Kusumawati et al./Geographical Satellite and Survey Data for Prediction
Geographical Satellite and Survey Data for Prediction of Dengue Cases in Sukoharjo, Indonesia Dyah Kusumawati1), Adi Prayitno2), Ruben Dharmawan3) 1)Academy
2),3) Master
of Health Analyst 17 Agustus 1945, Semarang, Indonesia of Public Health, Graduate Program, Sebelas Maret University
ABSTRACT Background: Dengue fever is a disease based on environment and still a health problem. Problems related to the dengue fever vector distribution factor in terms of the spread of vector space with the use of geographic data and survey data in order to predict the incidence of dengue in the region. Subjects and Methods: This study used analytic observational with cross sectional approach using modeling Geographical Information Systems (GIS). The sampling technique in this research is saturated sampling of secondary data Sukoharjo District Health Profile in 2011-2014, population data and data Geographic, then all the data were analyzed using multiple linear regression. Results: There is a positive relationship between the area per Km2 with the number of new cases of dengue fever, although the relationship was not statistically significant. (B = <0:01; CI -0.01 - 0:02; p = 0.310). There is a positive relationship between population density per soul / Km2dengan number of new cases of dengue fever, a significant relationship between population density with DHF cases. (B = <0:01; CI <0:01 to 0:01; p = 0.013). There is a negative relationship between topography per masl by the number of new cases of dengue fever, although the relationship was not statistically significant. (B = <0:01; CI -0.02 - 0:01; p = 0.335). There is a positive correlation between rainfall per mm / yr with the number of new cases of dengue fever, although the relationship was not statistically significant. (B = <0:01; CI <0:01 to 0:01; p = 0101). There is a positive relationship between river flow per ha by the number of new cases of dengue fever, although the relationship was not statistically significant. (B = 0:02; CI -0.01 - 0:03; p = 0318). There is a negative correlation between% Non Flick figure by the number of new cases of dengue fever, although the relationship was not statistically significant. (B = <0:01; CI -0.02 - 0:01; p = 0764). Conclusions: The increase in land area, population density, rainfall, river flow is predicted to affect the increase in dengue cases, whereas the increase ABJ predicted topography and affecting the decline of dengue cases in the district of Sukoharjo in 2011-2014. Keywords: geographical data and survey data, prediction of dengue cases Correspondence: Dyah Kusumawati Academy of Health Analyst 17 Agustus 1945, Semarang, Indonesia
[email protected] 085876563978
13
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 13-21
LATAR BELAKANG Indonesia negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, terletak di antara dua benua dan 2 samudra, memiliki iklim tropis yang heterogen dan kaya akan flora dan fauna termasuk berbagai penyakit dengan vektor penular nyamuk seperti demam berdarah dengue (DBD). Penyakit dengan vektor penular nyamuk termasuk DBD berbasis lingkungan dan sangat kompleks, sehingga tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendekatan Ilmu Kesehatan. Seluruh wilayah Indonesia, mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab dan nyamuk penularnya (aedes aegypty) tersebar luas, baik di rumah - rumah maupun di tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Kemenkes RI, 2011). Sejak beberapa tahun yang lalu Indonesia telah mengalami transisi epidemiologi dan demografi, degradasi lingkungan, urbanisasi, peningkatan sektor industri, kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan, peningkatan arus informasi, globalisasi dan perkembangan transportasi yang sangat pesat. Perubahan tersebut langsung maupun tidak langsung membawa dampak positif dan negatif terhadap kualitas lingkungan atau ekosistem yang akan berpengaruh terhadap angka kejadian dan penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) (Sukowati, 2010). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia dan endemis di sebagian kabupaten/ kota. Hampir setiap tahun pada musim penghujan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dibeberapa daerah. Jumlah penderita 14
cenderung meningkat, penyebarannya semakin meluas, menyerang tidak hanya anak - anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua (Kemenkes RI, 2012). Pada tahun 2004 kabupaten /kota terjangkit DBD sebanyak 334 kabupaten/kota, tahun 2006 meningkat menjadi 340, tahun 2007 meningkat lagi menjadi 357 kabupaten/kota. Pada tahun 2008 menurun menjadi 346 kabupaten/kota. Pada tahun 2007 jumlah kasus sebanyak 156.767 kasus (IR 71.18) dengan 1570 kematian (CFR 1.00%). Pada tahun 2008 jumlah kasus menurun menjadi 98.869 orang (IR 43.62). (Sukowati S, 2010). Akhir tahun 2010 Indonesia cukup disibukkan dengan wabah demam berdarah dengue (DBD) yang meluas dan menjangkiti hampir seluruh wilayah serta menyerang anak dan dewasa (Puspitasari R, Susanto I, 2011). Menurut catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, tahun 2007 terdapat 184 kasus demam berdarah, tahun 2008 terdapat 367 kasus demam berdarah, tahun 2009 terdapat 440 kasus demam berdarah dan 434 kasus di tahun 2010. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Virus demam berdarah dengue menyerang Sukoharjo, Jawa Tengah. Sepanjang Januari – Maret 2015, 10 orang dirawat di rumah sakit. Di Sukoharjo, 7 dari 12 kecamatannya masuk dalam status endemis DBD, ketujuh kecamatan itu yaitu Kartasura, Sukoharjo, Grogol, Baki, weru, Nguter, dan Mojolaban. Pemerintah Kab. Sukoharjo menetapkan status waspada demam berdarah. Menurut Kasi Pengendalian Penyakit Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Bambang Sudiyono, Pengukuran status penyebaran demam berdarah secara
Kusumawati et al./Geographical Satellite and Survey Data for Prediction
nasional kalau ada 100 penderita dengan 2 persen penderita di antaranya meninggal, berstatus waspada. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukoharjo mencanangkan gerakan setengah jam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di rumah warga. Kegiatan yang dilakukan serentak se-kabupaten itu sebagai jawaban atas surat edaran Bupati Sukoharjo Nomor 400/582/20 Februari 2015 tentang pemberantasan sarang nyamuk. Sedikitnya dalam sepekan meluangkan waktu selama 30 menit untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk di rumah dan lingkungan. Dan juga agar segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika ada anggota keluarga yang suhunya panas lebih dari dua hari,sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan demam berdarah dengue. Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang penyebabnya adalah virus dengue yang bisa menular melalui gigitan nyamuk A.aegypti dan A. albopictus. Penyakit ini belum dapat diatasi sepenuhnya karena sulitnya memutus mata rantai penularan serta belum ditemukan vaksin untuk pencegahannya (Pangemanan et al, 2009). Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dan masih merupakan masalah kesehatan. Tingkat ketergantungan penyakit DBD disuatu daerah diperkirakan dipengaruhi oleh penyakit DBD didaerah lain yang berdekatan. DBD menyebar secara ruang dan waktu melalui gigitan nyamuk dari penderita ke oranglain dari suatu tempat ke tempat lain (Yatim, 2007). Melihat tingginya jumlah kasus demam berdarah dengue di Sukoharjo maka perlu dilakukan penelitian yang berhubungan dengan penyakit tersebut. Penyakit demam berdarah merupakan penyakit yang
mewabah dan penyebarannya dapat melalui komponen ruang. Penyebaran penyakit demam berdarah bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga komponen ruang sangatlah berperan dan perlu diperhatikan (Tri Yunis et al, 2010). Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik meneliti tentang masalah demam berdarah dengue yang berkaitan dengan faktor penyebaran vektor ditinjau dari ruang penyebaran vektor dengan pemanfaatan data geografis dan data survey. Pemanfaatan data geografis diharapkan lebih cepat, lebih murah, cakupan wilayah lebih luas dibandingkan jika melakukan survey lapangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan adanya hubungan antara luas wilayah, kepadatan penduduk, topografi, curah hujan, aliran sungai, angka bebas jentik dengan kejadian penyakit demam berdarah dengue yang terjadi di wilayah Kabupaten Sukoharjo. 2. Menentukan seberapa besar pengaruh luas wilayah, kepadatan penduduk, topografi, curah hujan, aliran sungai, angka bebas jentik terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue yang terjadi di wilayah Kabupaten Sukoharjo. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan analitik observasional dengan pendekatan Cross Sectional menggunakan pemodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan pemanfaatan data geografis dari citra satelit yang dikombinasi dengan data survey. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah sampling jenuh dari data sekunder Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo tahun 15
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 13-21
2011-2014, data kependudukan dan data Geografis, selanjutnya seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier ganda. HASIL PENELITIAN Rata-rata luas wilayah kecamatan di kabupaten Sukoharjo adalah 38.8908 km2 dengan wilayah terkecil seluas 19.20 km2 dan wilayah terluas seluas 62.20 km2. Rata-rata kepadatan penduduk di kabupaten Sukoharjo adalah 2.3148 jiwa/km2. Rata-rata Topografi di kabupaten Sukoharjo adalah 108.33 mdpl dengan wilayah terendah adalah 89.00 mdpl dan tertinggi adalah 125.00 mdpl. Rata-rata curah hujan di kabupaten Sukoharjo adalah 161.65 mm/tahun dengan curah hujan terendah 0,00 mm/tahun dan curah hujan tertinggi 322.00 mm/tahun. Rata-rata aliran sungai di kabupaten Sukoharjo adalah 9.51 Ha dengan aliran terkcil 1.00 Ha dan terbesar 23.50 Ha. Rata-rata ABJ di kabupaten Sukoharjo adalah 84.77% dengan Angka Bebas Jentik terendah 58.46% dan Angka Bebas Jentik tertinggi 96.25%. Ratarata kasus DBD di kabupaten Sukoharjo adalah 13.27 kasus pertahun dengan kasus terendah sebanyak 0 kasus dan kasus tertinggi sebanyak 58 kasus. Wilayah terluas adalah kecamatan Polokarto yaitu seluas 62.80 km2 (13.29%), sedangkan wilayah terkecil adalah kecamatan Kartosuro yaitu seluas 19.23 km2 (4.12%). Wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah kecamatan Kartosuro yaitu rata-rata sebesar 4900.54 jiwa/km2 (19.59%), sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk terendah adalah kecamatan Bulu yaitu rata - rata kepadatan penduduknya sebesar 1175.60 jiwa/km2 16
(4.89%). Wilayah dengan topografi tertinggi adalah kecamatan Polokarto yaitu terletak 125 mdpl (9.73%), sedangkan wilayah dengan topografi terendah adalah kecamatan Grogol yaitu 89 mdpl (6.70%). Wilayah dengan curah hujan rata-rata pertahun tertinggi yaitu di kecamatan Bendosari 204.75 mm (10.67%), sedangkan wilayah dengan curah hujan rata-rata terendah terjadi di wilayah kecamatan Bulu 99.5 mm (4.98%.). Aliran sungai terbesar di wilayah kecamatan Polokarto yaitu 15.75 Ha (13.79%), sedangkan aliran sungai terkecil di wilayah kecamatan Bulu yaitu 1.00 Ha (0.09%). Rata-rata Angka Bebas Jentik pertahun adalah 79.41% - 85.55%, sedangkan persentasenya antara 8.33% - 9.21%. Ratarata kasus DBD pertahun adalah 13 kasus, kasus terendah terjadi pada tahun 2012 sebanyak 45 kasus (rata-rata 3.75 kasus) sedangkan jumlah kasus tertinggi terjadi di tahun 2013 terdapat 265 kasus (rata-rata 21.08 kasus). Selama tahun 2011-2014 terjadi siklus terjadinya kasus DBD, terjadi penurunan kasus antara tahun 2011-2012 tetapi kasus DBD meningkat cukup tinggi ditahun 2013 (83%), pada tahun 2014 jumlah kasus kembali menurun walaupun hanya sekitar 17%. Kasus tertinggi ditahun 2011 terjadi di wilayah kecamatan Kartosuro dan Grogol sebanyak 21 kasus (19.63%), tahun 2012 kasus tertinggi terjadi di wilayah kecamatan Grogol dan Sukoharjo sebanyak 9 kasus (20.0%). Tahun 2013 kasus tertinggi terjadi di wilayah kecamatan Grogol sebanyak 58 kasus (21.89%), sedangkan tahun 2014 kasus tertinggi di daerah kecamatan Kartosuro terjadi 34 kasus (15.45%).
Kusumawati et al./Geographical Satellite and Survey Data for Prediction Tabel 1.1 Analisis Regresi Linier Ganda Faktor Luas wilayah, Kepadatan Penduduk, Topografi, Curah Hujan, Aliran Sungai, ABJ dengan Kasus DBD 95% CI Variabel B p Batas Bawah Batas Atas Luas wilayah (Km2) < 0.01 -0.01 0.02 0.310 Kepadatan penduduk <0.01 < 0.01 0.01 0.013 (jiwa/Km2) Topografi (mdpl) -0.01 -0.02 0.01 0.335 Curah hujan (mm/th) <0.01 <0.01 0.01 0.101 Aliran sungai (Ha) 0.02 -0.01 0.03 0.138 ABJ (%) < -0.01 -0.02 0.01 0.764 Konstanta 1.03 -1.45 3.52 0.407 N = 48 Adjusted R2 = 17.9% p = 0.001 Sumber Data Primer, 2016
Tabel 1.1 Hasil analisis regresi linier Ganda tentang Hubungan Faktor Geografis dan kependudukan dengan Kasus DBD, menunjukkan hubungan positif antara luas wilayah per km2 dengan jumlah kasus baru DBD, meskipun hubungan tersebut secara statistik tidak signifikan. Setiap peningkatan 1 Km2 luas wilayah akan meningkatkan jumlah kasus baru. Dengan kata lain setiap peningkatan 1 km2 luas wilayah akan meningkatkan terjadinya tambahan 0.01 kasus DBD (b = < 0.01; CI -0.01 – 0.02; ; p = 0.310). Hubungan positif antara kepadatan penduduk per jiwa/km2 dengan jumlah kasus baru DBD, terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk dengan kasus DBD. Setiap peningkatan 1 jiwa/Km2akan meningkatkan jumlah kasus baru DBD. Dengan kata lain setiap peningkatan 1 jiwa/km2 kepadatan penduduk akan meningkatkan terjadinya tambahan <0.01 kasus DBD (b = < 0.01; CI < 0.01 – 0.01; p = 0.013). Hubungan negatif antara topografi per mdpl dengan jumlah kasus baru DBD, meskipun hubungan tersebut secara
statistik tidak signifikan. Setiap peningkatan 1 mdpl topografi akan menurunkan jumlah kasus baru DBD. Dengan kata lain setiap peningkatan 1 mdpl topografi akan menurunkan 0.01 kasus DBD (b = < 0.01; CI -0.02 – 0.01; p = 0.335). Hubungan positif antara curah hujan per mm/th dengan jumlah kasus baru DBD, meskipun hubungan tersebut secara statistik tidak signifikan. Setiap peningkatan 1 mm/th curah hujan akan meningkatkan jumlah kasus baru DBD. Dengan kata lain setiap peningkatan 1 mm/th curah hujan akan meningkatkan terjadinya tambahan 0.002 kasus DBD (b = < 0.01; CI < 0.01 – 0.01; p = 0.101). Hubungan positif antara aliran sungai per Ha dengan jumlah kasus baru DBD, meskipun hubungan tersebut secara statistik tidak signifikan. Setiap peningkatan 1 Ha aliran sungai akan meningkatkan jumlah kasus baru DBD. Dengan kata lain setiap peningkatan 1 Ha aliran sungai akan meningkatkan terjadinya tambahan 0.02 kasus DBD (b = 0.02; CI -0.01 – 0.03; p = 0.318). 17
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 13-21
Hubungan negatif antara persentase Angka Bebas Jentik dengan jumlah kasus baru DBD, meskipun hubungan tersebut secara statistik tidak signifikan. Setiap penurunan 1 % Angka Bebas Jentik (ABJ), akan meningkatkan jumlah kasus baru DBD. Dengan kata lain setiap peningkatan 1 % Angka Bebas Jentik akan menurunkan -0.01 kasus DBD (b = < 0.01;CI -0.02 – 0.01; p = 0.764). Variabel atau faktor luas wilayah, kepadatan penduduk, topografi, curah hujan, aliran sungai dan Angka Bebas Jentik sebagai persamaan regresi mampu menjelaskan kejadian kasus DBD sebesar 17.9%, sedangkan sisanya 82.1% dijelaskan oleh variabel/faktor lain yang tidak terdapat didalam model regresi linier atau yang tidak diteliti. PEMBAHASAN - Luas wilayah berpengaruh positif terhadap terjadinya kasus DBD, peningkatan luas wilayah akan meningkatkan terjadinya kasus DBD. Dengan meningkatnya luas wilayah maka vektor penyebab DBD akan mempunyai ruang yang lebih luas untuk berkembangbiak dan menularkan virus dengue ke manusia lain. - Kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap terjadinya kasus DBD, kepadatan penduduk yang tinggi berpotensi menyebabkan tingginya kasus DBD Hal ini mendukung pendapat dan hasil penelitian Rahayu (2010), bahwa rumah yang padat/kepadatan penduduk yang tinggi lebih memudahkan bagi nyamuk untuk menularkan penyakit/virus DBD, mengingat kebiasaan nyamuk yang melakukan
18
multibites dan juga jarak terbangnya yang hanya 50 - 100 m. - Topografi berpengaruh negatif terhadap terjadinya kasus DBD. Artinya Semakin tinggi topografi (ketinggian diatas permukaan air laut) maka akan menurunkan terjadinya kasus DBD. Hal ini dapat dijelaskan bahwa nyamuk penular demam berdarah dengue ini terdapat hampir diseluruh pelosok wilayah Indonesia tetapi tidak ditempat-tempat yang berada diketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Topografi di wilayah Kabupaten Sukoharjo berada antara 95-125 mdpl. Sehingga berpotensi sebagai wilayah perkembangbiakan nyamuk A. aegypti sebagai vektor virus Demam Berdarah Dengue. Semakin tinggi topografi suatu wilayah maka akan dapat mempengaruhi perkembangan nyamuk sebagai vektor penular DBD. Topografi yang tinggi berpengaruh terhadap kelembaban udara, suhu, tekanan udara yang bisa berpengaruh pula terhadap jangkauan terbang nyamuk. Beberapa faktor yang tidak diteliti antara lain suhu udara, kelembaban udara dan tekanan udara. Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk A. aegypti (Sugito, 1989 dalam Ririh dan Anny, 2005). Umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20-300C (Iskandar et al, 1985 dalam Ririh dan Anny, 2005). Rata-rata suhu optimum perkembangbiakan nyamuk o 0 adalah 25 - 27 C dan akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 100 C atau lebih dari 400 C. Selain suhu udara, kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi
Kusumawati et al./Geographical Satellite and Survey Data for Prediction
perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti. Kelembaban udara yang berkisar antara 81.5 – 89.5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses perkembangan embrio dan ketahanan hidup embrio nyamuk (Mardihusodo, 1988 dalam Ririh dan Anny, 2005). - Curah hujan berpengaruh positif terhadap kejadian kasus DBD. Semakin tinggi curah hujan maka akan semakin meningkatkan kasus DBD. Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Amah Majidah Vidyah Dini, Rina Nur Fitriany, Ririn Arminsih Wulandari tahun 2010, yang menyatakan bahwa Curah hujan mempunyai pengaruh langsung terhadap keberadaan tempat perindukan nyamuk A. aegypti. Populasi A. aegypti tergantung dari tempat perindukan nyamuk. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama dapat menyebabkan banjir sehingga dapat menghilangkan tempat perindukan nyamuk Aedes yang biasanya hidup di air bersih. Akibatnya jumlah perindukan nyamuk akan berkurang sehingga populasi nyamuk akan berkurang. Namun jika curah hujan kecil dan dalam waktu yang lama akan menambah tempat perindukan nyamuk dan meningkatkan populasi nyamuk. Seperti penyakit berbasis vektor lainnya, DBD menunjukkan pola yang berkaitan dengan iklim terutama curah hujan karena mempengaruhi penyebaran vektor nyamuk dan kemungkinan menularkan virus dari satu manusia ke manusia lain (EHP, 2008). Yanti (2004) menyatakan jumlah hari hujan yang banyak dengan curah hujan tinggi akan mengakibatkan banjir yang akan menghanyutkan tempat perindukan nyamuk, sehingga jumlah tempat
perindukan nyamuk akan berkurang akibatnya populasi nyamuk juga akan berkurang. Sedangkan jumlah hari hujan yang sedikit dengan curah hujan tinggi tetapi waktunya panjang akan menambah tempat perindukan nyamuk dan meningkatkan populasi nyamuk. Hal tersebut sesuai dengan keadaan curah hujan di kabupaten Sukoharjo dimana rata-rata curah hujan pertahun antara 99.5–204.75 mm/tahun dengan hari hujan rata - rata hanya 2 hari tetapi waktunya yang terjadi hampir 10 bulan dalam satu tahun. - Aliran sungai berpengaruh positif terhadap kejadian DBD. Artinya semakin besar aliran sungai maka akan meningkatkan kasus DBD. Aliran sungai adalah wilayah daratan yang dilalui oleh aliran air dengan debit tertentu. Dengan semakin luasnya aliran sungai maka berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk. - Angka Bebas Jentik berpengaruh negatif terhadap kasus DBD. Artinya semakin rendah Angka Bebas Jentik maka akan meningkatkan kasus DBD. Angka Bebas Jentik menunjukkan luasnya penyebaran jentik nyamuk di daerah yang diteliti. Angka bebas jentik di katakan tinggi jika tidak di temukan jentik di daerah yang di survey. Dan dikatakan rendah jika banyak di temukan jentik. Angka Bebas Jentik (ABJ) menjadi indikator dari kesuksesan fogging dan pencegahan awal demam berdarah. Jika ABJ rendah maka daerah yang diperiksa berpotensi menjadi habitat nyamuk sebagai vektor. Data geografis satelit dapat dimanfaatkan untuk memprediksi kejadian atau kasus DBD. Data geografis yang disajikan dalam bentuk peta yang 19
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 13-21
menampilkan kondisi geografis suatu wilayah meskipun berupa data dengan kategori tertentu dapat mendukung data sekunder yang disajikan dalam bentuk profil kesehatan. Dengan memanfaatkan data geogrfis satelit maka suatu wilayah dapat memprediksi kejadian kasus DBD berdasarkan perubahan iklim atau kondisi geografis wilayah tersebut sehingga bisa mengupayakan usaha preventif atau pencegahan terhadap terjadinya wabah. DAFTAR PUSTAKA Achmadi UA. (2010). Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah, Buletin Jendela Epidemiologi. (2) 15-20 Anonim, (2010). Demam Berdarah Dengue Di Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi. (2) 1-14. Brisbois BW, Ali SH. (2010) . Climate Change, Vector-Borne Disease and Interdisciplinary Research: Social Science Perspectives on an Environment and Health Controversy. Ecohealth, Heidelberg: Springer. Charter D, Agtrisari I. (2004). Desain dan Aplikasi Geographics Information System. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Devriany A. (2012). Analisis Eko-Epidemiologi Status Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011. Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia. (1) 1. EHP. (2008). Dengue Reborn Widespread Resurgence of A Resilient Vector. Environmental Health Perspectives. (9) 116. Fitriany RN, Vidyah Dini AM, Wulandari RA. (2010). Faktor Iklim Dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten
20
Serang, Makara, Kesehatan, 14 (1) : 3138. Hastono SP. (2007). Analisis Data Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Kasjono HS, (2011). Penyehatan Pemukiman, Gosyen Publising, Yogyakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis-Dit PPBB-Ditjen PP dan PL. Murti B. (2013). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitaif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oishi K, Saito M, Mapua CA, Natividad FF. (2007). Dengue Illnes: Clinical Features and Pathogenesis. Journal Infect Chemother. (13) 125-133. Pangemanan J, Nelwan J. (2009). Perilaku Masyarakat Tentang Program Pemberantasan Penyakit DBD, di Kabupaten Minahasa Utara, Jurnal FKM, Universitas Sam Ratulangi Manado. Prahasta E. (2002). Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung : Penerbit Informatika. Radji M. (2010). Imunologi dan Serologi, Jakarta : PT ISFI Penerbitan. Ririh Y, Anny V. (2005). Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypty Di Daerah Endemis DBD Surabaya, Jurnal Kesehatan Lingkungan (1)2. Sitorus J. (2003). Hubungan Iklim dengan Kasus Penyakit Demam Berdarah
Kusumawati et al./Geographical Satellite and Survey Data for Prediction
Dengue di Kotamadya Jakarta Timur tahun 1998-2002. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Sri Rejeki. (2004). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia: Depkes RI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Dan penyehatan Lingkungan. Sukowati S. (2010). Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Pengendaliannya di Indonesia, Buletin Jendela Epidemiologi. (2) 26-30. Tri Yunis MW, Haryanto B, Mulyono S, Adiwibowo A. (2010). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah dan Upaya Penanggulangannya di Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Buletin Jendela Epidemiologi. (2) 31-43.
WHO. (1997). Dengue Haemorrhagic Fever, Diagnosis, treatment, prevention and control. 21st edition. Geneva. Yanti. (2004). Hubungan Faktor-Faktor Iklim dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2000-2004. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Yatim F. (2007). Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya. Jakarta : Pustaka Obor Populer.
21