BAB TUJUH
GUS-JI-GANG SEBAGAI SOCIAL CAPITAL KOMUNITAS PENGUSAHA INDUSTRI KECIL BISNIS KELUARGA BORDIR
Pendahuluan Dalam bab ini dikemukakan fenomena komunitas Industri Kecil Bisnis Keluarga (IKBK) bordir beserta karakter perilakunya yang mendasari dan memperkuat social capital melalui dialektika sosial pengembangan parameter social capital yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani wong liya sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai dasar kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak sebagai dasar membangun jaringan usaha. (4) Sistem hubungan sosial yang terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Perilaku Gus-ji-gang yang telah dilaksanakan tanpa disadari oleh masyarakat Kudus sejak jaman Sunan Kudus sampai sekarang, khususnya pengusaha IKBK Bordir sebagai suatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan bisnis merupakan struktur mental/kognitif. Bourdieu mengemukakan konsep yang disebut practice atau praktik. Dalam praktik ini maka perilaku Gus-jigang menstrukturkan dunia sosial (eksternalization of internality) dan sebaliknya melalui praktik pula, Gus-ji-gang distrukturkan oleh dunia sosial (internalization of ekternality). Proses menstrukturkan dan distrukturkan berlangsung secara dialektika dalam lembaga formal dan non formal secara terus-menerus dalam jangka panjang, dan proses seperti inilah yang mendorong terjadinya social capital.
261
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Perwujudan Gus-ji-gang sebagai Social Capital Gus-ji-gang di dalam persoalan duniawi dengan melakukan kegiatan ekonomi atau dagang dalam rangka memperoleh rejeki dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya perilaku tawakal adalah membangun transendensi kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Perilaku tawakal pada diri pengusaha di Kabupaten Kudus dalam kehidupan ekonomi yang menekankan pada mencari keuntungan dengan bekerja keras dan sungguh-sunguh serta selalu dekat dengan Tuhannya, telah menjadikan dasar membentuk pengusaha masyarakat Kudus memiliki kepribadian luhur atau “Gus” dalam Gus-ji-gang yaitu perilaku bagus (jujur dan dapat dipercaya) serta perilaku “Ji” dalam meningkatkan kekuatan religius dengan berhaji atau mengaji. “Gus” dan “Ji” bertemu dalam kegiatan praktik disebut dagang. Pertemuan itu oleh Bourdieu disebut dengan praktik merupakan realitas sosial, yang dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas”1 yang dapat memunculkan habitus. Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu. Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik2. Praktik diatur dan digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar menjadi tindakan sosial, menurut Bourdieu, lebih cenderung merupakan hasil proses improvisasi individu dan kemampuan berperan dalam interaksi sosial. Gus-ji-gang sebagai nilai dan norma adalah spesifik, yakni nilai moral yang berrefleksi tentang perilaku normatif dan perilaku faktual, dalam konteks ilmu sosial nilai-nilai berrefleksi pada perspektif empiris-faktual (Bertens, 2003). Nilai-nilai dan norma dalam konteks social capital di sini adalah faktor-faktor yang memegang peran penting dalam proses perdagangan/bisnis karena memiliki derajat efek ekonomi yang disebabkan oleh aspek ekonomi dan non ekonomi. Menurut Yustika (2006), manifestasi nilai dan norma dapat dinyatakan sebagai social capital, yaitu dengan mengelaborasi berdasarkan kesesuaian dengan perspektif bentuk-bentuk social capital sebagaimana diajukan oleh Coleman (1988) dalam Yustika (2006) yaitu: Pertama, 262
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) terpenuhi dengan baik, adanya ekspektasi dan kepercayaan lingkungan sosial secara baik. Artinya dalam struktur sosial memiliki kepercayaan sangat tinggi maka akan mendatangkan social capital yang lebih baik daripada kondisi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi, yakni aktor (pengusaha IKBK bordir sebagai pelaku) yang mendapatkan dan atau memiliki basis jaringan informasi komunikasi lebih luas akan memiliki social capital lebih besar. Ketiga, nilai dan norma sebagai struktur sosial yang memiliki sifat kondusif bagi suatu komunitas, maka akan menjadi pendorong terhadap kemajuan dan perubahan yang lebih baik dan struktur sosial yang demikian ini memiliki social capital yang lebih baik. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial, kebanyakan aktor (individu atau kelompok) cenderung menerima dunia sosial apa adanya serta terjadi interaksi antar-sruktur dan tindakan agen sebagai elemen social capital (Hasbulah, 2006) yang terdiri dari enam elemen yaitu keluarga dan kerabat3, kehidupan asosiasi kelompok4, jaringan sosial5, masyarakat politik6, institusi7, dan norma atau nilai-nilai sosial8, yang saling mempengaruhi di dalam rangka membentuk social capital. Elemen-elemen social capital akan menjadi sumber munculnya interaksi sosial antara orang-orang dalam satu komunitas industri kecil berbasis keluarga.
Gus-ji-gang sebagai Dasar Pembentukan Social Capital di Kalangan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir Social capital dalam komunitas IKBK bordir di Pedurenan Kecamatan Gebog tercipta bersumber dari anasir-anasir nilai yang dimiliki setiap pengusaha IKBK yang bersenyawa dalam interaksi di lingkungannya, karena dapat diterima oleh komunitas tersebut maka menjadi tradisi kehidupan lingkungan pengusaha IKBK bordir dan selanjutnya menjadi acuan bertindak para pengusaha IKBK bordir dalam menjalankan usaha sehari-hari yang disebut dengan norma. 263
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Norma yang tumbuh di lingkungan pengusaha IKBK bordir disebabkan juga oleh keyakinan agama yang dianut (Islam) oleh sebagian besar pengusaha IKBK bordir. Di kalangan komunitas IKBK bordir terdapat suatu nilai atau norma yang timbul akibat hubungan timbal balik di antara sesamanya, yang menumbuhkan ikatan sosial atau kesetiakawanan sosial. Normanorma yang ada merupakan peraturan secara informal yang mengatur tentang hubungan serta tata kehidupan berdagang sehingga menumbuhkan trust atau kepercayaan antara satu sama lain. Norma yang tumbuh di lingkungan IKBK bordir didasarkan pada nilai keyakinan agama (Islam) yang dianutnya. Seperti yang dikatakan Bapak H.Moch Ansori9: “Setiap umat Islam yang melakukan kegiatan bisnis, termasuk di Padurenan Kecamatan Gebog, pasti didasarkan pada akidah Islam yang menuntut nilai-nilai ke-Tuhanan yang mendasari etos kerja bagi seorang muslim, seperti berakhak baik sebagai keutamaan karakter. Hal ini dapat membentuk suatu sikap wirausahawan yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial di lingkungannya”
Peneliti dan staf pengajar STAIN Sunan Kudus Bapak Nur Said menjelaskan mengenai etos kerja seorang muslim di Kudus sebagai berikut: 10
“Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, di samping memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu juga memiliki etos kerja yang diandalkan, kemudian muncul konsep „Gus-ji-gang”, yaitu harus bagus akhlak, pinter ngaji dan pinter berdagang. Memposisikan Gus-ji-gang sebagai tanda bagi masyarakat di Kudus yang memiliki hubungan paradigma dengan Kanjeng Sunan Kudus yang “waliyyul ilmy” dan ”wali saudagar”.
Sebagai makhluk sosial, seorang pengusaha IKBK bordir maupun pembeli (pelanggan) bahkan pemasok bahan baku sebagai manusia sangat memerlukan orang lain, dan untuk itulah terdapat kecenderungan untuk melakukan kerja sama dan saling berinteraksi 264
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
termasuk dalam melakukan transaksi. Karenanya untuk kerperluan tersebut sangat diperlukan nilai dan norma guna mengatur dalam berperilaku dalam bertransaksi yang saling menguntungkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fukuyama (1999) bahwa sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar di antara kelompok yang memungkinkan kerja sama terjadi di antara mereka. Kerja sama tersebut terjadi apabila antar anggota kelompok masyarakat tersebut memenuhi apa yang diharapkan antara mereka bahwa lainnya akan bertingkah laku dengan dapat diandalkan dan memiliki kejujuran, kemudian mereka akan saling mempercayai satu sama lain. Kepercayaan adalah seperti minyak pelumas yang membuat jalannya organisasi lebih efisien. Selanjutnya Lawang (2005) mengatakan bahwa, norma menjadi social capital haruslah bersifat positif, dengan alasan, bahwa (a) social capital itu harus mendorong pertumbuhan ekonomi; kalau tidak demikian maka bukan dinamakan kapital, (b) social capital mampu membuat pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada peningkatan kesejahteraan sosial, tidak hanya sebatas bagi yang termasuk dalam lingkungan persahabatan itu khususnya, tetapi masyarakat secara luas. Menurut H.Gufron11 tokoh masyarakat Desa Padurenan dan pengurus KSU Padurenan Jaya, menjelaskan bahwa nilai ke-Tuhanan yang tinggi tersebut oleh individu pengusaha dalam menyeimbangkan dan menyelaraskan kepentingan bisnis dan tanggung jawab sosial sebagai mahkluk sosial yang bermasyarakat, hal itu diungkapkan sebagai berikut: “Hidup ini melaksanakan amanah dan menjaga amanah yang berasal dari Allah menjadi dasar bagi perilaku seorang pengusaha yang mampu melahirkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai pengusaha dalam mencapai tujuan yang diharapkan dan amanah tersebut akan terus dilakukan secara terus menerus untuk membangun kepercayaan, kejujuran, kerja sama usaha kepada konsumen maupun di antara sesama pengusaha IKBK bordir sehingga akan terbangun kinerja ekonomi yang unggul di lingkungan IKBK bordir, bahkan tidak ketinggalan
265
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kehidupan kebersamaan di masyarakat sini melakukan kegiatan-kegiatan kumpulan keagamaan harus diikuti pada malam harinya seperti pengajian, slametan”.
Bentuk-bentuk ketaatan terhadap norma agama dalam kegiatan keagamaan masyarakat Kudus misalnya tadarusan, pengajian maupun slametan, dan selapanan akan digunakan masyarakat sebagai ajang silaturahmi termasuk para pengusaha, tetangga dan para kerabat dengan tujuan untuk meningkatkan kerja sama, kepercayaan. Menurut Baharudin (2010), ajang silaturahmi banyak dipergunakan para pelaku usaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap usaha bisnisnya, contoh kepercayaan adalah keluarga, sebagian besar bisnis yang berlangsung sejak dulu hingga saat ini dalam bisnis–bisnis keluarga. Para pengusaha IKBK bordir sebagai bisnis keluarga yang didasarkan atas basis kepercayaan. Betapa pentingnya kepercayaan bagi pengusaha, maka Glasser et.al (2000) menjelaskan bahwa, kepercayaan sebagai modal dasar dan dapat memperkuat kohesi social capital. Kepercayaan sebagai modal dasar merupakan dasar dari social capital itu sendiri, sebab dengan memiliki kepercayaan maka akan timbul suatu harapan dan melalui harapan yang didasari kepercayaan dapat mempermudah melakukan kerja sama dan dapat melakukan transaksi dalam kegiatan bisnis. Menurut Lawang (2005) ada 3 (tiga) substansi pokok yang saling terkait untuk membangun kepercayaan yaitu: (i) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang diwakili oleh orang), (ii) dalam hubungan tersebut, terdapat harapan yang bilamana diwujudkan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, (iii) Hubungan dan harapan ini dimungkinkan melalui interaksi sosial. Jadi berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan merupakan “hubungan dua pihak atau lebih” yang memuat harapan yang menguntungkan dua pihak atau lebih melalui interaksi sosial12. Kepercayaan tidak saja membina sebuah hubungan antar dua individu atau kelompok, terutama hubungan kerja sama dan kepercayaan, juga merupakan alasan utama yang dapat sebagai social capital dalam mencapai tujuannya. Kepercayaan menurut Coleman 266
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
(dalam Fukuyama, 2007) adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Norma yang berlaku di dalam masyarakat, sering disebut dengan norma sosial. Tolok ukur keberhasilan bisnis, secara ekonomis yaitu menghasilkan keuntungan. Menurut Bertens (2000), ada tiga tolok ukur berdasarkan sistem hukum dan menurut norma yaitu: a).Tidak betentangan dengan suara hati nurani, yaitu sesuatu (nilai) yang terkait dengan keyakinan terdalam. Hati nurani adalah menyangkut tentang integritas pribadi manusia. Karena hati nurani besifat subyektif, sehingga tidak terbuka dengan orang lain, sebagai norma moral hati nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai ukuran umum; b) untuk obyektivitas maka perlu disertai norma-norma lain, yaitu memperlakukan orang lain, sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu tindakan tertentu pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin diperlakukan sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain, c) guna efektivitasnya diperlukan pula ”penilaian umum” atau penilaian masyarakat sebagai “audit sosial”, yang seluas dan seterbuka mungkin. Pengusaha bordir sebagai manusia tidak hanya sebagai homo economicus yang hanya mementingkan keuntungan semata, tetapi masih memiliki aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam menentukan pola perilaku dan tindakan dalam berdagang, misalnya nilai dan norma, kepercayaan, hubungan timbal balik maupun pengembangan jejaring usaha. Pengusaha sebagai individu dan anggota suatu masyarakat menjaga kepercayaan dalam suatu interaksi sosial akan menjadi suatu yang sangat penting jika interaksi sosial tersebut dilandasi oleh kepercayaan, hal ini sebagaimana yang diungkapkan beberapa pengusaha IKBK bordir sebagai berikut: Ibu Hj. Sri Murni‟ah13 menjelaskan bahwa: 267
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
“injih leres sanget, menawi bisnis meniko kedah kathah
rencangipun, kalian sinten kemawon lan dipunlandasi roso pithadosan, khan aneh kekancan tanpo kepithadosan kodos pundi” Artinya: Sangat benar, dalam bisnis harus banyak teman, dengan siapa saja dan dilandasi rasa kepercayaan, kan aneh bila berteman tanpa dilandasi kepercayaan, gimana.
Ibu Nurul Hikmah14 mengatakan: “Hubungan antar teman usaha atau bukan teman usaha itu harus didasari rasa percaya, kalau tidak kan lucu ”
Bapak Moch Anshori15 mengatakan: “menjalin silaturahmi dengan sesamanya itu perintah Allah, maka pasti didasari rasa saling percaya, kalau tidak didasari saling percaya ya silaturahmi tidak akan berjalan baik, apalagi dalam bisnis”.
Bapak H.Hasan16 mengatakan: “berteman dalam berbisnis itu penting, tapi yang tidak kalah pentingnya berteman bisnis dengan menjaga kepercayaan supaya hubungan dapat terjaga berjalan terus”.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para informan di atas dapat dipahami bahwa setiap melakukan hubungan antar-individu yang dibangun para pengusaha tersebut dengan orang lain selalu dilandasi dengan kepercayaan. Menurut mereka kepercayaan merupakan kekuatan moral17 yang di dalamnya secara implisit ada pada kalimat ajo mitunani wong liya artinya jangan merugikan orang lain. Menurut Suseno (2005), kalimat itu merupakan norma moral terpenting dan atau prinsip dasarnya etika sosial Jawa. Tujuan sikap integrasi dengan kekuatan moral aja mitunani wong liyo18 adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak saling mengganggu. Nilai-nilai moral tata krama Jawa yang diungkapkan dalam sikap hormat dan sikap rukun justru sebagai usaha untuk menghasilkan itu19.
268
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Sedangkan menurut Bapak Nur Syafiq pengusaha bordir berusia 55 tahun, untuk mempercayai seseorang dalam hubungan bisnis, beliau tidak langsung percaya pada orang yang baru dikenal, yang penting dalam menghadapi harus bersikap baik dan ramah meskipun harus lebih hati-hati dalam mengambil keputusan apakah akan mempercayai orang tersebut atau tidak. Hal itu dilakukan karena sekarang banyak sekali orang yang berpenampilan dan tutur kata baik tetapi orang tersebut seorang penipu dan sering bohong. Kehati-hatian itu karena modal saya kecil maka kalau ditipu bagaimana. Berikut ini ungkapan dari Bapak Nur Syafiq20 yang menyatakan: “Kodhos pundi jaman sakmeniko katah tiyang sering apus-
apus, kito kedhah atos-atos menawi bisnis, menopo malih kaliyan tiyang enggal kenalipun, menawi tiyang meniko sampun dipun kenal lami lan sampun mangertos athen-athen nipun ya kawulo pitados, amargi modal kawulo alit, mangke menawi dipun apusi kadhos pundi, ingkang baku kito kedah ramah lan sopon kaliyan sinthen kemawon ,inggih alhamdulillah kawolu dereng nate kapusan” Artinya: Bagaimana jaman sekarang banyak orang sering menipu, kita harus hati-hati kalau bisnis, apalagi dengan orang yang baru dikenal, tetapi kalau dengan orang sudah dikenal dan sudah tahu perilakunya ya pasti percaya, sebabnya modal kecil, kalau ditipu gimana, yang penting kita harus ramah dan sopan dengan siapa saja, yah alhamdulillah sampai sekarang belum pernah ditipu.
Seperti yang diterangkan di atas oleh para informan, Gus-jigang sebagai identitas karakter dan kepribadian yang unggul masyarakat Kudus, yang merupakan satu kesatuan kata “gus” (bagus rupa dan bagus akhlak), “ji” (kaji atau pintar ngaji) dan “gang” (pintar dagang) yang memiliki sifat holistik dan koherensi. Konsep ”gus” dan “ji” yaitu beraklak baik dan melakukan pembelajaran dengan mengaji atau pergi kaji/haji itu merupakan kekuatan membangun internalisasi kekuatan “spiritualitas” yang memiliki nilai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan sekaligus di dalamnya menjelaskan nilai-nilai rasionalitas dengan parameter tidak terukur. “Gang” yaitu dagang yang 269
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
identik dengan rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur seperti keuntungan, kerugian, transaksi. Jadi kekuatan spiritualitas yang dimiliki masyarakat Kudus dengan melakukan “gus” dan “ji” tersebut sebagai dasar kekuatankekuatan transendensi untuk membentuk spiritual dagang yang tidak hanya mengekpresikan dalam keuntungan, transaksi, manajemen tetapi juga mempersoalkan pelayanan, tanggung jawab sosial, pengembangan, maupun keadilan. Ketiga karakter yaitu “gus”, “ji”, dan “gang” secara harmonis melekat pada diri masyarakat Kudus, yaitu religius yang mendorong kerja yang ulet, kuat dan hemat di dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu dagang ala Kudus. Menurut Abdul Jalil (2014), penempatan Sunan Kudus dengan kearifan lokalnya sebagai suatu rujukan dalam berperilaku dan berusaha, dalam batas-batas tertentu, merupakan sumber nilai bagi masyarakat. Sehingga di Kudus, Muslim yang taat dalam beribadah dan ulet dalam berdagang memiliki status yang tinggi di masyarakat. Karena itu bisa dimengerti jika di Kudus Kulon sebagai asal mula munculnya Gus-ji-gang yang kemudian berkembang di seluruh wilayah Kudus, telah berkembang mitos larangan menikahkan anak gadis dengan pegawai negeri, orang tua pada waktu dahulu lebih memilih pasangan seorang santri saudagar karena cepat mendapatkan kekayaan dan memiliki keimanan yang kuat, meskipun sekarang ini mitos larangan sudah mulai pudar. Bahkan sekarang telah berubah terbalik bekerja di pegawai nageri menjadi pilihan utama, baru berdagang kalau tidak diterima sebagai pegawai negeri karena sebagai pegawai negeri masih bisa memiliki pekerjaan sampingan berdagang. Pada umumnya pengusaha bordir banyak yang tidak mengerti istilah Gus-ji-gang, bila ada yang mengerti istilah itu yaitu mereka mendengar saat mengikuti pengajian, namun pada umumnya pengusaha Kudus telah melakukan secara operasional mempraktikkan Gus-ji-gang yaitu “gus” berperilaku bagus, “ji” yaitu pintar mengaji dan “gang” yaitu pintar dagang. Namun dalam kehidupan sehari-hari tanpa
270
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
mereka sadari, termasuk dalam berbisnis bordir telah melakukan praktik Gus-ji-gang. Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas ekonomi antara lain berdagang, di satu pihak tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses yang kompleks dalam dunia kehidupannya atau pada budaya Jawa di Kudus sesuai pada masanya. Kompleksitas memperoleh keutamaan, menurut Bertens (2011), sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku-buku, instruksi, atau mengikuti kursus saja. Namun, menurut Sonny Keraf (2002), dengan metode reflektif kritis merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua, masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya. Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai keutamaan dagang Jawa di Kudus dapat dianalisis dengan teori kritis21 terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal.
Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifkan melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun22 kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai pendapat umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun ini 271
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai penghimpunan kekuatan social capital23. Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar masyarakat mencapai keselarasan, tidak hanya orang-perorangan, tetapi masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam komunitas pengusaha IKBK bordir sebagai masyarakat Jawa memiliki habitus seperti sabar, kerja sama, patuh dan rela berkorban, sehingga terciptanya keadaan yang selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja. Orang Jawa termasuk masyarakat Kudus dalam hidupnya selalu mengharapkan tetap terpeliharanya keteraturan relasi yang ada (Anderson, 1965). Menurut Geertz (1964), semua unsur yang ada dalam keadaan keselarasan dan memuat pada konsep rukun dan hormat dipakai sebagai dasar kehidupannya. Demikian pula dalam kehidupan sosial, selalu menjaga keselarasan sosial dengan cara mencegah konflik. Guna menjaga keselarasan tersebut, seseoarang harus mampu mengontrol hawa nafsu dan mengembangkan sikap sepi ing pamrih dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan pangkat dan derajatnya dengan rame ing gawe. Dengan sepi ing pamrih dan rame ing gawe tersebut diharapkan masyarakat atau komunitas pengusaha IKBK bordir dapat slamet, tenang hidup batinnya, tenteram dan aman.
Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan rukun tersebut sebagai acuan caranya bersikap kekeluargaan atau bergotongroyong baik di pemikiran atau tindakan (teknis pelaksanaan)24 dalam realitas sosial25 Jawa yang modern atau sesuai di masanya. Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang kedua itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di Kudus. Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa, antara keutamaan moral dengan dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa adalah sumber social capital merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap dan bertindak secara terus-menerus (dinamis) baik pada dataran pemikiran pedagang atau cara pelaksanaannya yang sesuai (modern) dan berlaku di masanya. Hal itu seperti dalam penjelasan Peursen dan Geertz tentang hakikat kebudayaan. Menurut Peursen, hakikat kebudayaan sama 272
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
dengan hakikat manusia, jika ditulis di buku tidak akan ada habishabisnya. Kebudayaan pada dasarnya merupakan kristalisasi dari berbagai kegiatan serta karya manusia26. Geertz menjelaskan, kebudayaan adalah susunan dinamisnya ide-ide dan aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain secara terus-menerus27, karenanya, sebelum menganalis tiga hal tersebut diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam kontruksi teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial (social capital) pedagang di Kudus. De Jong (1976) dalam Endraswara (2006) mengemukakan, unsur sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus) adalah sikap rila (rela), nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan mendasari segala gerak dan langkah orang Jawa dalam segala persoalan. Rela disebut juga ikhlas yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tapi mengucapkan matur nuwun (terima kasih). Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu yang bergolak. Masyarakat Kudus pada umumnya (di luar orang yang tinggal di lingkungan Menara Kudus) disebut sebagai orang awam adalah orang kebanyakan atau orang biasa. Mereka memeluk agama tetapi tidak ahli mengenai ilmu agama, sebagian aktif dan taat. Mereka selalu mengikuti pengajian yang diisi oleh kyai atau ustad di masjid-masjid atau di mana saja pengajian itu diadakan, dengan harapan akan mendapat berkah dan pahala masuk surga. Mereka berkeyakinan semakin sering mengikuti pengajian semakin banyak berkah dan pahala yang mereka peroleh. Jika ditanyakan untuk apa mereka mengikuti pengajian, biasanya akan dijawab ”kanggo sangu mati”, artinya untuk bekal nanti kalau meninggal “munggah suwargo” atau naik ke surga. Bahkan pada umumnya, mereka kelihatan tidak peduli apa saja yang disampaikan para kyai atau ustad dalam pengajian, yang paling penting mereka mengikuti pengajian, mereka akan mendapat berkah dan pahala. Semakin banyak berkah dan pahala yang mereka kumpulkan setiap mengikuti pengajian semakin besar kemungkinan nanti setelah mereka
273
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
meninggal akan dapat hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke surga. Pengajian yang mereka ikuti akan menumbuhkan kesadaran manusia akan adanya hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai proses transendental. Proses inilah yang sering disebut dengan spiritualitas28.Dengan demikian spiritualitas mencakup perilaku inner life individual, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Mutlak. Perilaku spiritual tersebut timbul dan mengubah jalan hidup pelaku menuju kesadaran atas kekeliruan yang telah mereka lakukan. Kedua, perilaku spiritual muncul ketika kita menentukan pilihan. Ketiga, perilaku spiritual muncul ketika kita merasa istimewa, unik, dan tidak tergantikan oleh orang lain. Keempat, perilaku spiritual membersit dalam tanggung jawab, dan Kelima, perilaku spiritual akan mencuat dalam situasi transendensi. Menunjuk pada wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah, pemilik usaha bordir “Fadillah” sama sekali tidak mengesankan cara pandang tentang betapa lebih pentingnya suatu modal financial, tidak pula mengunggulkan pengalaman belajar dan berusaha bordir dari orang tuanya, pada waktu dia masih muda diajarkan teknik menjahit dan disain bordir serta berjualan bordir. Pemilik usaha bordir “Fadillah” tidak pernah mendapatkan pendidikan formal yang mengajarkan teori nilai dan norma berbisnis, tentang pentingnya jaringan usaha dan kepercayaan sebagai modal usaha. Namun mereka hanya mendapat sentuhan pendidikan informal melalui pengajianpengajian yang selalu diikuti setiap bulan 2 s/d 3 kali, yang disampaikan para kyai atau ustad tentang pentingnya nilai-nilai agama maupun saran atau petuah-petuah orang tua tentang kehidupan bahkan beliau memiliki keinginan menunaikan ibadah haji lagi bersama suami. Berikut wawancara peneliti dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah29 sebagai berikut:
274
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
“Menambah bekal ilmu dan membangun jaringan sosial niku
injih wajib kagem tiyang gesang., injih derek pengajian. Dados inggih kedah seimbang, menawi derek pengajian terus, kesupen usahanipun lajeng rejeki saking pundhi lan ingkang baku tiyang meniko yen „Nandhure Apik Ngunduhe Apik‟ niku ular-ular saking tiyang sepuh kawulo lan dadi wong sing duwe sikap relo, narimo dan sabar ” Artinya: menambah bekal ilmu dan membangun jejaring sosial itu juga wajib buat orang hidup, ya ikut pengajian, jadi harus seimbang, kalau ikut pengajian terus, melupakan usahanya lalu rejeki dari mana, dan yang mendasar orang itu kalau „menanam baik akan memperoleh hasil baik‟, itu petuah orang tua saya dan jadi orang itu punya sikap iklas, menerima dan sabar.
Selanjutnya Ibu Sri Murni‟ah menyampaikan kepada peneliti bahwa: “kawulo inggih kepengin sowan ngilen (naik haji) malih
kalian bapak (suami), injih kagem nambah ibadah lan langkung celak kalian Gusti Allah, tambah iman lan kagem sangu urip, supados saget nampi menepo kemawon paringane Gusti Allah lan supados anggenipun nyambut gawe meniko saget baroqah kagem keluarga” Artinya: Saya juga berkeinginan datang ke barat (menunaikan Haji) lagi dengan suami, ya untuk menambah ibadah dan lebih dekat dengan Gusti Allah, tambah iman dan buat sangu hidup, supaya bisa menerima apa saja pemberian Gusti Allah, supaya dalam bekerja bisa barokah buat keluarga.
Informan Bapak H.Noor Kholid30 pengusaha bordir menyatakan lebih lanjut dalam cuplikan wawancara: “Dadi wong niku sing jujur lan dipercoyo kanggo dagang
utowo urip saben dinane, trus ya kerja keras sebab kanggo ngentukake penghasilan ya kudu usaha disik lan selain iku ojo lali karo ibadah menurut agamane, ya bershodakhoh kanggo wong sing membutuhkan” Artinya: jadi orang itu harus jujur dan dipercaya buat dagang atau kehidupan sehari-hari, terus ya kerja keras sebab buat
275
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
mendapatkan penghasilan, ya berusaha dulu dan selain itu jangan lupa beribadah menurut agamanya).
Hampir sama pernyataan mereka berdua yaitu Ibu Hj. Sri Murni‟ah dan Bapak H.Noor Kholid dan seorang tokoh masyarakat Desa Padurenan dan juga pengusaha bordir yaitu Bapak H.Moch Anshori mengungkapkan bahwa nilai kejujuran sangat dipegang teguh oleh Bapak H.Moch Anshori karena sejak kecil beliau tumbuh dalam keluarga dengan nilai keagamaan yang sangat kuat yaitu dari Pondok Pesantren, dengan kejujuran berarti mereka mepunyai akhlak mulia, sehingga tetap berada dalam jalan yang benar dan jangan berbuat curang dalam berbisnis maupun kehidupan sehari-hari, sekali berbuat curang dan tidak jujur nantinya akan menghancurkan diri sendiri. Ini berarti telah melaksanakan “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang dalam membangun religius mereka meskipun mereka tidak menyadarinya. Berikut petikan wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori31 selengkapnya: “hidup itu harus didasarkan pada ahklak yang baik, sehingga jangan main curang, karena ahklak yang baik itu adalah tuntunan nilai-nilai agama yang senantiasa saya pegang teguh karena saya sejak kecil dalam keluarga yang nilai agamanya kuat dari pondok pesantren. Selain itu prinsip atau ajaran atau petuah lain dari orang tua atau para kyai harus terus dijalankan terus, orang dagang itu harus jujur, sekali tidak jujur maka akhirnya akan menghancurkan diri sendiri”.
Bapak Nur Syafiq32, pengusaha bordir berusia 55 tahun menyatakan kepada peneliti: ”manusia harus berikhtiar semaksimal mungkin, lalu ia pasrahkan pada Yang Kuasa.” Dengan cara ini saya tenteramKabeh wis tinakdir saking Pangeran”
Pemanfaatan Parameter Social Capital oleh Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga dalam Pengembangan Usaha Pentingnya social capital dalam suatu komunitas seperti pengusaha bordir ditunjukkan Coleman (dalam Lin, 2001) yang 276
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
mendifinisikan social capital sebagai sesuatu yang terdiri dari ciri-ciri sosio-struktural atau sumber-sumber yang bermanfaat bagi beberapa orang untuk tindakan-tindakan khusus, menekankan social capital sebagai kebaikan publik (public good). Hal ini disebabkan social capital adalah kebaikan publik atau kebaikan bersama, yang berarti keadaan ini tergantung pada good will (niat baik), sedangkan niat baik tersebut dibangun masyarakat Kudus melalui beraklak baik (bagus) dan kemampuan ngaji (pintar ngaji) yang mampu membangun spiritualitas sebagai dasar berniat baik para pengusaha bordir dalam melakukan perdagangan, sangat dibutuhkan membentuk fungsi struktural menjadi norma, kepercayaan, hubungan timbal balik, membangun jejaring menjadi hal yang penting dalam menopang social capital di bisnis IKBK bordir. Meminjam istilah dari Bertens (2004), social capital merupakan hubungan satu sama lain yang diadakan para warga masyarakat dengan suka rela untuk mencapai tujuan yang tidak (dapat) diwujudkan selama orang berjalan sendiri. Dalam memahami keberadaan dan keberlangsungan social capital dalam komunitas pengusaha bordir di Kudus dapat dari bagaimana komunitas tersebut membangun normanorma dan nilai-nilai, jejaring-jejaring, hubungan timbal balik, kepercayaan sosial yang mempermudah koordinasi dan kerja sama demi kemanfaatan bersama pengusaha bordir. Bourdieu menyatakan (dalam Portes, 1988) bahwa social capital terdiri dari dua unsur. Pertama, jalinan sosial yang memungkinkan masing-masing anggota dapat berhubungan langsung dengan dan dalam kelompok. Kedua, jumlah dan mutu dari sumber daya anggota kelompok tersebut. Berdasarkan realita di lapangan, penguatan social capital komunitas pengusaha bordir di Kudus dilakukan dengan pengembangan parameter yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani wong liya sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai dasar kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak dalam membangun jaringan usaha. (4) Sistem interaksi sosial yang terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. 277
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Prinsip Aja Mitunani Wong Liya sebagai Norma & Nilai Manifestasi norma dan nilai dapat dinyatakan sebagai social capital, merujuk Yustika (2006) yakni dengan mengalaborasi berdasarkan kesesuaiannya dengan perspektif bentuk-bentuk (forms) social capital sebagaimana diajukan Coleman (1988) dalam Yustika (2006) yaitu: Pertama, berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) yang terpenuhi dengan baik, adanya ekspektasi (expectations), dan kepercayaan (trust worthiness) lingkungan sosial, sehingga struktur sosial tersebut akan memiliki derajat kepercayaan tinggi, maka dipandang akan memiliki social capital yang lebih baik dari pada kondisi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi komunikasi yang luas (informatian channels), yakni aktor (pengusaha bordir) yang mendapat dan atau memiliki basis jaringan informasi komunikasi lebih luas, berarti memiliki social capital lebih besar. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norm and effective sanctions). Maka bila norma sebagai struktur sosial yang memuat kondusif bagi sesuatu komunitas (pengusaha bordir), maka akan menjadi pendorong kemajuan dan perubahan yang lebih baik, dengan demikian struktur sosial memiliki social capital yang lebih baik dan sebaliknya. Nilai dalam struktur sosial (dengan nilai-nilai di dalamnya) mempunyai dimensi historis, karena diciptakan untuk manusia pada sesuatu saat tertentu, dan selanjutnya keberfungsiannya diuji dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan menentukan nilai-nilai itu dapat bertahan hidup atau tidak. Menurut Berger dan Luckmann 1966 (dalam Lawang, 2005) bahwa, sesuatu struktur sosial yang fungsional biasanya akan mempengaruhi cara berpikir orang. Nilai akan menjadi pedoman kehidupan manusia sehingga berlangsung dengan baik. Nilai oleh manusia sebagai pelaku ekonomi dikembangkan dan dipelihara secara turun-temurun melalui etika berdasarkan prinsip-prinsip utama (norma) yang dianut oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat Kudus nilai dan norma yang dianutnya sesuai dengan religius yang diyakininya adalah Gus-ji-gang.
278
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Sebagai mahkluk sosial, seorang pengusaha bordir dan atau pun pembeli/konsumen sebagai manusia adalah memerlukan orang lain, dan untuk itu terdapat kecenderungan untuk dapat kerja sama dan saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi, maka norma dan nilai sangat diperlukan guna mengatur dalam berperilaku, sehingga mereka dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan. Menurut Rahardjo (1990) dalam bukunya “Etika Ekonomi dan Manajemen” mengemukakan lima prinsip utama yang menjadi dasar sistem nilai (etis) yaitu: Pertama, adanya prinsip bahwa hidup munusia itu harus dipelihara dan dilindungi. Kedua, prinsip bahwa kebaikan dan kebenaran itu perlu ditegakkan dengan: (a) mengunggulkan kebaikan atas keburukan dan kebenaran atas kesalahan, (b) tidak menimbulkan keburukan atau kerusakan, dan (c) mencegah agar tidak timbul kerusakan dan lahirnya keburukkan. Ketiga, kebaikkan maupun keburukkan itu perlu dibagi di antara manusia, sejauh mungkin secara merata. Keempat, perlunya orang menyatakan sesuatu secara jujur dan sebenarnya serta melaksanakan janji atau komitmen yang dibuat. Kelima, perlunya dipelihara kebebasan individu, guna memungkinkan adanya keluwesan dan terhindar dari kekakuan. Norma yang berlaku di masyarakat, bentuknya dapat tertulis maupun tidak tertulis yang senantiasa dipatuhi dan dijalankan oleh individu dalam setiap perilakunya. Aturan-aturan yang ada dalam perkumpulan komunitas pengusaha bordir maupun dalam masyarakat pada umunya, yang diikuti para pengusaha bordir tidak mempunyai aturan secara tertulis dan mengikat serta sifatnya tidak wajib dan bukan suatu keharusan, tetapi dengan penuh kesadaran mereka mengikuti kegiatan perkumpulan tersebut, sehingga jika para pengusaha terpaksa tidak bisa mengikuti perkumpulan tersebut hanya rasa ewuh pekewuh atau sungkan pada anggota lain kalau tidak bisa datang dalam pertemuan. Oleh karena itu, walaupun tidak dapat hadir tetap membayar iuran wajib untuk mengisi kas dengan menitipkan kepada anggota lain atau menyuruh anak atau karyawan untuk membayar iuran melalui pengurus. Namun dalam berperilaku 279
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
berhubungan atau beriteraksi dengan individu atau masyarakat selalu menjaga nilai-nilai religius yang mereka anut (agama Islam). “Gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang telah membangun objektivikasi kebaikan tindakan moral sebagai etos dalam pluralisme modern ada dua hal. Pertama, tereksternalisasi dalam tindakan dan kata-kata saling percaya, merasa puas dan senang atas kepandaian, loyalitas dan keluhuran budi. Kedua, bersikap integrasi33 kepada berbagai pihak yang terlibat di dalamnya sehingga merasa terjalin dalam satu pola kekeluargaan atau kekerabatan yang saling kasih (tresno) dan dapat tercipta keadaan yang harmonis yang hangat. Berdasarkan pada hal tersebut sebagai etos bagi pluranisme modern sebagai inti kekuatan moral. Kekuatan moral menurut Suseno (2005) merupakan kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai kebenaran yang secara implisit ada pada kalimat “aja mitunani wong liya” (jangan merugikan orang lain). Ajo mitunani wong liya merupakan norma dan nilai moral terpenting dan atau prinsip dasarnya etika Jawa.34 Tujuan dan sikap integrasi dengan kekuatan moral ajo mitunani wong liya adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak saling menganggu. Seperti yang dituturkan para informan kepada peneliti sebagai berikut: Ibu Hj.Sri Murni‟ah35 mengungkapkan: “ngih menawi hubungan kalian tiang niku, ngih wajib dan kedah menghormati kalian menghargai tiang, namun menawi Derek kempalan RT/RW utawi pengajian menawi pas sawek repot, boten saget dumugi, ngih iuran nipun pasti kawulo titipaken pengurus kempalan”. Artinya: ya, kalau hubungan sama orang, ya wajib dan harus menghormai dan menghargai orang, namun kalau ikut kumpulan RT/RW atau pengajian pas masih sibuk tidak bisa datang, namun ya iuran nya pasti saya titipkan kepada pengurus)
280
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Bapak H. Moch Anshori36, pengusaha bordir dan tokoh masyarakat Desa Padurenan, menyampaikan sebagai berikut: ”menghormati orang lain, menghargai pendapatnya, tidak membeda-bedakan, bertegur sapa dengan tetangga, teman pengusaha dan orang yang kita kenal, tetapi dalam mengikuti kumpulan Haji, pengajian, RT/RW setiap saat, pasti saya usahakan hadir, selama saya tidak ke luar kota dan biasanya saya ditunggu-tunggu kedatangannya untuk memberikan masukkan dalam perkumpulan tersebut”.
Ibu Nurul Hikmah37 mengungkapkan pentingnya ikut kumpulan sebagai berikut:
kepada
peneliti
“Hubungan dengan orang lain, ya peting sekali, karena itu kita harus saling menghormati dan menghargai orang lain, ya namanya kita manusia kan harus berhubungan baik dengan manusia siapa saja, apalagi saya usaha bordir, kalau ikut kumpulan PKK kadang-kadang ikut dan kadang-kadang tidak bisa ikut, tetapi iuran biasanya saya titipkan karena dikejar-kejar pesanan bordir harus segera jadi, tetapi kalau pengajian saya usahakan bisa hadir, karena untuk menambah sangu urip”.
Demikian pula nilai dalam kehidupan senantiasa ada dalam setiap diri individu, nilai itu dibangun secara terus-menerus sehingga mengkristal dalam kehidupan, dan dapat dilihat dari pandangan hidup pengusaha bordir, seperti yang diungkapkan Bapak H. Moch Anshori bahwa setiap mengikuti perkumpulan dan pengajian selalu mendapat Tolabul Ilmi (mendapat tambahan ilmu dan membangun jaringan sosial) itu wajib tetapi mendapat rejeki juga wajib, maka kita harus seimbang bahkan pada saat ada perkumpulan, ada yang memesan bordir. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan Bapak H. Moch Anshori sebagai berikut: “Tolabul ilmi setiap ikut perkumpulan itu ya penting dan mencari rejeki juga penting. Jadi ya harus seimbang kalau hanya ikut kumpulan saja dan dapat tolabul ilminya terus rejeki dapat dari mana, maka setelah acara wajib kumpulan selesai, biasanya digunakan membicarakan bisnis, bahkan
281
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kadang-kadang saat kumpulan kami mendapat pesanan bordir”.
Sedangkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah saat diwancarai peneliti mengungkapkan sebagai berikut: ”yah menawi isteri pados nafkah meniko hukumipun sunnah, amargi namun bantu suami, ingkang wajib pados nafkah suami, lha kawulo pados nafkah meniko kan shodaqoh kangge keluarga, lha meniko sampun manjeng dateng niat ibadah kawulo” Artinya: Ya kalau isteri mencari nafkah hukumnya sunnah, sebab hanya membantu suami, yang wajib mencari nafkah itu suami, la saya mencari nafkah kan shodaqoh buat keluarga, la itu sudah mendarah daging dalam niat ibadah saya.
Bapak H.Noor Kholid38, menjelaskan bahwa hidup itu untuk mencari ridho Allah, sehingga apa yang dilakukan dilandasi dengan niat ibadah, seperti yang dituturkan di bawah ini: “Orang hidup bagi saya untuk mencari ridho Allah, termasuk kegiatan bisnis yang saya lakukan ,dengan bekerja keras dengan dilandasi niat ibadah dan peduli dengan orang lain, supaya hidup ini tentram maka harus ikuti norma dan nilainilai yang berlaku di mana kita berada, misalnya kalau ada pertemuan RT/RW ya diusahan ikut, apalagi kalau ada pengajian tentunya kegiatan bisnis terganggu tidak, kalau pas kosong pasti saya hadir tetapi kalau pas ramai pesanan yang harus diselesaikan,ya tidak bisa hadir dan saya wakilkan anak-anak atau isteri, karena bisnis itu juga dilandasi ibadah, jadi ya harus seimbang lah.”
Demikian pula kehidupan sehari-hari banyak sekali nilai-nilai ajaran atau petuah-petuah yang diterapkan oleh para pengusaha bordir, baik itu menyangkut kehidupan usahanya maupun kehidupan sosialnya. Prinsip ajo mitunani wong liya (jangan merugikan orang lain) yang merupakan norma dan nilai terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan informan Ibu Hj. Sri Murni‟ah39 bahwa:
282
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
“dodos tiyang meniko kedah boten sombong, boten paling
pinter, boten paling pener, kedah njagi tata karma, andap asor, lembah manah lan ajo mitunani wong liyan, supados gesang meniko tentrem lan saget dipitados kalian tiyang, langkung-langkung tiyang ingkang usaha, kados kawulo usaha bordir” Artinya: Jadi orang itu harus tidak sombong,jangan merasa paling pinter, tidak paling benar, harus jaga tata krama, rendah hati,sopan santun dan jangan merugikan orang lain, supaya hidup ini tentram dan dapat dipercaya orang, apalagi orang usaha, seperti saya usaha bordir.
Prinsip Nyaur Ngamek Sebagai Dasar Kepercayaan Bisnis Kepercayaan (trust) yang dibangun dengan baik oleh para pengusaha bordir akan dapat menuntun membangun jaringan hubungan dengan konsumen, penyedia bahan baku maupun agen-agen yang lain. Meminjam istilah Field (2010) bahwa, jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun yang mengalami pengkhianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit bagi dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak dilandasi kepercayaan. Kepercayaan (trust) menurut Fukuyama (2007), merupakan pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Kepercayaan antara satu orang dengan yang lain berguna untuk tetap menjaga hubungan yang telah dibina agar tetap terpelihara dengan baik. Kepercayaan yang dilakukan dapat menghasilkan hubungan yang dapat saling menguntungkan, sehingga setiap kepercayaan yang terjadi akan sangat mempengaruhi keputusan yang diambil, apakah ia akan mempercayai seseorang atau tidak. Salah satu contoh yang alamiah tentang adanya kepercayaan adalah keluarga. Sebagai wujud konsekuensinya maka dari sebagian besar bisnis yang 283
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
berlangsung sejak dulu hingga saat ini adalah bisnis keluarga. Para pengusaha IKBK bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kudus sebagai salah satu contoh kecil dari bisnis keluarga, yang didasarkan atas basis kepercayaan. Menurut Lawang (2005), ada 3 (tiga) substansi pokok yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu Pertama, hubungan sosial antara dua orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang diwakili oleh orang), Kedua, dalam hubungan tersebut, terdapat harapan yang bilamana diwujudkan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, Ketiga, hubungan dan harapan ini dimungkinkan melalui interaksi sosial. Sebagai seorang pengusaha dan warga masyarakat, selalu menekankan pada kepercayaan karena bisnis itu pada dasarnya “kepercayaan”. Jadi setiap hubungan antar-individu atau kelompok didasari kepercayaan, seperti yang diungkapkan para informan berikut: Ibu Hj. Sri Murni‟ah40 mengungkapkan : “kepercayaan pasti wonten, amargi sangat penting, masak kekancan kalian sinten kemawon menawi boten wonten kepercayaan khan aneh” Artinya: kepercayaan pasti ada, sebab sangat penting, masak berteman dengan siapa saja kalau tidak ada kepercayaan kan aneh)
Bp.H.Moch Anshori41 juga mengungkapkan: “Ya tentu pasti ada kepercayaan, masak sama semua orang nggak percaya, lalu kalau kita tidak percaya siapa yang bisa dipercaya”.
Maka berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah diungkapkan para informan di atas dapat diketahui bahwa setiap hubungan yang dibangun para pengusaha bordir dengan orang lain selalu dilandasi kepercayaan, menurut mereka kepercayaan sangat penting dan harus ada karena hubungan itu ada (tercipta) kalau ada rasa percaya.
284
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Selanjutnya, Bapak H. Moch Anshori yang banyak dikenal oleh agen/toko penyalur bahan baku di Kota Kudus maupun di Kota Surakarta, mengungkapkan pengalamannya: “dengan modal kejujuran, telaten dan penuh kesabaran saya menjalin hubungan dan mencari agen besar penyalur bahanbahan bordir agar mau melakukan kerja sama dengannya. Rasa bersyukur. Ada seorang keturunan Cina pemilik toko bahan–bahan bordir dan konfeksi mau diajak kerja sama”.
Bapak Nur Syafiq42, usia 55 tahun, seorang pengusaha bordir, menyatakan prinsip kejujuran yang dianggap penting dalam berusaha/bisnis bordir, sebagai berikut: “jadi orang itu yang jujur, trus kerja keras sebab dalam mendapat sesuatu itu perlu usaha dulu, lagi mendapatkan hasilnya dan selain itu jangan lupa beribadah”.
Modal kejujuran, telaten dan kesabaran merupakan manifestasi dari social capital yang menurut Coleman (1988) dan Putnam (1993), kepercayaan sebagai salah satu komponen kunci dari social capital. Kepercayaan memainkan peranan penting dalam konsep Fukuyama tentang social capital. Fukuyama mendefinisikan kepercayaan sebagai dasar social capital. Dalam model Putnam, hubungan saling percaya di antara pelaku ekonomi berevolusi dari berbagai budaya dan menjadi tertanam dalam ekonomi lokal, yang kemudian membentuk jaringan keterlibatan masyarakat. Hubungan sebab akibat yang menghubungkan kepercayaan dan jaringan yang ada dalam asosiasi/lembaga (Sztompka, 1999). Sedangkan Cohen & Fields (1999) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan bentuk yang unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat lain dan budaya yang berbeda, dan bahkan orang-orang dengan ide-ide yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara independen dari hubungan sosial, konsekuensi mungkin menjadi salah satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh disamakan dengan social capital itu sendiri (Woolcock,1998). 285
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali petuah-petuah atau ajaran-ajaran dari orang tuanya, tokoh masyarakat yang memiliki karisma seperti Sunan Kudus, para Kyai atau ustad yang diterapkan oleh para pengusaha baik menyangkut kehidupan sosial maupun kehidupan bisnis. Salah satu petuah itu adalah kejujuran harus menjadi pedoman dalam berbisnis maupun dalam kehidupan sosial, karena kejujuran merupakan ajaran agama/religius yang diyakini mempengaruhi kemajuan usahanya, maka orang yang bekerja dan berusaha harus menjaga sikap jujur karena merupakan salah satu modal usaha. Prinsip kejujuran dianggap hal yang sangat penting dalam melakukan usaha berdagang, seperti yang diungkapkan Ibu Mirah, Ibu Islahiyah atau sering dipanggil bu Is maupun Ibu Nurul Hikmah sebagai berikut: Ibu Mirah43 mengungkapkan: “Tiyang meniko kedah jujur, kaliyan sinten kemawon, lan
kedah kerja keras amargi kagem pikantuk meniko kedah usaha rumiyen, lajeng nembe pikantuk kasil lan sampun kendel beribadah, nyuwun kaliyan Gusti Engkang Kagungan Gesang”. Artinya Orang itu harus jujur dengan siapa saja dan harus kerja keras sebab untuk mendapatkan itu harus usaha dulu, baru mendapatkan hasil dan jangan lupa beribadah dan memohon kepada Tuhan Yang memiliki Hidup.
Ibu Nurul Hikmah44 dalam wawancara menjelaskan; “Prinsip kejujuran itu sangat penting dalam kehidupan berdagang maupun kehidupan sehari-hari, bila memperolah pendapatan berapapun harus disisihkan sedikit untuk shodakoh bagi orang yang membutuhkan. Bisnis itu menjual kejujuran, jangan sampai main curang sebab akan menghancurkan usaha kita, karena kejujuran adalah nilai ajaran agama yang saya anut, dan bila mendapatkan harta berlimpah harus dibersihkan dengan bershodakoh bagi orang yang tidak mampu”.
Bapak H.Moch Anshori telah melakukan komunikasi dan kerja sama yang baik serta modal kejujuran, sehingga sampai sekarang masih 286
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
dipercaya oleh toko di kawasan pecinan yang pemilik tokonya orang Cina di sekitar pasar Kliwon Kota Kudus untuk menyediakan bahan baku bordir dengan cara nyaur ngamek, adalah ngamek atau mengambil bahan baku lebih dahulu dari agen atau penyalur dan kemudian nyaur atau membayar kemudian setelah barang yang dibawanya laku atau membayar setelah beberapa saat menurut perjanjiannya. Pola “nyaur ngamek” merupakan pola yang sudah menjadi tradisi –norma resiprositas– yang dijalani para pengusaha bordir dengan pemilik toko bahan-bahan bordir maupun hubungan dengan pelanggan dan antar pengusaha bordir. Dalam resiprositas, seseorang tidak hanya sebatas menerima barang dan atau sebaliknya pihak lain hanya menerima uang, tetapi di dalamnya dapat memenuhi kebutuhan sosial, yakni penghargaan yang bersifat timbal balik. Perilaku nyaur ngamek yang dilakukan para pengusaha bordir didasarkan pada norma dan nilai-nilai yang tumbuh oleh keyakinan agama yang dianut. Fukuyama (2000) mengemukakan bahwa, norma merupakan bagian dari social capital yang terbentuk tidak diciptakan oleh birokrasi atau pemerintah. Melalui agama yang dianut, tradisi, sejarah, tokoh kharismatik (Sunan Kudus) akan dapat terbangun suatu tata cara perilaku seseorang atau suatu kelompok masyarakat, yang di dalamnya kemudian timbul social capital secara spontan dalam kerangka menentukan tata aturan yang menjadi dasar tumbuhnya kejujuran yang dapat mengatur kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Namun Fukuyama (1999) juga menyatakan bahwa, penyebaran norma atau nilai tidak serta merta menjadi social capital apabila norma atau nilai termaksud tidak mengandung unsur kebenaran sebagai dasar kepercayaan. Karena norma dan nilai-nilai kebenaran dan kepercayaan sangat diperlukan guna mengatur dalam berperilaku, sehingga mereka dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan. Jadi dalam tindakan nyaur ngamek atau bayar utang dan mengambil barang, menurut Bapak H. Moch Anshori45 harus ada modal kejujuran dan tepat waktu. Berikut ungkapannya: 287
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
“Masalahnya kita sudah mendapat kepercayaan pemilik toko, makanya harus dijaga dan kalau sudah janji bayar, ya harus ditepati dibayar, harus tepat waktu sesuai janjinya dan jangan mengecawakan”
Jadi yang menjadi modal dasar melakukan nyaur ngamek yang dilakukan Bapak H.Moch Anshori selama ini adalah kepercayaan harus tetap dijaga, ada yang menggunakan mingguan dan ada yang bulanan. Kata Bapak H.Moch Anshori: “Meskipun kondisi usaha saya dalam kondisi sepi, ya tetap harus kalau sudah sampai waktu bayar, jangan sampai membuat pemilik toko bahan kecewa”.
Demikian pula yang dilakukan Bapak H.Moch Anshori, setiap menitipkan hasil produksi “bordir tempel” hasil inovasinya yaitu bentuk bordir pola untuk bagian leher baju atau blouse, lengan dan badan yang tinggal ditempelkan pada kain, yang dijual setiap paket ada yang dijual dengan harga Rp.35.000,- s/d harga Rp.150.000,- dititipkan kepada agen penjual perlengkapan bahan bordir dan konfeksi di kota Magelang, Semarang, Surakarta maupun di kota Kudus sendiri didasarkan kepercayaan karena uang hasil penjualan diterima setelah produk bordir itu laku, seperti yang diungkapkannya: “Setiap lima hari sekali, keliling ke kota Semarang, Magelang, Surakarta untuk menitipkan produk ”bordir tempel” ke agenagen penjual bahan bordir dan konfeksi dan pola pembayarannya setiap 3 s/d 4 minggu dan ini sudah berjalan hampir 2 tahun, selalu lancar dan tepat waktu, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak”.
Bagi para pengusaha kecil border, pola nyaur ngamek merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan modal usaha, yang terbentuk oleh kekuatan kepercayaan yang dimiliki pengusaha bordir. Semakin besar kepercayaan para pengusaha bordir akan menjadikan biaya usaha lebih efisien dan besar kecilnya kepercayaan yang dimiliki para pengusaha bordir tidaklah sama sehingga perilaku nyaur ngamek terhadap suatu barang yang terkait dengan toko pemasok bahan baku, hubungan antar pengusaha maupun konsumen juga tidak sama. 288
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Namun tidak semua pemilik toko misalnya toko Kita, toko Novita maupun toko Nufiya menyediakan bahan bordir dan konfeksi di kota Kudus mau menerima pola pembayaran dengan cara nyaur ngamek, mereka memintanya dengan kontan, karena takut resiko tidak terbayar, seperti diungkapkan informan Bapak H. Hasan dan Bapak Nur Syafiq: “Setiap membeli bahan baku bordir di toko Novita dan toko Kita, harus dibayar kontan, kalau tidak dibayar kontan tidak akan diberi barang, setahun yang lalu kita masih bisa tidak bayar kontan yaitu dua atau tiga minggu baru dibayar, tetapi sekarang harus kontan” seperti yang diungkapan Bapak H.Hasan46.
Dan Bapak Nur Syafiq47 pengusaha bordir mengungkapkan kepada peneliti:” sejak banyak orang yang tidak tepat melunasi pembayaran, sekarang ini setiap beli bahan baku di toko Kita atau toko Nufiya harus membayar dengan kontan, tidak seperti 6 bulan yang lalu masih bisa dibayar dengan nyaur ngamek.
Prinsip Tuna Satak Bati Sanak dalam Membangun Jaringan Usaha Dasgupta (2000) menyatakan, kepercayaan bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan sering kali didasarkan atas reputasi yang diperankan oleh pihak ketiga. Dalam bisnis menurut Fukuyama (1995) “kepercayaan” menghindari situasi tidak terduga, mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses hukum bilamana terjadi perselisihan, dan kepercayaan membantu setiap pihak untuk dapat bekerja sama lebih efektif sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu, karena bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi, maka demi kebaikan organisasi mereka bersedia mengorbankan hak-hak pribadi. Bentuknya adalah adanya partisipasi dalam suatu jaringan atau relasi jaringan seperti paguyuban, pengajian, pertemuan RT/RW, arisan bahkan kegiatan koperasi (di Desa Padurenan telah ada KSU Padurenan Jaya). 289
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Keikutsertaan pengusaha bordir dalam berbagai partisipasi dalam suatu wadah asosiasi, paguyuban formal atau informal yang sangat beragam tersebut dapat membawa manfaat yang berguna bagi mereka. Dan manfaat itu dapat dirasakan secara langsung dan tidak langsung bagi pengusaha, yang dapat dilihat dari ungkapan para pengusaha dalam wawancara mendalam: Bapak H.Hasan dan Bapak Nur Syafiq adalah pengusaha bordir, selalu berpartisipasi aktif mengikuti pengajian di sela-sela kesibukan bisnis bordir, apalagi pada setiap hari Jumat, yang mengungkapkan sebagai berikut: “… ikut pengajian supaya hidup mendapat berkah sehingga usahanya dapat berjalan lancar dan mencari „sangu mati‟, “untuk bekal nanti kalau meninggal” kata Bapak H.Hasan 48.
Sedangkan Bapak Nur Syafiq49 dalam wawancara dengan peneliti, mengungkapkan: ”Orang hidup itu disamping mencari rejeki dengan kerja keras, juga harus beribadah mengikuti pengajian, atau kumpulan-kumpulan keagamaan lainnya”.
Ibu Hj.Sri Murni‟ah50 mengungkapkan dalam wawancaranya: “ikut pengajian, injih saget tambah sedulur, tambah ilmu, tambah pahlma, sok kadang-kadang tambah reeiki sebab kadang pas enek (ada) konco pengajian sing pesen bordir neng kulo. Nek paguyuban paling nguntungaken saat ada kunjungan Tim Penggerak PKK kabupaten Kudus dateng mriki katah ingkang tumbas lan pesan bordir, injih menawi dateng mriki rego saget dipun nego kan “tuna sathak bati sanak”. Artinya: Ikut pengajian, bisa bertambah saudara, ilmu, pahala, kadang-kadang juga rejeki sebab kadang ada juga teman pengajian yang pesan bordir ke saya. Kalau paguyuban paling menguntungkan saat ada kunjungan Tim Penggerak PKK Kabupaten Kudus datang ke sini banyak yang beli dan pesan bordir. Ya kalau datang ke sini mengenai harga dapat dinego kan “rugi sedikit tetapi banyak saudara atau pelanggan”.
290
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Ibu Islahiyah51 pengusaha bordir merek “La Risma” menyatakan alasan keikutsertaannya dalam berbagai organisasi formal (anggota koperasi KSU Padurenan Jaya) dan informal (pengajian, arisan RT/RW) menggungkapkan sebagai berikut: “Organisasi dan perkumpulan yang saya ikuti kalau sosial itu di arisan RT/RW, pasar, kalian wanita Islam untuk kegiatan pengajian seperti hadist dan terjemahan Qur‟an, terus mbantu orang tidak mampu atau tengok orang sakit….”.
Bapak H.Moch Anshori52 juga salah satu tokoh masyarakat sebagai salah satu pendiri KSU Padurenan Jaya telah diwawancarai peneliti menyatakan bahwa partisipasi dalam kegiatan sosial sangat banyak, beliau mengungkapkan: “Kalau di RT kan sebulan sekali saya itu rutin mengikutinya, bahkan pada waktu awal pendirian KSU Padurenan Jaya hampir setiap 2 s/d 3 hari dalam seminggu melakukan pertemuan membahas pendirian Koperasi dan itu dijalani hampir 1 (satu) tahun, akhirnya berdiri seperti sekarang, Ketua pembangunan saluran air (got), mengikuti rutin pangajian rumah tangga, paguyuban Haji, setiap malam Selasa dan malam Kamis”.
Dari ungkapan informan di atas dapat dilihat intensitas keikutseraan mereka dalam berbagai paguyuban dan kegiatan rutin yang selalu mereka ikuti seperti pengajian, mereka menggunakan waktu longgar mereka sehabis selesai bekerja untuk mengikuti kegiatan dan perkumpulan, hal ini dilakukan karena sangat penting dan bermanfaat bagi mereka. Namun ada juga beberapa pengusaha bordir yang intensitas melakukan kegiatan kumpulan tidak rutin, seperti yang diungkapkan Ibu Mirah53: “Saksampun ipun suami sakit stroke (satu setengah tahun
yang lalu), kegiatan mboten rutin, dhados kadang-kadang kawulo titipke uang arisan RT, namun menawi wonten pengajian dateng tetanggi mriki kemawon sekitar griyo, pasti kawulo perluake derek pengajian”. Artinya: Setelah suami sakit stroke (sudah satu setengah tahun), kegiatan tidak rutin, jadi kadang-kadang saya titip uang
291
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
arisan RT, tetapi kalau ada pengajian di tetangga sekitar rumah, pasti saya ikut pengajian.
Bapak Nur Syafiq54 mengungkapkan sebagai berikut: “Pertemuan RT ada, namun untuk kehadiran saya tidak bisa rutin kalau pas saya ada waktu saya datangi kalau tidak ada waktu (pas luar kota) ya saya nitip. Iurannya saya suruh anak saya atau isteri untuk membayarkan. Pertemuan di KSU Padurenan Jaya tidak ada pertemuan rutin secara formal (kalau tidak RAT koperasi) tetapi biasanya informal pas kebetulan ketemu di acara pengajian, gotong royong bisanya kita ngobrol seputar usaha bordir”.
Sedangkan manfaat partisipasi mereka dalam suatu jaringan banyak sekali manfatnya, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam usaha mereka baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini seperti diungkapkan informan yang diwancarai peneliti: Ibu Hj.Sri Murni‟ah55: “tambah sederek, tambah ilmu lan tambah pahala, sok kadang-kadang tambah rejeki sebab kadang pas ada konco pengajian sing pesen kain bordir neng kulo.menawi paguyuban KSU Padurenan Jaya, pas wonten kunjungan Bupati Kudus atawi wonten tamu saking Semarang, tumbas bordir produksi kulo”. Artinya: Bertambah saudara, ilmu, pahala, kadang-kadang juga tambah rejeki sebab ada juga teman pengajian yang pesan kain border ke saya. Kalau paguyuban KSU Padurenan Jaya, pas ada kunjungan Bupati Kudus atau ada tamu dari Semarang, beli bordir saya).
Bapak H.Moch Anshori56: ”menjalin keakraban antar warga satu dengan yang lain, menambah hubungan kerja sama dalam berdagang, dan hubungan sosial sebagai wadah untuk mendapatkan informasi tentang kejadian-kejadian yang sedang terjadi maupun yang akan datang di lingkungan warga Padurenan”.
Prinsip berdagang dalam bidang industri bordir yang dikembangkan Hj.Sri Murni‟ah, Ibu Islahiyah, Ibu Mirah, Bapak H. 292
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Moch Anshori maupun Bapak Nur Syafiq hampir sama yaitu, berbekal pada pelajaran hidup ikut berdagang membantu orang tua, sejak kecil dan bertahun-tahun dilakukan secara terus-menerus. Bapak H.Moch Anshori dikenal dan mengenal agen penyalur bahan baku bordir menuturkan, untuk membangun jaringan hubungan dengan agen penyedia dan penyalur bahan-bahan bordir yang dimaksud, tutur Bapak H. Moch Anshori: “Dengan modal jujur,telaten dan penuh kesabaran saya menjalin hubungan dan mencari agen-agen besar menawarkan agar mereka mau mengisi kebutuhan bahan bordir seperti kain, benang dan sebagainya”.
Sistem Interaksi Sosial yang Terorganisir Pranata formal yang ada di lingkungan Desa Padurenan Jaya seperti koperasi KSU Padurenan Jaya dan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten maupun lembaga non formal seperti halnya melalui hubungan kekerabatan, pertemuan-pertemuan sosial seperti arisan, pengajian telah mampu membentuk dan menguatkan social capital para pengusaha IKBK bordir. Dengan membangun kemitraan dan jejaring dengan lembaga-lembaga formal dan non formal akan memberikan kemanfaatan bagi pengusaha bordir dan mampu mewujudkan social capital. Menurut Eriyanto (1997), ada 4 aspek penting yang bermanfaat dalam membentukan kemitraan usaha, yaitu: aspek bisnis untuk menjamin kelayakan usaha, aspek kesejahteraan sosial untuk menjamin manfaat usaha, aspek partisipasi untuk menjamin keberlanjutan dan aspek teknologi untuk menjamin teknik dan mutu produksi (kualitas produksi). Pembentukan KSU Padurenan Jaya pada tanggal 5 Agustus 2009 bersamaan dengan ditetapkannya Desa Padurenan Kecamatan Gebog –Kudus sebagai “Desa Produktif Klaster Bordir dan Konfeksi” oleh Bank Indonesia Semarang bersama dengan stake holder terkait (Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jateng,
293
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
BBPP, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Bank Jateng, Pemerintah Kabupaten Kudus). Koperasi KSU Padurenan Jaya sebagai wadah pembentukan
social capital karena tempat pembinaan anggotanya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya anggotanya maupun mempermudah bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku maupun modal usaha. Sebagaimana disampaikan Bapak Arif Chuzaimahtum57 sebagai Ketua KSU Padurenan Jaya dan juga Kepala Desa Padurenan Jaya sebagai berikut: “Mulai tahun 2007 dengan munculnya teknologi bordir komputer, membawa dampak bagi para pengusaha bordir di Desa Padurenan. Dengan teknologi bordir komputer mampu diciptakan jumlah bordir yang lebih banyak, lebih cepat dan harga lebih murah berdampak menurunkan akses pasar dari bordir juki atau bordir tradisional yang memiliki harga lebih mahal. Keadaan demikian dapat mematikan usaha bordir tradisional “bordir Icik”. Untuk itulah kami bersama tokohtokoh masyarakat yang lain terpanggil bersama pemerintah mendirikan KSU Padurenan Jaya salah satunya untuk mempertahankan border ”icik” disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Padurenan”.
Kemanfaatan KSU bagi para pengusaha di lingkungan Desa Padurenan sangat besar, seperti yang diungkapkan oleh informan kunci Bapak.H.Moch Anshori, Ibu Mirah kepada peneliti sebagai berikut: Bapak.H.Moch Anshori58 mengungkapkan: “setiap saat kita bisa bertemu dengan pengusaha bordir dan konfeksi waktu membeli bahan kebutuhan bordir, saling memberikan informasi, bahkan kadang-kadang malah mendapat pesanan, atau kami sering diajak ikut bazar hasil bordir oleh KSU Padurenan Jaya di kantor pemerintah Kabupaten Kudus waktu ada kegiatan pameran maupun bazar pasar murah dan ini akan menumbuhkan kepercayaan bagi kita. Disamping itu di KSU Padurenan Jaya sering melakukan kegiatan pelatihan dan penyuluhan manajerial dan pengembangan disain bordir bagi para pengusaha dan calon pengusaha bordir”.
294
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Demikian juga Ibu Mirah59 menyampaikan: ”sampun nate, kawulo pas betah aken arto mendadak amergi
kirang kagem tambahan tumbas mesin jahit, injih ngapil arto KSU Padurenan Jaya lan sekeconipun menawi wonten pesanan katah misal bet atawi logo gambar/lambang ngagem bordir komputer inggih dateng mriki kemawon”. Artinya: Sudah pernah, saya pas membutuhkan uang mendadak karena kurang untuk tambahan mesin jahit. Ya pinjam di KSU Padurenan Jaya dan enaknya kalau ada pesanan banyak misalnya bet atau logo gambar lambang dengan bordir komputer ya disini”.
Selanjutnya Bapak H. Anshori menyampaikan kepada peneliti apa yang dibahas dalam setiap pertemuan: ”dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pertemuan keluarga, arisan maupun pengajian-pengajian disampaikan dan didiskusikan bersama-sama masalah-masalah pembangunan fisik dengan gotong royong misal buat got aliran air dari rumah tangga, tempat sampah, bahkan masalah-masalah sosial seperti menjaga kebersamaan, sikap toleransi, berbuat kebaikan dengan sesama dibahas dalam pertemuanpertemuan tersebut”
Kekerabatan dan pertemuan sosial, merupakan proses interaksi sosial yang wujudnya kebersamaan masyarakat dalam bentuk jaringan komunikasi antar-individu atau kelompok. Kebersamaan masyarakat ini sangat penting karena dapat membangun kesetiaan, membuka toleransi, kejujuran, kepercayaan, kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain, kearifan dan pengetahuan lokal (dalam filosofi gus-jigang) dan kepedulian antar-individu atau kelompok dalam kehidupan di masyarakat, sehingga mampu menciptakan social capital yang dapat mendorong kondisi adil, makmur dan sejahtera di masyarakat.
Hubungan Timbal Balik yang Saling Menguntungkan Resiprositas menunjukkan pada individu yang secara sukarela memberikan manfaat pada orang lain dalam proses pertukaran yang 295
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
dalam waktu tertentu orang lain diharapkan berbuat serupa. Resiprositas sebagai salah satu elemen social capital senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar-individu dalam suatu kelompok atau antar-kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara hubungan timbal balik seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruesm (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain), tetapi resiprositas seseorang tidak sebatas mendapat barang atau jasa namun dapat menunaikan kepentingan sosial yaitu berupa penghargaan, baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Hubungan timbal balik (resiprokal) tidak akan terjadi bila sebelum terpenuhinya hubungan simetris, yaitu hubungan sosial, yang masing-masing pelaku menempatkan diri pada kedudukan dan peranan sama ketika proses pertukaran berlangsung serta didasari oleh kepedulian sosial. Sedangkan dalam pertukaran barang atau jasa tidak ada rasa kepedulian sosial dan hubunganya bersifat asimetris. Rasa kepedulian sosial, saling memperhatikan satu sama lain dan saling membantu yang terjalin antara pengusaha dengan pengusaha, antara pengusaha dengan masyarakat yang lain sudah menjadi budaya masyarakat Kudus. Menurut Mukti (2005), kepedulian adalah sikap sukarela yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok tanpa adanya paksaan dari individu lain ataupun kelompok lain. Hal itu sesuai dengan yang diberikan Dalton (dalam Sairin, 2002) bahwa, hubungan timbal balik (resiprositas) yaitu suatu bentuk pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran ini, pemberian dan penerimaan barang, finansial dan jasa adalah sebagai kewajiban sosial. Oleh karena ini, ada kewajiban seseorang untuk memberi, menerima dan mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama atau berbeda. Melalui hubungan timbal balik, seseorang tidak sebatas mendapatkan barang tetapi dalam menunaikan kepentingan sosial yaitu berupa penghargaan, baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun sebagai penerima. 296
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Bantuan tersebut diberikan kepada keluarga (kerabat), teman dekat, tetangga dekat sekitar tempat tinggal,karyawan, dan tentu saja relasi usaha seperti rekan usaha, dan pelanggan dan bantuan tidak hanya finansial, tenaga atau pikiran untuk membantu memecahkan persoalan. Wujud hubungan timbal balik yang dilakukan para pengusaha bordir terhadap orang lain seperti yang dituturkan Ibu Nurul Hikmah, Bapak H.Hasan, Ibu Mufarrikhah, Bapak Noor Kholid maupun Bapak Rosyadi, dalam cuplikan hasil wawancara sebagai berikut: Ibu Nurul Hikmah60 mengatakan: ”menyisihkan sebagian penghasilan kita untuk shodaqoh membantu orang lain yang membutuhkan, selalu kita lakukan sesuai dengan kemampuan ”.
Bapak H. Hasan61 mengungkapkan: “Membantu sesama orang apalagi tetangga yang mempunyai kesusahan atau membutuhkan bantuan, nggih (ya ) pasti kita bantu, ya kita lihat dulu kalau musibah (sakit, kecelakaan) kita bantu uang meskipun sedikit, tetapi kalau masalah keluarga atau bisnis kita bantu nasehat. Dan kalau pas teman sudah kenal baik, dan dekat itu mantu, ya kadang nyumbang uang dan ikut bantu tenaga”.
Ibu Mufarrikhah62 mengungkapkan kepada peneliti: “dalam ajaran agama melakukan shodakoh kepada orangorang yang memerlukan bantuan atau memberi sumbangan harus kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita, dan membantu itu tidak hanya bentuk uang tetapi bisa dalam bentuk nasehat kepada teman yang masih ada masalah”.
Bapak Noor Kholid63 mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut: “bila tetangga punya hajat atau kesusahan, saya pasti membantu baik tenaga, nasehat bahkan uang, hal itu kita lakukan karena pada waktu dahulu saya mengalami hal yang sama, juga dibantu demikian dan itu dilakukan dengan iklas ya supaya hubungan diantara kita tetap terjaga, wong yen
297
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
nandhure apik ya ngunduhe ya apik (orang kalau menanam kebaikan pasti mendapatkan kebaikan),”
Selanjutnya, Ibu Hj.Sri Murni‟ah64 mengungkapkan sebagai berikut: “adik-adik kawulo kita bantu sedoyo, bikak usaha bordir
utawi konveksi supados saget mandiri, ya amargi kawulo sampun pikantuk titipan rejeki saking Gusti Allah ingkang luwih ketimbang adik-adik,menawi kagem tetanggi menawi pikantuk musibah sakit, sedho ya pasti kita bantu arto, amargi arto ingkang dipun betahaken” Artinya: Adik-adik saya, semua kita bantu membuka usaha bordir atau konveksi supaya bisa mandiri, ya karena saya sudah mendapat titipan rejeki dari Gusti Allah, yang lebih dari pada adik-adik, kalau untuk tetangga yang mendapat musibah sakit, meninggal ya pasti kita bantu uang, karena uang yang dibutuhkan saat itu.
Tindakan-tindakan hubungan timbal balik, sebagai bentuk inisiatif-inisiatif yang dilakukan individu merupakan tindakan yang di dalamnya terkandung semangat keaktifan, kepedulian dan hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik dengan berinisiatif bertukar pikiran dengan keluarga, kerabat, teman untuk mencari jalan keluar suatu masalah dengan mencari informasi yang dapat memperkaya pengetahuan. Berinisiatif mengikuti kegiatan dan perkumpulan sosial sehingga akan memperoleh keuntungan bagi orang lain maupun bagi dirinya dalam suatu hubungan sosial. Inisiatif untuk membangun hubungan timbal balik dengan cara bertukar pikiran dalam mengatasi masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan pengusaha, baik itu masalah keluarga atau masalah yang terjadi dalam usahanya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pengusaha IKBK Ibu Hj. Sri Murniah maupun Bapak. H. Moch Anshori bahwa dalam upaya mencari alternatif sosial melalui tukar pikiran dengan keluarga (anakanak, isteri), saudara dan teman dekat yang dianggap mumpuni atau
298
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
relasi usaha, dengan bertemu di suatu tempat atau mengundangnya ke rumah. Ibu Hj Sri Murni‟ah diwawancarai peneliti mengungkapkan sebagai berikut: “ingkang paling utami kaliyan semah (suami), lajeng kaliyan
lare-lare, amargi sampun sami dewasa, menawi persoalanipun sangat penting lan keluarga boten saget ngrampungi sedoyo, kawulo dan semah (suami) ke kyai ingkang kawolu tepang” Artinya: Yang paling utama dengan suami, terus dengan anak-anak, sebab anak-anak sudah dewasa, kalau permasalahan penting dan keluarga belum bisa menyelesaikan, saya dan suami mendatangi kyai yang sudah dikenal.
Bapak H.Moch Anshori65: “kalau ada masalah paling dengan isteri atau kerabat dekat, kakak atau adik untuk masalah keluarga, namun untuk masalah sosial menyelesaikan dengan teman-teman atau relasi untuk berdiskusi”.
Sedangkan Bapak H.Hasan dalam mencari alternatif memecahkan masalah cenderung memilih berdiskusi dengan keluarga dan jarang berdiskusi dengan teman, Sedangkan Bapak Nur Syafiq lebih memilih mengundang teman-teman bisnis ke rumah. Bapak H.Hasan66 menuturkan kepada peneliti: “Kalau ada masalah, ya paling berdiskusi dengan anak,isteri dan saudara dan jarang sekali masalah didiskusikan dengan teman atau tetangga”
Sedangkan Bapak Nur Syafaq67, mengungkapkan: “…. untuk membantu masalah yang dihadapinya, saya sering mengundang teman-teman ke rumah untuk ngobrol bisnis dan hal-hal lain yang ada kaitan dengan bisnis bordir dan konfeksi maupun masalah kemasyarakatan misal membuat jalan desa, gorong-gorong.
299
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
CATATAN-CATATAN KAKI Dialectic of the internalization of externality dan the externalizing of internality,”Bourdieu,1997.Outline of Theory of Practice, translated Richard Nice,Cambridge University Press,USA.,hlm.72. 1
Arizal Mutahir.”Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu,Sebuah Gerakan untuk Melawan Dominasi”. (Yogya:Bantus,Kasihan.Kreasi Wacana,2011).hlm.57.
2
Pengertian keluarga atau kerabat dalam konteks seberapa jauh interaksi sosial yang terjadi antara anggota keluarga dengan para kerabat (red.peneliti). 3
Semakin tinggi kesadaran kehidupan berkelompok masyarakat akan memberikan dampak positif baik bagi kelompok maupun lingkungan di luar kelompok. 4
Jaringan sosial adalah hubungan-hubungan terbentuk antar satu kelompok dengan kelompok lain misal keluarga, kelompok kekerabatan, komunitas pengusaha, organisasi formal dan sebagainya.
5
Masyarakat politik akan menjadikan katalisator berharga dalam menjembatani hubungan antara masyarakat kelompok dengan negara atau pemangku kepentingan. 6
Institusi adalah wadah atau lembaga dengan fungsi tertentu dari sekumpulan individu yang keberadaannya telah ditentukan. 7
Norma adalah susunan dari pemahaman terhadap nilai-nilai kehidupan serta harapan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang. 8
9
Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
10
Wawancara dengan Bapak Nur Said.S.Ag,.M.Ag tanggal 10 Oktober 2014.
11
Wawancara dengan Bapak.H.Gufron tanggal 13 Oktober 2014.
Interaksi sosial adalah hubungan antarmanusia yang sifat dari hubungan tersebut adalah dinamis artinya hubungan itu tidak statis, selalu mengalami dinamika. Kemungkinan yang muncul ketika satu manusia berhubungan dengan manusia lainnya adalah hubungan antara individu dan individu yang lain, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Baca, Elly M.Setiadi dan Usman Kolip. “Pengantar Sosiologi, Pemhaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.62. 12
13
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014.
14
Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 13 Oktober 2014.
15
Wawancara dengan H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
16
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
Kekuatan moral menurut F.M Suseno adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar.Franz Magnis Suseno.‟Etika Dasar….”,op,cit,hlm 41. 17
300
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
“aja mitunani wang liya” (jangan merugikan orang lain) sering kali secara spontan dikemukakan secara implisit jawaban informan terhadap berbagai aturan moral. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…,op cit.,hlm 54.Lihat juga Franz Magnis Suseno, Kuasa dan….,op cit.,hlm.167. 18
19
Niel, Mulder,Mysticism and Daily Life….,op, cit.,hlm.51.
20
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang sosial yang ada pada waktu itu. Kedua, kritis terhadap masyarakat pada saat itu, yang perlu diubah secara radikal. Menurut teori kritis pengenalan tidak pernah merupakan suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis menyadari bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk masyarakat tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 123. 21
Alasan prinsip hormat dan rukun sebagai acuan caranya bersikap baik dalam pergaulan karena, menurut Magnis Suseno, dua prinsip itu paling menentukan pertama-tama bagi pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kedua, kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi dan ketiga, tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa sejak kecil yang telah membatinkannya dan ia sadar bahwa masyarakat mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai dengan prinsip hormat dan rukun ini. Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op. cit., hlm. 38. 22
23 Habitus yang merupakan kekuatan social capital adalah, modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat yaitu, modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien pada posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. Piere Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hlm. 503.
Menurut Magnis Suseno, antara bersikap hormat dan rukun dengan bersikap kekeluargaan dan bergotong-royong mengimplikasikan semangat batin yang sama 24
yaitu, hendak bersikap baik atau senang kepada sesamanya. Praktik gotong-royong juga mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong dimaksudkan dua macam pekerjaan : saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op.cit., hlm. 50. Koentjaraningrat menambahkan, ada tiga nilai yang disadari orang Jawa dalam melakukan gotong-royong. Pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidup seseorang pada hakikatnya selalu tergantung pada sesamanya, maka ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus selalu bersifat konform artinya, orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakat. Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 35.
301
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Realitas sosial pada dasarnya berfungsi sebagai konteks komunikasi atau sebagai dunia kehidupan yang di dalamnya terkandung cakrawala pengetahuanpengetahuan,nilai-nilai dan norma-norma yang baginya barang tentu, yang belum direnungkan (direfleksikan) dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaianpenilaian untuk mengambil sikap. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 224. 25
26 C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 9.
Clifford Geertz,”The Impact of the Concep of Culture on the Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, (Chicago: The University of Chicago Press, 1965), hlm. 93-94. 27
Kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari kekuatan dirinya, sesuatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau apapun yang dinamakan sebagai keberadaan manusia. Selanjutnya dapat dibaca. Mimi Doe. ”10 Principles for Spiritual Parenting”, (New York: Orbis Books, 2000). hlm.28. 28
29
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal14 Oktober 2014.
30
Wawancara dengan Bapak H.Noor Kholid tanggal 15 Nopember 2014.
31
Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
32
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq pada tanggal 18 Oktober 2014.
Sikap integrasi adalah sikap terbuka keluar. Artinya bersedia bersikap hormat atau bersikap baik terhadap aneka tradisi atau budaya, pandangan hidup atau agama yang berbeda bagi setiap orang yang hidup bersama dalam masyarakatnya demi terciptanya suasana yang tenang, gembira, bebas dari rasa takut, dan bebas dari tekanan /Franz Magnis Suseno. ”Kuasa dan Moral”. (PT.SUN.2001), hlm.97 33
34 Franz Magnis Suseno, ” Etika Jawa sebuah Analisis Falsafat Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Yogyakarta:Gramedia,2001), hlm.54. Baca juga. Franz Magnis Suseno. ”Kuasa dan…, op.cit, hlm.167. 35
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
36
Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
37
Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 10 Oktober 2014.
38
Wawancara dengan Bapak H.Noor Kholid tanggal 15 Nopember 2014
39
Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014
40
Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
41
Wawancara dengan Bapak Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
42
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq pada tanggal 18 Oktober 2014.
302
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
43
Wawancara dengan Ibu Mirah pada tanggal 14 Oktober 2014.
44
Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 19 Oktober 2014.
45
Wawancara dengan Bapak H. Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
46
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
47
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
48
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
49
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
50
Wawancara dengan Ibu Sri Muni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
51
Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 15 Oktober 2014.
52
Wawancara dengan Bapak Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
53
Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 14 Oktober 2014.
54
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
55
Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
56
Wawancara dengan Bapak H. Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
57
Wawancara dengan Bapak Arif Chuzaimahtum pada tanggal 10 Oktober 2014.
58
Wawancara dengan Bapak Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
59
Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 14 Oktober 2014
60
Wawancara dengan ibu Nurul Hikmah tanggal 19 Oktober 2014.
61
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
62
Wawancara dengan Ibu Muffarrikhah tanggal 10 Oktober 2014.
63
Wawancara dengan Bapak Noor Kholid tanggal 15 Oktober 2014.
64
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
65
Wawancara dengan Bapak.H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
66
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
67
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014
303