h, tempat aku melihat lampu kolam renang memancarkan cahaya kehijauan. Pasti ada pintu belakang yang menuju kolam renang. Aku berusaha menemukannya. Graham menepuk bahuku. Aku kembali ke depan. Perlahan-lahan ia memutar pegangan pintu. Ternyata tidak dikunci. Graham mencabut pistol dan menatapku. Aku pun
meraih pistol. Ia terdiam, mengacungkan tiga jari. Hitungan ketiga. Graham menendang pintu dan masuk sambil membungkuk. Ia berseru, "Tahan, polisi! Jangan bergerak!" Sebelum aku sempat masuk ke ruang duduk, aku mendengar suara wanita menjerit-jerit.
Mereka berdua, telanjang bulat, berlari ke sana kemari sambil berteriak-teriak, "Eddie! Eddie!' Eddie tidak ada. Graham menghardik, "Mana dia? Mana Eddie Sakamura?" Wanita berambut merah menarik bantal dari sofa untuk menutupi tubuhnya, dan membentak, "Keluar, bangsat!" dan kemudian ia menimpuk Graham dengan bantal. Wanita yang satu lagi, berambut pirang, berlari ke kamar tidur sambil memekik. Kami mengikutinya, dan si Rambut Merah melemparkan satu bantal lagi. Di kamar tidur, si Pirang terjatuh dan meraung kesakitan. Graham membungkuk sambil menodongkan pistol. "Jangan tembak aku!" wanita itu meratap. "Aku tidak
berbuat apa-apa!" Graham menggenggam pergelangan kakinya. Tubuh telanjang itu menggeliat-geliat. Wanita muda itu histeris. "Di mana Eddie?" tanya Graham. "Mana dia?" “Lagi rapat!" si Pirang memekik. "Di mana!" "Lagi rapat!" Dan sambil berbalik, ia menendang selangkangan Graham dengan kakinya yang satu lagi. "Aduh," Graham mengaduh sambil melepaskannya. Ia terbatuk-batuk sampai terduduk di lantai. Aku kembali ke
ruang duduk. Si Rambut Merah mengenakan sepatu bertumit tinggi, tetapi selain itu ia pun telanjang bulat. Aku berkata, "Di mana dia?" "Bajingan," balasnya. "Bajingan keparat." Aku melewatinya dan menuju sebuah pintu di seberang ruangan. Pintunya terkunci. Si Rambut Merah mengejarku dan mulai memukul-mukul punggungku dengan tangan terkepal. "Biarkan dia! Biarkan dia!" Aku berusaha membuka pintu yang terkunci, sementara punggungku terus dipukul-pukul. Sepertinya aku mendengar suara-suara di balik pintu. Pada detik berikutnya, tubuh Graham yang gempal membentur pintu sampai pecah. Aku melihat dapur, diterangi cahaya hijau dari kolam renang di luar. Ruangannya kosong. Pintu belakang terbuka lebar. "Sialan.” Kini si Rambut Merah telah melompat ke punggungku
dan melingkarkan kedua kakinya pada pinggangku. Ia menjambak rambutku- sambil meneriakkan kata-kata kotor. Aku berputar-putar, berusaha mengempaskannya. Di tengah-tengah kekacauan itu, aku masih sempat berpikir, "Awas, jangan sampai dia cedera." Sebab kesannya kurang baik jika wanita muda yang cantik mengalami patah tangan atau retak pada tulang iga. Orang-orang pasti akan menyalahkan aku, meskipun ia sekarang menjambak rambutku sampai copot. Ia menggigit telingaku, dan rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhku. Aku membenturkan badanku ke dinding dan mendengarnya mengerang. Ia melepaskan tangannya. Di luar jendela, aku melihat sebuah sosok gelap berlari menuruni tangga. Graham juga melihatnya.
"Persetan," ia mengumpat. Ia segera berlari, begitu juga aku. Tetapi si Rambut Merah rupanya menjegal kakiku, sebab aku terjatuh ke lantai. Ketika aku bangkit lagi, aku mendengar sirene mobil-mobil patroli dan suara mesin. Kemudian aku sudah di luar, bergegas menuruni tangga. Aku berada sekitar sepuluh meter di belakang Graham, waktu Ferrari milik Eddie mundur dari garasi, memindahkan gigi dengan kasar, dan melesat menyusuri jalan. “Kedua mobil patroli langsung mengejar. Graham berlari ke mobilnya. Ia telah mulai melaju sementara aku masih berlari ke mobilku yang diparkir agak lebih jauh. Ketika mobilnya melewatiku, aku melihat wajahnya, cemberut dan geram. Aku masuk ke mobilku dan menyusul. Di daerah perbukitan, kita tak mungkin melaju dengan kencang sambil berbicara melalui telepon. Aku bahkan
tidak mencobanya. Aku menaksir jarak antara aku dan Graham sekitar setengah kilometer, sedangkan Graham sendiri tertinggal agak jauh di belakang kedua mobil patroli. Ketika aku sampai di kaki bukit, di jembatan 101, aku melihat lampu-lampu yang berkedap-kedip di freeway. Aku terpaksa mundur dan berputar ke pintu di Mulholland, dan kemudian aku bergabung dengan lalu lintas yang menuju ke selatan. Pada waktu lalu lintas mulai bertambah pelan, aku memasang lampu di atap, dan pindah ke jalur pemberhentian darurat di sebelah kanan. Aku sampai di dinding pembatas beton kurang lebih tiga puluh detik setelah Ferrari itu menghantamnya dengan kecepatan sekitar 160 kilometer per jam. Kurasa tangki
bensinnya meledak seketika. Lidah api menjulang setinggi lima belas meter ke udara. Panasnya luar biasa. Sepertinya api akan menjalar ke pohon-pohon di lereng bukit. Mobil yang hancur berantakan itu sama sekali tak dapat didekati. Mobil pemadam kebakaran pertama tiba, diikuti tiga mobil patroli. Di mana-mana ada sirene dan lampu berkedap-kedip. Aku memundurkan kendaraanku, memberi tempat untuk mobil-mobil pemadam, lalu menghampiri Graham. Ia sedang mengisap rokok ketika para petugas pemadam kebakaran mulai menyemprotkan busa. "Ya ampun," ujar Graham. "Semuanya kacau-balau." "Kenapa para petugas patroli tidak menghentikannya ketika dia berada di garasi tadi?" "Karena," kata Graham, "aku telah melarang mereka menggunakan pistol. Dan kita tidak ada di sana. Mereka sedang bingung harus berbuat apa waktu dia kabur." Ia
menggelengkan kepala. "Bagaimana aku harus melaporkan ini?" Aku berkata, "Tapi memang lebih baik kau tidak menembaknya." "Mungkin." Ia mematikan rokoknya. Api telah berhasil dipadamkan. Ferrari itu telah hangus, ringsek. Bau tajam tercium di udara. "Hmm," kata Graham. "Percuma saja kita menunggu di sini. Aku akan kembali ke rumahnya. Barangkali cewek-cewek itu masih ada di sana." "Kau butuh bantuanku?" "Tidak. Pulang sajalah. Besok masih ada hari lain.
Brengsek, urusan administrasi pasti takkan ada habis-habisnya." Ia menatapku, lalu terdiam sejenak. "Kita sepaham mengenai ini? Mengenal apa yang terjadi?" "Tentu," kataku. "Kita tidak ada pilihan lain tadi," ujarnya. "Memang," aku berkata. "Hal-hal seperti ini memang terjadi." "Oke, Kawan. Sampai besok." "Selamat malam, Tom." Kami naik ke mobil masing-masing Aku pulang ke rumah.
Bab 22
MRS. ASCENIO sedang mendengkur keras di sofa ketika aku tiba di rumah pukul 03.45 dini hari. Aku mengendap-endap melewatinya dan mengintip ke kamar Michelle. Anakku sedang telentang. Ia telah menyingkirkan selimut dan tidur dengan tangan di atas kepala. Kakinya menjorok keluar lewat pagar pembatas tempat tidurnya. Aku menyelimutinya, lalu masuk ke kamarku. Pesawat TV masih menyala. Aku mematikannya. Aku mencopot dasi dan duduk di tempat tidur untuk melepaskan sepatu. Baru sekarang aku menyadari seberapa lelahnya aku. Aku membuka mantel dan celana, dan melemparkan keduanya ke atas pesawat TV. Aku membaringkan diri di tempat tidur, berniat membuka kemeja yang terasa lengket dan berbau keringat. Aku
memejamkan mata sejenak, merebahkan kepala ke bantal yang empuk. Kemudian aku merasakan cubitan, serta sesuatu menarik-narik kelopak mataku. Aku mendengar bunyi mengerik, dan sejenak aku dicekam ketakutan bahwa mataku sedang dipatuk-patuk burung. Aku mendengar sebuah suara berkata, "Bangun, Daddy. Bangun." Dan aku menyadari bahwa itu anak perempuanku yang berusaha membuka mataku dengan jemarinya yang mungil. "Oooh," kataku. Aku melihat sinar matahari, membalik badan, dan membenamkan wajahku ke bantal. "Daddy? Bangun. Bangun, Daddy." Aku berkata, "Daddy tidak sempat tidur semalam. Daddy masih capek." Tapi ia tak peduli. "Daddy, bangun. Bangun, Daddy. Bangun, Daddy." Aku tahu bahwa ia akan takkan berhenti mengucapkan
kata-kata yang sama sampai aku hilang ingatan atau membuka mata. Aku berbalik lagi dan terbatuk-batuk. "Daddy masih capek, Shelly. Coba cari Mrs. Ascenio saja." "Daddy, bangun." "Kenapa kamu tidak bisa membiarkan Daddy tidur sedikit lebih lama? Daddy masih mau tidur pagi ini." "Sekarang sudah pagi, Daddy. Bangun. Bangun." Aku membuka mata. Michelle benar. Memang sudah pagi. Apa boleh buat.
HARI KEDUA
Bab 23
"HABISKAN sarapanmu." "Sudah kenyang." “Satu suap lagi, Shelly." Sinar matahari masuk melalui jendela dapur. Aku menguap. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. "Mommy mau datang hari ini?" "Jangan alihkan pembicaraan. Ayo, Shel. Satu suap lagi. Oke?" Kami duduk di meja berukuran anak-anak di pojok dapur. Kadang-kadang aku bisa membujuk Michelle untuk makan di meja kecil kalau ia tidak mau makan di meja besar. Tapi hari ini aku tidak beruntung. Michelle menatapku. "Mommy mau datang?" "Barangkali. Tapi Daddy tidak tahu pasti." Aku tidak ingin mengecewakannya. "Kita masih tunggu kabar dari
Mommy." "Mommy mau ke luar kota lagi?" Aku berkata, "Mungkin." Dalam hati aku bertanya-tanya, apa arti "ke luar kota" bagi anak berumur dua tahun, gambaran seperti apa yang terbayang olehnya. "Dia mau pergi dengan Paman Rick?"
Siapa Paman Rick? Aku menyodorkan garpu ke depan wajahnya. "Daddy tidak tahu, Shel. Ayo, buka mulutmu. Satu suap lagi." "Dia punya mobil baru," ujar Michelle sambil mengangguk-angguk dengan serius. Ia selalu bersikap seperti itu kalau menyampaikan informasi penting padaku. "O, ya?" “He-eh. Wamanya hitam." "Begitu. Mobil apa?” "Sades." "Mobil Sades?" "Bukan. Sades.”t “Maksudmu, Mercedes?" "He-eh. Wamanya hitam." "Oh, bagus," kataku. "Kapan Mommy mau datang?” "Ayo, satu suap lagi, Shel." Ia membuka mulut, dan aku mendekatkan garpu. Pada saat terakhir, ia memalingkan wajah sambil merapatkan bibir. "Tidak mau, Daddy.” “Oke,” kataku. "Daddy menyerah." “Aku tidak lapar, Daddy." "Daddy sudah tahu."
Mrs. Ascenio sedang membereskan dapur sebelum
kembali ke apartemennya. Masih ada lima belas menit sampai pengurus rumahku, Elaine, datang dan membawa Michelle ke tempat penitipan anak. Aku masih harus
berpakaian. Aku baru meletakkan piring-piring di tempat cuci piring ketika telepon berdering. Ternyata Ellen Farley, pembantu Wali Kota untuk urusan pers "Kau lagi nonton?" "Nonton apa9" "Berita. Channel tujuh. Mereka menyiarkan kecelakaan semalam." “O, ya?" "Nanti telepon aku lagi." Aku segera masuk ke kamar tidurku dan menyalakan TV. Sebuah suara sedang berkata, "...melaporkan pengejaran berkecepatan tinggi di Hollywood freeway ke arah selatan, yang berakhir ketika Ferrari yang dikemudikan tersangka menabrak jembatan Vine Street, tidak jauh dari Hollywood Bowl. Menurut keterangan saksi mata, mobil yang menghantam pagar pembatas beton dengan kecepatan lebih dari seratus mil per jam itu terbakar seketika. Beberapa unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan, tetapi tak ada yang selamat. Tubuh pengemudi terbakar demikian parah, sehingga kacamatanya sampai meleleh. Petugas yang memimpin pengejaran tersebut, Detektif Thomas Graham, mengatakan bahwa pengemudi bersangkutan, Mr. Edward Sakamura, dicari sehubungan dengan kematian seorang wanita yang diduga sebagai
korban pembunuhan di pusat kota. Tetapi hari ini teman-teman Mr. Sakamura mengemukakan kesangsian mereka mengenai tuduhan itu. Berdasarkan keterangan mereka, sikap berlebihan yang diperlihatkan pihak kepolisian menyebabkan tersangka menjadi panik, dan memaksanya melanikan diri. Menurut beberapa sumber, insiden ini berlatar belakang rasialis. Sampai saat ini belum
jelas apakah pihak kepolisian semula hendak mendakwa Mr. Sakamura sebagai pelaku pembunuhan. Peristiwa semalam konon merupakan pengejaran kecepatan tinggi ketiga dalam dua minggu terakhir di freeway 101. Sikap polisi dalam pengejaran-pengejaran ini mulai dipertanyakan sejak seorang wanita warga Compton tewas dalam suatu pengejaran kecepatan tinggi Januari lalu. Baik Detektif Graham maupun asistennya, Letnan Peter Smith, dapat dimintai keterangan, dan kita masih menunggu apakah petugas-petugas bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif, atau diskors oleh pihak Departemen.” Astaga! “Daddy..." "Tunggu sebentar, Shel." Aku memperhatikan gambar yang terlihat di layar TV. Ferrari yang telah hangus dan ringsek sedang diangkat ke atas truk. Pada dinding beton yang tertabrak tampak goresan hitam. Kamera beralih ke studio. Wanita yang membacakan berita berkata, "KNBC telah memperoleh informasi bahwa
sebelumnya dua petugas polisi sempat meminta keterangan dari Mr. Sakamura sehubungan dengan kasus tersebut, tetapi tidak menahannya. Kapten John Connor dan Letnan Smith mungkin menghadapi pemeriksaan dari pihak Departemen, untuk memastikan apakah telah terjadi pelanggaran prosedur. Kabar baik bagi para pengendara mobil: lalu lintas padafreeway 101 ke arah selatan kembali lancar. Kini rekan saya akan membacakan berita selanjutnya. Silakan, Bob." Aku memandang pesawat TV sambil terbengong-bengong. Pemeriksaan disipliner?
Telepon berdering. Ellen Farley lagi. "Kaudengar semuanya itu?" "Yeah. Ini tidak masuk akal. Apa-apaan ini, Ellen?" "Asal tahu saja, kantor wali kota tidak terlibat. Tetapi masyarakat Jepang di sini memang tidak suka kepada Graham. Mereka menganggapnya sebagai rasialis. Dan sepertinya dia malah memberi angin pada mereka." "Aku ada di sana tadi. Graham bertindak sesuai peraturan.” "Yeah, aku tahu di mana kau tadi, Pete. Terus terang, kejadian ini patut disesalkan. Aku tak ingin kau ikut kena
getahnya." Aku berkata, "Graham tidak melanggar prosedur." "Kaudengar aku bilang apa, Pete?" "Bagaimana dengan sanksi administratif dan pemeriksaan disipliner itu?" "Baru sekarang aku mendengarnya," ujar Ellen. "Tetapi itu berasal dari sumber intern, dari departemenmu sendiri. O, ya, betul tidak, nih? Kau dan Connor menemui Sakamura semalam?" "Ya." "Dan kalian tidak menahannya?" "Tidak. Ketika bicara dengannya, kami belum memiliki alasan untuk itu. Tapi kemudian ada perkembangan baru." Ellen berkata, "Kau benar-benar percaya bahwa dia pelaku pembunuhan ini?" "Aku tahu dia pelakunya. Kami punya rekaman videonya."
"Rekaman video? Kau serius?" "Yeah. Pembunuhan itu terekam oleh salah satu kamera keamanan Nakamoto." Ellen terdiam sejenak. Aku berkata, "Ellen?" "Begini," katanya, "Off the record, oke?" "Oke." "Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, Pete. Banyak yang tidak kupahami." "Kenapa kau tidak memberitahuku siapa wanita muda itu, semalam?” "Sori. Semalam aku lagi banyak urusan." "Ellen." Hening. Kemudian, "Pete, pergaulannya sangat luas. Dia kenal banyak orang."
"Apakah dia kenal Pak Wali Kota?'" Hening. "Seberapa akrab dia dengan Pak Wali Kota?" "Begini saja," ujar Ellen, "dia cantik dan kenal. banyak orang di kota ini. Menurutku, dia kurang seimbang. Tapi dia cantik dan pengaruhnya terhadap kaum pria luar biasa. Kau harus lihat sendiri supaya bisa percaya. Nah, sekarang banyak orang mendadak sibuk. Kau sudah baca Times hari ini.” "Belum." "Coba baca dulu. Kalau aku boleh beri saran, selama beberapa hari berikut ini, sikapmu harus baik-baik. Segala tindak-tandukmu harus sesuai peraturan. Dan
berhati-hatilah." "Oke. Thanks, Ellen." "Jangan berterima kasih padaku. Aku tak pernah meneleponmu." Kemudian nada suaranya menjadi lebih lembut. "Jaga dirimu, Peter." Aku mendengar nada kosong. "Daddy?" "Sebentar, Shel." "Aku boleh nonton film kartun?" "Boleh, Sayang." Aku mencari film kartun di TV, lalu masuk ke ruang duduk. Aku membuka pintu depan dan memungut koran Times dari keset. Baru setelah beberapa waktu aku berhasil. menemukan artikel yang kucari, di halaman
terakhir bagian Metro.
TUDUHAN RASIALISME POLISI MEMBAYANGI PESTA JEPANG
Paragraf pertama kubaca sepintas lalu. Pejabat-pejabat Jepang dari perusahaan Nakamoto mengeluh mengenai sikap polisi yang "tanpa perasaan dan tidak peka", yang menurut mereka mencoreng malam peresmian gedung pencakar langit mereka yang baru di Figueroa. Paling tidak satu pejabat Nakamoto mengemukakan pandangan bahwa tindakan polisi berlatar belakang rasial. Seorang juru bicara berkata, "Kami tidak yakin L.A.P.D. akan bersikap dengan cara ini seandainya bukan perusahaan Jepang yang terlibat. Kami berpendapat bahwa tindakan polisi mencerminkan
standar ganda dalam perlakuan petugas-petugas Amerika terhadap orang Jepang." Mr. Hiroshi Ogura, ketua dewan direksi Nakamoto, hadir dalam pesta itu, yang antara lain dihadiri oleh orang-orang terkenal seperti Madonna dan Tom Cruise, tetapi tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar atas kejadian tersebut. Seorang juru bicara berkata, "Mr. Ogura sangat menyayangkan bahwa sikap pihak berwenang sempat mencoreng pertemuan ini. Ia menyesalkan segala kekisruhan yang telah terjadi." Menurut sementara pengamat, Wali Kota Thomas mengutus salah satu anggota stafnya untuk berunding dengan polisi, namun hasiInya tidak menggembirakan. Pihak polisi tidak mengubah sikap, meski telah didampingi petugas penghubung khusus Jepang, Letnan Peter Smith, yang bertugas meredam situasi-situasi yang peka dari segi rasial...
Dan sebagainya. Kita harus membaca empat paragraf sebelum mengetahui bahwa telah terjadi pembunuhan. Sepertinya detail ini nyaris dianggap tidak relevan. Perhatianku kembali ke judul artikel. Artikelnya berasal dari City News Service, sehingga, nama wartawan yang menulisnya tidak dicantumkan. Aku begitu marah, sehingga aku menelepon kenalan lamaku di Times, Kenny Shubik. Ken adalah wartawan Metro yang paling senior. Sudah lama sekali ia bergabung dengan koran itu, dan ia mengetahui segala sesuatu yang sedang terjadi. Karena masih pukul delapan pagi, aku meneleponnya di rumah.
"Ken. Pete Smith."
"Oh, hai," katanya. "Syukurlah kau terima pesanku." Di latar belakang, aku mendengar seseorang yang rupanya seorang remaja putri, "Oh, ayolah, Dad. Kenapa aku tidak boleh pergi?" Ken berkata, "Jennifer, jangan ganggu aku dulu." "Pesan yang mana?" tanyaku. Ken berkata, "Semalam aku meneleponmu, sebab kupikir kau tentu ingin tahu dengan segera. Dia pasti diberitahu oleh seseorang. Kau bisa kira-kira apa yang ada di baliknya?" "Di balik apa?" ujarku. Aku sama sekali tidak memahami
maksudnya. "Sori, Ken, pesanmu belum kuterima." "Benar?" katanya. "Aku menelepon sekitar jam setengah dua belas semalam. Operator DHD bilang kau sedang menangani kasus, tapi kau punya telepon mobil. Kubilang urusannya penting, dan minta agar kau meneleponku di rumah kalau perlu. Sebab aku yakin kau memang ingin tahu." Di latar belakang, gadis tadi berkata, "Dad, ayo, dong. Aku masih harus pilih baju." "Jennifer, diam dulu," Ken menghardik. Dan padaku ia berkata, "Kau juga punya anak perempuan, bukan?" "Yeah," kataku. "Tapi dia baru dua tahun." "Tunggu saja," ujar Ken. "Begini, Pete. Kau benar-benar tidak terima pesanku?" "Tidak," jawabku. "Aku menelepon karena urusan lain. Artikel di koran pagi ini." "Artikel yang mana?"
"Liputan mengenai Nakamoto di halaman delapan. Artikel mengenai 'polisi yang tanpa perasaan dan tidak peka' pada malam peresmian gedung." "Jeez, aku tidak tahu berita itu sudah dimuat. Aku tahu Jodie meliput pesta mereka, tapi seharusnya baru besok dimuat. Kau tahu sendirl, pesta-pesta Jepang selalu menarik kaum jetset. Kemarin jadwal Metro di meja Jeff masih kosong." Jeff adalah editor bagian Metro. Aku berkata, "Hari ini ada artikel mengenai pembunuhan itu." "Pembunuhan yang mana?" tanya Ken. Suaranya bernada aneh. "Semalam terjadi pembunuhan di gedung. Nakamoto. Sekitar jam setengah sembilan. Salah satu tamu tewas."
Ken terdiam. Merangkai-rangkai informasi. Akhirnya ia bertanya, "Kau terlibat?" "Seksi pembunuhan minta bantuanku sebagai petugas penghubung Jepang." "Hmm," Ken bergumam. "Begini saja. Tunggu sampai aku tiba di kantor untuk mencari informasi tambahan. Dalam satu jam, kita bicara lagi. Dan tolong sebutkan nomor-nomor telepon di mana kau bisa dihubungi, supaya aku bisa langsung bicara denganmu." "Oke." Ia berdehem. “Eh, Pete," katanya. "Ini antara kita saja. Kau lagi ada masalah?" "Seperti apa, misalnya?” "Misalnya, masalah moral, masalah dengan rekening bankmu. Penyimpangan mengenai penghasilan yang
dilaporkan... apa saja yang perlu kuketahui. Sebagai temanmu." "Tidak," kataku. "Aku tidak butuh detail-detailnya. Tapi kalau ada sesuatu yang tidak beres ...” "Tidak ada apa-apa, Ken." "Soalnya begini, aku mau membantumu, tapi aku tidak berminat beli kucing dalam karung." "Ken. Ada apa sebenarnya?" "Aku tidak bisa cerita banyak sekarang. Tapi sepintas lalu kelihatannya ada yang mau menikammu dari belakang," kata Ken. "Telepon aku satu jam lagi, oke?" "Kau memang teman yang baik. Aku berutang budi padamu." "Dan jangan lupa itu," Ken berkata. Ia meletakkan gagang.
Aku memandang berkeliling di apartemenku. Segala sesuatu tetap seperti semula. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela. Michelle duduk di kursi favoritnya, menonton film kartun sambil mengisap jempol. Tapi entah kenapa semuanya terasa lain. Aneh. Sepertinya seluruh dunia mendadak miring. Tetapi masih banyak hal yang harus kukerjakan. Hari semakin siang. Aku harus berpakaian sebelum Elaine datang untuk membawa Michelle ke tempat penitipan anak. Aku mengatakannya pada Michelle. Ia mulai menangis. TV kumatikan dan Michelle berbaring di lantai sambil menendang-nendang dan menjerit-jerit.
"Jangan, Daddy! Kartun, Daddy! " Aku mengangkatnya dan menggendongnya ke kamar tidur untuk mengganti pakaiannya. Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Pesawat telepon kembali berdering. Kali ini dari operator divisi. "Pagi, Letnan. Ada beberapa pesan untuk Anda." "Sebentar, saya ambil pensil dulu," kataku. Aku menurunkan Michelle. Tangisnya semakin keras. Aku berkata, "Sekarang kamu pilih sepatu mana yang akan kaupakai ke sekolah, ya?" " "Kedengarannya seperti ada pembunuhan di tempat Anda," si operator telepon berkomentar. "Dia tidak mau bersiap-siap untuk pergi ke sekolah." Michelle menarik-narik kakiku. "Tidak mau, Daddy. Aku tidak mau sekolah, Daddy." "Kau harus sekolah," aku berkata dengan tegas. Michelle kembali menangis. "Silakan," aku berkata kepada si operator.
"Oke, pukul 23.41 semalam, ada telepon dari seseorang bernama Ken Subotik atau Subotnik, dari LA Times. Dia minta ditelepon lagi. Pesannya, 'Si Musang sedang mengintai Anda.' Dia bilang, Anda tahu artinya. Anda bisa menghubunginya di rumah. Anda punya nomornya?" "Ya." "Oke. Pukul 01.42 dini hari, telepon dari Mr. Eddie Saka kelihatannya seperti Sakamura. Dia bilang penting, harap telepon ke rumahnya, 5558434. Mengenai kaset yang hilang. Oke?" Sialan.
Aku berkata, "Jam berapa dia menelepon?" "Pukul 01.42 dini hari. Teleponnya disambungkan ke County General, dan sepertinya operator di sana tak dapat menemukan Anda. Anda berada di kamar mayat?” "Yeah." "Sori, Letnan, tapi begitu Anda keluar mobil, kami terpaksa melalui pihak ketiga." "Oke. Ada lagi?" "Kemudian pukul
06.43 tadi. Kapten Connor meninggalkan nomor pager yang dapat Anda hubungi. Dia bilang dia mau main golf pagi ini.” "Oke."
"Dan pukul 07.10, ada telepon dari Robert Woodson yang bekerja di kantor Senator Morton. Senator Morton ingin bertemu dengan Anda dan Kapten Connor pukul satu siang nanti di Los Angeles Country Club. Dia minta agar Anda meneleponnya untuk mengkonfirmasikan bahwa Anda akan menemui Senator Morton. Saya sudah berusaha menghubungi Anda, tetapi telepon Anda sedang dipakai. Anda akan menelepon Senator Morton?" Aku mengatakan bahwa aku akan meneleponnya. Kemudian aku minta tolong pada operator itu untuk menghubungi Connor di lapangan golf, dan berpesan agar Connor meneleponku di mobil. Aku mendengar kunci pintu diputar. Elaine melangkah masuk. "Selamat pagi," katanya. "Maaf, tapi Shelly belum berganti baju." "Tidak apa-apa," ujar Elaine. "Jam berapa Mrs. Davis akan menjemputnya?"
"Kami masih menunggu kabar darinya." Elaine sudah terbiasa menghadapi keadaan ini. "Ayo, Michelle. Sekarang kita pilih bajumu untuk hari ini. Sudah waktunya bersiap-siap berangkat sekolah." Aku melirik jam tangan. Aku baru saja hendak mengisi cangkirku dengan kopi ketika pesawat telepon berdering. "Apakah saya bisa bicara dengan Letnan Peter Smith?" Ternyata dari Wakil Komandan, Jim Olson.
"Hai, Jim." "Pagi, Pete." Nada suaranya ramah. Tapi Jim Olson tidak pernah menelepon orang sebelum jam sepuluh pagi, kecuali jika situasinya
memang genting. Olson berkata, "Kelihatannya kita menghadapi masalah besar. Kau sudah baca koran pagi ini?" "Yeah, sudah." "Dan kau sempat melihat siaran berita?" "Sebagian." Pak Komandan meneleponku dan minta saran untuk mengendalikan situasi ini. Aku butuh keteranganmu sebelum memberikan rekomendasi. Oke?" "Oke." "Aku baru saja bicara dengan Tom Graham lewat telepon. Dia mengakui bahwa kejadian semalam memang kacau-balau. Tak ada yang bisa dibanggakan." "Sepertinya begitu." "Dua cewek telanjang menghalang-halangi dua petugas berbadan sehat dan menggagalkan penangkapan seorang
tersangka. Intinya begitu, bukan?" Kedengarannya konyol sekali. Aku berkata, "Kau harus ada di sana untuk memahami duduk perkaranya, Jim." "He-eh," katanya. "Hmm, sejauh ini ada satu hal yang menguntungkan bagi kita. Aku telah memeriksa apakah prosedur pengejaran dijalankan secara benar. Rupanya memang begitu. Kita punya rekaman dari komputer, rekaman percakapan radio, dan semuanya sesuai peraturan. Untung saja. Bahkan tak ada yang mengumpat. Rekaman-rekaman ini bisa kita berikan kepada pihak media, seandainya situasi bertambah parah. Jadi, dalam hal ini posisi kita cukup aman. Tapi sayang sekali Sakamura
tewas.” "Ya." "Graham sempat kembali untuk mencari kedua cewek itu, tapi rumah Sakamura ternyata sudah kosong. Mereka sudah lenyap." "Begitu." "Dan tentunya tidak ada yang sempat mencatat nama-nama mereka?" "Tidak." "Berarti kita tidak punya saksi untuk kejadian di rumah Sakamura. Ini agak berbahaya." "He-eh." "Pagi ini mereka sedang mengeluarkan mayat Sakamura dari mobil itu, untuk mengirim sisa-sisanya ke kamar jenazah. Menurut Graham, kasus ini sudah selesai. Kalau tidak salah, ada rekaman video yang memperlihatkan bahwa Sakamura membunuh cewek itu, bukan? Graham
bilang, dia sudah siap membuat laporan lima-tujuh-sembilan. Menurutmu bagaimana? Kasus ini sudah bisa ditutup?" "Kelihatannya begitu.” 'Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujar Olson. "Masyarakat Jepang merasa jengkel dam tersinggung oleh penyelidikan Nakamoto. Mereka ingin penyelidikan tersebut bisa diakhiri secepat mungkin. Jadi, kalau kasus ini bisa dianggap selesai, itu akan sangat membantu."
"Aku setuiu," kataku. "Kita akhiri saja di sini." "Syukurlah kalau begitu, Pete," kata Olson. "Aku akan bicara dengan Pak Komandan. Mogamoga kita bisa mencegah tindakan disipliner." "Thanks, Jim." "Usahakan agar kau jangan terialu khawatir. Aku sendiri tidak melihat isu disipliner di sini. Asal saja kita punya rekaman video yang memperlihatkan Sakamura pelakunya." "Yeah.” "Mengenai rekaman-rekaman ini," katanya, "aku sudah minta agar Marty mengambil semuanya dari lemari barang bukti. Tapi sepertinya dia tidak menemukannya." Aku menarik napas panjang dan berkata, "Memang, soalnya kubawa pulang." "Kau tidak menyimpan kaset-kaset video itu di lemari barang bukti semalam?" "Tidak. Aku ingin membuat kopinya dulu." Olson terbatuk-batuk. "Pete. Sebenarnya lebih baik kalau
kau mengikuti prosedur." "Aku ingin membuat kopinya dulu," kataku sekali lagi. "Begini saja," ujar Jim, "buat kopinya, lalu bawa semua rekaman asli ke mejaku sebelum jam sepuluh. Oke?" "Oke." "Kadang-kadang memang agak lama sebelum bahan tertentu bisa ditemukan di lemari barang bukti." Secara tak langsung ia mengatakan bahwa ia akan melindungiku. "Thanks, Jim." "Jangan berterima kasih padaku, sebab aku tidak melakukan apa-apa," jawabnya. "Sepanjang pengetahuanku, semuanya sesuai prosedur standar."
"Betul." "Tapi kusarankan, selesaikan semuanya dengan segera. Aku bisa mengulur-ulur waktu selama beberapa jam. Tapi di sini sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tahu persis dari mana asal-usulnya. Jadi jangan ambil risiko, oke?" "Oke, Jim. Aku sudah mau berangkat." Aku meletakkan gagang.
Bab 24
PASADENA tampak seperti sebuah kota di dasar gelas berisi susu asam. Laboratorium Tenaga Jet terletak di perbukitan di kaki gunung di pinggir kota, tidak jauh dani Rose Bowl. Tapi walaupun sudah pukul 08.30, pegunungan tetap tak tampak, karena terhalang kabut berwarna putih
kekuning-kuningan. Aku menjepit kardus berisi kaset-kaset video di bawah lengan, memperlihatkan lencanaku, mengisi daftar tamu di gardu jaga, dan bersumpah bahwa aku warga negara Amerika Serikat. Petugas jaga lalu menyuruhku ke gedung utama, melintasi pekarangan dalam. Selama beberapa dekade, Laboratorium Tenaga Jet berfungsi sebagai pusat komando bagi wahana-wahana ruang angkasa Amerika yang memotret planet Jupiter serta cincin-cincin planet Saturnus, dan mengirim foto-fotonya ke bumi dalam bentuk gambar video. LTJ merupakan tempat peralatan video modern diciptakan. Jika ada yang sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang kubawa, LTJ-lah tempatnya. Mary Jane Kelleher, sekretaris pers LTJ, membawaku ke lantai tiga. Kami menyusun sebuah selasar berwarna hijau,
melewati beberapa pintu yang menuju ruang-ruang kantor yang kosong. Aku menyinggung hal itu. "Memang benar," ia berkata sambil mengangguk. "Belakangan ini kami kehilangan sejumlah tenaga ahli, Peter." "Ke mana mereka pergi?" tanyaku. "Sebagian besar ditampung oleh industri. Dari dulu selalu ada beberapa orang yang pindah ke IBM di Armonk, atau ke Bell Labs di New Jersey. Tapi lab-lab itu sudah tidak lagi memiliki perlengkapan terbaik atau dana yang paling besar. Posisi mereka digantikan oleh lab-lab penelitian Jepang, misalnya Hitachi di Long Beach, Sanyo di Torrance, Canon di Inglewood. Banyak peneliti Amerika bekerja untuk mereka sekarang." "LTJ tidak prihatin mengenai perkembangan ini?"
“Tentu saja kami prihatin,” katanya. "Semua orang tahu bahwa cara terbaik untuk mengalihkan teknologi adalah di dalam kepala seseorang. Tapi kami tak dapat berbuat apa-apa." Ia mengangkat bahu. "Para peneliti ingin melakukan penelitian. Dan Amerika kini membatasi diri dalam bidang riset dan pengembangan. Anggaran diperketat. Jadi memang lebih baik bekerja untuk orang Jepang. Mereka berani membayar, dan mereka benar-benar menghargai penelitian. Kalau kita memerlukan perlengkapan tertentu, kita akan mendapatkannya. Paling tidak, itulah yang dikatakan teman-temanku. Nah, kita sudah sampai." Ia mengajakku ke sebuah laboratorium yang penuh sesak dengan peralatan video. Kotak-kotak hitam ditumpuk-tumpuk di rak-rak logam dan meja-meja logam; kabel-kabel simpang siur di lantai; ada berbagai jenis
monitor dan layar peraga. Di tengah-tengah semuanya itu berdiri pria berjanggut bernama Kevin Howzer. Usianya sekitar 35 tahun. Pada monitor tampak mekanisme gigi, dengan warna pelangi yang terus berubah-ubah. Mejanya dipenuhi kaleng-kaleng Coke dan bekas bungkus permen. Rupanya ia tidak tidur sepanjang malam, bekerja. "Kevin, ini Letnan Smith dari L.A.P.D. Dia punya beberapa kaset video yang perlu dikopi." "Cuma dikopi?" tanya Howzer dengan nada kecewa. "Kaset-kaset itu tidak perlu diotak-atik?" "Tidak, Kevin," ujar Mary Jane. "Tidak perlu." "Beres. " Aku menunjukkan salah satu kaset pada Howzer. Ia memutar-mutarnya dan mengangkat bahu. "Kelihatannya seperti kaset delapan mili standar. Apa
isinya?" "Rekaman video Jepang, definisi tinggi." "Maksud Anda, sinyal HDT.” "Mungkin." "Mestinya tidak ada kesulitan. Anda punya alat putar yang bisa saya pakai?" "Ya." Aku mengeluarkan alat itu dari kotak dan menyerahkannya. "Jeez, mereka memang hebat Alat ini benar-benar bagus." Kevin mengamati tombol-tombol di bagian depan. "Yeah, memang definisi tinggi. Jangan takut, kalau cuma begini saja, saya masih sanggup." Ia membalikkan kotak itu dan memperhatikan colokan-colokan di belakang. Tiba-tiba ia mengerutkan kening. Ia memindahkan lampu meja dan membuka tutup kaset, sehingga pitanya kelihatan. Wamanya keperak-perakan. "Hmm. Apakah isi kaset-kaset
ini menyangkut masalah hukum?" "Ya." Ia mengembalikan kasetnya padaku. "Sori, saya tidak bisa membuat kopi." "Kenapa tidak?" "Anda lihat warna perak ini? Itu pita logam yang sudah menguap. Saya rasa formatnya mencakup kompresi dan dekompresi real-time. Saya tidak bisa membuat kopi untuk Anda, karena saya tidak bisa mencocokkan formatnya, yang berarti saya tidak bisa merekam sinyal dengan cara yang pasti terbaca. Saya bisa saja membuat kopi untuk Anda, tapi saya tidak bisa menjamin bahwa hasilnya sempurna, karena saya tidak bisa mencocokkan fonnatnya. Jadi, kalau
memang ada masalah hukum - dan saya kira ada - Anda terpaksa membawa kaset-kaset ini ke tempat lain untuk membuat kopi." "Ke mana, misalnya.?" "Ini mungkin format D-empat yang baru. Kalau memang itu, satu-satunya tempat untuk membuat kopi adalah Hamaguchi." "Hamaguchi?" "Lab penelitian di Glendale, milik Kawakami Industries. Setiap perlengkapan video yang ada di muka bumi ini ada di sana." Aku berkata, "Menurut Anda, mereka akan membantu saya?" "Sekadar membuat kopi? Tentu. Saya kenal salah satu direktur lab, Jim Donaldson. Kalau perlu, saya bisa meneleponnya untuk Anda." "Itu akan sangat membantu." "Beres."
Bab 25
HAMAGUCHI RESEARCH INSTITUTE menempati sebuah gedung kaca tanpa ciri khas di kawasan industri di sebelah utara Glendale. Aku memasuki lobi sambil membawa kotakku. Di balik meja penerima tamu yang bergaya modern, aku melihat sebuah atrium di bagian tengah gedung, dengan lab-lab berkaca gelap di semua sisinya. Aku menanyakan Dr. Jim Donaldson, lalu duduk di lobi.
Sementara aku menunggu, dua pria berjas melangkah masuk. Dengan gaya akrab mereka menganggukkan kepala kepada petugas penerima tamu, lalu duduk di sofa di dekatku. Tanpa memperhatikanku, mereka menggelar brosur-brosur mengilap di meja. "Nah, ini," ujar salah seorang dari mereka, "ini yang kumaksud. Ini adegan terakhir. Adegan penutup." Aku melirik ke arah mereka dan melihat pemandangan bunga-bunga liar dan gunung-gunung berselubung salju. Pria pertama tadi mengetuk-ngetuk foto-foto itu. "Rocky Mountains. Americana sejati. Percayalah, inilah daya tarik utamanya Dan lahannya benar-benar luas." "Seberapa luas katamu tadi?" "Seratus tiga puluh ribu ekar. Lahan paling luas yang masih tersedia di Montana. Dua puluh kali sepuluh kilometer tanah peternakan terbaik, menghadap ke Rockies. Lahan seluas itu pantas disebut taman nasional. Bayangkan kemegahannya. Dimensinya. Kualitas terbaik. Cocok sekali untuk konsorsium Jepang." "Dan mereka sudah menyinggung harga?" "Belum. Tapi para peternak, kau tahu sendiri, situasi
mereka pelik. Orang asing kini boleh mengekspor daging sapi ke Tokyo, dan harga daging sapi di Jepang sekitar 20 sampai 22 dolar sekilo. Tapi tak seorang pun di Jepang mau beli daging sapi asal Amerika. Kalau orang Amerika mengirim daging, dagingnya akan membusuk di dermaga. Tapi kalau peternakan mereka dijual kepada orang Jepang, dagingnya bisa diekspor. Sebab orang Jepang mau beli dari peternakan milik orang Jepang. Orang Jepang mau melakukan bisnis dengan sesama orang
Jepang. Di mana-mana di Montana dan Wyoming sudah banyak peternakan yang dijual. Para. peternak yang masih bertahan kini bisa melihat koboi-koboi Jepang berkuda di padang rumput. Mereka melihat peternak-peternak lain melakukan perbaikan, membangun gudang jerami, menambahkan perlengkapan modern, dan sebagainya. Sebab peternak-peternak lain itu memperoleh harga tinggi di Jepang. Nah, para peternak Amerika, mereka tidak bodoh. Mereka bisa membaca gelagat. Mereka sadar bahwa mereka tak dapat bersaing. Jadi mereka pun menjual." "Tapi setelah itu, apa yang dilakukan orang-orang Amerika itu?" "Mereka tetap tinggal di tempat dan bekerja untuk orang Jepang. Tak ada masalah. Orang Jepang membutuhkan orang untuk mengajarkan cara beternak pada mereka. Dan semua pekerja memperoleh kenaikan gaji. Orang Jepang peka terhadap perasaan orang Amerika. Mereka bangsa yang peka." "Aku tahu, tapi aku tetap tidak suka. Aku tidak suka semuanya ini." "Boleh-boleh saja, Ted. Tapi apa yang akan kaulakukan? Menulis surat protes kepada anggota Kongres? Mereka
semua bekerja untuk orang Jepang. Asal tahu saja, orang Jepang menjalankan peternakan-peternakan itu dengan subsidi dari pemerintah Amerika.” Pria pertama memutar-mutar gelang emas di pergelangan tangannya. Ia merapatkan badan ke rekannya. "Begini, Ted. Jangan sok moralis. Kau dan aku, kita sama-sama butuh kontrak ini. Ingat, kita bakal dapat lima persen dan pembayaran selama lima tahun dari transaksi senilai 700 juta dolar. Jangan lupa itu. Kau sendiri akan memperoleh 2,4 juta, dan itu baru untuk tahun pertama. Masih ada empat tahun lagi."
"Memang. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal.” "Ted, aku yakin hati nuranimu takkan mengganggumu lagi pada waktu kontrak ini ditandatangani. Tapi sekarang masih ada beberapa detail yang perlu kita bahas..." Saat itu, mereka rupanya baru sadar bahwa aku mendengarkan percakapan mereka. Mereka langsung berdiri dan pindah ke tempat yang agak jauh. Aku mendengar pria pertama mengatakan sesuatu mengenai "jaminan bahwa Negara Bagian Montana menyetujui dan mendukung..." Rekannya mengangguk pelan-pelan. Pria pertama menonjok bahunya berusaha menghiburnya. "Letnan Smith?" Seorang wanita berdiri di samping tempat dudukku. "Ya?" "Saya Kristen, asisten Dr. Donaldson. Kevin dari LTJ sudah menelepon ke sini. Katanya Anda butuh bantuan
dengan beberapa kaset video?" "Ya, saya ingin membuat kopi." "Masalahnya, bukan saya yang menerima telepon dari Kevin tadi. Dia bicara dengan salah satu sekretaris, dan orang itu tidak memahami situasinya. " "Maksud Anda?" "Dr. Donaldson sedang keluar. Dia memberikan ceramah pagi ini." "Oh, begitu." "Dan ini agak menyulitkan bagi kami. Tanpa dia di lab..." "Saya hanya ingin membuat kopi dari kaset-kaset ini. Barangkali ada orang lain yang bisa membantu saya?" ujarku.
“Biasanya bisa, tapi sayang sekali hari ini tidak.” Aku menghadapi tembok Jepang. Sangat sopan, namun tetap sebuah tembok. Aku menghela napas. Memang sudah dapat diduga bahwa perusahaan riset Jepang takkan mau membantuku. Biarpun sekadar membuat kopi dari kaset-kaset video. "Saya mengerti.” "Pagi ini belum ada orang di lab. Semalam semuanya bekerja lembur karena ada proyek yang harus segera selesai, dan sepertinya mereka baru pulang menjelang dini hari. Jadi sekarang semuanya masuk agak siang. Inilah yang tidak diketahui oleh sekretaris tadi. Sayang sekali kami tidak dapat membantu Anda." Aku mencoba sekali lagi. "Anda tahu, bukan, saya bekerja untuk Kepala Departemen Polisi. Ini tempat kedua yang saya datangi. Saya sudah didesak-desak dari atas agar kaset-kaset ini segera dikopi." "Saya ingin sekali membantu Anda. Dan saya tahu Dr.
Donaldson juga begitu. Kami sudah pernah mengedakan tugas khusus untuk kepolisian. Dan saya yakin, kami sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang Anda bawa. Mungkin nanti siang. Atau jika Anda bisa meninggalkan kaset-kaset itu..." "Maaf, rasanya tak mungkin." "Oke. Saya mengerti. Baiklah, saya sangat menyesal, Letnan. Barangkali Anda bisa kembali nanti siang?" Aku berkata, "Kelihatannya saya tidak ada waktu lagi. Mungkin saya memang kurang beruntung, karena semua orang terpaksa bekerja lembur semalam." "Ya. Ini memang tidak biasa."
"Ada apa sebenarnya? Masalah mendadak? Masalah riset?" "Saya kurang tahu. Peralatan video di sini begitu lengkap, sehingga kami kadang-kadang menerima permintaan mendadak untuk mengerjakan tugas khusus. Iklan TV yang memerlukan efek khusus, misalnya. Video Michael Jackson yang baru untuk Sony. Atau jika seseorang ingin memperbaiki rekaman yang sudah rusak. Tapi saya kurang tahu apa yang mereka kerjakan semalam. Kecuali bahwa banyak sekali yang harus dikerjakan. Ada sekitar dua puluh kaset yang perlu ditangani. Dan semuanya harus selesai cepat. Saya dengar mereka baru selesai setelah tengah malam." Dalam hati aku berkata, "Jangan-jangan..." Aku berusaha mereka-reka tindakan Connor dalam
situasi seperti ini, bagaimana ia akan menanganinya. Akhirnya aku memutuskan bahwa tak ada salahnya mencoba-coba. Aku berkata, "Hmm, saya yakin pihak Nakamoto berterima kasih sekali atas segala jerih payah Anda." "Oh, memang. Sebab hasilnya sangat memuaskan bagi mereka. Mereka senang sekali." Aku berkata, "Tadi Anda menyinggung bahwa Mr. Donaldson sedang memberi ceramah..." "Dr. Donaldson, ya..." "Di mana dia memberikan ceramahnya?" "Di sebuah seminar corporate-training di Bonaventure Hotel. Teknik manajemen dalam riiset. Dia tentu letih sekali pagi ini. Tapi dia memang penceramah yang hebat." "Thanks." Kuserahkan kartu namaku. "Anda sangat
membantu, dan bila Anda tiba-tiba teringat sesuatu, atau jika Anda ingin memberitahukan sesuatu, silakan telepon saya." "Oke." Ia membaca kartu namaku. "Terima kasih." Aku berbalik. Ketika aku hendak pergi, seorang pria Amerika berusia menjelang tiga puluh, dengan jas Armani dan penampilan rapi seorang MBA yang gemar membaca majalah mode, turun dan berkata kepada kedua pria tadi, "Gentlemen? Mr. Nakagawa sudah siap menerima Anda sekarang." Kedua pria itu langsung berdiri, mengumpulkan brosur-brosur dan foto-foto mereka, lalu mengikuti asisten yang sedang menuju lift dengan langkah tenang dan terukur. Aku melangkah keluar, ke udara yang penuh kabut dan asap.
Bab 26
PAPAN pengumuman di koridor itu bertulisan: BEKERJA SAMA: MANAJEMEN GAYA JEPANG DAN AMERIKA. Di dalam ruang konferensi, aku melihat sebuah seminar bisnis yang diselenggarakan dalam suasana remang-remang. Pria dan wanita duduk di meja-meja panjang yang ditutupi taplak berwarna abu-abu, sibuk membuat catatan; sementara sang Penceramah berkhotbah di podium. Ketika aku berdiri di sana, di hadapan sebuah meja dengan papan nama orang-orang yang datang terlambat, seorang wanita berkacamata menghampiriku dan berkata,
"Anda sudah mendaftar? Bahan-bahan seminar sudah diberikan kepada Anda?" Aku setengah berbalik dan menunjukkan lencanaku. Aku berkata, Saya ingin bicara dengan Dr. Donaldson." "Dia pembicara berikut. Dalam tujuh atau delapan menit dia sudah harus tampil d i depan. Barangkali ada orang lain yang dapat membantu Anda?" "Saya hanya perlu bicara sebentar.” Wanita itu tampak ragu-ragu. "Tapi waktunya tinggal sedikit sebelum dia harus maju..." "Kalau begitu, sebaiknya Anda segera bertindak."
Ia menatapku, seakan-akan aku baru saia menamparnya. Aku tidak tahu apa yang diharapkannya. Aku petugas polisi dan perlu menemui seseorang. Apakah ia mengira permintaanku bisa ditawar-tawar? Aku merasa jengkel, lalu teringat pada anak muda dengan jas Armani tadi. Berjalan dengan langkah terukur, seperti orang penting, ketika
mengantar kedua salesmen real estate. Kenapa ia menganggap dirinya penting? Barangkali ia memang memegang gelar MBA, tapi ia tetap hanya petugas penerima tamu bagi bosnya yang berasal dari Jepang. Kini aku memperhatikan wanita itu berjalan mengelilingi ruang konferensi, menuju mimbar tempat empat pria sedang menanti giliran bicara. Para peserta seminar masih sibuk membuat catatan ketika pembicara berambut kuning pasir di podium berkata, "Sebenarnya ada tempat bagi orang asing dalam perusahaan Jepang. Bukan di posisi puncak, tentu saja, mungkin juga bukan di eselon-eselon atas. Tapi yang jelas, ada tempat. Anda perlu menyadan bahwa sebagai orang asing, Anda menempati posisi penting di dalam perusahaan Jepang, bahwa Anda
dihormati, dan bahwa ada tugas yang harus Anda kerjakan. Sebagai orang asing, tentu ada rintangan khusus yang perlu Anda atasi, tetapi Anda dapat melakukannya. Anda bisa berhasil jika Anda berpegang pada konsep tahu diri." Aku mengamati para peserta seminar yang duduk dengan kepala merunduk, sibuk membuat catatan. Apa yang sedang mereka tulis? Konsep tahu diri? Pembicara itu melanjutkan, "Sering kali
Anda mendengar para eksekutif berkata, 'Di perusahaan Jepang tidak ada tempat bagi saya, dan saya terpaksa berhenti.' Ada juga yang mengeluh, 'Mereka tidak mau mendengarkan saya, tidak ada kesempatan untuk mewujudkan gagasan-gagasan saya, tidak ada peluang untuk maju.' Orang-orang itu tidak memahami peranan orang asing dalam masyarakat Jepang. Mereka tidak mampu menyesuaikan diri, sehingga terpaksa mundur. Tapi itu masalah mereka. Orang Jepang bersedia menerima orang Amerika atau orang asing lainnya di dalam perusahaan-perusahaan mereka. Anda pun akan diterima, asal Anda tahu diri." Seorang wanita mengacungkan tangan dan berkata, "Bagaimana dengan prasangka terhadap wanita di perusahaan-perusahaan Jepang?" "Tidak ada prasangka terhadap wanita," ujar si Penceramah. "Saya mendengar bahwa wanita tidak bisa maju.” "Itu tidak benar." "Lalu kenapa ada begitu banyak perkara hukum? Sumitomo Corporation baru saja berdamai menghadapi tuntutan antidiskriminasi. Saya pernah missing
Begitulah ia menjalankan tugasnya. Segala sesuatu siap di hadapannya, dan ia bisa membuat catatan di komputernya sambil berbicara. Ketika aku masih bertugas
di bagian pers, kantorku berada di markas polisi di Parker Center, dua blok dari gedung Times. Namun seorang wartawan seperti Ken tetap saja lebih suka bicara lewat telepon daripada berhadapan langsung denganku. "Kau saja yang mampir, Pete." Itu sudah cukup jelas. Ken tidak ingin bicara lewat telepon. "Oke, baiklah," kataku. "Sepuluh menit lagi aku sudah sampai di sana."
Bab 27
LOS ANGELES TIMES merupakan koran dengan laba terbesar di Amerika. Ruang wartawannya menghabiskan satu lantai di gedung Times, jadi luasnya satu blok. Ruangan itu dibagi-bagi secara cermat, sehingga kita tidak sadar akan dimensinya dan bahwa ada ratusan orang yang bekerja di sana. Tapi rasanya kita bisa berjalan berhari-hari melewati wartawan-wartawan yang duduk di meja masing-masing, berhadapan dengan monitor komputer, pesawat telepon, dan foto anak-anak yang mereka tempelkan. Tempat kerja Ken berada di bagian Metro, di sisi timur gedung. Ketika aku sampai, ia sedang berdiri di dekat mejanya. Berjalan mondar-mandir. Menunggu. Ia langsungmenarik sikutku.
"Kopi," katanya. "Kita minum kopi dulu." "Ada apa ini?" ujarku. "Kau keberatan kalau ada yang melihatmu bersamaku?" "Bukan itu. Aku mau menghindari si Musang. Dia lagi mengganggu cewek baru di bagian Luar Negeri. Cewek itu
belum tahu siapa dia." Ken mengangguk ke ujung ruang wartawan. Di sana, di dekat jendela, aku melihat sosok Willy Wilhelm, yang dikenal semua orang sebagai Willy Musang. Ia sedang bercanda dengan seorang wanita muda yang duduk menghadapi komputer. "Cantik juga." , "Yeah. Tapi agak keberatan pantat. Orang Belanda," ujar Ken. "Baru seminggu di sini. Dia belum tahu reputasi si Musang." Hampir semua organisasi mempunyai orang seperti si Musang, seseorang yang dikuasai ambisi pribadi, seseorang yang pintar mengambil hati orang-orang yang berkuasa, sementara ia sendiri dibenci oleh semua orang lain. Itulah Willy Musang. Seperti sebagian besar orang yang tidak jujur, si Musang selalu berprasangka buruk terhadap orang lain. Setiap kejadian selalu diceritakannya dari sudut yang paling tidak menguntungkan, dengan berkeras bahwa ia sekadar mengungkapkan fakta. Ia mempunyai penciuman tajam untuk kelemahan manusia, dan cenderung bersikap melodramatis. Ia tak peduli pada kebenaran, dan pemberitaan yang seimbang dianggapnya sebagai tanda kelemahan. Menurut si Musang, kebenaran hakiki selalu salah. Inilah pedomannya dalam menjalankan profesi. Para wartawan Times yang lain membencinya. Ken dan aku pergi ke koridor utama. Aku mengikutinya ke arah otomat kopi, tetapi ia mengajakku memasuki perpustakaan. Di tengah-tengah lantai itu, harian Times memiliki
perpustakaan yang lebih luas dan lebih lengkap dibandingkan dengan perpustakaan di banyak perguruan tinggi. "Jadi, ada apa dengan Wilhelm?" kataku. "Dia ada di sini semalam," ujar Ken. "Aku mampir di sini setelah nonton teater, untuk mengambil bebempa catatan yang kuperlukan untuk wawancara jarak jauh yang kulakukan dari rumah. Dan kulihat si Musang di perpustakaan. Kira-kira jam sebelas malam. Kau tahu sendiri betapa ambisius bajingan itu. Aku bisa melihatnya di wajahnya. Dia telah mencium darah. Bagaimana, kau ingin tahu lebih banyak mengenai ini?" "Tentu saja," kataku. Si Musang terkenal pandai menikam orang dari belakang. Setahun lalu, ia berhasil mendongkel editor Sunday Calendar, dan baru pada saat terakhir ia gagal menduduki posisi itu. Ken berkata, "Jadi, aku berbisik pada Lily, petugas perpustakaan yang dinas malam, 'Ada apa ini? Apa rencana si Musang?' Dia berkata, 'Dia lagi memeriksa catatan polisi mengenai seorang petugas polisi.' Aku langsung lega. Tapi kemudian aku mulai heran. Sampai sekarang aku masih wartawan Metro paling senior. Aku masih sering meliput berita dari Parker Center. Mana mungkin dia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui? Seharusnya aku yang meliput berita itu. Jadi aku ber tanya pada Lily, siapa petugas polisi itu." "Biar kutebak saja," kataku. "Betul," ujar Ken. "Peter J. Smith." "Jam berapa itu?" "Sekitar jam sebelas."
"Bagus," kataku. "Kupikir kau ingin diberitahu mengenai ini," kata Ken. "Memang." "Jadi aku bilang pada Lily – semalam - aku bilang, Lily, bahan apa saja yang dia ambil? Dan ternyata dia mengambil segala sesuatu, apa saja yang ada di dalam arsip. Kelihatannya dia punya sumber di Parker Center yang membocorkan informasi rahasia. Ada catatan mengenai kasus penganiayaan anak kecil beberapa tahun lalu:" "Ah, brengsek," kataku. "Apa benar?" tanya Ken. "Memang sempat ada pemeriksaan," ujarku. "Tapi semuanya hanya omong kosong." Ken menatapku. "Coba ceritakan." "Kejadiannya tiga tahun lalu. Waktu aku masih bertugas sebagai detektif. Partnerku dan aku menerima panggilan kekerasan rumah tangga di Ladera Heights. Suami-istri Latin, bertengkar. Kedua duanya mabuk berat. Wanita itu mendesak agar aku menahan suaminya, dan waktu aku menolak; dia bilang suaminya menganiaya bayi mereka secara seksual. Lalu kuperiksa bayi mereka. Tampaknya baik-baik saja. Aku tetap menolak untuk menahan si suami. Wanita itu marah-marah. Besoknya dia datang ke markas dan menuduh bahwa aku melakukan penganiayaan seksual. Sempat ada pemeriksaan pendahuluan. Akhirnya tuduhan dibatalkan karena dianggap tidak berdasar." "Oke," kata Ken. "Sekarang ini, kau pernah melakukan perjalanan yang tidak jelas tujuannya?" Aku mengerutkan kening. "Perjalanan?"
"Semalam, si Musang berusaha mengumpulkan catatan perjalananmu. Perjalanan naik pesawat, perjalanan dinas
sambil berfoya-foya, biaya ditanggung orang lain..." Aku menggelengkan kepala. "Tidak pernah." "Yeah, aku memang sudah menduga bahwa dia keliru mengenai ini. Kau orangtua tunggal, kau takkan berpelesiran." "Tidak mungkin." "Bagus." Kami menyusuri rak-rak buku. Kami sampai di salah satu bagian perpustakaan tempat kami dapat melihat bagian Metro melalui dinding kaca. Sl Musang ternyata masih mengobrol dengan wanita muda tadi. Aku berkata, "Ada satu hal yang tidak kumengerti, Ken. Kenapa aku? Aku tidak punya masalah dengan siapa pun. Tidak ada kontroversi. Sudah tiga tahun aku tidak bekerja sebagai detektif. Aku bahkan bukan petugas pers lagi. Aku bekerja sebagai penghubung. Pekerjaan ku bersifat politik. Jadi, kenapa aku diincar wartawan Times?" "Jam sebelas malam pada malam Jumat, maksudmu?" ujar Ken. Ia menatapku, seakan-akan aku orang paling tolol di seluruh dunia. Seakan-akan ada ludah yang menetes dari daguku. Aku berkata, "Kaupikir ini ulah orang-orang Jepang?" "Kupikir si Musang menawarkan jasanya kepada umum. Dia bajingan yang bisa disewa. Dia bekerja untuk studio film, perusahaan rekaman, perusahaan pialang, bahkan untuk broker real estate. Dia bertindak sebagai konsultan. Asal tahu saja, si Musang sekarang naik Mercedes 500SL." “O, ya?"
"Untuk ukuran wartawan, lumayan juga, bukan?" "Yeah." "Nah. Kau pernah menyinggung perasaan seseorang?
Semalam, barangkali?" "Mungkin." "Sebab ada yang menelepon si Musang untuk melacak segala gerak-gerikmu." Aku berkata, "Ini tidak masuk akal." "Tapi ini kenyataan," ujar Ken. "Satu-satunya yang membuatku khawatir adalah sumber informasi si Musang di Parker Center. Seseorang di sana membocorkan informasi rahasia. Kau punya musuh di markasmu?" "Setahuku tidak ada." "Syukurlah. Sebab si Musang sudah mulai menjalankan siasatnya. Tadi pagi aku sempat bicara dengan Roger Roscomb, penasihat kami di sini." "Dan?" "Coba tebak siapa yang meneleponnya semalam, serba genting? Si Musang. Dan kau mau tahu apa yang ditanyakannya?" Aku diam saja. "Pertanyaannya, apakah petugas penghubung pers termasuk orang yang menjadi milik umum? Orang yang tidak bisa menuntut karena difitnah?" Aku bergumam, "Astaga." "Itulah." "Dan jawabannya?"
"Masa bodoh dengan jawabannya. Kau tahu sendiri bagaimana cara kerjanya. Si Musang hanya perlu menelepon beberapa orang dan berkata 'Halo, ini Bill Wilhelm dari LA. Times. Besok kami akan memuat berita bahwa Letnan Smith pernah menganiaya anak kecil. Bagaimana komentar Anda?' Dengan beberapa kali menelepon ke alamat yang tepat, artikel itu bahkan tidak
perlu dimuat. Para editor bisa saja membatalkannya, tapi kau tetap akan kena getahnya." Aku membisu. Aku tahu bahwa Ken benar. Sudah lebih dari sekali aku melihat hal itu terjadi. Aku berkata, "Apa yang bisa kulakukan?" Ken tertawa. "Kau bisa mengatur insiden kekerasan polisi L.A. yang terkenal." "Itu tidak lucu." "Sumpah, tak seorang pun di harian ini akan meliputnya. Kalau perlu, kau malah bisa membunuhnya. Dan kalau ada yang merekamnya dengan kamera video? Hei, orang-orang di sini bersedia membayar untuk menontonnya." "Ken." Ken menghela napas. "Mimpi yang indah. Oke. Ada satu hal. Tahun lalu, setelah Wilhelm terlibat dalam... ehm... perubahan manajemen di Calendar, aku terima surat kaleng. Begitu juga beberapa orang lain. Waktu itu tidak ada yang bereaksi. Permainannya agak jorok. Kau tertarik?" "Yeah." Ken mengeluarkan sebuah amplop coklat dari kantong jasnya. Amplop itu dilengkapi sepotong tali untuk menutupnya. Di dalanrnya ada sejumlah foto, dicetak
berurutan. Willy Wilhelm terlihat sedang berhubungan intim dengan pria berambut gelap. Wajahnya terbenam di pangkuan orang itu. "Muka Willy kurang jelas," ujar Ken, "tapi ini memang dia. Foto seorang wartawan yang sedang menjamu sumber informasinya. Bisa dibilang, minum-minum bersama." "Siapa orang itu?" "Mencari identitasnya ternyata makan waktu agak lama. Namanya Barry Borman. Dia kepala divisi penjualan Kaisei
Electronics untuk California bagian selatan." "Apa yang bisa kulakukan dengan foto-foto ini?" "Mana kartu namamu?" ujar Ken. "Biar kutempel ke amplop ini. Nanti kusuruh orang mengantarnya kepada si Musang." Aku menggelengkan kepala. "Sebaiknya jangan." "Tapi dia pasti akan berpikir dua kali." "Jangan," kataku. "Aku tidak suka cara seperti ini." Ken mengangkat bahu. "Yeah. Mungkin memang tidak ada gunanya. Biarpun kita tekan si Musang, orang-orang Jepang itu pasti masih punya jalan lain. Aku tetap belum tahu bagaimana artikel itu sampai bisa dimuat semalam. Yang kudengar cuma, 'Perintah dari atas, perintah dari atas.' Entah apa artinya." "Tapi pasti ada yang menulisnya." "Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak berhasil menggali informasi lebih lanjut. Tapi orang Jepang punya pengaruh besar di harian ini. Bukan hanya karena iklan-iklan yang mereka pasang. Bukan hanya karena mereka punya petugas humas yang hebat di Washington,
atau karena mereka jago lobi, atau karena sumbangan yang mereka berikan kepada tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi politik. Keseluruhannya yang menentukan. Dan keadaan ini sudah mulai membahayakan.
Bayangkan saja, kadang-kadang kita sedang mengikuti rapat staf untuk membahas beberapa artikel yang mungkin akan dimuat, dan tiba-tiba kita sadar bahwa tak ada yang mau membuat mereka tersinggung. Tak jadi masalah apakah sebuah artikel benar atau salah, berita atau bukan. Dan masalahnya juga lebih pelik dari 'Kita tidak bisa memuat ini, sebab mereka akan membatalkan pemasangan iklan.' Urusannya jauh lebih rumit. Kadang-kadang aku memandang para editor di sini, dan aku tahu bahwa mereka keberatan terhadap cerita-cerita tertentu karena mereka takut. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka takutkan. Mereka cuma takut." "Tamatlah kebebasan pers." "Hei," ujar Ken. "Ini bukan waktunya untuk mengumandangkan idealisme mahasiswa. Kau tahu sendiri bagaimana situasinya. Pers Amerika memberitakan pendapat umum. Pendapat umum adalah pendapat kelompok yang sedang berkuasa. Dan sekarang ini orang Jepang yang berkuasa. Pihak pers memberitakan pendapat umum seperti biasa. Tak ada yang perlu dipertanyakan. Pokoknya, berhati-hatilah." "Oke. "Dan jangan ragu-ragu meneleponku
jika kau memutuskan untuk menggunakan jasa pos."
Aku perlu berbicara dengan Connor. Aku mulai paham kenapa Connor begitu cemas, dan kenapa ia ingin
merampungkan penyelidikan ini secepat mungkin. Sebab fitnah yang dilontarkan secara cermat merupakan senjata yang mengerikan. Seseorang yang terampil dalam hal ini dan si Musang termasuk terampil - akan mengatur agar selalu ada berita baru, hari demi hari, biarpun tak ada perkembangan sama sekali. Kita membaca judul berita seperti JURI AGUNG BELUM SEPAKAT MENGENAI KESALAHAN PETUGAS POLISI atau JAKSA WILAYAH TIDAK BERSEDIA MENUNTUT POLISI YANG DITUDUH BERSALAH. Akibat yang ditimbulkan judul berita seperti itu sama buruknya dengan keputusan bersalah. Dan tak ada cara untuk pulih dari pemberitaan negatif selama berminggu-minggu. Semua orang mengingat tuduhan yang dilontarkan. Tak seorang pun mengingat bukti tak bersalah yang terungkap. Begitulah sifat manusia. Sekali kita menjadi tertuduh, sulit sekali untuk kembali ke kehidupan normal. Keadaannya mulai mengkhawatirkan, dan aku dihantui firasat buruk. Aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, ketika aku memasuki lapangan parkir di sebelah Departemen Fisika di U.S.C. dan telepon mobitku berdering. Ternyata Jim Olson. "Peter." "Ya, Sir." "Sudah hampir jam sepuluh. Seharusnya kau sudah
datang ke sini untuk menyerahkan kaset-kaset video itu. Kau sudah berjanji tadi." "Aku mengalami kesulitan untuk membuat kopinya." "Itu yang kaulakukan dari tadi?" "Ya. Kenapa?"
"Sebab berdasarkan telepon-telepon yang kuterima, aku mendapat kesan bahwa kau belum menutup kasus ini," ujar Jim Olson. "Dalam satu jam terakhir, kau mencari informasi di sebuah lembaga riset Jepang. Setelah itu kau menginterogasi seorang ilmuwan yang bekerja untuk sebuah lembaga riset Jepang. Kau muncul di sebuah seminar Jepang. Terus-terang saja, Peter. Penyidikan ini sudah berakhir atau belum?" "Sudah," kataku. "Aku hanya ingin membuat kopi dari kaset-kaset ini." "Pastikan bahwa kau tidak melangkah lebih jauh dari itu," ia berpesan. "Oke, Jim." "Demi kepentingan seluruh Departemen - dan semua orang yang ada di sini - kuminta kasus ini ditutup." "Oke, Jim." "Aku tak ingin situasi ini sampai lepas kendali." "Aku mengerti.” "Mudah-mudahan saja," katanya. "Selesaikan urusanmu, lalu datang ke sini. Segera." Ia meletakkan gagang telepon. Aku memarkir mobil dan memasuki gedung fisika.
Bab 28
AKU menunggu di sudut ruang kuliah sementara Phillip Sanders menyelesaikan kuliahnya. Ia berdiri di hadapan
papan tulis yang dipenuhi rumus-rumus rumit. Ada sekitar tiga puluh mahasiswa di dalam ruang kuliah, sebagian
besar duduk di bagian depan. Hanya bagian belakang kepala mereka yang terlihat dari tempatku menunggu. Dr. Sanders berusia empat puluhan. Ia termasuk orang yang penuh energi, tak bisa diam, selalu mondar-mandir, menunjuk-nunjuk persamaan-persamaan di papan tulis dengan sepotong kapur sambil membahas signal covariant ratio detennination dan factorial delta bandwith noise. Aku bahkan tak sanggup menebak apa yang diajarkannya. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa bidangnya adalah teknik listrik. Ketika bel tanda kuliah telah usai berbunyi, seluruh kelas berdiri dan meraih tas masing-masing. Aku terperanjat; hampir semua peserta berasal dari Asia, baik para pria maupun para wanita. Mereka yang bukan dari Timur Jauh berasal dari India atau Pakistan. Dari tiga puluh mahasiswa, hanya tiga yang berkulit putih. "Memang benar," ujar Sanders kemudian, ketika kami menyusuri selasar menuju laboratoriumnya. "Mahasiswa Amerika tidak berminat pada mata kuliah seperti Fisika 101. Sudah bertahun-tahun begitu. Pihak industri pun mengalami kesulitan serupa. Kita pasti akan kewalahan seandainya tidak ada orang-orang Timur Jauh atau orang-orang India yang datang untuk meraih gelar doktor dalam bidang matematika atau bidang teknik, lalu bekerja untuk perusahaan-perusahaan Amerika." Kami menuruni sebuah tangga, kemudian membelok ke kiri. Kami berada di selasar di basement. Sanders berjalan dengan cepat. "Masalahnya,
keadaannya mulai berubah," ia melanjutkan. "Para mahasiswa saya yang berasal dari Asia mulai pulang ke tempat asal masing-masing. Orang-orang Korea kembali ke Korea. Sama halnya dengan orang-orang
Taiwan. Orang-orang India pun mulai pulang ke sana. Taraf hidup di negara-negara mereka semakin meningkat, dan di sana sekarang lebih banyak peluang. Beberapa dari negara-negara asing ini mempunyai tenaga terlatih dalam jumah besar." Kami kembali menuruni tangga. "Anda tahu kota mana yang menduduki peringkat pertama dalam jumlah doktor per kapita?" "Boston?" "Seoul, Korea. Ingat itu pada waktu kita lepas landas menuju abad ke-21." Kini kami menyusuri selasar lain lagi. Kemudian keluar sebentar, ke bawah cahaya matahari, melewati selasar beratap, lalu masuk ke bangunan lain. Berulang kali Sanders melirik ke belakang, seakan-akan takut aku tertinggal. Tapi ia tak pernah berhenti berbicara. "Dan berhubung mahasiswa-mahasiswa pulang ke negara masing-masing, kini kita menghadapi kekurangan tenaga untuk melakukan penelitian di Amerika. Jumlah tenaga terlatih tidak memadai. Bahkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti IBM pun mulai
mengalami kesulitan. Tenaga terlatih benar-benar tidak dapat ditemukan. Awas, pintu." Pintu yang dimaksudnya mengayun ke arahku. Aku melangkah masuk. Aku berkata, "Tapi kalau kesempatan kerja di bidang high-tech begitu luas, bukankah para mahasiswa akan tertarik?" "Tetap kalah dengan bidang perbankan investasi. Atau hukum." Sanders tertawa. "Amerika mungkin kekurangan ahli teknik dan ilmuwan, tapi kita tetap nomor satu dalam mencetak sarjana hukum. Setengah dari pengacara di seluruh dunia berada di Amerika. Bayangkan itu." Ia
menggelengkan kepala. "Kita punya empat persen populasi dunia. Kita menguasai delapan belas persen perekonomian dunia. Tapi kita punya lima puluh persen - dari seluruh pengacara di dunia. Dan setiap tahun - ada 35.000 sarjana hukum baru. Ke sanalah arah produktivitas kita. Itulah fokus nasional kita. Setengah dari acara TV kita menyangkut pengacara. Amerika telah menjadi Negeri Pengacara. Semua orang saling menuntut. Semua orang berselisih paham. Semua orang lari ke pengadilan. Habis, tiga perempat juta pengacara Amerika harus mempunyai sesuatu untuk menyibukkan diri. Mereka harus memperoleh 300.000 setahun. Negara-negara lain pikir kita gila." Ia membuka kunci pada sebuah pintu. Aku melihat papan nama LABORATORIUM PENGOLAHAN GAMBAR TINGKAT LANJUT yang ditulis dengan tangan, serta sebuah anak panah. Sanders mengajakku menyusuri selasar panjang di basement. "Anak-anak kita yang paling cerdas pun dididik secara buruk. Anak-anak Amerika yang paling pintar kini
menduduki peringkat dua belas di dunia, setelah negara-negara industri di Asia dan Eropa. Dan ini yang paling pintar. Di bawah lebih buruk lagi. Sepertiga lulusan high sehool tidak bisa membaca jadwal keberangkatan bus. Mereka buta huruf." Kami tiba di ujung selasar dan membelok ke kanan. "Dan anak-anak yang saya temui rata-rata malas. Tak ada yang mau bekerja dengan giat. Saya mengajar fisika. Untuk menguasai bidang ini diperlukan waktu bertahun-tahun. Tapi semua anak ingin berpakaian seperti Charlie Sheen dan menghasilkan sejuta dolar sebelum usia
28. Satu satunya cara untuk mendapatkan uang sebanyak
itu adalah dengan terjun ke dunia hukum, perbankan, atau Wall Street. Tempat-tempat yang menghasilkan keuntungan kertas. Tapi itulah cita-cita anak-anak sekarang." "Mungkin di U.S.C." "Percayalah. Di mana-mana. Semuanya nonton.” Ia membuka sebuah pintu. Lagi-lagi sebuah koridor. Yang ini berbau apak, lembap.
"Saya tahu, saya tahu. Pandangan saya kuno," ujar Sanders. "Saya masih percaya bahwa setiap manusia mempunyai peran tertentu. Anda mempunyai peran tertentu. Saya mempunyai peran tertentu. Hanya dengan berada di planet ini, dengan mengenakan baju yang kita pakai, kita semua mempunyai peran tertentu. Dan di sudut terpencil ini," ia berkata, "kami berperan mengungkapkan kebenaran. Kami menganalisis siaran berita untuk menentukan bagian mana saja yang telah dimanipulasi. Kami menganalisis iklan-iklan TV dan menunjukkan trik-trik yang dipakai..." Sanders berhenti mendadak "Ada apa?" "Bukankah ada orang lain tadi?" ia bertanya. "Anda ditemani orang lain, bukan?" "Tidak. Saya sendirian." "Oh, syukurlah." Sanders kembali berjalan dengan cepat. "Saya selalu khawatir kehilangan orang di bawah sini. Ah, oke. Kita sudah sampai. Lab saya. Bagus. Pintunya belum pindah tempat " Penuh semangat ia membuka pintu itu. Aku menatap
ruangan di hadapanku, kaget. "Saya tahu, tempatnya kurang mengesankan," ujar Sanders. Dalam hati aku berkata, "Kurang mengesankan masih terlalu bagus." Aku menghadapi ruang bawah tanah yang penuh pipa-pipa berkarat dan kabel-kabel listrik yang tergantung dari langit-langit. Di beberapa tempat, lapisan linoleum berwarna hijau mulai terkupas di lantai, sehingga beton di bawahnya kelihatan jelas. Di sekeliling ruangan terdapat
meja-meja reyot, masing-masing dengan peralatan bertumpuk dan kabel-kabel bergelantungan di kiri-kanan. Di setiap meja ada mahasiswa yang duduk di depan beberapa monitor. Di sana-sini air tampak menetes ke dalam ember-ember. Sanders berkata, "Satu-satunya tempat yang tersedia adalah di basement, dan kami tidak punya dana untuk mengurus hal-hal sepele seperti langit-langit. Biar saja, itu tidak penting. Tapi awas, jaga kepala Anda. " Ia melangkah maju. Tinggi badanku sekitar 180 senti, tidak sampai enam kaki, dan aku terpaksa merunduk agar dapat memasuki ruangan itu. Dari suatu tempat di langit-langit di atas, aku mendengar bunyi memarut yang kasar. “Pemain ice skate," Sanders menjelaskan. "Maaf?" "Kita di bawah gelanggang ice skate. Lama-lama Anda akan terbiasa. Sebenarnya ini belum seberapa. Nanti sore, pada waktu mereka berlatih hoki es, nah, itu baru agak ribut." Kami masuk lebih jauh. Rasanya seperti berada di dalam
kapal selam. Aku mengamati para mahasiswa di tempat kerja mereka. Semuanya berkonsentrasi pada tugas masing-masing; tak ada yang menoleh ketika kami lewat. Sanders berkata, "Kaset video seperti apa yang hendak Anda kopi?" "Delapan milimeter, buatan Jepang. Rekaman keamanan. Mungkin agak sukar." "Sukar? Saya rasa tidak," ujar Sanders. "Anda tentu tidak tahu, dulu, waktu saya masih muda, saya yang menyusun hampir semua algoritma dasar untuk mempertajam gambar video. Misalnya menghilangkan titik-titik dan
inversi serta mempertajam garis tepi. Hal-hal seperti itulah. Dulu semua orang memakai kumpulan algoritma Sanders. Waktu itu saya masih mahasiswa pascasarjana di Cal Tech. Dan waktu luang saya manfaatkan dengan bekerja di LTJ. Jangan khawatir, kami pasti sanggup.” Aku menyerahkan sebuah kaset. Ia mengamatinya. "Hmm, manis." Aku berkata, "Apa yang terjadi? Dengan kumpulan algoritma Anda, maksud saya." "Waktu itu belum ada kegunaan komersial," katanya. "Dulu, di tahun delapan puluhan, perusahaan-perusahaan Amerika seperti RCA dan GE angkat kaki dari industri elektronik komersial. Program-program yang saya susun tidak bermanfaat di Amerika." Ia mengangkat bahu. "Jadi saya mencoba menjual semuanya kepada Sony, di Jepang." "Dan?" "Orang-orang Jepang ternyata telah memegang hak paten untuk produk-produk itu. Di Jepang." "Maksud Anda, mereka telah memiliki algoritma yang
sama?" "Bukan. Mereka hanya memegang hak paten. Di Jepang, urusan hak paten merupakan semacam perang. Orang Jepang tergila-gila pada hak paten. Dan mereka punya sistem yang aneh. Baru delapan tahun setelah permohonan diajukan kita memperoleh hak paten di Jepang, tetapi permohonan kita sudah diumumkan setelah delapan belas bulan. Dan tentu saja mereka tidak mempunyai kesepakatan lisensi timbal balik dengan Amerika. Ini salah satu cara agar mereka tetap lebih maju dari kita.” "Pokoknya, ketika sampai di Jepang, saya menemukan bahwa Sony dan Hitachi telah memegang hak paten serupa.
Mereka telah melakukan sesuatu yang dinamakan 'paten borongan'. Artinya, mereka telah mengajukan permohonan hak paten atas segala kegunaan yang dapat dihubunghubungkan. Mereka tidak memiliki hak untuk menggunakan kumpulan algoritma, tapi ternyata saya pun tidak memiliki hak itu. Karena mereka telah memegang hak paten atas penggunaan penemuan saya." Ia mengangkat bahu. "Memang agak sukar dijelaskan. Tapi itu dulu. Sekarang orang Jepang telah menciptakan perangkat lunak video yang jauh lebih rumit, jauh melebihi apa yang kita miliki. Kita tertinggal beberapa tahun dibandingkan dengan mereka. Tapi kami masih terus berjuang di lab ini. Ah. Ini orang yang kita perlukan. Dan. Kau sedang sibuk?" Seorang wanita muda mengalihkan pandangan dari monitor komputer. Mata besar, kacamata berbingkai tebal, rambut gelap. Wajahnya tertutup sebagian oleh pipa-pipa di langit-langit. "Kau bukan Dan," ujar Sanders dengan nada heran. "Di mana Dan, Theresa?" "Ada ujian tengah semester," jawab Theresa. "Saya
hanya membantu menjalankan progresi realtime ini. Sudah hampir selesai." Aku mendapat kesan bahwa ia lebih tua dari mahasiswa-mahasiswa yang lain. Sukar untuk mernastikan penyebabnya. Yang pasti bukan karena pakaiannya; ia memakai ikat rambut berwarna cerah, dan kaus U2 di bawah jaket jeans. Tetapi ia memiliki sikap
tenang yang membuatnya kelihatan lebih tua. "Kau bisa pindah ke tempat lain?" ujar Sanders sambil mengelilingi meja untuk menatap monitor. "Ada pekerjaan mendesak. Kita harus membantu polisi." Aku mengikuti Sanders, membungkuk agar tidak membentur pipa. "Bisa saja," kata wanita itu. Ia mulai mernatikan unit-unit di mejanya. Ia membelakangiku, dan kemudian aku akhirnya bisa melihatnya. Kulitnya gelap, wajahnya eksotis, hampir seperti orang Eurasia. Ia cantik, cantik sekali. Ia tampak seperti gadis model dalam majalah-majalah. Dan sepintas lalu aku merasa