HUKUM YANG BERLAKU DAN FORUM YANG BERWENANG DALAM PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM PADA PENERBANGAN INTERNASIONAL DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 639/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel DAN 908/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel)
Ghema Ramadan Zulfa Djoko Basuki Mutiara Hikmah Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Juli 2013
Abstrak Pembahasan dari segi-segi Hukum Perdata Internasional (HPI) terhadap perkara perbuatan melawan hukum (PMH) yang memiliki unsur asing sangat penting dilakukan demi menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut dan hukum yang berlaku. Berdasarkan sejumlah perkara PMH bernuansa asing yang dibahas di dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa konvensi-konvensi HPI di bidang penerbangan turut berperan penting dalam menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara-perkara tersebut dan hukum yang berlaku. Kata kunci : Perbuatan melawan hukum, penerbangan internasional, Konvensi Warsawa
Abstract The analysis from Private International Law aspects in relation to tort which contains of foreign element is important in order to determine forum jurisdictions and the applicable law. Based on the tort cases that are discussed in this writing, it can be concluded that Private International Law conventions in aviation sector take important role in order to determine forum jurisdictions and the applicable law. Keywords : Tort, international flight, Warsaw Convention 1 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
A. Pendahuluan Dewasa ini, pesawat udara merupakan salah satu armada transportasi yang paling penting bagi manusia. Oleh karena itu, peranan maskapai penerbangan dalam melakukan usaha pengangkutan udara merupakan hal yang perlu untuk diatur sedemikian rupa melalui instrumen hukum agar terjadi kepastian atas hubungan hukum di antara penumpang dan maskapai penerbangan selaku pengangkut udara. Pada awal abad ke-20, negara-negara di dunia melakukan pertemuan untuk memprakarsai sebuah perjanjian multilateral pertama di bidang penerbangan yang mengatur secara komprehensif perihal tanggung jawab secara perdata oleh pengangkut udara kepada penumpang dalam penerbangan internasional, yaitu Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Signed at Warsaw on 12 October 1929 (selanjutnya disebut “Konvensi Warsawa 1929”).1 Konvensi ini telah beberapa kali dilengkapi dan diubah melalui protokol-protokol turunannya berikut sebuah konvensi baru termutakhir, yakni the Protocol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Signed at Warsaw on 12 October 1929 Done at The Hague on 28 September 1955 (selanjutnya disebut “Protokol Hague 1955”), the Protocol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Signed at Warsaw on 12 October 1929 as Amended by the Protocol Done at The Hague on 28 September 1955 Signed at Guatemala City on 8 March 1971 (selanjutnya disebut “Protokol Guatemala 1971”), Additional Protocol No. 1 to 3 and Montreal Protocol No. 4 to Amend the Warsaw Convention as Amended by The Hague Protocol or the Warsaw Convention as Amended by Both the Hague Protocol and the Guatemala City Protocol Signed at Montreal on 25 September 1975 (selanjutnya disebut “Protokol Tambahan Montreal Nomor 1-4”), serta Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air Signed at Montreal on 28 May 1999 (selanjutnya disebut “Konvensi Montreal 1999”). Protokol Guatemala 1971 tidak sempat diberlakukan karena tak pernah memenuhi syarat berlakunya protokol tersebut, yakni ratifikasi oleh minimal 30 (tiga
1
E. Suherman (a), Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 75
2 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
puluh) negara anggota sebagaimana diatur pada Pasal 20 Protokol Guatemala 1971.2 Protokol Tambahan Montreal Nomor 1-3 pada pokoknya hanya mengatur mengenai mata uang sebagai satuan hitung selain Gold Franc pada batas tanggung jawab pengangkut udara, yakni Special Drawing Rights (selanjutnya disebut “SDR”) sebagai suatu gabungan nilai mata uang yang stabil dan ditetapkan oleh organisasi internasional Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). SDR ini tidak akan mengalami fluktuasi nilai serta dapat dikonversikan sewaktuwaktu ke dalam mata uang nasional dari negara-negara anggota IMF.3 Sementara Protokol Tambahan Montreal Nomor 4 mengatur perihal semata-mata revisi tanggung jawab pengangkut udara terkait muatan barang yang dikirim (kargo). Penelitian ini akan membahas perihal bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan kepada penumpang berdasarkan Konvensi Hukum Perdata Internasional (selanjutnya disebut “HPI”) di bidang penerbangan yang telah diuraikan di atas serta implementasinya di Indonesia. Oleh karena itu, pokok-pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan kepada penumpang pada penerbangan internasional berdasarkan Konvensi Warsawa 1929, Protokol Hague 1955, dan Konvensi Montreal 1999? 2. Apa yang menjadi forum yang berwenang dan hukum yang berlaku dalam menyelesaikan perkara perbuatan melawan hukum pada penerbangan internasional di Indonesia (studi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 639/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel dan 908/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel)? B. Pembahasan 1. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan kepada Penumpang berdasarkan Konvensi Hukum Perdata Internasional a. Konvensi Warsawa 1929 2
Protokol Guatemala 1971, Pasal 20: “if, at the time of deposit of the thirtieth instrument of ratification, this condition has not been fulfilled, the Protocol shall not come into force until the ninetieth day after this condition shall have been satisfied...” 3
Anita Khosla, “Warsaw Convention Limitation on Liability: the Need for Reform after Coccia v. Turkish Airlines” dalam Fordham International Law Journal, vol. 11, issue 1 (1987)
3 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Konvensi Warsawa 1929, yakni Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air disusun pertama kali oleh panitia CITEJA (Comite International Technique d’Experts Juridiques Aerien) dengan menggunakan bahasa Prancis kemudian ditandatangani oleh puluhan delegasi negara yang hadir di kota Warsawa, Polandia, pada tanggal 12 Oktober 1929.4 Konvensi Warsawa 1929 yang terdiri dari lima bab ini menetapkan batas tertinggi tanggung jawab kepada pengangkut udara, bukan jumlah ganti rugi, sehingga hal yang belakangan harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penumpang selaku pihak yang mengalami kerugian. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929 menyatakan bahwa konvensi ini berlaku untuk seluruh penerbangan internasional berbayar terhadap orang (penumpang), bagasi, atau kargo melalui pesawat udara. Begitu pula hal ini berlaku untuk pengangkutan secara cuma-cuma oleh pesawat dari perusahaan pengangkut udara. Setelah itu, Pasal 1 ayat (2) konvensi ini mendefinisikan penerbangan internasional sebagai tiap-tiap pengangkutan udara yang dilakukan berdasarkan perjanjian pengangkutan di antara para pihak, di mana tempat keberangkatan dan tempat tujuannya (baik ada atau tidaknya jeda pada pengangkutan atau pemindahan muatan kargo) berada pada dua wilayah negara anggota Konvensi Warsawa 1929, atau hanya dalam satu negara anggota jika telah terdapat persetujuan perihal tempat pemberhentian di luar wilayah negara anggota tersebut. Apabila tidak terdapat persetujuan perihal tempat pemberhentian (transit) dalam suatu negara non anggota, maka dianggap tidak bersifat internasional adanya.5 Tanggung jawab pertama yang dibebankan kepada pengangkut udara ialah tanggung jawab terhadap keadaan penumpang dengan menggunakan 4
Peter H. Sand, et. al, “An Historical Survey of International Air Law Before the Second World War” dalam McGill University (1960), hal. 37 5
Konvensi Warsawa 1929, Pasal 1 ayat (2): “…’international carriage’ means any carriage in which, according to the contract made by the parties, the place of departure and the place of destination, whether or not there be a break in the carriage or a transhipment, are situated either within the territories of two High Contracting Parties, or within the territory of a single High Contracting Party, if there is an agreed stopping place within a territory subject to the sovereignty, suzerainty, mandate or authority of another Power, even though that Power is not a party to this Convention. A carriage without such an agreed stopping place between territories subject to the sovereignty, suzerainty, mandate or authority of the same High Contracting Party is not deemed to be international for the purposes of this Convention.”
4 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
prinsip praduga bertanggung jawab atau presumption of liability.6 Hal ini diatur pada Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929. Dengan demikian, sebagaimana diatur melalui ketentuan di atas, maka pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab atas terjadinya kematian, luka-luka, atau cidera yang dialami oleh penumpang apabila kecelakaan tersebut terjadi di atas pesawat atau dalam hal-hal operasional yang berkaitan dengan proses embarkasi mau pun debarkasi. Penumpang dalam hal ini cukup membuktikan adanya kerugian yang ia alami dan pemenuhan tiap-tiap unsur yang ada pada Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929. Unsur-unsur yang terdapat pada ketentuan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929 terdiri dari: 1. kecelakaan (accident); dan 2. di atas pesawat (on board the aircraft); atau 3. dalam hal-hal yang berkaitan dengan proses embarkasi atau debarkasi (in the course of any operations of embarking or disembarking). Unsur-unsur di atas harus dibuktikan oleh penumpang apabila ia ingin meminta pertanggungjawaban kepada pihak pengangkut udara. Konvensi Warsawa 1929 mengatur bahwa batas tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang ialah hingga sebesar 125.000 Gold Franc.7 Ketentuan tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang di atas dapat dikecualikan berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh pengangkut udara atau penumpang yang bersangkutan selaku penggugat. Dalam hal pembuktian oleh pengangkut udara, hal yang harus dibuktikan ialah: 1. Tidak ada tiket penumpang (Pasal 3 ayat 1 Konvensi Warsawa 1929) 2. Adanya wilful misconduct oleh maskapai penerbangan atau pegawainya (Pasal 25 Konvensi Warsawa 1929) Dalam hal pembuktian oleh penumpang ialah: 6
E. Suherman (b), Hukum Udara Indonesia dan Internasional, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 80
7
Konvensi Warsawa 1929, op. cit., Pasal 22 ayat (1): “in the carriage of passengers the liability of the carrier for each passenger is limited to the sum of 125,000 francs...”
5 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
1. Maskapai penerbangan telah melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian yang terjadi atau mustahil untuk itu (Pasal 20 ayat 1 Konvensi Warsawa 1929) 2. Daluwarsa gugatan (Pasal 29 ayat 1 Konvensi Warsawa 1929) 3. Kerugian tak terjadi di atas pesawat atau berhubungan dengan proses debarkasi dan embarkasi penumpang (Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929) 4. Kerugian turut disebabkan oleh penumpang tersebut (Pasal 21 Konvensi Warsawa 1929) 5. Kerugian terjadi bukan karena penundaan pengangkutan (Pasal 19 Konvensi Warsawa 1929) Konvensi Warsawa 1929 juga mewajibkan pengangkut udara untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau hilangnya bagasi apabila hal tersebut terjadi selama pengangkutan udara berlangsung.8 Pasal 18 ayat (2) Konvensi Warsawa 1929 menyatakan bahwa lingkup tersebut mencakup ketika bagasi berada di dalam pengawasan pihak pengangkut udara, termasuk di lapangan terbang atau pun di dalam pesawat, serta tempat mendarat dalam hal terjadinya pendaratan di luar landasan pacu pesawat sebagaimana mestinya.9 Pasal ini memiliki unsur penting dalam kaitannya soal bagasi, yakni: 1. selama bagasi berada dalam pengawasan pengangkut udara; dan 2. di bandar udara, di dalam pesawat udara atau tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar landasan pacu pesawat. Kedua unsur di atas merupakan unsur yang berkaitan satu sama lainnya sehingga tidak dapat berdiri secara sendiri-sendiri.10 Batas tanggung jawab pengangkut udara terhadap keadaan bagasi yang hilang atau rusak adalah
8
Ibid., Pasal 18 ayat (1): “the carrier is liable for damage sustained in the event of the destruction or loss of, or of damage to, any registered luggage or any goods, if the occurrence which caused the damage so sustained took place during the carriage by air.” 9
Ibid., Pasal 18 ayat (2): “the carriage by air within the meaning of the preceding paragraph comprises the period during which the luggage or goods are in charge of the carrier, whether in an aerodrome or on board an aircraft, or, in the case of a landing outside an aero-drome, in any place whatsoever.” 10
Endang Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut Udara dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989), hal. 75
6 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
hingga 250 Gold Franc per kilogram.11 Ketentuan tanggung jawab pengangkut udara terhadap bagasi milik penumpang di atas dapat dikecualikan berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh pengangkut udara atau penumpang yang bersangkutan selaku penggugat. Dalam hal pembuktian oleh pengangkut udara sehingga ia dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya, hal yang harus dibuktikan ialah: 1. Tidak ada tiket bagasi (Pasal 4 ayat 4 Konvensi Warsawa 1929) 2. Tiket tak memuat: nomor tiket penumpang, nomor dan berat paket, serta pernyataan tunduk pada Konvensi Warsawa (Pasal 4 ayat 4 Konvensi Warsawa 1929) 3. Adanya wilful misonduct oleh maskapai penerbangan atau pegawainya (Pasal 25 Konvensi Warsawa 1929) Sementara itu, dalam hal pembuktian oleh penumpang sehingga batas 250 Gold Franc per kilogram dapat dilampaui ialah: 1. Daluwarsa gugatan (Pasal 29 ayat 1 Konvensi Warsawa 1929) 2. Kerugian terjadi bukan karena penundaan pengangkutan (Pasal 19 Konvensi Warsawa 1929) 3. Kerugian bukan terjadi ketika bagasi berada dalam tanggung jawab maskapai penerbangan (Pasal 18 ayat 2 Konvensi Warsawa 1929) 4. Tidak mengajukan keluhan tertulis dalam waktu tertentu, 3 hari pasca penerimaan resi bagasi, 7 hari pasca penempatan bagasi dalam hal penundaan pengangkutan (Pasal 26 ayat 2 Konvensi Warsawa 1929) 5. Maskapai penerbangan telah melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian yang terjadi atau mustahil untuk itu (Pasal 20 ayat 2 Konvensi Warsawa 1929) Selain bertanggung jawab terhadap keadaan penumpang dan bagasinya, pengangkut udara juga bertanggung jawab terhadap bagasi tangan terhadap penumpang yang biasanya berupa barang-barang personal milik penumpang seperti perhiasan yang dipakai oleh wanita, tas tangan, ransel, dll. Pada bagasi tangan, batas tanggung jawab pengangkut udara berdasarkan Konvensi 11
Konvensi Warsawa 1929, op. cit., Pasal 22 ayat (2) “in the carriage of registered luggage and of goods, the liability of the carrier is limited to a sum of 250 francs per kilogram...”
7 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Warsawa 1929 ialah hingga sebesar 5.000 Gold Franc per penumpang.12 Berbeda dengan tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang dan bagasi, pada bagasi tangan, pengangkut umumnya dianggap tidak bertanggung jawab sehingga kerugian yang terjadi harus dibuktikan oleh penumpang untuk mendapatkan kompensasi. Hal ini dikarenakan bahwasanya bagasi tangan berada di dalam pengawasan secara langsung oleh penumpang itu sendiri. Sama halnya dengan penumpang dan bagasi, batas tanggung jawab di atas dapat dikecualikan hingga tanpa batas apabila penumpang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa terjadinya kerusakan atau kehilangan pada bagasi tangan tersebut disebabkan oleh karena wilful misconduct atau default dari pengangkut udara atau pegawainya13. Sementara pembuktian oleh pengangkut udara sehingga ia dapat terbebas dari tanggung jawabnya mencakup daluwarsa pengajuan gugatan oleh penumpang.14 Konvensi Warsawa 1929 diratifikasi oleh negara Belanda pada tanggal 1 Juli 1933. Melalui asas konkordansi, konvensi ini kemudian diberlakukan pula di teritori jajahannya, yakni Hindia Belanda melalui instrumen hukum Staatsblad Tahun 1933 Nomor 344. Selanjutnya pada era pasca kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengikatkan diri pada konvensi ini dengan mengirim surat pada tanggal 2 Februari 1952 kepada sekretariat ICAO (International Civil Aviation Organization) di Montreal, Kanada. Selain itu, Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa konvensi ini pada dasarnya tetap berlaku. Pasal tersebut berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”15 b. Protokol Hague 1955 Seiring berjalannya waktu sejak dicetuskannya Konvensi Warsawa 1929, konvensi ini dirasa perlu untuk direvisi agar sesuai dengan tatanan 12
Ibid., Pasal 22 ayat (3): “as regards objects of which the passenger takes charge himself the liability of the carrier is limited to 5,000 francs per passenger.” 13
Ibid., Pasal 25 ayat (1)
14
Ibid., Pasal 26 ayat (2)
15
Undang-Undang Dasar 1945, Aturan Peralihan, Pasal II
8 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
perekonomian dunia dan keadaan industri aviasi yang berkembang secara pesat hingga akhirnya dilakukan pertemuan multilateral untuk mengatasi desakan devaluasi yang terjadi pada saat itu.16 Pertemuan tersebut menghasilkan protokol turunan bagi Konvensi Warsawa 1929, yakni Protocol Hague 1955 to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 atau dikenal Protokol Hague 1955. Protokol ini memiliki keberlakuan yang sama dengan Konvensi Warsawa 1929, yakni dalam hal suatu penerbangan internasional. Secara umum, Protokol Hague 1955 melakukan sedikit revisi atas ketentuan yang telah diatur sebelumnya di atas. Apabila terdapat ketentuan pada Konvensi Warsawa 1929 yang tidak diubah oleh Protokol Hague 1955, maka ketentuan tersebut tetap berlaku adanya. Revisi yang diubah oleh Protokol Hague 1955 ialah dalam hal pengecualian oleh penumpang yang di antaranya berupa: 1. formulasi wilful misconduct menjadi lebih jelas, yakni adanya tindakan atau kelalaian dari pengangkut udara atau pegawainya yang sengaja membuat kerugian atau paling tidak patut mengetahui bahwasanya kerugian tersebut akan terjadi. (Pasal 13 Protokol Hague 1955); 2. tiket tak memuat pemberitahuan bahwa apabila pengangkutan udara berhenti di negara selain tempat tujuan, maka Konvensi Warsawa 1929 dapat berlaku dalam hal batasan tanggung jawab pengangkut udara atas kematian atau cidera penumpang17 dan dalam hal kehilangan atau kerusakan pada bagasi;18 16
Nathan Calkins, et. al., “Hiking The Limits of Liability at The Hague” dalam Proceedings American Society of International Law at Its Annual Meeting, vol. 56 (1962), hal. 123
of
the
17
Protokol Hague 1955, Pasal 3 ayat (2): “...Nevertheless, if, with the consent of the carrier, the passenger embarks without a passenger ticket having been delivered, or if the ticket does not include the notice required by paragraph 1 (c) of this Article, the carrier shall not be entitled to avail himself of the provisions of Article 22.” 18
Ibid., Pasal 4 ayat (2): “...Nevertheless, if the carrier takes charge of the baggage without a baggage check having been delivered or if the baggage check (unless combined with or incorporated in the passenger ticket which complies with the provisions of Article 3, paragraph 1 (c)) does not include the notice required by paragraph 1 (c) of this Ar ticle, he shall not be entitled to avail himself of the provisions of Article 22, paragraph 2.”
9 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
3. dalam hal bagasi, penumpang telah membuat pernyataan khusus terkait keadaan bagasi serta membayar biaya tambahan apabila diperlukan.19 Sementara itu, revisi terkait pengecualian oleh pengangkut udara hanya mencakup perubahan durasi pengajuan keluhan secara tertulis dalam waktu tertentu, yakni dari 3 (tiga) hari pasca penerimaan resi bagasi menjadi 7 (tujuh) hari, dan dari 14 (empat belas) hari pasca penempatan bagasi menjadi 21 (dua puluh satu) hari dalam hal terjadinya kerugian pada bagasi karena penundaan pengangkutan.20 Perubahan lain yang signifikan juga terjadi pada perubahan batas tanggung jawab pengangkutan yang dinaikkan menjadi dua kali lipat, yakni dari 125.000 Gold Franc menjadi dua kali lipatnya, sebesar 250.000 Gold Franc. Sementara untuk nominal tanggung jawab terhadap bagasi dan bagasi tangan tetap sama sehingga tidak mengalami perubahan sama sekali. c. Konvensi Montreal 1999 Konvensi Montreal 1999 sebagai konvensi teranyar telah melakukan revisi kembali atas ketentuan-ketentuan yang diatur sebelumnya melalui Konvensi Warsawa 1929 dan protokol-protokol turunannya. Beberapa revisi tersebut ialah perihal pengecualian batas tanggung jawab oleh pengangkut udara, seperti: 1. kerugian yang terjadi pada penumpang tidak terjadi karena kelalaian dari pengangkut udara atau pegawainya; 2. kerugian yang terjadi pada penumpang terjadi semata-mata karena pihak ke tiga;21 19
Ibid., Pasal 11 ayat (2) huruf (a): “…unless the passenger or consignor has made, at the time when the package was handed over to the carrier, a special declaration of interest in delivery at destination and has paid a supplementary sum if the case so requires.” 20
Ibid., Pasal 3 ayat (2): “in the case of damage, the person entitled to delivery must complain to the carrier forthwith after the discovery of the damage, and, at the latest, within seven days from the date of receipt in the case of checked baggage... In the case of delay, the complaint must be made at the latest within twenty-one days from the date on which the baggage or cargo have been placed at his or her disposal.” 21
Konvensi Montreal 1999, Pasal 21 ayat (2): “the carrier shall not be liable for damages arising under paragraph 1 of Article 17 to the extent that they exceed for each passenger 100000 Special Drawing Rights if the carrier proves that (a) such damage was not due to the negligence or other wrongful act or omission of the carrier or its servants or agents; or (b) such damage was solely due to the negligence or other wrongful act or omission of a third party.”
10 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
3. dalam hal kerugian pada bagasi, hal tersebut terjadi karena turut atau disebabkan oleh penumpang yang bersangkutan;22 4. dalam hal kerugian pada bagasi, pengangkut udara telah melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian yang terjadi atau mustahil untuk itu. Akan tetapi, hal ini hanya berlaku dalam konteks penundaan pengangkutan;23 5. dalam hal kerugian pada bagasi, kerugian terjadi karena memang sifat cacat dari kualitas bagasi tersebut.24 Sementara itu, revisi terkait pengecualian oleh penumpang hanya mencakup adanya tindakan atau kelalaian dari pengangkut udara atau pegawainya yang secara sengaja membuat kerugian atau paling tidak patut mengetahui bahwasanya kerugian tersebut akan terjadi. Meski demikian, hal ini hanya berlaku dalam konteks penundaan pengangkutan. Perubahan terakhir yang juga tak kalah penting ialah pemakaian SDR sebagai mata uang yang diseragamkan di mana tanggung jawab terhadap penumpang dibatasi sebesar 100.000 SDR, kemudian pada bagasi sebesar 1.000 SDR, dan khusus terhadap kerugian pada penumpang karena penundaan pengangkutan sebesar 4.150 SDR. Kemudian dalam hal prinsip tanggung jawab yang dianut oleh Konvensi Montreal 1999 tetap sama seperti pada Konvensi Warsawa 1929 dan Protokol Hague 1955, yakni praduga berinsip praduga bertanggung jawab terhadap penumpang dan bagasi, serta praduga tidak bertanggung jawab terhadap bagasi tangan
22
Ibid., Pasal 20: “if the carrier proves that the damage was caused or contributed to by the negligence or other wrongful act or omission of the person claiming compensation, or the person from whom he or she derives his or her rights, the carrier shall be wholly or partly exonerated from its liability to the claimant to the extent that such negligence or wrongful act or omission caused or contributed to the damage. When by reason of death or injury of a passenger compensation is claimed by a person other than the passenger, the carrier shall likewise be wholly or partly exonerated from its liability to the extent that it proves that the damage was caused or contributed to by the negligence or other wrongful act or omission of that passenger.” 23
Ibid., Pasal 19: “the carrier shall not be liable for damage occasioned by delay if it proves that it and its servants and agents took all measures that could reasonably be required to avoid the damage or that it was impossible for it or them to take such measures.” 24
Ibid., Pasal 17 ayat (2): “…however, the carrier is not liable if and to the extent that the damage resulted from the inherent defect, quality or vice of the baggage…”
11 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
2. Forum yang Berwenang dan Hukum yang Berlaku dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum pada Penerbangan Internasional di Indonesia a. Perkara I Dalam perkara ini, pihak Penggugat ialah Dono Indarto selaku pribadi kodrati berkewarganegaraan dan berdomisili di Indonesia. Kemudian pihak Tergugat ialah maskapai penerbangan Emirates Airlines selaku badan hukum yang didirikan menurut peraturan perundang-undangan Uni Emirat Arab. Perkara ini bermula ketika Penggugat menaiki pesawat Tergugat dengan rute penerbangan
Turki–Dubai–Jakarta.
Ketika
hendak
berangkat,
tongkat
Penggugat sempat diminta oleh pegawai Tergugat untuk dititipkan sebagai bagasi. Meski sempat menolak, akhirnya ia menitipkannya juga. Sesampainya di Jakarta, tongkat tersebut tidak dapat ditemukan sehingga ia mengajukan gugatan PMH melalui PN Jakarta Selatan. Pada tingkat pertama, Majelis Hakim memenangkan Penggugat sejumlah uang sebesar Rp 100.000.000,00 berikut uang paksa dengan pertimbangan bahwa tongkat Penggugat dipaksa untuk dititipkan oleh pegawai Tergugat sehingga ketentuan Pasal 22 ayat (2) Konvensi Warsawa 1929 dapat dilampaui. Pada tingkat banding, Majelis Hakim meniadakan poin uang paksa pada diktum putusan tingkat pertama, lalu selebihnya menguatkan putusan yang ada pada tingkat pertama. Selanjutnya pada tingkat akhir, Majelis Hakim menolak kasasi yang diajukan Pemohon kasasi. Titik pertalian primer yang muncul di dalam hubungan mereka ialah bendera kapal, kewarganegaraan penumpang, kedudukan hukum maskapai penerbangan, serta pilihan hukum.25 Selanjutnya TPS yang muncul selain empat faktor tersebut ialah lex loci delicti commissi atau tempat di mana terjadinya perbuatan melawan hukum, lex fori atau hukum Hakim, lex loci contractus atau hukum tempat di mana perjanjian dibuat, dan lex loci solutionis atau hukum tempat di mana perjanjian dilaksanakan.26
25
Pilihan hukum atau choice of law diartikan sebagai “the question of which jurisdiction’s law should apply in a given case”, Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th ed. 2004 26
Sudargo Gautama (a), Masalah-Masalah Baru Hukum Perdata Internasional (Bandung: Alumni, 1984), hal. 27
12 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Hubungan hukum yang terjadi di antara kedua pihak telah memenuhi definisi “penerbangan internasional” sebagaimana dimaksud oleh Konvensi Warsawa 1929 melalui Pasal 1 ayat (2) karena Penggugat melakukan perjalanan udara lintas negara melalui negara-negara yang berbeda, yakni Turki, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Dengan demikian, hubungan para pihak di atas tunduk kepada Konvensi Warsawa 1929 yang memang telah diratifikasi oleh ketiga negara tersebut.27 Dalam hal terjadinya sengketa terhadap kerugian pada bagasi milik Penggugat, Pasal 28 ayat (1) Konvensi Warsawa memberikan pilihan kepada Penggugat untuk menggugat Tergugat melalui forum pengadilan di negara: 1. tempat di mana pengangkut udara berdomisili. Dalam hal ini, Uni Emirat Arab merupakan negara di mana perusahaan Tergugat selaku maskapai penerbangan berdomisili (didirikan menurut hukum Uni Emirat Arab);28 2. tempat di mana pengangkut udara menjalankan kegiatan usahanya yang paling utama. Dalam hal ini, Uni Emirat Arab merupakan negara di mana EMIRATES AIRLINES sebagai Tergugat memiliki kantor pusat dan tempat pesawat-pesawatnya didaftarkan;29 3. tempat di mana tiket penerbangan atau perjanjian pengangkutan dibuat pertama kali (lex loci contractus). Dalam hal ini, keterangan mengenai tempat di mana Penggugat membeli tiket penerbangan dari Tergugat tidak diketahui secara pasti karena hal ini tidak diungkapkan di persidangan, hal mana penting untuk diketahui; atau 4. tempat tujuan akhir penerbangan (lex loci solutionis). Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara di mana tempat tujuan akhir penerbangan dari Penggugat.
27
Turki meratifikasi Konvensi Warsawa 1929 sejak tanggal 25 Maret 1978, sedangkan Uni Emirat Arab sejak tanggal 4 April 1986 28
Uni Arab Emirates Federal Law No. 8 of 1984 concerning Commercial Companies, Pasal 2 ayat (1): “the provisions of this Law shall apply to commercial companies constituted in the State or establishing in it the center of its activities . All companies formed in the State must have its domicile therein.” 29
Ibid.
13 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Oleh karena berlakunya ketentuan di atas, maka pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara I dan dapat dipilih oleh Penggugat ialah pengadilan di negara Uni Emirat Arab atau pengadilan di Indonesia. Dalam hal hukum acara atau hukum formal yang berlaku, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Konvensi Warsawa 1929, maka hukum acara yang berlaku ialah hukum dari pengadilan yang mengadili sengketa (lex fori).30 Dengan demikian, apabila Penggugat telah memilih untuk mengajukan gugatannya melalui Pengadilan Negeri di Indonesia, maka dalam hal ini, hukum acara yang berlaku ialah hukum Indonesia.31 Apabila merujuk lebih lanjut pada ketentuan hukum acara perdata Indonesia, maka pengadilan yang memiliki kompetensi absolut dan relatif adalah PN Jakarta Selatan karena wilayah hukum tempat Tergugat (kantor cabang perwakilan EMIRATES AIRLINES di Indonesia) berdomisili ialah di Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Hal ini sesuai dengan Pasal 118 ayat (2) H.I.R.32 Dalam hal kerugian yang terjadi pada Penggugat, ia dalam hal ini cukup membuktikan terpenuhinya unsur: 1. selama bagasi berada dalam pengawasan pengangkut udara; dan 2. di bandar udara, di dalam pesawat udara atau tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar landasan pacu pesawat. Pada unsur pertama, Penggugat dapat membuktikan bahwa bagasi tersebut memang sedang berada di dalam pengawasan pengangkut udara di mana ia melampirkan bukti berupa tiket bagasi atas tongkat yang diserahkan kepada staf Tergugat. Kemudian unsur ke dua dalam perkara I ini juga telah terpenuhi karena tongkat Penggugat tidak dapat ditemukan sejak ia menyerahkan bagasi tersebut di bandara keberangkatan Attaturk (Istanbul) kepada staf Tergugat 30
Konvensi Warsawa 1929, op. cit., Pasal 28 ayat (2): “questions of procedure shall be governed by the law of the Court seised of the case.” 31
Dalam ilmu HPI juga dianut bahwa hukum acara yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa perdata bernuansa asing ialah hukum dari tempat diajukannya gugatan perkara (hukum Hakim) atau lex fori. Lihat Sudargo Gautama (b), Hukum Perdata Intenasional Indonesia, Jilid III bagian II buku ke-8 (Bandung: Alumni, 2002), hal. 63 32
Herzien Inlandsch Reglement, Pasal 118 ayat (1): “tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat kediaman si tergugat, atau jika tempat kediamannya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenamya.”
14 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
hingga akhirnya sampai di Bandara Soekarno Hatta (Indonesia). Oleh sebab itu, Tergugat sudah seharusnya bertanggung jawab karena terpenuhinya dua unsur di atas. Ketentuan Pasal 22 ayat (2) Konvensi Warsawa 1929 menyatakan bahwa nominal tanggung jawab atas raibnya bagasi penumpang ialah sebesar hingga 250 Gold Franc per kilogram. Namun demikian, terdapat tindakan yang dapat disetarakan dengan wilful misconduct menurut lex fori di sini, yakni perjanjian pengangkutan berupa tiket bagasi di mana hal tersebut dilandasi oleh adanya paksaan.33 Dengan demikian, ketentuan Pasal 22 ayat (2) Konvensi Warsawa 1929 dapat dilampaui adanya sesuai kerugian yang telah dialami oleh Penggugat sebenarnya sesuai Pasal 25 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Hal-hal yang tidak ditentukan lebih lanjut berdasarkan Konvensi Warsawa 1929 akan ditafsirkan oleh Hakim dengan menggunakan hukum materil.34 Penentuan hukum materil yang akan diberlakukan tidak diatur lebih lanjut berdasarkan Konvensi Warsawa 1929. Oleh karena itu sudah sepatutnya bahwa apabila Penggugat memilih forum pengadilan di Indonesia, maka dapat disimpulkan adanya kecenderungan untuk memilih pula hukum materil Indonesia yang akan berlaku.35 Selain itu, hukum Indonesia pada perkara I memang merupakan proper law of the tort di mana hukum Indonesia memiliki titik pertalian karena adanya status personal Penggugat, lex fori, lex loci delicti dengan locus berupa tempat terjadinya kerugian, serta lex loci solutionis. Tindakan Majelis Hakim pada perkara I sudah cukup benar dengan menyetarakan perjanjian paksaan sebagai suatu tindakan wilful misconduct.
33
Menurut hukum Indonesia, syarat sah perjanjian ialah tidak adanya unsur paksaan. Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pasal 1320: “untuk sahnya persetujuan diperlukan empat syarat: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.” 34
Rene H. Mankiewicz, “The Judicial Diversification of Uniform Private Law Conventions, The Warsaw Convention’s Days in Court” dalam The International Comparative Law Quarterly, vol. 21, no. 4 (Oktober 1972) 35
Sudargo Gautama (b), op. cit., hal. 235
15 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
b. Perkara II Dalam perkara ini, pihak Penggugat ialah Sigit Suciptoyono selaku pribadi kodrati berkewarganegaraan dan berdomisili di Indonesia. Kemudian pihak Tergugat ialah Singapore Airlines selaku badan hukum yang didirikan menurut peraturan perundang-undangan Singapura. Perkara ini bermula ketika Penggugat menaiki pesawat Tergugat dengan rute penerbangan Jakarta– Singapura–Taiwan–Los Angeles (AS). Ketika pesawat tersebut lepas landas dari Bandara Chiang Kai-Shek, pesawat mengalami kecelakaan. Dalam waktu terpisah tanpa jeda, Penggugat sempat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negara Bagian California hingga dinyatakan forum non conveniens, pengadilan di Singapura hingga akhirnya gugur karena hal prosedural belaka, dan terakhir ialah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada tingkat pertama, Majelis Hakim memenangkan Penggugat sejumlah uang sebesar Rp 100.000.000.000 yang melebihi ketentuan Konvensi Warsawa 1929 karena adanya tindakan wilful misconduct yang telah dilakukan oleh pilot Tergugat. Pada tingkat banding, Majelis Hakim menguatkan putusan yang ada pada tingkat pertama dan menambah uang hukuman kepada Tergugat atas kerugian pada Penggugat yang bersifat prospektif di masa depan. Lalu pada tingkat akhir, Majelis Hakim menolak kasasi yang diajukan Pemohon kasasi. Hubungan para pihak dalam hal ini merupakan hubungan HPI karena munculnya titik pertalian primer.36 Titik-titik pertalian primer tersebut ialah bendera kapal, kewarganegaraan penumpang, kedudukan hukum maskapai penerbangan, serta pilihan hukum. Kemudian mengenai hukum yang semestinya berlaku, TPS pada perkara II ini yang muncul selain empat faktor yang telah diuraikan di atas ialah lex loci delicti commissi, lex fori, lex loci contractus, dan lex loci solutionis. Hubungan hukum yang terjadi di antara kedua belah pihak diatur oleh Konvensi Warsawa 1929 karena telah memenuhi definisi “penerbangan internasional” di mana Indonesia, Singapura, dan Republik Rakyat Cina
36
Sudargo Gautama (c), Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II bagian I buku ke-2, cet. ke-2 (Bandung: Alumni, 1972), hal. 27
16 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
(Pemerintah Taiwan), merupakan negara anggota dari konvensi tersebut37, sementara Amerika Serikat bukan merupakan negara anggota karena telah menyatakan mundur dari konvensi ini sejak tahun 1934.38 Dalam hal terjadinya sengketa terhadap kerugian yang dialami oleh Penggugat, Pasal 28 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929 memberikan pilihan kepada Penggugat untuk menggugat Tergugat melalui pengadilan di negara: 1. tempat di mana pengangkut udara berdomisili. Dalam hal ini, Singapura merupakan negara di mana perusahaan Tergugat berdomisili; 2. tempat di mana pengangkut udara menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hal ini, Singapura merupakan negara di mana SINGAPORE AIRLINES sebagai Tergugat menjalankan kegiatan usahanya yang paling utama; 3. tempat di mana tiket penerbangan atau perjanjian pengangkutan dibuat pertama kali. Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara di mana Penggugat membeli tiket penerbangan dengan menggunakan jasa Tergugat; atau 4. tempat tujuan akhir penerbangan. Dalam hal ini, Amerika Serikat merupakan negara di mana tempat tujuan akhir penerbangan; Berdasarkan hal di atas, maka pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan dapat dipilih oleh Penggugat ialah pengadilan di Singapura, Indonesia, atau Amerika Serikat. Dalam hal hukum acara atau hukum formal yang berlaku, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Konvensi Warsawa 1929 maka hukum acara yang berlaku ialah hukum dari pengadilan yang mengadili sengketa dan dipilih oleh Penggugat.39 Dengan demikian, apabila Penggugat telah memilih untuk mengajukan gugatan melalui 37
Singapura meratifikasi Konvensi Warsawa 1929 sejak tanggal 4 September 1971, sementara RRC sejak tanggal 20 Juli 1958 yang berlaku bagi seluruh teritori negaranya, termasuk Taiwan 38
Tautan web resmi Organisasi Penerbangan Internasional atau ICAO
, diakses pada tanggal 16 Mei 2013 39
Konvensi Warsawa 1929, op. cit., Pasal 28 ayat (2)
17 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Pengadilan Negeri di Indonesia, maka dalam hal ini, hukum acara yang berlaku ialah hukum acara perdata Indonesia.40 Apabila merujuk lebih lanjut pada ketentuan hukum acara perdata Indonesia, maka pengadilan yang memiliki kompetensi absolut dan relatif adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena wilayah hukum tempat Tergugat (kantor cabang perwakilan SINGAPORE AIRLINES di Indonesia) berdomisili ialah di Kuningan, Jakarta Selatan. Hal ini sesuai dengan Pasal 118 ayat (2) H.I.R.41 Permasalahan yang terjadi pada perkara II ialah luka-luka yang terjadi pada Penggugat akibat kecelakaan pesawat yang terjadi sehingga hal ini harus dirujuk pada ketentuan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929. Pada pasal ini, terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh Penggugat, yakni: 1. kecelakaan; dan 2. di atas pesawat; atau 3. dalam hal-hal yang berkaitan dengan proses embarkasi atau debarkasi. Penggugat dapat membuktikan terpenuhinya unsur pertama dan ke dua di atas berdasarkan bukti-bukti tertulis dari rumah sakit berupa surat keterangan dokter yang telah ia lampirkan, transkrip rekaman kotak hitam (black box) pesawat udara, laporan hasil investigasi tragedi kecelakaan SINGAPORE AIRLINES SQ-006 oleh otoritas keamanan aviasi yang berwenang di Taiwan, serta artikel surat kabar dari berbagai media massa internasional. Dengan demikian, unsur pada Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929 telah terpenuhi sehingga Tergugat di sini memang harus bertanggung jawab. Selain itu, Penggugat juga mengklaim bahwa ia telah mengalami kerusakan dan kehilangan barang bagasi yang merupakan tanggung jawab Tergugat sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Unsur pada pasal ini yang harus dibuktikan Penggugat ialah: 1. selama bagasi berada dalam pengawasan pengangkut udara; dan 2. di bandar udara, di dalam pesawat udara atau tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar landasan pacu pesawat. 40
Lihat catatan kaki nomor 31
41
Herzien Inlandsch Reglement, op. cit., Pasal 118 ayat (1)
18 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Pada unsur pertama, Tergugat dapat membuktikan bahwa bagasi tersebut memang sedang berada di dalam pengawasan pengangkut di mana ia melampirkan bukti berupa tiket bagasi. Kemudian unsur ke dua dalam perkara II juga telah terpenuhi di mana bagasi Pengugat rusak karena kecelakaan pesawat yang terjadi ketika pesawat sedang mengudara (lepas landas). Oleh karena itu, Tergugat sudah seharusnya bertanggung jawab karena terpenuhinya dua unsur di atas. Kemudian dalam proses persidangan, Penggugat menuduh bahwa pilot Tergugat telah melakukan kelalaian atau wilful miconduct dalam melakukan lepas landas pada pesawat hingga akhirnya terjadi kecelakaan. Majelis Hakim pun menyatakan demikian berdasarkan bukti-bukti tertulis yang telah Penggugat berikan di atas. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929, maka batas tanggung jawab yang ada pada Konvensi Warsawa 1929 tidak dapat diberlakukan pada perkara II. Selanjutnya penentuan mengenai berapa nominal dari kompensasi yang harus ditanggung oleh Tergugat selaku pengangkut udara dan hal-hal apa saja yang dapat ditalanginya ditentukan berdasarkan hukum materil yang akan ditentukan berdasarkan penafsiran Hakim (lex fori) karena hal ini tidak diatur berdasarkan Konvensi Warsawa 1929. Penentuan hukum materil yang akan diberlakukan tidak diatur lebih lanjut berdasarkan Konvensi Warsawa 1929. Oleh karena itu sudah sepatutnya bahwa apabila Penggugat memilih forum pengadilan di Indonesia, maka dapat disimpulkan adanya kecenderungan untuk memilih pula hukum materil Indonesia yang akan berlaku.42 Selain itu, hukum Indonesia pada perkara I memang merupakan proper law of the tort di mana hukum Indonesia memiliki titik pertalian karena adanya status personal Penggugat, lex fori, lex loci delicti commissi dengan locus berupa tempat terjadinya kerugian, serta lex loci contractus. Jadi, hukum yang berlaku di dalam perkara II ialah Konvensi Warsawa 1929, kemudian apabila ada hal-hal lebih lanjut yang tidak diatur berdasarkan instrumen tersebut, maka kemudian digunakan hukum materil Indonesia (ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata mengenai PMH). 42
Sudargo Gautama (c), op. cit., hal. 235
19 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
C. Penutup 1. Kesimpulan a. Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929, maskapai penerbangan bertanggung jawab secara perdata terhadap kerugian yang dialami oleh penumpang dan bagasinya dalam suatu penerbangan internasional dengan menggunakan prinsip praduga bertanggung jawab. Kemudian terhadap kerugian pada bagasi tangan digunakan prinsip praduga tidak bertanggung jawab. Ketiga tanggung jawab tersebut dibatasi dalam suatu batasan tertentu belaka yang dapat dikecualikan oleh alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan oleh penumpang atau pihak maskapai penerbangan itu sendiri. Protokol Hague 1955 dan Konvensi Montreal 1999 juga mengatur hal yang serupa, tetapi terdapat perbedaan di antara ketiga instrumen hukum di atas yaitu dalam hal nominal batas tanggung jawab pengangkut udara di mana yang terendah ialah Konvensi Warsawa 1929, kemudian Protokol Hague 1955 dan yang tertinggi ialah Konvensi Montreal 1999, serta alasan-alasan yang dapat menyimpanginya. b. Pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 639/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Sel (perkara I), pengadilan di Indonesia yakni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Kemudian hukum formal dan hukum materil yang berlaku ialah hukum Indonesia. Pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 908/Pdt.G/2007/ PN.Jak.Sel (perkara II), pengadilan di Indonesia yakni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Kemudian hukum formal dan hukum materil yang berlaku ialah hukum Indonesia. 2. Saran a. Negara Indonesia sebaiknya segera meratifikasi Konvensi Warsawa 1929; b. Hakim-Hakim dari badan peradilan yang ada di Indonesia sebaiknya lebih memerhatikan ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia dalam menyelesaikan sengketa perdata yang bernuansa asing. 20 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Buku Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, 8th ed., 2004. Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II bagian I buku ke 2, cet. ke-2, Bandung: Alumni, 1972. . Hukum Perdata Intenasional Indonesia, Jilid III bagian II Bandung: Alumni, 2002.
buku ke-8,
.Masalah-Masalah Baru Hukum Perdata Internasional, Bandung: Alumni, 1984. Suherman, E. Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Bandung: Alumni, 1983. . Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Bandung: Alumni, 1984. Wiradipradja, Endang Saefullah. Tanggung Jawab Pengangkut Udara dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989. Artikel dalam Jurnal Calkins, Nathan, et. al. “Hiking The Limits of Liability at The Hague” dalam Proceedings of the American Society of International Law at Its Annual Meeting, vol. 56 (1962): 123. Khosla, Anita. “Warsaw Convention Limitation on Liability: the Need for Reform after Coccia v. Turkish Airlines” dalam Fordham International Law Journal, vol. 11, issue 1 (1987). Mankiewicz, Rene H. “The Judicial Diversification of Uniform Private Law Conventions, The Warsaw Convention’s Days in Court” dalam The International Comparative Law Quarterly, vol. 21, no. 4 (Oktober 1972). Sand, Peter H. et. al, “An Historical Survey of International Air Law Before the World War” dalam McGill University (1960): 37.
Second 21
Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013
Konvensi-Konvensi Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air, Signed at Warsaw on 12 October 1929. Protocol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air, Signed at Warsaw on 12 October 1929, Done at The Hague On 28 September 1955. Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriageby Air, Signed at Montreal, 28 May 1999. Peraturan Perundang-undangan Hindia Belanda. Herzien Inlandsch Reglement. Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Uni Emirat Arab. Federal Law No. 8 of 1984 concerning Commercial Companies. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 639/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 397/PDT/2009/PT.DKI. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2094 K/Pdt/2010. Perkara antara Dono Indarto melawan Emirates Airlines Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 908/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 611/PDT/2008/PT.DKI. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1517 K/Pdt/2009. Perkara antara Sigit Suciptoyono melawan Singapore Airlines Artikel dalam Internet Tautan . Diakses pada tanggal 8 Februari 2013.
22 Hukum Yang Berlaku ..., Ghema Ramadan Haruman, FH UI, 2013