GEMPA DAN JAKARTA Dradjat Hoedajanto
1
PENDAHULUAN
Probabilistic Seismic Hazard Map (PSHM) Indonesia yang baru, lihat Gambar 1, sebagai pengganti Peta Hazard Gempa SNI Gempa 2002 (SNI 03-1726-20021), telah ditanda tangani oleh Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 1 Juli 2010, disusul dengan pengumuman resminya tertanggal 15 Juli 2010 dan disosialisasikan pada para pihak di kantor Binagraha tanggal 16 Juli yang lalu.
Gambar 1 Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 ( Irsyam et.al. 2010) 1
BSN, SNI 03-1726-2002 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
1
Berdasarkan peta tersebut, gedung dan bangunan sipil di Jakarta, tergantung lokasinya, harus didesain terhadap beban gempa dengan Peak Ground Acceleration(PGA) di level batuan dasar 19 – 21% g. Suatu peningkatan sekitar 5% dari ketentuan sebelumnya. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah seberapa “aman” bangunan yang telah berdiri dan operasional selama ini terhadap peningkatan beban gempa ini?Apa definisi dan makna phisik dari kata “aman” yang dapat kita terima bersama dan apa langkah yang perlu diambil untuk mencapainya? Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan baik, satu hal yang harus kita pahami bersama adalah bahwa berdasarkan peraturan yang ada, bangunan yang didesain “aman”terhadap gempa tidak berarti bahwa bangunan tersebut “kebal”gempa. Secara teoritis konsep Life Safety Design memberikan bangunan yang strukturnya akan mengalami kerusakan lk 30% akibat gempa desain. Dengan demikian dengan penambahan beban gempa yang lk sepertiga dari beban SNI Gempa 2002, perlu dipikirkan langkah apa yang diperlukan untuk menjamin bahwa minimal Jakarta tidak akan menjadi ajang “show case” Kegagalan Konstruksi Indonesia karena misal kondisi extrimnya 85% bangunan dan fasilitas public yang ada akan mengalami kerusakan berat (walaupun tidak runtuh) dan bahkan mungkin beberapa (khususnya yang non-code compliance) akan hancur akibat gempa desain maksimum di masa depan?
2
GEDUNG DAN BANGUNAN SIPIL DI JAKARTA
Kekhawatiran mengenai “keamanan” gedung dan bangunan sipil kota Jakarta terhadap gempa maksimum tidak selalu disebabkan oleh peningkatan beban gempa disain saja. Bila kecenderungan praktek konstruksi yang terdatakan sekian jauh di seluruh Indonesia dan menjadi sebab utama banyaknya kehancuran bangunan akibat gempa (Hoedajanto, 2009 dan 2010) juga merupakan karakteristik konstruksi di Jakarta, maka masalah yang dihadapi Jakarta sungguh sangat serius dan memerlukan pemikiran solusi terpadu yang pragmatis, menyeluruh, dan sangat segera. Beberapa fakta dari bangunan dikota Jakarta dan keterkaitannya dengan Peraturan yang berlaku adalah: 1. Jakarta dibangun berdasarkan 3 (tiga) Peraturan Pembebanan yaitu Peraturan pra tahun 80-an2, Peraturan tahun 80-an (PPTGIUG-19813), dan Peraturan tahun 2000-an (SNI 03-1726-2002), 2. Teknologi Konstruksi bangunan tahan gempa modern baru diterapkan di Indonesia sejak hadirnya PPTGIUG–1981di mana konsep struktur daktail mulai diperkenalkan mengikuti rekomendasi Peraturan serupa di New Zealand (Becca Carter, et.al. 1979), 2 3
Peraturan Beton Indonesia (PBI) – 1971 dan Peraturan Muatan Indonesia (PMI) – 197x. Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung, 1981, Dit.Jen. Tjipta Karya, DPU.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
2
3. Penyempurnaan dari PPTGIUG–1981 direalisasikan dengan hadirnya SNI 031726-2002 yang menggunakan 97-UBC4 sebagai acuan utama, 4. Kerusakan bangunan sipil paska gempa Northridge 1994 dan Kobe 1995 mendorong lahirnya persyaratan keteknikan yang lebih ketat yang kemudian direfleksikan dengan perubahan besar pada Code dunia yang diawali oleh lahirnya International Building Code (IBC) 2000 yang selalu disempurnakan setiap 3 tahun (sebagai pengganti dari 97-UBC) dan ASCE 7-025, 5. Saat ini telah terbit 2009-IBC6, ASCE 7-107, dan AASHTO-20078 yang menjadi referensi bagi perkembangan code dunia lainnya. Penyempurnaan dari SNI Gempa 2002 disepakati bertumpu pada ASCE 7-10 dan 2009-IBC, 6. Hadirnya kecenderungan baru dalam konsep perencanaan bangunan tahan gempa yang berpaling dari konsep perencanaan berdasarkan kekuatan (strength based concept) yang selama ini mendasari Code dunia menjadi konsep perencanaan berdasarkan kekakuan (stiffness based concept) yang dari awal telah mencurahkan pemikiran agar perencanaan sistem dan elemen struktur dijalankan dan didasarkan pada konsep damage control yang dikaitkan dengan suatu target performance yang disepakati oleh para pihak terkait, 7. Adanya peringatan yang disampaikan oleh LATBSDC-20089 dan CTBUH-200810 bahwa disain dari bangunan tinggi (H > 50-90 m) terhadap gempa tidak cukup hanya didasarkan pada rekomendasi Code yang ada karena code diturunkan untuk perencanaan bangunan bertingkat yang rendah. Fakta ini perlu disikapi dengan cermat dan penuh tanggung jawab yang profesional. Butir-butir 1, 4, dan 7 dari uraian di atas perlu direspon dan disikapi secara positif dan bijak dengan segera. Seyogyanya segera diambil langkah pro-aktif yang preventif dengan melakukan review yang komprehensif mengenai respon dari bangunan terhadap gempa disain baru. Langkah optimum didapat dengan memanfaatkan teknologi code dunia dan pakar kegempaan dunia yang terbaru. Secara konseptual bila bangunan tersebut didisain dan dilaksanakan sesuai petunjuk code “modern” yang berlaku saat itu (life safety design concept), kemungkinan masalah yang dihadapi saat ini hanyalah peningkatan level of damage dan tidak mengarah pada keruntuhan.
4
1997 Uniform Building Code. “ASCE Standard ASCE/SEI 7-02” American Society of Civil Engineer “Minimum Design Loadsfor Buildings and Other Structures” 6 2009 International Building Code, 7 “ASCE Standard ASCE/SEI 7-10” American Society of Civil Engineer “Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures” 8 AASHTO LRFD Bridge Design Specifications SI Units 2007 by the American Association of State Highway and Transportation Officials. 9 LATBSDC “An Alternative Procedure for Seismic Analysis and Design of Tall Buildings Located in the Los Angeles Region” A Consensus Document – 2008 Edition. 10 Council on Tall Building and Urban Habitat – 2008 “Recommendations for the Seismic Design of High-rise Buildings” A Consensus Documents –CTBUH Seismic Working Group. 5
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
3
Tasikmalaya: 12%g, Bandung: 8%g, Jakarta: 4%g Gambar. 2 PGA Gempa Tasikmalaya, USGS-2009
De-aggregation: To determine controlling earthquakes
M=7.5
Menjadi masalah adalah bila pada kenyataannya, seperti halnya kota-kota lain yang “rusak” akibat gempa, Jakarta didominasi oleh mal-praktek konstruksi yang non-code compliance. Kemungkinan ini perlu dikaji dengan seksama karena besarnya kerugian langsung dan tidak langsung yang bisa terjadi, misal bila 85% bangunan di Jakarta rusak berat dan runtuh akibat gempa desain maksimum, sungguh tidak dapat diperkirakan. Kurangnya pemahaman masyarakat (termasuk Pejabat Negara dan Wakil Rakyat) mengenai potensi “kegagalan” Jakarta akibat gempa maksimum ini antara lain lahir karena (1) sosialisasi dari dampak gempa yang lengkap dan benar masih kurang, dan (2) telah lama Jakarta tidak “disinggahi” gempa.
M=5.7
R=104Jakarta km R=11 km
Kajian terhadap bayangan dari apa yang bisa terjadi sesungguhnya dapat kita simulasi dan rasionalisasikan dengan 10 mengambil contoh dari respon dan kondisi Jakarta yang telah “melewati dengan aman” guncangan gempa Tasikmalaya 2009 yang Gambar. 3 De-agregasi gempa penentu untuk bermagnitude 7.2. Keberhasilan Jakarta Jakarta, radius 500km [Irsyam, 2007] “menerima dengan aman” gempa besar tersebut melahirkan keyakinan bahwa Jakarta aman terhadap gempa 8 SR (Skala Richter). Kesimpulan yang salah dan menyesatkan karena gempa yang epicenternya lk 190 km dari Jakarta ter-sebut sesungguhnya hanya mengguncang Jakarta dengan PGA 4% g, Gambar 2 [USGS, 2009]. Jadi bayangan dampak gempa dengan PGA 19 – 21% g, guncangannya lk 5 x dampak gempa Tasikmalaya yang lalu. M=8.0
R=200 km
A cc ele rat ion (g )
0.1 5
S ca led A cc ele rat ion
0 .1
0.0 5
0
-0.0 5
-0 .1
-0.1 5
-0 .2
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Tim e (se c)
Dalam catatan yang ada [Kertapati, 2010], Jakarta tidak memiliki sesar aktif di wilayahnya. Jadi gempa Jakarta adalah gempa “kiriman”. Gempa masuk Jakarta sebagai rambatan gelombang guncangan yang awalnya terjadi di level lempeng batuan di hypocenter (pusat) gempa. Bagi Jakarta, secara teoritis gempa yang pengaruhnya harus diperhitungkan adalah semua gempa dengan epicenter dalam radius 500 km. dari Jakarta, lihat Gambar 3.Gempa yang pengaruhnya besar adalah gempa di Selat Sunda dan gempa dengan mekanisme Benioff di Selatan Jakarta [Irsyam, 2007]. Fakta ini penting untuk disosialisasikan dan diwaspadai khususnya karena telah lama tidak terjadi gempa besar di wilayah tersebut, [Teori seismic gap - Kertapati, 2004]. Kemajuan teknologi menjelang akhir abad yang lalu melahirkan konsep dan teori Performance Based Engineering (PBE) yang kemudian berkembang antara lain melahirkan Performance Based Earthquake Engineering (PBEE) dan Performance
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
4
Based Seismic Design (PBSD), [Bertero, 2004]. Secara spesifik konsep dan langkah disain ini berbeda dengan apa yang telah kita kenal dan kita lakukan selama ini (mengikuti code) yang cenderung prescriptive. Dengan konsep ini para pihak dilibatkan dalam pemilihan respon bangunan yang diharapkan, mulai dari Operational (O), Immediate Occupancy (IO), Life Safety (LS), hingga Collapse Prevention (CP). Life Safety (LS), konsep desain yang kita ikuti selama ini, secara phisik merefleksikan kondisi kerusakan structural antara 15 % hingga 30 %, lihat Gambar. 4. Konsep sejenis juga diadop untuk bangunan sipil lainnya.
Gambar 4 Level kerusakan bangunan akibat gempa disain, FEMA 451B (2007) Gambar 4 dengan jelas menggambarkan bahwa bangunan yang didesain dengan konsep Life Safety akan mengalami kerusakan yang cukup signifikan dan kemungkinan tidak dapat di-repair. Belajar dari kerusakan bangunan pasca gempa, kecenderungan langkah desain saat ini tidak lagi hanya ditumpukan pada desain sesuai rekomendasi code. Target kerusakan bangunan pasca gempa, baik untuk gempa layan maupun gempa maksimum, menjadi topik penting yang harus didiskusikan dan diputuskan bersama oleh para pihak. Hal yang kemungkinan belum pernah disosialisasikan secara terbuka dan baik kepada masyarakat, pemilik ataupun pengelola bangunan. Khusus untuk gedung tinggi, di mana perilaku dinamis gedung tidak lagi didominasi oleh mode ke 1, Federal Emergency Management Administration (FEMA) merekomendasikan langkah disain yang yang didasarkan pada respon dynamic nonlinear time history [FEMA 451b-2007]. Di sini perencana struktur tidak lagi dapat melakukan desain hanya dengan mengandalkan pada penggunaan software. Diperlukan penguasaan konseptual yang baik atas perilaku bangunan dan elemen struktur terhadap gempa agar dari awal perencana dapat bekerja sama dengan arsitek dan mengadop sistem dan elemen struktur bangunan yang optimum untuk target performance yang disepakati.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
5
Gambar. 5 Contoh kerusakan gedung antara konsep Life Safety dan Collapse Prevention [Hoedajanto, 2009]
Gambar 6 Cross-Over Tomang, mungkin didesain terhadap PGA 10% g
Mengingat fungsi dan nilai penting lainnya, bukan tidak mungkin bahwa target Life Safety bukan merupakan pilihan bagi sebagian pemilik / pe-ngelola, lihat Gambar 5, misal untuk Rumah Sakit, iconic buildings, Kantor Presiden, Fly-Over Utama (CawangPriok-Pluit, Cawang-Tomang-Pluit, dan PluitCengkareng(?)), dan bangunan serta sarana penting lainnya. Studi mengenai dampak dari kemungkinan runtuhnya Fly-over Cawang-Priok-Pluit akibat gempa menghasilkan data potensi kerugian total yang lebih dari Rp. 150T (nilai rupiah tahun 2008) dan gangguan kenyamanan phisik lebih dari 2 tahun (LAPI ITB, 2008). Secara teoritis fragilitas dari sarana cross-over dan fly-over yang under designed (beban gempa hanya PGA 10% g), lihat Gambar 6, over load, over used,dan tanpa maintenanceini terhadap gempa desain mak-simum sungguh harus dikhawatirkan. Kerusakan dan kerugian akibat gempa Northridge 1994 dan Kobe 1995 dimana gangguan terhadap kelangsungan dan kenyamanan sistem transportasinya sangat berat, upaya rekonstruksinya sukar, memakan waktu, dan biayanya sangat mahal, memberikan arahan kebijakan bahwa seyogyanya kemungkinan kerusakan parsial apalagi total pada sistem infrastruktur utama harus dihindari. Dari sisi pengalaman kota-kota lain di Indonesia yang telah diporak porandakan oleh gempa di masa lalu, hal serupa mungkin saja terjadi di Jakarta bila kualitas konstruksi di Jakarta tidak seperti yang dipersyaratkan dan diharapkan.
Perlu digaris bawahi bahwa kualitas konstruksi yang buruk bukan melulu disebabkan oleh kurang baiknya proses pelaksanaan (tidak mengikuti rekomendasi Code), tetapi juga karena sebagian (besar?) praktisi perencana struktur belum/tidak sepenuhnya memahami latar belakang dari konsep Perencanaan Bangunan Tahan Gempa. Hal ini tidak mengherankan karena memang secara formal pemahaman mengenai respon dinamik dan non-linear struktur akibat gempa tidak diajarkan di level S-1. Belajar sendiri langkah yang tidak mudah bagi praktisi yang terbiasa dengan proses analisis statis dan elastis. Pemahaman dan penghayatan perilaku dan karakter dinamik dan siklik dari elemen struktur dan non-struktur yang harus mengalami beban gempa
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
6
yang acak, dinamis, dan siklis diperlukan untuk menghindari kesalahan langkah desain yang merugikan dan membahayakan. Kondisi di atas secara tidak langsung melahirkan praktek desain yang tidak jarang mengikuti saja keinginan arsitek yang demi mengejar keindahan kadang memaksakan sistem struktur yang tidak simetris dan berpotensi torsi tanpa upaya pengamanan yang bisa diambil. Sebagian lagi terjadi perencanaan dan pelaksanaan detailing yang kurang sempurna/salah, atau penetapan/perhitungandesign base shear yang kurang tepat, atau penggunaan material yang tidak memenuhi persyaratan teknis, atau kesalahan asumsi modeling karena kurangnya pemahaman atas perbedaan respon elemen dan respon struktur dan terbatasnya pemahaman atas makna dan konsekuensi dari struktur daktail. Kasusnya menjadi menonjol bila kajian diarahkan pada masalah desain pondasi, khususnya untuk sistem pondasi dalam pada tanah lunak di mana level of fixity dari bangunan atas menjadi hal yang tidak mungkin dipastikan. Kebiasaan praktek untuk mengasumsikan level of fixity pada ground level dengan demikian perlu dikaji dengan seksama akurasinya dan seyogyanya tidak diambil sebagai suatu solusi default. Khusus untuk gedung tinggi yang di atas 90-an m, masalah di atas menjadi bertambah karena kemungkinan kesalahan / kurang lengkapnya langkah desainseperti uraian yang diangkat dalam butir 7 di bagian depan dari makalah ini.
3
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Jakarta sebagai Ibu Kota Negara perlu dikedepankan tingkat keamanan bangunannya terhadap kemungkinan ancaman guncangan gempa yang datang dari luar Jakarta karena langsung maupun tidak langsung kerusakan yang bisa ditimbulkan akan berdampak besar terhadap kelancaran pemerintahan dan kesehatan perekonomian nasional, 2. Hadirnya PSHM yang baru sebagai pengganti dari Peta serupa dalam SNI Gempa 2002 perlu disikapi secara proaktif, khususnya karena adanya indikasi bahwa beban gempa disain Jakarta untuk gempa 500 tahun lebih besar daripada beban gempa yang ditetapkan dalam SNI Gempa 2002. 3. PSHM yang baru ini seyogyanya segera dilengkapi dengan studi lanjut berupa mikrozonasi wlayah Jakarta secara lengkap agar hasilnya dapat dimanfaatkan secara maksimum oleh praktisi perencana dalam merencanakan bangunannya dengan lebih baik dan benar. 4. Seyogyanya studi penyempurnaan provisi teknik SNI Gempa 2002 yang menggunakan referensi ASCE 7-10 dan 2009-IBC dilengkapi juga dengan catatan-catatan khusus dari AASHTO-2007 untuk bangunan infrastruktur khususnya jembatan. Studi ini harus segera diselesaikan agar bisa dimanfaatkan mengimbangi peningkatan demand dari gempa disain yang harus diakomodasi.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
7
5. Perlu segera dilakukan studi fragilitas dan kapasitas dari bangunan dan sarana publik yang ada untuk mendapatkan petunjuk langkah perkuatan atau perbaikan yang perlu dikerjakan untuk meningkatkan ketahanan dan kelaikan pakai bangunan dan sarana tersebut terhadap gempa maksimum di masa depan. Kondisi ini perlu disikapi secara proaktif khususnya karena adanya kekhawatiran bahwa teori seismic gap yang dikedepankan oleh Kertapati (2004) saat ini berlaku bagi Jakarta dan sekitarnya, 6. Dampak dari peningkatan beban gempa desain untuk gempa 500 tahun dari PGA 15%g menjadi PGA 19 – 21%g perlu dicermati dengan baik. Khusus untuk gedung tinggi dengan H > 90 m, LATBSDC-2008 dan CTBUH-2008 mengatakan bahwa code yang ada tidak cukup untuk dijadikan satu-satunya pegangan dalam perencanaan tahan gempa, Mengingat nilai investasi gedung tinggi yang tidak murah, kemungkinan dari penetapan target performance Damage Control (DC) yang berada di antara IO dan LS perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan rasio biaya konstruksi vs biaya maintenance dan repair yang terbaik, 7. Khusus bagi bangunan tinggi yang dibangun sebelum berlakunya SNI Gempa 2002 dengan beban gempa PGA 10% g, disamping mencermati kemungkinankemungkinan kekurangan ataupun kesalahan langkah desain yang hanya didasarkan pada rekomendasi Code, perlu diteliti apakah langkah konstruksi dan penggunaan materialnya telah sesuai dengan apa yang dipersyaratkan saat ini. Perlu dicatat bahwa bila terjadi keruntuhan pada bangunan tinggi, dampak fisik, ekonomi, dan sosialnya akan sangat tinggi. Kondisi yang ada saat ini masih bisa diperbaiki dengan melakukan langkah retrofit yang sesuai, 8. Mengingat dampak globalnya yang besar, seyogyanya Pem-Da DKI Jakarta minimal segera melakukan beberapa studi fragilitas kegempaan dari bangunan dan sarana penting yang ada untuk dijadikan bahan kajian dasar bagi perlu tidaknya pemberlakuan kebijakan serupa untuk seluruh bangunan dan sarana yang ada di DKI Jakarta. Salah satu studi yang perlu segera dilaksanakan adalah studi Fragilitas dan Retrofit dari Fly-Over Cawang-Priok-Pluit-TomangCengkareng, termasuk sistem jalan tol deck-on-piles Cengkareng yang baru, 9. Semua langkah yang perlu dikerjakan haruslah dilakukan secara sungguhsungguh dan professional oleh pihak yang mampu dan memiliki pengalaman yang menunjang, agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Keterlibatan sejak awal dari pihak Asuransi Konstruksi yang benar-benar professional seyogyanya segera dijadikan kelengkapan yang dipersyaratkan terhadap kontraktor pelaksana dan konsultan perencana,untuk meningkatkan tercapainya pekerjaan disain yang baik, benar, dan profesional. Keterlibatan accredited checkersperlu dipertimbangkan untuk proyek besar dan penting agar prosescheck and recheck dan sharing tanggung jawab dapat dicapai secara sistematis dengan baik dan benar.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
8
4
DAFTAR PUSTAKA 1. BSN, Standar Nasional Indonesia, SNI 03-1726-2002, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, 2. Irsyam, M., et al., “Usulan revisi Peta seismic Hazard Indonesia SNI 03-17262002, 3. Dit. Jen. Tjipta Karya, DPU., Peraturan Perencanaan Tahan Gempa untuk Gedung, 1981, 4. 1997 – Uniform Building Code, 5. “ASCE Standard ASCE/SEI 7-02” American Society of Civil Engineer “Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures”, 6. 2009 – International Building Code, 7. “ASCE Standard ASCE/SEI 7-10” American Society of Civil Engineer “Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures”, 8. AASTO LRFD Bridge Design Specification SI Units 2007 by the American Association of State Highway and Transportation Officials, 9. LATBSDC “An Alternative Procedure for Seismic Analysis and Design of Tall Buildings Located in the Los Angeles Region” A Consensus document – 2008 Edition, 10. Council on Tall Building and Urban Habitat – 2008 “Recommendations for the Seismic Design of High-Rise Buildings” A Consensus Documents – CTBUH Seismic Working Group 11. USGS Peak Acceleration Map, in % g, Java – Indonesia, September 2, 2009 12. Irsyam, M., Dangkua, D., and Hoedajanto, D., “Reasons to Update Current Design Maps for Indonesia”, HAKI Conference, Jakarta, 2007 13. Kertapati, E., “Komunikasi Pribadi”, 2010, 14. Kertapati, E., “Komunikasi Pribadi”, 2004 15. FEMA, “NEHRP Recommended Provisions for New Buildings and Other Structures”: Training and Instructional Materials – FEMA 451-B, June 2007. 16. LAPI ITB, “Studi Dampak Gempa Bumi Terhadap Sistem Transportasi”, Departemen Perhubungan, 2008.
Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI. Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - “Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
9