GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN KEMITRAAN DAN PERLINDUNGAN USAHA PETERNAKAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang
: a. bahwa kegiatan usaha peternakan yang merupakan salah satu upaya untuk tercapainya pembangunan peternakan modern yang berorientasi agribisnis perlu dikembangkan; b. bahwa untuk maksud huruf a diperlukan peranan swasta melalui pola kemitraan usaha peternakan; c. bahwa dalam pelaksanaan pola kemitraan perlu melindungi peternak kecil yang telah ada, dan merupakan budaya secara turun temurun agar tetap lestari; d. bahwa untuk maksud tersebut dalam huruf a,huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di Provinsi Bali;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), juncto UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
2 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) ; 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) 6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3102); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Rebulik Indonesia Nomor 4593); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 11. Keputusan Menteri pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/ 9/1997 tentang Kemitraan Usaha Pertanian; 12. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944/Kpts/OT.210/ 6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan; 13. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perindungan, Pemberdayaan dan Pembinaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3);
3 MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PELAKSANAAN KEMITRAAN DAN PERLINDUNGAN USAHA PETERNAKAN DI PROVINSI BALI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Daerah Bali. 2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali. 3. Gubernur adalah Gubernur Bali. 4. Dinas adalah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali. 5. Satuan kerja perangkat daerah selanjutnya disingkat SKPD adalah satuan kerja perangkat daerah dilingkungan pemerintah kabupaten/kota di Bali yang secara teknis bertanggung jawab dalam Perlaksanaan Pola Kemitraan Usaha Peternakan di Provinsi Bali. 6. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar 7. Pola kemitraan adalah suatu pola usaha kerja sama antara perusahaan inti sebagai penyedia modal dengan peternak plasma sebagai pelaksana yang mengacu pada prinsip-prinsip; saling menguntungkan, keterbukaan, keadilan dan pemberdayaan yang diatur secara tertulis dalam kesepakatan bersama. 8. Perlindungan usaha adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dari praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi oleh kelompok usaha tertentu. 9. Perusahaan inti adalah perusahaan yang sah sesuai aturan perundangundangan yang melakukan kerjasama dengan Peternak Plasma. 10. Peternak Plasma adalah peternak yang melakukan kerjasama dengan perusahaan inti. 11. Asosiasi adalah perkumpulan orang yang mempunyai maksud, tujuan dan kepentingan bersama dalam berusaha yang telah memperoleh pengakuan dari pemerintah daerah. 12. Budaya peternak adalah merupakan kegiatan memelihara ternak yang dilakukan sebagai warisan yang dialihturunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya. 13. Pelaku usaha adalah setiap orang yang menjalankan usaha baik dalam skala mikro, kecil, menengah maupun besar.
4
14.
Peternak mandiri adalah peternak yang tidak ikut dalam pola kemitraan. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 MAKSUD
Maksud ditetapkannya Peraturan Gubernur ini adalah: a. Sebagai acuan bagi pelaku usaha, dalam menata pelaksanaan usaha peternakan melalui pola kemitraan maupun secara mandiri; b. Sebagai acuan bagi SKPD yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, dalam mengkoordinasikan, membimbing dan mengawasi pelaksanakan penataan peternakan; dan c. Sebagai acuan bagi peternak dalam melakukan usaha peternakan baik dengan pola kemitraan maupun mandiri. Pasal 3 TUJUAN Tujuan ditetapkannya Peraturan Gubernur ini adalah: a. menata pelaksanaan usaha peternakan melalui pola kemitraan; b. mengendalikan penyakit hewan melalui tindakan biosekuriti dan tindakan teknis kedokteran hewan lainnya; dan c. menjaga dan melestarikan kelangsungan hidup budaya peternakan yang ada di Bali. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 4 Ruang lingkup perlaksanaan pola kemitraan dan perlindungan usaha peternakan mencakup: a. peranan dan tanggung jawab pemerintah daerah dan asosiasi; b. perizinan; c. pola kemitraan; d. hak dan kewajiban; e. pelaporan; f. pembinaan; g. monitoring dan evaluasi; dan h. sanksi.
5 BAB IV PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 5 Peranan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pola kemitraan mencakup: a. membantu/menjembatani antara perusahaan yang berskala besar/menengah dengan usaha masyarakat yang berskala kecil dalam pelaksanaan pola kemitraan dengan melibatkan asosiasi usaha peternakan yang terkait dalam hal memberikan masukan; b. membantu pembentukan kelompok usaha berskala kecil; c. membina, memantau, mengawasi dan mengevaluasi serta memberikan sanksi bagi yang melanggar pelaksanaan pola kemitraan; dan d. menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pola kemitraan. Pasal 6 Peranan asosiasi di bidang peternakan dalam pelaksanaan pola kemitraan mencakup: a. memberikan bimbingan tentang pelaksanaan perlindungan usaha kepada peternak yang bergabung dalam asosiasi; b. mendampingi pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang timbul antara peternak yang bergabung dalam asosiasi dengan pihak-pihak lain; dan c. bersama pemerintah daerah melakukan pembinaan, pemantauan dan pengawasan terhadap peternak yang bergabung dalam asosiasinya. BAB V PERIZINAN Pasal 7 (1)
badan usaha yang akan melakukan usaha peternakan pola kemitraan dan yang memasok sarana produksi wajib memiliki izin sesuai wilayah kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Pelaksanaan pola kemitraan inti plasma dapat dijalankan setelah mendapat: a. rekomendasi dari Lurah/Desa setempat; b. rekomendasi dari SKPD yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota dan Provinsi;
6 BAB VI POLA KEMITRAAN Pasal 8 (1)
Perusahan inti dapat melaksanakan hubungan kemitraan dengan peternak plasma baik yang memiliki maupun tidak memiliki keterkaitan usaha.
(2)
Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diupayakan kepada terwujudnya keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling mempercayai, memperkuat dan menguntungkan kedua belah pihak.
(3)
Usaha budidaya yang sudah dapat dilaksanakan oleh peternak plasma, maka perusahan inti dalam melaksanakan hubungan pola kemitraan hanya menyerap hasil produksi budidaya.
(4)
Perusahan inti yang akan melaksanakan hubungan kemitraan dengan peternak agar mengutamakan peternak yang telah dibina oleh pemerintah daerah. BAB VII HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 9
(1)
Perusahaan inti dan Peternak Plasma yang melaksanakan pola kemitraan sama-sama mempunyai hak untuk: a. mendapat kemudahan untuk melakukan kemitraan; dan b. membatalkan perjanjian apabila salah satu pihak mengingkari, dan selanjutnya diproses secara hukum.
(2)
Perusahaan inti yang melaksanakan pola kemitraan mempunyai hak untuk mengetahui kinerja kemitraan peternak plasma mitra binaannya. Pasal 10
(1)
Perusahaan inti berkewajiban: a. meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan; b. memberikan informasi peluang kemitraan; c. memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah dan asosiasi peternak yang ada di Provinsi Bali mengenai perkembangan pelaksanakan kemitraan setiap bulan; d. menunjukkan penanggung jawab kemitraan; e. mengatur secara jelas tentang lamanya kontrak kerja pola kemitraan. f. mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian kemitraan; g. melakukan pembinaan kepada kelompok mitra binaannya dalam satu atau lebih aspek yang meliputi:
7
g.1. Pemasaran, dengan : 1) membantu akses pasar; 2) memberikan bantuan informasi pasar; 3) memberikan bantuan promosi; 4) mengembangkan jaringan usaha; 5) membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen; dan 6) membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah kemasan. g.2. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, dengan : 1) Pendidikan dan pelatihan; 2) Magang; 3) Studi banding; dan 4) Konsultasi; g.3. Permodalan, dengan : 1) memberikan informasi dan memfasilitasi sumber-sumber kredit; 2) mmengajukan jaminan dari berbagai lembaga penjamin; 3) mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan; 4) Informasi dan tata cara penyertaan modal; dan 5) membantu akses permodalan. g.4. Manajemen, dengan : 1) membantu menyusun studi kelayakan; 2) Sistim/prosedur organisasi dan manajemen; dan 3) menyediakan tenaga konsultan dan advisor. g.5. Teknologi, dengan : 1) membantu perbaikan, inovasi dan alih teknologi; 2) membantu perbaikan sistim produksi dan kontrol kualitas; dan 3) membantu pengembangan disain dan rekayasa produk. h. Menyediakan tenaga medik veteriner untuk mencegah terjadinya kasus/wabah penyebaran penyakit hewan yang meliputi: 1) menyediakan medik veteriner untuk tindakan biosekuriti dan tindakan kesehatan hewan lainnya pada peternak mitra; 2) Tenaga medik veteriner yang dimaksud pada huruf a diatas memiliki kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku: 3) melaporkan kepada pemerintah daerah tentang kondisi kesehatan hewan terutama pada peternak mitra. (2) Peternak Plasma berkewajiban: Meningkatkan pengembangan manajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan Perusahaan inti.
8
Pasal 11 Dalam rangka melindungi keberlanjutan dan perkembangan budaya usaha peternakan mandiri maka: (1) Perusahaan inti tidak diperkenankan mengganggu pasar yang telah dimiliki oleh usaha peternakan mandiri; (2)
Perusahaan inti agar menciptakan peluang pasar baru baik untuk menampung produksi usahanya maupun menampung produksi usaha peternakan mandiri;
(3)
Bentuk peluang pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa antara lain : a. melakukan pemasaran hasil produksi keluar daerah Bali minimal delapan puluh persen dari produk yang dihasilkan; b. mendirikan dan/atau mengelola Rumah Potong Hewan (RPH)/Rumah Potong Unggas (RPU); c. mendirikan usaha prosesing bahan asal hewan; dan d. melakukan kontrak kerja dengan industri hotel dan restoran yang masih menggunakan produksi bahan asal hewan dan atau hasil olahan bahan asal hewan import dari luar daerah Bali;
(4)
Apabila terjadi kelangkaan ketersediaan produksi untuk kebutuhan Daerah Bali akan dilakukan koordinasi lebih lanjut antara pemerintah daerah, perusahaan kemitraan dan asosiasi.
(5)
Perusahaan inti wajib menyediakan Rumah Potong Hewan/Unggas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, adalah : a. perusahaan inti yang menyebarkan bibit babi/menghasilkan babi potong 1.000 (seribu) ekor keatas dalam satu bulan;dan b. perusahaan inti yang menyebarkan bibit ayam potong/menghasilkan ayam potong 150.000 (seratus lima puluh ribu) ekor keatas dalam satu bulan. Pasal 12
(1) Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pembinaan dan pengembangan serta jangka waktu jelas dan penyelesaian perselisihan. (2)
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditembuskan kepada Dinas yang menangani fungsi-fungsi peternakan di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
9
Pasal 13 Pelaksanaan hubungan kemitraan yang berhasil antara usaha besar/menengah dengan usaha kecil ditindak lanjuti dengan kesempatan pemilikan saham Usaha Besar/Menengah oleh Usaha Kecil Mitra Usahanya dengan harga yang wajar. BAB VIII PELAPORAN Pasal 14 (1)
Perusahan besar/menengah yang melaksanakan kemitraan wajib menyampaikan struktur tenaga operasional lapangan dan kontak person (manajer area) kepada SKPD yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten/Kota pada wilayah pola kemitraan tersebut berada.
(2)
Setiap 1 (satu) bulan perusahaan besar/menengah yang melaksanakan kemitraan berkewajiban mengirimkan laporan secara tertulis tentang perkembangan peternak pola kemitraan dan populasi kepada Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten/Kota pada wilayah pola kemitraan tersebut berada. BAB IX MONITORING DAN EVALUASI Pasal 15
(1)
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu setiap 3 (tiga) bulan sekali antara pemerintah kabupaten/kota dan asosiasi perusahaan besar/menengah yang melaksanakan kemitraan.
(2)
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan maksud untuk melihat sejauhmana keselarasan dan pemenuhan kewajiban aspek administrasi dan aspek teknis dalam pengelolaan peternakan oleh perusahaan pola kemitraan.
(3)
Aspek administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), antara lain berupa: a. kelengkapan perizinan dan/atau dokumen semacamnya; dan b. dokumen kontrak/perjanjian antara kemitraan dan peternaknya.
10
(4)
Aspek teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa : a. kelengkapan tenaga teknis/pengelola; b. kelayakan kandang; dan c. pemeliharaan ternak.
(5)
Pertemuan dalam rangka evaluasi kemitraan dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan asosiasi peternak yang ada di Bali serta perusahaan kemitraan setiap 6 (enam) bulan. BAB X PEMBINAAN Pasal 16
(1)
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota melakukan koordinasi secara terpadu dan mendorong secara simultan upaya pemberdayaan peternakan.
(2)
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta perusahan kemitraan melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan kapasitas peternak dan petugas teknis lapangan.
(3)
Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi terbentuknya forum atau paguyuban di bidang peternakan pada daerahnya masing-masing untuk mendorong terbangunnya komunikasi dan koordinasi secara berkelanjutan antara pelaku usaha dengan pemerintah Kabupaten/Kota.
(4)
Dalam rangka monitoring dan evaluasi sebagai bentuk pembinaan dari Pemerintah Daerah dan pemerintah kabupaten/kota terhadap kemitraan di bidang peternakan, maka setiap Surat Perjanjian Kerjasama antara perusahan inti dengan peternak/plasma wajib diserahkan photo copy naskahnya 1 (satu eksemplar) kepada SKPD yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten/Kota, paling lambat 1 (satu) minggu setelah kontrak kerjasama tersebut ditanda tangani oleh para pihak.
(5)
Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi perusahan inti dengan peternak/plasma dan peternak/plasma dengan masyarakat bilamana terjadi perselisihan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(6)
Dalam hal upaya penyelesaian untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ternyata tidak berhasil, maka upaya penyelesaiannya disarankan melalui jalur hukum di pengadilan.
11
BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 17 (1)
Setiap perusahaan besar/menengah yang melaksanakan pola kemitraan dan/atau peternak yang melanggar ketentuan Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 14 dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan lisan; b. peringatan tertulis; c. pembekuan izin; atau d. pencabutan izin.
(3)
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kewenangannya melakukan penegakan untuk penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 18
(1)
Gubernur melalui Dinas melakukan fasilitasi dan pengendalian/ pengawasan dalam rangka penegakan dan penerapan sanksi administratif secara efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2)
Gubernur melalui Dinas dalam melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berkoordinasi dengan instansi/pihak terkait.
12
BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Peraturan Gubernur ini berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Bali. Ditetapkan di Denpasar pada tanggal 4 Maret 2013 GUBERNUR BALI,
MADE MANGKU PASTIKA
Diundangkan di Denpasar pada tanggal 4 Maret 2013 Plt. SEKRETARIS DAERAH PRONVINSI BALI,
I WAYAN SUASTA BERITA DAERAH PROVINSI BALI TAHUN 2013 NOMOR 6