GEO-FACTOR MAPS SEBAGAI PARAMETER DALAM ANALISIS TANAH LONGSOR DENGAN METODE STATISTIK BIVARIAT DI LOMBOK Kusnadi1, Jewgenij Torizin2, Michael Fuchs2, Yukni Arifianti3 1
Dinas Energi dan Pertambangan, Provinsi Nusa Tenggara Barat Federal Institute For Geosciences and Natural Resources (BGR), Jerman 3 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Bandung *Corresponding author :
[email protected] 2
Sari Tanah longsor berpotensi membahayakan keselamatan manusia, oleh karena itu perlu dilakukan langkah mitigasi yang tepat sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya tanah longsor. Salah satu langkah mitigasi adalah dengan melakukan analisis kerentanan tanah longsor yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana potensi tanah longsor di daerah tersebut. Tahap awal sebelum melakukan analisis kerentanan tanah longsor adalah menyiapkan parameter – parameter yang dibutuhkan (Geo-factor maps). Geo-factor maps merupakan himpunan parameter yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, dimana parameter – parameter tersebut dapat dipergunakan melakukan analisa tanah longsor dengan metode statistik bivariat. Geo-factor maps mengontrol terjadinya gerakan tanah pada daerah yang akan diprediksikan. Daerah Lombok dikenal sebagai salah satu lokasi yang memiliki potensi gerakan tanah cukup tinggi tercatat sekitar 194 kali kejadian gerakan tanah di daerah ini yang mengakibatkan kerugian harta benda dan korban jiwa. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geologi maupun morfologi serta faktor – faktor luar seperti iklim dan aktivitas manusia didalamnya. Oleh karena itu untuk daerah Lombok, parameter – parameter yang dapat mengakibatkan terjadi tanah longsor dapat dibagi menjadi 5 (lima) parameter utama yaitu elevation model, geologi, data curah hujan, peta tutupan lahan (vegetasi), dan peta tematik (jalan, pemukiman). Tahap pemilihan dan pemprosesan parameter tersebut sangatlah penting, karena pemrosesan yang baik akan menghasilkan akurasi pemodelan yang baik pula. Kata Kunci : Gerakan Tanah, Longsor, Geo-Factor Maps, Statistik Bivariat. I.
PENDAHULUAN Tanah longsor atau gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng, dapat
berupa batuan asli, tanah pelapukan, bahan timbunan atau kombinasi dari material – material tersebut yang bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Varnes, 1978). Tanah longsor terjadi karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor berpotensi membahayakan keselamatan manusia, oleh karena
itu perlu dilakukan langkah mitigasi yang tepat sehingga dapat mengurangi risiko terhadap terjadinya tanah longsor. Salah satu langkah mitigasi adalah dengan melakukan analisis kerentanan tanah longsor di suatu daerah, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana potensi tanah longsor di daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam menentukan kerentanan tanah longsor diantaranya dengan metode statistik bivariat baik dengan proses “Information Value”, “Frequency Ratio” atau pembobotan ”Weight of Evidence” (van Westen 2003, Hong et al. (2007) and Oh et al. (2010)). Tahap awal yang sangat penting sebelum melakukan analisis kerentanan tanah longsor dengan metode statistik bivariat adalah menyiapkan parameter – parameter yang dibutuhkan (Geo-factor maps). Geo-factor maps merupakan himpunan parameter yang dapat mempengaruhi terjadinya tanah longsor. Lombok sebagai daerah studi merupakan daerah yang cukup representatif karena mewakili daerah vulkanik tropis dengan luas pulau yang tidak terlalu besar (4.738,65 km2) serta memiliki morfologi yang beragam dari pedataran sampai pegunungan curam dengan puncak tertinggi G. Rinjani (3725 mdpl). Oleh karena itu untuk daerah Lombok, parameter – parameter yang dapat mengakibatkan terjadi tanah longsor dapat dibagi menjadi 5 (lima) parameter utama yaitu : 1. Elevation model dan parameter turunannya seperti kelerengan, curvature, aspect, dan flow direction. 2. Geologi, material permukaan and peta tanah (soil) 3. Data curah hujan 4. Peta tutupan lahan dan Vegetasi 5. Peta tematik (jalan, pemukiman) Parameter – parameter ini sangat mewakili kondisi daerah tropis dengan litologi didominasi oleh vulkanik muda yang batuannya belum terkompaksi dengan kuat. Satu hal lagi yang membuat daerah Lombok dipilih menjadi daerah studi adalah karena tutupan lahan daerah Lombok cukup jarang terutama untuk daerah yang curam seperti G. Rinjani dan sekitarnya sehingga data Elevation yang dipakai memiliki kualitas yang cukup baik.
II.
GEO-FACTOR MAPS Geo-factor maps dalam gerakan tanah merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi
terjadinya gerakan tanah. Faktor – faktor ini disesuaikan dengan kondisi dari masing – masing
daerah. Geo-Factor-Maps untuk analisis model statistik bivariat di daerah Lombok seperti pada tabel 1. Tabel 1: Geo-Factor-Maps untuk analisis model statistik bivariat Geo-Factor-Maps Litologi Kelurusan Caldera rims
Sumber Peta Geologi Lembar Lombok Skala 1:250.000 (Badan Geologi) Landsat 5 1995 5 26; Suree Teerarungsigul (Thailand Geological Survey) Peta Geologi Lembar Lombok Skala 1:250.000 (Badan Geologi)
Langkah Tambahan* n y n
Streams of different ASTERGDEM (Georisk Project) y order Landsat 7 ETM+ 2004 06 11; Georisk Working Group Landsat 7 ETM+ 2009 10 15; Georisk Working Tata lahan y Group Landsat 5 1995 05 26; Georisk Working Group MODIS 2009; Georisk Working Group NDVI from ASTER (21.06.2010) and MODIS (26.06.2010) ; Georisk Working Group NDVI from Landsat 5 1995 5 26; Georisk Working Kepadatan vegetasi y Group EVI from MODIS 2000-2010 ; Georisk Working Group Aspect ASTER GDEM; Georisk Working Group y Kelerengan ASTER GDEM; Georisk Working Group y Curvature ASTER GDEM; Georisk Working Group y Bentuk morfologi ASTER GDEM; Georisk Working Group y Flow direction (Arah ASTER GDEM; Georisk Working Group y aliran) Flow accumulation ASTER GDEM; Georisk Working Group y Curah hujan tahunan Hjimans et al. 2005 n Jalan Open Street Map n *Langkah Tambahan adalah pemrosesan data mentah yang dilakukan sebelum dan saat pemrosesan sehingga didapatkan data dengan kualitas yang baik saat diinput ke dalam pendekatan statistik. „y‟ berarti perlu pengolahan/pemrosesan lebih lanjut melalui proses GIS, „n‟ berarti tidak perlu pengolahan lebih lanjut.
2.1 Elevation model dan parameter Turunannya Elevation model merupakan data raster yang memiliki nilai ketinggian, diturunkan dari Digital Elevation Models (DEM) yang telah diolah menjadi Digital Surface Models (DSM). Elevation model ini dapat diturunkan menjadi beberapa parameter diantaranya : Elevasi, Slope, Aspect, Curvature, Flow Direction dan Morphometric Feature (bentuk morfologi). Sumber data untuk berasal dari ASTER GDEM. ASTER GDEM adalah produk dari METI dan NASA dan bisa diunduh dari situs http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp. DSM bersumber dari Optical Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dengan resolusi 30 meter. Selain ASTER ada sumber data yang lain untuk Elevation model yaitu Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang melakukan pengambilan data dengan teknik Radar DSM. Secara akurasi antara ASTER dan SRTM memiliki kesamaan tetapi ASTER memiliki keunggulan resolusi pada daerah yang memiliki relief yang curam (high relief energy). Hal ini diakibatkan teknik radar pada SRTM memiliki eror yang lebih tinggi pada daerah yang curam dengan slope lebih besar dari 10° daripada teknik optik ASTER (Gorokhovic et al. 2006). Sebaliknya pada ASTER GDEM terdapat anomali dan artifacts akibat dari awan dan algoritma yang digunakan untuk menghasilkan GDEM dari Variable elevation stack number (ASTER GDEM Validation team 2009).
2.1.1 Perbandingan Statistik and visual ASTER GDEM dengan SRTM 30 Penilaian statistik dan pengukuran profil di seluruh pulau Lombok mengacu pada the high global fitting accuracy (Tabel 2, Gambar 1). Koefisien korelasi antara ASTER GDEM dengan SRTM 3.0 adalah 0.997. Walaupun dalam skala yang lebih besar perbedaan nilai koefision korelasi mungkin akan lebih besar. SRTM 30 untuk daerah bagian timur G. Rinjani memperlihatkan pola deviasi di atas rata – rata (Gambar 2), sebaliknya ASTER GDEM memperlihatkan pola yang baik (Gambar 3). Sedangkan pada daerah tersebut dipengaruhi oleh lereng yang bergelombang – terjal dan merupakan lokasi yang sering terjadi tanah longsor.
Tab. 2: Perbandingan nilai statistik antara ASTER GDEM dengan SRTM 30 di Daerah Lombok. Statistikal value
ASTER GDEM
SRTM 30
Minimum [m]
1
1
First quartile [m]
81
79
Median [m]
210
207
Mean [m]
416
414
Third quartile [m]
521
519
Percentile 90 [m]
1154
1156
Maximum [m]
3684
3653
Range [m]
3683
3653
Coefficient. of variance
127
128
Gambar 1. N-S and W-E profil sayatan daerah Lombok. ASTER GDEM (merah) and SRTM 30 (biru) dimana grafik memperlihatkan kesamaan nilai diantara keduanya.
Gambar 2. Hillshaded SRTM 30 elevation model bagian timur G. Rinjani memperlihatkan banyak sekali pola deviasi.
Gambar 3. Hillshaded ASTER GDEM elevation model bagian Timur G. Rinjani yang memperlihatkan pola elivasi yang lebih baik dari SRTM 30 2.1.2 Data turunan dari data DSM Dari data DEM yang sudah difilterisasi dapat diturunkan beberapa peta raster yang selanjutnya dapat dijadikan parameter dalam analisa selanjutnya yaitu Aspect, Slope, Curvature, Arah aliran and Bentuk Morfologi. (Gambar. 3.) Aspect adalah orientasi dari tingkat kecuraman suatu daerah yang dilihat dari arah Utara. Slope adalah tingkat kemiringan lereng suatu yang diukur dalam satuan derajat (Gambar 4). Curvature adalah distribusi dari bentuk lahan berupa cembung atau cekung Mitasova & Hofierka (1993) (Gambar 5). Arah aliran merupakan pola – pola morfologi yang memperlihatkan arah pengaliran.
Bentuk morfologi adalah kenampakan – kenampakan morfologi yang memperlihatkan puncakan, punggungan, lubang, dll (Gambar 6).
Gambar 3. Bentuk tampilan aster GDEM setelah Gambar 4. Slope (kelerengan) difilter
Gambar 5. Curvature
Gambar 6. Bentukan Morfologi
2.2 Peta geologi Informasi mengenai distribusi batuan suatu daerah sangant penting dalam pendekatan statistik begitu juga dengan distribusi tipe soil dan kedalaman pelapukan. Peta struktur juga sangat penting untuk mengetahui zona lemah yang mungkin bisa mempengaruhi gerakan tanah.
2.2.1 Peta Litologi Pulau Lombok Badan Geologi menyediakan peta dalam ukuran skala menengah yaitu 1 : 50.000 untuk seluruh Indonesia. Peta ini merupakan perbaharuan dari peta berskala 1:250.000 yang sudah dibuat oleh Mangga dkk, 1994. Untuk peta distribusi soil dan tingkat pelapukan belum tersedia. (Gambar 7).
Tabel. 1: Bentuk stratigrafi pulau Lombok modifikasi peta Geologi Mangga dkk, 1994 Series
Holocene
Pleistocene
Pliocene
Symbol
Lithology
Qhs
Organic loam
Qha
Loam
Qha
Sand
Qha
Sand, Gravel
Qhl
Limestone
Qhvbl
Lava
Qvbb
Breccia, Lava, Pumice
Qvbl
Lava, Pumice
Qvbl1
Breccia, Lava, Pumice
Qvbl2
Lava
Qvfrk
Boulder, Gravel
Qvfrk
Gravel
Qvfrp
Sand, Boulder
Qvml
Lava
Qvnl1
Lava
Qvnl2
Lava
Qvnl3
Lava
Qvnl4
Lava
Qvnl5
Lava
Qvrl1
Lava
Qvrl1
Lava, Pumice
Qvrl2
Lava
Qvrl2
Lava, Pumice
Qvrl3
Lava
Qvsl
Breccia, Lava
QTbb
Breccia, Lava
QTkb
Breccia
QTmb
Breccia
QTmb
Breccia, Lava
QTpb
Breccia, Lava, Pumice
Series
Miocene
Oligocene
Symbol
Lithology
QTval
Lava
QTvbl
Lava
QTvdl
Lava
QTvlb
Breccia, Lava
QTvnb
Breccia, Lava
QTvpb
Breccia
QTvpb
Breccia, Lava, Pumice
QTvpl
Lava
QTvrl
Breccia, Lava
Tme
Limestone
Tmi
Dacite, Basalt
Tomb
Breccia, Lava
Tomk
Sandstone
Tomlb
Breccia
Tompb
Breccia
Tomsb
Breccia
Gambar 7. Peta Geologi daerah Lombok ( Modifikasi Mangga, dkk 1994)
2.2.2 Peta Kelurusan dan Struktur Geologi Jarak dari struktur geologi bisa mempengaruhi aktifitas gerakan tanah yang diakibatkan oleh gempa bumi (Prestininzi & Romeo 2000). Lebih lanjut Patahan geologi bisa menjadi zona lemah akibat dari pelapukan dan masuknya air tanah (Gambar 8).
Gambar 8. Peta kelurusan dan struktur geologi daerah Lombok
2.3 Data Cuaca (Precipitation) Curah hujan kumulatif bisa dipertimbangkan sebagai salah satu parameter pemicu terjadinya gerakan tanah. Banyak paper membahas mengenai curah hujan sebagai parameter dalam pemetaan kerentanan gerakan tanah. Erener et al. (2009) menggunakan layer curah hujan tahunan dalam metode spasial dan global regresi. Dalam skala kecil 1:100.000 dan curah hujan terendah dimasukkan sebagai input dalam modeling dengan statistik bivariat (Hong et al. 2007, Wang et al. 2009). Untuk pulau Lombok curah hujan tahunan dari Global data set yang digunakan dengan resolusi spasial 1 km yang diambil dari tahun 1950 - 2000 (Hijmans dkk, 2005). (Gambar 9)
2.4 Tutupan Lahan dan Vegetasi Pemodelan statistikal untuk kerentanan gerakan tanah membutuhkan beberapa input layer. Salah satu yang cukup penting adalah layer tutupan lahan dan indeks vegetasi.
Gambar 9. Peta curah hujan tahunan pulau Lombok hasil konpilasi data dari tahun 1950-2000.
2.4.1 Tutupan Lahan Salah satu sumber untuk layer tutupan lahan adalah data Landsat yang merupakan sensor dengan resolusi 30 meter dalam bentuk spectral bands oleh USGS. Biasanya bisa diambil dari beberapa data landsat baik landsat 4,5 dan 7. Data yang digunakan adalah data landsat yang paling sedikit pengaruh awannya sehingga dari seluruh data landsat untuk pulau Lombok yang dipilih adalah dari tahun 1995, 2004 dan 2009. Klasifikasi dari tutupan lahan didasarkan pada spectral bands 1,2,3,4,5, dan 7 yang terdiri dari visual light, near infrared dan short wave infrated (Gambar 10).
2.4.2 Indeks Vegetasi Biasanya indeks vegetasi akan dihitung dari beberapa sensor yang berbeda untuk mendapatkan data yang baik seperti SPOT, ASTER, dan Landsat. Hasil kalkulasi dari masing – masing sensor tersebut disebut Normalized Different Vegetation Index (NDVI) (Gambar 11).
Gambar 10. Peta Tutupan Lahan daerah Lombok
Gambar 11. NDVI yang diturunkan dari ASTER (21.06.2010) and 26.06.2010 (MODIS).
2.5 Peta Tematik Aktifitas manusia banyak mengakibatkan kejadian gerakan tanah seperti pembukaan lahan untuk jalan dan pemukiman, maka data jalan dan pemukiman tersebut menjadi penting dalam pertimbangan analisis kerentanan. Jalan dan pemukiman kadang – kadang akan memotong lereng yang stabil sehingga lereng menjadi kurang stabil. Berdasarkan hasil penelitian 16% kejadian gerakan tanah di Pulau Lombok diakibatkan oleh aktivitas manusia. Untuk peta jalan diambil dari situs Open Street Map Project. OpenstreetMaps (OSM) telah membuat dan menyediakan secara gratis data geografis seperti jalan dengan kualitas yang bagus (http://www.openstreetmap.de/).
III. DISKUSI DAN KESIMPULAN Preparasi data parameter merupakan suatu tahap yang sangat penting dalam melakukan analisis gerakan tanah dengan metode Bivariat Statistik. Data yang terkumpul dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan akan menghasilkan hasil analisis yang baik. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam preparasi data yaitu: 1.
Pemilihan data yang baik. Tentunya setiap data memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan data yang paling baik untuk suatu daerah sangat menentukan pula keberhasilan dari suatu analisis. Seperti data DEM, ada beberapa provider menyediakan data elevasi gratis yaitu ASTER GDEM dan SRTM. Data ASTER GDEM untuk kasus Pulau Lombok itu lebih baik daripada SRTM.
2.
Perbaikan dan filterisasi data Tidak semua data yang disediakan dalam kondisi yang benar – benar baik sehingga dilakukan beberapa tahap untuk memperbaiki kualitas data seperti ASTER GDEM terdapat anomali dan artifact yang diakibatkan adanya gangguan saat pengambilan data sehingga perlu diperbaiki baik dengan smoothing maupun teknik moving window (MW) (Hossein & Reinartz, 2010).
Daftar Pustaka
ASTER GDEM Validation Team, 2009. ASTER Global DEM Validation, Summary Report. Erener, A.; Sebnem, H., Düzgün, B. 2010. Improvement of statistikal landslide susceptibility mapping by using spatial and global regression methods in the case of More and Romsdal (Norway). Landslides, 7, 55-68. Gorokhovic, Y., Voustianiouk, A. 2006. Accuracy assessment of the processed SRTM-based elevation data by CGIAR using field data from USA and Thailand and its relation to the terrain characteristics. Remote Sensing of Environment 104 (2006) 409–415. Hijmans, R. J.; Cameron, S. E.; Parra, J. L.; Jones, P. G.;
Jaervis, A. 2005. Very High
Resolution Interpolated Climate Surfaces for Gobal Land Areas , Int. J. Climatol. 25: 1965–1978 Hong, Y.; Adler, R. H. G. 2007. Use of satellite remote sensing data in the mapping of global landslide susceptibility. Nat Hazards, 43, 245-256 Hossein, A., Reinartz, P. 2010. Elimination of the Outliers from ASTER GDEM Data. White Paper. Huete, A., Didan, K., Miura, T., Rodriguez, E.P., Gao, X., Ferreira. L.G. 2002. Overview of the radiometric and biophysical performance of the MODIS vegetation indices. Remote Sensing of Environment 83(2002) 195-213. Mangga, S. A., Atmawinata, S., Hermanto, B., Setyogroho, B., Amin, T. C. 1994. Geological Map of the Lombok Sheet, West Nusatenggara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Mitasova, H., Hofierka, J. 1993: Interpolation by Regularized Spline with Tension: II. Application to Terrain Modeling and Surface Geometry Analysis, Mathematical Geology 25, 657-667. MODIS website. http://modis.gsfc.nasa.gov/ Prestininzi, A., Romeo, R. 2000. Earthquake induced ground failures in Italy. Engineering Geology, 58, 387-397. Rodriguez, E., C.S. Morris, J.E. Belz, E.C. Chapin, J.M. Martin, W. Daffer, S. Hensley, 2005. An assessment of the SRTM topographic products, Technical Report JPL D-31639, Jet Propulsion Laboratory, Pasadena, California, 143 pp.
Storey, J., Scaramuzza, P., Schmidt, S. 2005. LANDSAT 7 SCAN LINE CORRECTOR-OFF GAP-FILLED PRODUCT DEVELOPMENT. Pecora 16 "Global Priorities in Land Remote Sensing" October 23–27, 2005 * Sioux Falls, South Dakota. Teerarungsigul, S. 2006. Landslide prediction model using remote sensing, gis and field geology: A case study of Wang Chin District, Phrae province, Northern Thailand. Doctor of Philosophy, Suranaree University of Technology. Wood, J. (1996): The Geomorphological characterisation of Digital Elevation Models. Diss., Department of Geography, University of Leicester, Leicester.