalahpahami baik oleh
Dosen tetap Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro, E-mail:
[email protected]
1
yang menerima ataupun oleh pemberi. Hal itu tentu saja dapat menghilangkan tujuan utamanya. Hadiah kemudian dipahami sebagai legalisasi dari niat atau keinginan terselubung. Di Indonesia, khusus pada pejabat ada aturan yang tegas untuk tidak menerima sesuatu dalam bentuk hadiah atau pemberian. Bahkan pernah ditetapkan bahwa tidak ada parsel, hadiah, atau apapun yang diberikan kepada pejabat. Hal itu sejalan dengan sumpah jabatan yang selalu diucapkan oleh seorang yang akan menduduki jabatan. Ada dua poin penting dari sumpah tersebut yang berkaitan dengan hadiah, memberi atau menerima. Dalam perkembangan belakangan ini, banyak pejabat, petinggi, dan tidak terkecuali oknum dari lembaga penegak hukum yang terlibat dalam penerimaan hadiah yang terindikasi suap, korupsi, atau gratifikasi. Hal itu disebabkan kuatnya dugaan bahwa ada penyelewenagan terhadap wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, aturan yang tegas untuk tidak menerima sesuatu dalam bentuk hadiah atau apapun untuk bangsa Indonesia telah termaktub dalam regulasi yang ada.1 Mengambil atau menerima sesuatu hadiah di luar yang seharusnya diterima akibat dari jabatan dan berkaitan dengan tugas, dapat dijadikan indikasi adanya penyalahgunaan wewenang. Bukan hanya sebagai pemberian yang wajar dan konsekwensi logis dari jabatan yang diemban. Ternyata ada bias dalam memahami arti dan esensi hadiah yang diberikan pihak terkait kepada pejabat yang bersangkutan. Kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh seorang pejabat tersebut terlihat dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Selain pengambilan sumpah jabatan pada awal pengangkatan seorang pejabat, juga ada kebijakan yang diambil oleh institusi dengan penandatangan Pakta Integritas. Bahkan represifnya dilakukan dengan cara
memberikan hukuman kepada
pelaku yang terbukti menerima sesuatu yang bukan haknya.
1 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2
Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam menghadapi situasi dan kondisi sekarang, perlu untuk memahami substansi pemberian yang sesungguhnya. Sehingga hadiah atau pemberian bukan dijadikan sebagai legalisasi terhadap kebolehan untuk menerima sesuatu yang berhubungan dengan tugas/jabatan. Untuk keperluan itu, ayat dan Hadis yang mengatur tentang hadiah harus dipahami secara komprehensif dan kontekstual. Berdasarkan keterangan di atas, dalam pemberian dan penerimaan hadiah, ada kemungkinan hadiah berubah status menjadi korupsi, atau penyelewengan, sesuai dengan niat dan waktu serta kesempatan dalam pemberian hadiah, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan main pmberian dan penerimaan hadiah menurut tuntunan Rasulullah ? Untuk menjawab permasalahan di atas, keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. merupakan suatu yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan, karena terdapat beberapa alasan normatif dan logis tentang itu. Pertama, secara normatif, Rasulullah Saw. telah dinyatakan Allah sebagai teladan.2 Pada masa sekarang, untuk dapat meneladani Rasulullah Saw. tentu hanya
bisa
dilakukan
melalui
penelusuran
terhadap
Hadis
yang
ditinggalkannya. Begitu juga, secara eksplisit dinyatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa Hadis merupakan pedoman, selain Al-Qur'an yang harus diperhatikan dan diamalkan oleh umat Islam yang tidak menginginkan keluar jalur yang sudah ditetapkan Allah.3 Rasulullah Saw. juga memberikan keterangan dan tuntunan tentang hadiah kepada para sahabatnya. Bentuk hadiah atau pemberian yang ditolak atau diterima oleh Rasulullah Saw. beserta sahabatnya merupakan pelaksanaan terhadap perintah Allah untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas. Dengan demikian, dapat mengungkapkan substansi hadiah yang dituntunkan oleh Rasulullah.
2 3
QS. al-Ahzab (33): 21 Malik bin Anas, al-Muwatha‟, (Beirut: Dar al-Fikr, 1970), h. 602
3
Sumber data pembahasan ini adalah kitab-kitab hadis yang telah dinyatakan sebagai kitab standar dan kitab tafsir terkait. Bagaimanapun, pemahaman terhadap hadis tidak dapat mengenyampingkan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an. Di samping kedua sumber utama tersebut, buku-buku penunjang digunakan untuk melihat bagaimana regulasi mengenai topik kajiant. Untuk menganalisis petunjuk yang diberikan oleh Rasul tentang masalah yang dibahas, dipergunakan content
analysist. Content
analysist merupakan
analisis terhadap isi atau pesan yang dapat disamakan dengan analisis konteks.4 Dengan analisis konten dapat diketahui maksud sebenarnya dari penyampai pesan. Untuk membahas data yang ditemukan dilakukan dengan pendekatan historis-sosiologis, yaitu dengan memperhatikan praktek hadiah yang dilakukan oleh umat Islam pada waktu hadis dimunculkan, atau kehidupan masyarakat pada saat itu. B. Kajian Teori Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain sebagai penghargaan atau penghormatan terhadap sesuatu yang telah dilakukannya.5 Biasanya hadiah merupakan pemberian terhadap prestasi dan keberhasilan seseorang. Dalam kenyataannya, hadiah sering kali diberikan sebagai balasan terhadap hasil pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang.
Misalnya, ketika
seseorang berprestasi dalam suatu bidang, maka pihak yang berwenang memberikan hadiah atas prestasi yang diraihnya. Kadang hadiah juga dijadikan alasan atau dalih oleh seseorang untuk memberikan sesuatu kepada penentu kebijakan atau penguasa/pejabat yang telah memuluskan urusannya. Sehingga yang disebutkan terakhir ini bias antara sogokan atau hadiah. Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa pemberian yang murni hadiah atau bukan tergantung pada waktu dan tujuan pemberian tersebut.
Klaus Krippendorff, Content Analysis, an Introduction to its Metodology, (London: Sage Publication, 1980), h. 21, Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 49-51 5 Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani,, Subulus Salam Syarh Bulugul Maram, juz 3, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t. ) h. 103 4
4
Pemberian yang murni hadiah bukan hanya dilihat sebagai suatu pemberian kepada orang yang mendapatkannya, akan tetapi
fungsi hadiah
sebagai salah satu cara menimbulkan rasa sayang dan perhatian antara sesama. Diawali sengan rasa simpati, memunculkan keinginan untuk memberikan sesuatu hadiah sebagai cindramata, sehingga akhirnya akan menimbulkan rasa saling sayang antara pemberi dan penerima hadiah.
Hadiah yang diterima
menimbulkan kesan bahwa ada rasa perlakuan istimewa, sehingga akan saling memperhatikan. Dengan demikian, pemberian hadiah bukan dijadikan sarana untuk mencari yang lebih banyak, sehingga tidak bias antara hadiah dengan bisnis yang profit oriented. Hal itu terlihat dalam sabda Rasul berikut:
َّ فَةإ ِة َّن ْالهَة ِةديَّجَة تُة ْر ِةهبُة َةو َةح َةس ال6ع َْةه أَةةِةي هُة َةس ْي َةسثَة َةع ِةه النَّتِة ِّي قَةا َةل تَةهَةادَةوْ ا ص ْد ِةز َةوال تَة ْ ِة َةس َّن َة ا َةزثٌة لِة َة ا َةزتِةهَةا َةولَةىْ ِة َّ فِةسْ ِة ِةه َة ا ٍةث Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda: Saling memberi hadiahlah kamu, karena hadiah itu dapat menghilangkan perasaan tidak enak di hati. Janganlah seseorang merasa tidak enak ketika memberi hadiah dengan sesuatu yang tidak berharga. Hadis di atas, juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan versi yang berbeda, yang dimulai dengan kata
َةوال تَة ْ ِة َةس َّنsampai akhir.7
Dalam hadis
tersebut Rasulullah berpesan agar umat Islam saling memberi hadiah. Tidak ada alasan untuk tidak memberi hadiah, karena dalam hadiah yang terpenting adalah nilai tanda kasih antara pemberi dan penerima. Sehingga jenis, kualitas atau harga barang yang akan dihadiahkan tidak menjadi terlalu penting. Jangan karena sesuatu yang akan diberikan tidak begitu berharga atau tidak punya nilai ekonomis tinggi, membuat seseorang tidak memberi hadiah kepada orang lain. Hadis dimaksud memberikan motivasi agar umat Islam saling memberi hadiah kepada orang lain. Frase
َو َو ْو ِش َّق ِش ْو ِش ِش َو ٍةا
(analog mengenai sesuatu
yang kecil dan tidak memberatkan) maka semua orang dapat saling memberi hadiah kepada yang lain. Ini bermakna bahwa yang terpenting adalah adanya saling memberi hadiah, antara sesama bukan pada sesuatu yang akan diberikan.
6 Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurat al-Turmuzi, Sunan al- Turmuzi (Jami‟ al-Shahih), , (Indonesia: Dahlan, t.t.) kitab al-Wala' wa al-Hibat, no. 2056 juz 1,3,4 7 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Indonesia: Maktabat Dahlan, t.t,), kitab hibah, juz 2, h. 980
5
Dalam realitasnya, hadiah memang dimaknai sebagai perwujudan dari perhatian terhadap penerima hadiah. Hal ini membawa pada ketulusan dalam memberi. Nilai hadiah terletak pada perhatian yang diberikan bukan pada barang yang
diberikan.
Kadang seorang yang mendapatkan hadiah sangat
bahagia meskipun jika dilihat dari harga barang tersebut tidak istimewa. Dalam riwayat di atas juga terdapat tujuan yang diinginkan dalam saling memberi hadiah antara sesama, yang terdapat dalam frase
ص ْد ِةز َّ ال
فَةإ ِة َّن ْالهَة ِةديَّجَة تُة ْر ِةهبُة َةو َةح َةس
Dengan tegas dalam potongan hadis ini Rasul menjelaskan bahwa hadiah
dapat menghilangkan rasa tidak enak di hati. Hadiah akan menimbulkan rasa sayang dan perhatian sehingga mendapatkan tempat di hati pemberi atau pun penerima hadiah. Dalam riwayat lain terdapat perintah saling memberi hadiah yang diiringi dengan konsekwensi logisnya, seperti yang terlihat dalam sabda Rasul: "saling memberi hadiahlah kamu niscaya kamu akan saling menyayangi".8 Dalam konteks ini, hadiah merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan rasa saling menyayangi.
Hal itu disebabkan karena dengan pemberian hadiah
menunjukkan adanya perhatian dan rasa simpati, serta kesan yang mendalam sehingga memunculkan rasa sayang di antara pemberi dan penerima hadiah. Dalam Islam selalu memberikan aturan yang mengarahkan pada tidak adanya wilayah ‘abu-abu’ dalam setiap tindakan. Pertolongan yang diberikan kepada sesama muslim merupakan aplikasi dari perintah al-Qur'an untuk saling tolong menolong dalam hal kabajikan. Misalnya saja, QS. Al-Baqarah (2): 275 tentang pelarangan praktek riba, karena adanya pencarian keuntungan dalam pertolongan. Untuk itu, perlu diperhatikan pesan Rasul berikut ini:
َة ِة ِة
صلًَّ َّ ُة َةعلَة ْ ِة َةو َة لَّ َة قَةا َةل َةا ْه َة َة َة ِة ع َْةه أَةةِةي أ ُة َةاا َةاجَة َةع ِةه النَّتِة ِّي َة 9 ا ال ِّسةَةا ةِة َة َةا َةع ٍةج فَةأ َة ْهدَةي لَة ُة هَة ِةديَّجًة َةعلَة ْهَةا فَة َةتِةلَةهَةا فَة َة ْد أَةتَةً ةَةاةًةا َةع ِةظ ًةما ِةا ْه أَة ْة َةىا ِة
Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 6, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 169 9 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Indonesia: Maktabat Dahlan, t.t.), kitab buyu' no. 3074 dan Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). 8
6
Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda: Siapa saja yang memberikan bantuan yang pada dasarnya tanpa imbalan kepada saudaranya, kemudian yang dibantu memberikan hadiah lalu ia menerimanya, maka sesungguhnya ia telah masuk dalam wilayah riba. Terlepas dari kualitas hadis, kandungan hadis ini sejalan dengan kandungan al-Qur'an di atas. Karena keduanya sama-sama memberikan ketentuan yang sangat tegas, dengan tidak mengaburkan atau bias antara pertolongan dengan mencari keuntungan atau upah. Pertolongan atau syafa'at biasanya tidak ada imbalannya. Ada pemisahan yang sangat jelas pada syafa’at dengan pekerjaan yang ada upah atau gaji. Ancaman yang diberikan Rasul bahwa sama dengan riba ketika pertolongan dimaknai dengan bisnis. Ada etika yang tetap harus dijadikan pegangan, ketika dalam hubungan sosial bukan ladang bisnis. Hadiah yang diberikan seseorang mempunyai makna yang dalam dan hanya pemberi yang mengetahui tujuan pemberian hadiah dimaksud. Oleh sebab itu, jika diperhatikan isi sumpah jabatan yang telah diungkap di depan, harus ada ketajaman instink bagi pejabat atau orang yang mempunyai wewenang untuk reaktif dan mendeteksi atau mengidentifikasi hadiah sebagai hadiah murni atau sebagai sesuatu yang patut diduga ada kaitannya dengan jabatan yang sedang diemban. Untuk menghindari misinterpretasi tentang hadiah dan biasnya antara hadiah dengan sogokan, seperti yang dinyatakan oleh Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, bahwa di masa Rasulullah Saw. hadiah adalah hadiah, tetapi masa ini hadiah bisa saja berarti sogokan.10
Serta untuk membedakan antara hadiah dengan
tukar menukar, maka perlu diketahui bagaimana aturan Islam tentang hadiah dapat dilihat dalam hadis berikut:
صلًَّ َّ ُة َةعلَة ْ ِة َةو َة لَّ َة إِة َةذا ضي َّ ُة َةع ْن ُة قَةا َةل َةكانَة َةز ُةى ُةل َّ ِة َة ع َْةه أَةةِةي هُة َةس ْي َةسثَة َةز ِة ْص َةدقَةجٌة قَةا َةل َةصْ َة اةِة ِة ُةكلُةىا َةولَة ْ يَةأْ ُةكي ص َةدقَةجٌة فَةإ ِة ْن قِة َةي َة أُةتِة َةي ةِة َة َة ٍةاا َة أ َة َةل َةع ْن ُة أَةهَة ِةديَّجٌة أَة ْا َة 11 ْ صلًَّ َّ ُة َةعلَة ْ ِة َةو َة لَّ َة فَةأ َة َةك َةي َةا َة هُة ا ةِة َة ِةد ِة َة ض َةس َة َةوإِة ْن قِة َةي هَة ِةديَّجٌة َة 10 11
al- Bukhari, Sahih al-Bukhari, ….., h. 991 al-Bukhari, , Sahih al-Bukhari, ….., kitab hibah no. 2388, h. 984, Al-Nawawi, Muhy al-Din
Abu Zakariyya, Shahih Muslim ‘ala Syarh al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M. /1401 H) Muslim, zakat no. 1790, juz 12, h. 217 al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, .....kitab zakat, no. 592, AlNasa’i, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib, Sunan al-Nasa‟i, (Semarang, Thoha Putra, t.t.) , kitab zakat no. 2566
7
Abu Hurairah menyataka bahwa Rasuullah apabila diberi makanan, beliau selalu menanyakan kepada si pemberi hadiah apakah pemberian itu hadiah atau sedekah. Jika pemberian itu sedekah, Rasul tidak memakannya dan menyuruh para sahabat untuk memakan hadiah dimaksud. Jika dinyatakan pemberian itu adalah hadiah, Rasulullah menepukkan tangannya dan makan bersama sahabat. Dalam riwayat di atas, sangat tegas ketentuan yang dicontohkan Rasul. Sikap Rasul ketika menerima hadiah, adalah mempertanyakan apakah sesuatu yang diserahkan kepadanya sesuatu yang ia dilarang untuk menerimanya atau dibolehkan. Rasul tidak boleh menerima sedekah, dan diperbolehkan menerima hadiah. Ketentuan dalam hadis di atas memberikan aturan agar penerima hadiah tidak langsung menerima pemberian seseorang, harus diidentifikasi boleh diterima atau tidak. Saat ini, kekuatan identifikasi ini merupakan salah satu yang sangat urgen untuk dilakukan, karena hadiah dapat saja berubah wajah sebagai jebakan, suap/risywah/uang pelicin. Akan tetapi pemberian yang murni hadiah, dan tidak ada indikasi pemberian tersebut mengandung suatu maksud mengarah pada penyelewengan itulah hadiah yang harus diterima
Pejabat adalah pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan). Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, pejabat diikat oleh beberapa aturan dan kode etik. Jabatan yang diemban oleh seseorang memberikan konsekwensi terhadap tidak dibenarkan menerima sesuatu yang diduga berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Ada
kemungkinan besar hadiah tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya. Dalam UU No. 20 tahun 2001 pejabat juga dilarang menerima sesuatu yang masuk dalam gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas meliputi pemberian uang, barang, rabat, atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fisilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.12 Aturan yang tegas untuk tidak menerima
12 Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
8
sesuatu dalam bentuk hadiah atau apapun untuk bangsa Indonesia telah termaktub dalam regulasi yang ada.13 C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Akhir-akhir ini marak sekali korupsi di kalangan pejabat maka ada kebijakan dari berbagai instansi pemerintah bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas untuk menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat diharapkan tidak akan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Di samping itu, untuk memberikan batasan terhadap pemberian atau hadiah yang mempunyai konotasi pada korupsi atau suap, maka ada aturan yang dikeluarkan oleh kejaksaan yang memberikan batas maksimal hadiah/parcel atau pemberian yang dapat diterima oleh seseorangg pejabat. Untuk bangsa Indonesia, dalam pasal 12 B UU No. 20/2001 dinyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.14 Dalam Islam ada aturan yang mengatur secara eksplisit dalam hadis berikut:
صلَّقى َّق َوع ْو َوع ْوب ِشد َّق َّللاِش ْوب ِش بُ َو ْوي َوداَو َوع ْو أَوبِشي ِشه َوع ِش ا نَّقبِش ِّي َو َّللاُ َوعلَو ْوي ِشه َو َو لَّق َوم قَو َول َوم ِش 15 ا ْو َو ْو َو ْولنَو اُ َوعلَوى َوع َو ٍة َو َو َو ْوقنَو اُ ِش ْو قًق َو َو أَو َو َو بَو ْو َود َو ِش َو َو ُ َو ُ لُ ٌلل Dari Abdullah ibn Buraidah dari ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan gaji atau insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” khianat atau korup. Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang ditugaskan untuk melakukan sesuatu tugas, dan ia telah diberi gaji dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Ini menunjukkan bahwa pejabat yang sudah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, tidak boleh menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya. Untuk memberikan pemahaman tentang hal tersebut, dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang yang ditugaskan oleh Rasul Ibid. Ibid. 15 Abu Daud, Sunan Abi …….., juz 3, h. 134 13 14
9
Saw. untuk
mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah Saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan laporan kejadian tersebut, Rasulullah Saw. tidak memperkenankannya menerima hadiah dari pelaksanaan tugas tersebut. Rasul Saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau ia duduk saja di rumah orang tuanya, ia akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul Saw. dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh.16 Menurut al-Nawawi pernyataan Rasul Saw. itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan.17 Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, bahkan pada penyelewenangan. Semua itu akan bermuara pada pelaksanaan tugas yang berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang tidak boleh diterima, karena ada kaitannya dan akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas. 16 al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, …..., juz 4, h. 2870- 2871; Muslim, Sahih Muslim, ….., juz 3, h. 1463; Abu Daud, Sunan Abi…….., juz 3, h. 134-135; , Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd
al-Rahman, bin al-Fadhl, bin Bahram Al-Darimi, Sunan al-Darimi, (Indonesia: Maktabat Dahlan, t.t.), juz 1, h. 394; dan Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam…..., juz 5, h. 423. Uraian lebih luas dapat dilihat dalam, Al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, jilid 1, juz 2, (Beirut: Dar al- Kutub al-’Arabi, 1985/1405), h. 344-347 17 Muhy al-Din Abu Zakariyya Al-Nawawi,, Shahih Muslim ……, juz 12, h. 219
10
Dalam dua hadis di atas, Rasulullah saw. sebagai pemimpin langsung menangani pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuknya. Rasulullah saw. tidak menunggu sampai menjadi kasus besar. Ini menunjukkan bahwa dalam penanganan pelanggaran tidak ada konsep pembiaran.
Bagi
pelaku, penanganan langsung terhadap pelanggaran yang dilakukannya tentu saja akan memberikan efek jera. Di samping itu, ada perasaan bahwa semua yang dilakukannya ternyata diawasi. Bagi orang lain, kecepatan dan ketepatan penanganan penyelewengan tentu saja berdampak terhadap tidak adanya keinginan untuk melakukan pelanggaran yang sama. Mungkin ini yang membedakan dengan kasus yang ada di Indonesia, maraknya korupsi, suap dan gratifikasi karena tidak cepat ditangani dan tidak tepat caranya. Di
samping
tanggungjawab
itu,
yang
Rasul harus
dengan
sangat
tegas
menggambarkan
dipikul
oleh
petugas/pejabat
yang
mengatasnamakan jabatannya untuk mendapatkan hadiah atau pemberian. Meskipun tidak dijelaskan ancaman pidana yang akan diterima oleh penerima gratifikasi,
akan
tetapi
Rasul
dengan
tegas
memerintahkan
untuk
mengembalikan kepada Negara semua yang telah diterimanya yang dianggap sebagai hadiah untuknya. Di dalam hadis Rasul juga memberi ancaman hukuman bahwa hadiah/pemberian yang diterima pejabat terkait dengan jabatan yang sedang diembannya akan menjadi beban yang sangat berat dan harus dipikulnya di akhirat nanti. Juga ada sock terapy yang diberikan kepada pejabat tersebut dengan cara tidak mempercayakan yang bersangkutan dalam menjalankan amanah yang sebelumnya diemban. Berdasarkan ketentuan ini, bagi pejabat, petugas atau pun yang diberikan wewenang
untuk
melakukan
sesuatu,
jangankan
untuk
korup
dan
menyelewengkan dana umat, menerima hadiah yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas saja
dilarang. Secara konstitusi atau aturan, bagi bangsa
Indonesia sebenarnya telah terlihat dalam sumpah pejabat ketika dilantik dan
11
diamanatkan untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Dalam sumpah tersebut, ada keharusan bagi pejabat dimaksud untuk tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang ada indikasi berkaitan dengan tugas yang dilakukan. Pemberian atau hadiah yang ada kaitannnya dengan jabatan yang merupakan tindak pidana adalah suap. Hadiah kepada hakim atau pejabat negara
lainnya terutama yang sedang menangani kasus termasuk risywah,
karena orang yang memberi hadiah ketika itu pasti mengandung maksud tertentu. Minimal dengan hadiahnya itu, ia bemaksud untuk melakukan pendekatan personal kepada hakim. Oleh sebab itu, ancaman yang ditujukan kepada pelaku risywah terlihat sangat tegas dalam hadis berikut:
صلَّقى َّق َّللاِش ْوب ِش َوع ْو ٍة قَو َول َو َو َو َو ُ ُل َّق َوع ْو َوع ْوب ِشد َّق َّللاُ َوعلَو ْوي ِشه َو َو لَّق َوم ا َّق ا ِش ي َّللاِش َو 18 تَوشي َو ا ْو ُ ْو ِش 'Abdullah ibn 'Umar berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok (memberi suap) dan orang yang disogok (menerima sogokan). Kata لَة َةهَةdalam hadis bermakna jauh dari rahmat Allah. Sedangkan kata السَّا ِة يadalah orang yang memberikan suap/sogokan kepada seseorang untuk memuluskan urusan atau untuk maksud mengaburkan putusan hukum. Dengan ungkapan lain, orang yang memberikan suatu hadiah untuk menjadikan yang salah tidak salah, yang tidak berhak jadi berhak.19 Sedangkan kata ْال ُةمسْ تَة ِة ي dalam hadis berarti orang yang mengambil sogokan.20 Kata Risywah berasal dari bahasa Arab rasya- yarsyu – rasywan – risywatan yang berarti sogokan, bujukan, suap, uang pelicin. Biasanya risywah ini memiliki makna memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau menghindarkan dari kewajiban 18 Abu Daud, Sunan Abi …….., juz 3, aqdhiyah no. 3109,h. 380, al-Turmuzi, Sunan alturmuzi …….., ahkam no. 1257,juz 2, h. 397, Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini Ibn Majah,. Sunan Ibn Majah. Maktabah Dahlan: Indonesia, t.t.. ahkam no. 2304, juz 2, h. 775 dan Ahmad, Musnad Imam……….., juz 2 , h. 164, 190 dan 194 menurut al-Turmuzi kualilitasnya Hasan Sahih 19 Abu al-‘Ula Muhammad ‘abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfat alAhwazi bi Syarh Jami‟ al-Turmuzi,, juz 4,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyat, t.t.), h. 471 20 Muhammad ‘Abd al-’Aziz al-Khuli, Adab al-Nabawi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t,), .h. 300
12
yang
harus
dilaksanakan
atau
ditanggungnya.
Dapat
juga
bermakna
memberikan sesuatu kepada seseorang untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batal. 21 Di dalam al-Qur'an al-Baqarah (2): 188 Allah dengan tegas melarang seseorang memakan sesuatu yang bukan haknya dengan cara yang batil (tidak benar) dan melarang orang membawa perkara kepada hakim dengan tujuan untuk mendapatkan harta orang lain dengan jalan berbuat dosa. Risywah nerupakan salah satu cara pemberian yang tidak dilandasi oleh keikhlasan untuk mencari kerelaan Allah melainkan untuk tujuan yang bertentangan dengan tuntunan atau tuntutan syari'at Allah. Dalam hadis di atas, di samping secara internal seorang hakim harus memiliki kompetensi, namun ada masalah eksternal yang dapat mempengaruhi profesionalitas dan keadilan hakim dalam menjalankan tugasnya yang biasa disebut risywah dan hadiah. Secara tegas dalam hadis ada larangan memberikan sogokan (suap, uang pelicin) dan menerima sogokan. Dalam riwayat lain ada pembatasan hadis dengan kata "fi al-hukm" di ujung hadis,22 Dengan penambahan dimaksud memberikan batasan kepada risywah yang berkaitan dengan masalah hukum saja. Namun jika dilihat dari pengaruhnya terhadap tugas yang ditimbulkan oleh adanya uang atau materi yang tidak legal yang berkaitan dengan tugas, maka larangan secara umum lebih dapat diterima. Akan tetapi pengaruh suap pada bidang hukum jauh lebih besar, karena dapat membuat hakim memutarbalikkan masalah dari fakta yang sebenarnya. Sedangkan dalam hadis riwayat Ahmad ada tambahan lain setelah kata al-murtasyi yaitu kata "al-raisy" yaitu orang yang menjadi perantara antara orang yang memberi dan menerima sogokan.23 Secara logika, pengaruh perantara ini
Al-Kahlani, Subulus Salam.........., juz 4, h. 124 Hadis riwayat Al-Turmuzi, Sunan al-………, juz 2 h. 397, menurut al-Turmuzi kualilitasnya Hasan 23 Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Auţar Syarh Muntaqa alAkhbar min Ahadis Sayyid al-Akhyar, jilid 4 juz 9, (Beirut: Daral-Fikr, t.t.), h. 158 21 22
13
cukup dominan untuk terjadinya sogok/suap bagi orang yang memberi suap dan hakim. Dalam prakteknya, suap diselubungi oleh sesuatu yang sepertinya tidak membawa masalah, seperti pemberian hadiah, membayar transaksi jual beli, atau membebaskan dari hutang.
Semuanya tetap suap jika berkaitan dengan
pemutarbalikan fakta, mencemarkan nama baik dan menyia-nyiakan amanah. Oleh sebab itulah di dalam hadis dinyatakan bahwa orang yang memberi dan menerima suap mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul serta orang lain. Hal itu disebabkan karena pemberi suap mendorong
penerima melalaikan
tugasnya sebagai penegak kebenaran; memudahkannya memakan sesuatu yang bukan milik secara batil; menumbuhkan perilaku tercela; membantu hakim mengambil keputusan hukum yang tidak benar atau pejabat mengambil tindakan yang keliri. Sedangkan penerima sogokan mendapatkan laknat, karena mengambil harta orang lain secara tidak benar dengan menerima sogokan; dan menghalangi orang berhak mendapatkan haknya, atau membebaskan orang dari kewajiban dan tanggungjawab yang harus dipikulnya.24 Perantara mendapatkan laknat karena menjadi penghubung antara pemberi dan penerima. Membuka jalan bagi pemberi dan penerima suap. Risywah dilarang karena dilihat dari pelaksanaannya, pemberian dan penerimaan risywah jauh dari keikhlasan, karena didorong oleh keinginan mendapatkan atau menghindari sesuatu dengan cara yang tidak dibenarkan. Sedangkan dilihat dari tujuannya, risywah dilakukan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Risywah dengan demikian haram bagi seorang hakim dan pejabat lainnya, karena berimplikasi pada penjatuhan hukuman secara tidak benar,25 atau pengambilan keputusan yang keliru serta berpihak dan tidak profesional. 26 Dengan demikian, hukum risywah adalah haram, karena dengan risywah tersebut seorang hakim akan menafikan keprofesionalan, tugas dan tuntunan al-Khuli, Adab al-Nabawi…..., h. 301 Al-Shan'ani, Subulus Salam.........., juz 4, h. 124-125 26 al-Khuli, Adab al-Nabawi ., h. 301 24 25
14
serta tuntutan agama, ia bekerja sesuai dengan pesanan yang membayar, meskipun harus melawan hati nurani dan menzalimi pihak lain. Meskipun dalam hadis tidak dijelaskan ancaman hukuman fisik akan tetapi dengan kata la‟nat yang merupakan hukuman yang berat apabila dikaitkan dengan kehidupan yang jauh dari rahmat Allah. Untuk kondisi saat ini, dapat dilihat dampak dari risywah dimaksud, bagi hakim atau pejabat lainnya yang terindikasi menerima sogokan, akan berbalik menjadi terdakwa. Dari segi wibawa hukum, hukum sepertinya dipermainkan sesuai keinginan orang yang memiliki uang dan bermain di dalamnya.
D. Simpulan Dari bahasan terhadap hadis-hadis Rasul tentang hadiah kepada pejabat, dengan sangat jelas dan rinci pesan Rasul, karena akan mempengaruhi pelaksanaan tugas.
Penerima hadiah harus memiliki kekuatan untuk
mengidentifikasi hadiah yang diterima, ada atau tidak indikasi bahwa hadiah tersebut sebagai gratifikasi atau sogok, pelicin atau nama lain. Pejabat/petugas termasuk hakim yang sedang melakukan tugas, haram hukumnya atau dilarang keras atau tidak boleh menerima hadiah, ketika hadiah tersebut
berkaitan
dengan
menghambat/mempengaruhi
tugas,
pelaksanan
atau
tugas.
bahkan
Pejabat/petugas
akan hanya
diperkenankan menerima imbalan yang sudah ditetapkan secara legal. Ancaman yang diberikan Rasul kepada penerima hadiah yang terkait dengan jabatannya sebagai ghulul (khianat) atau korup, di dunia jauh dari rahmat Allah, serta akan mendapatkan kesulitan.
Sementara di akhirat
menambah pundi-pundi dosa yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pejabat/petugas yang sudah terlanjur atau terbukti menerima hadiah, harus mengembalikan semua hadiah/pemberian yang telah diterima kepada negara dan menjadi kekayaan negara. Jika tidak mau mengembalikan, maka
15
pemerintah mempunyai hak untuk mengambil paksa kekayaan yang diindikasi sebagai hasil dari penerimaan tidak legal , baik dalam bentuk gratifikasi maupun suap. Disamping itu, Pejabat yang telah terbukti melakukan penyelewengan dalam tugas tidak diberikan kepercayaan lagi dalam jabatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Indonesia: Maktabat Dahlan, tt. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Anonimius, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubra, juz 6, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il, Sahih al-Bukhari, juz 2, Indonesia: Maktabat Dahlan, tt. Al-Darimi Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, bin al-Fadhl, bin Bahram, Sunan al-Darimi, juz 1, Indonesia: Maktabat Dahlan, tt. , Ibn Majah Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini,. Sunan Ibn Majah. juz 2, Maktabah Dahlan: Indonesia, tt. Kahlani Muhammad bin Isma’il, Subulus Salam Syarh Bulugul Maram, juz 3, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt. , Al-Khuli Muhammad ‘Abd al-’Aziz, Adab al-Nabawi, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Krippendorff, Klaus, Content Analysis, an Introduction to its Metodology, London: Sage Publication, 1980. Malik bin Anas, al-Muwatha‟, Beirut: Dar al-Fikr ,1970. Al-Mubarakfuri, Abu al-‘Ula Muhammad ‘abd al-Rahman ibn ‘Abd alRahim, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami‟ al-Turmuzi,, juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyat,tt. Al-Nasa’i, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib, Sunan al-Nasa‟i, Semarang: Thoha Putra, tt. Al-Nawawi, Muhy al-Din Abu Zakariyya, Sahih Muslim „ala Syarh alNawawi, juz 12, Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M. /1401 H Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
16
Al-Syafi’i, Al-Şiddiqi, Dalil al-Falihin li Ţuruq Riyaḍ al-Şalihin, jilid 1, juz 2, Beirut: Dar al- Kutub al-’Arabi, 1985/1405. Al-Syaukani Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Nail al-Auţar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayyid al-Akhyar, jilid 4 juz 9, Beirut: Daral-Fikr, tt. Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurat, Sunan al- Turmuzi (Jami‟ al-Shahih), juz 1,3,4, Indonesia, Dahlan, tt.
17