GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN AKHLAK (Suatu usaha untuk membendung nilai-nilai negatif globalisasi)
Saifullah Idris Abstrak Istilah “globalisasi”, dapat berarti alat dan dapat pula berarti ideologi. Ketika diartikan sebagai alat maka globalisasi sangat netral. Sedangkan ketika globalisasi diartikan sebagai ideologi, sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Artinya bisa mengandung hal-hal positif, ketika dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik, dan bisa juga sebaliknya, ia dapat berakibat negatif karena banyak sekali terjadi benturan nilai, khususnya dengan nilai-nilai agama dan pendidikan.
KATA KUNCI: Globalisasi, Pendidikan, Akhlak A. Pendahuluan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat kemudahankemudahan bagi umat manusia disatu sisi, dan juga membawa kemelaratan bagi umat manusia di sisi yang lain. Kemudahan-kemudaha itu berupa adanya penemuanpenemuan ilmiah dalam berbagai bidang disiplin ilmu, seperti dalam bidang kedokteran, dengan mudah para dokter mendeteksi berbagai penyakit yang menderita pasiennya; dalam transfortasi, telekomunikasi, media masa, dan lain sebagainya. Sedangkan kemelaratan adalah munculnya kekerasan, tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, dan budaya konsumerisme yang luar biasa, seperti seks pra nikah, kecanduan minuman beralkohol dan narkoba, kenakalan remaja, dan yang paling parah adalah runtuhnya tatanan nilai-nilai akhlak dikalangan remaja. Sehingga tidak ada lagi mana yang harus dihormati, di patuhi, di sayangi, dan dikasihi. Akibat dari
perkembangan pesat di bidang teknologi informasi yang sudah
mengglobal sekarang ini, dimana batas-batas antarnegara menjadi sangat tidak jelas lagi. Maka berbagai persoalan yang menyangkut dengan aturan-aturan nilai, tidak dapat di
1
batasi oleh adanya batas geografis. Lebih jauh lagi, kemajuan dan semangat “revolusi teknologi” dan informasi telah menumbuhkan perasaan hemogenitas budaya di masa yang akan datang, kemenangan norma-norma budaya dan peradaban yang satu atas yang lainnya. Revolusi atau kemajuan teknologi tersebut tidak hanya mengubah proses produksi tapi juga sistem hubungan antarmanusia. Kemajuan teknologi informasi bukanlah kemajuan yang dialogis karena informasi hanya ditransformasikan searah. Ironisnya, mereka yang tidak mengikutinya akan disebut
ketinggalan zaman1. Di
samping itu, dunia pendidikan kita juga tidak mampu, dan bahkan “gagal” menghalau semua aspek-aspek yang bersifat negatif tersebut. Karena dunia pendidikan berada pada tataran konseptual dan teoritis belaka, bahkan anti realitas, tidak menyentuh realitas dan kebutuhan-kebutuhan yang sedang dihadapi oleh masyarakat kita. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini, ingin menjelaskan bagaimana sebenarnya sikap umat Islam Indonesia dalam menghadapi globalisasi dan pendidikan apa yang cocok untuk menghadapi globalisasi tersebut. Sebagai asumsi, pendidikan akhlak memberikan suatu warna tersendiri dalam menghadapi dampak negatif arus globalisasi. B. Globalisasi: Ancaman Atau Tantangan Term “globalisasi” mempunyai arti yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan, mengatakan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia
1
Ade ma’ruf dan Anas Syahrul Alimi (ed), Shaping Globalisation: Jawaban Kaum Sosial Demokrat atas Neoleberalisme, pada “International Conference 17 ang 18 th of June 1998 Willy Brant Haus, Berlin”, (Yogyakarta: Jendela, 2000), hal. 25
2
yang jauh dan bisa dijangkau dengan mudah2. Ada juga yang mengartikan dengan “mendunia” atau “mensejagat”. Artinya sesuatu entitas betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, dengan cepat menyebar keseluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, temuan obat-obatan, pembangunan, pemborontakan, sabotase, dan sebagainya. Dan begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang diseluruh dunia3. Sebagai contoh, apa yang terjadi di Italia seperti sepak bola dan juga pameran busana di Holly Wood dengan mudah bisa dilhat didalam kamar tidur melalui TV parabola, demikian juga untuk mengakses segala berita tentang apa yang terjadi dibelahan bumi bagian utara, dengan cepat dapat dilihat dibagian bumi sebelah selatan melalui internet dan layar telivisi. Dari kedua pengertian tersebut di atas, nampaknya dunia ini tidak lagi memiliki batas-batas wilayah dan waktu. Arus globalisasi sebagai pengalaman seseorang begitu bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Perubahan-perubahan tersebut telah mengubah bukan hanya tata cara kehidupan dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial, budaya, dan politik, bahkan gesekan-gesekan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Perubahan di bidang teknologi informasi dan komunikasi misalnya, telah merubah wajah dunia yang begitu cepat, bahkan media sudah dijadikan sebagai “agama baru” bagi masyarakat industri. Akibat dari perubahan-perubahan yang begitu cepat dan mudah diakses tersebut, maka nilai-nilai yang ada dalam globalisasi itu akan mempengaruhi sikap dan prilaku manusia, baik berupa nilai-nilai positif maupun
2
Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan, Islam, Globalisasi and Postmodernity, (London: Routledge, 1994), hal. 1; Lihat juga A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Cet. Ke-4, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 19 3 Lihat Ali Mohammadi (ed), Islam Encountering Globalisasi, ( London: Routledge Curzon, 2002), hal. 1-6; lihat juga Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insani Press dan MSI UII Press, 2003), hal. 10
3
nilai-nilai negatif, demikian juga dengan peran materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Menurut A. Qodri Azizy, Istilah “globalisasi”, dapat berarti alat dan dapat pula berarti ideologi. Ketika diartikan sebagai alat maka globalisasi sangat netral. Artinya bisa mengandung hal-hal positif, ketika dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik, dan bisa juga sebaliknya, ia dapat berakibat negatif. Oleh karena itu, globalisasi sangat tergantung kepada siapa yang menggunakannya dan untuk keperluan apa serta tujuannya kemana ia mempergunakannya. Sedangkan ketika globalisasi diartikan sebagai ideologi, sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Dengan demikian, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Karena banyak sekali terjadi benturan nilai, khususnya dengan nilai-nilai agama4. Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi, globalisasi bisa menjadi ancaman dan sekaligus tantangan. Sebagai ancaman, diantaranya adalah hal-hal yang bersifat negatif. Dengan alat komunikasi seperti TV, para bola, telpon, VCD, DVD, dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar secara langsung. Dengan parabola dan internet misalnya, kita dapat meyaksikan film-film dan gambar-gambar porno dari kamar tidur kita sendiri. Anak-anak dapat dipengaruhi oleh segala macam film karton dan film-film yang tidak seharusnya dilihat oleh mereka. Dari adegan-adekan tersebut, lebih banyak menebarkan nilai-nilai negatif. Dalam bidang ekonomi misalnya perusahaan-perusahan transnasional telah memarjinalkan dan menggusur ekonomi rakyat kecil, sehingga melebarnya rentangan jarak antara orang-orang kaya dan miskin. Perusahaan-perusahaan besar dengan modal
4
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Cet. Ke-4, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 22-26; Lihat juga Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi ,Cet Ke-3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan insist Press, 2003), hal. 219-222
4
dan jaringannya mengeruk kekayaan alam semesta dengan sangat rakusnya sehingga ruang kehidupan orang-orang yang ada di luarnya menjadi semakin sempit. Kekayaan menumpuk pada perusahaan-perusahaan besar itu dan tinggal tersisa sedikit saja untuk diperebutkan orang-orang lain yang jumlahnya lebih besar. Dan lebih dari itu, globalisasi juga menyentuh aspek teologi, dimana dalam perjalanan ekonomi dan berbagai penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, orang tidak lagi merasakan adanya Tuhan dibalik semua itu5. Semua proses tersebut berjalan tanpa adanya campur tangan sang pencipta. Sedangkan yang bernilai positif, diantaranya seperti melalui media-media tersebut bisa juga menayangkan program-program pengajian, Penelitian-penelitian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, diskusi ilmiah, ceramah dan berita-berita yang mengandung nilai-nilai positif, tetapi nilai-nilai yang berbentuk negatif lebih dominan dan diminati oleh pemirsa. Seperti yang terjadi dalam anggota masyarakat kita sekarang ini, dimana para remaja (ABG) dan anak-anak sekolah sudah mencontoh gaya hidup global, gaya hidup yang bebas, materialisme, hedonisme dan berbagai bentuk pergaulan bebas lainnya. Sedangkan yang berbentuk tantangan adalah, jika globalisasi itu memberi pengaruh nilai-nilai dan praktek-praktek yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi bangsa Indonesai untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak berbenturan dengan budaya dan agama yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, bagaimana agar nilai-nilai positif yang ada dibelahan bumi di Barat dan di Timur, dapat masuk ke Indonesia, dan dapat pula dipraktekkannya, seperti budaya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, kompetisi yang sehat, kerja keras, penghargaan terhadap orang lain dan karyanya, dan mencintai ilmu pengetahuan.
5
Lihat Machasin, Islam teologi Aplikatif, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hal. 158-159
5
Yang paling penting, adalah bagaimana kita mampu memberikan pendidikan kepada anak-anak bangsa kita supaya mereka tahu mana nilai yang negatif dan mana nilai yang positif. Dengan demikian, sistem pendidikan kita harus mampu menciptakan lulusan-lulusan yang handal dan tanggap terhadap perubahan. C. Bagaimana sikap Umat Islam terhadap globalisasi? Sebuah Kerangka Teori Dalam era globalisasi ini, pergesekan dan saling mempengaruhi antar nilai-nilai budaya tidak bisa dihindari. Dengan demikian, Islam dan umatnya mempunyai beberapa pilihan, yaitu6: Pertama, bertahan; kedua, berperan aktif, dan ketiga, akomodatif. Kalau peran bertahan ada kemungkinan akan menimbulkan isolasi, ketertutupan dan inferiority (rendah diri); peran aktif (usaha mempengaruhi) akan menimbulkan keterbukaan dan superiority (rasa lebih unggul); sedangkan dengan akomodatif akan adanya penyesuaian dan penerimaan akan hal-hal baru seajuh bisa ditolerir. Dengan demikian, dalam pandangan penulis lebih cenderung ke model yang ketiga, yaitu akomodatif. Dengan bersikap akomodatif, umat Islam tidak terisolir dan tidak lari dari relitas percaturan dunia yang semakin hari semakin mengglobal ini. Kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi informasi dan media masa sudah menjadi suatu keharusan, terlepas dari nilai positif dan negatif yang dikandungnya. Dengan demikian, sikap kedewasaan yang harus dihadapi oleh Islam dan umatnya dalam menghadapi globalisasi ini. Untuk menghindari gemerlapnya nilai-nilai negatif globalisasi, maka peran yang harus dimainkan oleh umat Islam, dalam konteks ini, ada dua hal. Yang pertama mengembangkan sumber daya manusia yang handal; dan kedua, adalah dengan
6
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Cet. Ke-4, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 4
6
menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak kepada generasi penerus, baik
melalui
lembaga pendidikan formal, informal maupun nonformal. C. Pengembangan kualitas SDM Dalam rangka menghadapi gencarnya arus globalisasi, khususnya yang berkenaan dengan nilai-nilai negatif, umat Islam harus mempersiapkan diri dengan berbagai cara dan strategi. Salah satu strateginya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk meningkatkan kualitas SDM tentu dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena globalisasi itu adalah produk kemajuan dari sains dan teknologi. Oleh karena itu, umat Islam harus meningkatkan kualitas SDM-nya untuk memacu kemajuan sains dan teknologi tersebut. Dan dengan peningkatan kualitas SDM itu akan melahirkan manusia-manusia unggul yang mampu bersaing dalam era pasar bebas. Kemajuan sains dan teknologi bagi umat Islam, sebenarnya, telah pernah dialami pada masa kejayaannya. Tapi kemudian sains dan teknologi itu beralih ke tangan Barat. Dan sekarang umat Islam harus mengambilnya kembali dengan bekerja keras, tekun, terampil, berani untuk bersaing, dinamis dan kreatif, dan harus berprestasi. Sedangkan untuk menangkal hal-hal yang negatif, disini memerlukan pendidikan akhlak sebagai acuan moral dalam bertindak. Untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang terampil, profesional, dinamis, dan kreatif tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas, maka diperlukan untuk merumuskan programprogram atau konsep-konsep pendidikan yang operasional, strategis, dan realistis. Selama ini, kesan terhadap konsep pendidikan yang ada adalah kurang menyentuh persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, bahkan anti realitas. Hal ini dapat dilihat pada kurikulum, isi dan materi yang disajikan kepada anak didik tidak bersifat mendidik dan mencerdaskan anak, tetapi banyak mengarah kepada hal-hal yang
7
berbentuk menghafal, dan doktrin, apalagi dalam bidang studi agama. Yang lebih parah lagi adalah pendidikan tidak dijadikan sebagai prioritas andalan dan utama. Padahal banyak negara-negara didunia ini telah menempatkan pendidikan sebagai prioritas yang tertinggi, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Malaysia dikalangan negara muslim. Maka hasil yang didapatkan oleh negara-negara tesebut sangat memuaskan. Katakanlah Malaysia, dulu Malaysia berguru ke Indonesia. Sekarang malah Indonesia yang harus berguru banyak ke Malaysia. Dalam kontek mikro, analisa
tentang SDM ini meliputi guru, siswa, dan
karyawan. Dalam hal ini, pola peningkatan kualitas SDM dalam dunia pendidikan sama dengan pola yang digunakan dalam bidang-bidang pembangunan lainnya. Yaitu dilaksanakan dibawah otoritas kekuasaan dan kekuatan administrasi birokrasi7. Maka guru diperlakukan sebagai pegawai bukan sebagai pendidik dan pengajar. Padahal guru memegang dua peranan, yaitu sebagai pegawai dan juga sekaligus sebagai pendidik atau pengajar. Sebagai pegawai, guru harus mengutamakan kesetiaan, kejujuran, kedisiplinan, dan produksi kerja. Sedangkan sebagai Pendidik atau pengajar, selain mementingkan kejujuran (akhlak), kedisiplinan dan pengabdian, juga sangat mementingkan kreativitas, inovasi, dan dedikasi. Guru di harapkan mampu mengembangkan budaya belajar pada anak didiknya. Maka disini guru harus menguasai dan mengembangkan metodologi mengajar, bukan hanya produksi belajar saja.
7
Mastuhu, Manata Ulang Pemikiran Sistem ………, hal. 45-46
8
Dalam konteks Indonesia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, guru masih kurang memadai dan belum mencukupi. Sebagai contoh dan bahan pertimbangan, nampaknya perlu diperhatikan tabel-tabel berikut ini8. Tabel 1 Kelayakan dan kesesuain guru mata pelajaran jenjang SLTP Kesesuaian
Sesuai
Tidak sesuai
Jumlah
Kelayakan
Jumlah %
Jumlah %
Jumlah %
Layak Tidak layak Jumlah
139.596 / 49,2
30.325 / 10,7
169.221 / 59,9
88.223 / 31,1
25.571 / 9,0
113.794 / 40,1
227.819 / 80,3
55.896 / 19,7
283.715 / 100,0
Sumber: Balitbang Diknas, 2000 Keterangan: 1. Guru SLTP layak mengajar bila berijazah Diploma 3 (D3) dari program pendidikan keguruan dan ijazah di atasnya. 2. Guru SLTP sesuai bila mata pelajaran yang diajarkan sama dengan atau termasuk dalam kelompok program studi pendidikan yang tercantum dalam ijazahnya. Tabel 2 Guru SD menurut jabatan dan kelayakan mengajar tahun 1999/2000 Jabatan
Layak %
Tak layak %
Jumlah
SD Negeri
446.827 / 42,4
608.032 / 57,6
1.054.859
Kepala Sekolah
135.013 / 12,8
-------- / ---
135.198
Guru kelas
245.013 / 23,2
474.749 / 45,0
719.810
Guru Agama
45.437 / 4,3
90.871 / 8,6
136.308
Guru Pelajaran
21.179 / 2,0
42.364 / 4,0
63.543
34.050 / 39,5
52.259 / 60,6
86.309
9.942 / 11,6
-------- / ---
9.942
19.735 / 22,9
43.522 / 50,4
63.257
SD swasta Kepala sekolah Guru kelas
8
Lihat dalam Mastuhu, Manata Ulang Pemikiran Sistem ………, hal. 47-49
9
Guru Agama
3.138 / 3,6
6.265 / 7,3
9.403
Guru Penjaskes
1.235 / 1,4
2.472 / 2,9
3.707
Sumber: Balitbang Diknas, 2000 Keterangan: Guru SD layak mengajar bila berijazah Diploma 2 dari PGSD atau lebih tinggi. Tabel 3 Kelayakan dan kesesuaian guru mata pelajaran jenjang SMU Kesesuaian
Sesuai
Tidak sesuai
Jumlah
Kelayakan
Jumlah %
Jumlah %
Jumlah %
Layak Tidak layak Jumlah
79.942 / 68,5
14.075 / 13,2
87.017 / 81,7
153.994 / 15,0
3.494 / 3,3
19.488 / 18,3
88.396 / 83,5
17.569 / 16,5
106.505 / 100,0
Sumber: Balitbang diknas, 2002 Keterangan: 1. Guru SMU layak mengajar bila berijazah sarjana (S1) dari program pendidikan keguruan dan ijazah di atasnya. 2. Guru SMU sesuai bila mata pelajaran yang diajarkan sama dengan atau termasuk dalam kelompok program studi pendidikan dalam ijazah. Dari contoh dan bahan pertimbangan di atas, menunjukkan bahwa tingkat SDM yang dimiliki oleh tenaga pendidikan di Indonesia masih belum memadai dan bahkan sangat memprihatinkan. Dengan demikian, meningkat kualitas SDM merupakan suatu faktor yang harus mendapat prioritas utama, baik dalam menghadapi arus globalisasi maupun dalam membangun Indonesia ke depan, khsususnya dunia pendidikan. Faktor tersebut sangat tergantung pada mereka ynag terlibat dalam dunia pendidika secara konkrit, seperti siswa dan guru, pempinan, dan seluruh tenaga kependidikan, seperti
10
pustakawan, petugas laboratorium, dan sebagainya. Adapun syarat-syarat yang perlu dimiliki agar mereka mampu bekerja dengan berkualitas, adalah9: 1. adanya rasa cinta dan kepedulian yang tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab, serta adanya kesadaran bahwa masing-masing tugasnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait antara satu dengan yang lainnya. 2. memiliki keahlian dan keterampilan dalam menangani tugasnya. Artinya harus tahu apa yang harus dilakukan, mengapa harus berbuat dan bagaimana harus menanganinya. Dalam hal ini, tugas kepala sekolah untuk menerjemahkan visi, misi, dan sebagainya, sebagaimana disebutkan di atas. 3. agar mereka, sumber daya manusia, dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sebagaimana disebutkan diatas. Mereka harus mendapatkan hak-haknya yang adil sesuai dengan masing-masing tugas dan tanggung jawabnya, tidak hanya kecukupan di bidang fasilitas dan intensif yang mereka terima, tetapi juga mereka benar-benar faham akan visi, misi, tujuan dan target serta strategi yang digunakan untuk mencapai SDM yang bermutu. Di samping itu, dalam upaya meningkatkan kualitas SDM perlu dibaringi dengan pembinaan watak manusia yang bermoral10. Tanpa moralitas dan akhlak yang tinggi maka persaingan dalam era globalisasi ini dapat berubah menjadi pertarungan bebas seperti hukum rimba. Untuk itu, akan dijelaskan apa dan bagaimana pendidikan akhlak itu?
9
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran………., hal. 109-110 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: PengantarPedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 62-63 10
11
D. Pendidikan Akhlak dan Metodologi Aplikasinya Pendidikan akhlak dalam hal ini ditujukan untuk menangkis nilai-nilai negatif yang merupakan akibat dari arus globalisasi, seperti kecendrungan materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Dengan demikian, kita harus menanamkan nilai-nilai akhlak yang mulia kepada generasi muda, seperti nilai-nilai kesederhaan dan nilai saling menghormati kepada sesama. Dengan kata lain, dalam konteks ini kita harus menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Untuk menanamkan nilai-nilai akhlak tersbut adalah melalui jalur pendidikan dan dengan metodologi yang sesuai dengan kehidupan generasi muda, serta perlunya reinterpretasi konsep akhlak atau etika. Maka akan dijelaskan apakah pendidikan akhlak itu dan bagaimana metodologi aplikasinya. 1. Pendidikan Akhlak Pendidikan secara umum adalah proses perubahan atau pembentukan prilaku, dari prilaku buruk kepada prilaku yang lebih baik. Sedangan akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik dan buruk. Akhlak sering juga diartikan dengan moral, etika, watak, budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan11. Dengan demikian, pendidikan akhlak, yang dimaksudkan disini, adalah pewarisan atau proses pengajaran nilai-nilai akhlak kepada anak didik berdasarkan ajaran Islam untuk menangkis serangan negatif arus globalisasi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Aktifitas hidup dan kehidupan seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Maka dalam mengarungi kehidupan di era globalisasi ini diperlukan kepada 11
Lihat R. Soegarda Poerbakawatja dan H. A. H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Cet. Ke III, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 12; Lihat juga Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 32; Lihat juga Haidar Bagir “Pengantar” dalam Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 15
12
nilai-nilai akhlak yang ada dalam ajaran agama seseorang. Bagi kaum muslim, nilainilai akhlak yang dibutukan adalah nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam ajaran agamanya, yaitu Islam, diantaranya adalah12: 1. Nilai-nilai akhlak perorangan, yang meliputi kesucian jiwa, lurus, menjaga diri, menguasai nafsu, menjaga nafsu makan dan seks, menahan rasa marah, benar, lemah lembut dan rendah hati, berhati-hati mengambil keputusan, menjauhi buruk sangka, tetap dan sabar, teladan yang baik, sederhana, beramal shaleh, berlumbalumba dalam kebaikan, pintar mendengar dan mengikuti, dan berhati ikhlas. Ini adalah nilai-nilai akhlak yang disuruh atau yang baik. Sedangkan yang jahat/tidak baik atau dilarang berbuat adalah seperti: bunuh diri, berbohong, nifak, perbuatan yang bertentanga dengan perkataan, bakhil, mubazir, meniru, sombong dan lainlain. 2. Nilai-nilai akhlak dalam keluarga, yang meliputi: Kewajiban kepada ibu bapak dan anak-anak, kewajiban suami isteri, kewajiban-kewajiban terhadap kaum kerabat, dan warisan. 3. Nilai-nilai akhlak sosial, yang meliputi: yang dilarang seperti membunuh manusia, menzalimi orang lain, mencuri, menipu orang lain, dan lain-lain; yang disuruh seperti memenuhi amanah, menepati janji, saling kasih sayang, dan lain-lain; dan tata tertib kesopanan seperti minta izin sebelum masuk kerumah orang lain, memberi salam ketika masuk ke rumah orang lain, membalas salam dengan baik, dan lain-lain. 4. Nilai-nilai akhlak dalam negara, yang meliputi hubungan antara kepala negara dengan rakyat,dan hubungan dengan negara-negara tetangga/luar negeri. 12
Untuk lebih jelas lihat dalam Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet Ke-5, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003), hal. 360-365
13
5. Nilai-nilai akhlak agama, yang meliputi kewajiban hamba kepada Tuhannya. Disamping kelima nilai-nilai akhlak di atas, ada dua landasan moral dan akhlak yang sangat mendasar dan lebih bersifat filosofis dalam pendidikan Islam, yaitu: Pertama, Etika atau akhlak Ke-khalifahan, dan yang kedua adalah etika atau akhlak Rahmatan li al-„alamin dan Fastabiq al-Khairat13. Sebagai khalifah, manusia adalah wakil Allah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan diberi tanggung jawab dalam mengelola dan memakmurkan kehidupan di bumi ini. Disamping sebagai wakil Tuhan, manusia juga sebagai hamba Allah yang bersedia menerima dan menjalankan perintaNya. Dengan demikian, manusia sebagai khalifah tidak memiliki keangkuhan dan kesombongan yang dapat mengahancurkan dirinya sendiri dan orang lain, dia harus memiliki karakter yang baik dan kecintaan sesama, dan kerendahan hati antar sesama manusia. Kegiatan pendidikan menuntut adanya dan terkait dengan perubahan yang secara moral bersifat lebih baik. Maka hasil dari perubahan yang terjadi dalam pendidikan diharapkan dapat memberikan rahmat atau perubahan yang lebih baik bagi kehidupan manusia. Demikian juga harus mampu bersaing dalam dunia modern ini. Yaitu dengan bekerja sama dan tolong menolong dalam membangun kehidupan spiritual dan juga material atau lahiriyah. Itulah nilai-nilai akhlak yang diajarkan dalam ajaran agama Islam yang sepatutnya harus dimiliki oleh kaum muslimin sebagai individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, dan sebagai hamba Allah.
13
Lihat Sodiq A. Kuntoro, “Format Etika dan Etos Pendidikan Islam”, dalam A. Syafi’I Ma’arif, dkk, Islam dan Pengembangan Disiplin Ilmu: Sebuah Transpormasi Nilai, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2003), h. 33-41
14
2. Metodologi Aplikasinya Untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut kedalam diri peserta didik, ada dua teori perkembangan moral yang membantu kita, yaitu teori Lawrence Kohlberg dan teori David Krathwohl. Kedua teori tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Aplikasi nilai berdasarkan teori kognitif Teori yang dikembangkan Kohlberg ini berdasarkan dari teori yang telah dirintis oleh Jean Piaget. Menurut Kohlberg14, ada enam tahap dan tiga tingkat perkembangan moral ((akhlak), yaitu: 1. Tingkat Prakonvensional, yang berusia 4-10 tahun terdiri dari: a. orientasi hukuman dan kepatuhan, pada tahap ini perbuatannya anak-anak masih sangat tergantung dan dipengaruhi oleh pujian dan hukuman yang diberikan oleh orang tuanya. b. orientasi relativis instrumental, perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Hukuman pada tahap ini tidak besifat fisik, tetapi sudah menggunakan pendekatan nonfisik. 2. Tingkat konvensional, yang berusia 10-13 tahun terdiri dari: a. orientasi keselarasan antar pribadi, pada tahap ini anak dan remaja berprilaku sesuai dengan aturan dan patokan orang dewasa dan masyarakat. Perbuatan 14
Bandingkan dengan teori Jean Piaget, yaitu: pada usia 4-7 disebut dengan tahap realisme moral (pra-operasional), yang meliputi: memusatkan pada akibat-akibat perbuatan, aturan-aturan tak berubah, dan hukuman atas pelanggaran bersifat otomati. Usia 7-10 disebut dengan masa transisi (konkret operasional), yaitu perubahan secara bertahap ke pemilikan moral tahap kedua. Dan usia 11 tahun keatas, disebut dengan dengan otonomi moral, realisme, dan resiprositas (formal-operasional), yang meliputi: mempertimbangkan tujuan-tujuan prilaku moral, dan menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan tradisi yang dapat berubah. Lihat Joy A. Palmer (ed), Fifty Modern Thinkers on education: From piaget to the Present, (London dan New York: Routledge, 2001), hal. 188-192; lihat juga Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan pendekatan Baru, Cet ke-7, (Bandung: Rosdakarya, 2002), hal. 76-79; lihat juga F.J. Monks- A. M. P. Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: pengantar Dalam Berbagai Bagiaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 312-218; lihat juga Warul Walidin Ak,, Dinamika Pemikiran Pendidikan, (Banda Aceh, Taufiqiyah Sa’adah, 2003), hal. 49-51
15
baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya. Di sini ada kesadaran terhadap perlunya aturan. b. orientasi mempertahankan masyarakat, pada tahap ini anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan, hukum harus ditaati oleh semua orang, dan berbuat dengan mempertimbangkan kepentingan orang banyak agar masyarakat tidak terganggu ketentramannya. 3. Pasca-konvensional, yang berusia 13 tahun keatas terdiri dari: a. orientasi kontrak sosial, pada tahap ini remaja dan orang dewasa mengartikan prilaku baik dengan hak sesuai dengan aturan dan patokan sosial. Perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mancapai hal-hal yang paling baik. Di samping itu, pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu. b. Prinsip etika universal, pada tahap ini individu sudah mengakui perilakuperilaku atau moral-moral universal yang melatar belakangi perilaku individu, yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain. Keyakinan terhadap nilai-nilai akhlak individu tetap melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial. Dengan kata lain, pada tahap ini tindakannya sudah didasarkan pada hati nurani. Berdasarkan teori Kolhberg diatas dan kaitan dengan penerapan nilai-nilai akhlak dalam rangka menghadapi arus globalisasi, maka untuk pemula nampaknya bisa menggunakan metode atau tingkat konvensional, kemudian menggunakan metode reflektif, dan terakhir dengan menggunakan metode bebas. b. Aplikasi nilai berdasarkan teori Afektif
16
Menurut David Krathwohl, sebagaimana dikutip oleh Warul Walidin, untuk melihat aplikasi nilai akhlak berdasarkan domain afektif, ada lima tipe belajar yang harus diperhatikan15, yaitu: 1. Tipe belajar menyimak, pada jenjang ini subjek secara sensitif memperhatikan dan menerima fenomena dan stimulus tertentu. Tipe ini dibagi kedalam tiga taraf: a. Taraf sadar, subjek sama sekali pasif terhadap fenomena atau stimulus, tetapi dalam dirinya mulai menyadari bahwa ada fenomena atau stimulus itu. b. Taraf sedia menerima, subjek pasif mencari fenomena atau stimulus, tetapi sudah siap menerima. c. Taraf seleksi perhatian, subjek tidak hanya menerima fenomena dan stimulus, tapi juga aktif memilih dan meyeleksi fenomena atau stimulus itu. 2. Tipe belajar
menanggapi, pada jenjang ini subjek bisa menerima, aktif
menyeleksi stimulus dan sekaligus memilih responnya dalam bentuk aktifitas. Jenjang ini dikenal dalam tujuan instruksional yang menyangkut dengan minat dan terdiri dari tiga taraf: a. Taraf patuh, subjek telah memilih respon dan aktif berbuat karena sugesti. b. Taraf sedia menanggapi, subjek aktif berbuat karena kesukarelaan. c. Taraf puas menanggapi, subjek aktif berbuat karena adanya rasa kepuasan, disamping sugesti dan kesukarelaan, unsur perasaan menjadi sangat menonjol. 3. Tipe belajar memberi nilai, pada jenjang ini, subjek mulai menyusun persepsi tentang benda, fenomena atau tingkah laku di luar diri. Yang dipersepsi adalah nilainya. Pemberian nilai itu masih merupakan abstraksinya sendiri, akan tetapi akan tumbuh proses internalisasi ke kriteria pribadi yang dapat diterima 15
Lihat dalam Warul Walidi Ak,, Dinamika ………., hal.51-54; lihat juga Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 2003), hal. 116-128
17
masyarakat. Jenjang ini dikenal dalam tujuan instruksional yang menyangkut dengan sikap, begitu juga nilai. Karena sudah diwarnai oleh sikap atau keyakinan tertentu, maka tingkah laku subjek pada jenjang ini menjadi konsisten dan stabil. Pada jenjang ini ada tiga sub katagori: a. menerima nilai, subjek menerima nilai tertentu secara emosional (termasuk kata percaya, pada kata percaya mengandung tingkat kepastian yang rendah). b. Mempunyai nilai pilihan, subjek mempunyai rasa terikat pada nilai pilihannya. c. Mempunyai ikatan batin, subjek sudah mempunyai taraf yakin. Pada jenjang ini subjek tidak sekedar aktif mengikuti, mencari dan memiliki, tetapi sudah sedia memperjuangkannya, membela dan berkorban untuk itu. 4. Tipe belajar mengorganisasi nilai, pada jenjang ini dimulai dengan proses pembentukan sistem nilai tertentu. Pembentukan itu berlangsung secara bertahap dari mengorganisasikan nilai sampai dengan memikirkan pemikiran nilai yang mempribadi. Jenjang ini dibagi kedalam dua sub katogori: a. mengkonsepsikan nilai, subjek dalam aktifitasnya sudah konsisten dan layak berdasarkan nilai tertentu. Pada jenjang memberi nilai dibuatnya abstraksi dan konsepsinya. b. mengorganisasi sistem nilai, nilai yang sudah dikonsepsikan ditata dalam suatu sistem yang integral, sehingga harmonis dan konsisten. 5. Tipe belajar karakteristik nilai, yang terdiri dari: a. terapan sistem nilai, pemilikan nilai tampak dalam kecendrungan bertindak dan dalam orientasinya terhadap berbagai fenomena, atau kemampuan mereduksi dan menata nilai yang kompleks menjadi lebih sederhana dan efektif dalamnya.
18
b. Karakterisasi/mempribadi, dalam arti puncaknya adalah proses internalisasi, yang terdiri dari semua sikap, tingkah laku, keyakinan, gagasan menjadi inklusif dan mempribadi menjadi satu pandangan hidup menuju ke satu tujuan. Tegasnya, pada taraf ini mampu mendemontrasikan pandangan hidup yang konsisten Tahap-tahap proses aplikasi nilai yang dikemukan oleh Krathwohl diatas, nampaknya lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana seseorang itu menerima nilai-nilai dari luar, kemudian menginternalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam dirinya. Dengan demikian, nilai-nilai posistif yang dibawa oleh arus globalisasi dapat dengan mudah mempribadi kedalam peserta didik. Di samping itu, peserta didik dapat mencerna sendiri nilai-nilai mana yang harus diserap dan nilainilai mana yang harus ditinggalkan. 3. Aplikasi Nilai-nilai Akhlak Ada tiga tempat atau lingkungan yang sangat strategis untuk menerapkan nilainilai akhlak. Karena ketiga tempat atau lingkungan tersebut sudah mewakili tempat atau lembaga dimana terjadinya proses pendidikan yang sangat efektif dan strategis. Ketiga tempat atau lingkungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Aplikasi di lingkungan Keluarga Tempat yang paling baik dan utama untuk menerapkan nilai-nilai akhlak adalah dilingkunagn keluarga, karena keluarga merupakan tempat atau lembaga dimana terjadinya proses pendidikan yang paling pertama bagi peserta didik. Begitu dia lahir kedunia ini, maka orang yang pertama berinteraksi dengannya adalah orang tuanya dan keluarganya. Di samping itu, suatu kecendrungan yang sangat kuat pada manusia adalah mereka ingin melestarikan keturunannya, dan ini dapat dicapai
19
melalui pendidikan. Dengan demikian, lingkungan keluarga mempunyai andil dan peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses internalisasi nilai-nilai akhlak dalam rangka menangkis serangan arus globalisasi. Peran dan fungsi keluarga, dalam hal ini orang tua, sangat dibutuhkan dalam mendorong terciptanya akhlak yang baik bagi kelangsungan peserta didik di kemudian hari. Walaupun tidak ada kurikulum khusus yang tertulis, dengan berpegang pada cita-cita dan keyakinan yang dianutnya sebagai rencana pendidikan, dan kasih sayang sebagai dasar perbuatan mendidik, para orang tua telah melakukan uapya-upaya dan tindakan pendidikan. Sikap dan tingkah lakunya terhadap peserta didik adalah proses pendidikan, khsusunya pendidikan akhlak. Karena itu, orang tua harus bersikap lemah lembut dan santun terhadap anaknya. Dalam ajaran Islam, harta benda dan anak-anak kita adalah karunia Allah kepada kita sebagai ujian atau percobaan, apakah kita dapat memanfaatkan harta itu dan mendidik anak tersebut dengan baik atau tidak. Sebab anak dan harta adalah unsur utama kehidupan manusia, yang membuatnya memperoleh kebahagiaan lahir dan duniawi16. Oleh karena itu menjaga dan mendidiknya adalah kewajiban para orang tua. Sebagaimana firman Alalh “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS. 66:6) Ayat di atas secara ekplisit menegaskan tanggung jawab orang tua tentang pembinaan nilai-nilai akhlak bagi anak-anaknya, sehingga mereka tidak terseret kedalam lingkaran amoral. Perintah dan peringatan Allah ini cukup relevan dengan kondisi tantangan yang sedang dihadapi oleh umat Islam saat ini, yaitu serangan nilai-nilai negatif arus globalisasi yang dampaknya cukup luas bagi generasi muda, 16
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 90
20
seperti tayangan pornografi melalui jaringan media internet dan parabola, bahkan sekarang melalui HP. 2. Aplikasi di lingkungan sekolah Setelah peserta didik mengenyam pendidikan dalam lingkungan keluarga, kemudian sebagai pelanjutnya berpindah ke lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu lingkungan sekolah (termasuk Pesantren dan sejenisnya). Apa yang telah ditanamkan dalam keluarga, dilanjutkan pada lingkungan sekolah. Oleh karena itu sekolah sering disebut sebagai pendidikan kedua setelah keluarga. Pendidikan disekolah lebih bersifat formal, tidak seperti dalam kelurga. Karena di sekolah ada kurikulum sebagai rencana pendidikan dan pengajaran, ada guru-guru yang lebih professional, ada sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan khusus sebagai pendukung proses pendidikan, serta ada pengelolaan pendidikan yang khusus pula17. Model pembelajaran di sekolah menggunakan prinsip-prinsip, pendekatanpendekatan, dan metode-metode mendidik dan mengajar yang lebih formal yang didasarkan pada bidang-bidang ilmu pendidikan. Oleh karena itu, Sekolah sebagai lembaga yang bertanggung jawab dibidang terlaksananya proses pendidikan kepada peserta didik yang bersifat formal, harus berusaha untuk menyesuaikan programprogram pengajarannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih up to date, tidak out of date. Apalagi dalam arus globalisasi yang sedang kita hadapi ini, dimana antara satu negara dengan negara lain tidak ada lagi batas-batas yang memisahkannya. Maka Pendidikan akhlak harus menjadi prioritas utama untuk menghadapi nilai-nilai negatif yang datang dari luar.
17
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi…………, hal. 7
21
Peran dan fungsi sekolah adalah untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, demokratis, dan membawa program nilai-nilai luhur. Sekolah tidak hanya sebagai transfer of knowledge belaka, tetapi juga sebagai transfer of value, dan juga punya rasa memiliki terhadap nilai-nilai luhur tersebut serta direalisasikan dalam kehidupan sehari-harinya, baik oleh peserta didik, pimpinan sekolah, para pendidik, dan para karyawan sehingga menciptakan suatu komunitas sekolah yang berbudaya, yang berbudi pekerti luhur, yang layak diperjuangkan sesuai dengan martabat manusia18. Guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab disekolah terhadap terciptanya suasana pendidikan yang beriman dan bermartabat. Dalam tradisi Islam, guru adalah orang yang sangat dihormati setelah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, guru harus memelihara akhlaknya sebagai pendidik dan juga harus memiliki kemampuan
yang professional
dalam
bidangnya,
sehingga
dalam
proses
pembelajaran tidak hanya sekedar asal jadi. Akibat dari pembelajaran asal jadi tersebut, maka hasil yang diharapkan dari proses pendidikan tidak terlaksana dengan baik, sebagaimana yang diharapkan. Di samping itu, guru adalah sebagai tauladan bagi murid-muridnya. Karena itu sikap dan tingkah laku guru selalu diperhatikan dan diikuti oleh murid-muridnya. Dalam konteks Indonesia, dengan adanya otonomi daerah, mungkin sekolah di daerah dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan daerahnya masingmasing. Demikian juga dengan pendidikan akhlak, ini akan lebih berfariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Dengan demikian, usaha untuk menangkal arus
18
Paul Suparno dkk, Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hal. 76
22
negatif dari globalisasi lebih cepat tercapai, karena setiap daerah mempunyai karakteristiknya tersendiri. 3. Aplikasi di lingkungan Masyarakat Lingkungan yang paling terakhir untuk menerapkan nilai-nilai akhlak adalah lingkungan masyarakat. Karena peserta didik juga mendapat pengaruh dan pendidikan
dalam
lingkungan
masyarakat.
Peserta
didik
setelah
mereka
menyelesaikan masa pendidikan di sekolah formal, kemudian mereka masuk ke masyarakat dengan status yang lain, walaupun sebenarnya, mereka telah berada, hidup dan berkembang dalam lingkungan masyarakat, yang menunjukkan tingkat kedewasaan dan kemandirian yang lebih tinggi. Dalam masyarakat, peserta didik menghadapi dan mempelajari hal-hal yang lebih bersifat terbuka, nyata, dan praktis, terutama yang berkaitan erat dengan masalah-masalah kehidupan. Dalam masyarakat, peserta didik tidak hanya menerima pelajaran, tetapi juga berbuat dan menerapkan apa yang telah didapati dalam keluarga dan sekolah19. Dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi interaksi yang saling berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap perkembangan generasi muda. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan membawa pengaruh terhadap perilaku peserta didik dan generasi muda. Dalam rangka menghadapi arus globalisasi, masyarakat mempunyai andil yang sangat besar untuk mendidik generasi muda dengan nilai-nilai akhlak yang mulia, sehingga dampak negatif globalisasi bisa dihindari. Selain itu, melalui kontrol yang baik dari para pendidik formal, informal leader dan anggota masyarakat 20, rasa
19
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi…………, hal. 9 Warul Walidi, Dinamika………, hal. 47
20
23
saling mengayomi dari para tokoh masyarakat dapat membawa dampak positif dalam pembinaan akhlakul karimah di kalangan mereka. Apabila usaha-usaha untuk menerapkan nilai-nilai akhlak, sebagaimana disebut diatas, tidak mendapat dukungan dari masyarakat, maka usaha tersebut tidak akan tercipta dengan baik. Oleh karena itu, Kekompakan dari pihak-pihak tersebut, keluarga, sekolah, dan masyarakat, sangat diharapkan demi terciptanya suatu pendidikan yang harmonis dan bermartabat. 4. Reinterpretasi konsep akhlak/etika Untuk menghadang dampak negatif dari globalisasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yaitu tentang pendidikan akhlak dan metodologi aplikasinya, maka selanjutnya, dalam pandangan penulis, perlu dijelaskan juga atau ditambahkan dengan penafsiran kembali konsep akhlak atau etika. Reinterpretasi konsep akhlak atau etika, karena dalam konteks Indonesia, dan dengan memperhatikan realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana terjadi korupsi secara besar-besaran di beberapa departeman. Seperti di Departemen Agama, Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesehatan. Ketiga departemen tersebut mengurus tentang masalah-masalah yang sangat vital dalam kehidupan manusia, seperti moral, pendidikan, dan kesehatan. Orang-orang yang melakukan korupsi tersebut, di lihat dari segi pendidikan yang gelutinya dan akhlaknya, berasal dari orang-orang terpelajar, bahkan juga para ilmuwan. Kemudian timbul pertanyaan, Kenapa hal seperti itu bisa terjadi? Apakah karena korupsi tidak digolongkan kedalam dosa besar? Atau bagaimana? Padahal mereka orang-orang terpelajar. Berangkat dari asumsi tersebut, maka perlu adanya reinterpretasi kembali beberapa konsep akhlak. Untuk itu, konsep yang perlu di interpretasikan kembali adalah konsep zalim.
24
Kata zalim, umumnya dalam bahasa Inggris di terjemahkan sebagai wrong doer, yaitu orang yang melakukan pekerjaan salah, atau evil doer, orang yang melakukan pekerjaan buruk, dan bentuk nominal yang berkorespondensi dengan zulm dapat berupa wrong, salah, evil, buruk, injustice, tidak adil, dan tyranny, kekejaman. Arti utama zalama, dalam pemikiran kebanyakan leksikografer authoritatife adalah meletakakan di tempat yang salah. Dalam lingkup etika, berarti bertindak sedemikian rupa yang melampaui batas yang benar serta melanggar hak orang lain21. Dalam al-Qur’an secara berulang-ulang disetiap bagian mengatakan bahwa Allah tidak salah (yazlim, bentuk kata kerja dari zulm) atas apapun, bahkan dengan berat seekor semut atau suatu ikatan janji.dalam sebuah ayat Allah menyatkan bahwa Dia tidak berbuat salah (menganiaya) orang yang percaya. “Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku”. Dalam ayat yang lain, kata zalim juga berarti bertindak tidak adil, mencuri, melakukan aniaya terhadap jiwa sesorang, dan lain-lain. Zulm digunakan hampir secara sinonim dengan kufr. Jadi berbuat zalim itu adalah suatu perbuatan yang sangat dilarang dalam agama dan termasuk dosa besar. Selama ini, dalam pandangan penulis di Indonesia, kata zalim, hanya diartikan dengan membunuh orang saja. Sedangkan mencuri, mengambil hak orang lain, menganiaya orang lain, baik dalam bentuk fisik maupun material (harta benda), mungkin tidak dianggap zalim. Korupsi adalah suatu perbuatan yang sangat zalim, dan ini terjadi di negara yang penduduknya mayoritas muslim. Apakah para pelaku korupsi tersebut tidak sadar, atau korupsi sudah menjadi suatu profesi atau kebiasaan yang tidak bisa dihindari lagi. Padahal korupsi itu adalah mencuri hak orang lain, merampas hal orang lain, dan menganiaya orang lain secara tidak langsung. Dengan korupsi itu 21
Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius Dalam Al-Qur‟an, alih bahasa: Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hal. 197-198
25
berarti seseorang telah mengambil alih hak orang lain secara kejam dan biadab, sehingga membuat sengsara orang lain yang begitu banyak jumlahnya demi kepentingan segelintir orang saja. Dengan demikian, interpretasi kembali konsep etika atau akhlak, sebagaimana dijelaskan di atas, sangat dibutuhkan dan bahkan sekarang menjadi kewajiban bagi para juru dakwah, guru, dosen, dan para pemimpin-pemimpin umat. E. Penutup Globalisasi adalah produk dari sains dan ilmu pengetahuan. Sains dan ilmu pengetahuan berkembang karena perkembangan sumber daya manusia. Kemajuan dan perkembangan sains dan ilmu penegtahuan melahirkan teknologi. Hasil dari teknologi tersebut bisa membawa dampak yang positif dan juga negatif terhadap kehidupan manusia. Dengan kata lain, Globalisasi adalah anak teknologi. Dengan demikian, Usaha untuk menghindar dari globalisasi adalah pekerjaan yang tidak bertanggung jawab. Islam dan umatnya tidak bisa lari dari globalisasi, untuk itu Islam punya rumusnya tersendiri untuk menghadapi dampak negatif globalisasi, yaitu dengan mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan menerapkan pendidikan akhlak kepada genarasi muda. Dengan adanya pola pendidikan akhlak, sebagaimana dijelaskan di atas, maka akan terhindar dari dampak negatif tersebut. Disamping itu, sikap yang paling sesuai untuk saat ini dalam menghadapi globalisasi adalah dengan sikap akomodatif, karena Islam juga punya andil yang sangat besar dalam kemajuan sains dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dengan mengambil kembali secara selektif apa yang telah diperjuangkan dahulu adalah sangat wajar. Wallahua’lam bissawab.
26
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim Ade ma’ruf dan Anas Syahrul Alimi (ed), Shaping Globalisation: Jawaban Kaum Sosial Demokrat atas Neoleberalisme, pada “International Conference 17 ang 18 th of June 1998 Willy Brant haus, Berlin”, (Yogyakarta: Jendela, 2000). Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan, Islam, Globalisasi and Postmodernity, (London: Routledge, 1994). Ali Mohammadi (ed), Islam Encountering Globalisasi, ( London: Routledge Curzon, 2002). A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Cet. Ke-4, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). F.j. monks- A. M. P. knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: pengantar Dalam Berbagai Bagiaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002). Haidar Bagir “Pengantar” dalam Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002). Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet Ke-5, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003). H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: PengantarPedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002). Joy A. Palmer (ed), Fifty ModernThinkers on education: From piaget to the Present, (London dan New York: Routledge, 2001). Machasin, Islam teologi Aplikatif, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003) Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,Cet Ke-3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan insist Press, 2003). Mastuhu, Manata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insani Press dan MSI UII Press, 2003). Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan pendektan Baru,Cet ke-7, (Bandung: Rosdakarya, 2002). Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 2003). Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2000). Paul Suparno dkk, Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002). R. Soegarda Poerbakawatja dan H. A. H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Cet. Ke III, (Jakarta: Gunung Agung, 1982). Sodiq A. Kuntoro, “Format Etika dan Etos Pendidikan Islam”, dalam A. Syafi’I Ma’arif, dkk, Islam dan Pengembangan Disiplin Ilmu: Sebuah Transpormasi Nilai, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2003).
27
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004). Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius Dalam Al-Qur‟an, alih bahasa: Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003). Warul Walidi Ak,, Dinamika Pemikiran Pendidikan, (Banda Aceh, Taufiqiyah Sa’adah, 2003).
28