GENERASI MUDA GENERASI BERBHINNEKA TUNGGAL IKA Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
Penyusun Siti Aminah Uli Parulian Sihombing
Kerjasama : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) – Feedom House
Penerbit The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641 Email :
[email protected] Website:www.mitrahukum.org
Modul Pelatihan Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa, dikembangkan oleh ILRC dengan dukungan dari Freedom House berdasarkan perjanjian kerjasama No.S-LMAQM-09-GR-550 tanggal 27 Oktober 2010. Isi yang terkandung dalam modul merupakan tanggungjawab ILRC dan tidak mencerminkan pendapat Freedom House.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
1
KATA PENGANTAR The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) bekerjasama dengan Freedom House mengembangkan modul pelatihan tingkat dasar kebebasan beragama/berkeyakinan untuk mahasiswa/mahasiswi. Tujuan pembuatan modul ini adalah untuk memudahkan fasilitator dalam memandu pelatihan tersebut. Selain itu, fasilitator diharapkan dapat mempersiapkan dan memahami substansi materi dari pelatihan tersebut, sehingga para peserta maupun nara sumber dapat memahami maksud dan tujuan pelatihan ini. Substansi materi yang terdapat di dalam modul ini merupakan gabungan antara materi teori dan praktek. Materi teori lebih menekankan antara pengetahuan kearifan lokal seperti Pancasila, aturan-aturan nasional dan internasional tentang kebebasan beragama, dan teori-teori tentang kebebasan beragama. Materi praktek lebih menekankan studi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama, yang relevan dan aktual dengan perkembangan kebebasan beragama itu sendiri. Para peserta pelatihan ini diharapkan dapat mengetahui dan memahami kearifan lokal tentang keragaman, aturan-aturan tentang kebebasan beragama, dan lain-lain. Oleh karena itu, mahasiswa/mahasiswi akan mempunyai sensitifitas atas kejadiankejadian pelanggaran kebebasan beragama. Lebih jauh, mereka dapat menyebarkan gagasan/pengetahuannya tentang kebebasan beragama tidak hanya untuk di lingkungan kampusnya, tetapi juga untuk keluarga/kerabat dan tetangganya. Kemudian metodologi dalam menyampaikan pengetahuan/studi kasus atas pelanggaran kebebasan beragama disajikan secara variatif dan inovatif untuk menarik mahasiswa/mahasiswi dalam mempelajari kebebasan beragama tersebut. Modul ini merupakan dokumen hidup (living document), baik metodologi dan materi pelatihannya disesuaikan dengan perkembangan kebebasan beragama di masyarakat khususnya kasus-kasus aktual atas pelanggaran kebebasan beragama di masyarakat. Sehingga terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia
Jakarta, 28 Desember 2010 The Indonesian Legal Resource Center
Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ILRC............................................................................2 Daftar Isi............................................................................................3 Pengantar Pelatihan.............................................................................4 Modul Pelatihan Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan............7 Orientasi Pelatihan.............................................................................10 Materi 1 : Pancasila............................................................................13 Materi 2 : Hak Asasi Manusia (HAM).....................................................20 Materi 3 : Teori Kebebasan Beragama/Keyakinan...................................30 Materi 4 : Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dalam Instrumen Internasional dan Nasional..................................................................55 Materi 5 : Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan..............62 Materi 6 : Studi Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan...72 Rencana Tindak Lanjut........................................................................82 Evaluasi............................................................................................83
Lampiran 1. Formulir pendaftaran......................................................................87 2. Jadwal Acara Pelatihan...................................................................91
Tentang ILRC....................................................................................92 Tentang Freedom House.....................................................................94
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
3
PENGANTAR PELATIHAN
Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dalam berbagai aturan baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun, jaminan hak tersebut dalam prakteknya tidak dengan sendirinya dapat dilaksanakan. Terdapat kesenjangan antara yang nilai-nilai normatif dan pelaksanaannya. Hal ini Nampak dari hasil-hasil pemantauan yang dilakukan sejumlah kalangan terhadap pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi di Indonesia. Hasil laporan Wahid Institute selama tahun 2009 menunjukkan terdapat 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan aparat negara. Dilihat dari aktor yang terlibat, 45 persen atau 18 kasus melibatkan kepolisian, 20 persen atau delapan kasus melibatkan pemerintah daerah, 15 persen atau enam kasus melibatkan pemerintah desa dan kecamatan dan 10 persen atau empat kasus melibatkan Kejaksaan dan Bakorpakem. Selain itu, 5 persen atau dua kasus melibatkan pengadilan, serta sisanya 5 persen atau dua kasus melibatkan aktor lainnya. Ditinjau dari segi bentuk pelanggaran, sembilan kasus berkaitan dengan pelarangan keyakinan, tujuh kasus pembiaran, tujuh kasus kriminalisasi keyakinan, lima kasus pembatasan aktivitas keagamaan, lima kasus pelarangan tempat ibadah, dan dua kasus pemaksaan keyakinan. Sedangkan untuk peristiwa intoleransi antar umat beragama tercatat sebanyak 93 kasus. Peningkatan isu intoleransi pada Juni 2009 dipicu hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden. Bentuk tindakan intoleransi yang paling banyak adalah penebaran kebencian terhadap kelompok, negara/bangsa tertentu (20 kasus). Kemudian, penyerangan, perusakan dan penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadah (18 kasus), tuntutan pembubaran Ahmadiyah (10 kasus) dan penyesatan (9 kasus).
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
4
Dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan, peran pembelaan lebih banyak dilakukan oleh kalangan LSM. Sementara Fakultas Hukum yang terdapat di setiap kota belum berperan maksimal dan terputus dari komunitas/masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM. Demikianhalnya materi pendidikan hukum, khususnya mata kuliah HAM belum menjadikan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama sebagai bagian dari proses pembelajaran. Mahasiswa fakultas hukum sebagai bagian dari calon praktisi hukum, menjadi agen potential untuk perubahan, termasuk dalam melakukan advokasi kebebasan beragama/keyakinan di lingkungan kampus, maupun masyarakat di sekitarnya. Melalui LBH Kampus, mahasiswa dapat membangun kepekaan akan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat.
Fasilitator Fasilitator pelatihan kebebasan beragama diharapkan memiliki kriteria : 1. Menghormati dan berpegang pada prinsipprinsip HAM 2. Menghargai setiap perbedaan 3. Rendah hati dan mau mendengar 4. Menghargai proses, menghormati perbedaan kemampuan semua orang yang hadir 5. Memiliki pengetahuan yang baik dan kompreshensif terkait issue kebebasan beragama/berkeyakinan 6. Memiliki kemampuan untuk bertanya.
Sebelum memfasilitasi pelatihan, sebaiknya fasilitator membaca dan memahami terlebih dahulu modul pelatihan. Modul menjelaskan secara rinci tujuan, topik, metodologi, waktu, material yang dibutuhkan. • Topik Memberikan tema bahasan yang akan disampaikan dalam setiap sesi. Pembahasan satu topik bisa memanfaatkan lebih dari dari satu sesi, tergantung tingkat bahasan yang diperlukan • Metode Memberikan referensi langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh fasilitator. Relasi timbal balik antara tujuan, isi dan metode, perlu diperhatikan untuk memastikan efektivitas penyampaian materi. • Waktu Waktu yang dibutuhkan tiap sesi, memberikan gambaran jam serta alokasi waktu untuk penyelenggaraan setiap sesi.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
5
• Alat/Bahan Memberikan referensi bahan yang diperlukan. Guna menunjang kelancaran penyelenggaraan sesi, material bahan yang diperlukan sebaiknya dipersiapkan sebelum sesi dimulai. Fasilitator dimungkinkan untuk melakukan perubahan, penukaran sesi, maupun modifikasi pelatihan sesuai dengan kondisi peserta dan tujuan pelatihan
Peserta Penyelenggara mengidentifikasi peserta yang akan diundang untuk hadir pada pelatihan. Jumlah peserta yang memadai berkisar antara 15-20 orang untuk tiap kali pelatihan. Pembatasan peserta ini dimaksudkan agar tersedia keleluasaan bagi peserta untuk berinteraksi dan menyerap materi. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, panitia dapat melakukan penjajakan melalui pre-test.
Peserta pelatihan diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Menghormati dan berpegang pada prinsipprinsip HAM 2. Menghargai setiap perbedaan 3. Mahasiswa fakultas hukum/mahasiswa dan diutamakan tergabung dalam LKBH Kampus 4. Belum pernah mengikuti pelatihan kebebasan beragama/berkeyakinan 5. Tertarik pada issue kebebasan beragama/berkeyakinan
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
6
MODUL PELATIHAN PARALEGAL TINGKAT DASAR KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN UNTUK MAHASISWA TUJUAN UMUM Meningkatkan kapasitas (capacity building) mahasiswa fakultas hukum tentang keadilan social, HAM dan kebebasan beragama. TUJUAN KHUSUS a. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum dan HAM khususnya hak kebebasan beragama. b. Membangun kepedulian dan sensitivitas mahasiswa terhadap pelanggaran hak kebebasan beragama dan intoleransi di masyarakatnya dengan mengunakan persfektif HAM. c. Membangun dialog antar pemuda/mahasiswa yang berbeda agama/keyakinan
TUJUAN
1. 2.
3.
4.
1. 2. 3. 4.
TOPIK ORIENTASI PELATIHAN Seluruh komponen pelatihan dapat saling 1. Perkenalan mengenal satu sama lain 2. Membangun Menciptakan suasana keakraban dan iklim belajar saling percaya diantara 3. Harapan dan peserta,fasilitator,narasumber dan kekhawatiran panitia Peserta dan fasilitator saling memahami cara-cara yang dibutuhkan untuk mencapai harapan dan menghindari kekhawatiran. Peserta menyepakati jadwal dan tata tertib pelatihan MATERI I PANCASILA Peserta memahami konsep Pancasila 1. Konsep dan Nilai dalam konteks keberagaman di Indonesia Pancasila Peserta memahami konsep Negara 2. Negara Bangsa Bangsa Indonesia (kebangsaan,sej Peserta memahami nilai-nilai dasar arah Indonesia) kebaragaman di Indonesia. 3. Keragaman dan Peserta mengetahui hambatan dan Toleransi kendala mewujudkan keberagaman di Indonesia 4. Kondisi Social Politik Indonesia dan implementasi nilai-nilai Pancasila
WAKTU 120 menit
120 menit
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
7
MATERI II HAK ASASI MANUSIA (HAM) 1. Peserta memahami arti hak asasi 1. Pengertian HAM manusia 2. Prinsip-prinsip 2. Peserta memahami prinsip-prinsip hak HAM Intrumen asasi manusia Pokok HAM 3. Peserta mengetahui instrument-intrumen Internasional HAM Internasional, khususnya terkait terkait dengan hak kebebasan kebebasan beragama/berkeyakinan 4. Peserta memahami pengertian beragama/berke pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, yakinan Aktor pelanggar HAM dan relasi antara 3. Pelanggaran (By Negara dan warganegara dalam Commision) dan pelanggaran hukum/ HAM Pembiaran (By Ommission)
120 menit
MATERI III TEORI KEBEBASAN BERAGAMA/ BERKEYAKINAN 1. Peserta mengetahui teori dan sejarah kebebasan beragama/berkeyakinan 2. Peserta memahami forum internum dan forum eksternum 3. Peserta memahami pembatasan yang diijinkan dalam KBB
1.
2.
3.
4.
1. 2. 3. 4. 5.
Sejarah KBB Teori KBB Forum Internum Forum Eksternum Pembatasan yang diijinkan dalam KBB
240 menit
MATERI IV KEBEBASAN BERAGAMA/ BERKEYAKINAN DALAM INSTRUMEN INTERNASIONAL DAN NASIONAL 1. Hak Kebebasan Peserta dapat mengindentifikasikan hak 120 menit kebebasan beragama dalam instrumen Beragama dalam HAM Internaional Intsrumen HAM Peserta mengetahui pasal-pasal dalam Internasional dan instrument hukum ham internasional Nasional dan nasional yang menjamin kebebasan 2. Kewajiban beragama / berkeyakinan Negara dalam Peserta mengetahui kewajiban Negara memenuhi hak dalam pemenuhan HAM, khususnya kebebasan kebebasan beragama/berkeyakinan beragama dan Peserta dapat mengidentifikasikan berkeyakinan peraturan perundang-undangan yang mendukung dan menghambat hak kebebasan beragama/ berkeyakinan
MATERI VI PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA/ BERKEYAKINAN 1. Peserta mengetahui pelanggaranPelanggaran KBB 120 menit pelanggaran HAM di Indonesia dan negara-negara lain 2. Peserta membangun empati terhadap korban pelanggaran HAM Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
8
MATERI VII STUDY KASUS PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN 240 1. Peserta mampu menganalisa 1. Instrumen HAM yang dilanggar pelanggaran-pelanggaran kebebasan 2. Advokasi yang beragama/keyakinan dan intrumen HAM ditawarkan yang dilanggar 2. Peserta dapat menganalisa jalan keluar/advokasi dari pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan RENCANA TINDAK Peserta bisa menyusun rencana kegiatan yang akan dilakukan pascapelatihan, baik secara individu maupun berkelompok untuk menindaklanjuti hasil pelatihan
EVALUASI 1. Peserta memberikan umpan balik dan melakukan penilaian terhadap keseluruhan jalannya proses belajar, alokasi waktu, bahan ajar, materi yang disampaikan, dukungan fasilitator dan narasumber serta tehnis penyelenggaraan pelatihan 2. Mengetahui sejauh mana efektivitas dan manfaat pelatihan untuk menjadi bahan masukan peningkatan dan penyempurnaan kegiatan serupa 3. Mengetahui tingkat pemahaman peserta terhadap seluruh materi yang disampaikan selama prose pelatihan
LANJUT Rencana dan agenda kegiatan yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama dan keyakinan yang bisa dilakukan pascapelatihan
1. Materi 2. Narasumber 3. Metode Penyampaian 4. Tehnis penyelenggaraan pelatihan
60
60
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
9
ORIENTASI PELATIHAN Pengantar Orientasi pelatihan bertujuan agar para peserta pelatihan dapat mengetahui alur pelatihan secara keseluruhan; tujuan dan harapan yang ingin dicapai dalam pelatihan; keseluruhan proses pelatihan; serta upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan proses pelatihan agar semua orang yang terlibat dalam pelatihan bisa berpartisipasi dalam mencapai tujuan dan harapan itu. Orientasi pelatihan umumnya dimulai dengan perkenlan, mengumpulkan harapan peserta terhadap pelatihan dan menyusun kesepakatan bersama terkait hal-hal tehnis selama pelatihan berlangsung. Kesepakatan-kesepakatan yang disusun bersama oleh semua orang yang terlibat dalam pelatihan menjadi penting, terutama dalam kaitannya dengan metode partisipatif yang akan digunakan dalam proses pelatihan. Tujuan 1. Seluruh komponen pelatihan dapat saling mengenal satu sama lain termasuk hal-hal yang harus ditoleransi antara satu peserta dengan peserta lain 2. Terciptanya suasana akraban, penuh persahabatan (toleransi) dan saling percaya diantara partisipan peserta,fasilitator,narasumber dan panitia 3. Peserta dan fasilitator saling memahami cara-cara yang dibutuhkan untuk mencapai harapan dan menghindari kekhawatiran 4. Peserta menyepakati jadwal dan tata tertib pelatihan 5. Membuat peraturan dan kesepakatan bersama agar pelatihan berlangsung dengan baik. Topik 1. Perkenalan 2. Membangun iklim belajar 3. Harapan dan kekhawatiran Metode Permainan (30’) Wawancara (10’) Presentasi (60’) Curah PEndapat (20’) Waktu 120 menit
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
10
PROSES FASILITASI Langkah 1 Perkenalan a. Fasilitator membuka sesi dengan menjelaskan tujuan sessi yang akan berlangsung. b. Minta semua peserta menuliskan nama panggilan dalam name tag. c. Minta peserta untuk berdiri dan berbaris dua banjar dengan jumlah yang sama. Ajak peserta untuk bermain “baris-berbaris” dengan mengikuti petunjuk dari fasilitator. d. Fasilitator meminta peserta berbaris, misalkan : ” Berbarislah berdasarkan urutan bulan kelahiran !” ” Berbarislah dari paling pendek ke paling tinggi !” ” Berbarislah dari warna baju yang paling terang ke yang paling gelap !” e. Minta peserta untuk memberikan komentar atas permainan tersebut. f. Fasilitator selanjutnya meminta peserta saling berhadapan dan menjadikan peserta dihadapannya sebagai ”teman baik” dalam satu hari. Dan mintalah mereka saling mengenal satu sama lain, baik di dalam maupun diluar kelas. g. Untuk perkenalan hari ini, mintalah setiap pasangan untuk melakukan wawancara kepada pasangannya tentang ”pengalamannya sebagai minoritas”, dan gambarkan pasangannya dalam bentuk buah. h. Mintalah setiap pasangan untuk memperkenalkan pasangannya masingmasing. Tempel gambar buah di dalam kelas. Langkah 2 Membangun Iklim Belajar a. Fasilitator meminta seluruh peserta untuk melihat rancangan jadwal pelatihan yang sebelumnya telah dipersiapkan. Tanyakan apakah peserta sepakat dengan jadwal yang telah disusun, ataukah bermaksud menyusun ulang jadwal pelatihan sesuai dengan kesepakatan mereka sendiri. Sepakati jadwal acara yaitu jam berapa dimulai ? jam berapa istirahat dan jam berapa akan berakhir ? b. Setelah tercapai kesepakatan mengenai jadwal, ajaklah peserta untuk menyusun kontrak belajar. Ajukan pertanyaan-pertanyaan : - Apa yang boleh dilakukan selama waktu belajar ? - Apa yang tidak boleh dilakukan selama waktu belajar ? c. Tuliskan hasil semua kesepakatan di atas kertas, dan tempelkan di ruang pelatihan agar seluruh komponen pelatihan bisa mengingat dan diingatkan setiap saat. d. Agar proses pelatihan lebih melibatkan peserta, mintalah kepada peserta untuk berbagi tugas harian selama berlangsungnya pelatihan yang terdiri dari : - Kelompok Review; bertugas menyajikan review proses belajar hari sebelumnya Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
11
Kelompok Ice breaker; bertugas memecahkan kebekuan dan menyegarkan suasana - Kelompok Evaluasi; bertugas mengevaluasi proses pelatihan (fasilitator, panitia, peserta, jadwal, akomodasi, konsumsi, dan narasumber) - Kelompok Time Keeper; bertugas mengingatkan waktu Pembagian tugas dapat juga dilakukan untuk membantu panitia dalam menyediakan moderator sessi pelatihan e. Untuk mengakomodasi pertanyaan atau hal-hal yang bekaitan dengan materi pelatihan yang tidak dapat disampaikan dalam sessi materi karena keterbatasan waktu, malu dll, tempelkan sebuah AMPLOP TERBUKA yang ditempel di area pelatihan. Pertanyaan/klarifikasi atas pertanyaan yang masuk dijelaskan kembali pada keesokan harinya sebelum sessi pertama di mulai. f. Perkenalkan alat evaluasi iklim belajar, dan minta kepada peserta untuk memberi tanggapan atau keputusan dengan menempelkan post-it di setiap kolom setelah proses pembelajaran selesai. -
WAKTU
MATERI
PROSES
FASILITA TOR
PANITIA
AKOMODASI DAN KONSUMSI
HARI I HARI II HARI III HARI IV
Langkah 3 Harapan dan Kekhawatiran a. Fasilitator membagikan dua kertas metaplan dan minta agar peserta menuliskan harapan masing-masing, yang ingin diperoleh melalui pembelajaran baik aspek pengetahuan, ketrampilan maupun sikap dan kekwatiran yang mungkin terjadi/dihadapi selama proses pembelajaran. Ingatkan kepada peserta untuk menulis nama masing-masing b. Kumpulkan dan bacakan satu persatu dan dikelompokkan. Tanyakan apakah harapan dan kekhawatiran yang dibaca itu menyangkut proses, materi, tindak lanjut maupun yang lainnya. c. Jelaskan kepada peserta bahwa lembar kerja peserta yang telah diisi akan disimpan oleh panitia karena akan digunakan pada akhir pembelajaran sebagai salah satu bahan acuan evaluasi. d. Fasilitator atau panitia menjelaskan dengan singkat alur, materi pelatihan serta metode pelatihan yang akan digunakan.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
12
PANCASILA PENGANTAR Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki keragaman etnik dan kultur yang berbeda. Letaknya yang strategis, membawa pertemuan individu berbagai bangsa yang selain mempertemukan kultur yang berbeda juga membawa dampak pada persebaran agama. Kedatangan agama-agama universal misalnya dapat dapat dimulai dari masuknya Agama Hindu di Nusantara (Kutai), disusul Budha (Sriwijaya), Islam (Samudra Pasai), kemudian yang datang belakangan di jaman kolonial seperti Katolik, Kristen, Khonghucu, Sikh, Bahai, Tao dsb. Kehadiran agama-agama universal tersebut menambah keragaman disamping agama-agama local yang telah ada sebelumnya, Atas dasar kenyataan keberagama (agama/keyakinan, suku bangsa dll) maka para pendiri bangsa memploklamirkan Negara kebangsaan Indonesia. Dan Pancasila menjadi dasar Negara yang merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilainilai budaya yang menyatukan masyarakat yang beragam suku, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan kebangsaan.
Tujuan : 1. Peserta memahami konsep Pancasila dalam konteks keberagaman di Indonesia 2. Peserta memahami konsep Negara Bangsa Indonesia 3. Peserta memahami nilai-nilai dasar kebaragaman di Indonesia. 4. Peserta mengetahui hambatan dan kendala mewujudkan keberagaman di Indonesia Topik 1. Konsep Pancasila 2. Negara Bangsa (kebangsaan,sejarah Indonesia) 3. Keragaman 4. Toleransi Metode Pengantar (5 menit) Identifikasi Diri (20 menit) Diskusi Kelompok/Warung Pojok (90 menit) Waktu 120 menit
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
13
PROSES FASILITASI Langkah 1 Citra Diri a. Minta peserta untuk menggambarkan wajahnya dan tuliskan dibawahnya NAMA PANGGILAN, KOTA TEMPAT TINGGAL, SUKU, BAHASA YANG DIGUNAKAN dan AGAMA/KEYAKINAN. b. Tempelkan dan pastikan semua peserta telah membuatnya c. Ajak peserta untuk melihat masing-masing identitas, yaitu identitas suku, agama/keyakinan dan kota tempat tinggal. d. Ajak peserta untuk merumuskan bahwa setiap orang membawa identitas kesukuan, agama, pekerjaan dan tempat tinggal yang berbeda satu sama lain. e. Minta peserta untuk berpendapat potensi konflik dari perbedaan identitas tersebut f. Minta peserta merumuskan satu hal yang mengikat keragaman identitas peserta. Arahkan pada identitas kebangsaan yaitu Indonesia.
analisa-news-plus.com/2010/09/ke...atur-ed/ Langkah 2 Permainan Warung Pojok a. Bagi peserta menjadi lima kelompok, dengan pembagian sebagai berikut : - Kelompok 1 : Sila Ketuhanan Yang Maha Esa - Kelompok 2 : Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab - Kelompok 3 : Sila PErsatuan Indonesia - Kelompok 4: Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan - Kelompok 5 : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
14
b. Bagikan kertas dan spidol dengan warna berbeda untuk setiap kelompok. Mintalah setiap kelompok berdiskusi di setiap pojok ruangan dan minta mereka memilih satu orang sebagai penjaga warung. Penjaga warung bertugas menjaga dan menjelaskan point-point yang telah ditulis anggota kelompoknya atau kelompok lain yang mengunjunginya. c. Seluruh kelompok diminta menuliskan nilai-nilai pengamalan Sila-Sila Pancasila selama 5 menit di dalam kelompoknya, selanjutnya berpindah ke kelompok berikutnya searah jarum jam, sampai kembali ke kelompok awalnya. Kelompok yang berkunjung, dapat menambahkan, mencoret, mengkoreksi nilai-nilai pengamalan yang telah ditulis sebelumnya. d. Setelah selesai, mintalah penjaga warung pojok untuk membacakan dan menjelaskan proses yang terjadi. Lakukan klarifikasi untuk hal-hal yang bersifat kontradiktif dengan hak kebebasan beragama/keyakinan. e. Tutup materi dengan menekankan bahwa nilai-nilai pengamalan Pancasila merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat yang beragam suku, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
15
BAHAN BACAAN
PANCASILA1 Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945 Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu : 1. Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut. 2.
Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya: Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah : Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945 Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
1
Dari Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila, diakses terakhir 20 Desember 2010
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
16
Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tanggal 27 Desember 1949 Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara tanggal 15 Agustus 1950 Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
Hari Kesaktian Pancasila Pada tanggal 30 September 1965, adalah awal dari Gerakan 30 September (G30SPKI). Pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September[ [G30S-PKI] ] dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, memperingati bahwa dasar Indonesia, Pancasila, adalah sakti, tak tergantikan. Butir-butir pengamalan Pancasila Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 45 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Sila pertama
Bintang
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. 7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
17
Sila kedua
Rantai
Sila ketiga
Pohon Beringin
Sila keempat
Kepala Banteng
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. 3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. 4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. 5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. 6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. 8. Berani membela kebenaran dan keadilan. 9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. 10.Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain. 1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. 2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. 3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. 4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia. 5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. 7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa. 1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. 2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. 3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. 4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. 5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. 6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. 7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. 8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
18
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. 10.Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. . Sila kelima
Padi dan Kapas
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. 2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. 3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. 4. Menghormati hak orang lain. 5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. 6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain. 7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah. 8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. 9. Suka bekerja keras. 10.Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. 11.Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
19
HAK ASASI MANUSIA (HAM) Pengantar Pengertian dan pemahaman tentang hak asasi manusia sangatlah luas, terbuka dan akan terus berkembang sesuai dengan dinamika zaman. Konsepsi tentang hak asasi manusia ini pun tidak akan bisa terdefinisikan secara mutlak. Bahkan siapapun akan bisa mendefinisikan, mengartikan dan memahami hak asasi manusia dengan penafsirannya masing-masing, tidak terkecuali oleh mereka yang bermaksud untuk melawan dan ingin menyingkirkan HAM. Dan Instrumen HAM dapat digunakan sebagai alat advokasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mereka anut. Dalam session ini peserta diajak untuk memahami pengertianpengertian dasar tentang HAM yang meliputi definisi, prinsip-prinsip HAM dan pelanggaran HAM. Tujuan 1. Peserta memahami arti hak asasi manusia 2. Peserta memahami prinsip-prinsip hak asasi manusia 3. Peserta mengetahui instrument-intrumen HAM Internasional 4. Peseta memahami pengertian pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, Aktor pelanggar HAM dan relasi antara Negara dan warganegara dalam pelanggaran hukum/ HAM Topik 1. Pengertian HAM 2. Prinsip-prinsip HAM (universalitas, martabat manusia,kesetaraan,non diskriminsai,tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi, saling berkaitan dan bergantungan dan tanggungjawab negara) 3. Intrumen Pokok HAM Internasional 4. Pelanggaran (By Commision) dan Pembiaran (By Ommission) Metode Games Curah Pendapat Diskusi Kelompok Waktu 120 menit
Alat/Bahan Alat Tulis Lembar list instrumen internasional Bahan Bacaan HAM
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
20
PROSES FASILITASI 1. Langkah 1 Games Maju Mundur a. Fasilitator memberikan penjelasan singkat mengenai tujuan sesi. Tekankan jika dasar-dasar HAM bersumber pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. HAM tidak lain merupakan satu bentuk upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, sesungguhnya HAM dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, meskipun kita seringkali tidak menyadarinya. b. Ajak peserta melakukan permainan untuk merefleksikan berbagai permasalahan HAM dalam kontks kehidupan sehari-hari. c. Ajak 5-8 peserta untuk berdiri berbanjar (komposisi peserta terwakili), sementara yang lainnya mengamati d. Selanjutnya peserta yang berbaris berbanjar mengikuti intruksi yang diberikan fasilitator : - Jika Anda makan 3 kali dalam sehari silahkan maju 3 langkah, jika tidak diam di tempat - Jika Anda mempunyai KTP sesuai agama/keyakinan Anda, silahkan maju 2 langkah, jika tidak diam di tempat - Jika Anda pernah mengalami kekerasan mundur tiga langkah, jika tidak diam di tempat - Jika Anda memiliki rumah dan tanah atas nama anda sendiri, maju dua langkah; jika tidak diam di tempat - Jika Anda memiliki akta kelahiran maju tiga langkah, jika tidak diam di tempat - Jika orangtua anda mampu membiayai pendidikan sampai anda Sarjana maju dua langkah, jika tidak diam di tempat. - Jika Anda pernah mengalami diskriminasi mundur tiga langkah, jika tidak diam di tempat - Jika Anda mempunyai pendapatan yang cukup, maju tiga langkah, jika tidak diam di tempat - Jika Anda memiliki jaminan kesehatan maju dua langkah, jika tidak diam di tempat - Jika Anda pernah di stigma negative karena agama/keyakinan yang Anda anut, mundur 5 langkah, jika tidak diam di tempat e. Selanjutnya tanyakan kepada peserta hal-hal berikut : − Bagaimana perasaan peserta yang berdiri di belakang dan yang berada di depan ? − Alasan mengapa ada yang berada di depan dan ada di belakang − Menurut mereka adil dan manusiawi bahwa ada yang berada di belakang dan di depan ? − Mengapa ada situasi yang meminta peserta maju ke depan atau mundur ke belakang ? − Apakah yang dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak berada di depan ? Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
21
f. Simpulkan permainan dengan memberikan pengertian HAM sebagai : "Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”. (DUHAM) dan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM diartikan sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
2. Langkah 2 Ceramah Narasumber a. Peserta yang bertugas menjadi moderator dipersilahkan untuk memandu diskusi bersama narasumber b. Setelah pemberian materi selesai, mintalah komentar/klarifikasi dari 1-2 peserta. c. Tutup materi dengan menekankan pada prinsip-prinsip HAM, dan pelanggaran HAM. Tulis dan tempel kata-kata kunci dari pengertian HAM, Prinsip HAM, Kewajiban negara dan jenis-jenis pelanggaran HAM.
https://filipspagnoli.wordpress.com/
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
22
BAHAN BACAAN
HAK ASASI MANUSIA (HAM) Siti Aminah2 Martabat (dignity) adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia, yang menjadi inti utama dirumuskannya Deklarasi Universal Hak Asasi MAnusia (DUHAM). Dan pada dasarnya, seluruh intrumen HAM disusun dalam rangka melindungi, menghormati, dan/atau meninggikan martabat manusia. Pengertian dan pemahaman tentang hak asasi manusia sangatlah luas, terbuka dan akan terus berkembang sesuai dengan dinamika zaman. Konsepsi tentang hak asasi manusia ini pun tidak akan bisa terdefinisikan secara mutlak. Bahkan siapapun akan bisa mendefinisikan, mengartikan dan memahami hak asasi manusia dengan penafsirannya masing-masing, tidak terkecuali oleh mereka yang bermaksud untuk melawan dan ingin menyingkirkan HAM. Menurut sejarahnya HAM terbentuk dari rangkaian sejarah panjang umat manusia, dan akan terus berkembang seiring dinamika zaman dan peradaban manusia itu sendirinya. Awal pembuka kesadaran tentang konsep HAM adalah terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan penderitaan manusia. Pada mulanya yang menemukan dan meneriakkannya adalah korban-korban penindasan dan kesewenang-wenangan. Setelah ditemukan, tidak serta merta hak itu diakui. Dalam perkembangannya pengakuan HAM haruslah melalui berbagai tahap. Begitupun setelah diakui, masih harus melewati berbagai tahap untuk kemudian dikodifikasi. Kodifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Umum HAk Asasi Manusia (DUHAM). Begitupun dalam hal penegakkannya (dihormati, dipenuhi dan dilindungi). Dibutuhkan 10 tahun agar dua kovenan utama HAM (konvensi Hak Sipil dan Politik dan Konvenso Hak ekonomi, Sosial dan Budaya) bisa efektif berlaku. Secara legal formal, Indonesia sendiri telah membuat langkah-langkah konkret untuk upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Hingga 2009 Indonesia telah meratifikasi 2 Kovenan Induk dan empat konvensi HAM Utama. Selain itu dengan telah diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945, HAM juga telah menjadi hak yang konstitutional. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari kita dapat dengan mudah mendapati pelanggaran HAM, baik pelanggaran HAM biasa (ordinary) maupun pelanggaran HAM yang berat (extra-ordinar ), baik yang dilakukan negara (state) maupun pelaku lain (non state). Untuk issue sumber daya alam kita kerap mendapati pelanggaran HAM dalam bentuk pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat, tersingkirnya komunitas masyarakat adat dari ruang hidupnya diseluruh operasi pertambangan, industri kehutanan dan perkebunan skala besar, penggunaan 2
Dirangkum oleh Siti Aminah dari berbagai sumber, khususnya Modul Pelatihan HAM tingkat Dasar, Komnas HAM, bahan bacaan yang sama dimuat dalam Modul Pelatihan Paralegal untuk Penganut Agama dan Penghayat Kepercayaan, ILRC, Jakarta,2009
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
23
kekerasan dalam penyelsaian konflik sumber daya alam, pemiskinan penduduk, hilangnya hak ats kesehatan, kehilangan tempat tinggal atau kehilangan pekerjaan/penghasilan, maupun kehilangan hak untuk menjalankan nilai-nilai sosial dan budayanya. Maka dalam proses untuk mendapatkan haknya, korban-korban pelanggaran HAM dapat menggunakan mekanisme HAM Internasional dan Nasional sebagai alat perjuangan.
Pengertian HAM Secara sederhana hak-hak asasi manusia itulah adalah hak yang dimiliki oleh seseorang sekadar karena orang itu adalah manusia3; atau dengan bahasa lain dipahami sebagai hak-hak dasar yang melekat pada manusia. Konsep hak-hak asasi manusia mengakui bahwa setiap manusia berhak menikmati hak-hak asasinya tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan yang lain, asal usul nasional atau sosial, harta milik, status kelahiran atau status yang lain. Konsep hak Azazi Manusia sendiri lahir dari perlawanan terhadap kekuasaan yang absolut. Gagasan yang pada awalnya muncul dan ditujukan kepada kaum pria eropa yang kaya terhadap hak-hak istimewa raja-raja dan kaum bangsawan eropa, berkembang sedemikian rupa menjadi sebuah konsep yang meliputi dan melekat pada setiap umat manusia. Menjadi alat bagi siapapun dan golongan manapun untuk melakukan pembebasan atas setiap upaya marginalisasi, diskriminasi, dan penindasan kemanusiaan. Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia menyatakan "Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”. Sedangkan di Indonesia, yaitu dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM diartikan sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Berdasarkan beberapa rumusan HAM, hakikat HAM adalah: 1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, atau diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis. 2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agam, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa. 3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak ada yang bisa membatasi atau melangggar hak orang lain. Seseorang tetap mempunyai HAM walaupun negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM tersebut. Saat ini, HAM telah menjadi standar norma internasional untuk melindungi setiap manusia dari setiap tindakan; baik secara politik, hukum dan sosial yang melanggar hak seseorang. Acuan utama dalam HAM adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia. 3
George clack dkk; Hak Azazi manusia, Sebuah Pengantar, Jakarta 1988, hal 3 Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
24
Dalam deklarasi tersebut, terdapat 10 hak dasar dari setiap manusia yang wajib dijamin oleh setiap negara, yaitu: 1. Hak Untuk Hidup: hak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidup, hidup tentram, aman dan damai dan lingkungan hidup 2. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan: Hak untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah 3. Hak Mengembangkan kebutuhan dasar: hak untuk pemenuhan diri, hak pengembangan pribadi, hak atas manfaat iptek, dan hak atas komunikasi 4. Hak memperoleh keadilan: hak perlindungan hukum, hak keadilan dalam proses hukum, dan hak atas hukum yang adil 5. Hak atas kebebasan dari perbudakan: hak untuk bebas dari perbudakan pribadi, hak atas keutuhan pribadi, kebebasan memeluk agama dan keyakinan politik, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, dan status kewarganegaraan 6. Hak atas rasa aman: hak mencari suaka dan perlindungan diri pribadi 7. Hak atas kesejahteraan: hak milik, hak atas pekerjaan, hak untuk bertempat tinggal layak, jaminan sosial, dan perlindungan bagi kelompok rentan 8. Turut serta dalam pemerintahan: hak pilih dalam pemilihan umum dan hak untuk berpendapat 9. Hak perempuan: hak pengembangan pribadi dan persamaan dalam hukum dan hak perlindungan reproduksi 10.Hak anak: hak hidup untuk anak, status warga negara, hak anak yang rentan, hak pengembangan pribadi dan perlindungan hukum, dan hak jaminan sosial anak.
Prinsip-Prinsip HAM Untuk mempermudah mengenali dan memahami HAM, baik dalam praktik kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks yang lebih luas, maka dapat dirumuskan prinsip-prinsip HAM yang merupakan acuan untuk memperlakukan setiap umat manusia dimana pun mereka berada. Prinsip-Prinsip tersebut adalah : 1. Bersifat Universal (universality) Beberapa moral dan nilai-nilai etik tersebar di seluruh dunia. Negara dan masyarakat di seluruh dunia seharusnya memahmi dan menjungjung tinggi hal itu. Universalitas hak berarti bahwa hak tidak dapat berubah atau hak tidak dialami dengan cara yang sama oleh semua orang. HAM tidak lahir dari ruang kosong, namun lahir dari situasi dan kondisi tertentu. Dipengaruhi oleh budaya dan aspek-aspek sosial dalam masyarakat tertentu. Dalam konteks ini HAM bersifat universal pada aspek material (substansi persoalan) yaitu hak-hak yang diatur dalam Pasal 1 sampai 27 DUHAM. Namun bagaimanapun HAM diimplementasikan di tiap wilayah atau negara, bisa partikular sesuai dengan budaya, kontruksi sosial dan peraturan formal yang berlaku. Hanya saja, jika formal bertentangan dengan yang substansi, maka yang formal tersebut harus diubah. Karena tidak semua intrumen HAM nasional telah sesuai dengan instrumen HAM Internasional.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
25
2. Martabat Manusia (human dignity) Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan dimiliki setiap manusia di dunia. Prinsip-prinsip HAM ditemukan pada pikiran setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, jender, orientasi seksual, bahasa, kemampuan atau kelas sosial. Setiap manusia, oleh karenanya harus dihormati dan dihargai hak asasinya. Konsekuensinya semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarki. 3. Kesetaraan (equality) Konsep kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa “Setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya”. 4. Non Diskriminasi (non-discrimination) Non diskriminasi terintegrasi dalam prinsip kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya. 5. Tidak dapat dicabut (inalienability) Hak-hak individu tidak dapat direnggut, dilepaskan dan dipindahkan. 6. Tidak Bisa dibagi (indivisibility) HAM -baik hak sipil, politik, budaya dan ekonomi- semuanya bersifat inheren yaitu menyatu dalam harkat martabat manusia.Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi., hak tersebut merupakan modal dasar bagi setiap orang agar mereka bisa menikmati hak-hak lainnya seperti hak atas kesehatan atau hak atas pendidikan. 7. Saling berkaitan dan bergantung (interrelated and interdependence) Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya dalam situasi tertentu hak atas pendidikan atau hak atas informasi adalah hak yang saling bergantungan satu sama lain. Oleh karena itu, pelanggaran HAM saling bertalian; hilangnya satu hak akan mengurangi hak lainnya. 8. Tanggungjawab Negara (state rensponsibility) Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggungjawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam intrumen-intrumen HAM. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggungjawabnya, pihakpihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang kompeten atau adjudikator (penuntut) lain yang sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
26
Pelanggaran HAM
HUKUM HAM
PEMANGKU HAK
PEMANGKU KEWAJIBAN
INDIVIDU
NEGARA
MENGHORMATI
COMMISSION
MELINDUNGI
MEMENUHI
OMMISSION
Karena Negara adalah subyek yang bertanggung jawab terhadap perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM maka Negara dan aparaturnyalah yang apabila melalaikan kewajibannya disebut melanggar HAM. Pelalaian kewajiban tersebut termasuk dengan tidak bertindak untuk melindungi HAM. Dalam perkembangannya pihak korporasi bisa menjadi pelaku pelanggar HAM, karena korporasi dianggap sebagai pihak yang memiliki kuasa seperti halnya Negara. Karena kuasa dan kekuasaan tersebutlah maka baik Negara maupun korporasi dapat melakukan pelanggaran HAM Berkaitan dengan hal itu, Pasal 1 ayat 6 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku” Terdapat 2 (dua) jenis pelanggaran yaitu by commision dan by ommission. Pelanggaran by commission adalah ketika negara yang seharusnya tidak perlu melakukan apa-apa, justru turut campur untuk mengatur hak-hak yang semestinya dihormati. Misalkan hak untuk menunaikan ibadah/memeluk agama.Sedangkan pelanggaran by ommission adalah ketika negara melakukan pembiaran dan pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
27
Sedangkan menurut sifatnya pelanggaran HAM dapat diaktegorikan dengan pelanggaran HAM biasa (ordinary) dan Pelanggaran HAM Berat (Extra Ordinary). Yang membedakan terletak pada dampak yang diakibatkan oleh pelanggaran tersebut. Dampak dari pelanggaran HAM biasa boleh jadi “tidak disadari” oleh korban, bahkan mungkin pihak yang menjadi korban “tidak merasa” jika dirinya sebenaranya telah menjadi korban pelanggaran HAM. Sedangkan untuk pelanggaran HAM berat merupakan “kejahatan paling serius yang menjadi perhatiaan masyarakat internasional” sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma. Yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Dalam penjelasam pasal 104 ayat 1 UU 39/1999 yang dimaksud pelanggaran HAM berat adalah ‘pembunuhan massal (genosida), pembunuhan sewenangwenang atau diluar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. UU No.26/2000 pasal 7 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM Berat adalah ‘genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketentuan dalam UU No.26 tahun 2000 mengacu pada Statuta Roma.
Intrumen HAM Internasional Intrumen HAM Internasional tidak lain adalah perjanjian-perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia. Bentuk perjanjian itu bisa berupa deklarasi, konvenan, konvensi, piagam, resolusi atau protokol. Intrumen HAM internasional dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu pertama deklarasi yang diadopsi oleh badan-badan seperti Majelis Umum PBB yang bersifat tidak mengikat secara hukum, meskipun secara politis mungkin saja mengikat. Kedua, konvensi yang merupakan instrumen HAM yang mengikat secara hukum dan terangkum dalam hukum internasional. Perjanjian-perjanjian HAM dalam bentuk konvensi umumnya harus mendapatkan pengesahan atau diratifikasi atau diaksesi terlebih dahulu oleh negara (yang kemudian disebut negara pihak) sebelum berlaku di negara yang bersangkutan. Intrumen HAM Intersasinal dapat dibagi lebih jauh menjadi instrumen global, yang mana setiap negara di dunia dapat menjadi pihaknya, dan intrumen regional yang terbatas pada negara-negara di wilayah-wilayah tertentu di dunia. Intrumen-instruman internasional yang berkenaan dengan HAM ini jumlahnya cukup banyak. Tiga intrumen yang paling penting adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Konvensi Internasional tentang HAk Sipil dan Hak Politik. Ketiga intrumen itu kemudian dikenal sebagai The International Bill of Rights.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
28
Selain ketiga instrumen induk tersebut, ada pula beberapa instumen internasional berbentuk konvensi yang memiliki kedudukan penting. Konvensi-konvensi tersebut diantaranya : 1. Konvensi tentang pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genosida,1948) 2. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW- Convention on the elimination of Discrimination Against Women, 1979) 3. Konvensi Internasioanl tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD- Convention on the Elimination of Racial Discrimination – 1965) 4. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (CATConvention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or degrading treatment or punishment, 1984) 5. Konvensi International tentang Hak Anak (CRC-Convention on the Rights of Child,1989) 6. Konvensi Internasional tentang PErlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota keluarganya (CMW- International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Worker and Their Families, 1990) Selain itu, ada juga instrumen internasional berbentuk ketentuan, prinsip, atau pedoman yang bersifat seruan atau rekomendasi. Indonesia telah meratifikasi 7 konvensi utama, dan konsekuensi bagi Indonesia adalah: 1. Kewajiban negara Indonesia sebagai Negara Pihak untuk memajukan, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi sebagaimana tersebut dalam instrumen terkait, kecuali jika dilakukan reservasi (pensyaratan) atau deklarasi (pernyataan) khusus pada pasal-pasal tertentu. 2. Dimasukkannya instrumen internasional terkait ke dalam hukum nasional maka bisa digunakan dalam proses litigasi. 3. Melakukan pelaporan secara berkala (periodic report) sebagai bagian dari State Self-Reporting Mechanism yang disyaratkan oleh instrumen-instrumen internasional tersebut.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
29
TEORI-TEORI KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN Pengantar Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah suatu hak asasi manusia yang berlaku universal yang terkodifikasi dalam instrumen-instrumen HAM Internasional. Sejak permulaan era HAM, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak yang fundamental yang paling penting, senafas dengan kebebasan berpikir dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Karenanya hak-hak tersebut dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights), yang secara tegas dijamin baik dalam ketentuan nasional maupun internasional. Untuk memahami hak kebebasan beragama/berkeyakinan akan merujuk pada Komentar Umum No 22 (48) Komite Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan substansi normatif bagi pasal 18 ICCPR. Dan menjadikannya sebagai teori kebebasan beragama/berkeyakinan. Tujuan 1. Peserta mengetahui teori dan sejarah kebebasan beragama/berkeyakinan 2. Peserta memahami forum internum dan forum eksternum 3. Peserta memahami pembatasan yang diijinkan dalam KBB Topik 1. Sejarah KBB 2. Teori KBB 3. Forum Internum 4. Forum Eksternum 5. Pembatasan yang diijinkan dalam KBB
Metode Curah Pendapat (20’) Ceramah Narasumber (100’) Waktu 120 menit Alat/Bahan Alat Tulis Film dengan tema kebebasan beragama/toleransi Bahan Bacaan : Kebebasan Beragama di Indonesia: Tuntutan normatif, matra teoritis, dan praktek empiris Kebebasan Beragama
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
30
PROSES FASILITASI Langkah 1 Menonton film “In the Name of God” a. Fasilitator menjelaskan tujuan sessi, dan tujuan pemutaran film sebagai pengantar untuk memahami permasalahan kebebasan beragama/berkeyakinan. b. Setelah selesai menonton film, mintalah komentar dari 2-3 peserta terkait pesan yang disampaikan dalam film tersebut.
Langkah 2 Identifikasi istilah dalam Kebebasan Beragama/Keyakinan a. Minta peserta menuliskan satu kata kunci terkait dengan hak kebebasan beragama. (mis : forum internum, agama, ateis, pluralisme, intoleransi dll) b. Kumpulkan dan tempelkan kata yang sama dan minta 1-2 peserta untuk menjelaskan artinya. c. Tutup pengantar dengan menyatakan bahwa setiap kata memiliki makna dan minta peserta untuk mendialogkannya dengan narasumber
Langkah 3 Ceramah Narasumber a. Peserta yang bertugas menjadi moderator dipersilahkan untuk memandu diskusi bersama narasumber b. Setelah pemberian materi selesai, mintalah komentar/klarifikasi dari 1-2 peserta. c. Catat point-point penting dari pemaparan narasumber dan tempel di area pelatihan. Tutup materi dengan menekankan pada delapan elemen dasar hak kebebasan beragama/keyakinan, yaitu : − Kebebasan Internal (Forum Internum); Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan setiap orang untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. − Kebebasan Eksternal (Forum Eksternum). Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum (publik) atau wilayah pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengamalan, ibadah dan penataannya. − Tidak ada Paksaan (Non Coersion). Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. − Tidak Diskriminatif (Non Discrimination). Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada di dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakian, politik atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asaluslunya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
31
−
−
−
−
Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkebang. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah kebebasan untuk berorganisasi atau berserikat. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama/berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. Pembatasan yang diijinkan. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan ditujukan untuk kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. Tidak Dapat Dikurangi (Non-Derogability). Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
http://helid.digicollection.org/
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
32
BAHAN BACAAN
Kebebasan Beragama di Indonesia: Tuntutan Normatif, Matra Teoritis, dan Praktek Empiris4 [M.M. Billah]5
Ancangan Dekan FH UKSW mengundang saya untuk berbicara tentang ‘Praktek Kebebasan Beragama di Indonesia’ tanpa memberikan arahan rinci pokok-pokok yang perlu dibahas.6 Oleh karena itu saya memperoleh kebebasan untuk menafsirkan dan mengembangkan pokok pembahasan, dengan risiko bahwa pembahasan topik ini dapat tidak pas benar dengan apa yang diharapkan. Saya akan menelaah tiga segi yang saya anggap penting – sebagaimana yang saya cantumkan menjadi sub-judul makalah ini --, yakni: (i) tuntutan normatif atas kebebasan beragama, terutama dari perspektif hak asasi manusia (perspektif ini saya ambil semata karena tugas dan kepedulian saya saat ini); (ii) matra teoritis, dari segi disiplin yang menjadi latar belakang studi saya; dan (iii) praktek empiris, yang tidak selalu selaras dengan tuntutan normatif dan juga acuan teoritis. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: ‘All human being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood,’ dan Pasal 3 (1) UU No. 39/1999 mengemukakan bahwa: ‘Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan’.7 Itulah tuntutan dan ketentuan normatif hukum hak asasi manusia internasional dan hukum positif Indonesia. Pandangan normatif dari perspektif hak asasi manusia itu ternyata tidak selalu sejalan dengan pandangan teoritis dan praktik empiris, di mana setiap orang dianggap berada dan hidup di dalam suatu masyarakat yang memiliki peradaban dan kebudayaan tertentu yang berbeda dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain. Kebudayaan dipandang bukan hanya menyediakan peluang akan tetapi sekaligus juga batas4
Pokok-pokok pikiran yang dipersiapkan untuk dan disajikan pada pembicaraan tentang ‘Praktek Kebebasan Beragama di Indonesia’ yang diselenggarakan oleh Centre of Alternative Dispute Resolution UKSW (kerja sama antara UKSW dan Arizona State University) di Balairung Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga pada tanggal 4 Januari 2006. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada J. Danny Zacharias, SH.MA., Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana / Ketua CADRe, yang memberikan kesempatan dan kehormatan kepada saya untuk terlibat di dalam kegiatan ini. 5
Komisioner Hak Politik Komnas HAM RI, sebelumnya Ketua Sub Komisi Pemantauan.
6
Lihat surat Dekan FH UKSW No. 12/CADRe/XII/2005 tertanggal 1 Desember 2005.
Rumusan UU No. 39/1999 ini menyertakan istilah ‘bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara’ yang kalau dilisankan berada dalam satu tarikan nafas tampaknya mewakili pandangan yang ‘menyatukan’ antara bangsa dan negara seolah-olah keduanya tidak bisa dipilah dan dipisahkan di dalam praktik hidup sesehari.
7
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
33
batas yang melingkupi, mengatur, membatasi kelakuan dan tindakan anggotanya, - yang sampai derajat tertentu memiliki kebebasan bertindak-- untuk menjamin keberlanjutan dan tatanan kehidupan bersama. Setiap anggota masyarakat (komunitas) mengalami proses sosialisasi seraya membatinkan (internalisasi) nilainilai yang terdapat di dalam masyarakat di mana ia menjadi salah satu anggotanya. Akan tetapi setiap individu di dalam masyarakat dapat saja bukan hanya membatinkan nilai-nilai yang berlaku, melainkan juga bisa menolaknya (setidaknya sebagian dari nilai-nilai yang disediakan oleh kebudayaan) dan menggantikannya dengan nilai-nilai lain yang dilihat dan dipelajarinya dari kelompok-kelompok eksternal atau dari luar masyarakatnya sendiri. Berkenaan dengan hubungan antara masyarakat dan individu ini terdapat empat model (pandangan), yakni: (i) model Weberian, yang berpendapat bahwa masyarakat dilihat sebagai hasil dari kelakuan sukarela (voluntary) manusia yang mempunyai maksud (intentional) dan bermakna (meaningful); (ii) model Durkheimian, yang melihat masyarakat sebagai yang memiliki kehidupannya sendiri, yang bersifat eksternal dan memaksa individu anggotya-anggotanya; dan (iii) model Bergerian, yang menyatakan bahwa masyarakat membentuk individu yang menciptakan masyarakat, dengan kata lain masyarakat menghasilkan individu yang meproduksikan masyarakat di dalam dialektika yang berkesinambungan; serta (iv) individu tidak menciptakan masyarakat, melainkan masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan struktur, praktik dan kebiasaan yang direproduksi atau ditransformasi oleh individu, yang tidak akan ada tanpa reproduksi dari individu; pendek kata masyarakat tidak berada secara independen dari kegiatan manusia, akan tetapi juga bukan sekedar hasil dari kegiatan manusia [Bhaskar, 1989:31-7].
Kebebasan Beragama: Tuntutan Normatif Kata kunci dalam pokok bahasan ini adalah ‘kebebasan beragama’. Makna kata kunci itu perlu saya kemukakan secara singkat dengan takrif8 (batasan/definisi). Takrif saya anggap menjadi penting dikemukakan9 untuk menghindari tafsiran yang Takrif (definisi/batasan) memiliki berbagai pengertian leksikal, akan tetapi secara singkat dapat dikatakan bahwa takrif adalah rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau kajian [lihat: Victoria Neufeldt and David B. Guralnik, Webster's New World Dictionary of American English, Cleveland & New York, Webster's New World, 1988, p. 362; AS Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, London & Tokyo, Oxford University Press, 1974, p. 228; Hugo F. Reading, Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial), Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1986, p. 107; Lukman Ali (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, p. 993.]. 8
Arti penting takrif ini, disamping untuk menghindari kekacauan yang bisa saja terjadi, juga ditunjukkan di dalam sosiologi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh paradigma di dalamnya yang disebut sebagai paradigma 'definisi situasi' [lihat: Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston, Allyn and Bacon, 1975a; juga Ritzer, 'Sociology: A Multiple Paradigm Science, American Sociologist 10: 156-167]. 'Definisi situasi' adalah proses sosial-psikologikal di mana seorang individu menguji dan mengevaluasi sebuah situasi sebelum menentukan sikap dan kelakukan apa yang pas (appropriate). Cara seorang individu menafsirkan sebuah obyek terberi atau rangkaian keadaan dan makna yang dimilikinya baginya adalah sebagian besar ditentukan oleh kebudayaannya, khususnya nilai-nilai dan kaidah sosial [George A. Theodorson and Achilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1969, pp. 104-5]. Pentingnya perspektif subyektif dari pelaku sosial bagi akibat obyektif dari interaksi sosial seringkali diringkas di dalam sosiologi dengan pemikiran atas 'definisi situasi'. Istilah itu pertama kali digunakan oleh W.I. Thomas dan Florian Znaniecki di dalam The Polish Peasant in Europe and America (Vol. I, University of Chicago Press, Chicago, 1918). Thomas menspesifikasikannya di dalam suatu aphorisme yang terkenal – 'if men define situations as real, they are real in their consequences'. Satu implikasi dari pandangan sosiologis ini adalah bahwa, bagi sosiologi, kebenaran atau kesalahan dari keyakinan ('definisi situasi') bukanlah isu yang penting; apa yang Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar 34 Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa 9
berbeda dengan apa yang saya maksudkan guna mencegah kekacauan yang tidak perlu terjadi. 'Kebebasan' atau kemerdekaan10 adalah nilai utama dalam kehidupan politik sekalipun tidak selamanya Eropa yang senantiasa diagung-agungkan11 dipraktekkan. Arti penting kebebasan ini dapat dilihat pada ketentuan yang mengatur hak-hak orang merdeka dan budak, di mana setiap orang yang tidak memiliki kebebasan, praktis tidak memiliki tempat di mata hukum. Prinsip ini pula yang digunakan sebagai ukuran Eropa untuk menilai masyarakat sipil di wilayah lain terutama Asia, dan dari hal itulah sering terjadi pertentangan [Minogue, 1989]. Di belakang konsep 'kebebasan' (kemampuan untuk bertindak) itu terdapat gagasan tentang 'kebebasan kehendak' ('free-will'), yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan memilih dalam menentukan tindakannya dan bahwa kelakuannya tidaklah ditentukan sebelumnya secara keseluruhan oleh faktor yang melampaui kendalinya.12 Akan tetapi orang (pelaku penting adalah hasil (outcome) dari interaksi sosial. Jadi, jika suatu kelompok minoritas tertentu dianggap sebagai 'suatu ancaman bagi masyarakat', maka akan ada akibat obyektif yang utama – pemakzulan, intimidasi, pengusiran -- bahkan jika kelompok minoritas bukanlah satu ancaman nyata pada tatanan (ketertiban) sosial. Pendekatan pada apa yang oleh Thomas disebut 'analisis situasional' ini telah memiliki pengaruh pada kajian-kajian berikutnya dari kondisi bagi interaksi yang mantap dan pengambilan-peran (role-taking) di dalam interaksionisme simbolik dan ethnometodologi [McHugh, P., Defining the Situation: The organization of meaning in social interaction, Indianapolis, Bobbs-Merril, 1968.]. Di kalangan penduduk Yunani kuno konsep elutheria hanya dimiliki oleh pria dewasa sehingga hanya mereka pula yang memiliki tempat dalam kehidupan publik atau agora. Bagi bangsa Romawi kuno kebebasan dijelmakan sebagai konsepsi libertas yang menjadi kunci status atau martabat seseorang. Aturan tentang kebebasan atau kemerdekaan bangsa Romawi kuno tersebut dinyatakan dalam konstitusi mereka yang juga dijadikan sumber motivasi selama berabad-abad dalam menaklukkan bangsa lain. Ketika para tokoh humanis sipil di Italia pada abad pertengahan mulai memunculkan ide republik, Julius Caesar tampil sebagai tokoh utama dalam membela konsepsi kebebasan kuno yang menempatkan bangsa Romawi sebagai penguasa [lihat: Adam Kuper and Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia, London & New York, Routledge & Keagan Paul, 1989, pp.314-5]. 10
Pada awal zaman modern di Eropa, konsepsi kebebasan menjadi pokok pertentangan antara lembaga-lembaga monarki dan tradisi republik yang mulai muncul di masa itu. Masing-masing pihak memiliki penafsiran sendiri tentang makna kebebasan. Bagi mereka yang mendukung monarki, kebebasan hanya berlaku dalam kehidupan pribadi namun tidak dalam kehidupan publik. Sementara itu bagi para ilmuwan politik seperti Thomas Hobbes, kebebasan adalah mutlak, roh hukum, dan harus dimiliki oleh setiap individu. Dari pemikiran ini berkembanglah paham individualisme yang menyatakan bahwa setiap individu berhak mengejar kepentingannya sendiri. Kalangan yang mendukung ide-ide republik mengutamakan aspek moral kebebasan yang mereka artikan sebagai peluang bagi siapa saja untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Tokoh-tokohnya banyak bermunculan di Perancis khususnya setelah terjadinya revolusi. Sejak zaman Montesquieu para ilmuwan menilai kebebasan modern sebagai individualisme yang agak berbeda dengan kebebasan sipil yang diagungkan pada masa-masa sebelumnya. Namun gagasan perlunya partisipasi bagi semua pihak tidak pernah terlepas dari pemikiran politik Eropa sejak saat itu [Kuper & Kuper,1989:314-5].
11
Ilmu-ilmu sosial pada umumnya melihat kelakuan manusia dengan pendekatan deterministik dalam arti bahwa di dalam kelakuan itu disebabkan oleh faktor-faktor budaya, sosial, psikologikal, dan fisiologikal, yang biasanya dianggap melampaui pengendalian individual. Pandangan ini seringkali dianut sebagai suatu sangkalan atas kemungkinan dari kemauan bebas. Lebih lanjut, kebudayaan secara partikular seringkali dilihat terutama sebagai bersifat membatasi kebebasan individual, membatasi kebebasannya untuk bertindak lewat kaidah sosial, nilai-nilai, sanksi, harapan peran, dsb. Tetapi, kebudayaan dikenal dapat menyediakan kebebasan kepada orang dan juga pembatasan. Selain itu ilmu-ilmu sosial memberikan ruangan bagi satu konsepsi yang termodifikasi dari kehendak bebas. Kebudayaan menyediakan konsepsi kebebasan yang awal kepada orang, oleh karena tanpa kebudayaan orang tidak memiliki pemikiran atau aspirasi. Kebudayaan juga menyediakan pilihanModul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar 35 Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa 12
tindakan sosial), menurut ilmu-ilmu sosial tidak berada di dalam suatu ruang hampa, melainkan berada di dalam suatu struktur kebudayaan, dan bahkan ia merupakan suatu produk dari suatu rangkaian fisiologikal, psikologikal, sosial, dan budaya yang rumit. Individu adalah suatu entitas yang unik yang berhadapan dengan berbagai pilihan yang beragam, dan yang secara partial di bawah kendalinya. Pendek kata struktur di luar individu itu dianggap memberikan kebebasan dan sekaligus batas-batas di mana tindakan ditentukan dan dilaksanakan, lewat kaidah sosial, nilai-nilai, sanksi, harapan peran, dan sebagainya. Salah satu arti leksikal dari 'kebebasan'13 adalah satu kemampuan untuk bertindak, bergerak, dan untuk menggunakan, tanpa hambatan atau penolakan [Neufeldt & Guralnik, 1974:349]. Dalam kamus filsafat, 'kebebasan ditakrifkan sebagai 'kualitas tidak adanya rintangan nasib, keharusan, atau keadaan di dalam keputusan atau tindakan seseorang.'14 Di balik takrif yang disebut belakangan ini terkandung berbagai pengertian tentang 'kebebasan,'15 selain berbagai jenis kebebasan, yaitu: (i) kebebasan fisik;16 (ii) kebebasan moral;17 (iii) kebebasan pilihan kepada orang. Orang (individu), karena sifatnya yang luwes dan kekayaan ragam dari setiap kebudayaan, memiliki lorong pilihan tindakan yang terbuka baginya. Sebagai tambahan, kehidupan budaya, sosial, dan psikologikal adalah amat rumit sehingga kekakuan dan stabilitas kaidah sosial, dan satu jenis struktur kepribadian tertentu dapat membuat tindakan manusia tidak otomatis dan sederhana. Setiap kombinasi pengalaman kehidupan tertentu individu adalah unik. Pada satu titik waktu, diri (self) individu berada sebagai satu satuan dengan kekuasaan bertindak sesuai dengan kehendak dan hasrat pribadi. Individu, selain sebagai produk dari satu rangkaian anasir fisiologikal, psikologikal, sosial, dan budaya yang rumit, juga berada sebagai entitas yang unik yang berhadapan dengan satu pilihan atas beragam tindakan. Jadi kemauan bebas dari satu titik pandang sosiologis bisa jadi dilihat sebagai kemungkinan untuk menyesuaikan pada motivasi dalam (inner motivation) daripada tekanan eksternal yang segera dihadapi di dalam memilih antara beragam pilihan yang disediakan oleh kebudayaan. Semua masyarakat dan kelompok beranggapan bahwa kelakuan individual adalah paling tidak secara partial di bawah kendalinya. Tanpa anggapan atas kehendak bebas di dalam harapan sosial kita, kehidupan sosial barangkali akan menjadi tidak mungkin. Kehidupan sosial menuntut keaslian (originalitas) dan individualitas, juga prediktabilitas dan konformitas [Theodorson & Theodorson, 1969: 161-2]. Pada umumnya 'kebebasan' (Inggris: freedom) diberi arti leksikal sebagai 'kondisi dari keadaan bebas'. Dalam bahasa Inggris kata ini memiliki padanan 'liberty, independence' yang seringkali digunakan silih-berganti (interchangable) [lebih jauh lihat: Neufeldt and Guralnik, 1988; Hornby, 1974;. Reading, 1986; Ali (ed.), 1996].
13
14
Lihat: Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, pp. 406-412.
Terdapat setidaknya lima pengertian, yaitu: (i) Kebebasan pada umumnya adalah keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, sejauh kebebasan disatukan dengan kemampuan internal definitif dari penentuan-diri. (ii) Penentuan-diri sendiri, pengendalian diri, pengaturan diri, pengarahan diri. (iii) Kemampuan dari seorang pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan kemauan dan pilihannya. Mampu bertindak sesuai dengan apa yang disukai, atau menjadi penyebab dari tindakan-tindakan sendiri. (iv) Didorong dan diarahkan oleh motif, ideal, keinginan, dan dorongan yang dapat diterima sebagaimana dilawankan dengan paksaan, atau rintangan (kendala) eksternal atau internal. (v) Kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu [Bagus, 2000:406].
15
Makhluk-makhluk yang berjuang secara sadar (manusia dan binatang) dan bahkan tumbuh-tumbuhan, meskipun dalam derajat yang lebih rendah, menikmati kebebasan fisik sejauh rintangan-rintangan eksternal, yang bersifat fisik atau material tidak menghalangi makhluk-makhluk tersebut [Bagus, 2000:406].
16
Kebebasan moral a) dalam arti luas tercapai karena kemampuan untuk menentukan sendiri sesuatu tanpa dihambat oleh sebab-sebab luar (misalnya, ancaman-ancaman) yang bertindak secara batin (interior) pada pikiran (dengan jalan
17
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
36
psikologis;18 (iv) kebebasan intelejibel.19 Berkenaan dengan obyek (dari kebebasan) dikenal pula tiga kebebasan, yakni: (i) kebebasan hati nurani, yang mengikuti suara hati sendiri tanpa hambatan; (ii) kebebasan beragama (yang merupakan bagian dari kebebasan hati nurani) dan kebebasan akademis (yang merupakan kemungkinan dalam bidang penelitian dan ajaran untuk hanya taat kepada kebenaran dan kepastian yang diketahui); dan (iii) kebebasan untuk mengungkapkan pendapat sendiri di depan umum (kebebasan berbicara, kebebasan pers) [Bagus, 2000:407-8]. Takrif tersebut di atas kurang lebih sama dengan takrif dalam perspektif HAM, yang menyatakan 'kebebasan' sebagai 'kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala (hambatan); kekuasaan untuk memilih tindakan seseorang vis-a-vis negara', yang seringkali dilihat di dalam arti 'kebebasan dasar' ('fundamental freedom'),20 yang menunjukkan suatu kebebasan yang sangat dibutuhkan secara mutlak bagi pemeliharaan dan perlindungan atas martabat manusia di dalam masyarakat yang terorganisasikan sebagai satu jenis perlindungan paling minimum yang dapat diterima [Conde 1999:47]. Oleh karenanya dikenal 'Empat Kebebasan'21 ('Four Freedom'), sebagaimana yang imaginasi). Kebebasan moral b) dalam arti sempit tercapai karena kemampuan untuk memutuskan sendiri sesuatu tanpa berpapasan dengan kewajiban yang bertentangan (misalnya, pergi ke bioskop) [Bagus,2000:406]. Kebebasan psikologis tidak mengecualikan tetapi sesungguhnya mengandaikan pembatasan-pembatasn psikis dan kewajiban-kewajiban moral. Kebebasan jenis ini tercapai karena kemampuan untuk menentukan sendiri sesuatu tanpa tekanantekanan psikis manapun juga, yang mendahului keputusan, yang akan memaksa secara jelas kehendak dalam satu jurusan yang sudah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan psikologis tercapai karena kemampuan 'untuk memilih sebagaimana seseorang inginkan'. Tanpa keunggulan tertentu dari yang batiniah atas yang lahiriah, yang tidak ada dalam dunia inorganis, seseorang tidak pantas menyebut 'kebebasan' [Bagus,2000:406]. 18
Menurut Kant, kebebasan intelejibel (yang dapat dimengerti) tercapai karena fakta bahwa kehendak, yang tidak tergantung pada pengaruh semua dorongan indera, ditentukan oleh akal-budi murni belaka. Sejauh ditentukan oleh akal-budi murni sendiri, kehendak menaati kategori imperatif dan karenanya secara niscaya merupakan kehendak moral. Dalam dunia yang tampak kehendak mampu menjadi efektif (inilah satu-satunya postulat akal-budi praktis), karena kausalitasnya yang dapat dimengertti seakan-akan berdiri di dalam hubungan diagonal dengan serangkaian penampakan kausal yang niscaya. Kant dianggap gagal melihat bahwa akal-budi yang seimbang, meskipun selalu condong kepada nilai-nilai moral, tidak secara niscaya menentukan bahwa nilai-nilai moral ini akan direalisir dengan satu cara saja. Dia dianggap tidak berhasil melihat bahwa nilai obyektif keinginan-keinginan sensual tidak meniscayakan akal-budi. Kecocokan (compatibilty) kausalitas yang intelejibel dan empiris hanya mungkin bila kausalitas empiris tidak niscaya secara mutlak [Bagus, 2000:406].
19
Groome memilah 'kebebasan dasar' ke dalam: (1) hak-hak dan perlindungan pribadi; dan (2) hak-hak dan perlindungan di dalam sistem kejahatan dan keadilan. Di dalam hak dan perlindungan pribadi termasuk: (i) kebebasan beragama; (ii) kebebasan berpikir; (iii) kebebasan berekspresi; (iv) kebebasan pers; (v) kebebasan berserikat; (vi) kebebasan bergerak; (vii) hak untuk kehidupan pribadi; (viii) hak untuk berkumpul; (ix) hak untuk berserikat; (x) hak atas pendidikan; (xi) hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kebebasan berpikir dan kebebasan beragama termasuk hak yang 'non-derogable' [Dermot Groome, The Handbook of Human Rights Investigation, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001. p.6]. 20
'Empat Kebebasan' ini mengacu ke pidato yang bersejarah Franklin Delano Roosevelt pada Januari 1941, di mana ia menyatakan bahwa eksistensi dari perdamaian dunia dikaitkan dengan empat kebebasan yang esensial. Kebebasan ini termasuk 'freedom of expression; freedom of worship; freedom from want (dalam hal ini adalah kepastian atau keamanan ekonomi); freedom from fear (pengurangan persenjataan). Pidato ini kemudian menjadi satu dokumen kunci di dalam upaya membentuk PBB dan memberikan perlindungan dan pemajuaan HAM. Pidato itu diberikan sebelum AS terlibat dalam Perang Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar 37 Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa 21
dikenalkan oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan ekspresi, kebebasan beribadah, kebebasan untuk berkeinginan, dan kebebasan dari rasa takut. Seyyed Hossein Nasr, seorang sufi dan ilmuwan Iran, sebagaimana dikutip Reinders [1995],22 membedakan antara ‘kebebasan (untuk) menjadi’ (‘freedom to be’), yang ditandai oleh pengalaman ‘keberadaan-diri yang asali’ berkaitan dengan mistikisme yang kepedulian utamanya adalah kebebasan-pribadi – bukannya kebebasan politis ---, dan ‘kebebasan (untuk) bertindak’ (‘freedom to act’) yang ada di dalam batas-batas yang dipaksakan oleh realitas eksternal kepada manusia [Reinders, 1995].23 ‘Kebebasan pribadi’ adalah kebebasan mutlak (‘absolute or infinite freedom’), yang terdapat di dalam kehidupan spiritual, yang juga disebut sebagai ‘kebebasan moral’ (kebebasan menentukan sendiri tanpa hambatan sebabsebab eksternal), atau kebebasan batin pada pikiran dan imaginasi. Kebebasan ini menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai ‘forum internum’ [Nowak & Vospernik, 2004:147], yakni ranah internal di mana kebebasan berpikir, berkesadaran, dan bergama atau berkeyakinan dipandang mutlak. Dalam pandangan Nasr, uji-terpenting bagi Islam adalah: apakah Islam akan mampu memelihara jalan ke arah kebebasan asali yang mutlak.24 Dalam hal ini ia melihat bahwa masyarakat Islam telah amat berhasil, karena mampu memelihara jalan spiritual (melalui praktik mistik) untuk mencapai kebebasan itu ‘ditengah semua
Dunia II [H. Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999, p. 47]. Lihat: Reinders, Johannes S., Human Rights from the Perspective Of a Narrow Conception of Religious Morality, dalam Abdullahi A. An-Naim et.al., Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam & Michigan, Edition Rodopi & William B. Eerdmans Publishing Company, 1995:7-9. 22
Reinders mengemukakan pandangan Nasr ini untuk menjelaskan tafsiran Islam atas kebebasan manusia. Akan tetapi Nasr dianggap tidak melihat kritik yang luas atas kurangnya kebebasan individual di dalam masyarakat Islam seraya tidak terdorong mendukung reformasi hukum di dalam Islam. Di dalam pandangan fisolofis Nasr, model normatif bagi masyarakat Islam terletak pada ‘Abad Keemasan’ Islam, sehingga sejarah adalah upaya yang sedang berlangsung untuk kembali pada kesadaran, kekuatan, dan kejayaan dari keadaan di masa lalu itu. Pada masa nabi yang berakhir hingga keempat khalifah sesudah nabi wafat, keadilan yang Islami mencapai bentuknya yang asli. Pada masa-masa pemerintahan dinasti-dinasti berikutnya hanyalah terjadi pembusukan keadilan dari yang telah terjadi pada Abad Keemasan [lihat: Nasr, S.H., ‘The Concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic Civilization,’ dalam A.S. Rosenbaum (ed.), The Philosophy of Human Rights – International Perspective, Westport, Connecticut, Greenword Press, 1980: 85-101]. Dengan demikian Nasr memberikan suatu pandangan yang lebih bersifat retrospektif daripada yang ideal prospektif. Konsepsi retrospektif atas sejarah ini dikritik oleh Fouad Zakaria, seorang profesor pada Universitas Kuwait, sebagai tafsiran konservatif atas hak asasi manusia dalam Islam, karena sejarah dianggap sebagai sejarah yang menurun. Hasilnya adalah suatu pemahaman hak asasi manusia di dalam konservatisme Islam yang bersifat ‘statis’ dalam arti bahwa hal itu diturunkan dari yang ‘kuno’ dan yang ‘suci secara asali’ dari sumber-sumber hukum Islam yang klasik [lihat: Zakaria, F., ‘Human Rights in the Arab World: The Islamic Content,’ dalam P. Ricour (ed.), Philosophical Foundation of Human Rights, Paris, UNESCO,1986:227-41]. 23
Pandangan Nasr ini ditentang oleh Fouad Zakaria, seorang profesor filsafat di Universitas Kuwait. Zakaria berpendapat bahwa pandangan Nasr bersifat konsepsi retrospektif atas sejarah yang melihat tafsiran konservatif atas hak asasi manusia dalam Islam. Sejarah dipandang Nasr sebagai sejarah yang menurun jika dibandingkan dengan ‘Abad Emas’ Islam. Akibatnya pemahaman hak asasi manusia dalam konservatifme Islam bersifat amat ‘statis’, yaitu sejarah yang menurun jika dilihat dari ‘asal-muasal yang kuno’ atau ‘suci’ bagi sumber hukum Islam. Oleh karena itu tidak ada ruang bagi penerimaan atas perubahan keadaan dan penghargaan perubahan hak-hak di dalam masyarakat [Zakaria, 1986]. 24
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
38
hambatan yang semakin gelap atas sifat luar manusia yang melingkupi lorong spiritual yang asali’ [Nasr, 1980:101].25 Agama adalah gejala sosial (dan juga gejala psikologikal)26 karena agama menekanan umat ketika pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang agama dikembangan, diajarkan, dan dilestarikan. Agama memberi perhatian pada kondisi yang amat sulit semua orang di sepanjang waktu, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau status di dalam masyarakat. Konsep tentang supra-natural atau lorong keselamatan dapat mengikat orang pada nilai-nilai kesucian yang ditentukan dan pada kelompok sosial, atau bisa juga menawarkan kebijakan dan teknik yang dapat dipergunakan orang untuk membebaskan dirinya dari kelompok-kelompok dan nilai-nilai kontemporer – agama dapat memberinya kebebasan untuk mencapai nilai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Jadi agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial [Theodorson & Theodorson, 1970:344]. Para ilmuwan sosial merasa perlu mencoba merumuskan berbagai takrif tentang agama, misalnya salah satu rumusan yang menyatakan bahwa agama adalah kepercayaan pada kekuatan-kekuatan supra-natural (lihat Goody, 1961) [Kuper & Kuper, 1989:698-701].27 Dengan demikian agama dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan, praktik, dan nilai-nilai filosofis yang berkepedulian dengan ketentuan-ketentuan dari yang suci, pemahaman hidup, dan penyelamatan dari masalah keberadaan manusia [Theodorson & Theodorson, 1970:344]. Di dalam sosiologi, ada dua pendekatan pada takrif tentang agama. Pertama, adalah takrif agama dalam fungsi sosialnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Durkheim (1912), bahwa agama adalah sebuah sistem keyakinan dan upacara (rituals) dengan mengacu kepada yang suci yang mengikat orang bersama ke dalam kelompok sosial.28 Pendekatan kedua, menakrifkan agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia – kelahiran, kesakitan atau kematian – yang membuat dunia bermakna, sebagaimana pendapat
Nasr, S.H., ‘The Concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic Civilization,’ dalam A.S. Rosenbaum (ed.), The Philosophy oh Human Rights – International Perspective, Westport, Connecticut, Greenwood Press, 1980.
25
Dari sudut pandang psikologis agama ditakrifkan sebagai ‘segala perasaan, tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai yang ilahi’ [William James, Perjumpaan dengan Tuhan, raga, Pengalaman Religius Manusia, Jakarta,2004:23; dikutip dari makalah Andreas A. Yewangoe, Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP, Yogyakarta 13 Desember 2004. 26
Persoalan definisi jenis ini terletak pada kesulitan membedakan antara pengetahuan ‘natural’ dan ‘supra-natural’. Sebagai contoh, keyakinan bahwa seseorang harus menghormati ayah dan ibunya bisa disebut sebagai kepercayaan natural atau supra-natural? Karena hal ini mengacu kepada makhluk empiris, mengapa tidak bisa dijustifikasi berdasarkan pertimbangan praktik murni?
27
Dalam arti ini, beberapa ahli sosiologi telah memperluas pemikiran tentang agama seraya memasukkan nasionalisme. Perspektif mutakhir ini dikritik karena amat inklusif, karena hampir setiap kegiatan publik – sepak bola, misalnya – bisa memiliki akibat integratif bagi kelompok sosial. 28
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
39
Max Weber dan ahli teologi Paul Tillich [Abercrombie et.al., 1970:207].29 Marx memasukkan agama ke dalam ideologi yang lebih luas, yang juga mencakup ideide seperti ‘sisi kebaikan’ (rightness) dari persaingan dalam sistem kapitalis [Marx dan Engels 1939 (1845-6); Bloch, 1989]. Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia dan pemerintah Indonesia menyatakan pengertian sendiri tentang agama. Agama diperlakukan sebagai sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budhisme [cf. Sitompul, 2005]. Pendekatan sosiologis dan praktik empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang berbeda, karena misalnya agama-agama lokal yang dipraktikkan dan banyak pula pemeluknya di Indonesia -- yang dalam pendekatan sosilogis termasuk dalam kategori agama – tidak diakui sebagai agama, dan oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakukan yang bersifat diskriminatif, terutama dari negara.30 Dokumen hak asasi manusia tidak memberikan takrif terhadap kosakata ‘agama’, karena disamping pemikiran tentang ‘agama’ sulit diperikan dalam rumusan-legal, juga untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis. Hukum hak asasi manusia internasional memiliki sebuah katalog tentang hak dan alat-alat yang digunakan untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu ‘kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama’ daripada menakrifkan kebebasan itu sendiri. Lebih lanjut, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan melindungi pengejawantahan atau ungkapan (ekspresi) dari kebebasan beragama atau berkeyakinan [Lerner, 2004:65]. Di dalam ranah HAM, dikenal istilah 'hak-hak asasi manusia dasar' ('Basic Human Rights'), yaitu hak asasi manusia yang pada umumnya dianggap amat perlu untuk memberikan keutamaan atau prioritas di dalam hukum dan kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak itu adalah hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material dari manusia untuk bisa mengarahkannya ke keberadaan (manusia) yang bermartabat. Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara umum tentang hak yang bersifat dasar ini, akan tetapi termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup, hak atas makan, papan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama (termasuk kebebasan berkeyakinan) [Conde,1999:11]. Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia, didasarkan pada satu asas yang fundamental yaitu 'martabat yang melekat pada manusia' [Groome, 1999:4].31 Dalam arti ini, agama adalah tanggapan manusia pada barang-barang yang menjadi kepedulian kita pada akhirnya. Implikasi dari takrif ini adalah bahwa semua manusia adalah religius, karena kita semua dihadapkan pada masalah eksistensial dari penyakit, menua dan kematian.
29
Perlakuan diskriminatif dari negara atas pengikut agama dan kepercayaan lokal serta selain kelima agama yang ‘dianggap diakui’ itu misalnya terjadi dalam pemenuhan hak sipil para pengikut agama-agama lokal dan aliran kepercayaan (dipaksanya menyebut agama lain yang ‘diakui’ di dalam KTP, meski sebenarnya tidak memeluk agama yang ‘diakui’ itu, hak untuk dicatatkan di dalam catatan sipil atau KUA ketika yang bersangkutan melakukan pernikahan, dan ketika anak mereka lahir dari pernikahan itu).
30
Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamian dunia' [Gunawan Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar 40 Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
31
Kebebasan beragama itu, selain tercantum di dalam DUHAM,32 tercantum juga di dalam dokumen-dokumen historis tentang HAM,33 khususnya di dalam Rights of Man France (1789), Bill of Rights USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan bahwa: 'Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain' (garis bawah dari MMB). Inti normatif dari kebebasan beragama atau berkeyakinan itu disarikan ke dalam 8 anasir, yakni; (i) kebebasan internal;34 (ii) kebebasan eksternal;35 (iii) non-koersi (tanpa paksaaan/non-coercion),36 (iv) tidak-diskriminatif (non-discrimination);37 (v) hak orang tua atau wali;38 (vi) kebebasan lembaga dan status hukum;39 (vii) batas-
Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed.), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Jakarta, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, 2004, p. 9]. DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusis) adalah kesepakatan internasional yang ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Meskipun Deklarasi itu berupa kesepakatan yang tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan, akan tetapi merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak itu yang bersifat universal [Groome, 2001:4]..
32
Groome [2001:4] mendaftar enam dokumen historis, yaitu: (i) Magna Charta (1215); (ii) Bill of Rights England (1689); (iii) Rights of Man France (1789); (iv) Bill of Rights USA (1791); (v) Rights of Russian People (1917); dan (vi) International Bill of Rights (1966).
33
Yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan memeluk, menerima, memelihara atau merubah agama atau kepercayaanya. 34
Yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan, baik sendiri-sendiri maupun di dengan liyan dalam komunitas, di dalam ranah pribadi atau publik, untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, praktik, ibadah.
35
Yaitu bahwa tidak seorangpun dapat dipaksa yang dapat merusak atau melemahkan kebebasannya untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
36
Yaitu bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi dan memastikan semua individu di dalam wilayah kewenangannya hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, secara nasional atau wilayah asal, kepemilikan atau status lainnya.
37
Yaitu bahwa Negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua dan wali yang absah untuk menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinannya sendiri, dan memberikan perlindungan atas hak setiap anak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan searah dengan perubahan kemampuan dari anak. 38
Yaitu bahwa satu segi yang penting dari kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah kebebasan bagi komunitas keagamaan untuk memiliki kedudukan hak kelembagaan guna mengaktualisasikan hak-hak dan kepentingan mereka sebagai komunitas. Komunitas keagamaan sendiri memiliki kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak atas otonomi dalam urusan mereka sendiri. Meski komunitas keagamaan bisa jadi tidak ingin memiliki status hukum yang resmi, akan tetapi saat ini diakui secara luas bahwa mereka berhak untuk memiliki status hukum sebagai bagian dari hak mereka atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan khususnya sebagai satu segi dari kebebasan untuk mengejawantahkan keyakinan keagamaan bukan hanya secara individual, akan tetapi juga bersama liyan di dalam komunitas. 39
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
41
batas dari pembatasan yang diperbolehkan atas kebebasan eksternal;40 (viii) sifat tak-dapat-ditangguhkan (non-derogability) [Lindholm et.al., 2004: xxxvi-ix].41 Indonesia sebagai negara pihak yang menanda-tangani DUHAM, oleh karena itu mengemban tanggung-jawab moral dan hukum42 untuk melaksanakan kewajiban memenuhi hak kebebasan beragama, dan hak-hak lain yang tercantum di dalam Piagam PBB tersebut.43 UUD 1945, terutama setelah diamandemen secara tegas pula mencantumkan hak atas kebebasan beragama dan hak atas berkeyakinan.44 Lebih lanjut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan hal yang sama,45 dan bahkan di dalam penjelasannya disebutkan secara tegas dan jelas bahwa hak itu dijamin 'tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.'46 Lebih dari itu undang-undang ini juga menyatakan bahwa negara menjadi pihak yang terutama bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak itu, dan hak asasi manusia lainnya.47 Pendek kata UU No. 39/1999 itu menegaskan dan sekaligus meneguhkan Yaitu bahwa kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau keyakinan seseorang bisa dilakukan hanya pada pembatasan yang dirumuskan oleh undang-undang dan yang perlu bagi perlindungan atas keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak fundamental dari liyan.
40
Yaitu bahwa Negara sama sekali tidak boleh menangguhkan hak kebebasan bergama atau berkeyakinan, bahkan di dalam masa darurat publik.
41
Tanggung-jawab moral berarti bahwa bangsa Indonesia dan semua individu anggota dari bangsa Indonesia terikat pada ketentuan yang bersifat afirmatif ini, yakni bahwa mereka wajib menjadikan hak asasi manusia sebagai nilai dan asas di dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Kaidah-kaidah sosial di dalam masyarakat dan lingkungan yang lebih kecil (misalnya lingkungan keluarga, ketetanggaan, dan kelompok-kelompok sosial) haruslah searah dengan kaidah hak asasi manusia. Tanggung-jawab hukum dimaksudkan negara secara imperatif haruslah menciptakan hukum positif yang cocok (comply) dengan hukum internasional hak asasi manusia, atau dengan kata lain, semua ketentuan perundang-undangan dari yang paling tinggi, yaitu Undang-undang Dasar (Konstitusi), sampai dengan yang paling rendah di dalam hukum tata-negara (termasuk peraturan daerah) haruslah tidak bertentangan dengan asas hak asasi manusia. 42
Konsideran UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tersurat menyatakan: 'bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia' (garis bawah dari MMB).
43
Pasal 8E UUD 1945 (yang diamandemen) menyatakan bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (garis bawah dari MMB) [Sumodiningrat & Purna (ed.), 2004:9]. 44
UU No. 39/1999 pasal 22 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 45
46
Lihat penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU No. 39/1999.
Pasal 8 UU No. 39/1999 menyatakan bahwa: 'Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah'. Dalam hal kebebasan beragama, lebih lanjut Pasal 22 UU No.39/1999 menyebutkan bahwa: (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
47
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
42
dua sisi dari satu mata uang yang sama, yaitu: (i) hak atas kebebasan beragama48 (berkeyakinan, termasuk keyakinan ideologis dan politik) dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya;49 (ii) kewajiban negara untuk menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama dan beribadat (termasuk kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak orang/warga negara). Hak atas kebebasan beragama yang bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum merupakan wujud dari ‘inner freedom’ (freedom to be) itu termasuk hak yang 'non-derogable' [Groome, 2001:6],50 artinya hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan (pemenuhannya) oleh negara selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Hak yang 'non-derogable' ini dikenal sebagai suatu yang 'paling inti'51 dari hak asasi manusia.52 Hak-hak 'non-derogable' ini selalu harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun
Dalam kategori ‘kebebasan beragama’ itu termasuk ‘kebebasan berpindah agama’. Pasal 18 DUHAM menyatakan: Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance (garis bawah dari MMB). Kebebasan berpindah agama atau kepercayaan tidak tercantum di dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 22 (1) menyatakan bahwa: ‘Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Ada pendapat yang lebih radikal yang menyatakan bahwa dalam istilah ‘kebebasan beragama’ itu terkandung arti ‘kebebasan untuk tidak beragama’ dan bahkan ‘kebebasan untuk tidak bertuhan’. Kosakata ‘kepercayaan’ (‘belief’) dimasukkan setelah kosakata ‘agama’ (‘religion’) dalam rumusan pasal tenang kebebasan beragama untuk menghindari konfrontasi besar yang dimotivasi oleh politik antara negara Barat dengan negara Komunis. Kosakata ‘kepercayaan’ itu dimaksudkan untuk mengacu baik ke pandangan teistik maupun pandangan yang ateistik, agnostik, rasionalistik, dan pandangan lain yang memakzulkan agama dan kaidah-kaidah agama [lihat: Lerner, Nathan, ‘The Nature and Minimum Standard of Freedom of Religion or Belief’ dalam Lindholm, Durham, Tahzieb-Lie, Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004:65]. 48
49
Pasal 23 (1) UU No. 39/1999 menyatakan: 'Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.'
Pasal 4 (2) ICCPR menyebutkan: ‘No derogation from Articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 1nd 18 may be made under this provision’.
50
Core (Human) Rights adalah satu istilah yang tidak secara khusus ditakrifkan sebagai hak-hak asasi manusia mana yang ‘inti’. Hak-hak inti ini memasukkan, misalnya, hak untuk hidup, kebebasan berbicara, dan hak bebas dari penyiksaan. Hakhak itu dianggap bersifat esensial bagi keberadaan manusia yang bermartabat. Gagasan ‘hard core human rights’ ini kurang lebih sama dengan hak-hak yang bersifat ‘non-derogable’ [Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999:26].
51
Groome menyebutnya dengan ‘fundamental rights’ [lihat: Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigations: A comprehensive guide to the investigation and documentation of violent human rights abuses, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001:6]. 52
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
43
[Conde, 1999:96].53 Sedangkan hak untuk mengekspresikan atau mengejawantahkan agama atau keyakinan (misalnya hak menyebarkan ajaran agama atau keyakinan, hak beribadah, hak mendirikan tempat ibadah) termasuk dalam hak untuk bertindak (freedom to act), menurut beberapa kovenan hak asasi manusia bersifat dapat ditangguhkan, diatur, dan dibatasi (‘derogable, regulable, limitable’).54
Relasi Agama dan Negara: Matra Teoritis Bertolak dari tesis Habermas,55 yang searah dengan argumen Polanyi56 dan Nisbet, Cohen & Arato [1994] memaparkan model struktural tripartit (three part model) berkenaan dengan hubungan antara negara (masyarakat politik), pasar (masyarakat ekonomi), dan masyarakat sipil, yang dianggapnya mencerminkan konstelasi transisional yang bersifat historis, dengan asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat bekerja tiga kekuatan struktural, yaitu negara, pasar, dan masyarakat sipil. Hubungan dinamis dari ketiga anasir itu dapat melahirkan dua model utama, yaitu (i) model ‘negara sekuler’, di mana terdapat pemisahan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil; dan (ii) model negara yang didominasi oleh salah satu anasir struktural, yang di dalamnya terdapat tiga kemungkinan, yakni: (a) unsur negara mendominasi kehidupan ekonomi dan masyarakat sipil (‘statism’); (b) unsur masyarakat ekonomi mendominasi kehidupan masyarakat politik dan masyarakat sipil (‘marketism’?); dan (c) masyarakat sipil mendominasi kehidupan masyarakat Groome mencatat beberapa hak asasi yang dianggap ‘non-derogable’ yakni: (a) hak yang bersifat pribadi dan hak atas perlindungan, termasuk: (i) perlindungan atas hak untuk hidup, (ii) perlindungan atas hak untuk tidak disiksa, (iii) hak atas perlakuan hukum yang sama; (b) hak-hak pribadi dan kebebasan, termasuk: (iv) hak kebebasan beragama, (v) hak atas kebebasan berpikir; (c) hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan pidana, termasuk yang berlaku sepanjang waktu, yaitu: (vi) hak dan perlindungan berupa pelarangan atas ‘double jeopardy’, (v) perlindungan berupa pelarangan penerapan hukum ‘expost facto’; dan perlindungan hak dari yang bersifat hukuman dan penahanan, yaitu: (viii) hak perlindungan atas mereka yang dihukum mati, (ix) ) hak perlindungan dari penahanan karena kewajiban kontraktual [lihat: Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigations: A comprehensive guide to the investigation and documentation of violent human rights abuses, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001:6]. 53
Klausul pembatasan hak kebebasan untuk mengejawantahkan atau mengekspresikan agama atau keyakinan itu dapat ditemukan di dalam pasal 18 (3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR): ‘Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitationa as are precribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedom of others’. Juga dapat ditemukan dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (Europen Convention on Human Rights) pasal 9 (2); dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) Pasal 12 (3) [lihat: Nowak, Manfred and Vospernik, Tanja, Permissible Ristrictions on Freedom of Religion or Belief, dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004]. 54
Habermas, The Theory of communicative Action, vo. 2, 301-403, dikutip oleh Cohen & Arato. Habermas sendiri dicatat sebagai yang mengemukakan empat model hubungan antara kehidupan dunia dengan negara dan ekonomi modern, yaitu: (i) negara borjuasi, yang oleh Cohen & Arato [1994:443] dianggap sebagai istilah yang menyesatkan bagi ‘negara absolut’; (ii) negara borjuasi konstitusional (atau juga disebut sebagai Rechtsstaat); negara demokrasi kosntitusional (yang mengakui hak untuk berpartisipasi); dan (iv) negara kesejahteraan demokratik [Cohen, Jean L. and Arato, Andrew, Civil Society and Poltical Theory, Cambridge & london, The MIT Press, 1994:442-5]. 55
56
Dikemukakan dalam The Great Transformation, sebagaimana dikutip oleh Cohen & Arato, 1994. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
44
politik dan masyarakat ekonomi (‘civilsm’?). Di dalam negara sekuler kurang lebih terjadi hubungan ‘ideal’ yang seimbang diantara ketiga anasir struktural itu, dalam arti dapat saja terjadi kemungkinan setiap unsur masing-masing bebas (independen) terhadap anasir lainnya serta tidak saling mencampuri (intervensi) urusan masing-masing unsur; atau setiap unsur saling mempengaruhi secara seimbang pada anasir lainnya. Di dalam model negara ‘statism’ secara teoritis (dan praktis) negara bersifat absolut yang menentukan dan mengendalikan (bahkan secara ketat) kehidupan masyarakat ekonomi dan juga kehidupan masyarakat sipil. Ketika negara dan masyarakat sipil tidak berdaya, masyarakat ekonomi dan kehidupan pasar dapat mendominasi segi-segi kehidupan secara keseluruhan: negara mengabdi pada modal dan menjadi alat bagi kapitalis yang serakah untuk menumpuk modal seraya menindas dan memeras tenaga buruh, sedangkan masyarakat sipil teralienasi dan terhegemoni oleh dan tunduk pada kepentingan material dan modal (laba). Jika negara amat lemah dan masyrakat ekonomi tidak berdaya, maka masyarakat sipil dapat mendominasi kedua anasir itu. Dengan tidak mengabaikan model-model lain yang lahir dari sudut pandang yang berbeda [Wogaman, 2000; Podoprigora, 2004],57 jika model Cohen & Arato (1994] itu (dapat juga) dipergunakan untuk melihat hubungan antara agama dengan negara, dengan anggapan bahwa unsur masyarakat sipil diganti dengan agama, maka seturut dengan kemungkinan teoritis tersebut di atas akan terdapat empat kemungkinan, yakni: (i) Terjadi pemisahan antara agama, negara, dan kegiatan ekonomi dalam ‘negara sekuler’. Dalam hal ini terjadi (a) ‘koeksistensi damai’ antara agama, negara, dan pasar: ada pemisahan legal antara agama dan negara, semua agama dan perkumpulan keagamaan diperlakukan sama, baik negara maupun lembaga keagamaan menghindari campur tangan urusan masing-masing (misalnya, sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Amerika Serikat). Disamping itu dapat saja terjadi pemisahan antara agama dengan masyarakat, tetapi di dalam masyarakat itu diakui ada agama nasional (seperti yang terjadi di negaranegara Skandinavia: Denmark dan Norwegia) [Podoprigora, 2004]. Kemungkinan ketiga adalah apa yang disebut sebagai ‘Laicism’ di mana negara secara kuat dipisahkan dari agama, sehingga tidak ada agama resmi dan juga tidak ada ateisme resmi yang diakui dan diterima negara (seperti apa yang terjadi di Perancis) [Bauberot;2004]. Atau (b) agama secara seimbang akan memiliki pengaruh timbal balik pada negara dan pasar, sebagaimana yang Titaley, degan mengutip pendapat J. Philip Wogaman [Christian Perspective on Politics: Revised and Expanded, 2000], memerikan empat tipe hubungan negara dan agama: (i) teokrasi, di mana pemimpin agama dan lembaga agama mengendalikan kehidupan bernegara; (ii) eratianisme, di mana para pemimpin politik mengeksploitasi agama untuk tujuan negara; (iii) pemisahan Gereja-Negara yang rusuh; dan (iv) pemisahan Gereja-Negara yang ramah [lihat: Titaley, Prof. DR. John A., Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP di Yogyakarta 13 Desember 2004]. Podoprigora mengungkapkan sutau kontinum hubungan negara dan agama: pada satu ujung kekuasaan eklesiastikal terkait erat dengan kekuasaan negara (dalam negara ‘teokrasi’ seperti di Iran dalam negara Republik Islam Iran), dan di ujung kontinum yang lain adalah negara yang tidak mengenal agama sebagai bagian penting dari kehidupan sosial, dan bahkan cenderung memusuhi agama (seperti Cina di bawah Partai Komunis Cina). Diantara kedua ujung kontinum terdapat model pemisahan antara negara dan agama [lihat: Podopridoga, Roma, Freedom of Religion and Belief and Discretional State Approval of Religious Activity, dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004]. 57
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
45
secara ideal (dan utopis?) diharapkan terjadi kelak di Indonesia (yang secara resmi memiliki ‘ideologi Pancasila’?). (ii) Terjadi dominasi negara atas agama dan pasar (masyarakat ekonomi) di dalam negara ‘statism’. Dalam hal ini negara tidak mengakui agama sebagai bagian dari kehidupan sosial yang penting, dan bahkan bersikap negatif terhadap agama; semua perkumpulan keagamaan disupervisi atau paling sedikit diawasi secara ketat oleh negara; kegiatan keagamaan secara esensial dibatasi dengan undang-undang, dan dalam beberapa kasus agama dianggap harus mati, paling tidak di masa depan. Situasi serupa itu kurang lebih terjadi di negara komunis, seperti Uni Soviet (sebelum pecah) dan Cina Komunis. (iii) Klas kapitalis menjadi klas yang dengan kuat memerintah, dinamika dan kehidupan ekonomi kapitalistis dalam sistem kapitalisme mendominasi masyarakat politik dan masyarakat sipil, jika kedua anasir yang disebut belakangan lemah dan tidak berdaya, dan kekuatan kapitalisme (global) tak terbendungkan lagi. Negara, sebagaimana yang dilihat oleh para pemikir dalam tradisi Marxist yang kaku,58 adalah alat atau ‘mesin’ penindas yang memungkinkan ‘klas penguasa’ memastikan dominasinya atas klas pekerja untuk menjamin perampasan ‘nilai lebih’ (‘surplus value’). Menurut Althusser [1986],59 seorang Marxist strukturalis, negara menggunakan RSAs (Repressive State Apparatus) dan ISAs (Ideological State Apparatus) untuk mendominasi seluruh kehidupan masyarakat, kurang lebih searah dengan pandangan Gramsci [1975],60 seorang Marxist humanis, yang mengenalkan konsep ‘dominasi’ dan ‘hegemoni’ untuk menyebut situasi seperti itu. Agama, sebagaimana perlakuan kapital terhadap negara, juga diperlakukan untuk mengabsahkan (legitimasi) kekuasaan dan penumpukan kapital, oleh karena itu, para pemimpin agama bukannya bersikap kritis seraya membela kepentingan kaum tertindas dan rakyat yang terpinggirkan, melainkan justru lebih cenderung menjalankan fungsi ‘mengayati’ (memberikan pembenaran terhadap nyaris segala kelakuan – termasuk keserakahan, eksploitasi dan perampasan – kapital, dan bahkan cenderung bersikap ‘menyalahkan korban’ (blaming the victims) bilamana terjadi benturan (dan kekerasan) antara modal dengan masyarakat sipil. Pemikiran ini antara lain terdapat di dalam tulisan Marx Communist Manifesto dan Eighteenth Brumaire dan di dalam teks-teks klasik misalnya Paris Commune [lihat : Elster, John (ed.), Karl Marx: A Reader, Cambrigde & New York, Cambridge University Press, 1989].
58
Althusser mengenalkan ‘State Apparatus’ yaitu bukan hanya aparat negara dalam arti sempit seperti tuntutan dalam praktik legal, yaitu polisi, pengadilan, penjara; akan tetapi juga tentara, yang (oleh proletariat dibayar dengan darah) mencampuri secara langsung sebagai kekuatan represif pelengkap ketika polisi dan satuan-satuan bantuan habis; dan kepala pemerintahan, pemerintah, dan administrasi (birokrasi). Aparatus Negara adalah sebuah kekuatan represif untuk melakukan dan mengintervensi ‘atas dasar kepentingan klas penguasa’ di dalam perjuangan klas yang dijalankan oleh borjuasi dan sekutunya melawan kaum proletariat. ‘Repressive State Apparatus’ (RSA) adalah aparatus negara yang menggunakan kekuatan kekerasan (force) untuk membedakannya dengan ‘Ideological State Apparatus’ (ISAs) yang meliputi: agama, pendidikan (sistem sekolah swasta dan publik), keluarga, hukum, politik (sistem politik, termasuk partai yang berbeda), serikat pekerja, komunikasi (pers, radio, dan televisi, dsb.), dan budaya (Sastra, Seni, olah-raga dsb.) [lihat: Althusser, Louis, Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an Investigation), dalam Hanhart, John G., Video Culture: A Critical Investigation, New York, Visual Studies Workshop Press,1986]. 59
Gramsci mempergunakan istilah dan konsep dominasi – yang diwujudkan lewat kekuatan (force) -- dan hegemoni – yaitu ketundukan berdasarkan kerelaan (consent), karena penerimaan ideologi dari klas yang dominan [lihat: Gramsci, Antonio, Selections from the Prison Notebooks, London & New York, Lawrence & Wishart and International Publisher, 1975]. 60
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
46
(iv) Kemungkinan lain terjadi ketika agama (para pemimpin agama dan lembaga keagamaan) merasuk secara mendalam dan menguasai negara, serta menjadi dasar utama dan acuan serta kiblat pemikiran dan tindakan ekonomi, sebagaimana yang terjadi di dalam sistem ‘teokrasi’. Di dalam sistem seperti ini tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dipergunakan untuk mengendalikan negara lewat lembaga keagamaan dan pemimpin agama, semua hukum sipil, hukum pidana, keuangan, ekonomi, administratif, budaya, militer, politik dan hukum serta aturan-aturan lainnya didasarkan pada agama resmi yang dipilih, dan oleh karena itu ada pelarangan atau pembatasan kegiatan perkumpulan keagamaan dari agama yang ‘bukan agama resmi’ – sebgaimana yang dianggap terjadi di Iran pada masa Republik Islam Iran [cf. Podoprigora, 2004; Titaley, 2004].61 Dalam Islam, misalnya, dikenal adannya ajaran al-Islam din wa daulah, konsep kaffah, dan konsep hukum Islam berlaku bagi hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah) dan hukum pidana (hudud).62
Kebebasan Bergama di Indonesia: Pengalaman Empiris dan Fakta Historis Saya, bisa jadi juga orang lain atau bahkan semua orang, lahir bukan di ruang hampa-budaya serta bukan dalam masyarakat yang nir-struktur (klas) sosial (classless society), melainkan dilahirkan oleh ibu saya setelah beberapa tahun ibu dan bapak saya menikah secara sah menurut Islam di dalam tradisi Islam-Jawa dan menurut aturan negara. Keluarga ibu-bapak saya tinggal di pemukiman kampung, di mana tidak satupun penduduknya beragama selain Islam – bahkan ibu dan bapak saya serta keluarga ibu dan bapak saya termasuk santri yang saleh –, yang nyaris semua adalah santri seraya tetap menjalankan tradisi Jawa, seperti slametan, secara sungguh-sungguh, meski ada sedikit yang abangan dan berstatus priyayi.63 Bapak saya seorang hafidz, orang yang hafal al Qur’an 30 juz di luar kepala (yang dalam tradisi pesantren dianggap menduduki status yang tinggi dan terhormat), yang sejak kelahirannya hingga masa kanak-kanak selesai hidup di dalam masyarakat santri, sebelum memperoleh pendidikan utamanya di beberapa pesantren di Jawa Timur sejak remaja hingga pemuda menjelang nikah, dan sesuai dengan perjalanan waktu memperoleh julukan kiyai dari lingkungannya. Selain memberikan pelajaran mengaji kepada para santrinya baik lelaki maupun perempuan di sore atau malam hari, bapak juga bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Agama sejak tahun 1950-an, dengan jabatan terakhir, sebelum pensiun, Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dan Kotamadya Salatiga.
Wogaman, sebagaimana dikutip Titaley, memberikan contoh negara ‘teokrasi’ ini terjadi di dalam kehidupan bangsa Ibrani kuno, tradisionalis Tibet, kehidupan puritanisme jaman kolonial Amerika, periode awal Mormonisme di Utah, dan dalam batas-batas tertentu terjadi di Iran sekarang, katolik abad pertengahan, jaman modern sebelum Vatican II dan Zionis Israel [lihat: Titaley, 2004]. 61
Lihat misalnya pendapat Siti Musdah Mulia dalam makalahnya ‘Hubungan Agama dan Negara dalam rangka Kebebasan Beragama di Indonesia, yang disajikan di dalam seminar yang diselengarakan oleh Komnas HAM dan ICRP di Bandung 20 Desember 2004. 62
Konsep varian keagamaan santri, abangan, priyayi dikenalkan oleh antropolog Amerika terkenal Clifford Geertz. Hasil kerja penelitian lapangan yang kemudian dibukukan dengan judul The Religion of Java menjadi semacam ‘kitab suci’ bagi mahasiswa antropologi yang melakukan kajian tentang Jawa [lihat: Geertz, Clifford, The Religion of Java, New York & London, The Free Press & Collier-Macmillan Limited, 1969]. 63
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
47
Eyang (ibu dan bapak dari ibu saya) saya keduanya haji, bahkan eyang kakung (bapak dari ibu saya) diceriterakan pergi menjalankan ibadah haji ke negeri Arab sebanyak tujuh kali seraya berdagang (yang dianggap dibenarkan oleh ajaran Islam). Demikian juga eyang saya dari garis bapak, yang bukan hanya haji akan tetapi -- berbeda dengan eyang kakung dari garis ibu yang disamping berdagang juga bekerja sebagai pegawai Departemen Agama dengan jabatan terakhir na’ib atau kepala KUA --, juga berstatus sebagai pamong desa. Saya diajar mengaji oleh bapak saya sendiri, baik mengaji (membaca dan menghafalkan) al Qur’an maupun mengaji beberapa kitab kuning seperti kitab sulam & safinah (kitab dasar tentang syari’ah atau hukum Islam), selain diajar dan diharuskan mendirikan shalat lima waktu secara tertib dan disiplin, dan melakukan puasa di setiap bulan ramadlan. Pada saat saya disunat, diadakan upacara slametan dan khataman (saya harus melafalkan hafalan al Qur’an saya tanpa melihat tulisan di mushaf sebanyak sekitar sepuluh surat dalam al Qur’an) yang merupakan pernyataan bahwa saya telah menyelesaikan pelajaran mengaji al Qur’an. Cerita nyata ini bisa diteruskan dan dirinci lebih lanjut, akan tetapi pertanyaan/persoalannya adalah: apakah saya (dan juga semua individu lain) di dalam sejarah saya dan dalam kenyataan empiris memiliki kebebasan memilih agama ketika saya (dan individu lain) lahir, berada, dan berkembang di dalam batas-batas struktur kebudayaan dan struktur sosial, atau secara lebih umum apakah saya (dan individu lain) memiliki kebebasan beragama, baik yang bersifat internal maupun eksternal? Apakah kebebasan saya (dan juga semua individu lain) dalam ranah forum internum yang luasnya amat terbatas sejauh yang disediakan oleh struktur budaya dan struktur sosial di dalam mana saya berada seperti itu (telah) memiliki kebebasan internal yang sama dengan luasnya forum internum yang saya miliki pada saya dewasa dan matang setelah mengalami dan memiliki kontak (hubungan) yang lebih luas dan sosialisasi dalam struktur kebudayaan dan struktur sosial yang beragam dan bisa jadi juga lebih luas, atau kebebasan internal saya memiliki lingkup yang sama atau berbeda dengan kebebasan internal individu lain yang lahir dan hidup di dalam struktur budaya dan struktur sosial yang lain? Jika secara normatif ada ketentuan bahwa ‘setiap orang dilahirkan bebas’, maka di dalam realitas sosial-budaya sejatinya ‘setiap orang dilahirkan di dalam struktur kebudayaan dan struktur sosial tertentu’ (ada orok dekil kurang gizi yang lahir dari ibu proletariat ‘ateistik atau agnostik’ yang kelaparan dan tinggal di kampung kumuh, sehingga proses kelahirannya ‘amat alamiah’ tetapi amat berisiko tinggi karena tanpa bantuan dan peralatan medis yang memadai; disamping ada pula bayi mungil-montok yang lahir dari ibu borjuis Islam atau Kristen saleh yang kayaraya dan tinggal di rumah ’gedongan’ di daerah elitis yang melahirkan anakanaknya di rumah sakit mewah dengan jaminan material yang berlimpah; adakah orok kurang-gizi dekil atau bayi montok-mungil itu memiliki kebebasan beragama sejak awal?). Pendek kata realitas menunjukkan bahwa saya dilahirkan sebagai Islam (dalam struktur kebudayaan santri), dan pada kenyataannya lahir dalam klas bukan petani penggarap atau proletariat (dalam struktur klas sosial pamong dan kapitalis pedagang), atau secara umum mengarah ke kesimpulan praktis bahwa ‘semua individu dilahirkan secara tidak sama dan tidak bebas.’
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
48
Jadi pesan yang ingin saya sampaikan lewat paparan di atas adalah: kenyataan bahwa saya beragama Islam bukanlah sejak awal secara sadar saya menjatuhkan pilihan agama saya secara bebas (jadi pada titik awal saya beragama Islam, kepada saya tidak dihadapkan pilihan-pilihan yang dapat secara bebas saya pilih), atau dengan kata lain setidaknya pada saat awal pilihan itu bagi saya ‘tidak ada kebebasan memilih agama’. Pada titik ini keberagamaan Islam saya, setidaknya pada awalnya, ditentukan oleh keluarga dan lingkungan sosial-budaya saya. Kesimpulan seperti ini tampak searah dengan temuan para ahli sosiologi pendidikan, seperti Colleman [1966], dan Bowles [1971a], serta Bowles & Gintis [1972]. Colleman (1966) berpendapat bahwa latar-belakang keluarga jauh lebih penting dalam mempengaruhi perilaku murid, meskipun tiga-serangkai (triumvirat) kelembagaan ‘rumah, lingkungan, dan sekolah’ akan berinteraksi dalam menentukan besar-kecilnya pengaruh itu.64 Mirip dengan tiga-serangkai kelembagaan Colleman itu, meskipun paradigma dan pendekatannya berbeda, Bowles dan Gintis (1977), yang neo-Marxist kontemporer, melihat wujud triumvirat-kelembagaan itu adalah ‘keluarga, kerja, dan sekolah’.65 Kenyataan konkrit empiris ini memperlihatkan bahwa saya ‘tidak dilahirkan sama dengan individu lain’ dan ‘saya tidak mengenyam kebebasan memilih agama, setidaknya pada titik awal keberagamaan saya’ yang berlawanan dengan ketentuan normatif bahwa ‘setiap orang memiliki hak atas kebebasan bergama’. Saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, yang memiliki, menjaga, dan mengembangkan upacara keagamaan dan tradisi Kristiani (berdoa, kebaktian), juga jadual kegiatan perkuliahan, yang praktik dan irama kegiatannya tidak selalu searah, sama, dan bahkan kadangkala bertabrakan dengan praktik dan irama kegiatan sosial-keagamaan dalam tradisi santri, meskipun harus dicatat dengan garis tebal bahwa tidak ada larangan resmi untuk menjalankan ibadah nonkristiani, misalnya menjalankan shalat pada waktunya, tetapi pada saat yang sama juga tidak ada upaya untuk menyelaraskan dua kepentingan yang berbeda itu.66 Contoh kecil: jadwal kegiatan kuliah yang tidak searah dengan waktu shalat dan saat berbuka puasa dalam bulan ramadlan, yang dapat dan pasti menimbulkan ketegangan mahasiswa muslim dalam menentukan pilihan yang dilematis: meninggalkan kegiatan akademis untuk melakukan ibadah keagamaan dengan risiko kehilangan kesempatan memperoleh peluang dan informasi, atau tetap melanjutkan kegiatan akademis dengan risiko menunda atau mengabaikan kewajiban kegamaan yang mengakibatkan ‘dosa’ dan terkena sanksi sosial dari komunitas keagamaan? Jika contoh yang saya paparkan lebih dulu berkaitan
Lihat: Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977.
64
Lihat: Bowles, Samuel, Unequal Education and the Reproduction of the Social Division of Labor; juga Bowles, Samuel and Gintis, Herbert, I.Q. in the U.S. Class Structure, dalam Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977.
65
Ada kemungkinan alasan mengapa tindakan penyelarasan dua kepentingan yang berbeda itu, ketika orang menyatakan bahwa Universitas Kristen Satya Wacana adalah universitas swasta (oleh karena itu dianggap berhak membuat peraturan sendiri secara otonom, dengan atau tanpa memperhatikan adanya kepentingan yang berbeda), dan universitas Kristen (dan oleh karena itu agama dan keyakinan yang resmi adalah agama dan keyakinan kristiani yang dianggap sah bila hanya memperhatikan dan mengutamakan tradisi Kristiani). 66
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
49
dengan ‘freedom to be’ yang bersifat internal, maka contoh terakhir memperlihatkan ketegangan dan batasan di dalam ‘freedom to act’ berkenaan dengan pengejawantahan dan ekspresi kebergamaan. Hal yang kurang lebih sama bisa jadi dialami oleh murid-murid muslim (sekolah dasar sampai dengan menengah atas) yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen (Katolik). Ketegangan-ketegangan semacam itu dapat saja dipersepsikan oleh sebagian dari komunitas Islam dan para pemimpin agama Islam paling sedikit sebagai wujud dari penggerusan (erosi) secara sistematis derajat keberagamaan murid dan mahasiswa muslim dan bahkan bisa dilihat sebagai upaya ‘kristenisasi’, yang gencar didengungkan pada tahun 1960-an dan 1970-an. Tetapi benarkan ada ‘kristenisasi’? Paling sedikit ada dua kemungkinan: (a) Tidak ada kegiatan dan upaya ‘kristenisasi.’ Kemungkinan ini bertentangan dengan anggapan bahwa agama Kristen adalah agama misi, dan oleh karena itu kegiatan misionaris (antara lain kegiatan ‘Pekabaran Injil’) adalah merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh gereja agar ‘orang-orang kafir menjadi beriman kepada Jesus.’ Tetapi kendatipun misalnya kegiatan nyata ‘kristenisasi’ itu tidak ada atau tidak dilakukan oleh gereja, ‘ketakutan atas upaya kristenisasi’ (terutama dari sebagian para pemimpin komunitas Islam) itu tampak nyata, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai upaya-tanding kelompok Islam tertentu melawan ‘kristenisasi’ seperti misalnya upaya untuk membentuk organisasi dan melakukan kegiatan ‘misi Islam’67 pada tahun 1960-an, juga ditunjukkan oleh latar-belakang lahirnya SKB No. 1/BER/MDN-MAG/1969 yang dianggap kontroversial, dan akhir-akhir ini pada parohan kedua tahun 2005 munculnya ‘Gerakan Anti Pemurtadan’ di Jawa Barat yang terlibat di dalam penutupan gereja. Hal ini mengingatkan kembali kepada pernyataan yang amat terkenal dari Thomas bahwa ‘'if men define situations as real, they are real in their consequences'; atau dengan kata lain tindakan yang disebutkan itu dapat menjadi petunjuk yang kuat dari betapa nyatanya ‘ketakutan atas kristenisasi’ itu ada di kalangan umat Islam, atau setidaknya di sebagian kalangan Islam. (b) Kegiatan ‘kristenisasi’ itu ada dan nyata, serta membawa berbagai akibat. Jika demikian, adakah bukti-bukti empiris? Salah satu ‘bukti empiris’ ditunjukkan oleh penelitian lapangan yang dilakukan oleh Prof. DR. Riaz Hassan,68 yang pada tahun 1984-1985 menjadi dosen tamu di Universitas Gajah Mada. Sebagian data dan kesimpulan yang diketengahkan antara lain sebagai berikut: 1) Keseluruhan penduduk muslim merosot dari 87,5% pada tahun 1970 menjadi 87,1% pada tahun 1980 [Hassan, 1985: 151]; 2) Di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian besar penduduk provinsi ini adalah Muslim (di semua kabupaten jumlah muslim adalah 93% pada tahun 1983; di kotamadya Yogyakarta hanya 80,3%). Akan tetapi dalam kurun waktu 1978 sampai dengan 1983 penduduk Muslim berkurang kira-kira 1,7%, sedangkan penduduk Nasrani (Kristen dan Katolik) bertambah kira-kira 1,5%; 3) Antara tahun 1978 sampai dengan tahun 1983, jumlah penduduk DIY naik 4,9%, di mana kenaikan penduduk Muslim sedikit di atas 8%, sedangkan 67
Kantor pusat ‘Misi Islam’ itu berada di Jalan Kramat Raya, Jakarta.
68
Lihat Hassan, Prof. DR. Riaz, Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, Jakarta, Penerbit CV. Rajawali,
1985. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
50
penduduk Kristen naik 48.9% dan Katolik naik 87,1% (kenaikan di kalangan orang Hindu 20,3% dan Budha 99,6%); 4) Data di sebuah desa di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada tahun 1965, 100% penduduk beragama Islam, dan pada tahun 1984 penduduk yang bergama Islam tinggal 55%; sedangkan penduduk beragama Kristen pada tahun 1965 tidak ada, dan pada tahun 1983 menjadi 44%; 5) Data pemilikan tanah dan ikatan keagamaan di desa sama yang disebutkan itu menunjukkan bahwa dari 40 ha tanah di desa, penganut agama Islam memiliki 31,6 ha (desa memiliki 8,4 ha) pada tahun 1965, tetapi pada tahun 1984 hanya tingal 16,2 ha yang dimiliki oleh penganut Islam; penganut Kristen dan Katolik pada tahun 1965 tidak ada, tetapi pada tahun 1983 mereka menguasai (memilki) 15,7 ha (desa pada tahun 1984 memiliki 8,1 ha). (c) ‘Kristenisasi’ tersebut, sebagaimana telah dikatakan, mendorong upaya-tanding ‘Islamisasi’ sebagaimana diungkapkan oleh media dan kegiatan kelompok Islam, yang agamanya juga dianggap sebagai agama misi (dakwah). ‘Islamisasi’ itu misalnya ditandai oleh: 1) Berdirinya organisasi ‘Misi Islam’ dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi ini sejak tahun 1960-an; 2) Pada tahun 1990-an ketika struktur peluang politik sedikit terbuka yang disusul dengan lahirnya ICMI, muncul gejala yang disebut sebagai ‘Islamisasi birokrasi’ yang kemudian dianggap memberi sumbangan bagi munculnya ketegangan politis antara kelompok Islam (ICMI) dengan kelompok Kristen, antara lain sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso, yang sampai sekarang belum mereda secara tuntas. 3) Ditayangkannya rubrik ‘mu’alaf’ di TV yang memberitakan orang-orang yang beralih ke agama Islam, seraya memberikan penghargaan dan pujian, serta mempropagandakannya; 4) Hassan [1985] mencatat bahwa dengan tidak menyertakan provinsi Timor Timur pada tahun 1970, dari 26 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mencatat kenaikan jumlah penduduk Muslim; 5) Di DIY Hassan [1985] juga mencatat antara tahun 1978 dan 1983 jumlah penduduk Muslim naik sedikit di atas 8%. Oleh karena itu sebagaimana sebagian muslim dan pemimpin kelompok Islam ‘mengidap ketakutan atas kristenisasi’, kelompok Kristenpun mengalami hal yang serupa, setidaknya untuk sebagian (besar) orang Kristen. Ketakutan ini menjadi sangat nyata, ketika terjadi tindakan ancaman penutupan dan bahkan perusakan gereja di beberapa wilayah, seperti yang terjadi di Jawa Barat. Ketakutan itu semakin beralasan ketika Kristen diidentikkan dengan Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris, setelah Bush ‘mengomandokan’ perang melawan Irak dan teroris menyusul serangan tragis terhadap menara kembar WTC, yang kemudian dikenal sebagai tragedi 911. Kelompok Kristen dijadikan ‘sasaran tembak’ oleh kaum militan anti Barat.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
51
Pembatasan Kebebasan Beragama: Bisakah ? Frasa ‘kebebasan beragama’ di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu digandengkan dengan kebebasan lainnya, yaitu ‘kebebasan berpikir, berkesadaran (berhaati-nurani), beragama atau berkeyakinan’, yang terletak di ranah forum internum dan dianggap dan diperlakukan sebagai kebebasan mutlak. Sebagaimana telah saya paparkan sebelumnya, inti normatif kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung 8 anasir (kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orangtua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal, dan non-derogability). Itu berarti bahwa ‘kebebasan beragama atau berkeyakinan’ (bersama dengan kebebasan lain) yang merupakan matra internal dan terletak di dalam ranah forum internum berifat mutlak dan tidak bisa ditangguhkan (non-derogable) dalam keadaan apapun (darurat perang atau darurat publik/sipil), dan kapanpun. Hal ini dinyatakan secara ekplisit di dalam ICCPR Pasal 18 (1), dan juga ECHR Pasal 9 (2), serta ACHR Pasal 12 (3) [Nowak & Vospernik, 2004:148]. Lain halnya dengan kebebasan untuk mewujudkan, mengejawantahkan, atau memanifetasikan agama atau keyakinan seseorang -- misalnya tindakan kebebasan menyebarkan agama atau keyakinan, melakukan ibadah, dan mendirikan tempat ibadah -- yang termasuk kebebasan bertindak (freedom to act). Sebagaimana ditunjukkan oleh Ghanea et.al. [2004] kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau keyakinan (anasir ketujuh) diperbolehkan untuk dibatasi, dan bersifat bisa diatur, atau ditangguhkan penikmatannya. Akan tetapi penundaan penikmatan, pembatasan, atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan undang-undang, serta alasan yang digunakan untuk melakukan penundaan penikmatan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah perlunya ada perlindungan atas lima hal, yaitu: (i) public safety, (ii) public order, (iii) public health, (iv) public morals; (v) protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama dari tindakan penundaan penikmatan, pengaturan, atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan mereka.69 Seturut dengan hal itu, ihwal kebebasan mendirikan tempat ibadah dapat dan dimungkinkan diatur oleh undang-undang, jika dikehendaki pengaturan itu dilakukan oleh negara, dengan syarat tidak ada diskriminasi. Akan tetapi terbuka pula kemungkinan diatur sendiri oleh masyarakat sipil (kelompok-kelompok keagamaan, lembaga keagamaan) lewat kesepakatan yang dicapai melalui perundingan, manakala masyarakat sipil telah matang dan mampu mengatur dirinya sendiri, baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional. Jika arahan normatif ini disepakati, maka SKB Mendagri dan Menag tahun 1969 yang ramai diperdebatkan itu (i) harus dicabut, karena tidak memenuhi tuntutan normatif, atau (ii) harus ditingkat menjadi undang-undang (dengan perubahan di sana sini) agar memenuhi persyaratan normatif.
69
Lihat Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights, 326. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
52
Daftar Bacaan: Ali (ed.), Lukman, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996. Althusser, Louis, Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an Investigation), dalam Hanhart, John G., Video Culture: A Critical Investigation, New York, Visual Studies Workshop Press,1986. Bauberot, Jean, The Place of Religion in Public Life: The Lay Approach, dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000. Bhaskar, Roy, The Possibility of Naturalism: A Philosophycal Critique of the Contemporary Human Science, New York & London, Harvester Wheatsheaf, 1989. Bowles, Samuel, Unequal Education and the Reproduction of the Social Division of Labor; dalam Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977. Bowles, Samuel and Gintis, Herbert, I.Q. in the U.S. Class Structure, dalam Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977. Cohen, Jean L. and Arato, Andrew, Civil Society and Poltical Theory, Cambridge & london, The MIT Press, 1994. Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999. Elster, John (ed.), Karl Marx: A Reader, Cambrigde & New York, Cambridge University Press, 1989. Geertz, Clifford, The Religion of Java, New York & London, The Free Press & CollierMacmillan Limited, 1969. Gramsci, Antonio, Selections from the Prison Notebooks, London & New York, Lawrence & Wishart and International Publisher, 1975. Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigation, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001. Hassan, Prof. DR. Riaz, Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1985. Hornby, AS, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, London & Tokyo, Oxford University Press, 1974. Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press, 1977. Kuper, Adam and Kuper, Jessica, The Social Science Encyclopedia, London & New York, Routledge & Keagan Paul, 1989. Lerner, Nathan, ‘The Nature and Minimum Standard of Freedom of Religion or Belief’ dalam Lindholm, Durham, Tahzieb-Lie, Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004. Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004. McHugh, P., Defining the Situation: The organization of meaning in social interaction, Indianapolis, Bobbs-Merril, 1968. Minogue, Kenneth, Freedom, dalam Kuper & Kuper (eds.), The Social Science Encyclopedia, London & New York, Routledge, 1989. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
53
Nasr, S.H., ‘The concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic Civilization,’ dalam A.S. Rosenbaum (ed.), The Philosophy oh Human Rights – International Perspective, Westport, Connecticut, Greenwood Press, 1980. Neufeldt, Victoria, and Guralnik, David B., Webster's New World Dictionary of American English, Cleveland & New York, Webster's New World, 1988. Nowak, Manfred and Vospernik, Tanja, Permissible Ristrictions on Freedom of Religion or Belief, dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004. Podopridoga, Roma, Freedom of Religion and Belief and Discretional State Approval of Religious Activity, dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004 Reading, Hugo F., Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial), Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1986. Reinders, Johannes S., Human Rights from the Perspective Of a Narrow Conception of Religious Morality, dalam Abdullahi A. An-Naim et.al., Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam & Michigan, Edition Rodopi & William B. Eerdmans Publishing Company, 1995. Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston, Allyn and Bacon, 1975a. -------, 'Sociology: A Multiple Paradigm Science, AmericanSociologist 10: 156-167. Sumodiningrat, Gunawan dan Purna, Ibnu (ed.), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Jakarta, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, 2004. Theodorson, George A. and Theodorson, Achilles G., A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1969. Thomas, W.I. dan Znaniecki, Florian di dalam The Polish Peasant in Europe and America (Vol. I, University of Chicago Press, Chicago, 1918). Titaley, Prof. DR. John A., Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP di Yogyakarta 13 Desember 2004. Yewangoe, Andreas A., Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP, Yogyakarta 13 Desember 2004. Zakaria, F., ‘Human Rights in the Arab World: The Islamic Content,’ dalam P. Ricour (ed.), Philosophical Foundation of Human Rights, Paris, UNESCO,1986.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
54
KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN DALAM INSTRUMEN INTERNASIONAL DAN NASIONAL Pengantar Di dalam berbagai instrumen hukum dan hak asasi manusia tersebut, hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang bersifat mutlak (absolut) sehingga tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dicampuri oleh siapapun dan dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan perang sekalipun (non derogable rights). Yang bisa dibatasi hanyalah kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan, dan itu pun, hanya bisa dibatasi oleh hukum apabila pemanifestasian agama atau keyakinan itu bertentangan dengan kesehatan, keselamatan, moral, dan ketertiban umum, serta bertentangan dengan hak asasi orang lain. Dalam session ini, peserta diajak untuk mengidentifikasikan hak kebebasan beragama/berkeyakinan di dalam instrumen HAM Internasional dan instrumen hukum nasional. Identifikasi ini termasuk didalamnya instrumen hukum yang mendukung dan yang menghambat hak kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Tujuan 1. Peserta dapat mengindentifikasikan hak kebebasan beragama dalam instrumen HAM Internaional 2. Peserta mengetahui pasal-pasal dalam instrument hukum ham internasional dan nasional yang menjamin kebebasan beragama / berkeyakinan 3. Peserta mengetahui kewajiban Negara dalam pemenuhan HAM, khususnya kebebasan beragama/berkeyakinan 4. Peserta dapat mengidentifikasikan peraturan perundangundangan yang mendukung dan menghambat hak kebebasan beragama/ berkeyakinan Topik 1. Hak Kebebasan Beragama dalam Intsrumen HAM Internasional dan Nasional 2. Kewajiban Negara dalam memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan Metode Diskusi Kelompok (60’) Presentasi (60’)
Waktu 120 menit Alat/Bahan DUHAM, ICCPR, ICESCR,CERD, UNDRIP,CRC,CEDAW,CAT,UUD 1945,UU No.39/99, UU No. 23/2002, UU No.11/2006, UU No.12/2006, UU No.1/1974 Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
55
PROSES FASILITASI 1. Fasilitator membuka sessi dan menjelaskan tujuan dari sesi tentang kebebasan beragama/berkeyakinan 2. Bagi peserta menjadi dua kelompok yaitu : Kelompok 1: INTRUMEN HAM INTERNASIONAL Kelompok 2 : INSTRUMEN HAM NASIONAL 3. Mintalah setiap kelompok untuk : - Membaca instrument HAM sesuai kelompoknya (Internasional/Nasional) - Identifikasi Pasal-Pasal yang terkait dengan hak kebebasan beragama/keyakinan - Pasal-pasal yang telah diidentifikasikan dianalisa apakah mendukung atau menghambat hak kebebasan beragama/keyakinan 4. Berikan waktu 60 menit untuk diskusi kelompok 5. Minta peserta untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok. 6. Bahas dan minta peserta lain untuk mengkoreksi/menambahkan.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
56
BAHAN BACAAN
KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN DALAM INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL Febionesta Pengantar Kebebasan Beragama atau berkeyakinan merupakan hak asasi manusia yang fundamental yang dijamin dan dilindungi di dalam berbagai instrumen hukum dan hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Hal ini menunjukan perhatian yang besar dari masyarakat dunia akan pentingnya kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai salah satu hak asasi yang paling fundamental dan karenanya harus dihormati dan dilindungi. Di dalam berbagai instrumen hukum dan hak asasi manusia tersebut dapat ditemukan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang bersifat mutlak (absolut) sehingga tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dicampuri oleh siapapun dan dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan perang sekalipun (non derogable rights). Yang bisa dibatasi hanyalah kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan, dan itu pun, hanya bisa dibatasi oleh hukum apabila pemanifestasian agama atau keyakinan itu bertentangan dengan kesehatan, keselamatan, moral, dan ketertiban umum, serta bertentangan dengan hak asasi orang lain. Dalam advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, berbagai instrumen nasional dan internasional ini dapat digunakan sebagai argumen untuk memastikan diberikannya perlindungan oleh pihak-pihak terkait, khususnya pemerintah.
Kebebasan Beragama atau berkeyakinan Dalam Instrumen Hukum Nasional A. Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai kontitusi negara, UUD 1945 merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia. Sejak awal merdeka, Indonesia telah mengakui dan melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagaimana dituangkan di dalam UUD 1945. Dengan demikian bangsa Indonesia telah menyadari keutamaan kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai salah satu tolok ukur pencapaian kemerdekaan yang hakiki. Hak ini dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
57
Melalui amandemen kedua UUD 1945, jaminan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan semakin di tekankan di dalam Bab khusus tentang Hak Asasi Manusia, yaitu : Pasal 28E UUD 1945 (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28I UUD 1945 (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pasal 28 J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalamsuatu masyarakat demokratis.”
B. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Reformasi 1998 memberikan jalan untuk disusunnya undang-undang yang mengatur secara khusus perlindungan hak asasi manusia. Berdasarkan mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat, disusunlah UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, kebebasan beragama atau berkeyakinan juga diatur di dalam undang-undang ini, yaitu : Pasal 22 UU No.39/1999 Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dan Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
C. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Undang-undang ini memberi jalan bagi berlakunya ketentuan hak asasi manusia internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia, yang di salah satu pasalnya menjamin dan melindungi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
58
Kebebasan Beragama atau berkeyakinan Dalam Instrumen Internasional A. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Deklarasi ini merupakan komitmen seluruh bangsa di dunia atas penegakan hak asasi manusia. Deklarasi yang diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 ini merupakan fondasi awal pengakuan dan jaminan hak-hak asasi manusia secara internasional, dimana dibeberapa pasalnya menegaskan bahwa semua hak-hak asasi manusia yang dicantumkan di dalam Deklarasi berhak dinikmati oleh semua orang tanpa membedakan agamanya. Dan secara lebih khusus, kebebasan beragama atau berkeyakinan diatur di dalam Pasal 18 yang menyatakan: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi. Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh penduduk suatu negara. B. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Selanjutnya pada tahun 1966, PBB kembali menegaskan jaminan Kebebasan beragama atau berkeyakinan di dalam sebuah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL). Kovenan ini pada tahun 2005 telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, maka dengan demikian segala ketentuan di dalam Kovenan ini, termasuk yang mengenai jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan, menjadi berlaku pula di tingkat nasional. Pasal 18 Kovenan ini menyatakan: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. 2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
59
3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. 4. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Di dalam Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia Nomor 22 terhadap Pasal di atas, dijelaskan bahwa Istilah “kepercayaan” dan “agama” harus dipahami secara luas. Tidak membatasi penerapannya hanya pada agama-agama tradisional atau agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang memiliki karakteristik institusional atau praktik-praktik yang serupa dalam agama-agama tradisional tersebut. Terhadap hak yang terkait kebebasan beragamatersebut berlaku pembatasan. Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam pasal 18, ayat (3): mencakup lima elemen berikut: keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others). Secara lebih rinci diuraikan di bawah ini. 1. Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal. 2. Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat. Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum; keharusan mendirikan tempat ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana. 3. Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat. Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
60
4. Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat. Misalnya, melarang implementasi ajaran agama penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
yang
menyuruh
5. Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain.
C. Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama Meskipun jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan telah diatur dalam DUHAM dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, pengaturan kebebasan beragama atau berkeyakinan secara lebih rinci diatur di dalam deklarasi yang diadopsi pada tahun 1981 ini. Diantaranya cakupan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang meliputi: hak beribadah, hak memiliki tempat ibadah, hak memungut dan menerima sumbangan, hak menyebarluaskan agama, hak merayakan hari kegamaan, dan hak-hak lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu agama atau keyakinan. D. Instrumen Internasional Lain Di dalam berbagai instrumen internasional lainnya, seperti Konvensi Hak Anak, Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Anti Penyiksaan, dan Konvensi-konvensi lainnya, meskipun tidak secara khusus mengatur jaminan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan, namun demikian secara tegas melarang adanya diskriminasi atau kekerasan yang didasarkan pada agama seseorang.
Kewajiban Negara Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 8 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh UU No. 12 Tahun 2005. dengan demikian, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan kewajibannya memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Diambil dari Febionesta Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam Instrumen Hukum Nasional dan Internasional, dalam Memaknai Kebebasan Beragama, Modul Pelatihan Paralegal untuk Penganut Agama dan Penghayat Kepercayaan, ILRC-HIVOS, Jakarta, 2009
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
61
PELANGGARAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN Pengantar Hak kebebasan beragama/keyakinan secara tegas dijamin dalam instrumen hukum nasional maupun internasional. Negara pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak kebebasan beragama/keyakinan setiapwarga negaranya. Namun, dalam kenyataannya hak ini masih dilanggar. Dalam session ini peserta diajak untuk memahami pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan, aktor pelanggaran dan kaitannya dengan pelanggaran HAM lainnya.
Tujuan 3. Peserta mengetahui pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia dan negara-negara lain 4. Peserta membangun empati terhadap korban pelanggaran HAM Topik Pelanggaran KBB Metode Permainan (30’) Testimoni Korban (90’) Waktu 120 menit
Alat/Bahan Alat Tulis Gambar Pelanggaran HAM Testimoni korban
PROSES FASILITASI Langkah 1 Permainan Pelanggaran HAM − Fasilitator memberikan pengantar untuk sessi pelanggaran HAM. Ulas secara singkat mengenai hokum HAM. Jika dalam hokum pidana atau perdata ikatannya adalah antar-individu, maka dalam hokum HAM yang terikat kontrak adalah Negara. Di dalam hokum pidana, yang melakukan pelanggaran hokum adalah individu, karenanya pelanggaran hokum tersebut harus dipertanggungjawabkan secara langsung oleh individu.Yang bersangkutan dan tanggungjawabnya tidak bisa dialihkan. Sedangkan dalam ketentuan hokum HAM, karena yang terikat adalah Negara, maka yang akan dilihat sebagai pelaku pelanggaran HAM adalah Negara. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
62
− − −
−
−
Tampilkan gambar/foto yang menginditifikasikan pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan. Buat empat lingkaran besar, masing-masing lingkaran dengan tulisan “YA”, “TIDAK”, “YA, TAPI,…..” dan “TIDAK, TAPI………” Tampilkan gambar/foto yang telah disiapkan. Berikan pertanyaan :“Apakah ini termasuk pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/Tidak ? dan minta peserta untuk masuk dalam lingkaran sesuai penilaiannya Minta peserta untuk mengemukakan alasannya mengapa mereka menyatakan “YA”, “TIDAK”, “YA, TAPI,…..” dan “TIDAK, TAPI………” dan bagaimana seharusnya negara bersikap. Tampilkan bagan 4, Hukum dan HAM. Pertegas pengertian pelanggaran HAM, terutama pelanggaran by commission dan pelanggaran by commission.
HUKUM HAM PEMANGKU HAK
PEMANGKU KEWAJIBAN
INDIVIDU
NEGARA
MENGHORMATI
COMMISSION
MEMENUHI
MELINDUNGI
OMMISSION
Langkah 2 : Testimoni Korban a. Peserta yang bertugas menjadi moderator dipersilahkan untuk memandu diskusi bersama narasumber yang menjadi korban pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan b. Ingatkan kepada peserta untuk menghargai dan menghormati korban pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan c. Setelah pemberian materi selesai, mintalah komentar/klarifikasi dari 1-2 peserta.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
63
BAHAN : GAMBAR PELANGGARAN HAM
Gambar 1 : Anak Muslim Berkunjung/Belajar di Gereja
Gambar 2 : Larangan Membangun Rumah Ibadah
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
64
Gambar 3 : Poligami Syekh Puji
Gambar 4 : Pemidanaan terhadap Lia Eden
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
65
Gambar 5 : Penurunan Patung Mojang Priangan di Bekasi
Gambar 6 : Larangan Penggunaan Jilbab/Cadar/Burqa di Ruang Publik
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
66
Gambar 7 Pembakaran Alquran
Gambar 8 Penurunan Patung Budha di Vihara
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
67
Gambar 9 : KTP tidak sesuai agama/keyakinan yang dianut
Gambar 10 : Patung Budha di Bar (indonesiancommunity.multiply.com)
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
68
BAHAN BACAAN
MANAKALA PERATURAN MENJEGAL KEJUJURAN Oleh: Asep Setia Pujanegara
A. LATAR BELAKANG Aku lahir dan dibesarkan dari sebuah keluarga yang masih memegang teguh ajaran leluhur bangsa. Aku terlahir sebagai bangsa Indonesia bersuku sunda, sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa, yang patut aku syukuri dan laksanakan dalam hidup dan penghidupanku. Setiap bangsa pasti memiliki cara dan ciri tersendiri dalam hidup dan penghidupannya itu, tak terkecuali dalam memaknai dan mengartikan nilai-nilai KeTuhanan yang biasanya dapat kita lihat dalam adat dan budaya dari masing-masing bangsa itu, yang senyatanya jika kita kaji dan pahami sesungguhnya nilai-nilai adat dan budaya itu memiliki makna falsafah yang dalam. Namun meskipun demikian, kenyataannya di Indonesia untuk melaksanakan apa yang menjadi keyakinan dan hak nya itu tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan, hal ini tentulah menjadi urusan yang sangat tidak sederhana dan tidak mudah untuk mencari solusinya, urusan ini pun seakan-akan diperparah dengan sikap pemerintah yang tak jelas dalam menerapkan aturan-aturannya, mungkin pula pemerintah tidak tahu atau tidak mau tahu dan tidak mengerti kepada permasalahan yang ada.
B. DISKRIMINASI YANG DIALAMI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA Hingga saat ini nasib yang dialami masyarakat penghayat, terutama dalam pemenuhan hak nya sebagai warga Negara belum dapat terpenuhi sebagaimana mestinya. Berawal dari pembuatan Kartu Tanda Penduduk /KTP (kolom agama), bidang pendidikan sekolah (mata pelajaran agama), pencatatan perkawinan, karir/pekerjaan bagi CPNS, melamar untuk jadi polisi/tentara dll, hingga urusan pemakaman jenazah, semua itu menjadi perkara yang rumit dan berbelit-belit bahkan ada pula sampai terjadi tindak kekerasan dan pengerahan massa, dan hal ini sudah terjadi sejak lama, sekalipun sekarang sudah keluar UU no 23 tahun 2006 tentang Adminduk dan PP no 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Adminduk, namun kenyataan di lapangan belum berjalan sesuai harapan. Selain itu pula masih banyak masyarakat umum yang memandang kaum penghayat sebagai komunitas tak berpendidikan “terbelakang”, tidak beragama “belum bertuhan” , klenik/mistik /santet hingga di cap sebagai “generasi animisme dan dinamisme” dll, “Status” itu tersandang karena pencitraan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan pemahaman masyarakat yang belum tahu tentang penghayat kepercayaan dan akhirnya memiliki pemahaman yang keliru.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
69
C. CONTOH KASUS Sesungguhnya banyak kasus-kasus diskriminasi yang dialami para penghayat, hanya saja kasus-kasus itu minim sekali yang dimunculkan/diberitakan, hal ini dikarenakan beberapa alasan salah satunya adalah mereka (penghayat) merasa ketakutan jika kasusnya itu dibawa hingga ke jalur hukum, kebanyakan dari mereka adalah dengan bersikap “mengalah”, sekalipun tertekan dan dirugikan. Pada kesempatan ini saya akan berbagi cerita tentang perlakuan diskriminasi, yang pernah saya dan keluarga alami.
I.
Kronologis peristiwa. Tgl 23 Agustus 2001 berlangsung perkawinan antara Asep Setia pujanegara dan Rela Susanti, bertempat di Ciparay kabupaten Bandung, dilaksanakan dengan Tata cara Adat sunda, di restui dan dikawinkan langsung oleh orang tua (pihak perempuan) dan dihantarkan oleh keluarga laki-laki, serta dihadiri aparat setempat RT/RW dan aparat desa serta sanak keluarga, saksi-saksi dan dihadiri pemuka adat. Agustus 2001 melapor ke Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bandung, dengan membawa berita acara tentang perkawinan yang lengkap, namun ditolak secara lisan, kamipun akhirnya meminta secara tertulis Surat penolakannya dari KCS, 1 Oktober 2001 KCS mengeluarkan surat penolakan yang diantaranya menyatakan: 1. Bahwa penghayat kepercayaan bukan agama, sementara yang diakui oleh Negara hanya 5 agama resmi 2. Merujuk SK Mendagri Nomor: 474.2/3069/PUOD, tanggal 19 Oktober 1995, yang ditandatangani oleh Dirjen PUOD, sumitro Maskun, yg isinya : perkawinan pasangan penhayat tidak dapat dicatatkan di kantor catatan sipil walaupun telah dikukuhkan oleh penetapan pengadilan 3. menginterpretasikan pasal 29 ayat 2,” …..agama dan kepercayaan”, bahwa kata kepercayaan itu bukan untuk/ berarti penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. 4. Menginterpretasikan bahwa “Negara yang berdasarkan atas ketuhanan YME” itu berarti harus beragama, dan agama yang dimaksud adalah 5 agama “resmi”. 27 Des 2001 memasukan berkas Gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Bandung 25 April 2002 PTUN Bandung mengeluarkan keputusan yang isinya: Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya (kasus dimenangkan oleh Penggugat) artinya KCS harus mencatatkan perkawinan pasangan Asep& Rela, tetapi selanjutnya KCS malah Banding. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
70
29 April 2002
KCS menyatakan banding ke PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) di Jakarta
13 Januari 2003
PTTUN mengeluarkan putusannya dan kasus dimenangkan kembali oleh Penggugat, tetapi lagi-lagi pihak KCS menolak putusan tersebut dan akhirnya kasus berlanjut Kasasi ke MA (Mahkamah Agung)
18 Sept 2003
Lahir anak dari pasangan Asep & Rela yang bernama Pramayuda Padmanegara, namun ketika memohon akta kelahiran dari KCS, ditolak karena tidak/belum memiliki akta perkawinan (karena memang kasusnya masih/ sedang berlanjut di MA), akhirnya KCS mengeluarkan akta kelahiran tetapi tidak dicantumkan nama ayahnya (tertulis telah lahir anak dari seorang perempuan bernama……)
28 Maret 2006
Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya bahwa : menolak permohonan kasasi dari KCS kabupaten Bandung, yang keputusannya diterima oleh pasangan Asep-Rela setelah UU-23/2006 diundangkan.
15 Agustus 2007
lahir anak ke-2, Satriya Padmanagara, dan mendapatkan langsung akta kelahirannya dengan “utuh” (dicantumkan ayah-ibunya)
22 Nov 2007
mengeluarkan akta perkawinan pasangan Asep & Rela
19 Des 2007
Pramayuda Padmanegara mendapatkan akta kelahiran dengan tambahan “catatan pinggir” (menyatakan pengakuan dari pasangan asep & rela)
Juli 2009
Pramayuda Padmanegara masuk Sekolah Dasar (SD negeri Merdeka 5 Bandung) dan untuk mata pelajaran Agama, dia mendapatkan pelajaran kepenghayatan&Budi Pekerti yang difasilitasi oleh organisasi BUDI-DAYA.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
71
STUDI KASUS PELANGGARAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN Pengantar Hak kebebasan beragama/keyakinan secara tegas dijamin dalam instrumen hukum nasional maupun internasional. Negara pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak kebebasan beragama/keyakinan setiap warga negaranya. Namun, dalam kenyataannya hak ini masih dilanggar. Dalam session ini peserta diajak untuk menganalisa kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan di Indonesia. Tujuan 1. Peserta mampu menganalisa pelanggaran-pelanggaran kebebasan beragama/keyakinan dan instrumen HAM yang dilanggar 2. Peserta dapat menganalisa jalan keluar/advokasi dari pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan Topik 1. Pelanggaran KBB 2. Instrumen HAM yang dilanggar 3. Advokasi yang ditawarkan Metode Diskusi Kelompok (60’) Presentasi (60’)
Waktu 120 menit
Alat/Bahan Alat Tulis Lembar Kasus
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
72
PROSES FASILITASI Langkah 1 : Studi Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama/Keyakinan a. Fasilitator memberikan penjelasan singkat mengenai tujuan sesi. Tekankan bahwa hak kebebasan beragama/keyakinan adalah hak konstitusional, dan pelanggaran terhadap hak ini merupakan pelanggaran konstitusi. b. Bagi peserta menjadi tiga kelompok, dengan jumlah yang sedapat mungkin mewakili perbedaan paham keagamaan dan jenis kelamin. Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok c.
1 2 3 4
: : : :
Kasus Kasus Kasus Kasus
Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri Pendidikan Agama Penghayat Penyerangan Perkampungan Ahmadiyah Perkawinan Beda Agama
Mintalah peserta untuk mendiskusikan : − Apakah terjadi pelanggaran HAM ? − Jika merupakan pelanggaran HAM, siapa aktor yang terlibat ? bentukbentuk pelanggaran HAM ? dan kaitannya dengan pelanggaran hakhak lain ? − Bagaimana analisa hukum terhadap kasus tersebut ? − Langkah advokasi yang dapat dilakukan dalam kasus tersebut ? −
Langkah 2 : Presentasi Hasil Disikusi Kelompok a. Masing-masing kelompok diminta mempresentasikan hasil diskusi dalam waktu singkat b. Kelompok lain diminta untuk mengkritisi, atau memberikan klarifikasi terhadap hasil diskusi kelompok lain. c. Bahas bersama point-point yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama. d. Kumpulkan langkah-langkah advokasi yang ditawarkan setiap kelompok. Kelompokan langkah advokasi menjadi tiga area yaitu substansi peraturan, struktur (aparatur negara) dan kultur.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
73
Kasus 1
Busana Muslim Membuat Siswi-Siswi Non-Muslim Padang Merasa Tidak Nyaman Dipublikasi pada 26 April 2008 PADANG, Sumatra Barat (UCAN) -- Stefanus Prayoga Ismu Rahardi merasa sedih melihat kedua putrinya yang merasa tidak nyaman saat harus mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah. "Pertama kali saya melihat anak-anak saya memakai jilbab, saya kasihan karena ada perasaan tertekan dalam batinnya, kata bapak dari tiga anak perempuan itu kepada UCA News, 25 Agustus 2007. Mereka tidak tahu cara memakai jilbab dan jadi uring-uringan, Mereka merasa tidak nyaman. Agustina, anak perempuan tertuanya, menempuh studi di sebuah sekolah menengah umum negeri. Putri keduanya, Yashinta, menempuh studi di sebuah sekolah menengah umum kejuruan negeri. Kedua sekolah tersebut berada di Padang, ibukota Propinsi Sumatra Barat. Bapak berusia 44 tahun itu menceritakan bahwa pada bulan Juli, hari-hari pertama tahun ajaran sekolah, para guru sering bertanya kepada kedua anaknya mengapa mereka tidak memakai jilbab di sekolah. Saya katakan kepada mereka agar memakai jilbab, lanjutnya, sehingga mereka tidak akan menjawab pertanyaan yang sama terus menerus. Namun ia juga menyarankan kepada mereka agar menganggap jilbab hanya sebagai asesoris. "Mereka berada dalam situasi yang sulit. Mereka tidak punya pilihan, jelas Rahardi, anggota Paroki St. Fransiskus dari Asisi di Padangbaru. Rok panjang dan kemeja lengan panjang yang merupakan karakteristik dari busana Muslim memang lebih rapi dan sopan dibandingkan rok pendek dan kemeja lengan pendek yang umum dipakai para siswi di daerah lain, katanya mengakui. Tetapi saya keberatan jika para siswi non-Muslim harus memakai jilbab, karena jilbab di sini masih dianggap identik dengan Islam. Sejak 2002, hampir semua 19 kabupaten dan kota di Propinsi Sumatra Barat telah memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) atau instruksi walikota dan bupati yang menetapkan busana Muslim bagi para pelajar Muslim. Kabupaten Solok, misalnya, mengeluarkan Perda No. 6/2002. Sementara itu, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan Kabupaten Agam masing-masing memiliki Perda No. 58/2003, Perda No.2/2003, dan Perda No. 6/2005. Walikota Padang Fauzi Bahar mengeluarkan sebuah instruksi yang mewajibkan semua pelajar Muslim dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum untuk memakai busana Muslim.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
74
Bonifasius Bakti Siregar, staf Dirjen Bimas Katolik Propinsi Sumatra Barat, mengatakan bahwa persyaratan semacam itu memiliki dampak psikis yang kuat terhadap para siswi non-Muslim, yang akan tampak berbeda dari kebanyakan teman-teman kelas mereka jika mereka tidak memakai busana Muslim. Para siswi non-Muslim di sekolah-sekolah negeri mendapati diri mereka dalam sebuah situasi yang sulit, katanya kepada UCA News. ”Mereka ingin memilih sekolah swasta yang dikelola Protestan atau Katolik yang tidak memberlakukan peraturan pemakaian jilbab, namun sekolah-sekolah ini tidak ada di kabupaten atau kota itu.” Pusat Studi Antar-Komunitas (PUSAKA) di Padang melakukan sebuah survei pada April-Oktober 2006 di kalangan para siswi non-Muslim di enam kabupaten dan kota yang berpenduduk mencakup Muslim dan umat beragama lain. Survei ini mengungkap bahwa meskipun Perda tentang wajib berbusana Muslim diterapkan hanya untuk pelajar Muslim, tapi kenyataannya setiap pelajar wajib memakai busana Muslim. Seorang responden adalah Nova Hungliot Simarmata, siswi beragama Katolik dari SMU Negeri II di Kabupaten Pesisir Selatan. Ia menjelaskan bahwa sekolahnya mulai mewajibkan para pelajar untuk memakai busana Muslim tahun 2005. Memakai jilbab membuat dia tidak nyaman. "Bagaimana rasanya, seorang Katolik seperti saya harus mengenakan jilbab, yang merupakan ciri khas Islam itu?” tanyanya. “Tapi saya tidak punya pilihan. Saya harus patuh dengan peraturan sekolah." Survei itu melaporkan bahwa Nova dan orangtuanya awalnya tidak mematuhi peraturan tersebut, tapi seorang guru sering mendesak Nova untuk memakai jilbab. “Apa salahnya mengikuti peraturan yang ditetapkan pemerintah,” kata guru itu. "Pertama kali memakai jilbab, saya merasa sangat risih sebab pakaian ini rasanya asing bagi saya,” kata Nova. “Masyarakat umumnya berpandangan bahwa dengan memakai pakaian model itu saya dianggap beragama Islam.” Menurut Nelty Anggraini, seorang peneliti beragama Islam dari PUSAKA, laporan survei itu mengungkap bahwa Perda tentang wajib busana Muslim tidak menjamin hak-hak kelompok minoritas. “Para pelajar non-Muslim, yang jumlahnya sangat kecil, tidak memiliki daya untuk tidak patuh. Demi alasan supaya seragam, terpaksa mereka mematuhi peraturan itu,” katanya kepada UCA News.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
75
Kasus 2 Pernikahan Beda Agama
Pernikahan Beda Agama Termasuk Pidana Hukum Islam Oleh : Fathul Ulumhttp://www.majalahforum.com/hukum.php?tid=89
•
Pernikahan beda agama, khususnya antara wanita Islam dengan lelaki beragama non Islam, selalu menjadi polemik di kalangan ummat Islam. Satu sisi ada yang menganggap pernikahan beda agama berada dalam wilayah ijtihadi. Namun sebagian besar menganggap hukumnya haram dan mutlak dipatuhi ummat. Sebuah situs berita menuliskan berita seorang artis mengaku siap menikah dengan calon suaminya yang berbeda agama. Penyanyi wanita yang beragama Islam tersebut mengaku sudah empat tahun berpacaran dengan lelaki yang berbeda agama dengan dirinya. “Tahun ini, Desember sudah mau empat tahun pacaran. Cukup lama kan yah. Insya Allah tahun depan (menikah),” ujar sang artis seperti ditulis situs tersebut. Berita tentang pernikahan beda agama, khususnya antara wanita muslim dengan lelaki non muslim, sudah sering muncul menjadi berita di publik, apabila itu menyangkut publik figur. Dalam kehidupan sehari-hari tak jarang juga kita menjumpai sebuah rumah tangga dibangun dengan pasangan yang berbeda agama. Dan, setiap kasus tersebut muncul, selalu ada polemik mengiringnya, apakah pernikahan tersebut sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Bila merujuk UU No.1/1974 yang mensyaratkan pernikahan baru bisa dianggap sah bila dilakukan sesuai hukum perkawinan masing-masing agama dan dicatatkan ke lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku, sebenarnya sudah jelas. Sahnya suatu pernikahan dalam hukum Indonesia apabila hukum agama sudah mengakui pernikahan itu sah. Lalu bagaimana hukum Islam menyikapi pernikahan beda agama. Secara tradisionil, bagi masyarakat muslim pernikahan harus dilakukan dalam satu agama. Sebab dalam proses pernikahan, calon suami harus mengucapkan kalimat syahadat yang nota bene adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
76
satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad SAW adalah pembawa risalah yang benar. Oleh karenanya, dalam kesadaran kolektif, wanita muslim dilarang untuk menikah dengan lelaki non muslim. Namun globalisasi telah menimbulkan pergolakan pemikiran. Larangan bagi wanita muslim untuk menikah dengan lelaki berbeda agama, mulai digugat sebagian penggiat kesataraan gender. Menurut pandangan mata mereka, larangan tersebut merupakan hemegoni lelaki untuk memaksakan pendapat mereka terhadap wanita. Bagi mereka perkawinan adalah hak privat sebagaimana keyakinan beragama, sehingga tak bisa keduanya diatur secara hukum formal. Protes serupa juga dilakukan oleh mereka yang disebut-sebut intelektual Islam. Sebut saja kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh Ulil Abshor Abdalla. JIL yang selalu digadang-gadangkan oleh kaum sekuler sebagai kelompok intelektual Islam yang berpikiran modern, selalu berupaya mereduksi kedudukan hukum larangan wanita muslim menikah dengan lelaki muslim sebagai ketentuan yang datang dari langit tapi ijtihadi manusia di bumi. Tengok lah pemikiran Ulil yang gampang ditemui di sejumlah media, termasuk situs google. “Soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang.” Atas dasar itu, maka ia pun berpendapat karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka larangan wanita muslim menikah dengan lelaki muslim sudah tidak relevan lagi “Larangan kawin beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus takut kawin dengan yang di luar Islam…“ tulisnya. Benarkah kedudukan hukum larangan wanita muslim menikah dengan lelaki non muslim hanya ijtihadi ulama? Para penentang JIL menyebut kelompok tersebut ngawur. Pasalnya, hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yang digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221. “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
77
Selain dalil dasar tersebut, juga ada larangan mutlak dari Nabi Muhammad SAW. Jabir meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita”. Hadist ini menurut Ibnu Jarir berkata dalam Tafsirnya 4/367: “Sanad hadits ini sekalipun ada pembicaraan, namun kebenaran isinya merupakan ijma’ umat”. Hadist ini juga dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/587. Siapakah kaum musyrik yang dilarang menikahi wanita muslim? Apakah juga termasuk lelaki beragama samawi lainnya seperti Yahudi dan Nashrani? Sebuah situs Islam menyebutkan bahwa yang dimaksudkan musyrik juga termasuk mereka yang beragama Yahudi dan Nasharani. Dasarnya adalah Surat Al-Bayyinah ayat 6. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” Selain itu ada hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan HR Muslim. “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tanganNya, Tidak ada seorangpun dari umat ini baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, kecuali dia termasuk ahli neraka. Imam Syafi’i juga mengatakan jika seorang wanita memeluk Islam atau dilahirkan dalam keluarga muslim atau salah seorang dari orang tuanya memeluk Islam ketika ia belum baligh, maka semua laki-laki musyrik, baik ahli kitab maupun animisme, haram menikahinya dalam keadaan apapun. Pendapat sama juga disampaikan al-Kasani yang menyatakan haram menikahkan wanita muslim dengan lelaki ahli kitab maupun penyembah patung dan majusi. Atas dasar itu, sebenarnya bisa dikatakan, jika seorang wanita muslim memaksakan dirinya untuk menikah dengan laki-laki non Islam, maka hal itu akan dianggap berzina. Dan, karena zina termasuk domain pidana, wanitawanita muslim yang memaksakan diri menikah tersebut sebenarnya juga bisa dikenakan ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Tim Redaksi Fatwa MUI Pernikahan Beda Agama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M setelah menimbang: 1. Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama 2. Perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, tetapi sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat 3. Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi dan kemaslahatan Dan memperhatikan: 1. 1.Keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran. 2. Pendapat Sidang Komisi C bidang fatwa pada Munas VII MUI 2005 Dengan bertawakkal kepada Allah memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
78
Kasus 3 Kasus Penyerangan Perkampungan Ahmadiyah di Cisalada
Penyerangan Ahmadiyah Bogor Diduga Terencana Selasa, 05 Oktober 2010 | 06:08 WIB TEMPO Interaktif, Bandung -Aliansi Kerukunan Umat Beragama (Akur) Jawa Barat menyatakan pembakaran permukiman warga Ahmadiyah di Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terencana. “Tanda-tanda penyerangan sudah ada sejak awal, tapi tidak diantisipasi aparat keamanan,” kata Ketua Akur Jawa Barat, Asep Hadian Permana, di Bandung kemarin. Asep merujuk pada penelusuran lembaganya bahwa Jumat siang lalu ada pertemuan sekelompok orang di Laradon, Bogor, tak jauh dari permukiman warga Ahmadiyah di Ciampea Udik. Dalam pertemuan itu, kata dia, terpasang spanduk yang isinya menyebut Ahmadiyah sebagai penodaan agama. “Yang kami heran, kenapa tidak ada pencegahan,” ujarnya. Berdasarkan penelusuran Akur, kata Asep, aksi pembakaran itu bukan karena penusukan warga sekitar yang diduga dilakukan oleh anggota jemaah Ahmadiyah. Menurut dia, luka yang diderita salah satu dari dua korban dari kubu penyerang itu disebabkan oleh pecahan kaca. Asep mengatakan, dua korban luka itu justru sempat diamankan oleh warga dan diserahkan ke polisi. Lalu berkembang isu keduanya disekap warga Ahmadiyah, sehingga memicu penyerangan. Dia keberatan dengan pernyataan yang beredar bahwa aksi itu murni kriminal. Dia menyebut penyerangan itu akumulasi dari sejumlah peristiwa yang disebabkan oleh sentimen negatif terhadap kelompok Ahmadiyah sejak Juli lalu. Koordinator Advokasi Akur yang juga Direktur LBH Bandung, Gatot Rianto, menyesalkan penyerangan itu. Aparat keamanan seharusnya sudah bisa mengantisipasinya sejak dini. “Tindak kekerasan semacam ini seharusnya bisa dicegah,” kata dia. Menurut Wakil Humas Jamaah Ahmadiyah Indonesia wilayah Bandung Tengah, Dedi Suherman, hampir 70 persen warga Cisalada, Desa Ciampea Udik, merupakan penganut Ahmadiyah. Mereka secara turun-temurun sudah menghuni daerah itu sejak 1953. Dedi mengatakan, tekanan terhadap warga Ahmadiyah di sana berawal dari rencana warga Ahmadiyah merenovasi satu-satunya masjid mereka. Masjid itulah yang menjadi salah satu sasaran penyerangan pada 1 Oktober lalu. Rencana renovasi masjid itu ditolak oleh warga Ciampea Udik.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
79
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya perlu membahas secara mendalam persoalan Ahmadiyah bersama kementerian lainnya, khususnya Kementerian Agama. “Hari ini kita membahas dengan pejabat eselon I Kementerian Agama, tapi belum ada hasilnya karena ini untuk jangka panjang,” kata dia saat dihubungi tadi malam. Menurut dia, aspek yang didalami berhubungan dengan Undang-undang Dasar, hak asasi manusia, dan lainnya. Dia mengatakan pemerintah tetap akan menggunakan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. “Itulah yang jadi pedoman kita saat ini karena landasan hukumnya jelas,” ujarnya. Ketika ditemui di Kantor Presiden kemarin siang, Gamawan meminta pemerintah daerah aktif meredam konflik sebelum berkembang dan menimbulkan korban. “Begitu ada peristiwa kecil langsung dideteksi, diperkirakan apa yang bisa terjadi, ambil tindakan, langsung turun mendinginkan,” ujarnya. Menurut dia, pemerintah daerah sudah punya aparat penjaga ketertiban yang semestinya lebih aktif. Dia mendesak wali kota, bupati, gubernur, dan seluruh jajaran pemerintah daerah tak membiarkan pertikaian meluas, lantas melemparkan penanganannya ke kepolisian.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
80
Kasus 4 : Hak Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Ketua Penghayat Kepercayaan Kab. Tegal Klarifikasi ke Dikpora Senin, 27 Juli 2009 06:47 SLAWI, SUAR- Ketua Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Maneges kab. Tegal Rossa Mulya Aji belum lama ini mendatangi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kab. Tegal berkaitan dengan pengklarifikasian tentang materi pelajaran agama pada kurikulum dimana menurutnya dia merasa keberatan akan pemberian pelajaran Agama tersebut terhadap anaknya yang sedang mengenyam pendidikan di SD Penusupan 02 kec. Pangkah. Kepada Wartawan Rossa berpendapat seharusnya anaknya tidak diberikan pelajaran itu tetapi hal ini diserahkan sepenuhnya kepada wali murid di dalam pemberian pelajaran agama. ‘’Seperti di daerah Jawa Barat tepatnya di kab. Kuningan bahwa penghayat diberi kebebasan dalam mengenyam pendidikan di mata pelajaran budi pekerti Agama,’’ ungkapnya. Mengacu pada payung hukum bagi Penghayat Kepercayaan, kata ketua aliran kepercayaan tersebut, aturan sisminduk ( Sistem Administrasi Kependudukan ) sudah di buat yakni UU no 23 tahun 2006 dan diperkuat pada PP No 37 tahun 2007 tentang pensejajaran penghayat kepercayaan terhadap YME disejajarkan dengan agama di Indonesia dan hal ini sudah diwujudkan pada pembuatan KTP bagi penganut di poin Agama dikosongkan tidak ditulis. Terkait permasalahan atas keluhan dari Himpunan Pengahayat, atas nama Dinas Dikpora Waudin kabid pendidikan dasar akan mengkoordinasikan hal itu dengan Depag. Menindak lanjuti dari keluhan Penghayat kab. Tegal Suar mencobam mengkonfirmasikan kaitan payung hukum bagi penganut kepercayaan itu dengan Ketua Umum DPP Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Indonesia (HPK) Romo Guru Esno Kusnodho yang secara kebetulan beliau sedang mengadakan kegiatan pembinaan dan pelatihan kader keputeraan penganut penghayat dengan makalah dan tujuan pembekalan wawasan jiwa Nusantara selama tiga hari di Padepokannya di desa Dukuh Benda kec. Bojong kab. Tegal. Dan Ketua Umum DPP HPK membenarkan kaitan UU tentang Sisminduk itu. “Kami sudah berjuang ke Pemerintah untuk dibuatkan payung hukumnya ternyata direalisasikan dengan dikeluarkannya UU No. 23 tahun 2006 dan PP No. 37 tahun 2007 penghayat sudah disamakan dengan agama terkait hak pemberian pelajaran Budi Pekerti untuk penganut penghayat sedang diperjuangkan oleh himpunan ini agar bisa masuk dalam kurikullum pendidikan. ’’Kami sudah menghadap Mendiknas beliau sedang menggodoknya,“ tuturnya
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
81
RENCANA TINDAK LANJUT
Pengantar Rencana tindak lanjut merupakan agenda kegiatan yang akan dilakukan pascapelatihan. Rencana tindak lanjut tersebut bisa berupa agenda individual maupun kelompok. Disarankan agar rencana tindak lanjut disusun untuk dapat dilakukan secara terus menerus oleh peserta di lembaga, unit kerja atau komunitasnya. Dengan rencana tindak lanjut para peserta akan bisa menjadi bagian dari gerakan kebebasan beragama/keyakinan di wilayahnya. Oleh karena itu, akan lebih disarankan jika peserta merancang agenda yang bisa dilakukan
Tujuan Peserta bisa menyusun rencana kegiatan yang akan dilakukan pascapelatihan, baik secara individu maupun berkelompok untuk menindaklanjuti hasil pelatihan Topik Rencana dan agenda kegiatan yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama dan keyakinan yang bisa dilakukan pascapelatihan Metode Diskusi Curah pendapat Waktu 60 menit
PROSES FASILITASI 1. Berikan pengantar singkat dan tujuan sessi dengan mengulas proses pelatihan. 2. Bagi peserta berdasarkan komunitasnya, dan mintalah mereka mendiskusikan RTL yang akan dilakukan dengan pertanyaan : a. Apa yang akan dilakukan pasca pelatihan ? b. Dukungan apa yang diharapkan dari komunitas lain/LSM/pihak lain ? 3. Presentasikan dan mintalah tanggapan dari peserta yang lain. 4. Tutup diskusi dengan merangkum jalannya proses yang baru berlangsung.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
82
EVALUASI Pengantar
Evaluasi merupakan satu cara untuk mengetahui dan sekaligus mengukur tingkat keberhasilan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Demikian pula dalam kegiatan pelatihan. Dalam evaluasi ini peserta diminta untuk memberikan penilaian terhadap keseluruhan kegiatan pelatihan. Hal-hal yang dievaluasi mencakup kesluruhan jalannya proses belajar, alokasi waktu, bahan ajar, materi pelatihan, metode, dukungan fasilitator dan narasumber, serta tehnis penyelenggaraan pelatihan. Bagi fasilitator, narasumber dan panitia penyelenggara manfaat evaluasi untuk mengetahui bagaimana umpan balik dari para peserta mengenai kekurangan dan kelebihan mereka selama berlangsungnya proses pelatihan. Hasil evaluasi ini akan bisa menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk melakukan peningkatan dan penyempurnaan jika kegiatan serupa akan dilakukan lagi di masa mendatang. Tujuan 1. Peserta memberikan umpan balik dan melakukan penilaian terhadap keseluruhan jalannya proses belajar, alokasi waktu, bahan ajar, materi yang disampaikan, dukungan fasilitator dan narasumber serta tehnis penyelenggaraan pelatihan 2. Mengetahui sejauh mana efektivitas dan manfaat pelatihan untuk menjadi bahan masukan dan pertimbangan guna peningkatan dan penyempurnaan kegiatan serupa 3. Mengetahui tingkat pemahaman peserta terhadap seluruh materi yang disampaikan selama prose pelatihan Topik 1. 2. 3. 4.
Keseluruhan jalannya proses belajar Materi Dukungan fasilitator,narasumber dan peserta Tehnis penyelenggaraan pelatihan
Metode Kuesioner Curah Pendapat Waktu 60
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
83
PROSES FASILITASI : 1. Fasilitator menjelaskan tujuan sessi evaluasi 2. Bagikan lembar evaluasi, dan jelaskan cara pengisiannya 3. Berikan waktu 10 menit untuk mengerjakan lembar evaluasi 4. Kumpulkan lalu lakukan tinjauan singkat 5. Setelah peserta selesai mengisi lembar kuestioner, minta perwakilan peserta (3-4 orang) untuk menyampaikan evaluasi pelatihan 6. Tampilkan kembali lembar harapan dan kekhawatiran peserta. Lakukan curah pendapat untuk mengetahui : a. Apakah harapan peserta telah terpenuhi ? b. Apakah telah terdapat perubahan dari segi pengetahuan, prilaku dan ketrampilan ? 7. Tutup sesi evaluasi. Sebelum mengakhiri beri apresiasi untuk semua yang terlibat selama berlangsungnya proses pelatihan (apresiasi dapat berbentuk pemilihan peserta terajin, terfavorit dll atau sekedar tepuk tangan) 8. Undang koordinator penyelenggara untuk menutup pelatihan.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
84
LEMBAR EVALUASI PELATIHAN TINGKAT DASAR KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN UNTUK MAHASISWA MATERI DAN POKOK BAHASAN PERKENALAN KONTRAK BELAJAR PANCASILA HAK ASASI MANUSIA (HAM) TEORI KEBEBASAN BERAGAMA/ BERKEYAKINAN KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM INSTRUMEN INTERNASIONAL DAN NASIONAL PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKI NAN STUDY KASUS PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKI NAN RENCANA TINDAK LANJUT EVALUASI
SUBSTANSI Kuran Cuku Bai g p k
METODE Cuku Bai p k
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
Baik Seka li 4 4 4 4
Kuran g 1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
Baik Seka li 4 4 4 4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
KOMENTAR/SARAN…………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
85
LEMBAR EVALUASI NARASUMBER, FASILITATOR , PANITIA DAN SARANA PELATIHAN NAMA NARASUMBER 1. 2. 3. FASILITATOR 1. 2. PANITIA PENYELENGGARA 1. 2. 3. 4. 5. SARANA PRASARANA 1. PENGINAPAN 2. KONSUMSI 3. PERLENGKAPAN PELATIHAN 4. ACARA TAMBAHAN
Kurang Cukup
Baik
Baik Sekali
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
1 1
2 2
3 3
4 4
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
4 4 4 4
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
1
2
3
4
SARAN/KOMENTAR ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
86
Lampiran 1 FORMULIR PESERTA Pelatihan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Untuk Mahasiswa The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Jakarta 2010 A. PRIBADI 1.
Nama Lengkap
2.
Jenis Kelamin
3.
Tempat, Tanggal Lahir
4.
Alamat Lengkap Sesuai KTP
7.
Telepon Genggam
8.
E-Mail
B. ORGANISASI/LEMBAGA Berikan keterangan tentang organisasi atau lembaga tempat Saudara bekerja atau bernaung. 1.
Nama Organisasi
2.
Tujuan Organisasi
3.
Kegiatan Organisasi
4.
Alamat Lengkap
5.
Telepon
6.
Fax
7.
E-Mail
8
Website
9.
Nama Pemimpin
10.
Telepon Genggam
11.
E-Mail
C. PENDIDIKAN/PELATIHAN Tahun
Nama Pendidikan / Pelatihan
Penyelenggara
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
87
D. MOTIVASI 1. Apa motivasi Saudara mengikuti pelatihan ini? Apa yang ingin Saudara dapatkan?
2. Pelatihan ini berbasis partisipasi; keberhasilannya dan manfaat yang didapatkan tergantung dari sumbangsih para Peserta juga. Apa yang bisa Saudara tawarkan untuk memastikan pelatihan ini sesuai dengan harapan Saudara?
3. Peserta pelatihan ini akan berasal dari berbagai komunitas agama/keyakinan yang berbeda dengan yang saudara anut/yakini. Apakah Saudara dapat membangun dialoq dan toleransi antar sesama peserta ?
4. PENGETAHUAN TENTANG HAM dan KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN 1. Apa yang Saudara ketahui tentang Hak Asasi Manusia ?
2. Apa yang Saudara ketahui tentang Prinsip-prinsip HAM ?
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
88
3. Dapatkah Saudara sebutkan Intrumen Pokok HAM Internasional ?
4. Apakah yang saudara ketahui tentang pelanggaran HAM ? sebutkan contohcontohnya ?
5. Apa pendapat Saudara tentang Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan ?
6. Bagaimana jaminan Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia ?
7. Apa pendapat Saudara terhadap pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia ?
8. Adakah pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan di sekeliling Saudara (kampus/masyarakat/wilayah) ? Jika ada, tolong sebutkan !
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
89
9. Menurut Saudara, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan ?
10.Bagaimana cara membangun toleransi antar pemeluk agama/keyakinan ?
5. KEBUTUHAN KHUSUS Apakah Saudara memiliki kebutuhan khusus terkait dengan kesehatan, pantangan makanan (alergi/keyakinan) atau hal lain yang perlu diberikan perhatian khusus oleh Panita Penyelenggara?
6. PERNYATAAN Saya, yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan: 1. Bersedia mengikuti secara penuh seluruh rangkaian kegiatan pelatihan yang akan diadakan. 2. Siap untuk bertukar pikiran, perasaan dan pengalaman dengan sesama peserta secara aktif, terbuka, penuh itikad baik dan penghargaan, serta tanpa prasangka. 3. Siap untuk mengambil bagian aktif dalam membangun toleransi sebagai upaya advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan secara jangka panjang.
………………………………….2010
TTD
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
90
Lampiran 2
JADWAL ACARA Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Untuk Mahasiswa MATERI KEGIATAN Hari Pertama 08.30 – 09.00 Registrasi 09.00 – 09.30 Pembukaan/Sambutan 09.30 – 12.00 Perkenalan Orientasi Pelatihan Iklim Belajar 12.00 – 13.30 Istirahat 13.30 - Materi I Pancasila 15.00 15.00 – 15.30 Istirahat 15.30 – 17.00 Materi II HAM 17.00 – 19.30 Istirahat 19.30 – 21.00 Materi III : Teori Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Pemutaran Film Hari Kedua 08.00 – 09.00 Review Materi Hari pertama Evaluasi pelaksanaan pelatihan 09.00 – 11.00 Materi III : Teori Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 12.00 – 13.30 13.30 – 15.00
KETERANGAN Panitia Panitia Fasilitator
Panitia Fasilitator Panitia Fasilitator Panitia Fasilitator
Fasilitator Fasilitator
Istirahat Materi IV Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dalam Instrumen Internasional dan Nasional Istirahat Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Istirahat Studi Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama
Panitia Fasilitator
Hari Ketiga 08.00 – 09.00
Review Materi Hari pertama
Fasilitator
09.00 – 10.30 12.00 – 13.00 13.00 –
Rencana Tindak Lanjut Evaluasi Penutupan
Fasilitator Fasilitator Panitia
15.00 – 15.30 15.30 – 17.30 17.30 – 19.30 19.30 – 21.00
Panitia Fasilitator Panitia Fasilitator
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
91
THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC) The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organisasi non pemerintah yang konsen pada reformasi pendidikan hukum. Pada masa transisi menuju demokrasi, Indonesia menghadapi masalah korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM) di tingkat legislasi, dan lemahnya penegakan hukum. Masalah penegakan hukum membutuhkan juga budaya hukum yang kuat di masyarakat. Faktanya kesadaran di tingkat masyarakat sipil masih lemah begitu juga kapasitas untuk mengakses hak tersebut. Ketika instrumen untuk mengakses hak di tingkat masyarakat tersedia, tetapi tidak dilindungi oleh negara seperti hukum adat tidak dilindungi, negara mengabaikan untuk menyediakan bantuan hukum. Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakat sipil menjadi penting untuk menyediakan lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan mengambil bagian di berbagai profesi yang ada, seperti birokrasi, institusi-institusi negara, peradilan, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Mereka juga mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuan hukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidikan hukum mempunyai peranan penting untuk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil. Pendirian ILRC merupakan bagian keprihatinan kami atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalahan keadilan sosial. Pendidikan hukum di Perguruan Tinggi cenderung membuat lulusan fakultas hukum menjadi profit oriented lawyer dan mengabaikan pemasalahan keadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrument/ institusi untuk menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda. Masalah-masalah yang terjadi diantaranya: (1) Lemahnya paradigma yang berpihak kepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM; (2) Komersialisasi Perguruan Tinggi dan lemahnya pendanaan maupun sumber daya manusia di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak Azasi Manusia (HAM); (3) Pendidikan Hukum tidak mampu berperan, ketika terjadi konflik hokum oleh karena perbedaan norma antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum negara.Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksud untuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum.
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
92
Visi dan Misi
Visi ILRC adalah “Memajukan HAM dan keadilan sosial di dalam pendidikan hukum’. Sedangkan misi ILRC adalah : (1) Menjembatani jarak antara Perguruan Tinggi dengan dinamika sosial; (2) Mereformasi pendidikan hukum untuk memperkuat perspektif keadilan sosial; (3) Mendorong Perguruan Tinggi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk terlibat di dalam reformasi hukum dan keadilan sosial.
Struktur Organisasi Pendiri/Badan Pengurus: Dadang Trisasongko (Ketua), Renata Arianingtyas (Sekretaris), Sony Setyana (Bendahara), Prof. Dr. Muhamad Zaidun, SH (Anggota), Prof. Soetandyo Wignjosoebroto (Anggota), Uli Parulian Sihombing (Anggota)
Badan Eksekutif: Uli Parulian Sihombing (Direktur), Fulthoni (Program Manajer), Siti Aminah (Programe Offi cer), Evi Yuliawati (Keuangan), Herman Susilo (Administrasi).
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
93
FREEDOM HOUSE Freedom House is an independent watchdog organization that supports the expansion of freedom around the world. Freedom House supports democratic change, monitors freedom, and advocates for democracy and human rights. We support nonviolent civic initiatives in societies where freedom is denied or under threat and we stand in opposition to ideas and forces that challenge the right of all people to be free. Freedom House functions as a catalyst for freedom, democracy and the rule of law through its analysis, advocacy and action. • Analysis The foundation of Freedom House’s work is its analysis. We evaluate the components of freedom and leverage our analytical work to strengthen our advocacy and action efforts. Freedom House's rigorous research methodology has earned the organization a reputation as the leading source of information on the state of freedom worldwide. Learn more about Freedom House publications . • Advocacy Freedom House amplifies the voices of those fighting for freedom in repressive societies. We press the United States, other governments, international institutions and regional bodies to adopt consistent policies that advance human rights and democracy around the world. • Action We work directly with democracy and human rights advocates in their own countries and regions. These reformers include human rights defenders, civil society leaders and members of the media. Freedom House’s programs provide these advocates with resources that include training, expert advice, grants and exchange opportunities. Freedom House was created in 1941 by prominent Americans concerned about the U.S. policy of isolationism as Nazism threatened to engulf Europe. The organization's name was intended to counter the Brown House, the Nazi party headquarters in Germany where Adolf Hitler maintained an office. After World War II, Freedom House turned its focus to the struggle against Communism and other threats to freedom irrespective of ideology and embraced the organization's mission to expand freedom worldwide and strengthen human rights and civil liberties in the United States. Contact 1301 Connecticut Ave. NW, Floor 6 Washington D.C. 20036. T el. (202) 296 5101 Fax: (202) 293 2840 Email :
[email protected]
Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa
94