Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan dan Tortor1 Mauly Purba (Universitas Sumatera Utara) Abstract From the 1860’s up to the 1940’s, German missionaries under the leadership of Dr. I.L. Nommensen succeeded in converting many of the Batak Toba to Christianity, and along with the Dutch colonial government developed a Western education system in the Batak homeland. Following this, educational improvement among the Batak Toba helped foster the development of Christianity and the Church. As a further development, the Church has extended its reach from matters of personal life to the collective life of the Batak Toba. While introducing new values to the people, the Church seeks to eradicate traditional cultural values that are not in accord with its own, such as the gondang sabangunan and tortor (the ceremonial music and dance of the Batak Toba) and a number of ritual ceremonies. The Church’s desire is today reflected in the book Hukum Siasat Gereja, which deals with the norms of Christian social life. Several articles in the book place restrict the musical activity of Christian Batak Toba, especially the performance of gondang sabangunan and tortor in the context of ritual ceremonies. Through an ethnohistorical approach, this article examines change in the functions and dynamics of gondang sabangunan and tortor performances among the Christian Batak Toba of North Sumatera. The study covers the period between the 1860’s and the 1990’s. Aside from discussing a number of social and cultural factors that have led to changes in the function of the ceremonial music and dance, several rulings on the performance of gondang sabangunan and tortor in the Hukum Siasat Gereja will also be discussed. The purpose of this last discussion is to show the extend of the Church’s influence in the context of this change. The article also provides a discussion on the response of the Christian Batak Toba toward these rulings.
Pendahuluan Tulisan ini mengulas respons orang Batak Toba beragama Kristen Protestan di Sumatera Utara terhadap kebijakan gereja yang mengatur dan membatasi kegiatan musik dan tari seremonial mereka, yaitu gondang sabangunan 1
Naskah asli dari tulisan ini berjudul: ‘Pengaruh Kebijakan Gereja terhadap Cara Penyajian Gondang Sabangunan dan Tortor dalam Konteks Upacara Adat pada Masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen Protestan’, yang disajikan dalam Sesi ‘Karya Antropologi dalam Seni dan Dokumentasi’ pada Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
dan Tortor. 2 Akan dikaji pula beberapa 2
Kata gondang mempunyai banyak pengertian, bisa berarti instrumen, ensambel musik, judul komposisi tunggal, judul komposisi kolektif, dan upacara. Kata gondang yang digunakan pada kalimat dan konteks yang berbeda memiliki arti yang berbeda pula. Gondang sabangunan adalah ensembel musikal yang instrumentasinya terdiri dari lima buah taganing (gendang bersisi satu dan dilaras), sebuah gordang (gendang bersisi satu, tidak dilaras), satu buah sarune (alat tiup berlidah ganda), empat buah gong berpencu yang digantung, ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora dan ogung doal, dan sebuah hesek, yaitu botol kosong, atau kadang-kadang lempengan besi yang dipukul. Tortor adalah tarian seremonial yang mendampingi penyajian. Keduanya seperti dua sisi berbeda pada sebuah uang logam.
25
kebijakan gereja yang dimuat dalam delapan buku Hukum Siasat Gereja.3 Harnish (1992:29-58) seorang etnomusikolog mengatakan bahwa pada saat orientasi agama atau politik suatu masyarakat berubah, para anggota masyarakat tersebut akan menginterpretasikan kembali struktur, isi dan konteks seni pertunjukan mereka. Pendapat ini relevan dengan situasi musikal orang Batak Toba di Sumatera Utara yang mulai mengalami perubahan orientasi agama sejak 1860-an. Masuknya agama Kristen dan sistem pendidikan gaya Eropa ke Tanah Batak di paruh kedua abad ke-19 mengubah banyak sendi kehidupan sosial dan religius orang Batak Toba. Misi ini dibawa misionaris, yaitu mengKristenkan orang Batak, ternyata berdampak negatif terhadap adat pra-Kristen dan kelangsungan kebudayaan musikal orang Batak Toba. Salah satu dampaknya—sesudah sebagian besar orang Batak Toba menganut agama Kristen—adalah berubahnya konsepsi atau pemahaman mereka tentang tradisi gondang sabangunan, Tortor dan adat. 3
Orang Batak Toba yang beragama Kristen— selanjutnya akan disebut Batak Toba—adalah anggota dua institusi gereja Protestan terbesar di Sumatra Utara, yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonseia). Kedua institusi gereja ini semula adalah satu. Pada tahun 1964, sebagian anggota jemaat HKBP memisahkan diri dan membentuk institusi gereja sendiri yang bernama GKPI (Pedersen 1970:177-178). Hingga saat ini GKPI adalah gereja yang mandiri. Pimpinan tertinggi gereja beserta pejabat gereja lainnya, seperti pendeta, guru jemaat adalah orang yang menjalankan pelayanan kerohanian. Dalam tulisan ini mereka disebut sebagai ‘gereja’. Kitab Hukum Siasat Gereja adalah buku yang berisikan normanorma yang bersumber dari Alkitab yang harus diteladani oleh orang Batak Toba untuk menjaga kesucian gereja dan untuk membimbing kehidupan rohani serta kehidupan sosial mereka. Kebijakan gereja adalah bagian dari norma-norma yang terdapat dalam Hukum Siasat Gereja yang mengatur hal-hal tertentu, misalnya tentang pernikahan atau penyajian musik dan tari tradisional.
26
Adat adalah rangkaian atau tatanan normanorma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada sang Pencipta, serta pelaksanaan upacara-upacara ritual keagamaan. Perubahan itu selanjutnya mempengaruhi sikap mereka terhadap berbagai praktek adat dan konteks penggunaan gondang sabangunan dan tortor, serta cara atau prosedur penyajiannya. Perubahan itu juga mempengaruhi jumlah energi musikal yang dipakai untuk menyajikan tradisi itu. Sejak intervensi agama Kristen di tahun 1960-an hingga sekarang, tradisi gondang sabangunan dan tortor mengalami ‘proses penyesuaian’ (process of appropriation). Proses ‘penyesuaian’ yang dalam hal ini diimplementasikan oleh gereja melalui penerbitan kebijakan, adalah suatu strategi untuk mengatur suatu sistem pengetahuan atau kepercayaan setelah lebih dulu sistem itu dilepaskan dari asalnya (kebudayaan), yakni mendekontekstualisaikannya, dan akhirnya merekontekstualisasikannya pada tujuan atau situasi baru (Kartomi 1993:513). Di dalam konteks tradisi godang sabangunan dan tortor, ‘mendekontekstualisasi’ adalah melepaskan tradisi itu secara sistematis dari sumber aslinya, yaitu praktek adat dan kepercayaan pra-Kristen (hasipelebeguan), sementara ‘merekonteks4
Proses penyesuaian seperti itu bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Situasi musikal orang Ternate di Maluku Utara seperti didiskusikan oleh Kartomi dan situasi musikal orang Tobaku di Sulawesi Tengah seperti yang didiskusikan oleh Aragon merupakan dua contoh kongkret yang perlu disebutkan di sini. Kartomi melaporkan bahwa pemerintah daerah Ternate mengubah penggunaan dan fungsi sosial beberapa jenis musik dan tarian lokal, memisahkan mereka dari lingkungan kolektif pedesaan dan merekonstruksi seni pertunjukan itu untuk menyampaikan pesan-pesan politik baru (Kartomi 1993:513-521). Aragon (1996:413-414) melaporkan bahwa petunjukan ‘raego (nyanyian dan tarian seremonial orang Tobaku di Sulawesi Tengah) merupakan bagian integral dari ritual keagamaan pra-kolonial, dan berhubungan erat dengan
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
tualisasi’ adalah memberikan fungsi dan konteks baru pada tradisi tersebut.4 Pertanyaannya kini apakah pengaruh ‘proses penyesuaian’ yang diimplementasikan gereja lewat kebijakannya itu terhadap cara orang Batak Toba menyajikan g o n d a n g sabangunan dan tortor di dalam kontakes upacara adat? Dalam tulisan ini, saya akan memusatkan perhatian pada struktur penyajian gondang sabangunan dan tortor di dalam upacara adat. ‘Struktur’ adalah susunan serta prosedur pelaksanaan dari awal hingga akhir penyajian. Untuk menjawab pertanyaan ini akan dikemukakan deskripsi yang lengkap tentang bagaimana orang Batak Toba menyajikan gondang sabangunan dan tortor dalam konteks upacara adat sebelum dan sesudah intervensi kebijakan gereja, agar pengaruh kebijakan gereja tersebut dapat dipahami. Sebelumnya, akan diulas terlebih dulu hubungan tradisi gondang sabangunan dan tortor dengan adat dan hasipelebeguan (kepercayaan pra-Kristen). Hubungan inilah yang mendorong gereja mengatur dan membatasi penggunaan gondang sabangunan dan tortor di kalangan orang Batak Toba anggota jemaat gereja. Di bagian akhir tulisan ini, saya akan memperlihatkan pengaruh kebijakan gereja atas struktur serta prosedur penyajian gondang sabangunan dan tortor oleh orang Batak Toba dewasa ini. hirarki sosial serta fertilitas masyarakat setempat. Transformasi agama masyarakat lokal—dari agama suku ke Kristen atau Islam—ternyata disertai dengan perubahan musikal, tidak saja dalam bentuk dan konteks pertunjukan, tetapi juga gaya pertunjukan. Isi dan konteks original ‘raego menjadi sesuatu yang tabu, karena prinsip-prinsip religius kontemporer serta orientasi politik nasional. Di bawah pengawasan pemimpin gereja dan pemerintah, teks-teks ‘rageo yang lazimnya berasosiasi dengan ritual lingkaran kehidupan, pertanian, peperangan dan pengobatan, belum lama ini mengalami penulisan kembali untuk menggambarkan pesan-pesan ajaran Kristen Politik.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Hubungan adat-hasipelebeguan dengan tradisi gondang sabangunantortor Hasipelebeguan adalah istilah kolektif yang merangkum keseluruhan praktek dan sifat agama suku bangsa Batak Toba (Pardede 1987:238). Termasuk dalam hasipelebeguan adalah kepercayaan pada dewa dalam mitologi orang Batak Toba, pada roh nenek moyang dan kekuatan supranatural yang mendiami tempattempat sakral (Vergouwen 1986:79). Sesuatu yang sentral dalam praktek hasipelebeguan adalah apa yang dikenal dengan tondi (secara harafiah berarti ‘roh’ atau ‘jiwa’) yang dimiliki manusia hidup, manusia yang sudah meninggal, tumbuh-tumbuhan dan hewan (Vergouwen 1986; Sinaga 1981:103). Sahala adalah kekuatan tondi, yakni kekuatan untuk mempunyai banyak keturunan, kekayaan, kharisma, kepintaran, pengetahuan, dan lainlain (Lumbantobing 1992:21). Orang Batak Toba percaya bahwa orang hidup dan orang mati dapat mengalihkan sahala mereka pada orang lain (Pedersen 1970:29-30). Misalnya, sepasang suami-istri yang belum mendapat keturunan biasanya memohon berkat (pasu-pasu ) dari pihak hula-hula (pihak pemberi istri), agar kekuatan tondi pihak hula-hula memberikan kekuatan pada tondi pasangan suami-istri itu agar memiliki keturunan (Vergouwen 1986:67). Proses lain dari pengalihan sahala terlaksana melalui tarian tortor dengan iringan gondang sabangunan sambil mengitari mayat orang yang meninggal pada usia uzur. Praktek seperti ini dikenal dengan nama mangondasi (Simanjuntak 1986:38). Tampubolon5 menegaskan bahwa adat adalah norma atau hukum yang diturunkan oleh 5
Tampubolon adalah pemimpin organisasi spiritual Batak Toba. Organisasi tersebut dikenal dengan nama ‘Siraja Batak’ yang didirikannya pada tahun 1950-an (Schreiner 1994:96-97).
27
Mula Jadi Na Bolon yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Bagi Tampubolon, adat tidak dapat diubah, tetapi harus dipatuhi (Tampubolon 1964, dalam Schreiner 1994:114115). Aritonang, seorang teolog Kristen, memberikan definisi yang berbeda dari definisi Tampubolon tersebut. Menurut Aritonang (1988:47), adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya (makrokosmos). Dengan kata lain, adat bagi orang Batak Toba adalah sesuatu yang bersifat totalitas (Aritonang 1988:48), yang dapat diartikan sebagai pandangan hidup orang Batak Toba. Adat bermanfaat untuk mencegah bencana, menjaga keharmonisan dan kesuburan tanah, memastikan akan adanya kesinambungan kebutuhan penduduk desa, serta menjaga keutuhan kekerabatan. Tindakan yang salah di dalam adat, atau mengabaikan adat diyakini dapat mengakibatkan ketidaksuburan tanah, datangnya wabah penyakit, dan kegagalan panen (Pedersen 1970:36). Dalam kehidupan sehari-hari pada masa pra-Kristen, adat diwujudkan dalam banyak bentuk dan praktek Beberapa contoh misalnya: mamele (pemujaan roh nenek moyang), pesta bius (upacara kurban oleh komunitas desa), dan mangongkal holi (upacara penggalian tengkorak). Praktek ini diwariskan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bagian dari adat (Aritonang 1988:49). Praktek adat seperti ini adalah realisasi dari agama sukubangsa Batak Toba, yang disebut para misionaris Kristen dan orang Batak Toba Kristen sebagai hasipelebeguan (Pardede 1987:237-239). Dengan pertimbangan ini pula Sianipar (1972:28-29) mengatakan bahwa adat dan hasipelebeguan sebenarnya tidak terpisahkan. Mereka merupakan aspek yang 28
berbeda dari realitas yang sama sebagai produk dari agama suku, yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan ajaran Kristen. Tradisi gondang sabangunan dan tortor adalah bagian dari adat dan hasipelebeguan. Kedua praktek musikal ini merupakan unsur penting dalam berbagai upacara yang bersifat magis dan religius. Di samping itu, aspek lain yang mempererat hubungan g o n d a n g sabangunan dan tortor dengan adat dan hasipelebeguan adalah keberadaan adat n i gondang. Adat n i g o n d a n g adalah peraturanperaturan serta struktur penyajian gondang sabangunan dan tortor, suatu warisan leluhur yang harus diperhatikan. Detail-detail peraturan dari struktur ini bisa berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Terlepas dari perbedaan itu, peraturan dan struktur tersebut mempertautkan tradisi gondang sabangunan dan tortor dengan adat dan hasipelebeguan. Tabel 1 menggambarkan ketiga elemen struktur umum penyajian gondang sabangunan d i dalam konteks upacara adat pra-Kristen. Tabel 1 Struktur Umum Penyajian Gondang sabangunan pada Upacara Adat Mamungka Gondang (pembukaan)
Gondang Dalihan Na Tolu (menari bersama anggota kekerabatan)
Manutup Gondang (penutupan)
A
B
C
Penyajian gondang sabangunan dan tortor pada upacara adat terbagi ke dalam tiga bagian (lihat tabel 1). Pembagian ini didasarkan pada aktivitas, kelompok partisipan, tujuan dan struktur musik yang disajikan pada tiap-tiap bagian. Bagian [A], mamungka gondang, adalah upacara pembukaan penyajian gondang sabangunan. Bagian [B] adalah bagian utama ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
penyajian gondang sabangunan, yang juga disebut sebagai gondang dalihan na tolu. Ketiga unsur dalihan na tolu yaitu: suhut (kelompok pelaksana upacara), hula-hula (kelompok pembeli istri kepada suhut), dan boru (kelompok yang menerima istri dari suhut) adalah partisipan utama sesi ini. Bagian [C], manutup gondang, adalah upacara penutupan gondang sabangunan dan seluruh kegiatan. Bagian [A] terbagi lagi ke dalam tiga subbagian yaitu [A1, A2 dan A3]. Hal yang sama terjadi pada bagian [B], yaitu [B1, B2 dan B3]. Sub-bagian [A1, A2 dan A3] disajikan secara berurutan saat upacara dimulai. Tidak ada ulangan pada bagian ini. Dengan kata lain, mamungka gondang hanya terjadi sekali. Sementara bagian [B] atau lengkapnya [B1, B2 dan B3] dimainkan berulangkali selama pertunjukan. Setiap kelompok yang menarikan tortor akan menyajikan bagian [B] ini. Sama seperti bagian [A], bagian [C] hanya dimainkan satu kali, yaitu pada waktu menutup atau mengakhiri seluruh kegiatan pada upacara. Lihat tabel 2 dan 3 tentang rincian masingmasing bagian dan sub-bagian. Aspek lain dari tradisi g o n d a n g sabangunan dan tortor yang mengindikasikan adanya hubungan yang erat dengan adat dan hasipelebeguan adalah status sosial musisi gondang. Pada saat upacara adat, status sosial mereka berbeda dari status sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut kepercayaan pra-Kristen, saat upacara, musisi gondang dianggap sama statusnya dengan para dewa. Mereka disebut sebagai batara guru, salah satu nama dewa dalam mitologi orang Batak Toba. Menurut kepercayaan pra-Kristen, musisi gondang dapat meneruskan permohonan partisipan upacara kepada dewa-dewa dan kekuatan supranatural melalui musik yang mereka mainkan (Simon 1993:82). Para penganut kepercayaan pra-Kristen membina hubungannya dengan dewa dan roh ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
leluhur melalui upacara di lingkungan klen atau daerah teritorial tertentu. Sebagai penghormatan, mereka memainkan komposisi gondang yang judulnya merupakan nama dewa, nama leluhur, atau tempat keramat tertentu. Karena itu, sering ditemukan judul komposisi gondang seperti Gondang Batara Guru, Gondang Siopat Pusoran, Gondang Simanuk-manuk, dan lain-lain. Telah dikemukakan di atas bahwa gondang sabangunan dipandang sebagai musik sakral. Oleh sebab itu, prosedur yang mengatur penyajiannya harus diperhatikan. Keseluruhan prosedur mengandung elemen adat dan hasipelebeguan . Peraturan itu tidak saja menjelaskan bagaimana gondang dan tortor dipersiapkan dan dipertunjukkan, tetapi juga menyiratkan bahwa tradisi gondang dan tortor merupakan alat penting untuk mengejawantahkan adat dan praktek hasipelebeguan dalam kehidupan sosial orang Batak Toba. Kondisi inilah yang menyebabkan gereja menentukan sikapnya, yaitu membatasi dan mengatur penggunaan gondang sabangunan di kalangan orang Batak Toba. Hal ini bertujuan untuk menghindari kembalinya penganut Kristen ke dunia ‘pemujaan roh leluhur dan kepercayaan pra-Kristen’. Apa sajakah yang menjadi sorotan gereja, dan bagaimanakah gereja membatasi orang Batak Toba dalam melaksanakan upacara adat dan menggunakan gondang sabangunan serta tortor?
Kebijakan gereja tentang upacara adat dan cara penyajian gondang sabangunan dan tortor Kebijakan gereja yang pernah dibuat tidak saja membatasi praktek adat di kalangan orang Batak Toba, tetapi juga menegaskan bagaimana sikap gereja terhadap adat. Kebijakan gereja menentukan unsur apa dari adat yang dapat atau tidak dapat diterima menurut perspektif gereja. Sedikitnya ada lima kitab yang berisikan 29
Tabel 2 Struktur Umum Penyajian Gondang Sabangunan pada Upacara Adat (dibedakan atas acara, aktivitas dan partisipan serta tujuan penyajian musik dan ritualnya)
Struktur
Acara
Aktivitas dan Partisipan
A1
Manggalang pargonsi
suhut (S) menjamu musisi (M)
A2
Manjujur gondang
- menghormati (M) - memberitahu (M) maksud upacara
agar (M) menyampaikan maksud kepada dewa, kekuatan supranatural
a) Demban panjujuran
(S) memberi sirih kepada (M)
b) Tonggotonggo
(M) mempersembahkan sirih kepada badia ni guru (BNG)
menyampaikan maksud upacara
c) Panjujuran gondang
(m) mempersembahkan sipitu gondang (tanpa tortor )
penghormatan kepada (BNG); memohon izin memainkan gondang sabangunan ; memohon lindungan (BNG)
Mambuat tua ni gondang
- (S) menyampaikan pidato a d a t , meminta (m) memainkan gondang (struktur tiga serangkai) - (M) memainkan gondang - (S) m a n o t o r
mengekspresikan solidaritas kekerabatan dan mempererat hubungan kekerabatan
B
Gondang Dalihan Na Tolu
- (S) dan kerabat (Kr) menyampaikan pidato a d a t, meminta (M) memainkan gondang (struktur tiga serangkai) - (S) dan (Kr) m a n o t o r - (S) dan (Kr) memberi dan menerima berkat melalui gerakan simbolik tortor - (S) dan (Kr) saling memberi dan menerima hadiah seremonial
C
Manutup Gondang
(M) menyanyikan sipitu gondang
mengakhiri penyajian gondang sabangunan
A
A3
30
Tujuan
'mengambil' berkah dari penyajian gondang sabangunan dan tortor yang pertama sekali
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Tabel 3 Struktur Tiga Serangkai Penyajian Musik Gondang pada Gondang Dalihan Na Tolu
Sub-bagian
Nama gondang
Aktivitas/Tujuan
Gondang Alu-alu (pilihan - (P) meminta (M) memberitahukan bebas, misalnya: mereka - Gondang Alu-alu tu Mula - (M) membuat pemberitahuan secara Jadi Nabolon; musikal kepada kekuatan supranatural - Gondang Alu-alu tu dan juga kepada khalayak yang hadir Sahala ni omputa; - Gondang Alu-alu tu Sahala ni angka Raja
Gondang Mula-mula (tidak ada alternatif)
- melalui pidato adat (P) mengemukakan kepercayaan bahwa segala sesuatunya memiliki awal (mula) - (M) memainkan gondang - (P) menyajikan tortor
Gondang Somba: 1. Gondang Somba tu Mula Jadi na Bolon 2. Gondang Somba tu Sahala ni Ompu Sijolojolo Tubu
- (M) memainkan gondang - (P) menyajikan tortor - (P) melalui tortor mengekspresikan rasa hormat kepada kekuatan supranatural
(B2) Pasu-pasuan
pilihan gondang bervariasi, sesuai dengan keinginan atau tema upacara, misalnya: 1. Gondang Sitorop Maribur 2. Gondang Simonangmonang 3. Gondang Saurma-tua 4. Gondang Siboru
- (M) memainkan gondang - (P) menyajikan tortor - (P) memberi dan menerima berkat di antara sesama partisipan - (P) memberi dan menerima hadiah seremonial - (P) mempererat kekerabatan
(B3) Hasahatan
pilihan gondang, misalnya: 1. Gondang Hasahatan 2. Gondang Sitio-tio 3. Gondang Hasahatan/ Sitio-tio
- (M) memainkan gondang - (P) menyajikan tortor dan - (P) menutup sesi tersebut dengan mengatakan 'horas' tiga kali
(B1) Mula-mula
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
31
kebijakan-kebijakan gereja yang pernah diterbitkan oleh HKBP, dua oleh GKPI dan satu misionaris Jerman bekerjasama dengan
pemerintah Belanda (lihat tabel 4 tentang terjemahan dan ringkasan kebijakan-kebijakan yang pernah dikeluarkan).
Tabel 4 Kebijakan Gereja
• Kebijakan tahun 1897, oleh Misionaris Jerman dan pemerintah Belanda • Target : Orang Batak Toba Kristen dan non-Kristen • Isi kebijakan : Semua orang Batak Toba dilarang: - mengadakan upacara pesta bius, - mempertunjukkan gondang sabangunan dan tortor. Sumber: Schreiner (1994:52-53), Vergouwen (1986:86, 115), Tobing (1963:27), lihat juga Siahaan (1964:43).
• Kebijakan tahun 1907, oleh Misionaris Jerman • Target : Jemaat Batak Toba Kristen • Isi kebijakan : tidak menyinggung soal gondang sabangunan dan tortor, tetapi halhal yang berhubungan dengan: keanggotaan gereja, pelaksanaan kebaktian Minggu, pembaptisan, perjamuan kudus, perkawinan, dan penguburan orang mati. Sumber: Aturan ni Ruhut di Angka Huria na di Tonga-tonga ni Halak Batak (1907).
• Kebijakan tahun 1924, oleh Misionaris Jerman dan pejabat gereja lokal • Target : Jemaat Batak Toba Kristen • Isi kebijakan : Jemaat Batak Toba Kristen dilarang: menyembah roh nenek moyang, menari mengelilingi mayat atau tulang-belulang, berkonsultasi dengan dukun, mengadakan upacara adat bagi orang yang meninggal pada usia uzur, trans/kemasukan roh, membuat ramuan magis, menyajikan gondang sabangunan dan tortor, kecuali mendapat izin dari pejabat gereja, mengadakan upacara penggalian tulang-belulang. Sumber: Oehoem Parhoeriaon Siingotan ni angka Hoeria Kristen Batak (1924)
32
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
• Kebijakan tahun 1952, oleh Sinode HKBP • Target : Jemaat HKBP • Isi kebijakan : 1. Upacara Adat untuk Orang yang Meninggal Dunia: Hanya saur matua yang boleh dilaksanakan bagi orang yang meninggal dunia Pada saat pelaksanaan upacara ini: • tidak boleh membagikan daging, • tidak menggunakan barang berkonotasi hasipelebeguan, • tidak boleh menari mengelilingi mayat, • tidak boleh mengucap doa-ritual, • gondang sabangunan disajikan hanya jika diizinkan oleh negara. 2. Upacara Penggalian Tulang-belulang Upacara diizinkan jika: • partisipan tidak melaksanakan praktek hasipelebeguan, • segera memindahkan tengkorak yang digali ke tempat yang baru, • tidak menarikan tortor di depan atau mengelilingi tengkorak, • tidak memberikan makanan atau sirih kepada tengkorak, • pelaksanaan harus mendapat persetujuan dari pejabat gereja. 3. Mengenai penggunaan gondang dalam Upacara Adat • semua penggunaan gondang melalui persetujuan gereja, • gondang hanya sebagai hiburan, • gondang tidak diizinkan jika dipakai untuk: menari mengelilingi mayat, upacara buang sial, upacara memanggil roh, meratapi penderitaan berkepanjangan. Sumber: Ruhut Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan (1952)
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
33
• Kebijakan tahun 1968, oleh Sinode HKBP • Target : Jemaat HKBP • Isi kebijakan : é mempertahankan kebijakan tahun 1952, ditambahkan: Pada upacara penggalian tulang-belulang, gondang sabangunan dan tortor dipertunjukkan saat: • proses penggalian sedang berlangsung, • pejabat gereja sedang memimpin acara kebaktian, • malam hari. Dalam konteks upacara kematian, gondang sabangunan dan tortor tidak boleh dipertunjukkan pada saat: • proses penguburan sedang berlangsung, • pejabat gereja sedang memimpin acara kebaktian. Ketika menarikan tortor dalam konteks kedua upacara, para penari tidak diperbolehkan: • meletakkan ulos ke atas kepala, • menari sambil mengitari mayat atau tengkorak, • pria dan wanita menari bersama-sama. Durasi menari dan durasi upacara: • suhut menari untuk tiga gondang, maksimal lima gondang saja, • tamu menari maksimal tiga gondang, • pidato adat, pemberian dan penerimaan hadiah seremonial diselesaikan pada penyajian ketiga gondang tersebut, • setiap upacara adat selesai dalam waktu tiga jam, • diharapkan selesai pada pukul 17.00. Sumber: Ruhut Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan (1968)
• Kebijakan tahun 1970, oleh Sinode CKPI • Target : Jemaat GKPI • Isi kebijakan : Penguburan/penggalian: • setiap upacara kematian dilaksanakan di bawah pimpinan pejabat gereja, • menggali tulang tengkorak harus diawasi pejabat gereja, • tidak boleh memberikan makanan, sirih, atau menari di depan tengkorak. Gondang: • segala penyajian gondang yang bersifat hasipelebeguan dilarang. Sumber: Hukum Siasat Gereja GKPI
34
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
• Kebijakan tahun 1982, oleh Sinode GKPI • Target : Jemaat GKPI • Isi kebijakan : - upacara penguburan jenazah harus di bawah pengawasan pejabat gereja, - upacara adat harus mendapat persetujuan dari gereja, - upacara adat yang mendapat persetujuan harus dimulai dan diakhiri dengan kebaktian khusus, dipimpin oleh pejabat gereja, - gereja memelihara dan mengkristenkan rupa-rupa seni budaya untuk kemuliaan nama Allah. Sumber: Hukum Siasat Gereja GKPI
• Kebijakan tahun 1987, oleh Sinode HKBP • Target : Jemaat HKBP • Isi kebijakan : - mempertahankan kebijakan 1968 Beberapa kebijakan tambahan: - boleh menggunakan benda-benda simbolik, - benda-benda itu harus diinterpretasikan sebagai ekspresi budaya, - upacara adat harus di bawah kendali pejabat gereja, - dimulai/diakhiri dengan nyanyian rohani dan doa menurut ajaran Kristen. Sumber: Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan (1987)
Kebijakan-kebijakan gereja yang berlaku dewasa ini adalah kebijakan yang sama, seperti yang diterbitkan tahun 1987 (untuk HKBP) dan tahun 1982 (untuk GKPI). Ditekankan dalam kebijakan itu, seperti juga pada msa-masa sebelumnya, bahwa anggota jemaat yang melanggar kebijakan akan mendapat hukum administratif dari gereja. Misalnya, keanggotaannya di gereja dicabut. Hukuman disiplin itu tidak akan dicabut oleh gereja, kecuali pihak gereja melihat bahwa anggota jemaat yang melanggar kebijakan itu menyadari kesalahannya. Sebelum mereka yang terkena hukuman diterima kembali sebagai anggota gereja, mereka juga harus mengakui kesalahannya di depan pejabat dan jemaat gereja. Namun, terdapat perbedaan antara kebijakan yang dikeluarkan sebelum dan ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
sesudah tahun 1952. Kebijakan gereja yang dikeluarkan sejak 1952 mengandung misi atau usaha mengubah orientasi arti dan fungsi gondang sabangunan dan tortor, yaitu dari orientasi religius ke orientasi sosial-budaya. Pada awalnya pihak gereja tidak mempunyai rasa toleransi, sebab gereja berasumsi bahwa penggunaan gondang sabangunan dan tortor sewaktu-waktu dapat membuka kembali gerbang ke dunia pemujaan roh-roh leluhur. Namun, pihak gereja akhirnya memahami bahwa bagi orang Batak Toba, praktek adat dan penyajian gondang sabangunan serta tortor mempunyai nilai budaya yang tinggi. Karena itu, dengan memberikan toleransi, dan pada saat yang bersamaan membimbing jemaat melalui peraturan yang lebih bijaksana, gereja berusaha mengesampingkan hegemoni adat pra-Kristen 35
di dalam upacara adat dan penyajian gondang sabangunan serta tortor. Pada saat yang sama, gereja berusaha menanamkan ajaran Kristen ke dalam praktek adat. Bagi pihak orang Batak Toba sendiri, bagaimanakah sebenarnya interpretasi mereka pada masa kini tentang adat? Apakah pemahaman dan praktek adat pada masa sekarang sama dengan di masa lalu? Ataukah karena perubahan masyarakat, maka transformasi dalam interpretasi dan praktek adat tidak dapat dihindarkan? Dewasa ini, sikap orang Batak Toba terhadap adat sangat relevan dan terikat dengan sikap mereka terhadap kebijakan gereja. Respons yang mereka nyatakan lewat cara penyajian gondang sabangunan dan tortor di dalam upacara adat merupakan refleksi pemahaman mereka tentang adat dan reaksi terhadap kebijakan gereja.
Adat bagi orang Batak Toba dewasa ini Banyak orang Batak Toba mempraktekkan adat dalam kehidupan sehari-hari kendati telah memeluk agama Kristen, memperoleh pendidikan dan hidup di daerah urban. Sikap orang Batak Toba terhadap adat juga bervariasi. Misalnya, ada yang menginterpretasikan dan mempraktekkan adat berdasarkan ajaran Kristen. Ini bisa dibuktikan, misalnya melalui penyajian gondang sabangunan dan tortor dalam konteks hiburan pada pesta-pesta gereja Batak Protestan. Sebagian ada yang menolak mempercayai kualitas magis adat; sebagian ada pula yang tidak tahu pasti bagaimana adat harus dilakukan. Untuk sebagian orang, adat bukanlah bersifat statis, melainkan dinamis dan berubah-ubah. Sementara itu, sebagian lain tidak menginginkan adanya perubahan adat. Di antara tahun 1989-1995 dan dalam periode setahun terakhir, saya melihat banyak orang Batak Toba—terlepas dari hal 36
berpendidikan atau kurang berpendidikan, kaya atau miskin, tinggal di desa atau di kota— melestarikan dan melakukan praktek adat praKristen beserta ritual-ritualnya. Gultom, seorang pejabat gereja, menegaskan bahwa banyak orang Batak Toba percaya akan kekuatan-kekuatan gaib dan praktek-praktek dunia roh. 6 Lebih jauh Gultom (1991) mengatakan bahwa dia tidak dapat menolerir mereka yang meminta musisi g o n d a n g sabangunan memainkan musik di dalam nama Tuhan (dalam konteks Kristen), sementara menggunakan musik itu untuk mengiringi tarian tortor sambil mengelilingi mayat atau tulangbelulang untuk mendapatkan sahala (kekuatan roh). Apakah sebenarnya arti adat bagi orang Batak Toba pada masa kini? Tentu sulit untuk menjawab pertanyaan ini secara tuntas, sebab adat bagi mereka bukanlah suatu peraturan atau hukum yang baku. Adat adalah sesuatu yang akan berubah terus menerus sesuai dengan kebutuhan para pelakunya. Bagi sebagian, adat tidak lebih dari sebuah koleksi kebiasaan lama dan sering kali tidak rasional. Dengan pertimbangan ini, mereka mengabaikan ketentuan adat dan tidak melaksanakannya. Ada juga yang—berdasarkan ajaran agama Kristen—menyeleksi unsur adat, menambah, membuang atau menukar unsur adat dengan tujuan agar praktek adat dapat diterima secara Kristen. Hal seperti ini harus dilakukan agar mereka dapat menunjukkan tanggung jawab moral mereka sebagai anggota gereja dan sebagai pelaku adat. Bagi sebagian orang, praktek adat dipahami sebagai suatu kebutuhan dasar spiritual. Mereka melaksanakan adat karena percaya bahwa adat memiliki kekuatan supranatural. 6
Lihat lebih jauh komentar Gultom (1991) mengenai isu tersebut dalam bukunya Penggalian Tulangbelulang Leluhur.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Mereka percaya, jika melaksanakan adat dengan benar, mereka akan memperoleh kemakmuran, kesehatan, dan banyak keturunan. Mereka perlu melaksanakan adat, karena melalui praktek itu mereka bisa memelihara hubungan dengan kerabat dan para roh leluhur. Mereka percaya bahwa melalui praktek adat, kedudukan mereka dalam susunan genealogi serta kedudukan dalam hubungan sosial tidak akan terganggu. Di samping itu, karena mereka tidak ingin disebut sebagai orang yang ‘tidak beradat’ (nasamoradat), mereka harus berhati-hati terhadap praktek adat dan nilai-nilainya. Di satu sisi, adat telah berubah karena masyarakat telah berubah. Namun, di sisi lain, pengertian, fungsi dan prakteknya tetap sama seperti ratusan tahun yang lalu, khususnya bagi mereka yang memperhatikan ‘keselamatan’ adat pra-Kristen dewasa ini. Adat, yang pernah dianggap sebagai suatu yang stabil serta menolak bentuk-bentuk perubahan, telah menjadi sesuatu yang fleksibel. Pelaksanaan adat itu sangat tergantung pada waktu, tempat, agama, dan pengetahuan serta interpretasi dari setiap pelakunya. Dewasa ini, setiap orang mempunyai opsi sendiri tentang bagaimana ia bersikap terhadap adat. Dengan kata lain, melaksanakan adat bukanlah merupakan suatu hal yang absolut, melainkan merupakan masalah pilihan yang sifatnya personal. Karena itu, bagi banyak orang Batak Toba, memeluk agama Kristen bukan berarti menyangkal tradisi leluhurnya. Agama Kristen justru memperkuat identitas mereka sebagai orang Batak Toba. Kegiatan-kegiatan rohani di dalam ajaran Kristen tidak semata-mata mengganti kedudukan tradisi leluhur orang Batak Toba. Sebaliknya, unsur dari keduanya berjalan berdampingan (coexist).
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Cara penyajian gondang sabangunan dan tortor Bagaimanakah ‘keberdampingan’ itu terwujud? Melalui perbandingan antara penyajian gondang sabangunan dan tortor, diharapkan diperoleh gambaran tentang pengaruh ‘proses penyesuaian’ yang diimplementasikan gereja lewat kebijakannya terhadap cara orang Batak Toba menyajikan kedua hal itu di dalam konteks upacara adat (lihat tabel 5). Dari struktur yang ada pada tabel 5 dapat disimak tentang: pertama, adanya variasi interpretasi. Kedua, banyak dari elemen struktur tradisional tidak dilakukan. Ketiga, pelayanan Kristen selalu diawali dengan kegiatan upacara, walaupun tidak semua pelayanan diakhiri dengan pendekatan Kristen. Hal ini jelas merupakan pengaruh kebijakan gereja. Keempat, struktur penyajian pada peristiwa tahun 1991, 1994a, 1994b, dan 1998a menunjukkan adanya coexistence y a n g dimaksudkan tadi. Tentu saja sulit menentukan seberapa ‘tebal’ kadar masing-masing elemen, namun di lapangan hal ini sangatvisible (mudah diamati). Kelima, struktur penyajian pada peristiwa tahun 1994c dan 1998b menempatkan gondang sabangunan dan tortor lebih sebagai hiburan. Penyajian pada peristiwa tahun 1998b mengimplementasikan struktur yang mendekati struktur tradisional, dan mencoba meletakkan struktur itu dengan pendekatan keKristenan. V : Dilakukan dengan pendekatan Kristen: aktivitas-aktivitas yang terkait dengan suatu acara dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai adat. Misalnya, mengucap syukur kepada Tuhan (dalam konsep Kristen) dan bukan kepada roh leluhur. Termasuk dalam pendekatan Kristen adalah kegiatan berdoa, menyanyikan himne gereja dan penyampaian khotbah sebelum atau sesudah melakukan suatu kegiatan. p : Dilakukan dengan pendekatan adat pra-Kristen: aktivitas-aktivitas yang terkait dengan suatu
37
Tabel 5 Struktur Penyajian Gondang Sabangunan/Tortor dalam UpacaraAdat
Struktur
Acara
1991 1994 1994 1994 1998 1998 A B C A B a
a
a
a
a
a
g A1
Manggalang pargonsi
r
r
r
r
r
r
g A2
Manjujur gondang:
r
r
r
r
a
r
a) Demban Panjujuran
r
r
r
r
a V
r
b) Tonggotonggo
r
r
r
r
a V
r
c) Panjujuran
r
r
r
r
a V
r
r
a V
a V p
r
a V
r
a v p V
a v p V
a v p V
a n
a v p V
a n
r
a V
a V
r
a V
r
A g A3
Mambuat tua ni gondang
B
Gondang dalihan na tolu
C
Manutup gondang
Keterangan: r : tidak ada a : ada 1991 1994 A 1994 B
38
: Saurmatua di Medan : Mangongkal Holi di Medan : Mangongkal Holi di Hutaraja, Sipoholon
1994 C 1998 A 1998 B
Pelayanan Kristen pra-upacara
: Perkawinan di Medan : Mangongkal Holi di Pematang Siantar : Upacara Saurmatua di Muara
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
acara dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai adat, misalnya mengharapkan bahwa sahala leluhur telah di’angkat’ ke tempat yang lebih tinggi. Contoh lain, menari mengelilingi orang yang meninggal dunia dengan berharap bahwa sahalanya akan memberikan kekuatan. v : Mengikuti pola umum: terkait dengan masalah manortor (menari) dan komposisi gondang yang diminta untuk dimainkan oleh musisi. Dengan kata lain, mengikuti pola umum berarti bahwa kelompok-kelompok yang menari mengikuti penyajian struktur tiga serangkai. Urutan komposisi gondang yang diminta untuk dimainkan oleh musisigondang juga mengikuti pola yang ada (lihat tabel 3). n : Tidak mengikuti pola umum: mengabaikan polapola yang sudah ada. Misalnya, tidak mengikuti struktur penyajian tiga serangkai; meminta agar komposisi gondang dimainkan tanpa mengacu pada pola-pola yang ada.
Penutup Kesinambungan tradisi gondang sabangunan dan tortor di antara orang Batak Toba dewasa ini memberikan indikasi besarnya pengaruh adat dan pentingnya adat sebagai suatu media ekspresi identitas orang Batak Toba. Musik gondang sabangunan dan tortor adalah simbol musikal dari adat. Adat adalah alat yang membantu kelanjutan tradisi tersebut. Di samping itu, adat adalah wadah tempat tradisi difungsikan. Adat mencegah proses pengikisan kualitas musikal ini menjadi musik yang murni sebagai hiburan. Sebaliknya, adat menjaga konsistensi penggunaan gondang sabangunan dan tortor, yaitu agar tetap kontekstual di dalam praktek adat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal prosedur atau cara penyajian gondang sabangunan dan tortor merupakan akibat adanya intervensi kebijakan gereja. Perubahan memang harus terjadi. Jika tidak, maka praktek musikal ini tidak akan dapat diterima menurut ajaran Kristen. Tentu saja ketegangan antara ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
adat dan ajaran Kristen juga terjadi. Hal ini tidak saja karena sifat kedua sistem itu yang berbeda, tetapi juga karena perbedaan prinsip-prinsip serta tujuan-tujuan yang ada di dalam keduanya. Walau demikian, karena keduanya sudah menjadi bagian penting yang membentuk identitas orang Batak Toba, maka sulit bagi gereja untuk secara total mengontrol adat, atau sebaliknya. Kecuali bila orang Batak Toba Kristen memutuskan untuk mengikuti salah satu sistem, maka kompromi di antara pelaku adat dan pejabat gereja akan berlanjut terus sesuai dengan kebutuhan. Dua elemen yang fungsional dapat ditemukan di dalam keenam upacara yang dilaksanakan antara tahun 1991 dan 1998 itu, yaitu praktek keKristenan dan praktek adat. Melalui praktek keKristenan, para partisipan bisa mengekspresikan kepercayaan mereka pada ajaran Kristen. Melakukan hal itu sebagai bagian dari upacara merupakan tanggung jawab moral mereka sebagai anggota gereja. Sementara itu, melakukan praktek adat memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan kebudayaannya sendiri. Lebih jauh, melalui pelaksanaan upacara adat, pelaku adat dapat mempererat hubungan kekerabatan mereka. Penyajian gondang dan tortor, pidatopidato adat, memberi dan menerima hadiah seremonial secara kolektif merepresentasikan kekuatan adat. Sementara itu, doa, nyanyian rohani serta khotbah adalah unsur utama pelayanan menurut ajaran Kristen. Keduanya dimanifestasikan sebagai unsur-unsur penting dari ‘kultur’ orang Batak Toba dewasa ini, sebab keduanya mempunyai arti yang signifikan, baik secara religius maupun kebudayaan. Mengimplementasikan keduanya di dalam praktek adat membantu pelaku adat. Di satu sisi, mereka sebagai orang Batak Toba, dan di sisi lain, hal itu menegaskan identitas mereka sebagai anggota jemaat gereja. 39
Kebijakan gereja telah mengubah struktur dan prosedur penyajian gondang sabangunan dan tortor pada upacara adat. Namun demikian, walau adat mengalami degradasi, pengaruhnya dalam struktur, prosedur, isi serta konteks penyajian gondang sabangunan dan tortor
masih tetap nyata. Kombinasi kedua kondisi ini di dalam penyajian gondang sabangunan dan tortor pada upacara adat merupakan refleksi pemahaman orang Batak Toba terhadap kebijakan gereja dan adat warisan leluhurnya.
Kepustakaan Aragon, L.V. 1996 ‘Suppressed and Revised Performances:‘Raego Songs of Central Sulawesi’,Ethnomusicology 40(3):413-439. Aritonang, J.S. 1988 Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) 1970 Hukum Siasat Gereja . Pematang Siantar: Kantor Pusat GKPI. 1982 Hukum Siasat Gereja . Pematang Siantar: Kantor Pusat GKPI. Gultom, H. 1991 Penggalian Tulang-belulang Leluhur (Mangokol Holi) Tinjauan dari Segi Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia . Harnish, D.D. 1992 ‘The Performance, Context, and Meaning of Balinese Music in Lombok’, Forum Ethnomusicologicum (4):29-58. HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) 1907 Aturan ni Ruhut di Angka Huria na di Tonga-tonga ni Halak Batak.Siantar-Toba: Pangrongkoman Mission. 1924 Ohoem Parhoeriaon Siingoton ni Angka Hoeria Kristen Batak(tanpa penerbit). 1952 Ruhut Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan. Tarutung: Kantor Pusat HKBP. 1968 Ruhut Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan. Tarutung: Kantor Pusat HKBP. 1987 Ruhut Parmahanon dohot Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan.Tarutung: Kantor Pusat HKBP. Kartomi, M.J. 1993 ‘Revival of Feudal Music Dance and Ritual in the Former “Spice Island” of Ternate and Tidore’, dalam Hookor (peny.) Cultures and Society in New Order Indonesia . Singapore: OUP. Lumbantobing, A. 1992 Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Pardede, J. 1987 ‘The Question of Christianity, Islam and Batak Culture in North Sumatra’, dalam R. Carle (peny.) Cultures and Societies of North Sumatra . Berlin: Dietrich Reimer. Hal. 235-251.
40
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Pedersen, P.B. 1970 Batak Blood and Protestant Soul: The Development of National Batak Churches in North Sumatra . Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapid. Schreiner, L. 1994 Adat dan Injil. Diterjemahkan oleh P.S. Naipospos, Th. van den End dan Jan Sihar Aritonang. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Siahaan, N. 1964 Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: CV. Napitupulu and Sons. Sianipar, F.H. 1972 ‘Religion and Adat’, The South East Asia Journal of Theology 14(1):28-33. Simanjuntak, A. 1968 Hatarongan ni Angka Atjara na Balga na Binahen ni Halak Batak Pasangap Natorasna, ditingki Hahipason, Parsahiton tu na Marajung Ngolu ni Natorasna. Makalah disajikan pada Seminar Adat. Pematang Siantar. Simon, A. 1993 ‘Gondang , Gods and Ancestors. Religious Implications of Batak Ceremonial Music’, Yearbook for Traditional Music:81-87. Sinaga, A.B. 1981 The Toba-Batak High God . St. Augustin, Germany: Anthropos Institut. Tampubolon, R.P. 1964 Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak-Patik/Uhum.Pematang Siantar. Tobing, PH.O.L. 1963 The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God. Ansterdam: South and South-east Celebes Institute for Culture. Vergouwen, J.C. 1986 Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (terjemahan). Jakarta: Pustaka Azet.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
41