Gender dalam REDD+ Buku panduan untuk fasilitator akar rumput
Pertanyaan dan Jawaban
Judul asli: Gender in REDD+: A handbook for grassroots facilitators Questions and Answers
Hak Cipta © RECOFTC Januari 2014 Bangkok, Thailand Semua foto milik © RECOFTC Publikasi ini dapat digandakan untuk tujuan pendidikan atau tujuan non komersial lainnya tanpa persetujuan tertulis dari pemegang hak cipta sepanjang sumbernya disebutkan dengan jelas. Penggandaan dengan tujuan untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial tidak diizinkan tanpa persetujuan tertulis dari pemegang hak cipta. Publikasi ini dikembangkan oleh program Grassroots Capacity Building for REDD+ in Asia atau dikenal pula dengan program REDD+ Grassroots yang didanai oleh the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad). Pendapat yang dinyatakan pada publikasi ini tidak dapat serta merta dianggap sebagai pandangan RECOFTC – The Center for People and Forests, the Global Gender and Climate Alliance (GGCA) dan Norad.
Ucapan Terima Kasih RECOFTC menyampaikan terima kasih kepada the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad) untuk dukungan penuh pada program REDD+ Grassroots serta kepada the Global Gender and Climate Alliance (GGCA) yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk buku ini.
Tujuan publikasi Tujuan utama buku ini adalah untuk memperlengkapi pelatih dan fasilitator akar rumput/lokal yang telah memiliki pemahaman dasar tentang perubahan iklim dan REDD+ dengan informasi yang berguna untuk pengarusutamaan gender dalam program pelatihan dan peningkatan kapasitas yang terkait dengan perubahan iklim dan REDD+. Buku ini merupakan salah satu keluaran dari program regional RECOFTC “Grassroots Capacity Building for REDD+ in the Asia-Pacific Region.” Program ini mulai dilaksanakan sejak tahun 2009 di Indonesia, Laos, Nepal, dan Vietnam. Pada Januari 2013, Myanmar masuk sebagai negara kelima. Sebagaimana diketahui, REDD+ adalah mekanisme yang dimunculkan di tingkat internasional dan para pemangku kepentingan di tingkat akar rumput belum memahami konsep dan berbagai istilah teknis terkait dengan REDD+. Berangkat dari pertimbangan tersebut, maka tujuan dari program ini bermaksud menyebarluaskan informasi kunci mengenai berbagai aspek REDD+ menggunakan bahasa yang sederhana sehingga dapat dipahami dan dihargai oleh pemangku kepentingan akar rumput. Buku ini memberikan informasi sederhana yang secara langsung dapat disampaikan kepada masyarakat akar rumput mengenai status terkini integrasi gender dalam kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan program terkait perubahan iklim dan REDD+, mulai dari tingkat lokal sampai tingkat internasional. Dengan penyebarluasan informasi ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan informasi antara fasilitator lokal dan para pembuat kebijakan baik tingkat nasional maupun daerah, peneliti, akademisi, dan praktisi. Selain tersedia dalam bahasa Indonesia, buku panduan ini juga tersedia dalam bahasa Inggris, Laos, Nepal, Vietnam, dan Myanmar.
Susunan buku panduan Buku ini terdiri dari kumpulan pertanyaan umum mengenai berbagai aspek gender dalam konteks perubahan iklim dan REDD+. Setiap pertanyaan disertai jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dipilih berdasarkan diskusi mengenai integrasi gender dalam proses penyadartahuan terkait isu perubahan iklim dan REDD+, yang berlangsung di beberapa negara pelaksana program. Dengan menjawab pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh peserta akar rumput saat berpartisipasi dalam pelatihan, maka diharapkan dapat menjawab pula kebutuhan peningkatan kapasitas di tingkat akar rumput. Pertanyaan yang telah terpilih dibagi dalam 4 bagian, sebagai berikut: Bab 1: Hal Dasar – Bab ini membangun pemahaman dasar mengenai gender bagi pemangku kepentingan di tingkat akar rumput, diantaranya adalah pemahaman tentang gender, pengarusutamaan gender, kesetaraan gender dalam kerangka perubahan iklim dan REDD+. Bab 2: Perubahan iklim dan REDD+ – Bab ini memaparkan mengenai alasan dasar pengarusutamaan gender dalam peningkatan kapasitas tentang perubahan iklim serta hal-hal kunci yang perlu diperhatikan untuk mengarusutamakan gender. Bab 3: Perencanaan dan kebijakan – Bab ini menyajikan gambaran mengenai kebijakan yang ada dan inisiatif kelembagaan untuk mendorong kesetaraan gender di tingkat internasional. Bab ini juga disertai referensi khusus mengenai kebijakan nasional untuk perubahan iklim dan REDD+. Bab 4: Peningkatan kapasitas – Bab ini memberikan panduan bagi fasilitator lokal dalam menyampaikan pelatihan tentang gender di tingkat akar rumpput. Selain itu, bab ini juga memaparkan gambaran singkat mengenai pendekatan program REDD+ Grassroots dalam mendorong pengarusutamaan gender dalam kerangka program.
Pertanyaan paling umum
Bab 1: Hal Dasar
P1
Apa yang dimaksud dengan gender dan pengarusutamaan gender
P3
Mengapa perempuan lebih rentan terkena dampak perubahan iklim?
P2
Bagaimana perubahan iklim membawa dampak yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan?
Bab 2: Perubahan Iklim dan REDD+
P4
Mengapa penting menjadikan perubahan iklim dan REDD+ inklusif gender?
P5
Apa yang menjadi pertimbangan utama untuk memperkuat peran lakilaki dan perempuan pada tingkat akar rumput dalam perubahan iklim dan REDD+?
Bab 3: Perencanaan dan Kebijakan
P6
Instrumen dan kerangka kebijakan internasional apakah yang mempromosikan hak asasi manusia dan kesetaraan gender?
P8
P7
Inisiatif apakah yang telah terlaksana di tingkat internasional untuk menempatkan sasaran pengarusutamaan gender dalam perubahan iklim dan REDD+?
Apa yang menjadi rencana dan kebijakan terkait perubahan iklim, REDD+ dan gender dalam beberapa negara yang melaksanakan program REDD+ Grassroots?
Bab 4: Peningkatan Kapasitas
P9
Hal-hal utama apakah yang perlu diperhatikan saat memfasilitasi kegiatan penyadartahuan mengenai REDD+ di tingkat akar rumput?
P10
Bagaimana program REDD+ Grassroots mengarusutamakan gender dalam peningkatan kapasitas REDD+?
BAB 1: Hal Dasar 8
P1 Apa yang dimaksud dengan gender dan pengarusutamaan gender? Gender dapat didefinisikan sebagai karakteristik, peran, tanggung jawab, dan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk karena konstruksi sosial dan budaya. Gender tidak sama dengan jenis kelamin. Jenis kelamin terbentuk secara biologis dan merupakan satu bagian saja dari gender seseorang. Sikap dan perilaku akan gender terbentuk karena dipelajari; dan bukanlah sesuatu yang universal dan sudah pasti. “Pengarusutamaan” artinya membawa apa dan siapa yang dipandang termariinalkan kedalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, pengarusutamaan gender dapat didefinisikan sebagai sebuah proses mengintegrasikan sudut pandang dan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi perencanaan, kebijakan dan program sehingga baik laki-laki dan perempuan dapat terlibat secara setara dan memperoleh manfaat yang adil. Oleh karenanya, pengarusutamaan gender melampaui dari sekedar meningkatkan partisipasi perempuan; pengarusutamaan gender mengandung arti mengenali dan mengintegrasikan pengalaman, pengetahuan, serta minat perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks pembangunan, pengarusutamaan gender artinya mengindentifikasi dan mengaplikasikan tujuan, strategi, dan aksi berdimensi gender yang terkandung dalam agenda pembangunan sehingga baik perempuan maupun laki-laki dapat mempengaruhi, berpartisipasi, dan mendapatkan manfaat dari proses pembangunan (Lihat Kotak 1). Dengan demikian, tujuan utama dari perngarusutamaan gender adalah menciptakan perubahan berkelanjutan dalam struktur sosial dan kelembagaan demi terwujudnya masyarakat yang adil dimana proses pembagian manfaat dan pengambilan keputusan dilakukan tanpa diskriminasi. Istilah lain yang sering muncul dalam isu pembangunan adalah ‘Keadilan Gender dan Kesetaraan Gender’. Keadilan adalah proses menjadi adil atau tanpa keberpihakan terhadap perempuan dan laki-laki dan dapat diartikan sebagai sarana untuk mencapai kesetaraan gender. Dengan kata lain, keadilan dilihat sebagai sarana, sementara kesetaraan adalah hasil dari proses keadilan. Karena itu, kesetaraan gender dapat diartikan baik laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan hak dan tanggung jawab dalam masyarakat bersamaan dengan kesetaraan akses terhadap sumber daya dan kesempatan dan dapat menggunakan semuanya itu. Saat terjadi ketidaksetaraan gender, biasanya perempuan kurang terlibat dan dirugikan dalam pengambilan keputusan dan akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial. 1
Kotak 1: Definisi dan prinsip dasar pengarusutamaan gender Pada Juli 1997, Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) mendefinisikan pengarusutamaan gender sebagai berikut: “Mengarusutamakan perspektif gender merupakan sebuah proses menilai implikasi bagi perempuan dan laki-laki dari segala kegiatan perencanaan, termasuk legislasi, kebijakan atau program, di segala area dan semua tingkat. Hal ini merupakan strategi untuk menjadikan pertimbangan dan pengalaman bagi perempuan dan laki-laki sebagai bagian yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan dan program di ranah politik, ekonomi, dan sosial sehinga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang setara, dan ketidaksetaraan tidak terus terjadi. Tujuan utama dari pengarusutamaan adalah mencapai kesetaraan gender.” Prinsip-prinsip dasar dalam pengarusutamaan gender: Pengarusutamaan gender dalam agenda pembangunan perlu mengikuti beberapa prinsip dasar, sebagai berikut: • Diperlukan mekanisme untuk pengawasan perkembangan yang dapat dipertanggungjawabkan dan memadai. •
Identifikasi awal mengenai permasalahan dalam semua kegiatan sehingga dapat mengenali kesenjangan dan perbedaan gender.
•
Tidak membuat asumsi bahwa isu atau permasalahan bersifat netral dari perspektif kesetaraan gender.
•
Selalu melakukan analisis gender.
•
Pentingnya kejelasan komitmen politis dan alokasi sumber daya yang memadai dalam pengarusutamaan gender, termasuk sumber daya manusia dan dana jika diperlukan, sehingga konsep yang sudah ada dapat diimplementasikan
•
Dalam pengarusutamaan gender diperlukan usaha untuk memperluas partisipasi perempuan yang setara di setiap tingkat pengambilan keputusan.
•
Pengarusutamaan tidak serta merta menggantikan kebutuhan akan program, kebijakan, dan legislasi positif yang secara khusus diperuntukkan bagi perempuan; tidak pula menghilangkan kebutuhan akan adanya unit gender atau /divisi khusus.
Sumber: Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Dewan Ekonomi dan Sosial 1997, Laporan Tahunan: USA: PBB
2
P2 Bagaimana perubahan iklim membawa dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan?
Perubahan iklim mempengaruhi semua orang tanpa memandang kasta, suku, ras, maupun jenis kelamin; namun demikian, besaran dampak yang dirasakan berbeda satu dengan yang lainnya. Perempuan yang jumlahnya diperkirakan sebesar 70% dari total 1,3 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ketergantungan lebih besar terhadap sumber daya alam bagi penghidupan dan kehidupannya. Oleh karenanya, perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Perempuan dan laki-laki di pedesaan memiliki peran, hak, dan tanggung jawab khusus yang menentukan akses keduanya terhadap sumber daya dan pemanfaatannya. Hal ini mempengaruhi berbagai kerentanan dan kuasa dalam pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan. Kerentanan yang dialami oleh perempuan pedesaan menjadi semakin besar karena adanya diskriminasi dan stigma dalam masyarakat. Pengetahuan, keterampilan, dan pemanfaatan sumber daya hutan yang dimiliki oleh perempuan membentuk pengalaman yang berbeda-beda (Lihat Kotak 2). Perempuan biasanya memiliki pengetahuan khusus mengenai pohon dan hutan seperti keanekaragaman hayati, pengelolaan, pemanfaatan, maupun upaya konservasi. Dibandingkan dengan laki-laki, pengetahuan perempuan cenderung terkait erat dengan pangan untuk rumah tangga dan kesehatan, dan keduanya menjadi semakin penting apabila terjadi krisis pangan. Perbedaan pengetahuan dan pemanfaatan hutan antara laki-laki dan perempuan menentukan status sosial ekonomi dalam masyarakat dan membentuk dinamika kuasa. Dengan demikian, logikanya adalah dalam konteks perubahan iklim, bukan hanya kesempatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, namun dampak perubahan iklim juga berbeda tergantung dari dinamika gender yang ada.
3
Kotak 2: Perbedaan pilihan spesies hutan antara laki-laki dan perempuan di Asia-Pasifik Pada umumnya, perempuan di Asia-Pasifik lebih memilih sumber daya hutan yang memiliki banyak kegunaan dimana dapat digunakan untuk bahan bakar rumah tangga, makanan ternak, dan pangan. Bagi perempuan, pohon rimbun bercabang banyak dan dapat menjadi pemecah angin dipandang lebih bernilai dibanding kayu. Dengan keterlibatan yang terbatas dalam penjualan dan pengolahan kayu, perempuan cenderung memilih pohon-pohon seperti mimba, asam Jawa, atau tanaman herbal lainnya serta hasil hutan non-kayu (buah-buahan, kacang, getah, lilin dan madu) yang dapat mereka olah dan jual. Sementara itu, laki-laki lebih cenderung memilih kayu bernilai tinggi seperti sala, eukaliptus, pinus, jati, akasia dan gmelina karena memiliki kesempatan, akses, pengetahuan mengenai pasar terdekat dalam menjual kayu. Sumber: REDD-Net Bulletin, Asia-Pacific, Terbit 04 - Mei 2011
4
P3 Mengapa perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim?
Studi menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam dibandingkan laki-laki. Seperti dijelaskan dalam pertanyaan 2 di atas, beberapa faktor yang meningkatkan kerentanan perempuan di antaranya adalah diskriminasi sosial-budaya, kemiskinan, serta keterbatasan akses terhadap hakhak dasar. Dalam kejadian bencana beberapa tahun terakhir di negara berkembang maupun negara maju, tercatat yang paling terdampak adalah penduduk di bawah garis kemiskinan (Lihat Kotak 3). Ironisnya, lebih dari 70% penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah perempuan. Kotak 3: Dampak bencana alam terhadap perempuan: kejadian Tsunami 2004 Laporan Oxfam (Maret 2005) tentang dampak Tsunami tahun 2004 memberi tanda peringatan mengenai ketidakseimbangan gender. Mayoritas korban serta yang paling sulit untuk pemulihan adalah perempuan. Lebih dari 75% korban meninggal di Aceh adalah perempuan dengan rasio yang selamat antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Banyaknya ibu yang meninggal menyebabkan berbagai masalah serius seperti kematian bayi, pernikahan dini remaja perempuan, terlantarnya pendidikan anak perempuan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan serta prostitusi.
Oleh karena perempuan sering termarjinalkan dan sangat bergantung pada sumber daya alam, beban perempuan untuk pekerjaan rumah tangga semakin bertambah. Perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan di negara-negara berkembang menanggung beban yang tidak seimbang ketika berhadapan dengan dampak perubahan iklim. Meningkatnya beban rumah tangga menyebabkan berkurangnya waktu istirahat yang besar kemungkinan dapat berdampak pada kesehatan perempuan. Di berbagai wilayah, perubahan iklim dapat berdampak pada berkurangnya sumber daya alam dan lapangan kerja sehingga mengakibatkan para laki-laki mencari pekerjaan di kota lain. Perempuan yang harus tinggal di rumah ini kemudian harus menanggung beban lebih, baik dalam bercocok tanam maupun urusan rumah tangga (Lihat Kotak 4).
5
Selain itu, keterbatasan akses dan kontrol atas sumber daya, pengetahuan baru, teknologi serta pinjaman menyebabkan perempuan memiliki keterbatasan pula dalam menghadapi perubahan cuaca serta bencana alam yang terjadi. Sebagai konsekuensinya, peran domestik semakin bertambah namun kemampuan perempuan untuk meningkatkan mata pencaharian serta mengakses lapangan kerja semakin berkurang. Dari berbagai pengamatan, perempuan lebih sulit mendapatkan hak tenurial dan mengakses mekanisme pasar. Hal ini utamanya disebabkan oleh norma-norma sosial yang masih memberikan diskriminasi terhadap hak perempuan akan kepemilikan lahan dimana perempuan dipandang memiliki keterbatasan keterampilan, sumberdaya serta mobilitas dibandingkan dengan laki-laki. Tanpa adanya kepastian hak tenurial, risiko yang muncul adalah perempuan kemungkinan tidak dapat memperoleh hak memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Kotak 4: Kerusakan lingkungan – Penyebab beban bagi perempuan di Nepal Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh ActionAid pada tahun 1993-1994 di wilayah Himalaya, Nepal, kerusakan lingkungan menambah tingkat stres dalam rumah tangga dan memperparah kelangkaan sumber daya. Artinya, beban kerja anak-anak pada usia dini, terutama anak perempuan, semakin bertambah pula. Berdasarkan studi tersebut, anak perempuan bekerja paling keras, memiliki hak-hak dan kesempatan pendidikan yang sangat terbatas. Berbagai program yang bertujuan memasukkan lebih banyak anak perempuan ke sekolah tidak berhasil dikarenakan kondisi lingkungan dan sosial keluarga yang sangat buruk.
6
BAGIAN 2: Perubahan Iklim dan REDD+ 7
P4 Mengapa penting menjadikan perubahan iklim dan REDD+ inklusif gender? Hal yang mendasari pentingnya REDD+ yang inklusif gender adalah pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pembangunan dan kesetaraan gender. Hal penting lainnya adalah untuk meningkatkan keberhasilan dari REDD+ itu sendiri. Perempuan seharusnya dipandang sebagai agen perubahan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan bukan sekedar kelompok yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam bagian sebelumnya telah dipaparkan mengenai perbedaan peran, hak, tanggung jawab, pengetahuan dan keterampilan antara laki-laki dan perempuan dalam sektor kehutanan. Akan tetapi, tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa institusi pengelola kehutanan baik pemerintah maupun non-pemerintah telah melaksanakan rencana dan kebijakan terkait gender secara signifikan dan sistematis. Hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan pemahaman isu gender oleh intitusi dan pembuat kebijakan serta fakta bahwa peran perempuan sebagai pemangku kepentingan utama dalam sektor kehutanan belum begitu diakui. Disamping itu, pandangan umum yang menilai perempuan memiliki kualitas kepemimpinan rendah karena tingkat pendidikan mereka menempatkan laki-laki pada posisi dominan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan pengelolaan hutan. Sebuah studi yang dilakukan oleh USAID1 mengenai penilaian pengarusutamaan gender dan pemahaman kesetaraan gender di Kamboja menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir belum ada perubahan signifikan dalam pandangan tradisional terhadap peran laki-laki dan perempuan serta bagaimana laki-laki dan perempuan berelasi satu sama lainnya. Secara umum, pandangan ini diterima begitu saja tanpa kajian lebih lanjut sehingga menyebabkan tantangan yang lebih rumit untuk mengarusutamakan gender dalam perencanaan kebijakan dan pelaksanaannya. Oleh karenanya, riset tentang perbedaan peran dan tanggung jawab antara lakilaki dan perempuan dapat membantu perencanaan kebijakan dan penyusunan rencana aksi yang berlandaskan pada pembelajaran. Terbatasnya data pemisahan gender juga meningkatkan dominasi laki-laki dalam proses pengambilan keputusan sehingga perempuan terus termarjinalkan dalam proses tersebut. ______________ 1
8
USAID (2010). Gender Assessment, USAID/Kamboja.
Dalam konteks REDD+, sangatlah penting melibatkan laki-laki dan perempuan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan adanya saling ketergantungan yang kuat antara keduanya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan. Selain itu, intervensi pengelolaan dalam konteks REDD+, misalnya pembatasan akses terhadap sumber daya hutan untuk mengurangi kerusakan hutan, dapat membawa dampak negatif terhadap beban kerja perempuan yang memiliki tanggung jawab utama memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Berdasarkan pemaparan di atas, maka prakarsa ataupun intervensi dalam perubahan iklim dan REDD+ sudah seharusnya menaruh perhatian khusus dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan perempuan mendapatkan informasi dan aktif terlibat dalam proses dan konsultasi pengambilan keputusan yang dilakukan bersama antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan pengetahuan dan kapasitas antara perempuan dan laki-laki dapat membantu dalam menyasar kerentanan yang melekat pada masing-masing. Transparansi dan korupsi dalam kaitannya dengan transaksi keuangan dari REDD+ adalah elemen penting lainnya yang menjamin partisipasi aktif perempuan sehingga dapat memenuhi mekanisme pengamanan (safeguards). Pendekatan gender berbasis inklusi diharapkan dapat membantu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi keuangan yang terkait dengan pengelolaan hutan secara umum dan REDD+ pada khususnya. Studi2 menunjukkan bahwa perempuan lebih jarang menerima suap dan terlibat dalam praktik pelanggaran hukum sehingga mengurangi potensi terjadinya korupsi. Dengan demikian, penerapan pendekatan keadilan gender dapat berkontribusi pada keadilan dalam distribusi manfaat antara laki-laki dan perempuan serta meningkatkan tata kelola di tingkat akar rumput (lihat Kotak 5).
______________ 2
The World Bank (2012) World Development Report 2012: Gender Equality and Development, Washington DC: The World Bank. Dapat diakses pada: http://go.worldbank.org/CQCTMSFI40
9
Kotak 5: Dampak ketidakterlibatan perempuan dalam sektor kehutanan di Nepal Studi yang dilakukan di Nepal menunjukkan bahwa absennya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan dapat membawa dampak negatif, bukan hanya terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan namun juga terhadap efisiensi dan keberlanjutan pengelolaan hutan lestari. Kurangnya partisipasi perempuan dalam sektor kehutanan telah terbukti memberikan dampak yang sangat merugikan. Program penghijauan hutan di Nepal tanpa adanya perspektif gender menemui berbagai masalah saat penanaman, perlindungan hutan, serta penegakan kebijakan konservasi. Oleh sebab itu, integrasi kebutuhan perempuan dan prioritas dalam kehutanan masyarakat sangatlah penting untuk mempromosikan konservasi berkelanjutan. Sumber: Agrawal B. 2001. Participatory exclusions, community forestry and gender: An analysis for South Asia and a conceptual framework. World Development, 29 (10): 1623–1648.
10
P5 Apa yang menjadi pertimbangan utama dalam memperkuat peran laki-laki dan perempuan pada tingkat akar rumput dalam perubahan iklim dan REDD+? Dalam rangka memperkuat peran laki-laki dan perempuan dalam perubahan iklim dan REDD+ pada tingkat akar rumput, beberapa langkah berikut perlu dilakukan, diantaranya: i. Mengakui hak perempuan terhadap sumber daya hutan: Perempuan memegang peran penting dalam pengelolaan hutan, terutama jika partisipasi dan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan diakui dalam kerangka kumpulan hak (bundle of rights) (Lihat Kotak 6). Hal ini sangatlah penting sebab jika hak-hak ini tidak terpenuhi, maka kondisi yang dihadapi perempuan dan keluarganya akan semakin buruk. Berbagai kekuatiran telah muncul tentang skema sumber pendanaan dari REDD+. Salah satu yang dikuatirkan adalah adanya kemungkinan pemerintah akan melarang masyarakat lokal mengakses sumber daya hutan. Kekuatiran lainnya adalah sumber pendanaan ini akan membuat aktor lain melakukan klaim atas sumber daya hutan. Kondisi-kondisi tersebut dapat berdampak langsung pada proses pembagian insentif REDD+ antara laki-laki dan perempuan karena pada umumnya perempuan memiliki tanggung jawab utama mengumpulakan sumber daya dari hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Kotak 6: Pendekatan Kumpulan Hak (Bundle of Rights Approach) Kerangka ini mencakup hak masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan: (a) Hak Akses: masyarakat dapat mengakses hutan (b) Hak Pemanfaatan: masyarakat dapat memanfaatkan kayu dan hasil hutan lainnya (c) Hak Pengelolaan: masyarakat dapat mengambil keputusan dalam pengelolaan hutan (d) Hak Eksklusi: masyarakat dapat menentukan siapa yang dapat memanfaatkan hutan dan siapa yang dilarang memanfaatkan hutan (e) Hak Pengalihan: masyarakat dapat mengalihkan, menjual, atau menggunakan lahan secara bersama-sama Sumber: RRI. 2012. What Rights? A Comparative Analysis of Developing Countries’ National Legislation on Community and Indigenous Peoples’ Forest Tenure Rights. Washington DC: Rights and Resources Initiative
11
Sebuah studi di lokasi rintisan di Nepal menunjukkan bahwa partisipasi yang efektif dari perempuan dalam kehutanan masyarakat telah berkontribusi pada pengurangan emisi dan kelestarian hutan. Namun sebaliknya, ketidakjelasan tenurial akan berdampak pada kesulitan bagi perempuan dalam akses terhadap lahan, pohon, karbon dan berbagai sumber daya lainnya. Perempuan sering dirugikan baik dalam aturan adat maupun formal.
ii. Membangun kapasitas perempuan selaku pemangku kepentingan pada berbagai tingkat: Jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan cenderung memiliki akses terbatas terhadap sumber daya, mobilitas, informasi baru, kesempatan memperoleh peningkatan kapasitas, dan akses kredit dari institusi keuangan. Hal ini membatasi kesempatan bagi perempuan untuk turut berkontribusi secara efektif dalam proses konsultasi dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Selain itu, kerentanan perempuan terhadap bencana yang disebabkan oleh iklim juga semakin meningkat. Oleh karena itu dalam berbagai aspek REDD+, diperlukan perhatian lebih untuk meningkatkan kapasitas perempuan serta berbagai aliansi, jejaring dan forum terkait.
.
12
Peningkatan kapasitas perlu mencakup informasi dasar mengenai perubahan iklim dan REDD+, kemampuan melakukan negosiasi mengenai keterlibatan perempuan dalam program dan kebijakan pengelolaan hutan, pengelolaan keuangan, serta aspek teknis misalnya teknik persemaian, pengukuran biomassa, karbon dan metode pengawasan dan pelaporan (Lihat Kotak 7).
Kotak 7: Peran perempuan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat Kelompok perempuan berperan efektif dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan seharusnya dilibatkan dalam peningkapatan kapasitas dan pembagian manfaat dalam REDD+. Sebagai contoh, di Zimbabwe setengah dari 800.000 keluarga yang hidup di desa dipimpin oleh perempuan. Kelompok perempuan memegang tanggung jawab dalam sumber daya hutan dan program-program pembangunan melalui kepemilikan lahan, penanaman pohon, dan persemaian. Di Nepal, terdapat lebih dari 800 kelompok perempuan pengguna hutan yang memegang peran dalam menjaga hutan, melakukan persemaian serta menanami lahan yang rusak. Hal ini membawa dampak positif di mana kejadian longsor semakin berkurang, ketersediaan bahan bakar dan makanan ternak, angka pohon hidup mencapai 60-80%, larangan penebangan pohon, dan lain sebagainya. Sementara di Kamboja, kelompok-kelompok perempuan membentuk jejaring dengan didukung oleh lembaga non-pemerintah. Dampak yang dihasilkan diantaranya perempuan dapat melakukan negosiasi harga, mengatur ketersediaan transportasi ke pasar, mendirikan koperasi penggilingan padi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan, serta mempengaruhi pengambilan keputusan dalam seluruh tingkat tata pemerintahan. Sumber: USAID (2011): Gender and REDD+: An Asia Regional Analysis (Draft). Dapat diakses di situs: http://www.rightsandresources.org/documents/files/doc_2307.pdf
13
iii. Penilaian komprehensif mengenai gender untuk meningkatkan perencanaan dan pembangunan sektor kehutanan: Penilaian komprehensif perlu dilakukan untuk mengenali peran, tanggung jawab, pengetahuan dan keterampilan antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan. Penilaian ini dapat menjadi masukan penting dalam memberikan pengakuan peran laki-laki dan perempuan serta dalam menyusun perencanaan dan kebijakan yang sensitif gender dalam pengelolaan hutan. Perencanaan dan kebijakan ini nantinya akan memberikan ruang kritis bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pengalaman dan kepercayaan diri, serta membangun jejaring yang dapat membantu mendapatkan dukungan pengambil keputusan tingkat atas dalam advokasi pengarusutamaan kebijakan gender yang terkait dengan perubahan iklim dan REDD+. iv. Menanggapi pengamanan (safeguards) REDD+: Pada kasus-kasus dimana perencanaan implementasi REDD+ tidak dilakukan dengan baik, maka muncullah berbagai tantangan dan risiko yang membahayakan hutan, keanekaragaman hayati, dan masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber daya hutan. Ketiadaan pengamanan (safeguards) REDD+ dapat menyebabkan hilangnya hak pemanfaatan lahan dan sumber daya, ekslusi sosial, penguasaan lahan oleh kaum elit, serta hilangnya pengetahuan ekologis laki-laki dan perempuan.
Dalam menanggapi hal di atas, berbagai lembaga multi-pihak telah mengembang kan pengamanan (safeguards) REDD+ terkait aspek sosial dan lingkungan yang telah menghadirkan mekanisme untuk memastikan bahwa proses dan pelaksanaan REDD+ tidak akan membawa dampak negatif bagi masyarakat lokal dan lingkungan3. Pengarusutamaan gender, pengakuan hak untuk memperoleh persetujuan yang diberikan dengan bebas atas dasar pemahaman yang memadai sebelum pelaksanaan sebuah kegiatan/program (Free, Prior, Informed, ConsentFPIC), partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat lokal, ketersediaan mata pencaharian, serta pembagian manfaat yang adil merupakan hal-hal yang menjadi pertimbangan penting dalam memastikan bahwa strategi nasional terkait REDD+ berjalan sesuai dengan aturan lokal dan hukum nasional serta internasional
.
______________ 3
14
Silori et al. 2013. Social safeguards in REDD+: A review of existing initiatives and challenges. Journal of Forests and Livelihoods. Vol. 11(2): 27-36.
BAGIAN 3: Perencanaan dan Kebijakan 15
P6 Instrumen dan kerangka kebijakan internasional apakah yang mempromosikan hak asasi manusia dan kesetaraan gender?
Pada tingkat internasional, terdapat berbagai konvensi dan instrumen hukum untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam program pembangunan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: i. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women CEDAW) diadopsi pada tahun 1979 oleh PBB. CEDAW memberikan kerangka kesetaraan gender sebagai hak asasi manusia yang mendasar. CEDAW mengakui hak kepemilikan properti oleh perempuan dan secara khusus menyebutkan mengenai perempuan yang tinggal di pedesaan. ii. Konferensi Dunia ke-4 tentang Perempuan yang diselenggarakan di Beijing pada September 1995 menghasilkan naskah Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1996. Deklarasi ini menekankan pada hak perempuan dan hak asasi manusia dan menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan membutuhkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi termasuk kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan. iii. Konvensi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples - UNDRIP) yang diadopsi pada tahun 2007 mengakui hak-hak masyarakat adat dan menyediakan kerangka universal bagi masyarakat internasional, termasuk didalamnya adalah FPIC. Perhatian khusus pada hak dan kebutuhan masyarakat adat perempuan juga disebutkan dalam konvensi ini sehingga negara dapat melindungi masyarakat adat perempuan dari kekerasan dan diskriminasi.
16
P7 Inisiatif apakah yang telah terlaksana di tingkat internasional untuk menyasar pengarusutamaan gender dalam perubahan iklim dan REDD+?
Pengakuan hak perempuan untuk boleh memiliki properti dan dengan referensi khusus terhadap perempuan pedesaan sebagaimana tertuang dalam CEDAW dan Rio+204 memberikan relevansi untuk pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim dan REDD+ serta program pembangunan. Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties - COP) ke-16 yang diselenggaraan oleh Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (The United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCC) pada tahun 2010 di Cancun (Meksiko) menghasilkan “Persetujuan Cancun”. Persetujuan ini memberikan referensi berulang untuk gender yang terkait dengan penyususnan kebijakan dan pelaksanaan REDD+. Hal ini telah membantu meningkatkan pembicaraan mengenai pengarusutamaan gender dalam berbagai debat tentang perubahan iklim. Saat COP 18 pada tahun 2012 di Doha (Qatar), Sekretariat UNFCCC mendapatkan tugas mencermati perkembangan perluasan kebijakan perubahan iklim yang sensitif gender. Hal ini akan diteruskan pula dalam COP 19 yang akan diselenggarakan pada tahun 2013 di Warsaw, Polandia serta COP 22 tahun 2016 nanti.
______________ 4
Rio+20 adalah singakatan untuk Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil pada Juni 2012-dua puluh tahun setelah Earth Summit tahun 1992 yang juga dilaksanakan di Rio de Jeneiro. Fokus utama adalah untuk mengurangi kemiskinan, memperluas keadilan sosial, dan memastikan perlindungan lingkungan dalam planet bumi yang semakin bertambah populasinya. Dua tema kunci dalam diskusi konferensi: bagaimana membangun ekonomi hijau demi tercapainya pembangunan berkelanjutan dan membebaskan masyarakat miskin dari kemiskinan serta bagaimana meningkatkan koordinasi internasional untuk pembangunan berkelanjutan (http://www.un.org/en/sustainablefuture/index.shtml).
17
P8 Apa yang menjadi rencana dan kebijakan mengenai perubahan iklim, REDD+ dan gender dalam negara pelaksaana program REDD+ Grassroots? Sebagaimana disebutkan di atas, program REDD+ Grassroots dilaksanakan di lima negara di antaranya Indonesia, Laos, Myanmar, Nepal dan Vietnam. Berikut adalah ringkasan dari perencanaan dan kebijakan terkait pengarusutamaan gender dalam perubahan iklim dan REDD+:
Indonesia Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CEDAW dan oleh karenanya telah melakukan berbagai inisiatif pada tingkat kebijakan maupun kelembagaan untuk menyasar isu gender dalam sektor pembangunan, termasuk sektor kehutanan. Beberapa organisasi semi-pemerintah seperti Kongres Perempuan Indonesia, Dewan Perempuan tingkat Provinsi dan Kabupaten serta lembaga-lembaga kemasyarakatan secara aktif bergerak menyasar isu gender dan memberikan pelayanan pada perempuan dalam sektor-sektor pembangunan. Instruksi Presiden tahun 2000 mewajibkan seluruh institusi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah untuk mengarusutamakan gender dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang Usulan Rencana Kesiapan REDD+ (REDD+ Readiness Plan Proposal/R-PP) telah disahkan oleh Bank Dunia pada tahun 2009. Hasil tinjauan dokumen R-PP menyatakan bahwa sekalipun dokumen tersebut telah mengidentifikasi jajaran pemangku kepentingan yang relevan dengan REDD+ dan menekankan bahwa kelompok rentan termasuk masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan, masyarakat adat, perempuan, pemuda perlu terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan program REDD+, namun demikian belum terdapat strategi bagaimana menyasar kelompok-kelompok ini. Bergerak maju menuju Persiapan REDD+ (REDD+ preparedness), Indonesia telah menyusun Strategi Nasional REDD+ pada Juni 2012. Strategi ini memuat lima prinsip dalam pelaksanaan REDD+ yaitu prinsip efektif, efisien, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Dalam prinsip keadilan, disebutkan bahwa kriteria penting dalam implementasi REDD+ adalah keadilan bagi perlindungan hak asasi manusia dalam 18
pengelolaan hutan, utamanya bagi perempuan dan masyarakat yang rentan terhadap perubahan sosial ekonomi dan lingkungan. Selain itu, prinsip keadilan menekankan pada perubahan budaya dan paradigma bekerja dalam sektor pengelolaan kehutanan agar dapat secara efektif melaksanakan strategi REDD+. Dalam konteks ini, sensitivitas/kepekaan gender dianggap sebagai prinsip terpenting yang menekankan pada kesetaraan dalam peran, kebutuhan dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan untuk menciptakan budaya kerja yang lebih baik. Sensitivitas gender adalah kemampuan untuk mengenali isu dan hal yang berkaitan dengan gender, termasuk kemampuan mengenali aspirasi dan persepsi perempuan yang berbeda sesuai dengan konteks sosial dan peran gender yang berbeda pula. Selain itu, terdapat penekanan pada penguatan tata-kelola lahan dan hutan yang mencakup: a) peningkatan fleksibilitas untuk transparansi dan partisipasi, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, anak-anak dan masyarakat miskin. b) peningkatan kapasitas bagi masyarakat terutama perempuan dan kelompok rentan lainnya demi meningkatkan pemahaman mereka mengenai informasi yang tersedia; dan c) Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan 19
Dalam konteks pengamanan sosial (social safeguards), strategi REDD+ mendukung kesetaraan gender dan hak kelompok rentan untuk berpartisipasi secara setara dalam pelaksanaan REDD+ sebagai kriteria minimum demi pelaksanaan yang efektif. Strategi tersebut juga menekankan pada kebutuhan penyusunan kerangka pengamanan sosial untuk melindungi dan membawa manfaat bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan termasuk masyarakat adat, masyarakat lokal, perempuan dan kelompok minoritas lainnya yang termarjinalkan dari proses sosial ekonomi dan politik. Pada konteks REDD+, situasi demikian menempatkan mereka pada posisi lemah dalam kaitannya dengan hak asasi manusia mereka dan pembagian manfaat dalam pelaksanaan REDD+. Pengamanan sosial dalam REDD+ memampukan kelompok marjinal untuk memiliki kesadaran penuh akan hak-hak mereka dan mengambil pilihan yang dapat meningkatkan peran mereka dalam proses pengambilan keputusan sehingga dapat memperoleh manfaat dari mekanisme REDD+ pada masa yang akan datang.
Laos Undang-undang tahun 1991 yang dikeluarkan oleh pemerintah Laos menjamin kesetaraan hak bagi laki-laki dan perempuan dalam politik, budaya, sosial, serta lembaga keluarga. Pada tahun 2003, amandemen Undang-undang mempertegas upaya “mendukung perkembangan perempuan dan melindungi hak dan manfaat yang dimiliki oleh perempuan dan anak-anak di mata hukum”. Laos juga telah menandatangani CEDAW dan bergabung dalam konsensus global atas Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing. Di tahun 2003 pula, pemerintah Laos membentuk Komisi Nasional untuk Memajukan Perempuan (Lao National Commission for the Advancement of Women - NCAW) yang bertugas membantu pemerintah dalam penyusunan strategi dan kebijakan demi mempromosikan kemajuan perempuan. Aktor kunci dalam semua proses ini adalah Perserikatan Perempuan Laos (The Lao Women’s Union/LWU), sebuah organisasi publik dengan sejarah lebih dari 50 tahun dalam membantu mempromosikan program peningkatan pendapatan bagi perempuan melalui peningkatan kapasitas dalam sektor pertanian serta pengembangan usaha kecil dan menengah. 20
Laos telah memiliki kebijakan tentang kehutanan sejak tahun 1987 dimana pengarusutamaan gender telah masuk dalam kebijakan tersebut. Meskipun demikian, masih terdapat berbagai celah terutama terkait dengan proses penerapan kebijakan. Adanya definisi yang ambigu mengenai peran dan tanggung jawab lakilaki dan perempuan dalam kegiatan pengelolaan hutan serta penerapan kebijakan yang belum maksimal menyebabkan isu-isu terkait gender dalam sektor kehutanan belum dapat disasar secara tepat. Negara Laos telah mempersiapkan Usulan Rencana Kesiapan REDD+ (R-PP) dan peta kerja (roadmap) sedang disusun. Dokumen R-PP telah memberikan referensi terhadap gender dalam kaitannya dengan penilaian dampak sosial dan lingkungan dalam REDD+. Akan tetapi, dalam seluruh isi dokumen, referensi terhadap perempuan hanya disebutkan dua kali dan keduanya adalah dalam konteks proses kansultasi pemangku kepentingan. Proses konsultasi dalam rangka persiapan dokumen R-PP hanya melibatkan beberapa pemangku kepentingan pada tingkat nasional dan provinsi dimana kegiatan kesiapan REDD+ sedang berlangsung. Perserikatan Perempuan Laos baru dilibatkan pada pertemuan konsultasi kedua ketika draft dokumen sudah jadi. Tidak ada kejelasan apakah Perserikatan Perempuan Laos terlibat dalam konsultasi mulai dari tahap awal penyusunan konsep hingga proses pengembangannya. Dengan demikian, proses penyusunan R-PP menunjukkan bahwa fokus terhadap pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan kebijakan REDD+ di Laos masih terbatas.
Myanmar Myanmar telah menandatangani CEDAW dan telah menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Kemajuan Perempuan (2011-2015). Rencana Aksi Nasional tersebut menyatakan bahwa semua perempuan Myanmar berdaya dan dapat sepenuhnya menikmati hak-hak mereka dengan dukungan dari Pemerintah. Dinas Kesejahteraan Sosial yang berada di bawah kewenangan Kementerian Kesejahteraan Sosial merupakan institusi yang bertanggung jawab menyediakan layanan sosial kepada kelompok rentan, termasuk perempuan, dengan berdasar pada strategi integrasi
sosial. Myanmar juga membentuk Komite Nasional Perempuan (Myanmar National Committee for Women Affairs - MNCWA) pada tahun 1996 dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan perempuan. Selanjutnya dibentuk Komite Kerja Nasional Perempuan dan pada tingkat provinsi sampai tingkat kecamatan dibentuk pula Komite Kerja Perempuan. Untuk mendukung MNCWA dalam menjalankan tugas terkait pemberdayaan perempuan dan kerjasama dengan organisasi non-pemerintah baik nasional maupun internasional, maka pada tahun 2013 dibentuklah Federasi Perempuan Myanmar. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan REDD+, Myanmar baru mulai menyusun peta kerja kesiapan REDD+. Diantara tiga kelompok kerja teknis yang dibentuk demi mendukung proses penyusunan peta kerja, kelompok kerja Konsultasi Pemangku Kepentingan dan Pengamanan (Safeguards) bertanggung jawab memastikan partisipasi seluruh pemangku kepentingan perwakilan perempuan dan kelompok etnik minoritas/masyarakat adat serta memastikan bahwa kepentingan dan peran potensial mereka terintegrasi dalam proses kesiapan REDD+.
22
Nepal Nepal telah meratifikasi CEDAW dan memiliki panduan pengarusutamaan Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (Gender Equality and Social Inclusion – GESI) dalam seluruh program pembangunan. Panduan ini mendorong inklusi dari semua warga negara. Tanpa inklusi, marjinalisasi akan tetap ada berdasarkan etnik, disabilitas, gender, kewarganegaraan, opini politik, ras, kasta dan agama. Dengan adanya pengakuan ini, maka diperlukan aksi bagi kelompok miskin dan termarjinalkan. Pada tahun 1995, Nepal membentuk Kementerian Perempuan, Anak, dan Kesejahteraaan Sosial. Kementerian ini aktif mengarusutamakan gender dalam rencana, kebijakan dan program pembangunan nasional; advokasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; dan melakukan inisiatif penghapusan hambatan sosial-budaya, struktur, dan sikap agar perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional. Dibandingkan dengan negara lain yang juga melaksanakan program REDD+ Grassroots, Nepal tampaknya menjadi yang terdepan dalam pengarusutamaan gender ke dalam tujuan, kebijakan dan program sektor kehutanan. Baru-baru ini, sebuah kebijakan telah mengakui hak baru bagi perempuan untuk memiliki lahan dan turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat
23
24
tertinggi. Data statistik terbaru menunjukkan hampir seperempat dari luas lahan hutan dikelola oleh kelompok masyarakat pemanfaat hutan yang berjumlah lebih dari 17.800 kelompok. Kurang lebih 31% dan anggota kelompok tersebut adalah perempuan dan lebih dari 800 kelompok dipimpin oleh perempuan. Di antara berbagai organisasi sipil/masyarakat, HIMAWANTI (Himalayan Grassroots Women’s Natural Resource Management Association) dan FECOFUN (Federation of Community Forestry Users, Nepal) merupakan organisasi yang telah dikenal pada tingkat internasional dengan melakukan advokasi hak-hak perempuan dalam pengelolaan hutan. Akan tetapi, masih diperlukan pengembangan upaya efektif untuk melibatkan perempuan dalam proses kesiapan REDD+ di Nepal terutama dokumen R-PP telah mengenali perempuan sebagai kelompok rentan dalam konteks perubahan iklim dan REDD+. Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah yang merupakan badan pelaksana utama REDD+ hanya memiliki dua staf perempuan diantara total 16 staff. Selain itu, dalam R-PP, konsultasi direkomendasikan sebagai satu-satunya strategi untuk menyasar isu gender dalam REDD+. Terlepas dari pengakuan akan manfaat platform multi-pihak, belum terlihat bukti bahwa isu gender telah terintegrasi dalam institusi REDD+, forum pemangku kepentingan serta konten dari R-PP.
Vietnam Vietnam disebut pemimpin terdepan dalam kesetaraan gender di wilayah AsiaPasifik. Hal ini dikarenakan kerangka hukum dan kebijakan yang kuat dimana perempuan memiliki hak-hak yang kuat, misalnya hal dalam partisipasi politik dan hak mendapatkan manfaat saat hamil dan melahirkan. Vietnam juga telah merafitikasi CEDAW dan kebijakan Kesetaraan Gender. Berbagai institusi dibentuk untuk menyasar isu gender diantaranya adalah Komite Nasional untuk Kemajuan Perempuan (National Committee for the Advancement of Women - NCFAWs) yang merupakan komite dalam kementerian untuk mewakili perempuan. Di bawah Komite 25
Nasional tersebut, terdapat jejaring Komite Kemajuan Perempuan (Committees for the Advancement of Women - CFAWs) di semua kementerian, badan, serta provinsi yang tersebar di seluruh negeri. Selain itu, terdapat juga Perserikatan Perempuan Vietnam yang merupakan organisasi umum yang memobilisai perempuan dari tingkat pusat ke akar rumput dan bekerjasama dengan CFAWs. Namun demikian, dalam beberapa hal lain, ketidaksetaraan gender masih terjadi di Vietnam. Seperti contoh rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan dikarenakan perempuan bekerja lebih lama tapi dengan bayaran lebih rendah dibanding laki-laki, adanya keterbatasan akses terhadap sumber daya misalnya lahan, properti, kredit, pelatihan keterampilan kerja, serta kurangnya perwakilan perempuan yang duduk di posisi pengambil keputusan terutama di tingkat lokal. Dalam sektor kehutanan, Konstitusi Vietnam menyatakan mandat bahwa seluruh sumber daya hutan termasuk lahan, pohon, dan satwa dimiliki oleh masyarakat. Berdasarkan data Departemen Perlindungan Hutan tahun 2011, masyarakat memiliki 28% dari keseluruhan luasan lahan. Selain itu, berdasarkan Peraturan tentang Lahan tahun 2003, sertifikat tenurial yang memberikan hak akan hutan komersil dapat ditandatangani oleh suami dan istri sehingga statusnya adalah kepemilikan lahan bersama. Namun, informasi ini masih minim diketahui oleh masyarakat dan akhirnya kepemilikan lahan masih didominassi oleh laki-laki. Selain itu, praktik alokasi lahan pada tingkat rumah tangga untuk dirawat dan dikelola sering mengabaikan kontribusi tenaga dan pengetahuan yang dimiliki perempuan. Dalam konteks REDD+, dokumen R-PP dari Vietnam telah menekankan perhatian khusus bagi hak dan mata pencaharian kelompok minoritas, isu gender, dan tata kelola sebagai bagian dari asesmen awal dan asesmen dampak. Beberapa program REDD+ yang sedang berjalan khususnya program UN-REDD telah berkontribusi secara substansial terhadap pengarusutamaan gender dalam kegiatan-kegiatan programnya. Beberapa inisiatif di antaranya adalah adanya proses FPIC bersama masyarakat termasuk perempuan. Hasil yang didapatkan adalah peningkatan kesadaran akan manfaat program serta tanggung jawab dalam perlindungan hutan. Kerjasama Badan Pengelolaan Hutan dengan masyarakat lokal termasuk perempuan dalam program REDD+ telah meningkatkan kepercayaan diri masyarakat untuk menyuarakan pikiran dan suara mereka kepada pemerintah. 26
BAGIAN 4: Peningkatan Kapasitas 27
P9 Hal-hal utama apakah yang perlu diperhatikan saat memfasilitasi kegiatan penyadartahuan mengenai REDD+ di tinggat akar rumput? Di bawah ini terdapat beberapa hal yang dapat mendukung proses fasilitasi yang sensitif gender dalam kegiatan penyadartahuan kepada masyarakat. Penting untuk diperhatikan bahwa hal-hal di bawah ini bukanlah aturan baku namun dapat digunakan sebagai panduan bagi fasilitator. Karenanya, setiap poin dapat diadaptasi sesuai dengan konteks dan situasi sosial-budaya lokal setempat. • Kenali dan hargai nilai-nilai sosial-budaya lokal setempat: Sebelum melaksa nakan program penyadartahuan tentang REDD+, fasilitator perlu mengetahui nilai-nilai sosial-budaya lokal setempat dan pola demografi yang ada, terutama yang berhasil melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. • Pastikan pengaturaan logistik dilakukan dengan baik: Fasilitator perlu mengetahui waktu yang paling sesuai dalam melaksanakan pelatihan dengan memperhatikan kegiatan sehari-hari baik laki-laki maupun perempuan agar partisipasi masyarakat dalam kegiatan peningkatan kapasitas REDD+ dapat terus meningkat. Perlu disediakan pula layanan untuk ibu-ibu yang memiliki anak kecil selama kegiatan berlangsung. • Bangun pemahaman dari pengetahuan /pengalaman/kearifan lokal setempat: Masyarakat baik laki-laki dan perempuan memiliki pengetahuan yang kaya mengenai iklim lokal, sumber daya hutan, dan manfaat serta pengelolaannya. Pengetahuan ini berbeda-beda tergantung dari peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, fasilitator perlu mendorong laki-laki dan perempuan untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan mereka serta saling membantu satu sama lainnya untuk membangun kesamaan persepsi. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah bangunlah pemahaman peserta mulai dari pengetahuan yang mereka miliki kemudian bantu peserta untuk menghubungkan pengetahuan yang satu dengan yang lainnya. Langkah selanjutnya adalah menggunakan pengetahuan bersama untuk menyederhanaan konsep baru, istilah teknis, dan penjelasan ilmiah tentang perubahan iklim dan REDD+. Proses ini dapat membantu laki-laki dan perempuan untuk memahami pengetahuan baru dengan lebih mudah. • Hindari penggunaan bahasa teknis: Terdapat banyak istilah teknis dalam isu perubahan iklim dan REDD+ yang sulit dipahami oleh masyarakat lokal dan sulit dijelaskan dalam bahasa yang lebih sederhana baik dalam bahasa Inggris maupun 28
dalam bahasa lokal setempat. Penggunaan istilah teknis dapat menimbulkan kebingungan mengenai konsep kunci perubahan iklim dan REDD+ serta yang terkait dengan gender. Oleh karena itu, sedapat mungkin fasilitator perlu mencari tahu istilah yang sesuai dalam bahasa lokal atau bahasa daerah dan menggunakan contoh sederhana yang sesuai konteks lokal dan dengan bahasa yang sederhana. • Gunakan materi pelatihan yang relevan: Fasilitator diharapkan mempersiapkan materi sebelumnya dan membekali diri dengan contoh serta studi kasus yang cocok dengan konteks lokal. Materi-materi ini dapat digunakan untuk menyederhanakan isi pelatihan. Jika terdapat peserta yang tidak dapat membaca dan menulis, gunakan materi yang lebih visual seperti poster dan video. • Dokumentasikan pembelajaran dua arah: Selama proses pelatihan, fasilitator perlu melakukan dokumentasi pembelajaraan yang terkait dengan gender, terutama contoh/cerita/kasus yang diceritakan oleh peserta. Hal ini sangat penting karena pembelajaran yang diperoleh dapat digunakan dan dibagikan kepada pemangku kepentingan di berbagai tingakatan dalam kegiatan terkait perubahan iklim dan REDD+. • Bangunlah kerjasama dengan lembaga yang memiliki mandat/tujuan yang sama: Proses pengarusutamaan gender dalam REDD+ perlu juga menyasar pada peningkatan kepemimpinan kelembagaan dan kapasitas perempuan di tingkat akar rumput, termasuk lembaga formal dan non-formal yang merupakan lembaga perwakilan perempuan. Oleh sebab itu, penting menemukan mitra lokal yang bekerja untuk isu gender dan libatkan mereka dalam kegiatan pelatihan dan penyadartahuan. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas mereka sebagai perwakilan perempuan dalam mengkomunikasikan aspirasi dan kepentingan perempuan sehingga dapat berkontribusi pada proses penyusunan kebijakan REDD+. 29
P10 Bagaimana program REDD+ Grassroots mengarusutamakan gender dalam peningkatan kapasitas REDD+?
RECOFTC - The Center for People and Forests berkeyakinan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan komponen kunci dalam pemanfaatan dan pegelolaan sumber daya hutan lestari sekaligus sebagai langkah penegakan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, RECOFTC berkomitmen untuk mengarusutamakan perspektif gender dalam kebijakan dan program dalam rangka mempromosikan kesetaraan dan hak asasi dalam kehutanan masyarakat dan REDD+. Berangkat dari pendekatan fundamental ini, pengarusutamaan gender menjadi bagian tak terpisahkan dari program REDD+ Grassroots sejak proses penyusunan konsep. Program ini menggunakan pendekatan yang sistematis untuk mengintegrasikan pelatihan dan peningkatan kapasitas yang berfokus pada isu gender di 5 negara pelaksana kegiatan program. Pendekatan yang digunakan termasuk di antaranya membangun koordinasi dan kemitraan di masing-masing negara; meningkatkan kapasitas yang secara strategis menyasar tingkat akar rumput; megembangkan materi training dalam bahasa lokal; menyebarluaskan informasi; komunikasi dan advokasi; riset, analisis dan sintesis; serta melakukan pengawasan dan evaluasi. Di setiap negara, kami membangun kemitraan dengan lembaga yang bekerja di isu gender, mendukung mitra dalam mengarusutamakan gender dalam REDD+ melalui berbagai kegiatan. Program ini juga mendokumentasikan pembelajaran dari kegiatan pelatihan dan peningkatan kapasitas. Selanjutnya, pembelajaran-pembelajaran ini kemudian digunakan untuk meningkatkan materi pelatihan dan program peningkatan kapasitas di masa mendatang. Hadirnya buku ini juga merupakan bagian dari pendekatan tersebut.
30
Misi RECOFTC adalah meningkatkan kapasitas untuk penguatan hakhak, perbaikan tata kelola dan pembagian manfaat yang lebih adil bagi masyarakat lokal dalam lanskap hutan yang berkelanjutan di kawasan Asia dan Pasifik RECOFTC meempunyai kedudukan yang khas dan penting dalam dunia kehutanan. Lembaga ini adalah satu-satunya organisasi nirlaba dengan spesialisasi dalam pengembangan kapasitas untuk kehutanan masyarakat. RECOFTC terlibat dalam jaringan-jaringan strategis dan kemitraan efektif dengan pemerintah, organisasi nirlaba, masyarakat madani, sektor swasta, masyarakat lokal serta lembaga penelitian dan pendidikan di seluruh kawasan Asia-Pasifik dan bahkan lebih luas dari itu. Dengan lebih dari 25 tahun pengalaman internasional dan pendekatan dinamis untuk pengembangan kapasitas - melalui penelitian dan analisis, pengembangan wilayah percontohan, serta produk-produk pelatihan- RECOFTC memberikan solusi inovatif untuk masyarakat dan hutan.
RECOFTC – The Center for People and Forests P.O. Box 1111 Kasetsart Post Office Bangkok 10903, Thailand Tel (66-2) 940-5700 Fax (66-2) 561-4880
[email protected] www.recoftc.org RECOFTC Indonesia Pusdiklat Kehutanan Jalan Ishak Djuarsa, Gunung Batu Kotak Pos 141, Bogor 16118 Tel (+62-251) 8338444 Fax (+62-251) 8338444
Dicetak di atas kertas daur ulang