GLOKALISASI KARYA SENI BATIK INDONESIA SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI MULTIKULTURAL DALAM ERA KOMUNITAS ASEAN M. Firdaus Benyamin1, Arus Reka Prasetia2 1. Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Widyatama Jalan Cikutra 204A, Bandung
[email protected] 2. Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Widyatama Jalan Cikutra 204A, Bandung
[email protected]
ABSTRAK Glokalisasi dimaknai sebagai munculnya bentuk interpretasi terhadap berbagai produk global (yang asalnya merupakan produk lokal) dalam konteks perilaku yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga membuka kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya, yang akan berdampak pula pada perspektif ekonomi. Keberadaan karya seni batik Indonesia dengan aneka ragam motif serta maknanya, diyakini telah menjadi salah satu karya budaya simbolik asal Indonesia yang menawan di mata pergaulan dan perdagangan internasional, termasuk dalam menghadapi era komunitas ASEAN yang akan diimplementasikan pada tahun 2015 ini. Tulisan ini disusun berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif, proses interaksi komunikasi yang mendalam, penelusuran berbagai literatur sebagai data sekunder, serta pendekatan induktif dalam pengungkapan fakta dan analisis data. Batik sebagai suatu karya seni asal Indonesia, tidak lahir dari kekosongan sosial. Batik di Indonesia merupakan salah satu bentuk praktik multikultural, semacam strategi untuk beradaptasi dengan perubahan latar sosial dan tantangan eksternal yang mempengaruhi kegiatan kreatif seni. Kreativitas industri batik sebenarnya sudah mulai tergambar dari semarak para pengrajin batik yang mulai menciptakan kreasi batik tak sebatas hanya sebagai bahan sandang, namun berupa produk kreatif yang dapat digunakan sehari-hari. Perlu strategi komunikasi multikultural yang kreatif dalam mempertahankan eksistensi batik Indonesia, dengan menggunakan konsep glokalisasi, yakni terkait strategi kreatif dalam berkarya dan strategi kreatif dalam komunikasi. Kata kunci: glokalisasi, batik, multikultural, strategi komunikasi, era komunitas ASEAN.
1. PENDAHULUAN Karya dari batik dapat diidentifikasi dalam unsur-unsur komunikasi seni (media seni batik), sehingga komunikan akan mengenal komunikatornya memiliki gaya ungkap pesan
1
yang khas pada setiap karya yang diciptakannya. Itulah ciri khas jati diri yang melekat pada seorang seniman yang membedakannya dengan seniman lainnya. Jati diri yang telah dibangunnya tersebut, secara mikro akan mampu mewakili suatu komunitas seni itu sendiri dan secara makro mampu mewakili kebudayaannya sebagai ciri kepribadian bangsa (Djomena, 2013:61). Batik bukan hanya produk asli Indonesia yang indah secara estetika. Batik Indonesia adalah salah satu seni menggambar yang tertua di dunia. Jadi apa yang terpola dalam sebuah kain memiliki makna yang sangat mendalam, dimana didalamnya terkandung makna dan filosofis yang sangat tinggi. Bukan hanya itu saja, tapi batik memiliki ciri khas masing-masing yang melambangkan asal daerah dan strata sosial dimana batik tersebut berasal. Batik yang berasal dari Indonesia telah berkembang sesuai dengan keadaan sosial politik dan ekonomi pada masa itu hingga sekarang, memiliki motif-motif yang khas setiap daerah sesuai dengan keberadaan budaya masing- masing. Motif tersebut berupa batik kraton, batik pesisir, dan batik pedalaman, serta jenis pola, corak, motif, dan makna dibalik motif batik. Batik telah berkembang di seluruh Indonesia dari Kepulauan Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Bali, Nusa Tenggara, sampai Papua. Kondisi batik di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, banyak memperoleh pengaruh dari batik Jawa Tengah. Batik kraton mempunyai andil besar terhadap perkembangan batik-batik di daerah Jawa Barat (Wulandari, 2011:77). Batik sudah menjadi gaya hidup. Bukan hanya dalam bentuk kain tradisional saja, tetapi juga dalam bentuk apa saja dalam semua sendi bidang kehidupan. Di rumah, misalnya, sarung bantal, seprai, taplak meja, hingga berbagai peralatan makan juga bisa menggunakan motif batik, sehingga batik boleh dibilang sudah menjadi bagian dari putaran gaya hidup global.
2
Gambar 1.1 Homeset Batik Cap Sumber: Tokopedia, 2015, “Homeset Tenun Aplikasi Batik Cap”, tersedia pada https://www.tokopedia.com/umaisolshop/homeset-tenun-aplikasi-batik-cap-2 diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 14.15 (GMT +7).
Banyak desainer fashion dunia sekarang juga sudah mengadaptasi batik Indonesia dalam koleksi busana mereka
(Musman & Arini, 2011:51). Mereka tidak mengambil teknik
membatiknya, yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu bentuk Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi dari Indonesia sejak 2 Oktober 2009 yang lalu, melainkan motifnya. Beberapa perancang atau label yang menggunakan motif ini antara lain Dries van Noten, Nicole Miller, Burberry Prorsum, dan Diane von Furstenberg.
Gambar 1.2 Batik Karya Dries Van Noten Sumber: TrendVogue, 2015, “Indonesian Batik and American Fashion Industry” tersedia pada http://www.trendvogue.net/indonesian-batik-and-american-fashion-industry/ diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 22.30 (GMT +7).
3
Desainer Belgia Dries van Noten, yang menggunakan motif batik untuk koleksi Spring/Summer 2010 yang dipamerkannya di Paris Fashion Week. Selain batik, desainer tersebut juga menggunakan tenun ikat dan tenun songket. Dries van Noten menggunakan motif-motif tersebut untuk dicetak di atas bahan katun maupun satin. Dries van Noten juga mempadupadankan motif batik yang satu dengan motif batik yang lainnya dengan gaya yang playful. Koleksi busana dari perancang tersebut telah memperoleh apresiasi positif dan konstruktif dari para kritikus busana dunia dan pencinta fashion mancanegara. Sementara itu, perancang Amerika Nicole Miller mengeluarkan Resort Collection 2009 yang jelas sekali tampak menggunakan motif batik mega mendung. Nicole Miller mengambil tema "Bali", karena perancang tersebut mengaku menerima oleh-oleh kain motif print dari asisten pribadinya yang telah melakukan perjalanan ke Bali. Kesan Bali sendiri hanya muncul pada motif catur yang biasa dipakai pria-pria Bali. Batik mega mendung itu dipadupadankannya dengan motif garis dan motif catur bali, dan muncul dalam bentuk dress, kaftan, tunik, topi, atau sekedar menjadi aksen.
Gambar 1.3 Batik Karya Nicole Miller Sumber: Batik Trusmi, 2013, “Ini Bukti Busana Batik Cirebon Indonesia Digemari Seleb Hollywood”, tersedia pada http://batiktrusmi.org/ini-bukti-busana-batik-cirebon-indonesia-digemari-seleb-hollywood/ diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 03.35 (GMT +7).
Mengutip pandangan Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat saat itu, bahwa inilah waktu tepat bagi warisan Indonesia dalam memenuhi pasar desain kontemporer Amerika Serikat. Menurut beberapa pemerhati fashion dunia, di luar upaya para
4
desainer papan atas untuk menggunakan kain etnik bermotif batik tersebut, beberapa selebriti Hollywood juga punya andil yang cukup besar dalam mempopulerkan batik print. Banyak dari mereka yang memang sempat terlihat mengenakan busana dengan motif batik. Di antaranya Lenka, Adele, dan Adam Clayton (basis U2, yang memakainya saat tampil di Somerville Theatre, Boston, Massachussets, Amerika Serikat), juga Paris Hilton, Jessica Alba, Rachel Bilson, Reese Witherspoon, dan Nicole Richie. Provokasi media memang luar biasa, ketika selebriti terlihat memakai batik, hal itu bikin orang lain jadi ikut tertarik dengan batik.
Gambar 1.4 Selebritis Dunia dengan Batik Sumber: Oktaviani, Kiki., 2012, “6 Selebriti Dunia Cantik Pakai Batik”, tersedia pada http://wolipop.detik.com/read/2012/10/02/123518/2052486/1137/6-selebriti-dunia-cantik-pakai-batik diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 09.35 (GMT +7).
Para selebriti mengenakan busana bermotif batik menjadi bukti lain bahwa batik sudah merasuk di dunia internasional. Bahkan produk budaya Indonesia lain seperti kain tenun pun mulai mencuri perhatian. Di pentas mode dunia seperti New York Fashion Week atau Milan Fashion Week, kata "tenun" sudah disebut sebagai "ikat", membuktikan bahwa kata ini sudah diakui sebagai bahasa internasional (Shifrin, 2009:60).
5
Meskipun umumnya para perancang tersebut belum memahami teknik pembuatan batik yang sebenarnya, atau bahwa motif batik yang digunakan merupakan motif batik Indonesia. Para perancang pasti akan membutuhkan waktu untuk mengenali dan memahami asal-muasal motif batik yang dipakai.
2. TINJAUAN PUSTAKA Seluruh uraian dan penjelasan ini adalah murni berdasarkan dari hasil analisis mendalam, dengan menggunakan metode kualitatif yang masih bersifat subjektif, data-data sekunder yang layak dipercaya dan dijadikan sumber tulisan, analisis dari berbagai studi literatur terkemuka, analisis dari berbagai media cetak maupun online, serta berbagai pendapat dari para pemerhati fashion dan perancang batik.
2.1 Konsep Glokalisasi Globalisasi memang sangat erat kaitannya dengan ekonomi internasional, termasuk dengan adanya program blok perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diimplementasikan pada akhir tahun 2015 ini, yang memberi pengaruh besar pada kebudayaan dan gaya hidup. Salah satu konsep yang turut berkembang bersama globalisasi adalah glokalisasi. Glokalisasi merupakan proses dimana global mulai dilokalkan, tentu saja proses ini banyak mengubah keadaan suatu negara (Roberts Jr., 2007:84). Namun, walau kehadiran budaya global yang masuk dan bercampur dengan budaya lokal, tetapi negara akan tetap mencoba untuk mempertahankan eksistensi dari kebudayaan lokalnya sebagai poros pemikiran bernegara. Dapat dikatakan bahwa glokalisasi ialah penyesuaian produk global dengan karakter pasar lokal, jadi glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap konsep perdagangan bebas yang tidak lagi mampu menspesialisasikan sebuah negara dalam suatu
6
produk sesuai dengan potensinya (Irsan, 2010:55). Maka dari itu, para produsen tertentu telah mengkondisikan sebuah negara (pasar), agar berada dalam satu latar belakang sosial budaya yang sama dengan negara yang lain.
Gambar 2.1 Contoh Produk Glokalisasi Sumber: Ruby, Carolyn, 2014, “Going Glocal”, tersedia pada http://wondermentcreative.com/going-glocal/ diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 12.30 (GMT +7).
Glokalisasi merupakan istilah yang mulai berkembang saat ini, istilah ini muncul seiring berkembangnya istilah globalisasi. Glokalisasi dan globalisasi tidaklah sama. Glokalisasi lebih condong ke dunia lokal. Glokalisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mencegah globalisasi. Glokalisasi ini dilakukan untuk membentengi diri dari bercampurnya kebudayaan lokal dan kebudayaan asing (Bhaduri, 2008:112). Jika arus globalisasi tidak bisa dibendung, maka kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara lama kelamaan akan menjadi hilang. Sebenarnya ada usaha lain untuk membendung arus globalisasi, seperti memperkuat identitas budaya dan menanamkan budaya yang ada sejak dini. Tetapi yang paling mendapat perhatian saat ini sepertinya adalah glokalisasi. Glokalisasi juga bisa diartikan menjadi sebuah ide pikiran, yaitu berpikri global dan bertindak lokal (Drori et al., 2013:93). Istilah ini pertama muncul pada akhir 1980-an di tulisan para ekonom Jepang di Harvard Business Review. Menurut seorang sosiolog ternama, Robertson (1995:145), orang yang mempopulerkan kata ini, glokalisasi mendeskripsikan hasil penyesuaian lokal baru terhadap tekanan global. Di konferensi "Globalization and Indigenous Culture" tahun 1997, Robertson mengatakan bahwa glokalisasi "berarti munculnya tendensi universal dan terpusat secara bersamaan". Ada juga yang mengatakan think globally and act actually (berpikir global
7
namun bertindak lokal) (Sigismondi, 2005:69). Menurut Budihardjo, globalization with local flavor (globalisasi dengan cita rasa lokal) (Budiharjo, 2015). Dengan demikian, glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap konsep perdagangan bebas yang tidak menspesialkan sebuah negara sesuai dengan potensinya. Jadi, cara untuk berbagi dengan kultur lokal itu untuk menghasilkan dialog yang menarik di dalam sebuah karya seni yang bisa dihasilkan secara global. Misalnya desain dan ornamen tradisi kriya Afrika itu bisa dipopulerkan di tingkat global, berarti mempromosikan lokal di pasar global, berarti itu cara berpikir seorang glokalizer. Glokalisasi tidak bisa dihindari dan sangat berperan dalam mengubah nilai-nilai tradisi, khususnya pada produk, yang menjadi hal menarik adalah perubahan-perubahan pada produk tersebut sifatnya tidak hanya fisik semata, namun juga terjadi pergeseran paradigma pada masyarakat. Glokalisasi juga mengakibatkan adanya pandangan tentang suatu budaya yang tidak berakar dari suatu tradisi tertentu dan dianggap berhak berhak untuk dimiliki oleh semua orang, menembus batas wilayah dan budaya, hal ini kerap dipandang sebagai ancaman terhadap kemurnian nilai tradisi setempat.
2.2 Konsep Multikultural Multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”, sehingga istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat, yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda. Selanjutnya, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa bentuk yang sederhana, seperti pluralitas (plurality) mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu (many)”, keragaman (diversity) menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan, dan multikultural (multicultural) itu sendiri (Taras, 2013:131).
8
Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai, sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya (Phillips, 2007:82). Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pengertian multikultural mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berati jamak atau plural, dan “kultural” yang berarti kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi, dan budaya (Haddock & Sutch, 2003:37). Dalam pengertian tradisional tentang multikultural, memiliki dua ciri utama. Pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikultural yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan, dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi (Hernandez, 2000:72). Pengertian ini mengajak masyarakat untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk bekerjasama secara positif dengan yang berbeda. Selain itu terus mewaspadai segala bentuk-bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri (Máiz & Requejo, 2005:43). Multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
9
masyarakat seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik (Banting & Kymlicka, 2006:122). Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan. Berdasarkan gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama (Sleeter & Grant, 2007:112). Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Multikulturalisme (multiculturalism), meskipun berkaitan dan sering disamakan adalah kecenderungan yang berbeda dengan pluralisme (Banting & Kymlicka, 2006:237). Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang didalamnya terdapat problem minoritas (minority groups) versus mayoritas (majority group), yang didalamnya ada perjuangan eksistensial bagi pengakuan, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice).
10
2.3 Komunitas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan sebuah kesepakatan formal antara negara-negara yang tergabung di dalam ASEAN untuk melakukan integrasi ekonomi, dalam artian sistem atau blok perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Hal ini dilakukan sebagai upaya bersama dalam meningkatkan ketertarikan investor asing untuk menanamkan modal secara langsung di kawasan ASEAN. Penanaman modal asing ini dibutuhkan untuk meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan yang nantinya akan berpengaruh pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat di kawasan ASEAN. Komunitas ASEAN akan membentuk kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal yang membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme dan langkah-langkah tepat untuk memperkuat inisiatif ekonomi, mempercepat integrasi regional di sektor prioritas, memfasilitasi pergerakan bisnis/usaha dan tenaga kerja berbakat, dan memperkuat kelembagaan ASEAN. Pasar tunggal ini akan memungkinkan satu negara untuk menjual barang dan jasa ke seluruh negara ASEAN dengan mudah, sehingga kompetisi akan semakin ketat. Komunitas ASEAN tidak hanya sekedar membuka arus perdagangan barang dan jasa, tetapi juga
pasar tenaga kerja profesional seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lain
sebagainya. Hal tersebut terjadi, karena ada syarat dalam komunitas ASEAN yang mengharuskan dihapuskannya aturan-aturan yang sebelumnya membatasi perekrutan tenaga kerja asing. Blok perdagangan bebas MEA, meskipun pada satu sisi akan memperketat persaingan antara negara-negara di Asia Tenggara, tetapi pada sisi lainnya akan memberikan keuntungan untuk para anggotanya, terutama dalam penciptaan lapangan kerja baru, sehingga kesenjangan pembangunan di negara-negara ASEAN dapat diatasi.
11
3. HASIL ANALISIS 3.1 Nelson Mandela dan Batik Indonesia Mendiang Bapak Bangsa Afrika Selatan ini selalu memperlihatkan kemajuan dramatis di momen istimewanya. Bahkan, keistimewaan dramatis yang terpancar dari sosok Nelson Mandela adalah tentang busana yang selalu dikenakannya, yaitu batik. Mantan Presiden Afrika Selatan ini pada tahun 1997 sempat membuat mendiang Presiden RI Soeharto terhenyak ketika menerima Mandela dalam kunjungan kenegaraan. Saat itu Mandela mengenakan kemeja batik, sementara tuan rumah Pak Harto berbalut setelan jas lengkap.
Gambar 3.1 Nelson Mandela dan Soeharto Sumber: Armandhanu, Denny., 2013, “Kisah Nelson Mandela Cinta Batik Indonesia”, terdia pada
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/464227-kisah-nelson-mandela-cinta-batik-indonesia diakses pada tanggal 10 Januari 2015 Pukul 19.40 (GMT +7).
Kecintaan Nelson Mandela terhadap batik rupanya juga terlihat saat menghadiri acaraacara resmi, seperti peluncuran asosiasi mantan pemimpin dunia, The Elders, pada bulan Juli tahun 2007. Di kesempatan ini, pria kelahiran Mvezo, Afrika Selatan, 18 Juli 1918 ini dengan bangga mengenakan kemeja batik Indonesia. Acara tersebut diadakan bertepatan dengan ulang tahun ke-89 tokoh veteran perjuangan anti-apartheid ini. Sosok dari Nelson Mandela selalu dielu-elukan, apalagi dengan mengenakan batik yang membuat sosoknya semakin karismatik dan bersahaja (Heru, 2013).
12
Perkenalan Mandela pertama kali dengan batik Indonesia, menurut mantan Duta Besar RI untuk Afrika Selatan, Sugeng Rahardjo, terjadi pada 1990, beberapa bulan setelah dia keluar dari penjara di Pulau Roben. Sebagai presiden Kongres Afrika Selatan, Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba, mengadakan perjalanan pertama ke Asia, termasuk ke Indonesia.
Gambar 3.2 Mandela dan Batik Indonesia Sumber: Grazia Indonesia, 2013, “Mengenang Sang Pencinta Batik”, tersedia pada http://www.grazia.co.id/fashion/grazia.says/mengenang.sang.pencinta.batik/001/002/259 diakses pada tanggal 9 Februari 2015 Pukul 21.55 (GMT +7).
Mandela langsung jatuh cinta ketika menerima cinderamata batik. Sejak itu, setiap Mandela berkunjung ke Indonesia, ia selalu mengenakan batik. Sebagian besar kemeja batik yang dikenakan Mandela merupakan rancangan mendiang Iwan Tirta, seorang maestro batik Indonesia yang dikenal dengan rancangannya melalui motif parang besar. Iwan Tirta pernah berpendapat dalam satu kesempatan di akhir tahun 90-an ketika memberikan batik untuk Mandela, bahwa Mandela merupakan figur atau sosok yang ketokohanya sangat kuat dan pas dengan koleksi batiknya. Mandela tak hanya terlihat menarik, tapi memiliki kharisma perjuangannya semakin terpancar dengan mengenakan batik. Filosofi pembuatan batik yang memerlukan rasa kesabaran tinggi dan keharmonisan merupakan cermin kuat kepribadian Nelson Mandela. Mantan pemimpin Afrika Selatan yang kharismatik ini senantiasa mengenakan batik pada banyak acara-acara resmi, termasuk pada acara penutupan Piala Dunia tahun 2010. Bahkan, setelah kunjungan kenegaraan tahun 1997 di Istana Negara Jakarta tersebut, sejak saat itu seluruh menteri dalam Kabinet Mandela selalu mengenakan batik untuk acara
13
kenegaraan, berdasarkan instruksi dan inspirasi dari sang Presiden. Batik pun menjadi pakaian mahal disana, terutama yang berbahan sutera. Oleh karena mahalnya batik impor dari Indonesia, maka kemudian dibuatlah batik sutera versi Afrika Selatan yang dinamakan “Madiba Shirt”, yang merupakan julukan Mandela (Lestari, 2013). Jadi, mendiang Nelson Mandela yang wafat pada 5 Desember 2013, bukan hanya “Pahlawan Kemanusiaan” dunia, namun bagi bangsa Indonesia, layak tampaknya dinobatkan sebagai salah seorang “Pahlawan Multikultural” Indonesia. Dampak positif dari kebiasaan Nelson Mandela yang menyenangi batik, mengakibatkan batik lebih cepat mendunia.
3.2 Batik Indonesia sebagai Komunikasi Multikultural di Pentas Dunia Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jero Wacik pernah mengutarakan pendapat, bahwa berbagai upaya konstruktif untuk melestarikan dan mengembangkan batik Indonesia terus dilakukan, terutama agar batik semakin dicintai. Selain akan semakin diakui dunia, batik juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian, sehingga semakin banyak orang yang menggunakan batik, itu akan menguntungkan pengrajin batik, maka para pengrajin tersebut akan mendapatkan keuntungannya. Mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah mengutarakan pendapatnya saat acara pembukaan pameran batik dunia, World Batik Summit, bahwa batik merupakan identitas Indonesia dan dapat dijadikan sarana diplomasi dan komunikasi multikultural kepada semua negara sahabat di dunia. Semua rakyat Indonesia, sahabat-sahabat bangsa lain di dunia juga suka dan cinta batik, sekaligus suka memakai batik, maka masa depan batik akan cerah. Data dari Kementerian Perdagangan RI menyebutkan, total penjualan batik Indonesia tahun 2014 sekitar kurang lebih 5 trilyun rupiah. Sementara target tahun 2015 ini, penjualan
14
batik untuk dalam negeri maupun ekspor akan mencapai kurang lebih sekitar 7 trilyun rupiah. Total ekspor batik Indonesia pada tahun 2014 lebih dari 22, 3 juta dolar AS. Pada bulan Juli 2014 lalu, ada pagelaran Indonesian Batik: World Heritage, juga digelar meriah di Kedutaan Indonesia KBRI Washington, Amerika Serikat. Acara ini dihadiri banyak tamu undangan, termasuk warga Amerika yang ingin mengenal batik lebih jauh. Pameran ini menampilkan sekitar 60 kain batik dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo, Cirebon, Pontianak, dan lain-lain. Sementara itu, sewaktu menyambut Hari Batik Sedunia yang selalu diperingati tanggal 2 Oktober, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menggelar pameran batik yang menampilkan beberapa corak batik koleksi Ann Dunham, ibunda Presiden Barrack Obama, selama ia berada di Indonesia.
Gambar 3.3 Pagelaran Batik di Amerika Serikat Sumber: Wandira, Riska., 2014, “Kekayaan Warisan Budaya dalam Pagelaran Busana Batik”, tersedia pada http://wolipop.detik.com/read/2011/05/17/123439/1641122/233/kekayaan-warisan-budaya-dalam-pagelaran-busana-batik diakses pada tanggal 17 Februari 2015 Pukul 20.15 (GMT +7).
Pemerintah Indonesia selalu mendorong upaya-upaya menduniakan batik. Bentuk upayaupaya ini dinilai akan meningkatkan apresiasi dan akulturasi batik dalam kemajemukan budaya. Untuk tujuan tersebut, Perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di Amerika Serikat selalu melaksanakan program kompetisi desain batik (American Batik Design Competition) di Washington setiap tahunnya. Pada kompetisi terakhir di tahun 2014 lalu yang bertema “the Spirit of America in the Heritage Batik”, dinilai mampu untuk mendorong perpaduan budaya (confluence of civilization and culture) yang semakin marak di abad ke-21. Kompetisi ini akan membawa manfaat bagi semua.
15
Kemudian, ada Pemerintah Kota Surakarta yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Pemerintah Jerman telah mengadakan pameran batik yang bertema “Indonesia Batik: A Living Heritage“ di Pendopo Gede Balaikota Surakarta. Pameran ini dibuka untuk umum dan bersifat gratis. Pameran “Indonesia Batik: A Living Heritage“ (Batik Indonesia: Warisan Budaya Hidup) merupakan bentuk penghargaan terhadap salah satu karya seni yang paling mempesona di Indonesia, serta sebagai sebuah bentuk perwujudan akan apresiasi dari UNESCO yang telah menobatkan batik Indonesia sebagai sebuah mahakarya “Warisan Karya Manusia”.
Gambar 3.4 Indonesia Batik: A Living Heritage di Solo Sumber: Surono, Agus., 2013, “Carnival Batik Solo Indonesian”, tersedia pada http://omguss.blogspot.com/2013_06_11_archive.html diakses pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul 13.45 (GMT +7).
Berbagai ajang pameran tentang batik di seluruh dunia selalu diselenggarakan, kini selalu mengungkapkan kekayaan sejarah batik, memperagakan proses membuat batik secara tradisional yang nyaris terlupakan, serta memberikan pemahaman mengenai arti di balik simbol dan motif yang digunakan. Permasalahan lingkungan di dunia saat ini merupakan tantangan tersendiri bagi perancangan modern yang memperlihatkan kecintaan warga dunia terhadap batik tradisional dan kontemporer, sebagai pertanda bahwa batik akan tetap diminati pada masa yang akan datang di seluruh dunia.
4. DISKUSI Batik yang sangat dicintai masyarakat Indonesia mungkin sudah tak lagi diragukan, karena masyarakat dunia pun telah mencintai batik. Dukungan masyarakat yang sangat luar
16
biasa untuk melestarikan kain adat tersebut semakin menggelora di lubuk hati warga Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari kesadaran masyarakat yang menjadikan batik sebagai bagian dari keseharian, bahkan ketika masyarakat Indonesia sedang berada di luar negeri. Fakta terkini memperlihatkan, bahwa batik memang telah mendunia, namun Indonesia harus tetap menjadi rumahnya. Bisa saja negara manapun di dunia mengakui punya batik, tapi keberadaan sejatinya tetap di Indonesia. Ajang menarik tentang batik harus selalu diisi dengan berbagai acara, seperti konferensi batik, pameran batik, hingga kunjungan ke tempat-tempat yang memiliki kaitan bersejarah dengan batik. Setiap ajang yang diselenggarakan sudah sepatutnya menjadi strategi komunikasi multikultural, sehingga keberadaan batik dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dunia. Glokalisasi dimaknai sebagai munculnya interpretasi produk-produk global (yang asalnya merupakan produk lokal juga) dalam konteks yang dilakukan masyarakat dalam berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga telah membuka kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya. Keberadaan batik Indonesia dengan aneka ragam motif serta bentuknya, diyakini bakal menjadi satu di antara ikon multikultur Indonesia yang menawan pada perhelatan pergaulan dan perdagangan internasional. Keberadaan era blok perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung dari akhir tahun 2015 ini seharusnya tidak akan mempengaruhi perdagangan batik, apalagi bila pemerintah dan seluruh praktisi dalam bidang batik mampu menerapkan strategi komunikasi multikultur ini secara tepat. Strategi komunikasi yang kreatif ini akan membuat batik semakin dicintai dan terus memantapkan eksistensinya tidak hanya di ASEAN, tetapi di seluruh dunia. Dinamisasi kebudayaan dan tantangan global (termasuk lokal dan nasional) lewat pemberdayaan kebudayaan dalam negara dan pasar yang mendialogkan kebudayaan, politik,
17
dan ekonomi di ranah batik, dan pasar diwakili oleh entitas ''glokalisasi'' (paduan globalisasi dan lokalisasi) dan multikulturalisme. Dengan kata lain, multikulturalisme dan glokalisasi adalah kata-kata kunci. Kalau dua hal itu tidak dihadirkan, paling tidak secara teoretis, jangan-jangan masyarakat Indonesia hanya akan menjadi korban hegemoni dan/atau dominasi kebudayaan, politik, dan pasar global. Dari berbagai teori beberapa ahli tersebut, maka dapat dianalisis dan didiskusikan bahwa kebanyakan dari para ahli mengemukakan bahwa bentuk glokalisasi sebagai konsep daripada globalisasi, dan glokalisasi sangat erat kaitannya dengan percampuran pengaruh global yang masuk ke dalam budaya lokal sehingga menjadi sesuatu yang baru, entah itu merugikan ataupun menguntungkan, tergantung pada kemampuan dari lokal itu sendiri untuk menyikapinya. Glokalisasi juga sangat memiliki kaitan yang erat dengan ekonomi global, karena banyak perusahaan-perusahaan dan industri berskala global menggunakan strategi glokalisasi dengan memanfaatkan potensi budaya lokal untuk bersaing dengan pasar lokal. Hal itulah yang perlu dilakukan oleh industri batik dalam strategi komunikasi multikulturnya untuk terus menjaga eksistensinya di pasar global dan siap bersaing dengan produk global lainnya terutama dengan mengikuti arus karakter pasar global agar apapun yang diproduksi dapat diterima oleh masyarakat dunia.
5. KESIMPULAN Strategi glokalisasi memang terbukti sangat jitu untuk sebuah produk yang akhirnya menjadi global menyesuaikan produknya dengan karakter pasar dan multikultural, dan glokalisasi menjadi cara yang ampuh agar globalisasi tidak meracuni tradisi lokal. Bertemunya dua nilai kebudayaan yang menjadi semacam penempelan dua nilai budaya terlihat cukup jelas di produk-produk yang ada. Gaya hidup modern yang semakin melekat di
18
masyarakat sering mengakibatkan makna tradisi mengalami pergeseran nilai dan penyempitan arti. Nilai tradisi hanya dinilai dari apa yang nampak secara penglihatan saja dan nilai tradisi yang lebih dalam menembus konteks kultural, historikal, maupun agama, sepertinya sudah tidak lagi diperhatikan. Itu akibat dari dampak atau implikasi dari masuknya produk global ke dalam produk lokal dengan memanfaatkan berbagai potensi kebudayaan sebagai strateginya. Maka, untuk menyikapi semua hal tersebut, tergantung bagaimana masyarakat lokal menyikapinya, dengan segala macam pengaruh global yang masuk melalui industri dan produk-produknya, seharusnya masyarakat lokal lebih dewasa dalam hal ini, dengan menerima hal tersebut asalkan masih dalam konteks positif, tetapi jangan tinggalkan kesan sesungguhnya dari kebudayaan yang telah memanfaatkan hasil produk global, tetapi tetap cinta kepada produk lokal dan tidak menghilangkan karakter pasar lokal yang sudah menjadi karakter atau identitas perekonomian lokal. Dengan begitu dapat meminimalisir dampak atau implikasi dari strategi glokalisasi yang dilakukan industri global melalui produk-produknya, serta dengan begitu juga tidak akan ada pergeseran nilai-nilai tradisi lokal yang merupakan identitas dan jatidiri dari kebudayaan lokal suatu negara. Dalam strategi komunikasi multikulturalnya, batik memanfaatkan dan menunjukkan potensi budaya Indonesia yang selama ini telah menjadi warisan budaya Indonesia. Batik harus memiliki kemampuan mengembangkan ekstensifikasi pada setiap produknya seperti jaket, sepatu, topi, dan hal lainnya. Hal itu dilakukan untuk menarik minat masyarakat dunia. Ada beberapa alasan kenapa motif batik harus terus dikembangkan menuju pasar global, karena batik merupakan bentuk sentuhan tradisional yang muncul dari masyarakatnya itu sendiri, karena batik sendiri terus menjadi bahan perbincangan setelah beberapa kasus klaim batik yang juga menjadi identitas bangsa Indonesia oleh bangsa lain memunculkan kepanikan
19
tersendiri yang mengakibatkan tema batik menjadi menarik dan sepertinya semua kalangan ikut memperbincangkannya. Kepanikan inilah yang dimanfaatkan oleh batik dengan sebaran produk-produknya dengan cara memberikan sentuhan batik pada produkya dan lantas disebut sebagai produk khas Indonesia, bahkan dunia. Namun dengan status batik yang masih merupakan industri lokal dan belum penuh memasuki industri global, maka masyarakat pun banyak yang berpikir kalau pemakaian motif batik dalam setiap sebaran produknya akan memanfaatkan potensi budaya Indonesia untuk masuk ke dalam karakter pasar global yang lebih tahu seluk-beluk persaingan pasar bebas di dunia, termasuk ketika komunitas ASEAN telah resmi dimulai pada akhir tahun 2015 ini.
6. DAFTAR PUSTAKA Banting, Keith., Will Kymlicka. (2006). Multiculturalism and the Welfare State: Recognition and Redistribution in Contemporary Democracies. New York: Oxford University Press. Bhaduri, Saugata. (2008). Negotiating Glocalization: Views From Language, Literature, and Culture Studies. New Delhi: Anthem Press India. Budihardjo, Eko. (2015). Dari Globalisasi ke Glokalisasi, tersedia pada http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3964&coid=1&caid=24&gid=3 diakses pada tanggal 13 Maret 2015 Pukul 16.30 (GMT +7). Djomena, Nian. (2013). Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Jambatan. Drori, Gili S.., Markus A. Höllerer, Peter Walgenbach. (2013). Global Themes and Local Variations in Organization and Management: Perspectives on Glocalization. Chicago: Routledge. Haddock, Bruce., Peter Sutch. (2003). Multiculturalism, Identity, and Rights. New York: Routledge. Harmandini, Felicitas. (2012). Ketika Batik Merasuk di Industri Mode Amerika, tersedia pada http://female.kompas.com/read/2012/10/14/01563627/Ketika.Batik.Merasuk.di.Industri. Mode.Amerika diakses pada tanggal 8 Maret 2015 Pukul 02.20 (GMT +7). Hernandez, Hilda. (2000). Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content. 2nd ed. New York: Pearson. Heru, Andhika. (2013). Nelson Mandela Sang Pencinta Batik Sejati, tersedia pada http://luarnegeri.kompasiana.com/2013/12/06/nelson-mandela-sang-pencinta-batik-sejati616100.html diakses pada tanggal 17 Januari 2015 Pukul 14.35 (GMT +7). Irsan, Abdul. (2010). Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo. Kusmayatna, Aang. (2012). Indonesian Batik at Paris Fashion Week by Dries van Noten, tersedia pada https://kupatahu28.wordpress.com/2012/11/17/indonesian-batik-at-parisfashion-week-by-dries-van-noten/ diakses pada tanggal 7 Maret 2015 Pukul 19.45 (GMT +7).
20
Lestari, Sri. (2013). Kenapa Rakyat Afrika Selatan Tidak Mau Pakai Batik?, tersedia pada http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/12/131206_jkala_mandela_batik diakses pada tanggal 18 Februari 2015 Pukul 05.35 (GMT +7). Máiz, Ramón., Ferran Requejo. (2005). Democracy, Nationalism, and Multiculturalism. New York: Routledge. Musman, Asti., Ambar B. Arini. (2011). Batik: Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta: Andi Publisher. Phillips, Anne. (2007). Multiculturalism without Culture. Princeton, NJ: Princeton University Press. Roberts Jr., Bob. (2007) Glocalization: How Followers of Jesus Engage a Flat World. London: Zondervan. Robertson, Roland. (1992) Globalization: Social Theory and Global Culture. New York: SAGE Publication Ltd.. Robertson, Roland. (1995). Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity. London: SAGE Publications Ltd.. Shifrin, Laurie J.. (2009). Batik Beauties. London: Patchwork Place. Sigismondi, Paolo. (2005). The Digital Glocalization of Entertainment: New Paradigms in the 21st Century Global Mediascape. New York: Springer. Sleeter, Christine E., Carl A. Grant. (2007). Making Choices for Multicultural Education: Five Approaches to Race, Class, and Gender. Chicago: Wiley. Taras, Raymond. (2013). Challenging Multiculturalism: European Models of Diversity. Edinburgh: Edinburgh University Press. Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset.
21