Gema Pendidikan Volume 20 Nomor 2, JUli 2013
Terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan Juli. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan konseptual di bidang Pendidikan. ISSN : 0854 – 9044
Penanggung Jawab Dekan FKIP Unhalu Pemimpin Redaksi Pembantu Dekan I FKIP Redaktur Pelaksana Kepala Perpustakaan FKIP Penyunting Ahli H. Zalili Sailan (Unhalu) H. Barlian Usman (Unhalu) H. Hilaluddin Hanafi (Unhalu) La Maronta Galib (Unhalu) Amiruddin (Unhalu) Nurlansi (Unhalu) La Harudu (Unhalu) Moh. Salam (Unhalu) Muh. Yuris (Unhalu) Albert (Unhalu) Darnawati (Unhalu) La Sawali (Unhalu) Aris Munandar (UNM Makassar) Ahmad Tolla (UNM Makassar) Hamsu Gani (UNM Makassar) H. Nurhadi (UNM Malang) Sumadi (UNM Malang) Bambang Yulianto (Unesa) Ratna Sayekti (UNJ) Pelaksana Layout La Rudi Muh. Abas Pendais Haq Rahmat
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi Pengaruh Kompensasi, Motivasi, dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta. Izlan Sentryo………………….. 1 Dampak Intervensi Model Penurunan Unmet Need KB dan Peningkatan KB Pria terhadap Pencapaian Sasaran Program DHS-I pada Program KB di Prov. Sultra Kadir Tiya ............................... 12 Kualitas Pengajaran, Sikap :Positif, Self-Efficacy dan Kinerja Akademis Mahasiswa FKIP Unhalu Muliha Halim ………..……… 21 Project-Based Learning for EFL Vocabulary Class Nurnia ………….…..………..31 Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya Nilai UN Matapelajaran Ekonomi Koperasi SMA di Kabupaten Buton Tahun 2011 Abdullah Igo B.D ..………… 38 Pengujian Akurasi Alat Pengukur Suhu dan Kelembaban menggunakan Sensor SHT11 dan Mikrokontroler Atmega 8 Vivi Hastuti ……………..…… 45 Analisis Nilai Ujian Nasional Kimia dan Identifikasi Faktor Penyebab Menurunnya Nilai UN Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2010 La Rudi…………….………….55 Persepsi Mahasiswa Universitas Halu Oleo tentang Latar belakang Demonstrasi Barlian & Muh. Abas .………………..………….….65 Penerapan Metode Pemecahan Masalah dalam Penigkatan Hasil Belajar Matematika Nana Sumarna & Eric Roni Hasmudin....................................77 Penerapan Model Pembelajaran Search Solve Create and Share (SSCS) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Materi Gerak Lurus siswa Kelas X SMAN 1. Kabangka Tahun Ajaran 2012-2013. La Harudu……………………..…………..….84 Identifikasi Miskonsepsi Siswa Kelas XII IA SMAN 6 Kendari pada Matapelajaran Biologi Materi Transport Membran M. Sirih, Murni S. Martini …………………….…. 91 Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbantuan Slide Show Animation untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari La Sahara....................... 97
Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kec. Poasia Kota Kendari Asmawati Munir, Lili Darlian, Niluh Sri Buana ………… 105
Gema Pendidikan diterbitkan sejak 01 Januari 1994 oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan i oleh media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuwarto dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman belakang (Petunjuk bagi penulis Gema Pendidikan). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan sebagainya.
PENGANTAR REDAKSI Gema Pendidikan Volume 20 Nomor 2, Juli 2013 menampilkan tiga belas artikel yang merupakan hasil penelitian, yang membahas berbagai permasalahan aktual dan telah disajikan pada pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar dan semacamnya. Para penulis adalah dosen Universitas Haluoleo yang menampilkan karya tulis dengan bekerja sama Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo dan lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Permasalahan-permasalahan berfokus pada aktualisasi bidang pendidikan pengajaran dan sains. Pada terbitan-terbitan selanjutnya “Gema Pendidikan” berusaha tetap tampil dengan berbagai karya tulis serta mempertahankan eksistensinya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan pengajaran dan sains. Usaha yang dimaksud tidak terlepas dari kesadaran bahwa hanyalah sebagian upaya dalam rencana yang selalu disertai dengan keterbatasan pihak penyunting dan rekan para penulis. Oleh karena itu untuk memperbaiki segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, pihak penyunting mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan untuk terbitan berikutnya yang merupakan harapan kita semua. Semoga pada terbitan-terbitan selanjutnya “Gema Pendidikan” tampil lebih baik lagi utamanya dari kualitas keilmuan dan relevansinya dengan pembangunan dalam dunia pendidikan.
Kendari,
Juli 2013
Penyunting
ii
PENGARUH KOMPENSASI, MOTIVASI, DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DINAS PENDIDIKAN PROVINSI DKI JAKARTA1 Oleh: Izlan Sentryo2 Abstract This research aims to discover the impacts of compensation, motivation, and the organization’s commitment on the performance of the employees of the Education Agency - the Province of Jakarta Special Capital Region. The population of this research are 285 employees of the Education Agency - the Province of Jakarta Special Capital Region in 2010. The population reached totals 110 people, namely the employees that belong to category III, college graduates, and have minimal service period of 5 years. Samples of the research are 70 people or 64 percent of the population reached. Sampling is conducted by means of simple random sampling technique. The research method employed is survey; the research instrument is questionnaire, and data analysis is performed by means of descriptive analysis and inferential analysis. The descriptive analysis is employed to describe the state of data on each variable in the form of average, median, modus, standard deviation, variance, frequency distribution, and histograms. Whereas the inferential analysis is employed to test the hypothesis through path analysis. Based on the results of the hypothesis testing through Path Analysis, this research discovers that: (1) Compensation has a direct positive impact on performance, (2) Compensation has a direct positive impact on the organization’s commitment, (3) Motivation has a direct positive impact on performance, (4) Motivation has a direct positive impact on the organization’s commitment; and (5) the organization’s commitment has a direct positive impact on performance. Keywords: performance, compensation, motivation, and the organization’s commitment.
kependidikan, kualitas dan relevansi isi pendidikan, sistem penilaian, pengelolaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan (Djaali, 2011: 1). Dengan demikian, tugas tenaga kependidikan (karyawan Dinas Pendidikan) cukup strategis dan merupakan salah satu variabel yang ikut menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan nasional. Kementerian Pendidikan Nasional mempertegas bahwa tenaga kependidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan (Rencara Strategis Kemdiknas 20102014: 95). Tugas tenaga kependidikan adalah melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pembinaan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan (Pasal 173
LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Hak warga negara atas pendidikan juga telah dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional, yakni dengan penekanan pada pendidikan bermutu. Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Mutu pendidikan diukur dari kompetensi lulusannya. Kompetensi lulusan ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran di kelas dan proses pendidikan di lingkungan sekolah, dan dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga 1 2
Ringkasan Disertasi di UNJ. Promotor: Prof. Dr. H. Djaali dan Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, MA. Dosen Luar Biasa Pada Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Halu Oleo 1
Ayat (2) PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan). Sebagai bagian dari tenaga kependidikan, karyawan Dinas Pendidikan harus ditingkatkan kinerjanya agar semakin optimal dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta merupakan perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan pendidikan secara bermutu. Selain itu, lembaga ini berfungsi: (1) Menyusun dan melaksanakan rencana kerja dan anggaran Dinas Pendidikan; (2) Merumuskan kebijakan teknis pelaksanaan urusan pendidikan; (3) Memberikan pelayanan, pembinaan, pengembangan, pengawasan, dan pengendalian pendidikan; serta (4) Melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap tenaga kependidikan (Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan Provinsi DKI Jakarta). Untuk melaksanakan tugas dan fungsi Dinas Pendidikan yang sangat urgen tersebut di atas, maka berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan harus terus dilakukan. Kinerja karyawan Dinas Pendidikan harus ditingkatkan, karena mereka merupakan bagian dari penyelenggara pendidikan dan berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah. Artinya, untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah selain harus menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, guru yang profesional, dan biaya pendidikan yang cukup, juga harus menyediakan karyawan Dinas Pendidikan yang berkinerja tinggi. Tentu saja, kinerja karyawan Dinas Pendidikan ini dipengaruhi banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal, di antaranya adalah kompensasi, motivasi, dan komitmen organisasi. Sehubungan dengan uraian di atas, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Apakah kompensasi berpengaruh langsung terhadap kinerja?; (2) Apakah kompensasi berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi?; (3) Apakah motivasi berpengaruh langsung terhadap kinerja?; (4) Apakah motivasi berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi?; (5) Apakah komitmen
organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) pengaruh langsung kompensasi terhadap kinerja; (2) pengaruh langsung kompensasi terhadap komitmen organisasi; (3) pengaruh langsung motivasi terhadap kinerja; (4) pengaruh langsung motivasi terhadap komitmen organisasi; dan (5) pengaruh langsung komitmen organisasi terhadap kinerja. TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Konsep kinerja didefinisikan sebagai nilai dari seperangkat perilaku karyawan yang berkontribusi, baik secara positif atau negatif terhadap pemenuhan tujuan organisasi (Colquitt, LePine, dan Wesson, 2009: 37). Mathis dan Jackson (2006: 114) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi, yaitu kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan, tingkat usaha yang dicurahkan, dan dukungan organisasi. Kinerja merupakan terjemahan dari performance, yang berarti: (1) perbuatan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan yang berdaya guna; (2) pencapaian atau prestasi seseorang berkenan dengan tugas yang diberikan kepadanya; (3) hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, di mana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat diukur (dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan); (4) cacatan mengenai out-come yang dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu selama kurun waktu tertentu pula; (5) hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Sedarmayanti, 2009: 259-260). Penilaian kinerja bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi kemampuan dan kekuatan karyawan; (2) mengidentifikasi potensi perkembangan karyawan; (3) memberikan informasi bagi perkembangan karyawan; (4) membuat organisasi lebih produktif; dan (5) memberikan data bagi penyesuaian kompensasi karyawan (Neal, 2004: 3-4). Robbins dan Judge 2
(2009: 629) mengemukakan bahwa penilaian kinerja dalam organisasi bertujuan untuk keputusan sumber daya manusia, promosi, transfer, dan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan Stoner dan Freeman (1992: 392) berpendapat bahwa penilaian kinerja bertujuan untuk: (1) memberi tahu karyawan secara formal bagaimana nilai kinerjanya, (2) menentukan karyawan yang berhak mendapatkan kenaikan gaji, (3) menentukan karyawan yang memerlukan pelatihan tambahan, dan (4) menentukan calon karyawan yang dapat dipromosikan. Ada lima tahapan dalam proses penilaian kinerja, yaitu: (1) mengidentifikasi sasaransaranan kinerja, (2) menetapkan kriteria kinerja dan mengkomunikasikannya dengan bawahan; (3) memeriksa pekerjaan yang dilakukan; (4) menilai kinerja; dan (5) mendiskusikan penilaian bersama karyawan (Mondy, 2008: 260). Selain itu, Dessler (2010: 327) mengemukakan tiga tahapan dalam proses penilaian kinerja, yaitu (1) mendefinisikan pekerjaan (memastikan bahwa atasan dan bawahan setuju dengan kewajiban dan standar pekerjaannya); (2) menilai kinerja (membandingkan kinerja bawahan dengan standar yang telah ditetapkan); dan (3) memberikan umpan balik (atasan dan bawahan mendiskusikan kinerja dan kemajuan bawahan, serta membuat rencana untuk pengembangan yang dibutuhkan). Berdasarkan kajian teori di atas, yang dimaksud dengan kinerja dalam penelitian ini adalah unjuk kerja karyawan dalam organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan indikator: (1) kuantitas pekerjaan, (2) kualitas hasil kerja, (3) kemampuan menyelesaikan pekerjaan, (4) usaha dalam menyelesaikan pekerjaan, (5) inisiatif, dan (6) kehadiran di kantor.
nilai-nilai organisasi dan mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kompensasi merupakan bentuk penghargaan (berupa uang dan bukan uang) yang diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa atas kontribusinya kepada organisasi. Menurut Luthans (2008: 94), organisasi memberi penghargaan kepada karyawan untuk mencoba memotivasi kinerja mereka dan mendorong loyalitas. Penghargaan organisasi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda, meliputi uang (gaji, bonus, insentif), penghargaan, dan benefit. Jika sistem gaji dirancang secara tepat untuk memenuhi strategi, ia dapat memiliki dampak positif terhadap kinerja individu, tim, dan organisasi. Robbins dan Coulter (2007: 369) mengemukakan bahwa tujuan organisasi merancang sebuah sistem kompensasi yang efektif adalah untuk menarik dan mempertahankan orang-orang yang kompeten dan berbakat yang dapat membantu organisasi mencapai misi maupun sasaran-sasarannya. Selain itu, sistem kompensasi sebuah organisasi telah terbukti mempunyai dampak terhadap kinerja. Oleh karena itu, pimpinan organisasi harus mengembangkan sistem kompensasi yang mencerminkan sifat pekerjaan dan tempat kerja agar supaya menjaga karyawan tetap termotivasi. Kompensasi mencakup semua imbalan yang diberikan kepada karyawan sebagai timbal balik atas jasa mereka terhadap organisasi. Imbalan tersebut dapat berupa salah satu atau kombinasi dari: (1) kompensasi finansial langsung, yaitu bayaran yang diterima seseorang dalam bentuk upah, gaji, komisi, dan bonus; (2) kompensasi finansial tidak langsung (tunjangan), yaitu semua imbalan finansial yang tidak termasuk dalam kompensasi langsung, seperti cuti dibayar, absen karena sakit, liburan, dan asuransi pengobatan; serta (3) kompensasi nonfinansial, yaitu kepuasan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan itu sendiri (Mondy, 2008: 6).
Kompensasi Kompensasi merupakan salah satu fungsi yang penting dalam manajemen sumber daya manusia, karena kompensasi merupakan salah satu aspek yang paling sensitif di dalam hubungan kerja. Sistem kompensasi yang baik akan membantu memberikan penguatan terhadap
Sistem kompensasi dalam organisasi harus dihubungkan dengan tujuan dan strategi organisasi. Program kompensasi yang efektif dalam organisasi memiliki empat tujuan: (1) 3
kepatuhan pada hukum dan peraturan yang berlaku; (2) efektivitas biaya bagi organisasi; (3) keadilan internal, eksternal, dan individual bagi para karyawan, dan (4) peningkatan kinerja bagi organisasi (Mathis dan Jackson, 2006: 419).
penyebab timbulnya kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan. Para ahli perilaku organsiasi telah mengemukakan sejumlah teori motivasi yang berkaitan dengan kebutuhan individu, di antaranya adalah teori hierarki kebutuhan Maslow, teori harapan (expectancy theory), dan teori keadilan (equity theory). Masing-masing teori tersebut memiliki dampak terhadap organisasi. Teori Maslow mengatakan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu: (1) kebutuhan fisiologis, meliputi rasa lapar, haus, berlindung, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya; (2) kebutuhan rasa aman, meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional; (3) kebutuhan sosial, meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan; (4) kebutuhan penghargaan, meliputi faktor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian, dan faktor-faktor penghargaan eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian; dan (5) kebutuhan aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya, meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuah diri sendiri (Bateman dan Snell, 1999: 446-447). Teori harapan (expectancy theory) yang dikembangkan oleh Victor Vroom, mengatakan bahwa motivasi adalah hasil dari tiga faktor, yaitu seberapa besar seseorang menginginkan imbalan (valensi), perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan), dan perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan (instrumentalitas). Hubungan ini dinyatakan dalam rumus: Motivation = Expectancy (E) x Valence (V) x Instrumentality (I) (Davis dan Newtrom, 2003: 90). Sedangkan teori keadilan (equity theory) didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi atas keadilan yang diterima, yaitu rasio antara input pekerjaan individu (seperti usaha atau keterampilan) dan imbalan pekerjaan (seperti gaji atau promosi). Orang menilai keadilan dari imbalan yang diterima dan membandingkannya
Salah satu tujuan dari sistem kompensasi dalam organisasi adalah memberikan penghargaan yang memadai dan adil bagi karyawan agar mereka tetap bertahan bekerja dalam organisasi, meningkatkan motivasi kerja dan kinerjanya. Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007: 226), tujuan utama dari program penghargaan adalah: (1) menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan organisasi; (2) mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja; dan (3) memotivasi karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan kompensasi dalam penelitian ini adalah penghargaan berupa finansial tidak langsung yang diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa atas kontribusi mereka terhadap organisasi, dengan indikator: (1) promosi, (2) kendaraan dinas, (3) tunjangan perumahan, (4) jaminan pelayanan kesehatan, (5) dana pensiun, dan (6) bantuan biaya pendidikan tugas belajar. Motivasi Motivasi adalah kekuatan dorongan untuk melakukan suatu tindakan (Davis dan Newstrom, 1998: 91). Greenberg dan Baron (1993: 114) mengemukakan bahwa motivasi adalah seperangkat proses yang menggerakkan, mengatur, dan memelihara perilaku manusia untuk mencapai suatu tujuan. Robbins dan Judge (2009: 209) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seseorang untuk mencapai tujuannya. Sedangkan Mondy dan Premeaux (1993: 294) mendefinisikan motivasi sebagai keinginan menumbuhkan usaha terus-menerus di dalam pencapaian tujuan organisasi. Dari beberapa definisi motivasi tersebut, terlihat dengan jelas bahwa ada tiga unsur utama dalam motivasi, yaitu upaya, tujuan organisasi, dan kebutuhan. Ketiga unsur tersebut merupakan
4
dengan imbalan yang diterima orang lain untuk input yang serupa (Stoner, Freeman, dan Gilbert, 1996: 145). Newstrom dan Davis (1998: 117-120) mengemukakan empat pola motivasi yang sangat penting, yaitu (1) motivasi prestasi (achievement motivation), yaitu dorongan dalam diri orangorang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan; (2) motivasi afiliasi (affiliation motivation), yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang lain atas dasar sosial; (3) motivasi kompetensi (competence motivation), yaitu dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan berusaha keras untuk inovatif; dan (4) motivasi kekuasaan (power motivation, yaitu dorongan untuk mempengaruhi orang lain dan mengubah situasi organisasi.
tiga macam, yaitu (1) komitmen afektif (affective commitment), yakni perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya; (2) komitmen berkelanjutan (continuance commitment), yakni nilai ekonomi yang dirasa jika bertahan dalam organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut; dan (3) komitmen normatif (normative commitment), yakni kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral dan etis. Selanjutnya, Robbins dan Judge mengemukakan pula bahwa ada hubungan positif antara komitmen organisasi dengan produktivitas kerja dan kinerja. Menurut Mathis dan Jackson (2006: 122), komitmen organisasi adalah tingkat di mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasi, serta berkeinginan untuk tetap tinggal bersama organisasi. Sejalan dengan itu, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 234) mengemukakan bahwa komitmen terhadap suatu organisasi melibatkan tiga sikap, yaitu (1) rasa identifikasi dengan tujuan organisasi; (2) perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi; dan (3) perasaan setia terhadap organisasi. Dengan demikian, salah satu faktor penting mengenai komitmen organisasi adalah keterlibatan karyawan dalam tugas-tugas organisasi. Komitmen organisasi sering didefinisikan juga sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, penerimaan nilai, dan tujuan organisasi (Luthans, 2008: 147). Sters berpendapat bahwa komitmen organsiasi dapat dilihat dari tiga faktor: (1) kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organsiasi; (2) kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi; dan (3) keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Sejalan dengan itu, Lincoln dan Bashav mengemukakan komitmen organisasi memiliki tiga indikator: (1) kemauan karyawan; (2) kesetiaan karyawan; dan (3) kebanggaan karyawan pada organisasi (Sopiah, 2008: 156). Berdasarkan analisis dari beberapa teori di atas, maka yang dimaksud dengan komitmen organisasi dalam penelitian ini adalah suatu
Berdasarkan analisis dari beberapa teori di atas, maka yang dimaksud dengan motivasi dalam penelitian ini adalah kekuatan yang mendorong karyawan dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan indikator: (1) motivasi berprestasi, (2) motivasi afiliasi, (3) motivasi kompetensi, (4) tanggung jawab terhadap pekerjaan, (5) pengakuan hasil kerja, dan (6) kondisi kerja. Komitmen Organisasi Komitmen adalah sebuah rasa yang diekspresikan karyawan mengenai indentifikasi, loyalitas, dan keterlibatan melalui organisasi (Gibson, 2009: 183). Komitmen menjelaskan hasil di mana seorang karyawan secara internal menyetujui keputusan dan memberikan dukungan penuh untuk melaksanakan keputusan secara efektif (Yukl, 2002: 43). Komitmen organisasi didefinikan sebagai keinginan sebagian karyawan untuk tetap menjadi anggota organisasi (Colquitt, LePine, dan Wesson (2009: 67) Robbins dan Judge (2009: 113-114) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada tujuan organisasi serta keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organsiasi. Robbins dan Judge membagi komitmen organisasi menjadi 5
keadaan di mana seseorang karyawan mendukung tujuan dan nilai-nilai organisasi, berpihak pada organisasi, dan mempertahankan keanggotaannya dalam organsiasi, dengan indikator (1) keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi, (2) keberpihakan pada organisasi; (3) dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, (4) keinginan untuk bertahan sebagai anggota organisasi, (5) kebanggaan pada organisasi, dan (6) kesetiaan pada organisasi.
instrumen kuesioner. Pengujian validitas butir instrumen uji coba menggunakan rumus korelasi Product Moment (Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 49), dan pengujian reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono, 2009: 365). Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan data masing-masing variabel dalam bentuk rata-rata, median, modus, standar deviasi, simpangan baku, distribusi frekuensi, dan histogram. Sedangkan analisis inferensial digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian melalui Analisis Jalur (Path Analysis).
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Kompensasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja; (2) Kompensasi berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi; (3) Motivasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja; (4) Motivasi berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organsiasi; (5) Komitmen organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja.
HASIL PENELITIAN Sebelum pengujian hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian model. Pengujian model persamaan struktural dalam penelitian ini menggambarkan hubungan yang bersifat kausalitas, yang berarti adanya hubungan sebab akibat antara variabel eksogen dengan variabel endogen, yang terdiri dari variabel kompensasi (X1), motivasi (X2), komitmen organisasi (X3) dan kinerja (X4). Penyusunan model persamaan struktural yang dibentuk didasarkan atas matriks koefisien korelasi Product Moment (r). Berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi dengan rumus Product Moment, diperoleh nilai-nilai koefisien korelasi antar variabel, yaitu r14 = 0,738; r13 = 0,563; r24 = 0,604; r23 = 0,616; dan r34 = 0,711. Selanjutnya, dengan menggunakan program LISREL 8.80 for Windows, dilakukan perhitungan untuk mendapatkan besarnya koefisien jalur (p) dan thitung yang menyatakan hubungan kausal antar variabel. Besarnya koefisien jalur (p) dan thitung tersebut dirangkum pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa semua koefisien jalur (p) dan thitung pada model yang dihipotesiskan adalah sangat signifikan pada α = 0,01.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Dihitung sejak penyusunan proposal, disain instrumen, uji coba instrumen, pengumpulan data, pengolahan data, sampai pada penyusunan Disertasi, penelitian ini dilaksanakan selama 1 tahun (Maret 2010 sampai Maret 2011). Populasi penelitian adalah karyawan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 sebanyak 285 orang. Populasi terjangkau sebanyak 110 orang, yaitu karyawan golongan III, berpendidikan sarjana, dan masa kerja minimal 5 tahun. Sampel penelitian sebanyak 70 orang atau 64 persen dari populasi terjangkau. Penarikan sampel menggunakan teknik acak sederhana (simple random sampling) dengan cara undian. Metode penelitian adalah survey. Pengumpulan data penelitian menggunakan
6
Tabel 1. Hasil Perhitungan dan Pengujian Koefisien Jalur ttabel ttabel (α = 0,05) (α = 0,01) 1 ρ41 0,40 5,33** 1,67 2,39 ** 2 ρ42 0,14 2,54 1,67 2,39 3 ρ43 0,38 3,91** 1,67 2,39 4 ρ31 0,28 3,16** 1,67 2,39 5 ρ32 0,43 4,22** 1,67 2,39 Keterangan: ** Koefisien jalur sangat signifikan pada α = 0,01 No.
Jalur
Koefisien
thitung
Selanjutnya, hasil pengujian hipotesis penelitian ini secara rinci diuraikan sebagai berikut:
Keterangan Sangat signifikan Sangat signifikan Sangat signifikan Sangat signifikan Sangat signifikan
Hipotesis ketiga: Motivasi (X2) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4) Untuk membuktikan bahwa motivasi (X2) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4), maka dilakukan pengujian hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah: H0: ρ42 ≤ 0; H1: ρ42 > 0. Berdasakan hasil perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ42 = 0,14, nilai thitung = 2,54 dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak, yang berarti bahwa motivasi (X2) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4). Artinya, jika motivasi ditingkatkan, maka akan mengakibatkan meningkatnya kinerja.
Hipotesis pertama: Kompensasi (X1) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4) Untuk membuktikan bahwa kompensasi (X1) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4), maka dilakukan pengujian hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah: H0: ρ41 ≤ 0; H1: ρ41 > 0. Berdasakan hasil perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ41 = 0,40, nilai thitung = 5,33, dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak, yang berarti bahwa kompensasi (X1) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4). Artinya, jika kompensasi ditingkatkan, maka akan mengakibatkan meningkatnya kinerja.
Hipotesis keempat: Motivasi (X2) berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi (X3) Untuk membuktikan bahwa motivasi (X2) berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi (X3), maka dilakukan pengujian hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah: H0: ρ32 ≤ 0; H1: ρ32 > 0. Berdasakan hasil perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ32 = 0,40, nilai thitung = 4,22, dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak, yang berarti bahwa motivasi (X2) berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi (X3). Artinya, jika motivasi ditingkatkan, maka akan mengakibatkan meningkatnya komitmen organisasi.
Hipotesis kedua: Kompensasi (X1) berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi (X3) Untuk membuktikan bahwa kompensasi (X1) berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi (X3), maka dilakukan pengujian hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah: H0: ρ31 ≤ 0; H1: ρ31 > 0. Berdasakan hasil perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ31 = 0,28, nilai thitung = 3,16 dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak, yang berarti bahwa kompensasi (X1) berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi (X3). Artinya, jika kompensasi ditingkatkan, maka akan mengakibatkan meningkatnya komitmen organisasi.
Hipotesis kelima: Komitmen organisasi (X3) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4) Untuk membuktikan bahwa komitmen organisasi (X3) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja (X4), maka dilakukan pengujian
8
hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah: H0: ρ43 ≤ 0; H1: ρ43 > 0. Berdasakan hasil perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ43 = 0,38, nilai thitung = 3,91, dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak, yang berarti bahwa komitmen organisasi (X3) berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja (X4). Artinya, jika komitmen organisasi ditingkatkan, maka akan mengakibatkan meningkatnya kinerja. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas, maka model hubungan kausal antar variabel ditunjukkan pada Gambar 1.
X1 r14 = 0,74 ρ41 = 0,40 r13 = 0,56 ρ31 = 0,28 r34 = 0,71 ρ43 = 0,38
X3 r23= 0,62 = ρ32 0,43
X4
r24 = 0,60 ρ42= 0,14
X2
Gambar 1. Model Hubungan Kausal Antar Variabel
perilaku organisasi. Luthans (2008: 179) mengatakan bahwa penghargaan yang sesuai dengan kebutuhan karyawan pada akhirnya akan mengaitkan penghargaan tersebut dengan peningkatan kinerja karyawan maupun organisasi. Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2007: 226) mengatakan bahwa salah satu tujuan utama dari program penghargaan dalah memotivasi karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Selain berpengaruh langsung positif terhadap kinerja, kompensasi juga berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ31 = 0,28 dan nilai thitung = 3,16 > ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh kompensasi terhadap komitmen organsiasi adalah 7,84 %. Dengan demikian, indikator-indikator kompensasi tersebut di atas juga mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan komitmen karyawan terhadap organsiasi. Temuan ini diperkuat oleh pendapat Robbins dan Coulter (2007: 369), yang menyatakan bahwa tujuan merancang sebuah sistem kompensasi yang efektif adalah
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini menemukan bahwa kompensasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ41 = 0,40 dan nilai thitung = 5,33 > ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh positif kompensasi terhadap kinerja adalah 16,00 %. Hal ini berarti bahwa kompensasi merupakan salah satu variabel yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kinerja. Dengan demikian, indikator-indikator kompensasi dalam penelitian ini, yaitu promosi, kendaraan dinas, tunjangan perumahan, jaminan pelayanan kesehatan, dana pensiun, dan bantuan biaya pendidikan tugas belajar, merupakan faktor-faktor yang harus mendapat perhatian pimpinan organisasi dalam upaya meningkatkan kinerja karyawan. Untuk itu, harus ada upaya melakukan perbaikan sistem kompensasi serta memperhatikan unsur keadilan dalam pemberian kompensasi kepada karyawan agar dapat mendorong peningkatan kinerja karyawan maupun kinerja organsiasi. Temuan tersebut didukung oleh beberapa teori dari para ahli 8
menarik dan mempertahankan orang-orang yang kompeten dan berbakat yang dapat membantu organisasi mencapai misi maupun sasarannya. Selain itu, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007: 226) mengatakan bahwa salah satu tujuan utama dari program penghargaan (kompensasi) adalah menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan organisasi, dan mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja. Kedua hal ini merupakan indikator-indikator dari komitmen organisasi.
organisasi mengindikasikan bahwa motivasi merupakan faktor yang harus ditingkatkan dalam meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi. Temuan ini diperkuat oleh Model Integratif Perilaku Organisasi dari Colquitt, LePine, dan Wesson (2009: 8), yang menggambarkan bahwa mekanisme individu (di antaranya adalah motivasi, kepuasan kerja, stres, dan pengambilan keputusan) berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ43 = 0,38 dan nilai thitung = 3,91 > ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja adalah 14,44%. Dengan demikian, komitmen organisasi dengan indikator keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi, keberpihakan pada organisasi, dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, keinginan untuk bertahan sebagai anggota organisasi, kebanggaan pada organisasi, dan kesetiaan pada organisasi merupakan factorfaktor yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kinerja. Temuan ini didukung oleh teori Robbins dan Judge (2009: 114), yang mengatakan bahwa ada hubungan positif antara komitmen organisasi dengan produktivitas kerja dan kinerja. Selain itu, temuan penelitian ini juga didukung oleh teori Luthans (2008: 149), yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara komitmen organsiasi dan hasil yang diinginkan seperti kinerja tinggi, tingkat pergantian karyawan yang rendah, dan tingkat ketidakhadiran yang rendah.
Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa motivasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ42 = 0,14 dan nilai thitung = 2,54 > dari ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh motivasi terhadap kinerja adalah 1,96 %. Dengan demikian, indikator-indikator motivasi dalam penelitian ini, yaitu motivasi berprestasi, motivasi afiliasi, motivasi kompetensi, tanggung jawab terhadap pekerjaan, pengakuan hasil kerja, dan kondisi kerja harus ditingkatkan dalam upaya meningkatkan kinerja. Salah satu teori yang mendukung temuan penelitian ini adalah model teori harapan (expectancy theory) dari Victor Vroom. Teori ini menyatakan bahwa karyawan lebih mungkin termotivasi ketika mereka mempersepsikan usaha mereka akan menghasilkan kinerja yang berhasil dan pada akhirnya menghasilkan penghargaan dan hasil yang diinginkan (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2007: 156). Sedangkan model penghargaan individu dari Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2005: 227), menyatakan bahwa motivasi untuk melakukan usaha berpengaruh langsung terhadap hasil kinerja individu. Selain berpengaruh langsung positif terhadap kinerja, penelitian ini juga menemukan bahwa motivasi berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ32 = 0,43 dan nilai thitung = 4,22 > ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh motivasi terhadap komitmen organisasi adalah 16,00 %. Dengan demikian, indikator-indikator motivasi tersebut di atas juga harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi. Adanya pengaruh motivasi terhadap komitmen
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kompensasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kompensasi akan mengakibatkan peningkatan kinerja. 2. Kompensasi berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kompensasi 9
akan mengakibatkan peningkatan komitmen organisasi. 3. Motivasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan motivasi akan mengakibatkan peningkatan kinerja. 4. Motivasi berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan motivasi akan mengakibatkan peningkatan komitmen organisasi. 5. Komitmen organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan komitmen organisasi akan mengakibatkan peningkatan kinerja.
berlaku, (iii) menyediakan tunjangan perumahan, terutama bagi karyawan golongan rendah, (iv) memperbaiki sistem pelayanan jaminan kesehatan dan askes di rumah sakit dan puskesmas, (v) meningkatkan dana pensiun untuk menunjang kebutuhan karyawan di masa tua, dan (vi) menyediakan bantuan biaya kepada karyawan yang mengikuti pendidikan tugas belajar. b. Motivasi dapat ditingkatkan dengan cara: (i) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan prestasi kerja dengan mempelajari berbagai sumber bacaan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, (ii) membina hubungan sosial dan kerja sama yang lebih baik dengan atasan dan karyawan lain; (iii) berusaha meningkatkan keahlian dan kemampuan memecahkan masalah, (iv) menyelesaikan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, (v) tidak menunda pekerjaan, (vi) memperbaiki hasil kerja agar mendapatkan pengakuan dari atasan dan karyawan lain, (vii) memberikan insentif dan penghargaan bagi karyawan yang berprestasi, dan (viii) membangun kondisi kerja yang kondusif.
Saran Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan kesimpulan penelitian ini, maka sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan, penulis mengajukan saran sebagai berikut: 1. Dinas Pendidikan diharapkan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja karyawannya. Kinerja karyawan dapat ditingkatkan dengan cara: (1) mengerjakan seluruh tugas-tugas pokok dengan penuh tanggung jawab dan tepat waktu, (2) memperbaiki kualitas hasil kerja dengan tekun dan teliti, (3) sering belajar (membaca) untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan, (4) berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaan, (5) berinisiatif dalam melaksanakan pekerjaan, dan (6) hadir di kantor dan pulang tepat waktu (disiplin).
c. Komitmen organisasi ditingkatkan dengan cara: (i) terlibat dalam penyusunan, pembahasan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program kerja organisasi, (ii) berpihak pada organisasi, (iii) memberikan dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi
2. Dinas Pendidikan diharapkan memperbaiki kebijakan dan sistem kompensasi agar lebih dirasakan layak dan adil bagi karyawan, mendorong karyawan untuk meningkatkan motivasinya dalam menjalankan tugas, serta meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi, sehingga kinerja dapat ditingkatkan. Caranya dapat dilakukan sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA Colquitt, Jason A, Jeffery A. Lepine, and Michael J. Wesson, Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace, New York: McGraw-Hill Companies, 2009. Davis, Keith dan John W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi, Alih Bahasa Agus Dharma, Jakarta: Erlangga, 2003.
a. Kompensasi dapat ditingkatkan dengan cara: (i) memperbaiki sistem promosi, (ii) menyediakan kendaraan dinas bagi karyawan sesuai dengan aturan yang 10
Dessler,
Garry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Alih Bahasa Paramita Rahayu, Jakarta: Indeks, 2009.
Djaali,
Implementasi Standar Nasional Pendidikan, Makalah Ilmiah yang Disampaikan pada Seminar Nasional “Telaah Kritis Pelaksanaan Pendidikan Nasional”, yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Pascasarjana UNJ, di Jakarta, 5 April 2011.
Behavior at Work. New McGraw-Hill, Inc., 1993.
York:
Peraturan Pemerintan No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Gibson, James L., Organization: Behavior, Structure, Processes, Singapore: McGraw-Hill International, 2009.
Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional 2010-2014
Ivancevich, John M., Robert Konopaske, and Michael T. Matteson, Organizational Behavior Management, New York: McGraw-Hill, 2008.
Robbins, Stephen P. and Timothy A. Judge, Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009.
Ivancevich, John M., James H. Donnelly, and James L. Gibson, Management: Principles and Foundation, India: Richard D. Irwin Inc., 2004.
Robbins, Stephen P. and Mary Coulter, Management, New Jersey: Pearson Pretince Hall, 2007. Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manejemen Pegawai Negeri Sipil, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
Luthans, Fred, Organizational Behavior, New York: McGraw Hill, 2008. Mathis, Robert L. Dan John H. Jackson, Human Resource Management, Terjemahan Diana Angelica, Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Sopiah, Perilaku Organisasional, Yogyakarta: ANDI, 2008.
Mondy, R. Wayne and Shane R. Premeaux. Management: Concepts, Practices and Skills. New York: A.Division of Simon & Schuster, 1993.
Stoner, James A.F., R. Edward Freeman dan Daniel R. Gilbert JR, Manajemen, Alih Bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: PT. Prenhallindo, 1996.
Mondy, R. Wayne, Manajemen Sumber Daya Manusia, Alih Bahasa Bayu Airlangga, Jakarta: Erlangga, 2008.
Sutrisno, Edy, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Kencana, 2009. Undang-Undang Dasar Indonesia 1945.
Neal, James E., Panduan Evaluasi Kinerja Karyawan, Alih Bahasa Wawan Setiawan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
(UUD)
Republik
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Newstrom, John W. and Keith Davis. Organizational Behavior: Human
Yukl, Gary, Leadership in Organiz, New Jersey: Pretince-Hall, 2002.
11
DAMPAK INTERVENSI MODEL PENURUNAN Unmet Need KB dan PENINGKATAN KB PRIA TERHADAP PENCAPAIAN SASARAN PROGRAM DHS-I PADA PROGRAM KB DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA1 Oleh : Kadir Tiya2 Abstrak : Studi dalam penelitian ini adalah Cross Sectional dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif untuk memperoleh data PUS dan kesertaan KB pria yang diperoleh dari data sekunder laporan pencapaian PA. Sedang pendekatan kualitatif untuk menggali informasi tentang mekanisme operasional intervensi. Kesimpulan yang dapat dikemukakan, antara lain : PUS Unmet Need memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap user/penggunanya, terlihat dari tingginya kesadaran bagi pengelola program dalam memberikan pelayanan maupun peserta KB, sehingga berdampak pada menurunnya angka PUS Unmet Need secara bertahap. Disamping itu, dukungan yang diberikan oleh stakeholder, cukup memberikan andil dalam mengadvokasi program PUS Unmet Need terhadap publik. Alat kontrasepsi pria memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap user, inipun terlihat dari tingginya kesadaran bagi pengelola program dalam memberikan layanan terhadap user. Dengan kondisi ini tentunya memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada tingginya angka penggunaan alat kontrasepsi pria, khususnya vasektomi dan kondom. Juga dukungan yang diberikan oleh stakeholder dan media massa secara bertahap cukup antusias dalam mengadvokasi program KB pria. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari kedua program pada tahap evaluasi program, memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menurunkan angka PUS Unmet Need maupun peningkatan penggunaan KB Pria. Dengan demikian maka, program tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan melalui proyek DHS. Rekomendasi yang dapat dikemukakan berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, yaitu : Frekuensi penyuluhan kepada publik akan PUS Unmet Need dan penggunaan alat kontrasepsi pria masih perlu ditingkatkan. Alat kontrasepsi seyogyanya diberikan secara gratis kepada masyarakat luas, pengelola program diberikan bimbingan/pelatihan secara kontinu, agar pemberian pelayanan kepada masyarakat lebih optimal, Kata Kunci : Model penurunan Unmet Need, KB Pria dan program DHS-1
sebesar 67.125 atau 22,21 %, angka ini berada jauh di atas rata-rata nasional sebesar 14,06 %. Peserta Program Keluarga Berencana Nasional di Indonesia selama ini lebih didominasi oleh kaum perempuan (istri). Kesertaan ber-KB bagi kaum pria masih sangat rendah, ini terlihat dari hasil temuan Lembaga Demografi Indonesia dimana peserta vasektomi hanya 4,4 %, kondom 0,4 %. Sedangkan data peserta KB pria Provinsi Sulawesi Tenggara sampai dengan tahun 2002 berada di bawah skala nasional, yaitu 0,56 % (BKKBN Prov. Sultra, 2004). Pada tahun 2002 hingga tahun 2006 BKKBN Provinsi Sulawesi Tenggara bekerjasama dengan Universitas Haluoleo telah
PENDAHULUAN Pelaksanaan program KB secara nasional membuahkan hasil yang sangat menggembirakan, karena bangsa Indonesia telah mampu mengendalikan jumlah penduduk secara signifikan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran serta BKKBN baik ditingkat pusat maupun daerah, serta antusiasme masyarakat dalam berKB. Namun dalam perjalanannya ternyata tidak seperti yang diharapkan, karena banyak peserta KB yang selama ini setia menggunakan alat kontrasepsi terpaksa harus drop out (DO) karena berbagai hal. Angka DO di Sultra tercatat sebanyak 45.594 atau 18,04 %. Angka Pasangan Usia Subur (PUS) Unmet Need pun sangat tinggi
1 2
Ringkasan hasil Penelitian Dosen Tetap Pendidikan Matematika FKIP Universitas Halu Oleo 12
melaksanakan penelitian Operasional Research (OR) pada tahap identifikasi hingga tahap intervensi, baik penelitian PUS Unmet Need maupun penggunaan alkon pria dalam ber-KB. Beberapa kesimpulan yang diperoleh, diantaranya kualitas pelayanan perlu ditingkatkan, mekanisme operasional pendistribusian alkon masih perlu diperbaiki dan pemenuhan alkon secara gratis bagi PUS unmet need miskin perlu ditingkatkan. Sedangkan untuk OR penggunaan alkon pria disimpulkan bahwa, terdapat 34 % pria tidak memahami alat kontrasepsi, pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi kondom 67 %, sedangkan vasektomi dan senggama terputus relatif masih rendah (masing-masing 5 % dan 3 %), secara umum suami/pria masih menghendaki istrinya ber-KB, alat kontrasepsi pria dianggap kurang nyaman dan merepotkan serta mengganggu hubungan seksual.
dalam peningkatan Current Users (CU)/peserta KB aktif di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan adanya dukungan proyek ADB DHS-I. TINJAUAN PUSTAKA Unmet Need KB Pengertian unmet need meliputi keinginan wanita untuk ber KB yang tidak terpenuhi. Dalam perhitungan PUS unmet need melibatkan wanita yang sedang ber KB maupun yang berkeinginan untuk ber KB yang dirinci menurut tujuannya, yaitu untuk menjarangkan ataupun membatasi kelahiran. Keinginan ber KB yang tidak terpenuhi termasuk kehamilan yang waktunya tidak diinginkan, wanita yang belum haid sejak melahirkan anak terakhir dan tidak memakai alat kontrasepsi tetapi ingin menunngu 2 tahun atau lebih sebelum kelahiran anak berikutnya, wanita tidak dapat hamil lagi atau tidak dapat haid, dan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi tetapi ingin menunggu 2 atau 3 tahun lagi untuk kelahiran anak berikutnya. Tujuan membatasi kelahiran termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, wanita yang tidak dapat hamil atau tidak dapat haid dan wanita yang tidak menggunakan alat kontrasepsi dan yang tidak ingin anak lagi. Kategori keinginan ber KB yang tidak terpenuhi tidak termasuk wanita hamil dan wanita tidak haid, tetapi menjadi hamil ketika memakai suatu alat/cara KB (wanita tersebut ingin memilih alat kontrasepsi yang lebih baik), juga tidak termasuk wanita yang menopause atau mati haid dan wanita yang tidak subur. Unmet Need KB terbagi dua menurut Rohadi Haryanto, Djarot Santoso dan James Palmore (1992), yaitu : Manifest Unmet Need KB dan Latent Unmet Need KB terdiri dari : a. Manifest Unmet Need KB dikategorikan, sebagai berikut : 1. Wanita kawin usia subur, tidak hamil, menyatakan tidak ingin punya anak lagi dan tidak memakai kontrasepsi modern seperti IUD, PIL, suntik, implant, obat vaginal dan kontrasepsi mantap untuk suami atau dirinya sendiri. 2. Mereka yang ingin menunda kehamilan berikutnya tetapi tidak memakai alat kontrasepsi seperti tersebut di atas.
Dari hasil temuan di Kabupaten Buton dan Kolaka, diperoleh angka sebanyak 1.766 PUS yang merupakan perwujudan kegiatan intervensi hasil OR peningkatan pelayanan PUS Unmet Need tahun 2002. Sehingga total di Provinsi Sulawesi Tenggara yang berhasil diturunkan/dikurangi sebanyak 9.965 PUS (15 %) dari jumlah PUS Unmet Need tahun 2002 dari total 67.125. Dari kedua hasil penelitian tersebut baik pada tahap identifikasi maupun pada tahap intervensi, ternyata belum dapat menekan angka PUS unmet need maupun meningkatkan penggunaan alkon KB pria. Oleh karena itu, dengan berakhirnya program DHS-I, diharapkan akan dapat memberikan kontribusi positif bagi lembaga dalam perencanaan program pada DHS-II dan seterusnya, maupun kepentingan masyarakat dalam arti luas baik melalui sosialisasi maupun advokasi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan melihat sejauhmana dampak Penurunan Unmet Need dan Peningkatan Peserta KB Pria sebagai variabel yang berkontribusi terhadap peningkatan Current Users (CU). Program KB yang dikelola oleh berbagai sektor terkait, ikut memberikan peranan terhadap pencapaian CU. Oleh karena itu, perlu digali informasi sejauhmana peran pengelola program pelaksana mass media dan stakeholder 13
3. Mereka yang sedang hamil tetapi kehamilan tersebut tidak dikehendaki lagi pada saat itu dan pada waktu sebelum hamil tidak memakai alat kontrasepsi. 4. Mereka yang sedang hamil tetapi saat terjadinya kehamilan itu belum sesuai dengan waktu yang dikehendaki dan sebelumnya tidak memakai alat kontrasepsi. b. Latent Unmet Need, yaitu mereka yang tidak memakai alat kontrasepsi di luar kelompok manifest Unmet Need KB tersebut, yaitu : 1. Mereka yang ingin masih tambah anak lagi, tetapi jumlah anak yang diinginkan lebih dari dua orang. 2. Mereka yang menunda untuk anak berikutnya (anak kedua), tetapi lama waktu penundaan kurang dari tiga tahun. 3. Mereka yang sedang hamil atau menopause setelah kelahiran anak kedua, tetapi jarak antara kehamilan kedua dengan kelahiran anak pertama kurang dari dua tahun. Disamping pengertian di atas, terdapat pembagian unmet need, yaitu : ” unmet need for spacing ” (untuk menjarangkan) dan ” unmet need for limiting ” (untuk membatasi atau mengakhiri kesuburan). Unmet need for spacing, yaitu mereka yang tidak memakai alat kontrasepsi, tetapi masih menginginkan tambahan anak pada masa yang akan datang (bukan saat ini).
pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam ber KB dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan ( ICPD dalam Petunjuk Teknis BKKBN Prov. Sultra Tahun 2002 ). Rendahnya penggunaan alat kontrasepsi oleh pria terutama, karena keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi serta rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi. Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi rendahnya penggunaan alat kontrasepsi bagi pria, yaitu : (a) Kondisi lingkungan sosial, budaya masyarakat dan keluarga yang masih menganggap kesertaan pria ber-KB belum atau tidak perlu dilakukan, (b) Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya dalam ber-KB masih rendah dan (c) Keterbatasan penerimaan aksesibilitas pelayanan kontrasepsi. Bentuk partisipasi pria/suami dalam KB dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, antara lain : a. Partisipasi pria/suami secara langsung dengan menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan, yaitu : 1. Kontrasepsi kondom 2. Vasektomi ( kontap pria ) 3. Metode Senggama Terputus/ azal 4. Metode Pantang Berkala/ sistem kalender b. Partisipasi pria/suami secara tidak langsung, yaitu : Mendukung dalam Ber – KB Jika istri ber KB, maka peran suami adalah mendukung dan memberikan kebebasan kepada istri untuk menggunakan salah satu cara/metode kontrasepsi. Dukungan yang dimaksudkan meliputi : 1. Memilih kontrasepsi yang cocok, yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya. 2. Membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti mengingatkan saat minum pil KB dan mengingatkan istri untuk. 3. Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan. 4. Mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan saat ini terbukti tidak memuaskan.
Partisipasi Pria dalam Kesertaan Ber - KB Dalam rangka mewujudkan keluarga berkualitas pada tahun 2015, maka salah satu upaya untuk mewujudkan paradigma tersebut, adalah melaksanakan program peningkatan partisipasi pria dalam program KB dan Kesehatan Reproduksi yang merupakan program baru dan strategis pada pelayanan keluarga berencana dimasa yang akan datang. Program keluarga berencana adalah program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, informasi, edukasi, konseling dan 14
5. Membantu menghitung waktu subur, bila menggunakan metode pantang berkala 6. Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan kesehatan istri tidak Memungkinkan. (Anonim, 2004 : 10-11).
dengan cara menarik penis dari liang senggama sebelum ejakulasi, sehingga sperma dikeluarkan diluar liang senggama. Metode ini akan sangat efektif, jika dilaksanakan dengan baik dan benar. METODE PENELITIAN
Pelayanan Keluarga Kesehatan Reproduksi
Berencana
dan
Desain Studi Studi dalam penelitian ini adalah cross-sectional dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah untuk memperoleh data PUS dan kesertaan KB pria yang diperoleh dari data sekunder laporan pencapaian PA. Sedang pendekatan kualitatif untuk menggali informasi tentang mekanisme operasional intervensi. Data kualitatif diperoleh dari wawancara mendalam kepada pengelola dan pelaksana program KB (Widodo JP, 1993 : 14).
Pelayanan kontrasepsi dan kesehatan reproduksi khusus pria dimaksudkan agar kesertaan pria dalam ber KB dapat ditingkatkan, serta upaya peningkatan mutu pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi mencakup pelayanan medis dan non medis. Adapun metode/alat yang dapat dipilih oleh pria/suami dalam meningkatkan kesertaan dalam program KB dan Kesehatan Reproduksi, antara lain : a. Vasektomi
Sasaran Penelitian
Vasektomi merupakan cara ber KB yang mantap melalui operasi kecil pada saluran sel mani dengan mempergunakan pisau operasi atau tanpa pisau operasi. Pada pelaksanaan vasektomi, saluran kelamin mani yang berfungsi menyalurkan sperma ( sel mani ) keluar, diikat atau dipotong sehingga spermatozoa tidak dikeluarkan dan tidak dapat bertemu dengan sel telur, sehingga tidak akan terjadi kehamilan yang disebabkan karena tidak terjadi pertemuan antara sperma suami dengan sel telur pada istri.
Adapun yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah, responden dilokasi tempat pelaksanaan penelitian pada tahap identifikasi dan tahap intervensi program, dengan harapan untuk mendapatkan informasi menyangkut dampak dari realisasi pelaksanaan program DHSI selama 5 (lima) tahun terakhir. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian Lokasi yang dijadikan sebagai area penelitian tersebar di empat kabupaten, yaitu : Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kabupaten Muna di Prov. Sulawesi Tenggara. Sedang waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Februari s/d Juni 2008. Distribusi responden menurut wilayah penelitian Operational Research di 4 (empat) Kabupaten berjumlah 400 responden.
b. Kondom Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi yang paling mudah dipakai dan diperoleh. Kondom terbuat dari karet/ lateks, berbentuk tabung dan tidak tembus cairan, dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantong untuk menampung sperma. Kondom mempunyai tiga fungsi, yaitu selain sebagai alat KB juga dapat digunakan untuk mencegah penyakit menular seksual termasuk HIV/ AIDS serta dapat membantu pria/ suami yang mengalami ejakulasi dini.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam pelaksanaan Operasional Studi pada tahap evaluasi dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam dan data sekunder pencapaian PA Tahun 2007 (Irawan Soehartono, 1995 : 65-71).
c. Senggama Terputus Senggama terputus merupakan metode pencegahan terjadinya kehamilan yang dilakukan
15
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden ( PUS Unmet Need ) Tabel-1. Umur Responden dan Jumlah Anak Umur ( Tahun ) 21 – 30 31 – 40 41 – 50 > 50 Jumlah Sumber :
Persentase Frekuensi (%) (F) 53 31,93 78 46,99 33 19,88 2 1,20 166 100 Data Lapangan Tahun 2008.
Jumlah Anak ( Orang ) 1 2–3 4–5 >5 Jumlah
Dari data tersebut diperoleh bahwa usia termuda responden yang mengikuti program KB berumur 21-30 tahun sebanyak 31,93% , sedaangkan yang tertua berumur > 50 tahun sebanyak 1,20%. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa sebahagian besar responden menyatakan bahwa, istri ber KB 119 (71,7 %) dan rata-rata lamanya ber KB berada pada interval 1-2 tahun (25,9 %) dan di atas 5 tahun terdapat 17 (10,24 %).
Frekuensi (F) 15 96 50 5 166
Persentase (%) 9,04 57,83 30,12 3,01 100
% dan di Posyandu sebesar 13,25 %. Persentase responden menyatakan rencana ber KB, bilamana diberikan pelayanan secara gratis dengan 88 ( 53,01 % ), setelah mendapatkan anak sebesar 31,33 % dan baru ikut ber KB sebesar 0,06 %. Selanjutnya alasan responden tidak/belum ber KB, karena masih menginginkan anak lagi dengan persentase sebesar 28,92 %, tidak ada alat kontrasepsi sebesar 1,81 % serta tidak mempunyai uang untuk membeli alat kontrasepsi dengan persentase sebesar 6,63 %. Alat kontrasepsi yang banyak dipergunakan oleh responden adalah PIL dengan persentase 32,91 %, suntik sebesar 29,75 %, implant/susuk sebesar 26,58 % sedang MOW/Tubektomi hanya sebesar 0,63 %. Responden PUS Unmet Need menyatakan mau ber KB sebesar 62,5 % dan sebahagian menyatakan tidak ber KB karena sedang hamil, ingin menambah anak, suami tidak setuju dan anak sudah cukup. Stock alat kontrasepsi selalu tersedia di klinik dengan jumlah yang cukup tersedia dan pernah mendroping ke PPKBD.
2. Kesertaan PUS Unmet Need Terdapat 164 responden (98,8 %) menyatakan ada petugas PLKB di wilayah yang menjadi sasaran dalam penelitian serta petugas KB tersebut aktif melakukan penyuluhan di daerah dimana mereka berdomisili. Hal ini juga terlihat dari besarnya persentase yang mengikuti penyuluhan, diantaranya 96,39 % mendapatkan informasi dari petugas KB maupun dari dokter/bidan/perawat kesehatan dan selebihnya dari sumber yang lain. Tempat pelaksanaan penyuluhan masing-masing dilakukan di Balai Desa dengan 65,66 %, Puskesmas/Klinik 26,51 3. Karakteristik Responden ( KB Pria )
Tabel-2. Deskripsi Rentang Umur Responden dan Jumlah Anak Umur Persentase Jumlah Anak Frek Frek ( Tahun ) (%) ( Orang ) 21 – 30 19 11,18 1 6 31 – 40 74 43,53 2–3 80 41 – 50 70 41,18 4–5 75 > 50 7 4,12 >5 9 Jumlah 170 100 Jumlah 170 Sumber : Data Lapangan Tahun 2008
16
Persentase (%) 3,53 47,06 44,12 5,29 100
Responden yang berada pada umur 3140 tahun dengan %tase sebesar 43,53 %, umur 21-30 tahun sebesar 11,18 %, 41-50 tahun sebesar 41,18 % dan persentase terkecil berada pada usia di atas 50 tahun, yaitu sebesar 4,12 %. Kemudian responden yang memiliki jumlah 1 orang anak sebesar 3,53 %, 2-3 orang anak sebesar 47,06 %, 4-5 orang anak sebesar 44,12 % dan di atas 5 orang anak sebesar 5,29 %. Responden memiliki jenjang pendidikan tamat SLTA/Sederajat dengan 50,60 %, tamat SD 25,30 %, tamat SLTP/Sederajat 22,89 % dan terendah adalah S1 sebesar 1,81 %. Sebahagian besar responden menyatakan bahwa, istri ber KB 165 ( 97,06 % ) dan lamanya ber KB pada interval 1-2 tahun ( 45,40 % ), 3-5
tahun ( 38,65 % ) dan di atas 5 tahun 9,82 % dan selebihnya tidak memberikan komentar. 4. Kesertaan KB Pria Sebahagian besar responden sangat setuju bila pria yang ber KB, hal ini terlihat dari besarnya persentase yang menyatakan setuju sebesar 64,50 %. Responden sangat setuju bilamana menggunakan vasektomi/kondom dengan persentase sebesar 94,19 % dan tidak setuju memiliki persentase sebesar 3,49 %. Istri sangat memberikan dukungan bila suami menggunakan vasektomi/kondom, dengan dukungan sebesar 94,12 %. Kemudian alasan tidak memberikan dukungan, karena istri sudah ber KB, suami sudah menggunakan kondom dan takut karena efek samping.
Tabel-3. Alasan Pria Ber KB dan Alat Kontrasepsi yang lebih Cocok/Aman No. 1. 2. 3. 4. 5.
Alasan ber KB
Jumlah
Sayang istri 78 Anak sdh cukup 26 Pria lebih cocok 5 Bany. anak repot 8 Istri tdk ada yg cocok 36 Jumlah 153 Sumber : Data Lapangan Tahun 2008
Persen (%) 50,98 16,99 3,27 5,23 23,53 100
Alasan pria ber KB karena menyayangi istri dengan persentase sebesar 50,98 %, istri tidak ada yang cocok dengan salah satu alkon yang tersedia. Secara umum KB pria yang lebih aman adalah vasektomi dengan persentase 68,45 %, kondom sebesar 22,46 %, sistem kalender sebesar 5,35 % dan senggama terputus sebesar 3,74 %. Umumnya responden menyatakan vasektomi/kondom lebih aman bila dibandingkan dengan KB pria yang lain serta tidak mengganggu hubungan seksual suami/istri. Kalaupun ada keluhan yang terkait disaat berhubungan, maka keluhan itu disampaikan kepada petugas ( melalui : dokter, mantri dan konselor ). Bagi pria yang menggunakan vasektomi/kondom sering diberikan konseling oleh petugas KB, dengan pemberian konseling yang sangat signifikan, yaitu sebesar 98,64 %. Responden yang menyatakan perlu dilakukan sosialisasi terdapat 166 atau sebesar 98,81 % dan
Alkon
Jumlah
Kondom Vasektomi Sengg. Terputus Sistem Kalender Jumlah
42 128 7 10 187
Persen (%) 22,46 68,45 3,74 5,35 100
penyuluhan sebaiknya dilaksanakan semaksimal mungkin. Secara umum responden menyatakan bahwa, penggunaan alat kontrasepsi kondom/vasektomi tidak mempunyai kelemahan, hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase, yaitu sebesar 61,58 % dan selebihnya menyatakan bahwa, kondom mudah bocor, kurang nyaman dan repot. Sedang kelebihan dari kondom/vasektomi masing-masing adalah aman/praktis, tidak repot, tidak ada perasaan khawatir, frekuensi senggama meningkat dan dapat mencegah kehamilan. Disamping itu ada beberapa kesan responden tentang penggunaan KB Pria, diantaranya : frekuensi penyuluhan/sosialisasi ditingkatkan, tidak ada efek samping, praktis/tidak repot, pelayanan sebaiknya diberikan secara gratis. Responden yang menyatakan bahwa, vasektomi/kondom adalah KB Pria dengan 82,35 %. Memotivasi 17
suami untuk ber KB dengan persentase sebesar 92,16 %. Suami tidak ber KB karena ingin cari anak dan istri sedang hamil sedang kondom selalu tersedia dalam jumlah yang cukup di klinik KB/PPKBD/Sub PPKBD dengan persentase sebesar 87,04 %, tidak dipungut bayaran dari petugas KB/PPKBD serta KB Pria yang sudah terlayani di wilayah masing-masing adalah sejumlah 50 responden.
umur 31-40 tahun adalah 43,53 %, direntang umur ini merupakan usia produktif. Responden yang memiliki jumlah 1 orang anak hanya 3,53 % dan pada rentang 2-3 orang anak dengan persentase sebesar 47,06 %. Sebahagian besar responden menyatakan bahwa, istri ber KB sebesar 97,06 % dan lamanya ber KB pada interval 1-2 tahun adalah 45,40 % dan selebihnya tidak memberikan komentar. Sehingga kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil analisis di atas, bahwa kesertaan ber KB bagi peserta KB sangat signifikan.
PEMBAHASAN 1. PUS Unmet Need Pada umumnya umur responden berada pada usia produktif, yaitu 31-40 tahun dengan persentase sebesar 46,99 % dan pada usia tidak produktif sebesar 1,20 %, lebih dari separuhnya atau 57,83 % jumlah anak responden antara 2-3 orang anak.Sebahagian besar responden menyatakan bahwa, istri ber KB dengan 71,7 % dan rata-rata lamanya ber KB pada interval 1-2 tahun sebesar 25,9 % dan di atas 5 tahun sebesar 10,24 %. Terdapat 98,8 % menyatakan ada petugas PLKB di wilayah yang menjadi sasaran dalam penelitian dan petugas KB tersebut aktif melakukan penyuluhan di daerah dimana mereka berdomisili. Hal ini terlihat dari besarnya persentase responden yang mengikuti penyuluhan, diantaranya 96,39 % mendapatkan informasi dari petugas KB maupun dari dokter/bidan/perawat kesehatan. Sedang pelaksanaan penyuluhan masing-masing dilakukan di Balai Desa, Puskesmas/Klinik dan di Posyandu. Responden yang menyatakan rencana ber KB, bilamana diberikan pelayanan secara gratis dengan persentase 53,01 % dan setelah mendapatkan anak. Kemudian responden tidak/belum ber KB, karena masih menginginkan anak dan tidak mempunyai uang untuk membeli alat kontrasepsi. Alat kontrasepsi yang banyak dipergunakan adalah PIL dengan 32,91 %, suntik 29,75 %, implant/susuk sebesar 26,58 % sedang MOW/Tubektomi sebesar 0,63 %. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh peserta KB sangat beragam, tergantung alat kontrasepsi yang dipergunakan. Pendistribusian alkon yang diberikan secara gratis kepada masyarakat cukup besar, dengan 81,33 % dan selebihnya 16,87 % membayar. Responden yang mempunyai rentang
2. Alat Kontrasepsi Pria Separuhnya responden yang memiliki jenjang pendidikan tamat SLTA/Sederajat dengan 50,60 % dan pekerjaan responden masih dominan petani, yaitu 51,81 %. Responden sangat setuju bila pria yang ber KB, hal ini terlihat dari besarnya persentase yang menyatakan setuju sebesar 64,50 %. Responden yang menyatakan setuju, bilamana menggunakan vasektomi/kondom dengan persentase cukup signifikan, yaitu 94,19 % dan istri sangat memberikan dukungan bila suami menggunakan vasektomi/kondom, dengan %tase dukungan sebesar 94,12 %. Kemudian alasan tidak memberikan dukungan, karena istri sudah ber KB, suami sudah menggunakan kondom dan takut karena efek samping. Umumnya responden menyatakan vasektomi/kondom lebih aman, bila dibandingkan dengan KB pria yang lain serta tidak mengganggu hubungan seksual suami/istri. Kalaupun ada keluhan yang terkait disaat berhubungan, maka keluhan itu disampaikan kepada petugas ( diantaranya : dokter, mantri dan konselor ). Bagi pria yang menggunakan vasektomi/kondom sering diberikan konseling oleh petugas KB, dengan pemberian konseling yang sangat signifikan, yaitu 98,64 %. Responden yang menyatakan perlu dilakukan sosialisasi terdapat 98,81 % dan penyuluhan sebaiknya dilaksanakan sesering mungkin. Petugas yang dominan memberikan konseling adalah PLKB dengan 66,25 % sedang dokter hanya sebesar 23,13 %. Sedang institusi yang banyak memberikan penyuluhan adalah BKKBN 18
dengan 76,70 %, Dinas Kesehatan sebesar 18,45 % dan selebihnya Departemen Agama, LSM dan Penyuluhan Terpadu masih relatif rendah. Secara umum responden menyatakan bahwa, penggunaan alat kontrasepsi kondom/vasektomi tidak mempunyai kelemahan, hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase, yaitu 61,58 % dan selebihnya menyatakan bahwa, kondom mudah bocor, kurang nyaman dan repot, sedangkan vasektomi tidak akan mempunyai anak lagi. Adapun kelebihan dari kondom/vasektomi masing-masing adalah aman/praktis, tidak repot, tidak ada perasaan khawatir, frekuensi senggama meningkat dan dapat mencegah kehamilan. Disamping itu ada beberapa kesan responden tentang penggunaan KB Pria, diantaranya : frekuensi penyuluhan/sosialisasi masih perlu ditingkatkan, tidak adanya efek samping, praktis/tidak repot, pelayanan sebaiknya diberikan secara gratis dan frekuensi senggama menjadi lebih meningkat.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN 1. PUS Unmet Need memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap user/penggunanya, hal ini terlihat dari tingginya kesadaran bagi pengelola program dalam memberikan pelayanan, sehingga berdampak pada menurunnya angka PUS Unmet Need secara bertahap di 4 (empat) kabupaten di Prov. Sultra. Disamping itu dukungan yang diberikan oleh stakeholder cukup memberikan peran dalam mengadvokasi/mensosialisasikan program PUS Unmet Need terhadap publik. 2. Alat kontrasepsi pria memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap user/penggunanya, inipun terlihat dari tingginya kesadaran bagi pengelola program dalam memberikan layanan terhadap user/penggunanya. Dengan kondisi ini tentunya memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada tingginya angka penggunaan alat kontrasepsi pria, khususnya vasektomi dan kondom di 4 (empat) kabupaten. Dukungan yang diberikan oleh stakeholder secara bertahap, cukup positif dalam mengadvokasi/mensosialisasikan program KB pria terhadap publik.. Program PUS Unmet Need maupun KB Pria pada tahap evaluasi program, memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menurunkan angka PUS Unmet Need maupun peningkatan penggunaan KB Pria. Dengan demikian maka, program tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan melalui proyek DHS. Hal ini terlihat dari MOP tertinggi di Konsel dengan persentase sebesar 48,52 % dan terendah di Kolut dan Wakatobi masing-masing 0,25 % Penggunaan kondom tertinggi di Kab. Buton dengan persentanse 52,93 % dan terendah di Kab. Konut dengan persentase 0,10 %. Keempat kabupaten yang menjadi sasaran program DHS 1, maka hasil kegiatan program sebelum dan sesudah program DHS-I, rata-rata mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
3. PUS Unmet Need dan KB Pria Persentase petugas yang berdomosili di daerah masing-masing diantaranya, dokter/bidan 21,05 %, Lurah/Desa 21,05 % dan Camat 21,05 %. Lamanya bertugas bagi petugas KB dan stakeholder untuk waktu 5-6 tahun sebesar 42,11 %, di atas 6 tahun sebesar 31,58 %, sedang 1-2 tahun dan 3-4 tahun mempunyai persentase masih rendah. Responden yang menyatakan bahwa, PUS Unmet Need adalah tidak ber KB dengan 43,75 %, ingin dilayani dan selebihnya menyatakan tidak tahu. Responden PUS Unmet Need menyatakan mau ber KB cukup besar dan sebahagian menyatakan tidak ber KB karena sedang hamil, ingin menambah anak, suami tidak setuju dan anak sudah cukup. Responden yang menyatakan bahwa, vasektomi/kondom adalah KB Pria cukup signifikan. Memotivasi suami untuk ber KB sangat tinggi dengan persentase 92,16 %. Suami tidak ber KB karena, alasan ingin cari anak dan istri sedang hamil sedang kondom selalu tersedia dalam jumlah yang cukup di klinik KB/PPKBD/Sub PPKBD dengan 87,04 %, tidak dipungut bayaran dari petugas KB/PPKBD serta KB Pria yang sudah terlayani di wilayah masingmasing adalah sejumlah 50 responden. 19
Anonim, (2006), Buku Pedoman Operasional Research, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN.
REKOMENDASI Beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil evaluasi program, yaitu : 1. Frekuensi penyuluhan/sosialisasi kepada publik akan PUS Unmet Need dan penggunaan alat kontrasepsi pria perlu ditingkatkan, 2. Alat kontrasepsi telah diberikan secara gratis kepada masyarakat luas, hanya saja beberapa oknum dari petugas lapangan perlu dihimbau agar tidak memungut bayaran dari peserta KB. 3. Pengelola program diberikan bimbingan/pelatihan secara kontinu, agar pemberian pelayanan kepada masyarakat lebih optimal, 4. Proyek DHS-II, DHS-III dst. masih sangat diharapkan, agar kedua program baik PUS Unmet Need dan Alkon Pria dapat lebih ditingkatkan di daerah ini.
Biro Pusat Statistik Indonesia, (1997), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan, dan Marco Internasional Inc. ( MI ), Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia, 1997. Columbia Maryland, BPS dan MI. Hariyanto, Rohadi, et. al, (1992). Manifest dan Latent Unmet Need Keluarga Berencana di Indonesia, 1991. BKKBN, East-West Population Institute, East-West Centre, Honolulu. ( 2004 ), Peningkatan Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN Jakarta. ( 2004 ), Panduan Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi Berwawasan Gender di Tempat Kerja ( Klinik KIAS ), BKKBN Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, ( 1993 ), Kontrasepsi Bagi Pasangan Yang Baru Menikah, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKBN ), Jakarta
Soehartono Irawan ( 1995 ), Metode Penelitian Sosial ( Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainnya ), penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Anonim, (2001), Laporan Pelaksanaan Program KB Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara, BKKBN Sulawesi Tenggara.
Widodo JP ( 1993 ), Metode Penelitian dan Statistika Terapan, Airlangga University Press, Surabaya.
20
KUALITAS PENGAJARAN, SIKAP POSITIF, Self-Efficacy DAN KINERJA AKADEMIS MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS HALUOLEO1 Oleh: Muliha Halim2 e-mail:
[email protected] ABSTRAK. Masalah penelitian adalah Seberapa besar kontribusi: (1) kualitas pengajaran terhadap sikap positif mahasiswa tentang proses pengajar; (2) kualitas pengajaran terhadap efikasi diri mahasiswa; (3) kontribusi kualitas pengajaran terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (4) sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (5) self efficacy terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (6) kualitas pengajaran, sikap positif dan efikasi diri secara serempak terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Semakin tinggi kualitas pengajaran fakultas semakin tinggi pula kinerja kademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya; (2) Tinggi rendahnya kinerja akademis yang dicapai oleh mahasiswa dipengaruhi langsung oleh sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran; (3) Self-efficacy berpengaruh positif terhadap kinerja akademis yang dicapai oleh mahasiswa. Artinya semakin tinggi self-efficacy mahasiswa semakin tinggi pula kinerja kademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya; (4) Kualitas pengajaran fakultas, Sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran Self-efficacy secara serempak berpengaruh signifikan terhadap kinerja akademis; (5) Untuk meningkatkan kinerja akademis mahasiswa diperlukan pemberian stimulus yang mengarah pada peningkatan efikasi diri mahasiswa. Stimulus yang dimaksud adalah terkait dengan upaya untuk meningkatkan kemauan diri mahasiswa mengikuti proses perkuliahan dengan baik; dan (6) Pemberian stimulus yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pengajaran fakultas adalah upaya yang sungguhsungguh untuk meningkatkan kualitas materi perkuliahan termasuk keahlian dosen dalam membawakan materi perkuliahan. Kata Kunci: Kualias Pengajaran, Sikap Positif, Self-Efficacy dan Kinerja Akademis Mahasiswa
lama yang kurang memperhatikan karakteristik peserta didiknya. Hal ini disebabkan oleh berbagai factor, baik dari segi fasilitas kampus yang belum memadai maupun ketersediaan bahan dan belum berubahnya wawasan dosen itu sendiri untuk melaksanakan pembelajaran inovatif. Pembelajaran merupakan proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2004:7). Efikasi diri bagi seseorang merupakan hal yang sangat penting. Efikasi diri mendorong seseorang memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada
PENDAHULUAN Proses pembelajaran merupakan interaksi edukatif antara peserta didik, dengan dosen dan lingkungan belajarnya. Dalam proses pembelajaran terdapat kebebasan untuk memilih model, strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata kuliah, karakteristik mahasiswa, karakteristik pengajar serta kondisi sumberdaya yang tersedia. Adanya kebebasan tersebut akan memberi peluang dosen untuk berinovasi dan berkreasi dalam menentukan model model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan peserta didik. Namun demikian dalam praksisnya masih banyak pengajar atau dosen yang belum mampu memanfaatkan peluang tersebut dan tetap melaksanakan pembelajaran dengan paradigma 1 2
Ringkasan hasil Penelitian Dosen Pend. Ekonomi Koperasi FKIP Universitas Halu Oleo 21
yang mengalami kegagalan dan atau yang berhasil. Sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan caracara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Menurut teori presepsi diri, dari Bem (1967), dalam Taylor, et.al (2009: 175-176) bahwa “orang menyimpulkan sikap mereka berdasarkan perilaku dan presepsinya tentang situasi eksternal, bukan berdasarkan keadaan internal (bathin) mereka”. Sedangkan Teori Expectancy Value, dari Edwards (1954), dalam Taylor, et.al (2009 : 177) bahwa ”keputusan didasarkan pada nilai-nilai dari hasil yang mungkin terjadi dan kemungkinan bahwa hasil itu akan benar-benar terjadi”. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa kualitas pengajaran akademis (academic teaching) merupakan isu yang menarik untuk dikaji, dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kinerja fakultas. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian empiris untuk menguji keefektifannya melalui penelitian dan pengujian ilmiah. Melalui studi ini diharapkan menghasilkan model dasar pengukuran instrument yang valid dan reliabel. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pijakan dalam pengambilan kebijakan bagi fakultas maupun program studi dalam lingkup FKIP Unhalu yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) kontribusi kualitas pengajaran terhadap sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran; (2) kontribusi kualitas pengajaran terhadap efikasi diri (self efficacy) mahasiswa; (3) kontribusi kualitas pengajaran terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (4) kontribusi sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (5) kontribusi efikasi diri (self efficacy) terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (6) kontribusi kualitas pengajaran dan sikap positif dan efikasi diri mahasiswa dalam proses
pengajaran terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa. Pengembangan model dilakukan, mengingat belum ada insrumen-instrumen yang digunakan sebagai pegangan untuk meningkatkan kinerja fakultas (program studi) yang telah teruji keefektifitasnya secara empiris. Oleh karena itu, melalui pengembangan model ini akan terlihat secara nyata bagaimana cara dan strategi yang ditempuh untuk meningkatkan peran dosen dalam pengembangan materi perkuliahan, sehingga mahasiswa terlayani kebutuhannya secara individual berdasarkan potensi masingmasing dan meningkatkan prestasi akademis mahasiswa Rasionalitas lain tentang pentingnya penelitian ini adalah perkembangan Program studi dilingkungan perguruan tinggi FKIP Unhalu, maka dipandang memiliki keutamaan terutama; 1. Memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri mahasiswa sehingga tercipta lingkunga kampus yang harmonis. 2. Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran bermakna dalam mengedepankan proses interaksi sosial antara dosen dan mahasiswa sehingga tumbuh kecerdasan social. 3. Model pendidikan dan pembelajaran bermakna membantu dosen dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih faktual, efisien dan efektif, terutama dalam membangun/ mengkonstruksi kemampuan mahasiswa yang dapat berpikir ekonomis dan ekonom yang berpikir pendidik. 4. Memberikan kontribusi bagi Indonesia dalam mengatasi ketimpangan sosial dan memberikan model instrumen pengukuran yang dapat dijadikan pilihan dalam mengidentifikasi indikator-indikator kualitas fakultas. 5. Urgensi lain dari penelitian ini adalah berupa luaran yang hendak dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu; a. penelitian ini adalah bagian dari rencana program studi pendidikan ilmu pengetahuan sosial (Ekonomi) FKIP Unhalu, dalam rangka pengembangan kemampuan penelitian Dosen terutama produk atau luaran dari penelitian ini berupa pemodelan instrumen kualitas pengajaran fakultas (program studi pendidikan ekonomi); 22
Menurut teori ekspetasi nilai menyatakan bahwa pengadopsian sikap, orang cenderung untuk memaksimalkan penggunaan subjektif atas berbagai hasil yang diperkirakan, yang merupakan produk dari (1) nilai hasil tertentu; dan (2) penghargaan (ekspetasi) bahwa posisi ini akan menimbulkan hasil yang bagus pula (Edwards, 1945). Efikasi diri bagi seseorang merupakan hal yang sangat penting. Efikasi diri mendorong seseorang memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang mengalami kegagalan dan atau berhasil. Dari pengalaman itu, seseorang akan mampu mengungkapkan efikasi diri. Efikasi diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Efikasi diri merupakan cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat dibangun sesuai karakteristik seseorang dan bersifat khusus (Ratna, 2008). Cara pandang individu dalam usaha untuk memunculkan keyakinan dalam diri dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada pada diri individu. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-satunya, yang memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif, sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar. Efikasi diri mempengaruhi tingkat seseorang, yaitu ketahananya terhadap tugas, pilihan terhadap tugasnya, dan peniruan prilaku. Aspek-aspek yang terdapat dalam keyakinan diri (self- efficacy) menurut Bandura dalam Hambawany (2007) ada tiga aspek dalam efikasi diri yaitu a. Magnitude, Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri
TINJAUAN PUSTAKA Kinerja diartikan sebagai hasil kerja yang dapat dicapai dalam priode waktu tertentu. Menurut Caster dan Gulledge (1999) dalam Haryanto (2009: 152) bahwa secara akademis, kinerja diartikan sebagai nilai-nilai akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa dalam priode waktu tertentu, biasanya dalam kurun waktu satu semester. Studi mengenai sikap merupakan studi yang penting dalam bidang psikologi sosial. Konsep tentang sikap sendiri telah melahirkan berbagai macam pengertian diantara para ahli psikologi. Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Konsep itu kemudian berkembang semakin luas dan digunakan untuk menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan dengan kontrol terhadap respon pada keadaan tertentu. Sikap sebagai kesediaan yang diarahkan untuk menilai atau menanggapi sesuatu. Kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Dasar pemikiran ini bahwa suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Sejalan dengan itu menurut Secord dan Bacman (1964) dalam Mueller (1996) membagi sikap menjadi tiga komponen yang dijelaskan sebagai berikut: a. Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan Pengetahuan inilah yang akan membentuk keyakinan dan pendapat tertentu tentang objek sikap. b. Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen ini erat hubungannya dengan sistem nilai yang dianut pemilik sikap. c. Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap.
23
secara individual mungkin terbatas pada tugastugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan diluar batas kemampuan yang dimilikinya; b. Generality, Aspek ini berhubungan dengan bias bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman yang lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas; dan c Strength, Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya.
Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni Program Studi Pendidikan Ekonomi dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 835 orang yang terdiri dari keahlian akuntansi dan keahlian pariwisata, pendidikan sejarah sebanyak 425 orang, pendidikan geografi sebanyak 253 orang dan PKn sebanyak 554 orang. 1. Kontribusi Kualitas Pengajaran Terhadap Sikap Postif Mahasiswa Tentang Proses Pengajaran Hasil pengujian regresi yang dilakukan menunjukkan hasil yang signifikan dan positif (β = 0,502; thitung = 5,949; probabilitas 0,000). Dengan demikian Ho ditolak, artinya semakin tinggi kualitas pengajaran semakin tinggi sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran. Sedangkan kualitas pengajaran fakultas memberikan kontribusi sebesar 25,2% terhadap sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran dan sisanya 74,8% dijelaskan oleh variable lain yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam variable gangguan acak . Hasil pengujian tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pengajaran fakultas dalam kaitannya dengan kompetensi dosen menjadi variansi yang menumbuhkan beragam presepsi kepada mahasiswa. Sikap adalah evaluasi terhadap objek, isu atau orang. Sikap didasarkan pada informasi afektif, beharvior, dan kognitif. Dengan demikian hasil studi ini, sejalan dengan Cristes, Fabrigar, dan Petty (1994) yang meyatakan bahwa komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang objek tertentu seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan. Maksud dari pendapat tersebut adalah bahwa sikap sebagai variable endogen/ dependen dipengaruhi oleh ekspetasi nilai artinya seseorang akan bersikap lebih menguntungkan dirinya Juga, sejalan dengan teori belajar dari Carl (1953) dalam Taylor (2009: 167) bahwa sikap dapat dipelajari melaluiimitation (peniruan, imitasi) artinya orang akan meniru orang lain, khususnya jikanorang lain itu (dosen) adalah orang yang kuat (cakap, dan cerdas) dn penting (berkualitas, professional). Presepsi dan sikap
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desian korelasional dengan pendekatan kuantitatif, metode survey. Uni analisis terbatas pada mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo Jurusan Pendidikan IPS, yaitu; pendidikan ekonomi, pendidikan akuntansi; Pendidikan Sejarah; Pendidikan Geografi; dan pendidikan PKn. Selanjutnya sampel diambil sebanyak 312 dari ukuran populasi mahasiswa dengan menggunakan teknik esidentil, yaitu mahasiswa sedang berada dikampus. Proses pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, dan setiap item pernyataan menggunakan skala Likert 5 opsi pilihan. Selanjutnya analisis menggunakan Uji Regresi Linier Berganda (SPSS v 17). HASIL DAN PEMBAHASAN Mahasiswa FKIP Unhalu terdiri atas Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, terdiri atas; (Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Akuntansi, Pendidikan Pariwisata, Pendidikan Sejarah, Pendidikan Geografi, dan Pendidikan Kewarganegaraan), Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, terdiri atas: (Pendidikan Biologi, Pendidikan Matematika, Pendidikan Kimia, Pendidikan Fisika) Jurusan Pendidikan Bahasa (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris) Jurusan Psikologi (Bimbingan dan Konseling, Pendidikan Jasmani dan Rekreasi) dan Jurusan PGSD.
24
positif mahasiswa tentang proses pengajaran ditentukan oleh kualitas pengajaran. Hal ini memberikan pemaknaan bahwa sikap mahasiswa berkorelasi positif dengan etika profesionalisme dosen sebagai pengampu mata kuliah Dengan demikian disimpulkan bahwa sikap positif adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi kearah yang dikehendaki sebagai efek dari hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Jadi, sikap adalah penjelmaan dari paradigma yang pada gilirannya akan melahirkan nilai-nilai yang dianut seseorang. Dan sikap orang bisa menentukan kualitas nilai perilaku seseorang.
6) bahwa efikasi diri adalah skema spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi yang terintregrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi intrepretasi individu terhadap situasi spesifik. Proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang. Efikasi diri merupakan cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat dibangun sesuai karakteristik seseorang dan bersifat khusus (Ratna, 2008). Cara pandang individu dalam usaha untuk memunculkan keyakinan dalam diri dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada pada diri individu terkait dengan kualitas pengajaran fakultas. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satusatunya, yang memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif, sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar. Menurut Wicaksono (2008) efikasi diri adalah "sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor spiritual; dan merupakan dasar dari semua "mukjizat", serta mindset yang tidak bisa dianalisis dengan caracara ilmu pengetahuan". Lebih jauh, Spears dan Jordon dalam Ferdyawati (2007: 7) berpendapat efikasi diri yaitu "kenyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Pikaran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan." Dengan demikian disimpulkan bahwa tinggi rendahnya efikasi diri dipengaruhi langsung oleh kualitas pengajaran dengan menggunakan dimensi (1) isi (content) yang distimulis oleh kompetensi profesionalisme
2. Kontribusi Kualitas Pengajaran Terhadap Efikasi Diri Mahasiswa Hasil pengujian regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang signifikan dan positif (β = 0,412; thitung = 5,949; probabilitas 0,0170). Dengan demikian Ho ditolak, artinya semakin tinggi kualitas pengajaran semakin tinggi pula self efficacy mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa kualitas pengajaran memberikan kontribusi sebesar 17% terhadap self efficacy mahasiswa dan sisanya 83% dijelaskan oleh variable lain yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam variable gangguan acak . Hasil pengujian menunjukkan bahwa efikasi diri bagi seseorang merupakan hal yang sangat penting. Efikasi diri mendorong seseorang memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang mengalami kegagalan dan atau berhasil. Dari pengalaman itu, seseorang akan mampu mengungkapkan efikasi diri. Efikasi diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Crick & Dodge dalam Kurniawan (2004: 25
dosen; (2) pedagogic; (3) interaksi dalam pembelajaran; (4) pemanfaatan teknologi pembelajaran; dan penilaian (assessment).
dicapai oleh mahasiswa dengan asumsi variable (X1 dan X3) diisolasi. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa semakin tinggi sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran semakin tinggi kinerja akademis yang dapat diperoleh mahasiswa. Sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran memberikan kontribusi sebedsar 22,7% terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, dan sisanya 77,3% dijelaskan oleh variable lain yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam variable gangguan acak . Temuan ini sejalan dengan pendapat Caster & Gulledge (1999); Jacob & Lefren (2005); Koul, dkk (2006); Galetto (2009) yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara sikap dan prosese pengajaran fakultan, dan tidak sejalan dengan Haryanto (2009) yang menyatakan bahwa sikap tidak berpangaruh positif dengan kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa. Dengan demikian memperkuat temuan sebelumnya, artinya sikap sebagai pengevaluasian subjektif mahasiswa terhadap proses pengajaran fakultas selama masa perkuliahan yang diikuti. Oleh karena itu, objektivitas pengevaluasian terhadap proses pengajaran fakultas dapat dilakukan dengan pengevaluasian mahasiswa terhadap perkuliahan. Data empiris mengindikasikan bahwa profesionalisme dosen pengampu mata kuliah masih rendah. Gagasan bahwa sikap mungkin diaktifkan secara otomatis juga menunjukkan bahwa objek sikap yang ada di lingkungan akan secara otomatis mengaktifkan sikap kita tanpa kita sadari. Jadi, banyak perilaku kita dibimbing oleh sikap kita yang tidak kita sadari atau tanpa kita niatkan. Menurut Bargh, Chaiken, Guvender & Petty (1992); Smith, Fazion, & Cejka (1996) bahwa manusia punya tendensi untuk secara tidak sadar mengklasifikasikan sebahagian besar atau mungkin semua, stimuli yang diterima sebagian baik atau buruk. Salah satu akibatnya adalah kita hampir secara langsung menciptakan tendensi beharvioral untuk menghindari stimuli yang kita labeli negatif dan mendekati stimuli positif.
3. Kontribusi Kualitas Pengajaran Terhadap Kinerja Akademis yang Dapat Dicapai Mahasiswa Hasil pengujian regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang signifikan dan positif (β = 0,2000; thitung = 2,249; probabilitas 0,027). Dengan demikian Ho ditolak, artinya kualitas pengajaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja akademis yang dapat diperoleh mahasiswa dengan asumsi variable (X1 dan X2) diisolasi. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa semakin tinggi kualitas pengajaran semakin tinggi kinerja akademis yang dapat diperoleh mahasiswa. Kualitas pengajaran memberikan kontribusi sebedsar 20% terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, dan sisanya 80% dijelaskan oleh variable lain yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam variable gangguan acak . Hasil pengujian yang diperoleh dalam penelitian ini, sejalan dengan pendapat Enggelland (2004); Kidd, dkk (2004); Koul, dkk (2006) dan Haryanto (2009). Dengan demikian memperkuat temuan sebelumnya bahwa fakultas perlunya peningkatan kinerja akademis mahasiswa melalui peningkatak kualitas materi perkuliahan, sebab salah satu keahlian dosen adalah pengampu memperbaiki materi pembelajaran. Studi ini memberikan pemahaman tentang peningkatan kompetensi dosen dalam berkomunikasi, berinterelasi dan memperbaiki sistem pembimbingan, sistem penilaian yang bermuara pada etika profesionalisme. 4. Kontribusi Sikap Positif Mahasiswa Tentang Proses Pengajaran Terhadap Kinerja Akademis yang Dapat Dicapai Mahasiswa Hasil pengujian regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang signifikan dan positif (β = 0,227; thitung = 2,593; probabilitas 0,011). Dengan demikian Ho ditolak, artinya sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja akademis yang dapat 26
dan tekun dalam berusaha. Efikasi diri dianggap sebagai bagian dad proses kognitif yang mempengaruhi perilaku atau kinerja dengan memberikan informasi tentang kemampuan individu. Berdasarkan informasi tersebut individu memilih tindakan yang sesuai dengan tuntutan atau lingkungan tertentu. Apabila informasi tentang kemampuan dalam menghadapi tugas cukup positif (merasa cukup mampu) maka individu akan terdorong untuk menyelesaikan tsgas tersebut dan bertahan menghadapi kesulitan. Sebaliknya, apabila informasi tersebut negatif (merasa kurang mampu) maka individu cenderung untuk menghindari tugas yang dianggap sulit. Oleh karena itu individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi, yakin dapat berperilaku tertentu untuk dapat mencapai hasil atau dapat menyelesaikan masalah. Selain itu, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi juga lebih giat dan lebih tekun dalam berusaha. Begitu pula dalam menghadapi kesulitan, orang yang ragu akan kemampuannya atau dengan kata lain individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan mengurangi usahanya dan menyerah, sedangkan orang yang memiliki efikasi diri yang kuat akan mengerahkan usaha yang lebih besar untuk mengatasi tantangan yang dihadapinya. (Albert Bandura, self-efficacy beliefs In Human Functioning, p. 1, 1986, http://social foundation.edu.com ) Berangkat dari berbagai definisi tentang efikasi diri maka seseorang dengan efikasi diri dapat mengarahkan tindakan-tindakan bukan hanya kepada orang lain tetapi juga dengan lingkungan yang lebih luas. Efikasi diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Efikasi diri memungkinkan individu dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis, melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalamanpengalaman baru dengan pengalamanpengalaman masa lalu, bahkan memunculkan kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Efikasi diri diyakini dapat mempengaruhi manusia untuk merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri untuk bertindak. Seseorang yang memiliki
5. Kontribusi Efikasi diri (self efficacy) Terhadap Kinerja Akademis yang dapat Dicapai oleh Mahasiswa Hasil pengujian regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang signifikan dan positif (β = 0,405; thitung = 4,867; probabilitas 0,000). Dengan demikian Ho ditolak, artinya tinggi rendahnya kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa secara positif dipengaruhi oleh self-efficacy mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa semakin tinggi self-efficacy mahasiswa semakin tinggi kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa. Self-efficacy mahasiswa memberikan kontribusi yang paling dominan yakni sebesar 0, 40,5% terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, dan sisanya 56,3% dijelaskan oleh variable lain yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam variable gangguan acak . Temuan ini sejalan dengan pendapat Koul, dkk (2006); Galetto (2007) dan Haryanto (2009) yang menyimpulkan bahwa efikasi diri berpengaruh positif terhadap kinerja akademis. Studi ini memberikan justifikasi bahwa peningkatan efikasi diri mahasiswa terhadap penguasaan materi perkuliahan akan berkorelasi positif dengan upaya untuk meningkatkan kinerja akademis yang akan dicapai oleh mahasiswa, namun hal itu, harus diikuit dengan pembentukan sikap positif yang akan mestimulus (1) kemampuan mahasiswa untuk memahami materi perkuliahan; (2) kemampuan mahasiswa untuk mendefinisikan materi perkuliahan; (3) kemampuan mahasiswa untuk menjelaskan materi perkuliahan; (4) kemampuan mahasiswa untuk mengingat materi perkuliahan, dan (5) kemampuan mahasiswa untuk mengkritisi fenomena berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya. Menurut Bandura efikasi diri adalah kepercayaan tentang kemampuan diri yang dimiliki oleh seseorang yang akan mempengaruhi perilaku, motivasi, keberhasilan, dan kegagalan. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan dapat berperilalcu tertentu untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan pada situasi tertentu. Selain itu, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi dapat lebih giat 27
efikasi diri dapat menyelesaikan masalah dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka juga selalu berusaha untuk meraih kesuksesan dan berkomitmen untuk mevvujudkannya. Efikasi diri mempengaruhi tingkat ketahanan seseorang terhadap tugas, pilihan terhadap tugasnya, dan peniruan perilaku.
dalamnya organisasi formal dan kelompokkelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Kebutuhan untuk mandiri menuntut seorang profesional harus mampu membuat keputusan secara mandiri. Keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi mengacu pada keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan. Dedikasi pada profesi mencerminkan pengabdiaan secara total dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Kewajiban sosial menuntut seorang profesional menyadari pentingnya profesi dan manfaatnya bagi masyarakat, di samping bagi diri sendiri. Profesionalisme ini merupakan elemen dari motivasi yang berkontribusi terhadap kinerja tugas yang tinggi (Guntur, Soepomo, dan Gitoyo, 2002). Adanya hubungan kontributif ini mengimplikasikan perlunya peningkatan profesionalisme bagi yang menggeluti suatu bidang profesi, termasuk profesi dosen. Dengan demikian kompetensi dosen perlu dievaluasi melalui berbagai instrument dengan tetap berpijak pada profesionalisme. Dalam rangka penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, dosen melaksanakan tiga jenis kegiatan, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdiaan kepada masyarakat. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bidang utama kegiatan dosen adalah melaksanakan pendidikan dan pengajaran. Namun demikian, kegiatan penelitian dan pengabdiaan masyarakat juga wajib dilaksanakan oleh seorang dosen. Kedua kegiatan ini akan sangat menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran yang lebih baik (Direktorat Penelitian dan Pengabdiaan pada Masyarakat, 2002).
6. Kontribusi Kualitas pengajaran dan sikap positif secara serempak Terhadap Kinerja Akademis yang dapat Dicapai oleh Mahasiswa Hasil uji statistik diperoleh nilai F-star sebesar 23.157 dan Koefisien Determinan R2 = 0,308. Selanjutnya dilakukan uji kebermaknaan, yakni nilai probabilitas (Sig.) = 0,000 < 0,05 atau dengan membandingkan antara nilai Fhitung (23,157 > Ftabel 2,82) (ttabel (0,05;312) yang mendekati 400 = 2,82. Kriteria keputusan adalah Tolak Ho jika Fhitung > Ftabel, (df) = n-k-1 = 312-31 = 308, taraf signifikansi 5%. Dengan demikian Ho ditolak, artinya secara simultan kualitas pengajaran dan sikap positif mahasiswa berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa tinggi rendahnya kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa dijelaskan secara serempak oleh kualitas pengajaran melalui sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran. Dosen yang profesional diharapkan memiliki kinerja yang tinggi yang dapat memuaskan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), yaitu mahasiswa, orang tua, dan masyarakat dalam arti luas. Di samping memuaskan stakeholders, kinerja yang tinggi ini juga memuaskan diri sendiri. Bagi seorang profesional, kepuasan rohani merupakan kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan. Sedangkan, kepuasan material merupakan hal yang sekunder. Menurut Hall, profesionalisme terdiri atas lima konsep, yaitu afiliasi komunitas, kebutuhan untuk mandiri, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi, dedikasi pada profesi, dan kewajiban sosial. Afiliasi komunitas menuntut seorang profesional menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di
7. Kontribusi Kualitas pengajaran dan efikasi diri secara serempak Terhadap Kinerja Akademis yang dapat Dicapai oleh Mahasiswa Hasil uji statistik diperoleh nilai Fhitung sebesar 23,157 dan Koefisien Determinan R2 = 0,308. Selanjutnya dilakukan uji kebermaknaan, yakni nilai probabilitas (Sig.) = 0,000 < 0,05 atau dengan membandingkan antara nilai Fhitung 28
(4,867> Ftabel 2,82) tabel distribusi (Ftabel (0,05;320) yang mendekati 400 = 2,82. Kriteria keputusan adalah Tolak Ho jika thitung > ttabel, (df) = n-k-1 = 312-3-1 = 320, taraf signifikansi 5%. Dengan demikian Ho ditolak, artinya secara simultan kualitas pengajaran dan efikasi diri berpengaruh signifikan terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa tinggi rendahnya kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa ditentukan oleh kualitan pengajaran dan self-efficacy mahasiswa.
kualitas pengajaran fakultas semakin tinggi pula kinerja kademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya; Tinggi rendahnya kinerja akademis yang dicapai oleh mahasiswa dipengaruhi langsung oleh sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran; Self-efficacy berpengaruh positif terhadap kinerja akademis yang dicapai oleh mahasiswa. Artinya semakin tinggi self-efficacy mahasiswa semakin tinggi pula kinerja kademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya; Kualitas pengajaran fakultas, Sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran Selfefficacy secara serempak berpengaruh signifikan terhadap kinerja akademis; Hasil pengujian secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kinerja akademis mahasiswa diperlukan pemberian stimulus yang mengarah pada peningkatan efikasi diri mahasiswa. Stimulus yang dimaksud adalah terkait dengan upaya untuk meningkatkan kemauan diri mahasiswa mengikuti proses perkuliahan dengan baik; Pemberian stimulus yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pengajaran fakultas adalah upaya yang sungguhsungguh untuk meningkatkan kualitas materi perkuliahan termasuk keahlian dosen dalam membawakan materi perkuliahan. Juga, dapat diberikan melalui upaya-upaya peningkatan keahlian dosen dalam berkomunikasi, keahlian berinterelasi, penguasaan teknologi perigajaran, memperbaiki pembimbingan, memperbaiki sistem penilaian, dan meningkatkan etika-profesionalisme.
8. Kontribusi Kualitas pengajaran sikap positif dan efikasi diri secara serempak Terhadap Kinerja Akademis yang dapat Dicapai oleh Mahasiswa Hasil uji statistik diperoleh nilai F-star sebesar 23.157 dan Koefisien Determinan R2 = 0,308. Selanjutnya dilakukan uji kebermaknaan, yakni nilai probabilitas (Sig.) = 0,000 < 0,05 atau dengan membandingkan antara nilai Fhitung (23,157 > Ftabel 2,82) (ttabel (0,05;312) yang mendekati 400 = 2,82. Kriteria keputusan adalah Tolak Ho jika Fhitung > Ftabel, (df) = n-k-1 = 312-31 = 308, taraf signifikansi 5%. Dengan demikian Ho ditolak, artinya secara simultan kualitas pengajaran, sikap positif dan self efficacy mahasiswa berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan pemahaman bahwa tinggi rendahnya kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa ditentukan secara bersama-sama oleh kualitan pengajaran, sikap postif dan self-efficacy mahasiswa. Atau dengan kata lain kinerja akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa 30,8% dijelaskan secara serempak oleh kualitas pengajaran, sikap positif dan self-efficacy mahasiswa, dan sisanya 69,2% dijelaskan oleh variable lain yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam variable gangguan acak .
SARAN- SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disarankan kepada; 1. Pihak Fakultas, Pertama, sistem evaluasi kompetensi dosen sebagai pengampu mata kuliah perlu ditindak lanjuti, mengingat fakta empiris memberikan gambaran bahwa tingkat kepuasan mahasiswa terhadap sistem penilaian masih sangat rendah Kedua, dalam pengevaluasian kompetensi pedagogic dosen, harus diikuti pemberian sistimulir yang dapat memotivasi kinerja dosen pengampu matakuliah 2. Untuk Kalangan Pendidik Dosen dan Guru Rasionalitas tentang pentingnya pendidikan dalam membangun kualitas pengajaran fakultas Pertama. Memberikan terobosan
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa: Semakin kualitas pengajaran fakultas semakin tinggi kinerja akademis yang dicapai oleh mahasiswa. Artinya semakin tinggi 29
baru pembelajaran, agar mampu menumbuhkan semangat dan motivasi belajar bagi mahasiswa sehingga tercipta kemandirian belajar yang lebih tinggi. Kedua. Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran bermakna dalam mengedepankan proses interaksi dan interelasi pembelajaran yang faktual/empirik dan memiliki kandungan edukasi yang kekinian. Ketiga. Model pendidikan dan pembelajaran bermakna membantu dosen, dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih faktual, efisien dan efektif, terutama dalam mengkonstruksi kemampuan mahasiswa yang dapat berperilaku pendidik.
Orang Tua dan Status Ekonomi Orang Tua dan Strategi Manajemen Konflik dalam Interaksi antarsaudara Kandung. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Mueller, D.J (1992). Mengukur Sikap Sosial Pegangan Untuk Peneliti dan Praktisi. Jakarta: Bumu Aksara. Palupiningdyah dan Widiyanto (2011). Strategi peningkatan kualitas pembelajaran Melalui pemanfaatan increasing learning Motivation ( ILMO). Dalam Jurnal “Ekplanasi Volume 6 Nomor 2 Edisi September 2011 (Online); Tersedia: http://www.kopertis6.or.id/journal/index. php/eks/article//. akses 30/12/12
DAFTAR PUSTAKA
Ratna ((2008). Rasa Harga Diri dan Keyakinan Diri. (Online): Tersedia: http://ratnaz.multiply.com/jurnal/item/36 diakses 1 april 2010.
Bandura, A (1986). Self-Efficacy Belief in Human Functioning. (Online); Tersedia: http://social foundation.edocom. diakses 1 Agustus 2010.
Suprijono, A (2010). “Cooperative Learning pada Mata Pelajaran IPS Untuk Mengembangkan Self- Efficacy dan Keterampilan Sosial” dalam Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan IPS. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Creswell, J.W (2003), Research Design: Quantitative, Qualitative, and Mixed Methods Approach, California: Sage Ferdyawati, D (2007). Hubungan antara Efikasi Diri dan Efektifitas Kepemimpinan dengan Toleransi Terhadap Stres pada Guru SD di Dorejo Pacitan. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surya, M (2004). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Taylor, SE, Peplau, LA & Sears, DO (2009). Psikolosi Sosial. Jakarta: Prenada Media Group.
Hambawany, E (2007). Hubungan antara SelfEfficacy dan Presepsi Anak terhadap Perhatian Orang Tua dengan Prestasi Belajar pada Penyandang Tuna Daksa. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Wicaksono (2008). Pentingnya Sebuah Keyakinan Diri. (Online); Tersedia: Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses 1 april 2010.
Haryanto, B (2009). “Effikasi Diri, Kualitas Pengajaran, Sikap dan Kinerja Akademis Mahasiswa” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 16: 152. Oktober 2009 Kurniawan, I.H (2004). Hubungan antara Keyakinan Orang Tua atas Manajemen Konflik antarsaudara, Jenis Kelamain
30
PROJECT-BASED LEARNING FOR EFL VOCABULARY CLASS1
By: Nurnia2 Abstract. This study is aimed at investigating the use of Project-Based Learning (PBL) in promoting students’ vocabulary improvement which is shown from the number of words students add during the implementation of PBL. The study was conducted with the English Department freshmen students taking a vocabulary course during the second semester in their first year at university. A total of 33 students were participating to learn and acquire words in context they themselves provided through a creative product which they produced in groups and through which assigned words could be easily learnt or acquired. The study shows that they increase in the number of words or vocabulary size being, on average, 883 and 532 words respectively for receptive and productive vocabulary. Even, the students individually could add more words up to 1,435 and 1,296 words for both types. This improvement is found to be much higher comparing to the one found in another previous study. Key words: project-based learning, receptive and productive vocabulary size
learning English skills. In the EFL context, even at advanced level, the students need to be catered in finding a systematic way or learning strategies in order for them to easily learn vocabulary. Let alone, in previous stages of learning such concepts have not been specifically introduced and applied. This might be one reason for the students to merely use whatever way they know such as memorization drill, dictionary use or solely working out on vocabulary exercises. Such activities do not fully develop the students’ potential to learn. With abundant learning sources nowadays, vocabulary learning should have been easier for students. English context is available within students’ life through the expansion of digital technologies. This is particularly true providing such phenomenon has to be used properly. Thus, teaching and learning vocabulary should lead the students to develop different strategies to learn with the use of this venerable media. All teachers do is to facilitate them in such direction and scaffold them to explore their own creativities in learning vocabulary. For example, teachers need to let them firstly decide what words they need to learn and how they
INTRODUCTION In EFL context, most language teachers concur that the very first complaint has been for the lack of vocabulary students have. However, the improvement of students’ number of words or vocabulary size has not been a primary issue to attend to as far as the improvement of English language competence is concerned. Mainstream issues have been for improving students’ competence in English skills as a whole. While this is partly true in order to be successful in communicating meanings, issues on this language component deserve a critical attention either from teachers or learners. Seldom do students perform well in language skills without enough knowledge of vocabulary. Hatch and Cheryl (1995:74) observe, “When our first goal is communication, when we have little of the new language at our command, it is the lexicon that is crucial … the words … will make basic communication possible.” At university level, the teaching of vocabulary is not paid the attention it deserves. The improvement of students’ vocabulary has been left on the students’ individual effort or assumed to be acquired through the process of 1 2
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen tetap Pend. Bahasa Inggris FKIP Universitas Halu Oleo 31
learn them in order to match with their learning styles and multiple intelligences. Putinseva (2006) suggests that teachers should be aware of individual learning styles and learner diversity. This has been for people are different in processing information such as by seeing and hearing, by reflecting and acting, and by reasoning logically and intuitively. Project-Based Learning has been an approach in such a direction. It facilitates the learning of English so as students can fully participate and be responsible with their own learning starting from deciding what words they need to learn individually, up to choosing the appropriate way to learn the words through the making of a project. Here, benefiting from all learning sources particularly the use digital-age technologies is highly honored.
engaging in real-world projects, nearly every aspect of their experience changes. The collaboration between students and other communities suggests a shift in the part of teacher’s and students’ roles. In this sense, the teachers are not the content expert any longer and the students also change from recipients of knowledge transfer into trailing their own question to create their own meaning. Accordingly, Boss and Krauss (2007:11) assert, ‘project-based learning -powered by contemporary technologies-is a strategy certain to turn traditional classrooms upside down.’ While, in the "old school" model, the teacher masters the tasks but in the "new school" model he/she facilitates the students to do tasks. In such a model, some role changes include students as teachers, teachers as coaches as well as parent and community involvement. With a change in their role, the students will increase more in their learning participation. In classrooms, the students could be assigned to check and correct homework or to produce tests (Kavaliauskiene, 2003). By playing as teachers, students are fostered to be autonomous learners as well. The learning of new skills can also be promoted from this change in role. For example, the students will learn to develop language and literary skills (Gaer, 1998) and reflective skills (Stites, in Boss and Krauss, 2007) while playing as teachers or producing authentic products. Additionally, through the process of deciding what and how to learn (the process done in making a project in PBL), the students made a lot of reflection such as critical thinking, problem solving, decision making and other higher level thoughts (Shermis, 1999). This reflective thought, a concept introduced by John Dewey in 1910 in his ‘How We Think”, suggests that learning improves to the degree that it arises out of the process of reflection. Through PBL, those skills known as the 21st century skills are well catered in order to achieve a project goal.
A. What is Project-Based Learning The project-based learning approach or so-called PBL suggests that students are much more actively involved in a joint enterprise with the teacher of constructing new meanings (Atherton, 2011). It is developed from a Vygotsky’s constructivism learning theory which sees students as active makers of meanings and deems that they construct their own knowledge through learning environment. This theory is based on the assumption that the children would learn better when they were working in collaboration with adults. Here, the adults do not necessarily teach them how to perform the task but the process of engagement with them which facilitates the students in developing their thinking or performance. Through PBL, there is an involvement of other categories of learners or community to foster more learning. Accordingly, the emphasis in PBL also includes team-up with communities to achieve a certain goal. For example, students can work with media specialist to analyze events and artifacts of the pasts-just as real historians do or learners of English in a family literacy program can team up with a class at the middle school to develop a joint project (Gaer, 1998). Students and their learning communities may convene to discuss, to debate and to exchange ideas. It is believed that when students learn by
B. Using a Project in a Vocabulary Course Using PBL in this course is a way to deal with how a long list of important vocabulary could be introduced to and learnt in a more flexible way by students taken a vocabulary course. While it is plausible for the students to 32
simply learn words from a list as applied by most vocabulary courses, it is not wise enough for they could be de-motivated, a bit frustrated and desperate. Thus, the use of Project-Based Learning is considered as one way to get rid of the students from this discontented condition into something as fun by playing as teachers or observers or creators. By producing some works showcasing vocabulary through a project, the students themselves can provide context for words which they could repeatedly come across with and go back to anytime later to reinforce their learning. Through the project, students decided on how they would learn a certain number of words assigned to them. Using learning strategies they had been exposed to into their repertoires, they freely chose what strategies they would appropriately use to make the words be easily learnt or recalled. They chose appropriate strategies according to their preference, learning styles and multiple intelligences to develop a creative product in order to work or play with words. By producing a creative product with words, the students were not aware of having to learn but doing something with them in order to complete a project. As a result, they also acquired the word throughout the project-making process such as during finding out words’ meaning/pronunciation/part of speech, writing them in a sentence or story, matching them with pictures and so forth. At this point, abundant contexts to the words were provided. The use of PBL in vocabulary class, additionally, has been for the limited time given and less emphasis on vocabulary learning within other English courses in university. With 16 weeks time for the whole lecture, this language component may not be potentially learnt by students, let alone examining strategies that will work best for them. Some teachers, even,, may simply assign students to work on vocabulary exercises from ready-made books. Gaer (1998) asserts that in traditional teacher-centered classroom, using a textbook, learners are always dismayed at how little language they learn. A research done previously (Nurnia, 2001) showed that during university time, the students of Haluoleo University did not increase a lot in the
total number of receptive vocabulary. Having this in mind, it is of necessity for students to explicitly learn vocabulary particularly those necessary for them, in addition to indirect vocabulary learning or extensive reading. Project-based learning is considered to cater for both aspects of vocabulary learning ways which are explicitly and implicitly. By explicitly, it means that through a project, the students decide what vocabulary to learn and how to learn it. By implicitly, it means that they provide context for words through working on project during which learning and acquisition are jointly manipulated. Context here can be found in project products produced by different groups such as short stories, games and pictures, in classroom sharing/discussions and in project exhibition. Interestingly, this process is provided and managed by students themselves which makes it even more meaningful. RESEARCH METHODOLOGY Sample of the Study The data for this pre- and post –design study were obtained from the English Department students taking a Vocabulary course during their first year in their second semester at university. A number of 33 students participated in the study. The students were firstly given a Vocabulary Levels test in the first meeting (pretest) and retook the test (post-test) at the end of semester after about six months. Research Instruments The samples in the study were asked to take vocabulary size tests consisting of two instruments: the Vocabulary Levels Test (Nation 1983, 1990) and a productive version of the Levels Test (Laufer and Nation 1995, 1999), which was used to measure the students’ receptive and productive vocabulary size. Teaching Procedure This vocabulary course was aimed to introduce students with vocabulary learning strategies and to improve their receptive and productive vocabulary size. The project was socalled a vocabulary learning management which 33
allowed students to improve their vocabulary through working with group to produce different ways/products to compensate with vocabulary learning. Students developed a story or games to assign vocabulary in context. They also produced some pictures, mapping, or other activities to showcase the meaning of vocabulary and wrote example sentences, parts of speech etc. These creative works on vocabulary were firstly presented in the classroom to receive input from other groups. The course was conducted for 16 weeks. In week 1, they watched videos about the use of PBL and provided their responses to the videos. In weeks 2 and 3, discussion and sharing were held among students regarding to issues on vocabulary learning strategies. Written tasks were also assigned for them to file it in portfolio. In week 4, they formed a group of five (a few six) for working collaboratively for a mid-term project with English Vocabulary Levels List (2,000 words from the first and second thousand). Assigned with a list of 250 words per group, each group chose and managed the unfamiliar words from the list in a project. Some students’ products produced in their project included short stories, games, trees, origami, quartet, pictures and others. Some created selfmade resources such as materials for games and drawings for stories. Some even took their own photographs or videotaped themselves to showcase word meanings. In weeks 5 up to 7, they worked on the projects. Through the process, they divided roles, searched for resources (some self-made), discussed, managed the resources, produced samples and shared it with other groups to receive comments and inputs. In week 8, they submitted the project report and made an exhibition of their projects visited by not only university students but also some from elementary and secondary school students. During weeks 9 up to 11, they re-learnt the words from all group products hung in classroom, wrote a mini summary and their reflection of what they learnt each week in the portfolio. In week 12, they planned for individual project to be submitted in week 14. In week 15, they took a vocabulary size test.
Data Analysis Two types of data were obtained and these were receptive vocabulary size and productive vocabulary size. Then, the data were statistically analyzed in two steps. The first step was to compare the students’ score in pre-test and their score in post-test using two-tailed t-tests (Hatch and Lazaraton, 1992). The alpha level was set at .05 for all t-tests. It was to determine whether the students’ vocabulary size before and after the implementation of PBL is significantly different FINDINGS AND DISCUSSION Findings This section presents findings of the study in two stages. The first stage (4.1) presents the students’ receptive vocabulary size and productive vocabulary size. The second (4.2) presents students’ classification in vocabulary size category. The last (4.3) presents the comparison between the students’ vocabulary score in pretest and theirs in post-test. Students’ Vocabulary Size The following is the students’ receptive vocabulary size based on the result of vocabulary size tests given in pre-test (prior to the implementation of PBL- Project-Based Learning) and post-test. Table 1. Descriptive Analysis on the Students’ Receptive Vocabulary Size Pre-Test Post-Test 2027 2910 Means 625 1412 Min 4375 4676 Max 1898 2917 Median 3750 3264 Range Table 1 shows that in pre-test, the second semester English major students have on average 2,027 words and in post-test 2910 or almost 3,000. The increase is found to be 883 words after one semester-time or about six months. This total is considered much higher than the increase found in a previously relevant study which was only about 411 (Nurnia, 2001). Comparing the minimum and maximum scores, it shows that the range is found to be smaller in 34
post-test which suggests that the students who are at first quite heterogeneous in their vocabulary size tend to score with a smaller range afterwards. Having the median score, it shows that half of the students only score above 2,000 in pre-test but 3,000 in post-test.
students being Learning.
Pre-Test 1164 301 3796 1065 3459
Post-Test 1696 440 4213 1667 3773
Table 4. Students’ Category in Receptive Vocabulary Size (before & after PBL) Vocabulary Size Category Below-1,000 1,000-above 2,000-above 3,000-above 4,000-above
PostTest Means 2910 1696
Receptive Vocabulary Size Pre-Test Post Test Sum % Sum % 1 3% 0% 16 48% 6 18% 12 36% 12 36% 3 9% 11 33% 1 3% 4 12%
Table 3 shows that in pre-test, about half of the students (51%) are classified in below 2,000 category. Meanwhile, in post test, only 18% remains with this category whereas 82% is classified as above 2,000. Even, almost half (45%) has been classified in 3,000-above category with only 11% beforehand. This suggests that these students would have been easier in decoding academic reading materials without major obstacles.
Table 3. Comparing Students’ Vocabulary Size PreTest Means 2027 Receptive 1164 Productive *significant at .05
Project-Based
This section presents some classifications of vocabulary size from below-1,000 category up to 4,000-above category. Such categories are made in conjunction to vocabulary levels suggested by Nation (1990) who suggest that students need to know what vocabulary to learn, where to start and what learning strategies are required.
Table 2 shows that in pre-test the students’ productive vocabulary size is on average 1,164 words and 1,696 words respectively in pre-test and post-test. The increase is found to be 532 words. The minimum score shows 301 in pre-test being 440 in post test which suggests that there are still students with very limited number of productive vocabulary although a few students score above 3,000. Having the median score, it reveals that the half of the students still score below 1,000 in pre-test and score higher almost 2,000 in post-test.
Vocabulary Size
to
Students’ Categorization in Vocabulary Size
Table 2. Descriptive Analysis on the Students’ Productive Vocabulary Size Means Min Max median Range
exposed
t-test 3.61* 2.54*
Table 5. Students’ Category in Productive Vocabulary Size (before & after PBL)
Table 3 shows that the students’ vocabulary size either receptive or productive in post-test is found to be different or higher than that in pretest. To examine whether the difference was statistically significant, a two-tailed test was used. The t-statistics showed that the mean total score of students’ post test was significantly higher than that of the pre-test (t = 3.61, p .05) for receptive and (t = 2.54, p .05) for productive. This means that there is a significant increase in the students’ vocabulary size after the
Vocabulary Size Below-1,000 1,000-above 2,000-above 3,000-above 4,000-above
Productive Vocabulary Size Pre-Test Post Test Sum % Sum % 13 39% 6 18% 16 48% 16 48% 3 9% 10 30% 1 3% 0% 0% 1 3%
Table 4 shows that before PBL, there were about 39% of the students in below-1,000 category and only 18% afterwards. Meanwhile, almost half 35
(48%) of them were in 1,000-above category and a very limited number of students are in upper category being only 12%. After PBL, however, 30% have been categorized in 2,000-above category. Students with below-1,000 category would hardly find it easy to express themselves productively either in speaking or writing as they only have very limited/little knowledge of English.
being 2,990 found in the said study. This shows that after one semester (half a year) of learning vocabulary through PBL, the students in the present study increase the number of their vocabulary size much higher than those in the previous study. It is obvious that after one semester these students add roughly 883 (44%) word families. In contrast, the students in the previous study only add about 411 (15.9%) even after two years. The increase in the present study is quite similar given the increase observed by Laufer (1998), which was about 84% (1,600 word families) over one year. Such a difference might be attributed to different language classroom contexts such as classroom activities and methods. In PBL the students learn assigned words through contexts they themselves provided through project activities which allow them to decide what vocabulary to learn and how to learn them through creative products they produced. This suggests that the use of PBL to the students in the present study has been much more appropriate for the students in learning and acquiring vocabulary. As for the students’ productive vocabulary, it is on average 1,696 words. This number is similar to the productive vocabulary size of the third year students (about 1,757words) investigated by Nurnia (2001). Still in comparison to aforementioned study, the increase found in this study after one semester is 532 words which is quite similar to increase made by the third year students in the previous study being 625 after two semesters. Again, the present finding shows a much similar increase with Laufer’s (1998) study. The results of her study showed that her students added about 850 word families within one year to their productive vocabulary. Even, the present study shows a higher increase by being 532 within six months. Another crucial finding is that the students in the present study increase on average about 44% and 46% to their receptive and productive vocabulary receptively. This increase is apparently much higher given the findings from previous study being 23.7% and 55.2% after two years. One possible explanation is that the English majors in the present study are more focused in their learning of words and during project activities they make use of the words for
DISCUSSION In summary, the findings of the study show that the students’ receptive and productive vocabulary size of the second semester students of the English Department is on average 2,910 word families for receptive vocabulary and 1,696 for productive vocabulary after the implementation of Project-Based Learning. The study also reveals that there is a significant increase in the students’ vocabulary size being on average 883 and 532 words for receptive and productive respectively. While most students (69%) are classified in 2,000-above and 3,000above categories for receptive vocabulary knowledge, 78% of them are in 1,000-above and 2,000-above categories for the productive one. The first finding of the study shows that after the implementation of PBL the students’ receptive vocabulary size of the first year students of the English Department is on average 2,910 word families. This is just similar to 7 year old native speaker of English having Nation’s (1990) summary of L1 vocabulary size development. Meanwhile, native speakers with corresponding age to the EFL students in the present study have about 17.600 words which is extremely much higher. However, the increase about 883 within half a year found in the present study is relatively astonishing providing the vocabulary development with native speakers suggested in Nation’s summary is rather linear, about 1,000 words per year. Such an increase also extends that found in a previous study. While before PBL, they have only about 2,027 which is much fewer than possessed by the first year students found in Nurnia’s (2001) study being 2,579 word families, after PBL their vocabulary size have been similar to that of the third year students 36
productive purposes such as talk about or explain the words during exhibition activities. This relates to the nature of vocabulary knowledge as observed by Faerch, Haastrup and Philipson (1984), which is defined “as a continuum between the ability to make sense of a word and ability to activate the word automatically for productive purpose.” The second possible explanation is that it may be unrealistic to expect L2 lexical development to take place simply through incidental learning although this works for L1 acquisition. This is due to the fact that the quantity of exposure is radically different in both cases. Laufer (1994) claims that, even at advanced level, learners have difficulty learning new vocabulary incidentally.
Digital Age. International Society for Technology in Education: Eugene, Oregon, Washington DC. Gaer, Susan. 1998. Less Teaching and More Learning. Vol. 2, Issue D Hatch, Evelyn and Brown, Cheryl. 1995.
Vocabulary, Semantics and Language Education. Cambridge, New York: Cambridge University Press. Hatch, Evelyn and Lazaraton, A. 1992. The
Research Manual: Design and Statistics for Applied Linguistics. Boston, MA: Heinle & Heinle Publishers. Kang, Hee-Won and Golden, Anne. 1994. Vocabulary Learning and Instruction in a Second or Foreign Language. International Journal of Applied Linguistics 4:1, 57-77.
CONCLUSION AND SUGGESTION This study apparently shows that after the implementation of Project-Based learning the students’ vocabulary size have been promoted to higher extent particularly when it is compared to previous studies. This should have been the nature of PBL which allows students to participate more in their learning process, to be responsible for their own learning, to know and to decide what and how they should learn. Although some individual students still do not improve to the most of their vocabulary size, they mostly do and enjoy the teaching learning process. In addition, the students should be aware of different strategies or ways in learning a lesson so as to be independent learners, problem solvers and creative thinkers. Thus, using Project-based learning as a teaching approach is one of the many ways to consider in teaching vocabulary.
Kavaliauskiene, Galina. 2003. Two Activities for Fostering Autonomous Learning. The Internet TESL Journal, Vo. IX, No. 7. http://iteslj.org/Articles/PutintsevaLearning Styles.html Laufer, Batia. 1994. The Lexical Profile of Second Language Writing: Does It Change Over Time? RELC Journal 25:2,21-33. Laufer, Batia. 1998. The Development of Passive and Active Vocabulary in a Second Language. Applied Linguistics 19:2, 255-271. Nation, I.S.P. 1990. Teaching and Learning Vocabulary. New York: Newbury House Publishers. Nurnia, 2001. Students’ Vocabulary Size and Their Lexical Richness in Composition. Unpublished Thesis. National University of Singapore.
REFERENCES Atherton J.S. 2011. Learning and Teaching; Constructivism in learning. Retrieved 4 October 2011 from http://www.learningandteaching.info/lea rning/constructivism.html
Putintseva, Tatyana. 2006. The Importance of Learning Styles in ESL/EFL. The Internet TESL Journal,Vol.XII, No. 3. http://iteslj.org/Articles/PutintsevaLearning Styles.html
Boss, Suzie and Krauss Jane. 2007. Reinventing Project-Based Learning; Your Field Guide to Real-World Projects in the
37
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA NILAI UN MATA PELAJARAN EKONOMI SMA DI KABUPATEN BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 20111 Oleh : Abdullah Igo B.D2 Abstrak. Mutu UN ekonomi SMA di Kabupaten Buton masih rendah, salah satu indikatornya adalah hasil Ujian Nasioal (UN) di Kabupaten Buton rata-rata klasifikasi C (sedang), ditinjau dari perolehan nilai UN SMA Tahun Ajaran 2007/2008 – 2009/2010. Hasil penlitian menunjukan bahwa nilai UN SMA tahun 2007/2008 sampai 2009/2010 untuk Kabupaten Buton, kemampuan yang dimiliki peserta didik dari tahun ke tahun semakin menurun atau semakin banyak siswa yang kemampuannya semakin rendah dalam menguasai kompetensi yang diujikan. Mata pelajaran ekonomi yang paling rendah dikuasai siswa adalah Pengaruh ekspor impor terhadap perekonomian dalam negeri dan permasalahan pokok ekonomi hanya 1,05% anak menjawab betul. Faktor penyebabrendahnya kompetensi yang dimiliki peserta didik SMA di Kabupaten Buton tahun ajaran 2007/2008 sampai tahun ajaran 2009/2010 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi adalah faktor guru. SK/KD yang diajarkan guru kurang dipahami anak, Materi yang kurang dipahami tidak diajarkan/dilewatkan, cara mengajar monoton dan masih konvensional, Kurang menggunakan media pembelajaran, dan Suka merubah nilai siwa . Faktor siswa: Siswa, Motivasi belajar rendah, Tidak mau mengikuti les /remedial, Tidak mempunyai buku, Malas belajar. Faktor Sarana: Buku literatur kurang, 1 buku untuk 3 siswa, Alat Peraga kurang. Faktor budaya Masyaraka: Motivasi masyarakat rendah, Minat baca kurang, Malas, Nyontek, lebih baik membantu orang tua daripada sekolah. Faktor Manajemen sekolah: Disiplin sekolah lemah, kurangnya kegiatan meningkatkan mutu, Supervisi klinis tidak jalan, MGMP kurang difungsikan dan Pembagian jurusan tidak sesuai bakat dan minat siswa. Serta Faktor ekonomi: penghasilan orang tua rendah. Model Peningkatan Mutu Pendidikan Valid dan Siap Diimplementasikan Secara Konkret di Kabupaten Buton Melalui Kegiatan Pengabdian Kepada masyarakat dapat melalui: penerapan Model Leson Study berbasis MGMP.
Kata Kunci: Pemetaan Kompetensi, Mutu Pendidikan,Nilai UN, Model pengembangan mutu. Masalah yang ada di Kabupaten Buton yakni rendahnya kualitas pendidikan, dan belum meratanya peningkatan mutu pendidikan. Masalah program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan yang masih dianggap paling lemah atau kurang dari delapan program kerja yang ada. Delapan program kerja itu adalah pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), wajib belajar (wajar) 12 tahun, pendidikan menegah, pendidikan nonformal, peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan, pendidikan pembinaan kepemudaan, pembinaan keolahragaan, dan pembinaan manajemen unit terpadu. olehnya program utama 2012 dan
LATAR BELAKANG MASALAH Mutu pendidikan merupakan masalah yang dijadikan agenda utama untuk diatasi dalam kebijakan pembangunan pendidikan, karena hanya dengan pendidikan yang bermutu akan diperoleh lulusan bermutu yang mampu membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, telah menggariskan ketentuan minimum bagi satuan pendidikan formal agar dapat memenuhi mutu pendidikan. 1 2
Ringkasan Hasil Penelitian tahun 2011 Dosen Pend. Ekonomi Koperasi FKIP Universitas Halu Oleo 38
tahun tahun mendatang pihaknya akan meningkatkan mutu pendidikan, sehingga bisa berdaya saing bukan hanya di daerah sendiri, tetapi juga dengan daerah-daerah lainnya. Secara kualitas perkembangan nilai UN SMA tahun 2007/2008 – 2009/2010 untuk Kabupaten Buton tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki peserta didik masih rendah bahkan cenderung menurun pada tahun ajaran 2009/2010. Klasifikasi rata-rata perkembangan tiga tahun terakhir, nilai UN ekonomi SMA masih rendah atau ≤ 6,0
jenjang Sekolah Menengah Atas, maka penelitian ini yang diberi judul “faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai UN Mata pelajaran Ekonomi SMA di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi TenggaraTahun 2011 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan komponen-komponen: 1. Gambaran pemetaan kompetensi siswa SMA yang belum memenuhi standar minimal di Kabupaten Buton pada mata pelajaran ekonomi yang di UN kan pada tahun 2007/2008 – 2009/2010 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penguasaan kompetensi siswa SMA pada pokok bahasan tertentu di Kabupaten Buton untuk mata pelajaran ekonomi yang di UN kan pada tahun 2007/2008 – 2009/2010 3. Rumusan model pengembangan mutu pendidikan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa yang belum memenuhi standar minimal pada mata pelajaran ekonomi yang di UN kan sebagai alternatif solusi dalam mengatasi rendahnya kompetensi dasar siswa SMA di Kabupaten Buton tahun 2007/2008 – 2009/2010
Sebaran nilai UN mata pelajaran ekonomi pada 3 tahun terakhir di Kabupaten Buton ditunjukkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Sebaran nilai terendah dan persentase nilai < 6,00 pada mata pelajaran ekonomiyang UN kan di kabupaten Buton 3 tahun terakhir. Tahun Ajaran 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Nilai UN terendah 3, 00 2,75 4, 00
% nilai < 6,00 15, 28 15, 62 19, 62
Gambaran dalam tabel 1 di atas memberikan gambaran bahwa masih terdapat beberapa kompetensi yang dipersyaratkan dalam UN yang belum dikuasai oleh siswa berdasarkan nilai UN murni 3 tahun terakhir. Salah satu realita hasil UN tahun 2007/2008 sampai 2009/2010 memberikan gambaran di Sulawesi Tenggara wilayah Kabupaten Buton menunjukkan klasifikasi C. Gambaran data di atas, adalah sebagian kecil dari realitas UN yang terjadi dari tahun ke tahun, dimana raihan nilai tersebut pada dasarnya akan berhubungan standar kompetensi lulusan (SKL) pada bidang studi ekonomi yang diajarkan. Dari data tersebut, dapat diasumsikan bahwa kompetensi dasar yang dimiliki siswa yang mengikuti UN adaloah masih memprihatinkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada konteks ini, salah satu upaya untuk memotret faktor-faktor penyebab keberhasilan atau kegagalan pendidikan di Kabupaten Buton dalam rangka memberikan suatu alternatif model pemecahan masalah yang bersifat fungsional, aplikatif yang relevan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk : 1. Menghasilkan suatu dokumen yang menggambarkan pemetaan kompetensi siswa SMA di Kabupaten Buton tahun 2007/2008 – 2009/2010 yang dapat digunakan oleh pihak Pendidikan Nasional untuk upaya perencanaan peningkatan mutu pendidikan di wilayah tersebut. 2. Memberikan gambaran mengenai kondisi riil penguasaan materi ekonomi dan daya serap siswa yang telah mengikuti kegiatan ujian nasional di wilayah kabupaten Buton dan Kabupaten Buton. 3. Memberikan acuan untuk pengembangan suatu peningakatan mutu pendidikan berdasarkan temuan-temuan dari penelitian ini bagi pihak yang peduli, khususnya bagi FKIP Unhalu sebagai salah satu LTPK yang ikut bertanggung jawab dengan mutu pendidikan di wilayah Sulawesi Tenggara 4. Meningkatkan kesadaran dan rasa ikut 39
bertanggungjawab kepada tenaga pendidik dan dinas pendidikan, sehingga upaya meningkatkan kompetensi siswa dapat dioptimalkan oleh seluruh stake holder.
Selanjutnya dalam sebuah artikel yang dtulis oleh Stevanie Elisabeth (dalam harian sore online Sinar Harapan, 2008), dikatakan bahwa peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung kepada kualitas guru juga harus ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Tetapi sayangnya, hingga sekarang ini, sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang memadai seperti fasiltas laboratorium dan sebagainya. Sarana dan prasarana ini merupakan komponen yang sangat vital dalam kegiatan proses belajar dan mengajar. “Sebut saja peralatan laboratorium yang di sebagian daerah masih sangat minim dimiliki sekolah, apalagi kalau SMA itu milik swasta sungguh sangat jarang yang memiliki sarana dan prasarana seperti laboratorium yang memadai. Peralatan laboratorium sudah menjadi suatu keharusan bagi siswa SMA untuk memperdalam ilmunya, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sarana Pendidikan Indonesia (APSPI) Iskandar Zulkarnain pada Deklarasi APSPI. (www.sinarharapan.com) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas SDM pendidikan menurut Kisdarto Atmosoeprapto (dalam Prof. Mantja, 2008) menyarankan untuk meningkatkan efektifitas kepemimpinan dan perlunya efisiensi manajemen.
TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Pendidikan Kualitas dalam pendidikan merupakan salah satu isu utama di antara masalah-masalah pokok seperti yang ditegaskan oleh Tilaar (1991) dalam Achmad Munib (2007) menyatakan bahwa dunia pendidikan kita mengalami 5 krisis pokok yaitu : (1) kualitas; (2) relevansi; (3) elitisme; (4) manajemen; (5) pemerataan pendidikan. Dalam mengukur rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebenarnya sulit. Peran guru merupakan peran yang penting yang dilakukan melalui pengelolaan kelas yang efektif seperti yang dikemukakan Titus Sri Maryoto (dalam http://staff.blog.unnes.ac.id), dari hasil penelitiannya diperoleh guru mempunyai peran yang sentral dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan melalui pengelolaan kelas yang baik yaitu sebagai pengajar, pendidik dan manajer. Menurut nurito (dalam harian media online beritajakarta.com pada tanggal 18 November 2008), mengatakan bahwa rendahnya kualitas layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah menengah di Indonesia ditengarai karena lemahnya kompetensi aparatur penyelenggara pendidikan. Lebih lanjut dikatakan, masih terdapat jumlah guru bidang studi atau mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Belum optimalnya kualitas pelayanan pendidikan pada SMP dan SMA juga terungkap dari data permasalahan sekolah tahun 2007, yang antara lain menunjukkan belum meratanya distribusi guru di setiap sekolah serta belum meratanya pembagian tugas jam mengajar di setiap sekolah. Selain itu, juga masih banyak guru yang belum mempunyai kualifikasi S1 sesuai tuntutan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap guru minimal berijazah S1. Disamping itu, juga masih terdapat ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan yang dipunyai guru dengan bidang studi yang diajarkan.
Hakekat Mutu Pendidikan Sebelum membahas tentang mutu pendidikan terlebih dahulu akan dibahas tentang mutu dan pendidikan. Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu, seperti yang dikemukakan oleh Edward Sallis (2006:33 ) mutu adalahSebuah filsosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007:53 ) mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu poduk atau hasil kerja, baik berupa barang dan jasa. Sedangkan dalam dunia pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, tetapi dan dapat dirasakan. Selanjutnya Lalu Sumayang (2003:322) menyatakan quality (mutu) adalah tingkat dimana rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan 40
penggunannya, disamping itu quality adalah tingkat di mana sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan rancangan spesifikasinya. Dalam pandangan Zamroni ( 2007: 2 ) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut. Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri atas : (a) focus pada pelanggan (internal & eksternal), (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, ( Ety Rochaety,dkk,200 :97 )
menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa 3. Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah. 4. Kurikulum; adanya kurikulum yang dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara maksimal; METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan observasi ekslopratif dengan menggunakan desain deskriptif analitis. Proses penelitian menggunakan tahap (1) pra lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan peta kompetensi siswa tiap pokok bahasan. (2) pekerjaan lapangan untuk melakukan identifikasi factor penyebab dari masalah rendahnya pencapaian standar kompetensi siswa melalui kegiatan focus grouf discussion (FGD), Indepth interview, observasi kelas, wawancara dan observasi kompetensi guru, analisis dokumen pendukung, dan kegiatan lain yang mendukung tercapainya tujuan penelitian, dan tahap (3) pasca lapangan dengan kegiatan penentuan prioritas masalah dan pembuatan peta kompetensi siswa tiap pokok bahasan.
Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah Untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim (2007: 56), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan : 1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat. 2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat
HASIL DAN PEMBEHASAN Nilai UN SMA tahun 2007/2008 sampai 2009/2010 di Kabupaten Buton menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki peserta didik dari tahun ke tahun semakin rendah dan masih berklasifikasi C atau sedang. Peta Kompetensi Mata Pelajaran ekonomi Yang Paling Rendah Dikuasai Siswa Di Kabupaten Buton Rendahnya kemampuan yang diujikan pada UN SMA Kabupaten Buton dapat dilihat pada SMA kelompok IPS mata pelajaran ekonomi di Kabupaten Buton tahun 2007/2008 – 2009/2010.
41
Tabel 2: Pemetaan nilai UN SMA Kabupaten Buton tahun 2009/2010 materi ekonomi ≤ 60,00 KEMAMPUAN YANG DIUJIKAN Menyelesaikan kasus koperasi sekolah Menyelesaikan prilaku kewira usahawan memperluas usaha usaha Memposting kedalam buku besar & buku besar pembantu Menentukan fungsi fungsi manajemen menurut beberapa ahli Membedakan pasar input bedasarkan fungsinya Menyelesaikan kasus-kasus moneter pasca krisis 1997 Menghitung tingkat inflasi Mencatat transaksi perusahaan jasa dalam jurnal umum Menjelaskan peran konsumen & produsen dalam kegiatan ekonomi Menentukan GNP, GDP, PDB, PNB, NNI/PI Mencatat transaksi kedalam jurnal khusus Mengidentifikasi mekanisme penjualan/pembelian produk dari bursa efek Menentukan surplus/deficit/dampak APBN/APBD terhagap kegiatan ekonomi Membandingkan kelebihan dan kekurangan peresoan terbatas dengan perusahaan perorangan Menentukan harga dan out put keseimbangan berdasarkan data dalam bentuk table/fungsi Menjelaskan cara mengatasi permasalahan pokok ekonomi Menjelaskan dampak/pengaruh ekspor/impor barang terhadap perekonomian Sumber : Program PPMP Kemdiknas tahun 2011
42
NILAI UN PER KD ≤ 60,00 Rayon Prov. Nas 58,01 49.18 60.07 55,92 67.71 70.99 53,14 48.29 62.17 51,92 52.06 69.62 48,43 65.93 75.39 46,34 68.37 64.41 43,38 60.99 60.65 43,20 56.67 85.34 42,51 59.76 67.85 38,68 45.36 72.16 32,93 52.28 57.66 31,53 31.65 42.66 31,18
13.69
52.74
28,05
53.86
75.22
21,60
24.64
55.03
2,26 1,05
5.40 3.13
71.33 59.04
perlu diberi penekanan pada materi yang diujikan. Kompetensi yang diujikan kurang dari 60% yang belum dipahami anak yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak . Dengan demikian, data hasil analisis daya serap ini dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi perbaikan proses pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan secara sistematis dan berkelanjutan pada semua peringkat penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan data daya serap mata pelajaran Ekonomi Tahun ajaran 2010 dapat diketahui bahwa dalam kemampuan yang diuji, ditemukan pencapaian kemampuan siswa sangat rendah atau hanya 42,50% soal ekonmi yang memperoleh nilai >60 Sebagai contoh dapat diuraikan disini sebagai berikut. Butir soal No. 21 “Menjelaskan dampak/pengaruh ekspor/impor barang terhadap perekonomian” jawaban yang benar Pada tingkat rayon ( Kabupaten Buton) adalah 1,05% hanya ada 1,05% siswa yang menjawab benar, pada tingkat provinsi 3,13% siswa menjawab benar, dan pada tingkat nasional untuk nomor soal ini 59,04% siswa menjawab benar. Butir soal no. 1 ” menjelaskan cara mengatasi permasalahan pokok ekonom”, jawaban yang benar Pada tingkat rayon ( Kabupaten Buton) hanya 2,26% siswa menjawab benar, pada tingkat provinsi 5,4% siswa menjawab benar, dan pada tingkat nasional untuk nomor soal ini 71,33% siswa menjawab benar.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai UN SMA mata pelajaran Ekonomi Faktor penyebab rendahnya kompetensi yang dimilki peserta didik SMA di Kabupaten Buton tahun ajaran 2007/2008 sampai tahun ajaran 2009/2010 . Faktor Guru: 42,5 % SK/KD yang diajarkan guru kurang dipahami anak, Kurang Memahami materi yang berkaitan dg matematika ekonomi, Kurang memahami materi akuntansi, Materi yang kurang dipahami tidak diajarkan/dilewatkan, cara mengajar monoton dan masih konvensional, Kurang menggunakan media pembelajaran, dan Suka merubah nilai siwa .
Pada kasus ini, siswa tersesat dalam memilih jawaban karena salah memahami konsep yang ditanyakan. Kesalahan memahami konsep antara lain dapat disebabkan karena guru salah menjelaskan konsep tersebut, karena guru kurang memahami kosep dengan baik, sehingga salah menjelaskan konsep tersebut kepada siswa. Berdasarkan informasi ini, guru dan kepala sekolah perlu mengambil langkahlangkah kebijakan lebih sistematis, untuk memperbaiki proses pembelajaran di masa yang akan datang, supaya siswa dapat memperoleh pemahaman yang benar tentang yang kompetensi yang diujikantersebut.
Faktor siswa: Siswa, Motivasi belajar rendah, Tidak mau mengikuti les /remedial, Tidak punya buku, Malas belajar. Faktor Sarana: Buku literatur kurang, 1 buku untuk 3 siswa, Kurangnya sarana belajar di rumah , Alat Praga kurang. Faktor budaya Masyarakat: Motivasi masyarakat rendah, Minat baca kurang, Malas, Nyontek, lebih baik membantu orang tua daripada sekolah.
Informasi lain yang dapat dibaca dalam data daya serap butir soal no. 4,6, 8,10,14,17, 20,21,23, 24, 25, 34, 35, dan 37 juga di bawah 60% siswa menjawab benar sesuai data tabel di atas. . Hal tersebut bahwa baik pada tingkat sekolah, rayon (Kabupaten Buton ) maupun pada tingkat provinsi Sulawesi Tenggara , daya serap siswa hanya berkisar pada 50-an %. Oleh karena itu, baik pada tingkat rayon mapun pada tingkat provinsi, pejabat yang berwenang perlu mengambil langkah-langkah perbaikan. Misalnya, dalam pelatihan guru mata pelajaran
Faktor Manajemen sekolah: Disiplin sekolah lemah, kurangnya kegiatan meningkatkan mutu, Supervisi klinis tidak jalan, MGMP kurang difungsikan dan Pembagian jurusan tidak sesuai bakat dan minat siswa.dan Faktor ekonomi: penghasilan orang tua/keluarga rendah.
43
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil penlitian menunjukan bahwa nilai UN SMA tahun 2007/2008 sampai 2009/2010 untuk Kabupaten Buton menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki peserta didik masih berklasifikasi C atau sedang untuk smata pelajaran ekonomi yang diujikan dalam UN. Mutu UN setiap tahun semakin menurun 2. Faktor penyebab rendahnya kompetensi yang dimilki peserta didik SMA di Kabupaten Buton tahun ajaran 2007/2008 sampai tahun ajaran 2009/2010 adala, serta faktor ekonomi keluarga. 3. Model Peningkatan Mutu Pendidikan Valid dan Siap Diimplementasikan Secara Konkret di Kabupaten Buton Melalui Kegiatan Pengabdian Kepada masyarakat Solusi yang ditawarkan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Meningkatkan pengelolaan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), melalui pembinaan-pembinaan program kerja yang mendukung pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL). b. Meningkatkan monitoring pembelajaran di kelas, dengan penyusunan dan prosedur monitoring dan perangkat monitoring yang diperlukan. c. Meningkatkan kompetensi pedagogik guru, melalui kegiatan worshop pengembangan dan pengemasan perangkat pembelajaran berbasis karakter model PPG ( silabus, RPP, bahan ajar, LKS, LP, media pembelajaran dan instrumen penilaian), agar sesuai standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). Meningkatkan kompetensi guru dalam menguasai materi pembelajaran melalui pelatihan pendalaman materi bidang studi yang mendukung pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL). Meningkatkan mutu pelaksanaan pembelajaran melalui Pelatihan modelmodel pembelajaran.
Edward Sallis. 2006. Total Quality Management In Education (alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi ). Jogjakarta : IRCiSD Eti
Rochaety,dkk.2005 . Sistem Informamsi Manajemen Pendidikan. Jakarta : bumi Aksara
Gage & Berliner, 1992, educational psychology 5 th ed, boston; houghtonmifflin company Horlocki E.B, 1978, psykologi Perkembangan; suatu pendekatan sepanjangtentang kehidupan jakata: erlangga Indra
Djati Sidi.2003. Menuju Belajar. Jakarta : Logos.
Masyarakat
Lalu Sumayang.2003. Manajemen produksi dan Operasi. Jakarta : Salemba Empat Republik Omrod,
Jeanne Ellis, 2006, Educational psychology developing leaners 5 th ed. Upper saddle River, new yersey.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang klede Putra Timur Utami
munandar, 1999 Kreatifitas dan keberbakatan, Jakarta: Gramedia pustaka utama
Sagala,Syaiful.2005.Administrasi Pendidikan Kontemporer.Bandung:Alfabeta ______.2004. Manajemen Berbasis Sekolah &Masyarakat. Bandaung : alfabeta Sudarwan Danim.2007.Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara Sukadji S, 2000 Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah, Jakarta; UI Press. Zamroni. 2007 . Meningkatkan Mutu Sekolah . Jakarta : PSAP Muhamadiyah
44
PENGUJIAN AKURASI ALAT PENGUKUR SUHU DAN KELEMBABAN MENGUNAKAN SENSOR SHT11 DAN MIKROKONTROLER ATMEGA 81 Oleh : Vivi Hastuti2 Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkalibrasi pembuatan alat ukur suhu dan kelembaban, untuk memperoleh alat ukur yang mempunyai presisi yang baik dan tingkat akurasi yang tinggi. Sensor SHT11 terdiri dari polimer kapasitif yang men-sensing unsur untuk bandgap sensor suhu dan sensor kelembatan relatif. Sensor SHT11 dikalibrasi disebuah ruang kelembaban presisi. Koefisien-koefisien kalibrasi diprogram ke dalam memori OTP. Koefisien-koefisien ini digunakan secara internal selama pengukuran untuk mengkalibrasi sinyal dari sensor. Mikrokontroller AVR jenis ATMega8 akan berfungsi sebagai otak yang menjalankan instruksi-instruksi yang tersimpan dalam flash memorinya dengan kapasitas 8 Kbyte. Pembuatan perangkat lunak untuk pembuatan program yang akan dimasukkan kedalam mikrokontroler ATMega8. Program yang akan dimasukkan ke mikrokontroler dikembangkan dengan program BASCOM AVR versi 1.11.7.9 full version, sedangkan untuk proses download program kedalam mikrokontroler digunakan software Pony prog 2000. Pemrograman sistem akan membahas program pengukuran sensor suhu dan kelembaban. Pin DATA sensor SHT11 dihubungkan pada Pin-Cl pada mikrokontroler. Pembacaan sensor yang telah selesai diolah oleh mikrokontroler akan ditampilkan ke LCD. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji-t diperoleh tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran suhu menggunakan sensor SHT11 dan thermometer dan kelembaban mengunakan sensor SHT dan hygrometer. Berdasar pada hasil analisis menggunakan taraf / interval kepercayaan 95% diperoleh tingkat signifikansi 0,000 baik untuk suhu maupun kelembaban. Hasil ini menujukan bahwa hasil pengukuran alat ukur sensor SHT11 dan suhu, sensor SHT11 dan hygrometer tidak ada bedanya dengan interval kepercayaan 95%. Kata Kunci : Sensor SHTII, Mikrokontroler ATMEGA 8, Suhu dan Kelembaban
Pergeseran peralatan dari analog kedigital diantanya disebabkan oleh: 1. kemudahan pembacaan pengukuran 2. skala terkecilnya lebihkecil disbanding analog 3. pengoperasiannya mudah 4. berbagai alat ukur dapat dikemas jadi satu alat ukur sesuai dengan keperluan. Banyaknya peralatan digital yang ada sekarang ini perlu suatu bekal kemampuan untuk memahami. Pemahaman dapat dari segi hardware dan software. Pemahaman keduanya hardware dan softwer akan dapat merancang alat sesuai sang dikehendaki atau dapat mereparasi alat. Dalam kehidupan ini tidak lepas dari pemanfaatan ilmu fisika. Kegiatan dalam aktifitas kehidupan selalu berkaitan dengan variabel fisis. Pengaruh langsung dari variabel
PENDAHULUAN Perkembangan peralatan elektronika pada saat ini sudah cukup pesat. Peralatan rumah tangga, kantor dan alat ukur sudah menggunakan perangkat elektornika. Dalam perkembangan peralatan elektronika semakin mudah pengoprasiannya dan semakin komplek kegunaannya. Khusus untuk alat ukur selalu memaksimalkan akurasi dan presisi alat ukur. Baik alat ukur analog maupun digital selalu memperhatikan akurasi dan presisi dari alat ukur. Walaupun alat ukur digital sudah menunjukan angaka tetap ada keterbatasannya. Penunjukan digit angkan merupakan keterbatasan maksimal yang mampu terbaca alat pada sekala ter besar dan terkecilnya. Berbagai peralatan ukur analog pada saat ini telah diganti dengan peralatan digital. 1 2
Ringkasan hasil Penelitian Dosen Pend. Fisika FKIP Universitas Halu Oleo 45
fisis biasanya berusaha untuk dikendalikan. Berbagai penelitian dilakukan untuk melakukan pengendalian variabel fisis agar sesuai dengan kondisi yang diharapakan. Pengendalian variabel fisis bisa dalam skala lab atau sudah aplikasi dilapangan. Secara kecil-kecilan pengujian ada di lab kemudian diaplikasikan. Namun, untuk mengetahuhi ketepatan suatu perlakuan variabel fisis perlu diuji dilapangan (sesuai kebutuhan) karena bisa jadi variabel lain berpengaru lebih besar dibanding yang dikendalikan. Pengendalian variabel fisis ini tidak lepas dari peralatan. Baik peralatan analob maupun digital dapat digunakan. Perkembangan saat ini lebih banyak ke peralatan digital. Pengendalian variabel fisis ini yang dikendalikan adalah besarnya. Untuk mengetahui besarnya perlu pengukuran dengan alat ukur yang mempunyai akurasi dan presisi yang tinggi. Kualitas alat ukur dapat diketahui dengan melakukan kalibrasi dengan mengunakan alat ukur standar. Pengendalian variable fisis bisa dialakuakan lebih dari satu variabel. Penggunaan mikrokontroler dapat memerintah alat ukur secara otomatis melakukan pengendalian sesuai dengan kondisi yang diharakan. Ketika detektor variabel fisis yang satu menunjukan ambang batas bawah atau tinggi dengan peranan mikrokontroler untuk memerintah peralatanan bekerja mengembalikan kondisi sesuai yang diharapkan. Variabel fisis yang dapat dikendalikan salah satunya suhu dan kelembaban. Perlu pungukuran suhu dan kelembaban untung mengetahui apakah besarnya sesuai yang diinginkan atau tidak. Pengukuran suhu dan kelembaban dapat dilakukan dengan alat yang terpisah atau jadi satu. Penggunaan sensor SHT11 salah satu sensor yang tergabung memjadi satu. Sensor SHT11 saja tidak cukup untuk menampilkan besar dari suhu dan kelembaban. Perlu komponen elektonika yang lain agar sinyal dari sensor dapat ditampilkan. yaitu penambahan rangkaian mikrokontroler dan LCD. Pembuatan alat ukur suhu dan kelembaban dapat dibuat sendiri tanpa harus dibuat oleh pabrik. Pembuatan alat ukur suhu dan kelembaban perlu dikalibrasi dan diuji akurasi dan presisinya. Pada penelitian ini akan
melakukan pengujian akurasi dari alat ukur suhu dan kelembaban yang menggunakan sensar SHT11 dan mikrokonroler ATMEGA 8.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakan masalah diangkat suatu permasalah penelitian yaitu: apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara alat ukur suhu dan kelembapan dengan alat ukur sekunder suhu dan kelembaban. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkalibrasi pembuatan alat ukur suhu dan kelembaban, untuk memperoleh alat ukur yang mempunyai presisi yang baik dan tingkat akurasi yang tinggi. TINJAUAN PUSTAKA Sensor Suhu Dan Kelembaban SHTll SHT11 adalah suatu modul chip multi sensor suhu dan kelembaban relatif yang menghasilkan keluaran digital yang terkalibrasi. Sensor ini handal dan stabil, berupa polimer kapasitif yang men-sensing unsur untuk bandgap sensor suhu dan kelembaban relatif. Kedua sifatnya digabungkan tanpa lapisan dari 14bit analog pada konverter digital dan suatu rangkaian antarmuka serial pada chip yang sama. Sensor ini menggunakan antarmuka serial 2-wire dan regulasi tegangan internal, sehingga memudahkan dan mempercepat integrasi sistem. Sensor ini berukuran yang kecil dan konsumsi dayanya rendah, sehingga banyak dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi.. Berikut merupakan gambar blok diagram dari SHT11.
46
kenaikan dari serial clock SCK. Selama transmisi, garis DATA harus tetap stabil saat SCK pada kondisi high. Untuk menghindari kekacauan sinyal, mikrokontroller hanya perlu pengarah DATA low. Sebuah resistor pull-up eksternal (contoh 10 kohm) diwajibkan untuk menarik sinyal high. (Lihat Gambar 2.12) Resistor pull-up biasanya sudah termasuk dalam rangkaian I/O dari mikrokontrollers. 3) Pengiriman Perintah Untuk memulai suatu transmisi, sekuensial "Transmission Start" harus dikeluarkan, yang terdiri dari suatu penurunan garis DATA saat SCK dalam keadaan high (berlogika 1), kemudian diikuti oleh suatu pulsa rendah (berlogika 0) di SCK dan mengangkat DATA kembali saat SCK masih dalam keadaan high (berlogika 1). Perintah berikutnya terdiri dari 3 bit alamat (bit "000") dan 5 bit perintah. SHT11 menunjukkan penerimaan yang tepat dari setiap perintah dengan menarik pin DATA low (ACK bit) setelah penurunan dari clock SCK ke-8. Garis DATA dilepaskan (dan menjadi high) setelah penurunan dari clock SCK ke-9.
Gambar 1. Blok Diagram Sensor SHT11
Spesifikasi Antarmuka
Gambar 2.
Rangkaian aplikasi sensor dengan mikrokontroler
a. Pin Daya SHT11 membutuhkan tegangan antara 2,4 hingga 5,5 V. Setelah hidup alat ini membutuhkan waktu ll ms untuk mencapai kondisi "tidur". Tidak ada perintah yang harus dikirim sebelum waktu itu. Pin power suply (VDD, GND) dapat dipasang dengan suatu kapasitor l00 nF. b. Antarmuka Serial 2-wire (Dwiarah) Antarmuka serial dari SHT11 dioptimalkan untuk keluaran sensor dan konsumsi daya, SHTl1 tidak kompatibel dengan antarmuka 12C.
Tabel 1. Daftar perintah SHT ll Command Code Reserved 0000x Measure Temperature 00011 Measure Humidity 00101 Read Status Register 00111 Write Status Register 00110 Reserved 0101x-1110x Soft reset, resets the interface, clears the status register to default values, 11110 wait minimum 11 ms before next command
1) Serial Clock Input (SCK) SCK digunakan untuk mensinkronkan komunikasi antara mikrokontroller dan SHT11. Karena alat penghubung ini terdiri dari logika static sepenuhnya, maka tidak ada frekuensi SCK yang minimum.
4) Urutan Pengukuran Suhu dan Kelembaban (T dan RH) Setelah mengeluarkan perintah pengukuran ('00000101' untuk RH dan '00000011' untuk Suhu) mikrokontroler harus menunggu untuk penyelesaian pengukuran. Hal ini membutuhkan rata-rata 11/55/210 ms untuk
2) Data Serial (DATA) Pin DATA tristate digunakan untuk transfer data masuk dan keluar dari alat. DATA berubah setelah penurunan dan berlaku pada 47
pengukuran 8/12/14 bit. Ketepatan waktu bervariasi hingga :1:15% dari kecepatan osilator internal. Untuk penyelesaian sinyal dari sebuah pengukuran, SHTll menurunkan garis data dan masuk pada mode idle. Mikrokontroler harus menunggu hingga sinyal "data ready" sebelum SCK memulai kembali untuk mengeluarkan data. Pengukuran data disimpan hingga dikeluarkan kembal. Selanjutnya, mikrokontroler dapat melanjutkan tugastugas berikutnya. Dua byte dari pengukuran dan satu byte dari CRC checksum yang kemudian akan dikirimkan. Mikrokontroler harus menjawab tiap byte dengan menarik garis DATA menjadi low. Semua nilai-nilai pertama adalah MSB (Contohnya SCK kelima adalah MSB untuk nilai 12bit dan untuk hasil 8bit, byte pertama tidak dipergunakan). Komunikasi berakhir setelah menjawab bit dari CRC data. Jika CRC - 8 checksum tidak digunakan, maka pengontrol akan mengakhiri komunikasi setelah pengukuran data LSB dengan menyimpan ACK high. Alat secara otomatis kembali pada mode "sleep" setelah pengukuran dan komunikasi telah berakhir. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:
dibawahnya. Secara umum model LCD dot matrix yang dapat menampilkan 2 x 16 karakter dapat dilihat pada Gambar 4
Gambar 4. LCD Seiko M1632 Standar pin LCD dot matrix Seiko M1632 beserta fungsinya dijelaskan pada Tabel 2.7. Pin 15 hanya dimiliki tipe khusus yang digunakan untuk mengatur sorot cahaya dari dalam LCD (background light). Tabel 2. Fungsi pin-pin LCD PIN
Nama
1 2 3 4
Vss Vcc VEE RS
5
R/W
6
E
7-14
DB7DB0 BPL GND
15 16
Fungsi Ground +5V Contrast Register Select 0 = instruction Register (mode instruksi); 1 = Data Register (mode Data) Read/Write 0 = mode tulis (Write); 1 = mode baca (Read) Enable 0 = mulai mengunci data ke LCD; 1 = disable Jalur data MSB-LSB Black Plane Light Ground voltage
Arsitektur ATMega8 Mikrokontroler ini adalah generasi AVR (Alf and Vegard’s Risc Processor) dari keluarga ATMega yang memiliki fasilitas lengkap dengan arsitektur RICS (Reduced Instruction Set Computing) 8 bit yang berdaya rendah (lowpower), dimana semua instruksi dikemas dalam kode 16-bit (16-bit word) dan sebagian dieksekusi dalam 1 (satu) siklus clock.
Gambar 3. Contoh urutan pengukuran untuk nilai "0000'1001 '0011 '000' =2353=75.79%RH Liquid Crystaldisplay (LCD) SEIKO M1632 Seiko M1632 merupakan LCD dot matrix yang dapat menampilkan 16 karakter pada baris atas dan 16 karakter pada baris 48
METODE PENELITIAN Perancangan Perangkat Keras (Hardware) Modul sensor suhu dan kelembaban SHT11
Catu 5V
Gambar 5. pin ATMega8
Gambar 6.
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan secara fungsional konfigurasi pin ATMega8 sebagai berikut : 1. VCC merupakan pin yang berfungsi sebagai pin masukan catu daya 2. GND merupakan pin ground 3. port B (PB0…PB7)/xtal1/xtal2/tosc1/tosc2 merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus, yautu timer/counter, konparator analog. Tergantung pada penggabungan seting pilihan clock, PB6 dapat digunakan sebagai input ke penguat osilasi inversi dan input ke internal clock, PB7 dapat digunakan sebagai output penguat osilasi inversi. 4. port C (PC0…PC5) merupakan pin I/O dua arah dan pin masukan ADC 5. port D (PD0…PD7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus, yaitu komparator analog, interupsi eksternal, dan komunikasi serial 6. reset merupakan pin yang digunakan untuk me reset mikrokontroler 7. PortC6/Reset, jika RSTDISBL diprogram, PC6 digunakan sebagai pin I/O. 8. XTAL1 dan XTAL2 merupakan pin masukan clok eksternal 9. AVCC merupakan pin masukan tegangan untuk ADC, portC (3..0), dan ADC (7..6). Note; prtC (5..4) menggunakan suplai tegangan digital VCC. 10. AREF merupakan pin masukan tegangan referensi ADC
Daya
Mikrokontrol er AVR ATMega 8 Display LCD Seiko M1632
Blok diagram rancangan system control suhu dan kelembaban
a. Developmen Stystem AVR ATMEGA8 Mikrokontroller AVR jenis ATMega8 akan berfungsi sebagai otak yang menjalankan instruksi-instruksi yang tersimpan dalam flash memorinya dengan kapasitas 8 Kbyte. Kornponen pendukung agar mikrokontroller bekerja dengan baik maka digunakan juga kristal dengan kapasitor keramik yang berfungsi sebagai pembangkit frekuensi (clock generator) dengan frekuensi 11.0592 MHz dan kaprsitor 22 pF. Pada pin 20 dan 21 yaitu AVCC dan AREF tidak dihubungkan ( Not Connected) karena sensor yang digunakan mempunyai keluaran digital, sehingga ADC internal yang ada pada mikrokontroller tidak dipergunakan. b. Modul Sensor Suhu Dan Kelembaban SHT11 Sensor SHT11 terdiri dari polimer kapasitif yang men-sensing unsur untuk bandgap sensor suhu dan sensor kelembatan relatif. Sensor SHT11 dikalibrasi disebuah ruang kelembaban presisi. Koefisien-koefisien kalibrasi diprogram ke dalam memori OTP. Koefisienkoefisien ini digunakan secara internal selama pengukuran untuk mengkalibrasi sinyal dari sensor. Modul sensor suhu dan kelembaban SHT11 dari Parallax, terdiri dari resistor pull-up dan resistor pull-down sebagai proteksi. Hal tersebut dikarenakan sensor SHT11 dapat berpotensi menjadi output pada saat yang bersamaan dan pada saat yang berlawanan. Resistor pull-up dibutuhkan pada garis sinyal data, yang mana kolektor terbuka dan dapat dinyatakan oleh salah satu yaitu dari 49
mikrokontroler atau sensor SHT11. Untuk mikrokontroler AVR ATMega8 dapat menggunakan resistor pull-up internal dengan cara men-seing port-C menjadi high. Resistor pull-down direkomendasikan pada garis sinyal Clock. Pin DATA sensor SHT11 dihubungkan pada PinCl pada mikrokontroler sedangkan pin Clock dihubungkan pada Pin-C0. Sensor SHT11 membutuhkan catu daya 5 Volt.
dan memberikan clock pada pin SCK sebanyak 9 kali atau lebih. Reset sensor cukup dilakukan satu kali pada saat memulai program. a. Program Pengukuran Sensor Suhu dan Kelembaban Sebelum melakukan pengukuran suhu dan kelembaban maka terlebih dahulu harus ditentukan resolusi bit pengukuran sensor. Pada program ini resolusi bit dipilih 14 bit untuk suhu dan 12 bit untuk kelembaban, yang merupakan default dari resolusi pengukuran sensor SHT11. Perintah “mulai” dikirim untuk memulai program pengukuran suhu. Untuk pengukuran suhu maka akan dikirim perintah ‘00000011’, pada pin DATA sensor. Pengukuran suhu dengan resolusi 14bit membutuhkan waktu 210 ms hingga pengukuran selesai. Untuk penyelesaian sinyal dari sebuah pengukuran, SHT11 menurunkan garis DATA dan masuk pada mode idle. Mikrokontroler harus menunggu sinyal “data ready” sebelum SCK memulai kembali untuk mengeluarkan data, selanjutnya data diterima dari sensor. Dua byte dari pengukuran, yaitu nilai MSB dan LSB dan satu byte dari CRC checksum yang kemudian akan dikirim. Mikrokontroler harus menjawab tiap byte dengan menarik garis DATA menjadi low, setelah itu dua byte hasil pengukuran data diolah pada rumus perhitungan suhu.
Gambar 7. Rangkaian modul SHT11 c. Modul LCD M1632 Pembacaan sensor yang telah selesai diolah oleh mikrokontroler akan ditampilkan ke LCD. Data dikirim melalui port D ke pin-pin data LCD, namun sebelumnya LCD harus diinisialisasi dengan instruksi tertentu terutama instruksi untuk menentukan lokasi penampil karakter. Pada perancangannya LCD yang dipakai menggunakan metode antarmuka 4 bit. Berikut merupakan koneksi pin LCD dengan mikrokontroler. Pada mode 4 bit, kondisi RS berlogika 0 menunjukkan proses penulisan data akan dikirim. Nible tinggi (bit 7 sampai bit 4) terlebih dahulu dikirimkan diawali pulsa logika 1 pada pin E. selanjutnya nible rendah (bit 3 sampai bit 0) dikirimkan diawali pulsa logika 1 pada pin E.
Suhu (T0C) = d1 + d2*SOT Selanjutnya pengukuran kelembaban dimulai dengan mengirimkan perintah “mulai” yang disusul dengan perintah untuk mengukur kelembaban yaitu ‘00000101’. Pengukuran kelembaban dengan resolusi 12bit membutuhkan waktu 55 ms hingga pengukuran selesai. Selanjutnya penerimaan data pada pengukuran kelembaban sama dengan penerimaan data untuk pengukuran suhu, hanya saja data hasil pengukurannya berbeda. Hasil pengukuran data kemudian diolah pada rumus perhitungan kelembaban.
Perancangan Perangkat Lunak (Software) Pembuatan perangkat lunak berupa program yang akan dimasukkan kedalam mikrokontroler ATMega8. Program ini dikembangkan dengan program BASCOM AVR versi 1.11.7.9 full version, sedangkan untuk proses download program kedalam mikrokontroler digunakan software Pony prog 2000. Pemrograman sistem akan membahas program pengukuran sensor suhu dan kelembaban. Komunikasi dua arah antara sensor dan mikrokontroler harus terlebih dahulu direset, dengan memberikan sinyal high pada pin DATA
RHlinier = c1 + c2*SORH + c3*SORH2 RHtrue = (T0C-25)*(t1 + t2*SORH) + RHlinier Hasil pengolahan rumus ditampilkan pada LCD. Sebelum menuju pada program 50
selanjutnya, diberi delay sekitar 500 ms. Berikut diagram alir pengukuran suhu dan kelembaban. b.
Diagram alir kelembaban
pengukuran
suhu
Mulai
dan
Start C1 = -4 C2 = 0.0405 C3 = -0.0000028 T1 = .01 T2 = .00008 Ddrb =225 Portb = 0 Ddra = $B11111111
Konfigurasi Tipe data variabel
konfigurasi pin output
Kirim sinyal start
Kirim sinyal acknowledge
Kirim data akses sensor
konfigurasi pin input
konfigurasi pin input
Ambil data dari sensor & salin ke databyte
Kirim sinyal klok Penunda
konfigurasi pin output
Kirim sinyal acknowledge
Selesai
Geser ke kiri 8X nilai datavalue
Tunda 10 mikrosekon Tidak
Data di terima semua oleh sensor ?
Cursor LCD Off Clear Screen LCD
Ambil data dari sensor & salin ke databyte
Datavalue = Datavalue Or databyte
Dataword = Datavalue
Ya
Ambil data dari sensor & salin ke databyte
Tampilan Pada LCD
Salin databyte ke datavalue
konfigurasi pin output
Kirim sinyal acknowledge konfigurasi pin input
Reset komunikasi 2 arah
Gambar 10. Diagram alir sub rutin pengukuran suhu dan kelembaban
Gambar 8. Diagram alir awal program pengukuran suhu dan kelembaban
c. Implementasi Rangkaian Berikut ini implementasi rangkaian mikrokontroler mrngunakan ATMEGA 8:
Mulai
Konfigurasi Register & Clock Konfigurasi Lcd & pin Lcd
Konfigurasi Tipe data variabel
Konfigurasi data konstan
Tampilkan di baris atas
Subrutin akses sensor Kelembaban
Kalkulasi hasil pembacaan data
Inisialisasi Port Konversi karakter numerik ke string Deklarasi prosedur Tampilkan di baris atas
Gambar 11. Rangkaian Mikrokontroler
Reset sensor
Penulisan Program
Subrutin akses sensor suhu
Program yang dimasukkan ke mikrokontroler ditulis dalam bahasa basic dengan menggunakan editor BASCOM AVR versi 1.11.7.9 full version. BASCOM AVR adalah program BASIC compiler berbasis window untuk mikrokontroler keluarga AVR. BASCOM AVR merupakan pemrograman dengan bahasa tingkat tinggi BASIC yang dikembangkan dan dikeluarkan oleh MCS Electronic. Penggunaan bahasa tingkat tinggi BASIC memberikan bagi programmer untuk melakukan pemrograman juga dilengkapi dengan
Kalkulasi hasil pembacaan data
Konversi karakter numerik ke string
Gambar
9.
Diagram alir utama program pengukuran suhu dan kelembaban
51
simulator yang memudahkan mensimulasikan hasil pemrograman.
pengguna
pengukuran temperature thermometer (lanjutan)
Gambar 12. Tampilan program BASCOM AVR Sebelum penulisan program dimulai.
menggunakan
Pembacaan ADC Mikrokontroler
Pembacaan Termometer
33.91 33.70 33.54 33.34 33.17 33.04 32.86 32.70 32.60
33 32 32 32 32 32 32 32 31
Look up table dari pembacaan (lanjutan).
Gambar 13. Konfigurasi chip pada BASCOM AVR options HASIL DAN PEMBAHASAN Data Hasil Pengujian Pengukuran Suhu dan Kelembaban Tabel 3. Look up table dari pembacaan oleh ADC mikrokontrler dan pengukuran temperature menggunakan thermometer. Pembacaan ADC Mikrokontroler
Pembacaan Termometer
49.72 47.56 45.72 44.05 42.72 41.61 40.60 39.77 39.05 38.35 37.79 37.32 36.84 36.42 36.03
45 43 42 40 39 38 37 37 36 36 36 35 35 34 34
Pembacaan ADC mikrokontroler
Pembacaan Termometer
(1) 49.15 46.52 45.00 43.64 42.55 41.79 40.84 39.92 39.40 38.85 38.35 37.85 37.42 36.90 36.65 36.33 36.02 35.76 35.50 35.26 35.00 34.82 34.63 34.46 34.27 34.13 33.97 33.83 33.70
(2) 48 42 40 39 38 37 36 36 36 35 35 34 34 34 34 34 33 33 33 33 33 33 32 32 32 32 32 32 32
Tabel 5. Look up table dari pembacaan oleh ADC mikrokontrler dan pengukuran kelembaban mennggunakan hygrometer
Tabel 4. Look Tabel IV.1 Look up table dari pembacaan oleh ADC mikrokontrler dan 52
Pembacaan ADC Mikrokontroler 29.93 32.02 34.30 36.28 37.96 39.70 41.16 42.68 43.78 44.88 45.88 46.68 47.54 48.36 49.05 49.65 50.21 50.54 51.10 51.56 51.96 52.36
Pembacaan Hygrometer 43 43 44 44 45 46 46 47 47 49 50 50 51 52 52 53 54 54 54 55 56 56
Pembacaan ADC mikrokontroler 42.37 43.25 44.09 44.87 45.54 46.15 46.88 47.42 47.88 48.33 48.76 49.13 Pengolahan Data
Pengolahan data dari hasil pengujian alat ukur dengan menggunakan uji t. Hasil pengujian sebagaimana pada lampiran 1. Selain itu untuk pengujian presisi dan tingkat akurasi alat ukur suhu dan kelembaban yaitu dengan menggunakan kaleidaGraf. Grafik hubungan antara suhu, dan kelembaban pada akibat penyetelan sistem kontrol dan suhu serta kelembaban akibat pembacaan pada thermometer serta higrometer.
Tabel 6. Look up table dari pembacaan oleh ADC mikrokontrler dan pengukuran kelembaban mennggunakan hygrometer (lanjutan). Pembacaan ADC Mikrokontroler 52.78 53.08 53.45 53.75 54.05 54.35 54.59 54.82 55.00
Pembacaan Hygrometer 51.5 52 53 53.5 54 54.5 55 55.5 56 56 56.5 56.5
Pembacaan Hygrometer 56 57 57 58 58 58 59 59 59
Tabel 7. Look up table dari pembacaan oleh ADC mikrokontrler dan pengukuran kelembaban mennggunakan hygrometer (lanjutan). Pembacaan ADC mikrokontroler 29.75 32.96 34.61 36.35 37.90 39.01 40.31 41.36
Pembacaan Hygrometer 47 48 48 48.5 49 49.5 50.5 51
Grafik 1.
53
hubungan antara temperatur dan waktu
mengumpul membentuk garis dapat dikatakan hasil ukurnya akurat atau mendekati nilai sebenarnya. Pada grafik IV.1 time respon sensor SHT dan termometer sama pada suhi yang tinggi yaitu sekitar 50 0C. Hal ini menunjukan kedua alat ukur akan sama-sama segera merespon sinyal yang ada. Pada suhu rendah sensor SHT 11 lebih cepat merespon yang ditukjukan dengan data yang segera berubah ketika ada perubahan suhu. Grafik hubungan antara kelembaban dan waktu ditunjukan pada grafik IV.2. Perbandingan time respon antara sensor SHT11 dan hygrometer lebih baik sensor SHT11. Hal ini ditunjukan data yangdiperoleh segera berubah jika ada perubahan kelembaban. Grafik yang ditunjukan oleh sensor SHT11 lebih cenderung membentuk garis yang lebih mengumpul membentuk garis. Bentuk grafik yang cenderung lebih membentuk garis juga menunjukan hasil ukurnya lebih akurat.
Grafik 2. hubungan antara kelembaban dan waktu PEMBAHASAN Data yang diperoleh untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan dari kedua alat ukur sensor SHT11 dan termoeter untuk suhu, dan sensor SHT11 dan hygrometer dilakukan uji t. hasli uji t ditunjukan pada lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji-t diperoleh tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran suhu menggunakan sensor SHT11 dan thermometer dan kelembaban mengunakan sensor SHT dan hygrometer. Berdasar pada hasil analisis menggunakan taraf / interval kepercayaan 95% diperoleh tingkat signifikansi 0,000 baik untuk suhu maupun kelembaban. Hasil ini menujukan bahwa hasil pengukuran alat ukur sensor SHT11 dan suhu, sensor SHT11 dan hygrometer tidak ada bedanya dengan interval kepercayaan 95%. Grafik 1V.1 menunjukan hubungan antara temperatur dan waktu dengan alat ukur sensor SHT11 dan termometer. Grafik ini menunjuk respon sensor dan termometer terhadap sinyal. Respon sensor SHT11 lebih baik dibandingkan dengan termometer . Hal ini dapat ditunjukan dengan kehalusan grafik/ titik-titik cenderung mengumpul menbentuk garis. Semakin titik-titik mengumpul menbentuk garis menunjukan bahwa simpangan titik-titik data dari nilai sesungguhnya adalah kecil. Grafik yang sudah titik-titiknya
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data dengan menggunakan uji t tidak ada perbedaan yang signifikan antara sensor SHT11 dan thermometer, serta hasil ukur antara sensor SHT11 dengan hygrometer. DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2008), Temperature and Hummidity Sensor SHT1x, http://www.sensirion.com, Akses tanggal 30 April 2008 Anonim, (2008), Atmel 8bit AVR Mocrocontroler with 8K Bytes in System Programmable Flash ATMega8, http://www.mcselectronic.com, Akses tanggal 30 April 2008 Rahmana D R, (2007), Prototipe Sistem Kendali Suhu dan Kelembaban pada Growth Chamber, Skripsi Jurusan Fisika UGM Wardhana L, (2006), Belajar Sendiri Mikrokontroler AVR Seri ATMega8535, Penerbit Andi, Yogyakarta
54
ANALISIS NILAI UJIAN NASIONAL MATAPELAJARAN KIMIA DAN IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA NILAI UN KIMIA DI KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 20101 Penelitian Pemetaan dan pengembangan Mutu Pendidikan Sultra (PPMP) tahun 2011.
Oleh: La Rudi2 Abstrak. Perolehan Nilai Ujian nasional matapelajaran Kimia SMAN di Kabupaten Konawe Selatan untuk tahun 2008 s.d 2010 cenderung menurun baik rentang perolehan nilai maupun nilai rata-rata, dimana tahun 2008 yang memperoleh rentang nilai 9.00 -10 sebanyak 14,3%, tahun 2009 sebanyak 57,16% dan pada tahun 2010 tidak ada yang mendapat nilai > 9. Sama halnya dengan rentang nilai 8.00 - 8,99 persentase jumlah siswa juga menurun. Persentase yang meningkat adalah yang mendapaatkan nilai < 6. Pada tahun ajaran 2009, tidak ada ssiswa yang mendapat nilai < 6, namun pada tahun 2010, jumlah siswa yang mendapat nilai < 6 sebanyak 14,1%. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi menurunya nilai UN matapelajaran Kimia berdasarkan hasil penelitian melalui FGD diantaranya adalah sebagian guru matapelajaran kimia kurang memperhatikan ketuntasan belajar siswa, materi yang susah dipahami siswa tidak diperdalam pembahasanya, guru dalam mengajar umumnya menggunakan metode ceramah dan latihan soal, minat siswa dalam belajar rendah, sangat sedikit siswa yang mau bertanya pada saat pembelajaran, terbatasnya fasilitas laboratorium sehingga kegiatan praktikum yang dapat meningkatkan minat siswa tidak terlaksana serta terbatasnya buku paket yang dimiliki oleh siswa. Kata Kunci:
Nilai UN Kimia Konsel, Faktor penyebab rendahnya UN Kimia, FGD.
pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Latar Belakang Hakikat kegiatan evaluasi di dunia pendidikan (khususnya di sekolah) adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan pelajaran yang (dirumuskan) ingin dicapai oleh seorang pengajar dapat tercapai. Hal tersebut bermanfaat sebagai in-put kepada pendidik dalam merancang menu pelajaran berikutnya. Jika peserta didik belum memahami atau belum menguasai pelajaran awal maka pengajar tersebut belum dapat melanjutkan ke materi pelajaran selanjutnya. Ia juga perlu melakukan refleksi tentang apa yang kurang atau yang salah dari proses pembelajaran yang sudah ia lakukan kepada para pelajar tersebut. Undang-Undang No. 20/2003 Pasal 57 (1): evaluasi dilakukan dalam rangka 1 2
(2) : Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Pasal 58 (1): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Tujuan evaluasi adalah untuk Menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
Ringkasan hasil Penelitian Tahun 2011 Dosen Pend. Kimia FKIP Universitas Halu Oleo 55
Dalam perspektif pendidikan transformative, maka hakikat evaluasi adalah untuk mengukur sejauh mana seorang pengajar mampu mengubah wawasan, pengetahuan, keterampilan dan perilaku peserta didik sesuai yang ia harapkan. Untuk melakukan perubahan tersebut, seorang pengajar melakukan dan menggunkan berbagai trik, alat/tools, media, strategi, pendekatan, dan metode. Ruang lingkup, ritme dan tempo perubahan yang terjadi pada peserta belajar antara lain ditentukan oleh faktorfaktor tersebut (trik, alat/tools, media, strategi, pendekatan, dan metode yang digunakan). Oleh karena itu, kegiatan evaluasi sesungguhnya adalah proses yang diperuntukkan kepada para tenaga pengajar/guru/pendidik bahkan kepala sekolah, bukan sebaliknya untuk pelajar/anak sekolah. Jika hasil evaluasi menunjukkan hasil belajar yang rendah, itu merupakan masukan kepada para guru untuk merancang trik, metode, dan pendekatan yang berbeda (baru) dalam memberikan pelajaran, bukan lalu menghukum atau menyalahkan siswa atau murid.
tingkat penguasaan materi kimia masih rendah dan setiap tahunnya nilai yang diperoleh siswa berfluktuatif. Dari data tersebut diatas, maka dilakukan analisis pemetaan dan identifikasi faktor-faktor penyebab menurunnya nilai UN Kimia tahun 2010 di Kabupaten Konawe Selatan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Gambaran pemetaan kompetensi dasar matapelajaran Kimia siswa SMA di kabupaten Konawe dalam UN tahun 2008 s.d tahun 2010. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai UN Kimia dalam UN tahun 2010 di Kabupaten Konawe Selatan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk : 1. Menghasilkan suatu dokumen untuk mengidentifikasi penyebab rendahnya nilai matapelajaran kimia 2. Memberikan acuan untuk pengembangan suatu kaji tindak lanjut berdasarkan temuantemuan dari penelitian ini bagi pihak yang peduli, khususnya bagi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo sebagai salah satu LTPK yang ikut bertanggung jawab dengan mutu pendidikan di wilayah Sulawesi Tenggara. 3. Meningkatkan rasa ikut bertanggungjawab kepada tenaga pendidik dan dinas pendidikan, sehingga upaya meningkatkan kompetensi siswa dapat dioptimalkan oleh seluruh stake holder, utamanya yang berhubungan secara langsung dengan proses pembelajaran.
Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi siswa secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian ini bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta sebagai penentuan kelulusan siswa. Salah satu matapelajaran yang diujikan secara nasional adalah matapelajaran kimia. Berdasarkan data Nilai UN Murni dalam kurun waktu pada tahun 2009 s.d tahun 2010 yang diperoleh dari Data Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011, nilai UN Kimia di Kabupaten Konawe Selatan cenderung menurun, dimana tahun 2009 tidak ada siswa yang mendapat nilai < 6 dengan perolehan nilai tertinggi adalah 9,35. Namun pada tahun 2010 siswa yang mendapat nilai terendah adalah 2 dan yang tertinggi 8,31. Hal ini diperkuat juga dari hasil diskusi dengan beberapa guru matapelajaran kimia di kabupaten konawe selatan, didapatkan informasi bahwa
TINJAUAN PUSTAKA Mutu Pendidikan Dalam dunia pendidikan, mutu adalah agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang paling penting. Para pakar pendidikan memiliki kesimpulan yang berbeda tentang bagaimana cara menciptakan lembaga pendidikan yang bermutu dengan baik. Menurut Depdiknas, (2002) Mutu secara umum di definisikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari 56
barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang di harapkan. Dalam defenisi yang absolut, sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari istandar yang sangat tinggi dan tidak dapat diungguli. Sedangkan mutu yang relatif dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Untuk itu dalam defenisi relatif ini produk atau layanan akan dianggap bermutu, bukan karena ia mahal dan eksklusif, tetapi ia memiliki nilai misalnya keaslian produk, wajar dan familiar. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olahraga, seni atau keterampilan tambahan tertentu, misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible), seperti: suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi, agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya: NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah, baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstrakurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan
dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Sedangkan dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, maka pencapaian standar proses untuk meningkatkan mutu pendidikan dimulai dari menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pendidikan tersebut. Terdapat banyak faktor penentu mutu pendidikan yang dikemukakan oleh Sanjaya (2006) meliputi: a) Tujuan Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran. b) Guru Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan strategi pembelajaran. Dunkin (1974) mengemukakan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru diantaranya: (1) Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka; (2) Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru misalnya pengalaman latihan profesional, tingkatan pendidikan, pengalaman jabatan; dan (3) Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru misalnya, kemampuan atau intelegensi guru, motivasi dan kemampuan dalam penguasaan materi. c) Anak Didik (siswa) Menurut Dunkin (1974), faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi : (1) Latar belakang siswa (pupil formative experience);
57
dan (2) Sifat yang dimiliki siswa (pupil properties).
kegiatan inti yang meliputi: pengkajian mutu, analisis dan pelaporan, serta peningkatan mutu. Sebagai acuan atau tolok ukur mutu pendidikan adalah Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1) Standar Isi; (2) Standar Kompetensi Lulusan; (3) Standar Penilaian; (4) Standar Proses; (5) Standar Pengelolaan; (6) Standar Sarana dan Prasarana; (7) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan (8) Standar Pembiayaan. Sehingga diharapkan dokumen delapan standar nasional pendidikan ini menjadi dokumen wajib bagi setiap sekolah untuk dimiliki, dikaji, dianalisis dan diimplementasikan di sekolah masing-masing.
d) Sarana dan prasarana Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. e) Kegiatan pembelajaran Pola umum kegiatan pembelajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dan anak didik dengan bahan sebagai perantaranya.
Kompetensi siswa Kompetensi adalah kemampuan yang harus dikuasai seseorang. Becker, (1977) dan Gordon, (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam dokumen kurikulum (Boediono, 2000:4) mengemukakan bahwa kemampuan dasar diartikan sebagai uraian kemampuan atas bahan dan lingkup ajar secara maju dan berkelanjutan seiring dengan perjalanan siswa untuk menjadi mahir dalam bahan dan lingkup ajar yang bersangkutan. Bahan ajar itu sendiri dapat berupa : lahan ajar, gugus isi, proses, dan pengertian konsep”. Kemudian, dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi yang diterbitkan bulan Agustus 2001, Balitbang mengganti istilah kemampuan dasar dengan kompetensi. Kompetensi dirumuskan sebagai berikut: “kompetensi dasar merupakan uraian kemampuan yang memadai atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai materi pokok. Kemampuan itu harus dikembangkan secara maju dan berkelanjutan seiring dengan perkembangan siswa”. Selanjutnya dikemukakan “dalam kurikulum berbasis kompetensi, metode, penilaian, sarana dan alokasi waktu yang digunakan tidak dicantumkan agar guru dapat mengembangkan kurikulum secara optimal berdasarkan kompetensi yang harus diicapai dan disesuaikan dengan kondisi setempat.” (Balitbang, 2001). Pengertian kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Dalam pengertian ini berbagai definisi
f) Lingkungan Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran yaitu: (1) Faktor organisasi kelas, yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang bisa mempengaruhi proses pembelajaran dan (2) Faktor iklim sosial– psikologis meliputi keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. g) Bahan dan alat evaluasi Bahan dan alat evaluasi adalah suatu bahan dan alat yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. h) Suasana evaluasi Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan di dalam kelas. Semua anak didik dibagi menurut kelas masing-masing dan tingkatan masing-masing. Besar kecilnya jumlah anak didik yang dikumpulkan di dalam kelas akan mempengaruhi suasana kelas sekaligus mempengaruhi suasana evaluasi yang dilaksanakan. Lebih lanjut, komitmen pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan telah dituangkan dalam Permendiknas Nomor 63 tahun 2009 berupa suatu model sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). Dalam implementasinya model ini terdiri dari 3 (tiga) 58
telah dikemukakan orang. Selanjutnya, Tucker dan Coding, (1998) standar dirumuskan sebagai pernyataan mengenai kualitas yang harus dikuasai dan dapat dilakukan siswa dalam suatu pelajaran, yang ditentukan sejak awal, disetujui oleh para akhli pendidikan dan masyarakat, terukur, dan digunakan untuk mengembangkan materi, proses belajar serta evaluasi hasil belajar. Sehubungan dengan kompetensi seorang siswa, pemerintah telah menyatakan merumuskan standar kompetensi lulusan (SKL) yang merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap pengetahuan dan keterampilan (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab I Pasal 1 butir 4). Komponen SKL terdiri atas SKL Satuan Pendidikan, SKL Kelompok Mata Pelajaran' dan SKL Mata Pelajaran (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006). Sedangkan SKL Ujian merupakan representasi dari keseluruhan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran; Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006' pasal 1 ayat 1). Dalam proses memberikan analisis SKL dijelaskan sebagai berikut: Analisis substansi SKL dan hubungannya dengan Standar Isi untuk pengembangan KTSP' Silabus dan RPP; Analisis Pemetaan Pencapaian SKL untuk membandingkan antara kondisi ideal dan kondisi riil SMA dalam mencapai pemenuhan Standar Kompetensi Lulusan' dilanjutkan dengan identifikasi kesenjangan dan perumusan rencana tindak lanjut yang harus dilakukan oleh sekolah. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan dalam penyusunan rencana jangka menengah (RKJM 4 tahunan) dan rencana kerja dan anggaran sekolah (RKAS - tahunan).
rendahnya nilai ujian nasional matapelajaran kimia melalui kegiatan focus group discussion (FGD), Indepth interview, observasi kelas, wawancara dan observasi kompetensi guru, analisis dokumen pendukung, dan kegiatan lain yang mendukung tercapainya tujuan penelitian. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 dan Bulan November 2012 di wilayah kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe Selatan pada sekolah yang dijadikan sampel. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data sekunder, yaitu hasil UN tahun 2008, 2009, dan 2010 pada sekolah rayon di Kabupaten Konawe Selatan pada sekolah yang dijadikan sampel, dan sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Data primer, yaitu hasil kegiatan lapangan yang diperoleh melalui FGD, angket, indepth interview, observasi kelas, dan seluruh hasil pengamatan dari tim peneliti selama melaksanakan penelitian. Sampel Penelitian Untuk keperluan ke lapangan, maka peneliti menggunakan sampel sekolah dan sampel guru. Penentuan sampel sekolah dan guru menggunakan teknik purposive sampling dengan asumsi bahwa semua sekolah adalah jenjang yang sama yaitu jenjang SMA dengan menggunakan kurikulum KTSP. Sampel penelitian tersebut meliputi 4 sekolah yang ada. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi kelas, studi dokumentasi, FGD, indept interview, dan kuisioner. 1. Studi dokumentasi Dokumen yang menadi data adalah rombongan belajar, tenaga guru, fasilitas, kurikulum, nilai-nilai siswa dan lainnya.
METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan observasi eksploratif dengan menggunakan teknik wawancara. Kegiatan wawancara langsung dengan guru matapelajaran kimia untuk melakukan identifikasi faktor penyebab 59
2. Observasi kelas Observasi kelas yang dilakukan meliputi proses belajar mengajar, kondisi sarana prasarana, dan lainnya. 3. Focus Group Discussion Kegiatan FGD adalah upaya untuk meminta konfirmasi dan tanggapan terhadap data yang berhasil dikumpulkan. Responden yang terlibat dalam kegiatan FGD adalah guru matapelajaran Kimia. 4. Kuisioner Data yang dikumpulkan melalui kuisioner adalah data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kompetensi dasar siswa. Responden adalah guru mata pelajaran kimia
Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa secara kumulatif rerata nilai UN matapelajaran kimia tergolong kategori baik, namun perolehan setiap tahunya cenderung menurun, seperti tampak pada grafik berikut.
Persentase siswa
KURVA PERSENTASE RENTANG PEROLEHAN NILAI UN KIMIA KAB. KONSEL
Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 9,00 - 8,00 - 7,00 - 6,00 - 5,00 - 4,00 - 3,00 - 2,00 10,00 8,99 7,99 6,99 5,99 4,99 3, 99 2, 99
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rentang Nilai
Distribusi Nilai UN Murni Tahun 2008-2011 di kabupaten Konawe Selatan
Sumber: data penelitian diolah
Grafik 1. Nilai UN Matapelajaran Kimia di Kabupaten Konawe Selatan tahun ajaran 2008 s.d tahun 2010
Distribusi nilai ujian nasional untuk matapelajaran kimia pada sekolah sampel yang ada di kabupaten konawe selatan untuk tahun 2008 sampai 2010 adalah sebagai berikut:
Dari data tersebut diatas, diperoleh bahwa nilai UN matapelajaran Kimia setiap tahunya berfluktuatif. Rentang nilai pada tahun ajaran 2009 tergolong tinggi, dimana rentang nilai 8 – 10 sebanyak 87,95% siswa, sedangkan nilai terendah rentang nilai 7,00 – 7, 99 sebanyak 0,15 % siswa, artinya tidak ada siswa yang mendapat nilai < 7. Dengan nilai tertinggi pada tahun ajaran 2009 adalah 9,35. Namun pada tahun ajaran 2010 nilai siswa menurun drastis, dimana nilai tertinggi adalah 8,31. Rentang nilai yang diperoleh siswa juga menurun dimana yang memperoleh rentang nilai 8-10 sebanyak 26,55%, rentang 7-7,99 sebanyak 41,50%, dan rentang 6-6,99 sebanyak 20,87%. Untuk perolehan nilai tertinggi matapelajaran kimia setiap tahunnya juga berfluktuatif disetiap sekolahnya seperti terlihat pada tabel dan grafik dibawah ini.
Tabel 1. Persentase Rentang Nilai UN Kimia pada sekolah sampel.
9,00 - 10,00 8,00 - 8,99 7,00 - 7,99 6,00 - 6,99 5,00 - 5,99 4,00 - 4,99
TAHUN PELAJARAN 2008 2009 2010 14.30 57.16 0.00 52.00 30.79 26.55 20.70 6.71 41.50 7.70 0.15 20.87 3.45 0.00 5.50 1.55 0.00 3.04
3,00 - 3, 99
0.17
0.00
1.32
2,00 - 2, 99
0.00
0.00
1.55
RENTANG
65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Sumber Data: Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011
60
Tabel 2.
Perolehan nilai tertinggi UN Matapelajaran Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008 s.d tahun 2010
NO
2 3 4 5 6 7 8 9 10
NAMA SEKOLAH
SMA Negeri Angata SMA Negeri Kolono SMA Negeri 1 Konda SMA Negeri 1 Lainea SMA Negeri 1 Landono SMA Negeri 1 Moramo SMA Negeri 1 Palangga SMA Negeri 1 Ranomeeto SMA Negeri 1 Tinanggea
NILAI TERTINGGI Tahun 2008 Tahun 2009 7.57 8.48 5.74 7.98 7.52 8.92 7.37 8.47 8.52 9.27 8.51 8.89 8.08 9 7.9 8.87 8.46 9.35 8.58 8.95
Tahun 2010 7.57 6.82 6.91 6.23 7.2 5.63 7.11 7.15 8.31 7.96
Nilai
Sumber Data : Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
Nama Sekolah
Grafik 2. Perolehan nilai tertinggi UN Kimia di Kabupaten Konawe Selatan tahun ajaran 2008 s.d tahun 2010 Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai pada Mata Pelajaran UN di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008-2010 Tabel 3. Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai Jurusan IPA Mata Pelajaran Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008 Kemampuan Yang Diuji
Rayon
Menentukan nama proses pembuatan/pengolahan unsur/senyawa dr suatu wacana Memilih kegunaan protein dr beberapa kegunaan makanan dlm tubuh Menentukan isomer fungsi/posisi dr senyawa alkanol Menentukan contoh penerapan sifat koloid tertentu Menentukn diagram sel utk menggbrkan proses sel volta 61
Prop
Nas
11.55
15.47
63.42
39.31 43.62 44.14 48.10
39.42 40.14 47.76 65.04
70.59 67.51 66.37 77.28
Kemampuan Yang Diuji
Rayon
Dari tbl hasil pembakaran, tentukan bhn bakar yg bil oktannya besar/kecil Menentukan harga ph air limbah dr tbl uji beberapa air limbah dgn indicator
Prop
Nas
53.10
60.45
72.87
59.83
61.26
42.53
Tabel 4. Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai Jurusan IPA Mata Pelajaran Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kemampuan Yang Diuji Menghitung DH reaksi jk parameternya diket dr proses pelarutan/pembakaran zat hingga terjadi perubahan Memilih gbr yg laju reaksinya dipengaruhi oleh faktor tertentu dr beberapa gbr proses pelarutan
Rayon
Prop
Nas
53.74
49.51
49.87
59.85
63.99
71.98
Tabel 5. Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai Jurusan IPA Mata Pelajaran Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2010 Kemampuan Yang Diuji Menentukan sepasang data yg berhub scr tepat dr tabel batuan&unsur yg dikandung Menganalisis grafik PT sesuai sifat koligatif larutan dg tepat Menentukan gbr hasil pergeseran kesetimbangan sesaat jika kondisinya diketahui Menghitung ?H reaksi jika parameternya diketahui dlm proses pelarutan/pembakaran Menentukan urutan kenaikan/penurunan nomor atom unsur-unsur Menentukan kegunaan suatu makromolekul berdasarkan informasi yg diberikan Menentukan harga pH air limbah berdasarkan tabel hasil uji beberapa air limbah Menentukan nama proses pengolahan untuk memperoleh unsur tertentu Menentukan gbr partikel zat terlarut pd larutan yg sukar menguap memiliki sifat koligatif Menentukan korosi yg paling cepat/lambat terjadi sesuai gambar Menghitung laju reaksi pd konsentrasi dari data eksperimen & persamaan reaksinya
Rayon
Prop
Nas
28.92
35.09
65.16
30.12
37.64
57.30
34.04
51.66
78.09
35.24
41.66
67.25
40.66
43.35
77.05
41.87
52.27
62.12
43.68
59.84
58.70
49.10
48.06
58.24
50.30
62.31
66.15
57.23
80.89
70.87
57.53
78.70
79.10
Sumber Data: Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011
62
berbagai persoalan sosial yang kurang sehat cederung bersikap permisif dan masa bodoh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian Kompetensi Dasar UN Kimia di Kabupaten Konawe Selatan.
Faktor Guru: Dalam mengajar, guru kurang memperhatikan tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap materi yang diajarkan, materi yang kurang dipahami tidak diajarkan/dilewatkan, dalam mengajar, guru tidak memperhatikan ketercapaian standar kompetensi yang diajarkan, Cara mengajar guru masih mengandalkan metode ceramah dan menyalin. guru dinilai kurang kreatif dalam melakukan inovasi pembelajaran, baik dalam pemilihan materi ajar, metode pembelajaran, maupun media pembelajaran, sehingga siswa didik cenderung pasif dan bosan dalam menghadapi atmosfer pembelajaran di kelas. Model pembelajarn yang diterapkan adalah model ceramah dan soal-soal sehingga suasana kelas bagaikan “kerangkeng penjara” yang pengap dan sumpek; tanpa ada celah “kebebasan” bagi peserta didik untuk menikmati kegiatan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Pembelajaran 100% berpusat pada guru. Siswa hanya sebagai pendengar dan penonton. Dalam mengajar, guru kurang menggunakan media pembelajaran, dalam pemberian nilai akhir ssetiap semester, guru sering menambah-nambah nilai yang diperoleh siswa.
Pada bagian ini akan disajikan faktorfaktor yang mempengaruhi menurunya pencapaian nilai UN Kimia di kabupaten Konawe Selatan. Data data tentang faktor yang mempengaruhi menurunya nilai UN Kimia pada tahun 2010 dan banyaknya kompetensi yang tidak tercapai, diperoleh dari hasil pengumpulan data pada sekolah yang menjadi sampel penelitian. Faktor-faktor yang digali informasinnya berdasarkan delapan standar pendidikan yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Berdasarkan hasil temuan data lapangan di SMA sampel dan acuan borang PPMP Dikti Tahun 2011, Faktor-faktor yang mempengaruhi menurunya pencapaian nilai UN Kimia di kabupaten Konawe Selatan diuraikan sebagai berikut: Faktor siswa: Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya nilai UN yang dicapai oleh siswa, yang bersumber dari siswa sendiri antara lain; Motivasi siswa untuk belajar rendah, siswa tidak memiliki buku paket sendiri, Minat baca siswa sangat kurang, dalam prosees pembelajarn, siswa cenderung sebagai pendengar, siswa kurang bertanya. Pada saat Ujian, siswa kebanyakan mengandalkan kerjasama dan menyontek. Hal itu disebabkan oleh situasi dan kondisi pendidikan dalam lingkungan keluarga yang kurang mendukung. Serta merebaknya sikap instan yang melanda kehidupan kaum remaja.
Faktor Sarana: Fasilitas yang ada disekolah untuk menunjang proses pembelajaran sangat kurang, seperti buku paket yang sesuai yang dapat dipinjam oleh siswa sangat terbatas jumlahnya, buku paket yang dimiliki oleh siswa dengan yang dijadikan bahan pembelajaran utama dikelas berbeda. Sehingga dalam proses pembelajarn siswa harus menulis ulang apa yang ditulis oleh guru. Faktor lain yang mempengaruhi juga adalah tidak adanya kegiatan praktikum. Hal ini disebabkan karena kurang/tidak adanya fasilitas laboratorium untuk proses kegiatan praktikum Kimia. Kegiatan praktikum ini sangat penting karena dapat meningkatkan minat dan daya tarik siswa untuk belajar, serta dapat meningkatkan pengetahuan siswa dari materi yang diajarkan dalam konsep-konsep dalam kelas.
Faktor orangtua: Kurangnya pemahaman orang tua terhadap pendidikan, sehingga para orangtua tidak memperhatikan kebutuhan penunjang anak untuk belajar, serta kurangnya kontrol orangtua terhadap anak dalam mengikuti pendidikan dan belajar. orangtua yang seharusnya menjadi kekuatan kontrol untuk ikut menanggulangi 63
Di antara sekian banyak faktor penyumbang rendahnya kualitas sekolah, menurut Jalal dan Supriadi (dalam Depdiknas, 2007), guru merupakan faktor sentral atas baikburuknya mutu pendidikan. Oleh karena itu, setiap usaha membenahi pendidikan harus melibatkan penataan dan pembenahan terhadap guru. Karier kependidikan seyogianya hanya bisa ditempati oleh guru yang berprestasi. Jika demikian halnya, setiap guru akan bekerja secara optimal atas dasar kemampuan akademik yang tinggi dan profesionalisme yang teruji. Apabila keadaan itu terwujud, kualitas pendidikan dapat dipastikan akan meningkat secara bertahap dan berkesinambungan. Guru yang tidak memenuhi standar atau melakukan tindakan yang tidak terpuji harus diberi sanksi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya sebuah rumusan model alternatif kaji tindak dalam upaya untuk meningkatkan penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran Kimia siswa SMA di kabupaten Konawe Selatan. Hal ini sangat penting sebab dengan adanya model alternatif peningkatan mutu maka diharapkan penguasaan kompetensi dasar dalam UN dapat meningkat. Salah satu upaya dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, adalah melalui pendekatan model serta kompetisi perbaikan manajemen dan interaksi pembelajaran, serta perbaikan dan peningkatan implementasi strategi, metode, dan teknik pembelajaran, serta inovasi kurikulum.
memperhatikan ketuntasan belajar siswa, guru dalam mengajar kurang memperhatikan aktivitas dan tingkat pemahaman siswa selama proses pe,belajaran, Minat siswa dalam belajar Kimia menurun dari tahun ketahun, kurangnya buku penunjang bagi siswa, serta tidak adanya kegiatan praktikum yang dapat meningkatkan minat siswa untuk belajar kimia. Saran Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, maka perlu adanya perhatian terhadap semua stok holder yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan seperti guru bidang studi dalam hal merencanakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat siswa, kepala sekolah serta pihak diknas dalam hal perlengkapan kebutuhan penunjang pembelajaran seperti pengadaan alatalat laboratorium secara merata untuk setiap bidang studi, pengadaan buku paket yang sesuai diperpustakaan sekolah, dll. DAFTAR PUSTAKA Balitbang 2011. Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011 Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, 1993. Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman Publishing, London, United Kingdom.
KESIMPULAN DAN SARAN
Depdiknas. 2007. Kompetensi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Laporan Kajian. Jakarta: Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan.
Kesimpulan Dari uraian hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Dalam tiga tahun terakhir ini, nilai UN Kimia siswa SMA di kabupaten Konawe Selatan cenderung menurun. Meskipun pada tahun 2009 sedikit mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan adanya kecenderungan penurunan nilai UN untuk Matapelajaran kimia. 2. Penurunan nilai UN matapelajaran Kimia siswa SMAN di Kabupaten konawe selatan adalah guru dalam mengajar tidak
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana
64
PERSEPSI MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS HALU OLEO TENTANG LATAR BELAKANG DEMONSTRASI Oleh : Barlian1 Muhamad Abas2 Abstrak. Tulisan ini merupakan ringkasan salah satu masalah dari tiga fokus masalah yang dikaji oleh penulis selama tiga bulan pada tahun 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tekhnik wawancara mendalam, pengamatan dan studi dokumentasi. Informan penelitian ini adalah mahasiswa FKIP Unhlau sebanyak 50 orang yang dianggap mewakili unsur aktivis, pelaku demonstrasi dan mahasiswa yang tidak terlibat dalam demonstrasi tetapi ikut melihat dan mengamati Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa adalah demonstrasi yang terjadi dilingkungan kampus Universitas Haluoleo menurut persepsi mahasiswa yang menjadi informan penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor yang sangat beragam dan saling terkait. Pertama, kesadaran yang muncul dari dalam diri mahasiswa terutama para aktivisnya untuk selalu menjalankan peran-peran sosial mahasiwa sebagai salah satu kekuatan civil society dalam mendorong tata kelola kampus yang lebih baik dan bersih sekaligus sebagai wujud dalam menjalankan peran mereka sebagi social control yang berbasis pada moral force. Kedua, kesadaran untuk mengimplementasikan pengetahuan dan pengalaman mereka selama berinteraksi di kampus baik itu kuliah tatap muka degan dosen, interaksi di lembaga kemahasiswa maupun interkasi eksternal yang telah menata gagasan, pengetahuan dan pengalaman mereka untuk selalu kritis dalam menyikapi berbagai fenomena maupun fakta sosial yang terjadi disekitar atau dilingkungan mahasiswa baik itu yang terkait langsung dengan kepentingan diri mahasiswa maupun kepentingan masyarakat luas yang juga berdampak terhadap aktivitas kuliah mahasiswa. Ketiga, kesadaran dalam kerangka aktualisasi diri mahasiswa. Kata Kunci: Persepsi, Demonstrasi, dan Mahasiswa tokoh yang mempelopori terjadinya perubahan yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia modern. Dalam perjalannya, demonstrasi mahasiswa saat ini analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus atau mahasiswa. Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa Indonesia merdeka,
PENDAHULUAN Latar Belakang Sejarah Indonesia modern telah menunjukkan bahwa mahasiswa hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan berbangsa. George McTurnan Kahin dalam Barlian (2012) bahkan menggunakan penamaan ‘Revolusi Kaum Muda’ untuk menyebutkan pergerakan tokoh1 2
Dosen Jurusan Ilmu Pendiddikan FKIP Universitas Halu Oleo Dosen Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Halu Oleo. 65
umumnya berupaya untuk merobohkan kekuasaan rezim-rezim totaliter dan kediktatoran yang membawa kehidupan bangsa jatuh pada kondisi kritis yang dapat membawa kehancuran, misalnya perubahan besar berupa hancurnya kekuatan-kekuatan totaliter Soekarno maupun Soeharto dilakukan oleh kekuatan yang dipelopori mahasiswa sebagai penentu, namun sayangnya kemudian diambil alih dalam prosesproses berikutnya oleh kekuatan pemegang kekuasaan baru yang berkecenderungan juga berkembang jadi totaliter dan kediktatoran. Tak dapat dipungkiri bahwa konsentrasi demonstrasi di kampus-kampus besar yang menjadi basis perjuangan mahasiswa di Indonesia umumnya terdapat di kota-kota besar yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan sekaligus suasana kehidupan modern sehingga cenderung juga menjadi titik star munculnya pemikiran dan gagasan bagi kemajuan kehidupan bangsa Indonesia modern. Kenyataan menunjukkan bahwa kampus sebagai pusat kekuatan modernisasi dan kemajuan kehidupan bangsa nampaknya harus selalu bersilang pendapat dengan pemegang kekuasaan yang senantiasa menempatkan diri sebagai kekuatan konservatif yang selalu menolak gagasan pembaharuan untuk meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa posisi demonstrasi mahasiswa yang senantiasa menjadi kekuatan koreksi yang membawakan hati nurani masyarakat yang ditindas oleh orientasi kekuasaan pemegang kekuasaan itu yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya dari pada orientasi pada kepentingan kemajuan bangsa. Bebebrapa hasil penelitian juga menunjukan bahwa demonstrasi mahasiswa juga terlahir dari kesadaran bersama untuk mendorong terjadinya perubahan, tidak hanya diluar kampus tetapi juga yang terjadi didalam kampus terutama yang terkait langsung dengan kepentingan mahasiswa itu sendiri. Dalam kondisi seperti itulah demonstrasi mahasiswa di Kampus, khususnya di Kampus Universitas Haluoleo, menempati posisinya yang strategis di tengah-tengah pergolakan korektif terhadap penguasa yang menzalimi rakyatnya sendiri. Kekuatan demontsrasi dalam bentuk
gerakan mahasiswa pada umumnya terletak pada posisinya yang apolitis dan tidak bertujuan untuk mencapai kekuasaan. Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa selalu menjadi pembuka gagasan guna pemecahan kebekuan, menimbulkan keberanian dalam melakukan upaya-upaya koreksi terhadap pengambil kebijakan. Di samping itu, seringkali gerakan mahasiswa tidak memunculkan tokoh dan lebih mengandalkan pada kekuatan gagasan, pemikiran dan moral. Bahkan, mereka seringkali tidak memperdulikan apakah gagasan itu diambil alih oleh gerakan nasional mahasiswa yang kemudian ‘dipelintir’ oleh praktisi-praktisi politik sebagai amunisi mereka dalam kompetisi kekuasaan tetapi mehasiswa tetap bergerak dengan semangat dan tujuan untuk perubahan sosial. Menarik untuk dicermati, bahwa demonstrasi mahasiswa yang sering dilakukan oleh mahasiswa Universitas Haluoleo yang berlangsung dari generasi ke generasi dalam situasi dan kondisi berbeda. Dengan tema dan tokoh yang berbeda-beda pula, namun seolaholah memiliki suatu rentang garis benang merah. Garis benang sendiri selalu dekat dengan hati dan perasaan umumnya masyarakat dalam era dan zaman yang berbeda-beda itu, sehingga, walaupun mungkin secara nyata tidak terjadi komunikasi fisik langsung, terbuka maupun tertutup, serta modus demonstrasi yang mungkin berbeda-beda, tetapi ide dan tujuannya pada dasarnya adalah kepentingan dan keinginan masyarakat dan mahasiswa secara umum. Karena itu, selama demonstrasi mahasiswa berada dalam jalur benang merah yang sama, betapapun buruknya kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia, akan selalu dimungkinkan terjadinya perbaikan atau perubahan yang lebih baik. Disamping itu mainstream aktivis mahasiswa, banyak yang dikenal dan tumbuh murni dari lingkungan intra kampus, tidak terkait dalam kegiatan-kegiatan organisasi ekstra universitas secara intensif dan karenanya bobot kegiatan kemahasiswaannya cenderung lebih bercirikan mahasiswa intra kampus yang tidak begitu suka pada jabatan dan kegiatan politik. Pada umumnya mereka lebih senang terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian daripada kegiatan-kegiatan berbau politik apalagi berorientasi pada jabatan dan kekuasaan. 66
Berorganisasi dianggap sebagai bagian dari usaha untuk mengembangkan kepribadian, lebih mematangkan potensi-potensi kepemimpinan yang diperlukan bagi penerapan kemampuan akademik yang dimilikinya, agar dapat lebih diamalkan setelah menyelesaikan studi dan terjun kemasyarakat. Mahasiswa juga memiliki kewajiban untuk memiliki jiwa sosial politik didalam dirinya karena mahasiswa pada dasarnya adalah bagian dari rakyat. Apapun yang terjadi pada rakyat maka mahasiswa akan turut juga merasakannya. Seperti kenaikan BBM, kenaikan harga bahan pokok, listrik, dan air misalnya, akan mempengaruhi aktifitas kuliah. Mahasiswa memiliki kecerdasan berdasarkan fokus keahlian yang diambilnya dan mahasiswa juga mampu menerapkan keilmiahan pendidikan yang diperolehnya di masyarakat. Maka dengan membentuk organisasi baik itu dependent maupun independent, mahasiswa memiliki kewajiban moral untuk menerapkan apa yang telah diperolehnya dari bangku perkuliahan itu dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Atau dengan kata lain mampu menciptakan dan memberi jawaban atas permasalahanpermasalahan rakyat. Berbagai metode dapat dilakukan yaitu dari membuat petisi, dengar pendapat (public hearing), panggung rakyat, mimbar bebas, sampai pada aksi (demonstrasi). Biasanya aksi (demonstrasi) akan menjadi pilihan terakhir, ketika aspirasi mereka menemukan jalan buntu dan tidak adanya tanggapan oleh pihak yang dituju. Demonstrasi umumnya dilatarbelakangi oleh matinya jalur penyampaian aspirasi atau buntunya metode dialog. Demonstrasi dilakukan dalam rangka pembentukan opini atau mencari dukungan publik. jika aksi demonstrasi yang dilakukan di dalam kampus, maka pembentukan opini dan pencarian dukungan public dari seluruh civitas akademik, yang salah satunya adalah teman kuliah. Pada posisi ini, akan menimbulkan gangguan public dalam proses pembelajaran di kampus. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini di rancang untuk memperoleh data obyektif mengenai persepsi mahasiswa pada saat adanya aksi demontrasi yang dilaksanakan oleh teman-temanya di dalam kampus, dengan mengambil sampel pada mahasiswa FKIP Unhalu.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi mahasiswa FKIP Unhalu tentang latarbelakang demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dari dalam kampus. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk memperkaya khasanah penelitian dan dapat memperluas cakrawala pengetahuan peneliti serta mahasiswa mengenai pendapat mahasiswa FKIP terhadap aksi mahasiswa di dalam atau diluar kampus Unhalu. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Unhalu dalam menambah dan memperkaya bahan penelitian serta sumber bacaan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Secara praktis melalui penelitian ini dapat memberikan masukkan bagi pimpinan Universitas dan Fakultas dalam memberikan respon terhadap demonstrasi yang dilaksanakan di dalam kampus TINJAUAN PUSTAKA Individual Differences Theory, Komunikasi Massa dan Opini Publik Individual Differences Theory (Teori Perbedaan Individual), teori dimotori oleh Melvin D. Defleur. Menurut teori ini individuindividu sebagai anggota khalayak sasaran media massa secara selektif, menaruh perhatian kepada pesan-pesan, terutama jika berkaitan dengan kepentingannya konsisten dengan sikapsikapnya, sesuai dengan kepercayaannya yang didukung oleh nilai-nilainya, sehingga tanggapannya terhadap pesan-pesan tersebut diubah oleh tatanan psikologisnya. Anggapan dasar dari teori ini ialah bahwa manusia amat bervariasi dalam organisasi psikologisnya secara pribadi. Variasi ini sebagian dimulai dari dukungan perbedaan secara biologis, tetapi ini dikarenakan pengetahuan secara individual yang berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan yang secara tajam berbeda, menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda secara tajam pula. Dari lingkungan yang dipelajarinya itu, mereka menghendaki 67
seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang merupakan tatanan psikologisnya masing-masing pribadi yang membedakannya dari yang lain. Teori perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus yang menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan anggota khalayak. Oleh karena terdapat perbedaan individual pada setiap pribadi anggota khalayak itu maka secara alamiah dapat diduga akan muncul efek yang bervariasi sesuai dengan perbedaan individual itu. Individual Differences Theory menyebutkan bahwa khalayak yang secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya jika berkaitan dengan kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya, kepercayaannya dan nilai-nilainya. Tanggapannya terhadap pesan komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya (Effendy, 2003). Komunikasi pasti terjadi pada setiap manusia, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Hidup dengan makhluk lain otomatis membuat makhluk hidup harus berkomunikasi. Komunikasi harus dipandang dari dua sudut pandang, yaitu komunikasi dalam pengertian secara umum dan secara paradigmatik. Komunikasi secara umum dibagi dua, yakni pengertian komunikasi secara etimologis dan secara terminologis. Secara etimologis atau menurut asal katanya, komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio yang diambil dari kata communis yang artinya sama atau dimaksud dengan sama makna. Maka komunikasi yang dimaksudkan disini akan berlangsung bila ada kesamaan arti diantara dua atau lebih orang yang berkomunikasi. Sedangkan secara terminologis maksudnya adalah komunikasi melibatkan sejumlah orang, dan lebih dikenal dengan sebutan komunikasi manusia atau komunikasi sosial. Disini hanya akan dibahas tentang komunikasi yang hanya terjadi pada manusiamanusia yang bermasyarakat. Komunikasi secara paradigmatis mengandung tujuan tertentu baik lisan maupun tulisan, baik langsung maupun melalui media. Tujuan disini maksudnya adalah memberikan informasi, merubah sikap, pendapat, maupun perilaku dari komunikan. Menurut Harold Lasswell cara yang baik untuk
menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut; Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? atau Siapa, Mengatakan Apa, Dengan Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Pengaruh Bagaimana? Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Jelasnya, jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Dengan kata lain, hubungan diantara mereka bersifat komunikatif. Selain komunikasi itu dilakukan secara langsung atau dikenal dengan komunikasi tatap muka, komunikasi juga berlangsung dengan menggunakan media, dikenal dengan nama komunikasi massa. Yang dimaksudkan dengan komunikasi massa ialah komunikasi yang menggunakan media massa, baik itu media cetak maupun elektronik. Yang dimaksudkan dengan komunikasi massa ialah komunikasi melalui media massa modern seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. Hal ini perlu dijelaskan, sebab ada sementara ahli komunikasi, di antaranya Everett M. Rogers, yang berpendapat bahwa, selain media massa modern, ada media massa tradisional yang meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun, dan lain-lain. Jadi komunikasi massa ialah penyebaran pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh si penyampai pesan. Opini adalah suatu ekspresi tentang sikap mengenai suatu masalah yang bersifat kontroversial. Opini tersebut timbul sebagai hasil pembicaraan tentang masalah yang kontroversial yang menimbulkan pendapat berbeda-beda. Sedangkan perkataan publik melukiskan sekelompok manusia yang berkumpul secara spontan yang memiliki syarat-syarat : a). Dihadapi oleh suatu persoalan; b). Berbeda pendapatnya mengenai persoalan ini dan berusaha untuk menanggulangi persoalannya; c). Sebagai akibat keinginan mengadakan diskusi dengan mencari jalan keluar. Disini publik masih merupakan bentuk spontan yang tidak berbentuk, yang tidak diorganisasikan. Pokok persoalan dari pembentukan publik demikian ini adalah bahwa mereka menghadapi persoalan, diikat 68
(sementara) oleh persoalan yang minta pemecahan (Susanto, 1985). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa opini publik atau dikenal dengan pendapat umum adalah kesatuan pendapat yang muncul dari sekelompok orang yang berkumpul secara spontan, membicarakan issue yang kontroversial, mendiskusikannya dan berusaha untuk mengatasinya. Proses munculnya opini ini harus melalui beberapa tahap, yaitu ; efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif. Efek kognitf berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti menjadi mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa jelas. Efek afektif berkaitan dengan perasaan. Akibat dari pemberitaan di media itu yang akhirnya menimbulkan perasaan tertentu pada khalayak, dan perasaan ini hanya bergejolak didalam hati saja. Dan yang terakhir adalah efek konatif, dimana efek ini berkaitan dengan niat, tekad, upaya, usaha yang memiliki kecenderungan memunculkan sebuah tindakan atau kegiatan. Efek konatif tidak langsung muncul sebagai akibat terpaan media massa, melainkan harus melalui efek kognitf dan efek afektif terlebih dulu. (Effendy, 2003). Gaya penyampaian pesan merupakan cara atau model seorang komunikator dalam usahanya untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikasikan. Kefin Hogan menyebutkan dalam bukunya The Psichology Of Persuasion bahwa ketika menetapkan gaya komunikasi dasar seseorang kita harus pikirkan dua faktor. Pertama adalah menetapkan apakah seseorang sebagian besar merupakan orang yang logis atau sebagian besar merupakan orang yang emosional. Dan yang kedua adalah menetapkan apakah seseorang sebagian besar merupakan orang yang suka menampilkan diri atau tidak suka menampilkan diri. Orang yang analitis merupakan pekerja yang konsisten, mantap, dan metodis. Mereka mempersiapkan diri dengan baik dan sering pintar dengan angka, analisis, proses, dan sistem. Orang analitis dapat ditandai dengan sifat-sifatnya yang logis, sensoris, nonasertif, dan introvert; Dari berbagai penjelasan di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa gaya komunikasi para demonstran merupakan hal yang penting dalam menunjang keberhasilan penyampaian pesan, apalagi
kemudian manusia mempunyai keinginan untuk menyampaikan pengalamannya kepada orang lain dalam jumlah yang besar sehingga unsur retorika sama dengan unsur manusia. Demonstrasi Marbun menyebutkan dalam bukunya komunikasi politik bahwa arti kata demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal. Kata latin demonstrate berarti mempertunjukkan. Demonstrasi adalah gerakan bersama-sama untuk mempertunjukkan kehendak atau pendapat, unjuk rasa. Biasanya dijalankan untuk memprotes, menolak atau tidak setuju terhadap keadaan atau tindakan suatu badan, golongan atau seseorang. Demonstrasi menurut kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan memiliki dua pengertian yang salah satunya adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara masal. Dalam alam demokrasi, rakyat berhak menilai dan mengkritik pemerintah dan mengatakan kehendaknya melalui: a) Badanbadan perwakilan rakyat yang berfungsi antara lain untuk mengontrol eksekutif atau pemerintah. B) Pers cetak maupun elektronik yang ikut menyampaikan pendapat umum dengan memberikan berita-berita obyektif dari mana saja, lalu mengeluarkan suara rakyat dan bukan hanya suara pejabat-pejabat pemerintah. c) Partai dan golongan lain yang mewakili lapisan masyarakat dalam badan-badan umum. Jika dengan jalan biasa itu rakyat tidak berhasil memperoleh perhatian yang wajar atau bila pandangan serta masalah suatu masyarakat yang menuntut didiamkan saja, maka timbul bentuk kritik yang bercorak luar biasa dan yang tergolong bentuk ini adalah demonstrasi, rapat besar, aksi masal dan sebagainya. Demonstrasi memiliki kedudukan yang sah dalam demokrasi, melarang atau menghapuskan hak untuk berdemonstrasi atas hak untuk mengeluarkan pendapat adalah tidak sehat dan oleh sebab itu sukar secara obyektif. Demonstrasi yang dimaksud adalah unjukrasa yang disertai dengan aksi turun ke jalan, dengan kata lain, aksi massal yang di gelar dengan turun ke jalanan dengan tujuan untuk menyampaikan ketidaksepakatan atau penolakan terhadap 69
kebijakan-kebijakan para pemegang kekuasaan. Aksi demonstrasi merupakan ajaran yang di adopsi dari paham demokratisme yang di impor dari barat. Demonstrasi dalam wujud aksi massa yang turun ke jalan dengan membawa poster serta meneriakkan yelyel tentu bukan bagian dari sebuah ritual keagamaan. Masalah seperti itu lebih dekat dimasukkan sebagai bagian dari dinamika sosial politik yang kaitannya lebih erat dengan kondisi sosial budaya yang ada di suatu tempat. Karena bentuk-bentuk aksi massa seperti itu hanyalah bentuk teknis dari sebuah tindakan dalam masyarakat yang intinya memberikan pengawasan kepada penguasa yang diberi amanat untuk menjalankan roda pemerintahan. Demokrasi dan Demokratisasi terkait erat, bahkan mereka tidak dapat dipisahkan, karena dalam berdemokrasi, haruslah ada pelampiasan/penyaluran segala uneg-uneg manusia yang dikuasai, sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam demokrasi. Ia tidak lebih dari sekedar mekanisme yang sengaja dibiarkan berkembang untuk membantu penguasa untuk terus menguasai manusia dan menduduki wilayah jajahan. Prinsip keterbukaan disodorkan dalam rangka membangun prinsip lain dari demokrasi, yaitu pluralisme dan atau multiculturalisme. Dalam kajian Sosiologi Komunikasi, Burhan Bunging telah menegaskan tentang kelompok sosial yang membagi kelompok sosial dalam dua jenis yaitu kelompok teratur dan kelompok tidak teratur. Kelompok teratur adalah kelompok sosial yang mudah untuk diamati dan memiliki struktur yang jelas.
suatu pengertian terhadap lingkungan. Indrawijaya (1983) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu cara pandang individu terhadap suatu objek. Selanjutnya Irwanto, menjelaskan bahwa proses diterimanya rangsangan yang berupa objek, kualitas, hubungan antargejala maupun peristiwa sampai rangsang tersebut disadari dan dimengerti. Melalui persepsi stimulus-stimulus yang diterima menyebabkan individu mempunyai suatu pengertian terhadap lingkungan. Persepsi adalah proses individu dalam memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambar yang bermakna tentang dunia. Persepsi tergantung bukan hanya pada sifat rangsangan fisik tetapi juga pada hubungan rangsangan medan sekelilingnya dan kondisi dalam diri individu. Hal tersebut dapatdijelaskan bahwa persepsi sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulasi dari lingkungan. Proses persepsi berkaitan erat dengan proses kognitif seperti ingatan dan proses berpikir. Persepsi sebagai suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan terhdap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diinderakan. Dalamkaitan itu maka persepsi merupakan respon terhadap suatu stimulus, suatu tanggapan yang mengintegrasikan informasi yang berada di luar stimulus itu sendiri. Informasi ini diperoleh dari stimulus lainnya yang tersedia atau disimpan dalam respon emosional, konseptual, atau perilaku sebelumnya. Karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi stimulus, hasil persepsi akan berbeda antara satu individu dengan lainnya. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses ketika seseorang mengorganisasikan informasi dalam pikirannya, mengalami, dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya.
Persepsi Teori-teori yang berhubungan dengan persepsi banyak dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai istilah, namun pada dasarnya pengertian persepsi adalah sama yakni suatu proses yang kompleks yang berkaitan dengan cara pandang individu secara subjektif terhadap dunia sekitar. Oleh karena sifatnya yang subjektif maka persepsi setiap individu tidaklah sama. Persepsi menurut Irwanto, dkk (1997) adalah proses diterimanya rangsang yang berupa objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa sampai rangsang tersebut disadari dan dimengerti. Melalui persepsi stimulus-stimulus yang diterima menyebabkan individu mempunyai 70
demonstrasi. Dalam kaitan itu, maka jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder yang diperoleh melalui wawancara dengan para informan, studi dokumen baik dari media masaa maupun hasil-hasil penelitian lain yang relevan serta kajian pustaka. Sumber data penelitian ini adalah para mahasiswa FKIP unhalu baik itu yang terlibat dalam demonstrasi maupun yang tidak terlibat tetapi pernah menyaksikan demonstrasi mahasiswa dalam lingkungan Unhlau. Instrumen penelitian ini adalah panduan wawancara dan catatan harian yang befungsi untuk mencatat hal-hal penting terkait dengan isu atau focus penelitian. Dalam kaitan itu, maka panduan wawancara dibuat secara umum dan sangat fleksibel sehingga peneliti dapat berimprovisasi dalam menggali informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Analisis data dalam penelitian ini berjalan secara paralel dengan proses pengumpulan data, dimana peneliti secara hati-hati melakukan pemilihan dan pemaknaan setiap informasi yang diperoleh Setelah tahapan itu dilalui, peneliti kemudian melakukan proses interpretasi dan penulisan laporan penelitian.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif diskriptif yang berparadigma konstruktivis. Karena itu permasalahan dan tujuan penelitian ini mengharuskan pencarian, analisis, dan penyajian data informasi secara kualitatif, yakni berupaya menganalisis dan mengkonstruksikan persepsi mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo terhadap latar belakang demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dari dalam lingkungan kampus Unhalu. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada beberapa alasan, bahwa (a) menelaah demonstrasi mahasiswa tidak sekadar menyangkut pengetahuan yang dapat dibahasakan (propositional knowledge), melainkan juga menyangkut pengetahuan yang tidak dapat dibahasakan (tacit knowledge), yang hampir tidak mungkin diperoleh dengan pendekatan kuantitatif. (b) Studi tentang demonstrasi mahasiswa sangat kompleks, yang tidak mungkin direduksi hanya dalam satu sudut pandang saja. Apa yang hendak dicapai dalam penelitian ini diwarnai adanya keharusan untuk mengungkap secara mendalam berbagai informasi sesuai dengan fakta dan realitas yang akan diungkapkan oleh para informan yang memahami substansi penelitian ini. (c) Penggalian informasi akan dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan para informan melalui sebuah proses wawancara mendalam sehingga peneliti mampu merekonstruksi makna dari setiap informasi yang diperoleh. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan pada akhir tahun 2011 dengan informan mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo. Penetapan mahasiswa FKIP sebagai informan dilakukan secara purposif dengan pertimbangan bahwa FKIP Unhalu memiliki mahasiswa terbanyak dan para aktivis mahasiswa sering ikut serta melakukan demonstrasi baik itu di lingkungan kampus maupun diluar kampus. Fokus penelitian ini adalah menganalisis dan mengkonstruksikan persepsi mahasiswa tentang latar belakang demonstrasi dilingkungan kampus Universitas Haluoleo, yang meliputi alasanalasan munculnya demonstrasi dalam pandangan mahasiswa dan isu serta materi yang sering diusung yang menjadi triger factor munculnya
HASIL DAN PEMBAHASAN Demosntasi dalam Perspektif Mahasiswa. Latar Belakang Demonstrasi Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dilingkungan kampus seringkali diklaim sebagai suatu cara dan upaya untuk mendorong proses perubahan termasuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa terkait dengan penyelenggaran proses-proses akdemik yang berlangsung di kampus. Dalam banyak fakta, demonstrasi mahasiswa selalu berhasil mewujudkan perubahan baik itu perubahan kebijakan pada tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Dalam persepsi mahasiswa, faktor yang melatari terjadinya demonstrasi mahasiswa dilingkungan kampus, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri mahasiswa atau faktor individual (internal) dan situasi lingkungan di mana mereka berada atau faktor eksternal. Faktor yang berasal dari dalam diri mahasiswa, lebih pada munculnya kesadaran 71
untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan yang dirasakan tidak adil atas berbagai kebijakan yang diambil birokrat kampus terkait dengan proses akademik dan non akademik yang terjadi dilingkungan kampus. Kesadaran itu muncul sebagai dampak dari sebuah proses pencerahan dan proses belajar secara intensif yang dilakukan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan di kampus maupun melalui diskusi atau dialoq anatar mahasiswa maupun dengan para senior di lembaga-lembaga internal maupun eksternal kampus. Kesadaran itu kemudian merangsang mereka untuk menerapkan apa yang diketahuinya dalam kehidupan akademiknya sehingga kemudian melahirkan kesadaran kolektif untuk melakukan demonstrasi. Dalam persepsi mahasiswa, ada beberapa hal yang ikut serta menfasilitasi munculnya kesadaran itu, diantaranya (1) ingin mempraktekan ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya dari bangku pendidikan ke dalam kehidupan sehari-hari untuk semakin memantapkan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengalaman nyata; (2) ingin menunjukkan kemampuannya kepada khalayak atau mahasiswa lainnya dan dan para tenaga pengajar dilingkungan kampus atas apa yang dimilikinya sebagai bentuk aktualisiasi diri (3) upaya mengembangkan karir intelektual untuk menuju masa depan yang lebih baik. Termasuk sebagai upaya untuk melatih diri dalam mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan atau kelompoknya. Sejalan dengan itu, ada beberapa hal yang dominan melatari terjadinya demonstrasi mahasiswa seperti kebijakan kampus yang kurang menguntungkan mahasiswa seperti kenaikan SPP. Sehingga kemudian demonstrasi lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan kampus yang dianggap merugikan atau tidak adil. Selain itu juga, adanya tindakan sebagian tenaga akademik yang dianggap melanggar panduan akademik seperti malas mengajar, memperlakukan mahasiswa dalam proses pembelajaran secara diskriminatif dan pengelolaan administrasi dan keuangan yang tidak transparan sehingga menghambat proses perkuliahan mahasiswa seperti keterlambatan dana praktikum. Selain itu juga, demonstrasi dilakukan karena sarana dan prasarana
perkuliahan yang sudah tidak memadai seperti tuntutan perbaikan gedung perkuliahan dan fasilitas perkuliahan lainnya yang dianggap tidak memadai lagi. Sikap kritis mahasiswa terhadap para pengambil kebijakan ditingkat kampus, biasanya mulai bangkit ketika mereka menemukan hal-hal menyimpang atau terdapat kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan mahasiswa. Kebijakan itu dianggap berlangsung secara sistematis sehingga kemudian merugikan kepentingan mahasiswa. Berbagai ketimpangan yang selalu menjadi momentum munculnya demonstrasi mahasiswa sebagaimana disebutkan diatas ternyata juga menurut persepsi sebagaian mahasiswa diduga seringkali ditumpangi oleh kepentingan sekelompok orang untuk melakukan bargaining baik secara politik maupun ekonomis dengan pihak-pihak tertentu pada tingkat pengambil kebijakan. Dalam konteks ini, demonstrasi mahasiswa dapat dipahami sebagai bentuk dari perlawanan mahasiswa terhadap struktur negara yang dianggap tidak mampu menciptakan keadilan dilingkungan kampus disatu sisi tetapi disisi lain juga demonstrasi dianggap sebagai upaya menata dan melatih kecakapan dalam menyampaikan aspirasi. Motivasi mahasiswa melakukan demonstrasi dalam konteks ini adalah untuk mendorong terciptanya keadilan dan kenyamanan dalam mengikuti kegiatan akdemik di kampus. Demonstrasi mahasiswa seringkali dilakukan oleh kelompok-kelompok aktivis mahasiswa kampus baik itu yang berasal dari BEM, DPM maupun HMPS atau lembagalembaga intra kampus lainnya. Tujuan mereka antara lain (1) membela mahasiswa atas tindakan yang dianggap merugikan kepentingan mahasiswa baik itu secara individual maupun kelompok. (2) mengoreksi kebijakan pimpinan universitas atau fakultas dalam rangka untuk kepentingan mahasiswa; (3) melakukan protes sebagai wujud dari kemarahan mereka, ketika para pimpinan atau pengambil kebijakan dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awal sebagaimana dijanjikan melalui kampanye mereka pada saat mengajukan diri sebagai calon pimpinan universitas maupun fakultas.
72
Bagi para aktivis mahasiswa di lingkungan kampus Unhalu, lahirnya kesadaran kritis untuk terlibat, membangun dan mengembangkan gerakan dalam bentuk demonstrasi, selalu diawali dengan peningkatan kapasitas diri dalam menimba ilmu dan pengetahuan, serta memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran kritis dari para tokoh kritis yang diidolakan. Pengetahuan yang diperoleh melalui bacaan dan diskusi yang berkembang dalam kelompok studi mahasiswa telah menginspirasi lahirnya gerakan demonstrasi dan perjuangan mahasiswa untuk membela kepentingannya. Bahan bacaan atau pengalaman para tokoh itulah kemudian yang menginspirasi para mahasiswa di kampus dalam membangun sebuah kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan terutama yang dilakukan oleh pihak pengambil kebijakan di kampus. Dengan membaca dan mahami isi buku dan karya-karya hasil pemikiran tokohtokoh dunia itu diakui dapat meningkatkan kapasitas intelektualnya. Mereka menjadikan organisasi yang diikutinya sebagai tempat berdiskusi, mematangkan diri, mencari pengalaman, serta belajar mengembangkan pemikiran kritis dalam mamahami fenomena lingkungannya. Para mahasiswa menjadikan organisasi baik intra kampus maupun ekstra kampus sebagai tempat berkiprah melakukan aktivitas secara berkelompok. Melalui organisasi itu para aktivis gerakan mahasiswa menyamakan visi dan persepsi dalam menelaah isu-isu publik yang menurut mereka menyimpang dari prinsipprinsip keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Kemudian mereka melakukan berbagai upaya strategis untuk melakukan perubahan tatanan sosial yang dianggap tidak merugikan masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada aktivitas perkuliahan mahasiswa. Dalam hubungan itu, para aktivis mahasiswa senantiasa mencari atau membentuk wadah pergerakan sebagai tempat mereka berkiprah dalam rangka mewadahi aspirasi mereka apabila wadah internal yang secara formal tidak mampu memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Pembentukan wadah tersebut didasari oleh kesamaan visi termasuk isu yang dibangun. Namun secara formal wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan gerakan demonstrasi adalah lembaga kemahasiswaan
yang ada pada tingkat universitas/fakultas atau organisasi intra kampus seperti MPM, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau organisasi kemahasiswaan lainnya. Lembaga kemahasiswaan itu di nilai telah teruji sangat efektif bagi para aktivis untuk tempat menempa diri, tempat berdiskusi, mencurahkan gagasan dalam menelaah berbagai persoalan yang terkait dengan kepentingan mahasiswa. Umumnya para aktivis mahasiswa kampus, senantiasa berupaya menguasai lembaga kemahasiswaan sebagai tempat bagi mereka melakukan pengembangan gerakannya. Diakui bahwa lembaga kemahasiswaan internal kampus dianggap sebagai wadah yang cukup independen dan tidak berada dalam kendali kekuasaan, sehingga memungkinkan organisasi kemahasiswaan itu berjuang sebagai oposan atau kelompok yang kritis yang berada di luar struktur kekuasaan negara atau kampus. Menurut para informan, sebagai proses awal untuk mewujudkan pragmatisasi ide dalam bentuk gerakan, salah satu ruang yang paling utama untuk direbut adalah lembaga kemahasiswaan. Perebutan lembaga kemahasiswaan bukan karena ada peluang ekonomi tetapi melalui lembaga itulah mahasiswa berkiprah mengembangkan idealisme, termasuk sebagai sarana untuk menempa diri mereka untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Merebut atau menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan dilakukan untuk menjamin bahwa gerakan demonstrasi dilakukan terlembagakan secara independen sehingga dalam mengemban gerakan, mahasiswa memilki posisi tawar yang kuat. Gerakan demonstrasi mahasiswa di kampus selalu dilakukan atas inisiatif mahasiswa sebagai jawaban atas keresahan yang dirasakan oleh mahasiswa selama menimbah ilmu dikampus. Para mahasiswa dalam melakukan gerakan demonstrasi disamping didorong oleh faktorfaktor sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas, juga disebabkan oleh adanya fakta bahwa telah terjadi ketimpangan yang dianggap merugikan mahasiswa. Proses pembahasan isu gerakan ridak hanya dilakukan di kampus, melalui lembaga-lembaga yang telah disebut diatas tadi tetapi juga pembahasan isu demonstrasi dilakukan secara fleksibel baik itu di tempat kost mahasiswa, maupun di warung kopi. 73
Fenomena seperti itu, dilkaukan untuk menunjukan bahwa demonstrasi mahasiswa tetap berbasis pada moral forces, tidak berbasis pada econimic determenisme sebagaimana yang diduga oleh sebagaian pihak belakangan ini. Kemurnian demonstrasi mahasiswa dalam kampus tersebut nampak dalam setiap gerakan demonstrasi yang dilakukan, dimana mahasiswa selalu tegas mendesak pengambil kebijakan untuk memperhatikan aspirasi yang disampaikan dan mahasiswa tidak berhenti mengusung satu isu demonstrasi jika isu belum mendapatkan tanggapan positif para pengambil kebijakan dilingkungan kampus seperti halnya demonstrasi penolakan kenaikan SPP beberapa tahun lalu. Namun para mahasiswa mengakui bahwa demonstrasi yang mereka bangun, sebagian belum dilakukan secara terencana dan sitematis tetapi mereka berharap dengan demonstrasi itu ada kesadaran dari mahasiswa untuk melakukan kontrol terhadap pengambil kebijakan termasuk kesadaran dari pengambil kebijakan untuk selalu memperhatikan aspek keadilan dalam setiap keputusan yang diambil terkait dengan kepentingan mahasiswa. Dalam persepsi mahasiswa, keterlibatan para mahasiswa dalam berbagai aksi demonstrasi merupakan bagian dari cara mereka mengembangkan potensi diri sekaligus menimba pengalaman dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Umumnya para mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi adalah mereka yang sudah berpengalaman dalam berorganisasi sejak mereka masih berada di bangku Sekeloah Menengah Umum (SMU). Hal itu menunjukan bahwa tindakan mahasiswa dalam melakukan demonstrasi, tidak hanya dimotivasi oleh keinginan untuk mengembangkan potensi diri tetapi juga merupakan bentuk kepedulian terhadap permasalahan mahasiswa, terutama terkait dengan kondisi kebijakan yang dianggap tidak memihak kepada kepentingan mahasiswa. Apalagi kemudian mereka sudah memiliki pengalaman dan bakat untuk berorganisasi sehingga dengan organisasi para aktivis itu bisa membangun dan mengembangkan relasi dengan berbagai pihak dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Gerakan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan bagian dari upaya yang
diharapkan dapat mewujudkan perubahan dilingkungan kampus menjadi lebih baik terutama dalam upaya menciptakan kampus yang bersih dan akuntabel. Demonstrasi mahasiswa, secara historis memang seringkali berhasil dalam mendorong terjadinya perubahan. Gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa sampai saat ini masih dipercaya sebagai agent of change, dan juga merupakan kontrol masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama lingkungan kampus. Fenomena itu juga dapat ditemukan dalam gerakan mahasiswa di Kampus Unhalu. Setiap ada gerakan demonstrasi yang di kampus, pasti dimotori oleh para aktivis mahasiswa. Mereka selalu berada dilini terdepan untuk menyuarakan kepentingan mahasiswa sekaligus untuk mendorong perubahan. Sebagian besar mahasiswa yang menjadi informan penelitian ini mengakui bahwa demonstrasi mahasiswa yang dibangun di kampus tidak bisa dilepaskan dengan isu nasional, meskipun ada juga gerakangerakan mahasiswa di Kampus yang membawa atau menggandeng isu-isu lokal yang terjadi di kampus. Dengan mengetahui fenomena yang terjadi serta memiliki kesadaran dan mempunyai kapasitas untuk bertindak, mereka dapat melibatkan diri dalam gerakan mahasiswa. Umumnya, mahasiswa terlibat dalam suatu gerakan karena mereka tahu dan sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres di luar sana (di lingkunganya) yang terkait dengan sistem dan praktek tata kepemerintahan di kampus. Aspekaspek itulah umumnya yang mendasari atau melatar belakangi lahirnya gerakan demonstrasi mahasiswa di kampus. Demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam kelembagaan mahasiswa atau gerakan yang dilakukan secara terkonsolidasi diakui menjadi alat kontrol yang efektif. Lingkungan kampus yang bebas untuk mengembangkan demokrasi menjadikan aktivis dalam lembaga kemahasiswaan juga merasa bebas dalam mengeluarkan gagasan, pendapat atau aspirasi untuk kemudian diperjuangkan. Mereka mau mewujudkan idealismenya, asalkan sistem dan tatanan yang ada juga tidak mengkoptasi gerakan mahasiswa. Kalau sistem yang ada mengekang atau membatasi ruang gerak mahasiswa, maka untuk memudahkan pengembangan gerakan, terlebih dahulu 74
mendorong perubahan sistem yang ada. Untuk membangun gerakan yang efektif, kondisi kelembagaan mahasiswa yang tidak netral atau dikendalikan penguasa kampus harus disterilkan terlebih dahulu. Sebagian mahasiswa mengatakan bahwa para aktivis mahasiswa yang sering terlibat dalam aksi demonstrasi dilingkungan kampus pada umumnya adalah mereka yang sering terlibat dalam gerakan-gerakan demonstrasi diluar kampus. Proses penguatan kapasitas diri para mahasiswa dilakukan melalui berbagai cara seperti sistim kaderisasi, diskusi, kajian, membaca buku, koran, menulis artikel dimedia dan lain-lain. Dengan demikian, para mahasiswa memiliki pemahaman yang cukup mengenai isuisu yang berkembang yang terjadi di lingkungan kampus. Ruang demokrasi telah memberi kebebasan kepada semua elemen masyarakat terutama mahasiswa untuk selalu mewujudkan keresahan mereka terhadap berbagai kebijakan kampus yang dianggap merugikan mahasiswa untuk selalu melakukan aksi perlawanan dalam bentuk demonstrasi. Apalagi mereka menganggap bahwa demonstrasi merupakan salah satu cara terampuh untuk memperjuangkan aspirasi mereka sehingga kemudian mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijkan dilingkungan universitas maupun fakultas. Namun sebagian mahasiswa juga menyandari bahwa dalam setiap demonstrasi, fenomena pro dan kontra dalam aksi demonstrasi selalu saja muncul. Dan itu mereka anggap sebagai dinamika dalam gerakan demonstrasi. Mereka juga mengakui bahwa konflik kepentingan dalam demonstrasi selalu mewarnai proses-proses aksi atau gerakan yang dilakukan. Di satu sisi, ada demonstrasi yang secara tegas mengoreksi kebijakan yang dianggap merugikan mahasiswa tetapi di sisi lain ada sekelompok orang yang selalu berupaya untuk mempertahankan status quo dengan melakukan berbagai upaya hingga mengarah pada tindakan intimidatif. Kelompok ini selalu beranggapan bahwa gerakan koreksi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dianggap sebagai upaya merongrong kewibawaan para pengambil kebijakan di tingkat kampus. Mereka biasanya berupaya melakukan upaya-upaya loby untuk meredam demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Bagi
sebagian informan mengatakan bahwa pengalaman seperti ini sangat penting bagi mahasiswa dalam rangka melatih diri dalam memperjuangkan kepentingan yang lebih besar untuk kepentingan bersama. Isu-isu yang sering kali menjadi perhatian mahasiswa untuk melakukan demonstrasi adalah seperti isu beasiswa, kenaikan spp, perbaikan gedung perkuliahan, biaya praktikum dan lain-lain yang dianggap bersentuhan langsung dengan lkepentingan mahasiswa. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa menurut persepsi mahasiswa, faktor yang melatari munculnya demonstrasi mahasisswa adalah factor dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Faktro dari dalam meliputi ; semangat untuk mempraktekan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari bangku kuliah ke dalam kehidupan sosial sebagai bagian dari cara memantapkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam pengalaman nyata; keinginan untuk menunjukkan potensi dan kekuatan yang dimiliki kepada mahasiswa lain sebagai bentuk aktualisiasi diri; sebagai upaya mengembangkan karir dan reputasi intelektual menuju masa depan yang lebih baik. Faktor ini oleh sebagian mahasiswa diakui sebagai perwujudan dari kesadaran mahasiswa atas kapasitas dirinya sehingga tidak mempersoalkan penilaian mahasiswa atas tindakan yang dilakukan. Sedangkan factor eksternal meliputi : semangat untuk membela kepentingan mahasiswa atas perlakuan yang dianggap merugikan kepentingan mahasiswa, melakukan korekasi atas kebijakan kampus yang dianggap bertentangan dengan idealisme mahasiswa, dan perilaku dari para pengambil kebijakan ditingkat kampus yang dianggap telah menyimpang dari aturan perundang-undangan seperti tidak transparan, serta mendorong akuntabilitas dalam tata kelola kampus.
75
Culla, Adi Suryadi, 1999. Patah Tumbuh Hilang Berganti Sketsa Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik Dan Sejarah Indonesia (1908-1998). PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, R. Andriadi, 2007. Mahasiswa Hanya Bisa Demo; Potret Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi. Mimpiku Bukusiana, Jakarta.
Denzin, Norman K and Lincoln Yvonna S. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publications. Internacional Educational and Professional Publisher. Thousand Oaks London New Delhi.
Barlian, 2011. Gerakan Mahasiswa di Kendari: Disertasi program doktor sosiologi. Universitas Negeri Makasar (tdk dipublikasikan). Blumer, Herbert, 1995. Attitude and Social Act: Simbolic Interaction. Free Press, New York.
Dody Rudianto, 2010. Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Perubahan Nasional. Golden Terayon Press, Jakarta.
Bogdan, Robert, and Steven J. Taylor.1975. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to Social Sciences. John Wiley & Sons, New York.
JA,
Chaidar, Al, dan Sahrasad, Herdi, dan, Rahman, M. Fajroel, 2000. Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani dan Ideologi Reformasi. Madani Press, Jakarta.
Deny, 1998. Menjelaskan Gerakan Mahasiswa dalam Dedy Jamaluddin Malik, Gejolak Reformasi Menolak Anarki. Wacana Mulia, Bandung.
Magenda, Burhan D, 1995. Gerakan Mahasiswa Dan Hubungannya Dengan Sistem Politik: Suatu Tinjauan”, dalam Analisis Kekuatan Politik di Indonesia. Pustaka LP3ES IndonesiaJakarta.
Cresswell, John W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. SAGE Publications, London, New Delhi.
76
PENERAPAN METODE PEMECAHAN MASALAH DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA (Suatu studi di SDN 01 Poasia) Kota Kendari tahun 2012 Oleh: Nana Sumarna1
Abstrak. Metode pemecahan masalah merupakan suatu metode ilmiah yang digunakan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan pemecahan masalah adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa. Studi ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013 di SDN 01 Poasia dengan mengambil sampel kelas V. Prosedur penelitian menggunakan alur penelitian tindakan kelas. Fokus materi adalah materi pecahan yang sedang dipelajari oleh siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses keterlaksanaan skenario pembelajaran aktivitas guru pada siklus I pertemuan 1 sebesar 77,5% dan pada siklus I pertemuan 2 aktivitas guru mencapai 85%, sedangkan pada siklus II pertemuan 1 sebesar 90% dan pada siklus II pertemuan 2 meningkat menjadi 97,5%. Aktivitas siswa pada siklus I pertemuan 1 sebesar 76,42% dan pada siklus I pertemuan 2 mencapai 87,85%, sedangkn pada siklus II pertemuan 1 sebesar 95,71% dan pada siklus II pertemuan 2 meningkat menjadi 97,14%. Dari segi hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus I sebesar 52,5% atau sebanyak 21 orang dari 40 siswa yang tuntas memperoleh nilai ≥ 70 dengan nilai rata-rata 79,48, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 82,5% atau sebanyak 33 orang dari 40 siswa yang tuntas memperoleh nilai ≥ 70 dengan nilai rata-rata 89,84. Kata kunci: Pemecahan masalah, hasil belajar, Pecahan
menjadi kurang berminat dan termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran. Akibatnya nilai rata-rata hasil belajar siswa menjadi rendah. Hal ini jelas sangat memperihatinkan mengingat betapa pentingnya matematika dalam dunia pendidikan. Masalah yang sama sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya juga terjadi di SDN 01 Poasia. Berdasarkan data yang diperoleh menujukkan bahwa nilai rata-rata ulangan harian matematika pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan siswa kelas V C semester genap tahun pelajaran 2011/2012 hanya sebesar 61,14. Nilai ini berada dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan di Sekolah tersebut yaitu minimal ≥ 70. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Muhsetyo, 2008: 1.26). Oleh karena itu, pembelajaran matematika hendaknya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar memperoleh hasil yang maksimal. Namun pada kenyataannya untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar belum sesuai dengan harapan. Salah satu penyebabnya adalah cara pengajaran dari guru yang kurang mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran. Hal tersebut membuat siswa 1
Dosen PGSD FKIP Universitas Halu Oleo 77
belajar matematika di kelas V C SDN 01 Poasia belum optimal dan masih perlu diperbaiki. Berdasarkan maslah tersebut, upaya mencari akar penyebab masalah dengan melakukan beberapa kegiatan antara lain: 1. Melakukan observasi pada saat guru mengajar. Dari hasil observasi tersebut, peneliti menemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa adalah karena pembelajaran lebih berpusat pada guru (teacher centered). Adapun metode pembelajaran yang digunakan guru lebih didominasi oleh metode ceramah. Akibatnya siswa cenderung pasif dalam menerima materi pembelajaran yang diberikan oleh guru. 2. Melakukan wawancara dengan siswa tentang pelajaran yang diikuti. Dari hasil wawancara tersebut, peneliti menemukan bahwa faktor lain yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa adalah karena adanya rasa jenuh dari siswa dengan pola pembelajaran dari guru yang sama terus-menerus yakni guru selalu menggunakan metode ceramah terus-menerus. Akibatnya siswa menjadi kurang berminat dan termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran. 3. Melakukan observasi tentang hasil kerja siswa pada materi penjumlahan dan pengurangan pecahan. Tujuan dari kegiatan ini adalah peneliti ingin mengetahui penyebab rendahnya nilai rata-rata ulangan harian matematika pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan siswa kelas V C tahun pelajaran 2011/2012. Dengan mengetahui hal tersebut peneliti dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi saat itu untuk tidak terulang lagi pada kelas V C yang sekarang. Hasil observasi menujukkan bahwa: (1) Siswa kurang memahami masalah yang terdapat pada soal. Hal ini dapat dilihat pada pekerjaan siswa yang salah dalam mengidentifikasi hal yang diketahui dalam soal, (2) Siswa kurang teliti dalam menyelesaikan soal. Hal ini terlihat dari jawaban yang diperoleh siswa meskipun model matematikanya sudah benar namun masih ada kesalahan pada jawaban akhirnya, (3) Siswa jarang memeriksa kembali jawaban
yang telah diperolehnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahamanan dari siswa tentang manfaat dari memeriksa kembali jawaban yang telah diperolehnya. Untuk dapat mengatasi masalah sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya guru memerlukan suatu metode yang tepat. Salah satu metode yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut adalah metode pemecahan masalah. Metode ini mampu menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika. Hal ini disebabkan karena metode ini memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada siswa untuk memecahkan masalah matematika yang dihadapinya. Guru hanya perlu membimbing siswa secara bertahap agar siswa dapat menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hudojo (dalam Kaimudin, 2008: 77) bahwa matematika yang disajikan dalam bentuk masalah-masalah akan memberikan motivasi bagi siswa untuk mempelajari matematika dengan baik. Selain itu, dengan menggunakan metode pemecahan masalah pembelajaran yang semula bepusat kepada guru (teacher centered) dapat berubah menjadi berpusat pada siswa (student centered). Hal ini disebabkan karena pembelajaran dengan pemecahan masalah menekankan pada tiga hal yaitu: (1) meningkatkan sikap positif siswa terhadap matematika, (2) mendorong siswa berpartisipasi lebih aktif, dan (3) menghadapkan siswa pada keterampilan yang menantang agar siswa terlatih melakukan pemecahan masalah dan berfikir analitik ( Chicko dalam Kaimudin, 2008: 79). Akibatnya siswa akan cenderung berpatisipasi lebih aktif dalam proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut: (1) pemahaman masalah (understanding the problem), (2) merencanakan pemecahan atau penyelesaian (devising a plan), (3) melaksanakan rencana pemecahan atau perhitungan (carrying out the plan), dan (4) memeriksa proses atau hasil perhitungan (looking back) (Polya dalam Kaimudin, 2008: 83). Dengan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut diharapkan siswa mampu menyelesaikan soal pemecahan masalah khususnya dalam bentuk soal cerita. 78
Metode Pemecahan Masalah merupakan metode mengajar yang lebih tinggi tingkatnya dari cara belajar lainnya. Untuk memecahkan masalah diperlukan aturan-aturan tingkat tinggi, aturan-aturan dan konsep terdefinisi. Untuk memperoleh aturan-aturan ini sudah harus belajar konsep konkrit, dan untuk belajar konkret harus menguasai diskriminasi-diskriminasi (Dahar, 1989:135). Dalam bidang Pendidikan Dasar Survey (PDS), pemecahan masalah dapat berupa penyelesaian soal-soal, yang biasanya lebih banyak pada soal-soal yang memerlukan kemampuan pemahaman konsep dan aplikasinya. Metode pemecahan masalah juga memiliki beberapa keunggulan. Adapun keunggulan dari metode pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (a) mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, (b) mengembangkan kemampuan berpikir kritis, (c) mempelajari bahan pelajaran yang aktual dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, (d) jika dilaksanakan secara kelompok dapat mengembangkan kemampuan sosial siswa, (e) mengoptimalkan kemampuan siswa (dalam Anitah, 2009: 5.32). Oleh karena itu, metode ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V C di SDN 01 Poasia.
Witherington (dalam Aunurrahman, 2009: 35) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian. Anitah (2009: 2.5) mendefinisikan bahwa belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru, secara keseluruhan sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Hasil Belajar Gagne (dalam Muhammad dan Arif, 2011: 22) mengemukakan bahwa hasil belajar berupa hal-hal sebagai berikut: 1) Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah, maupun penerapan peraturan. 2) Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintetis fakta-konsep, dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas. 3) Strategi kognitf, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. 4) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak. 5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan metode pemecahan masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V C pada materi pecahan di SDN 01 Poasia? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V C pada materi pecahan melalui penerapan metode pemecahan masalah di SDN 01 Poasia. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Belajar Menurut Gagne (dalam Ratna, 2011: 2) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Sedangkan 79
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Purwanto (dalam Muhammad dan Arif, 2011: 31), hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dibedakan menjadi dua golongan sebagai berikut: 1) Faktor yang ada pada diri organisme tersebut yang disebut faktor individual. Faktor individual meliputi hal-hal sebagai berikut: (a) Faktor kematangan atau pertumbuhan, (b) Faktor kecerdasan atau intelegensi, (c) Faktor latihan dan ulangan, (d) Faktor motivasi, (e) Faktor pribadi. 2) Faktor yang ada di luar individu yang disebut faktor sosial. Termasuk ke dalam faktor di luar individual atau faktor sosial antara lain sebagai berikut: (a) Faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, (b) Suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam turut menentukan bagaimana dan sampai mana belajar dialami anak-anak, (c) Faktor guru dan cara mengajarnya, (d) Faktor alat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar.
METODE PENELITIAN
Metode Pemecahan Masalah Metode pemecahan masalah merupakan suatu metode ilmiah yang digunakan dalam proses pembelajaran (Anitah, 2009: 5.31). Menurut Sudirman, dkk (Aina Mulyana 2012, diakses 6 Januari 2013) metode pemecahan masalah adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa. Anitah (2009: 5.32) mengemukakan beberapa keunggulan pembelajaran dengan menggunakan metode pemecahan masalah diantaranya: 1) Mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah 2) Mengembangkan kemampuan berpikir kritis 3) Mempelajari bahan pelajaran yang aktual dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat 4) Jika dilaksanakan secara kelompok dapat mengembangkan kemampuan sosial siswa 5) Mengoptimalkan kemampuan siswa
Faktor yang Diteliti Adapun faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor guru, yaitu aktivitas guru pada saat proses pembelajaran di kelas. 2. Faktor siswa, yaitu (a) aktivitas siswa, dan (b) hasil pembelajaran siswa dalam pembelajaran matematika pada materi pecahan dengan menggunakan metode pemecahan masalah.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru sehingga hasil belajar siswa meningkat (Wardhani dalam wina, 2010: 142). Setting Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013 di kelas V C SDN 01 Poasia. Penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus dan setiap siklus terdiri dari dua kali pertemuan. Subjek Penelitian Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V C di SDN 01 Poasia dengan jumlah siswa 40 orang, yang terdiri dari 16 orang siswa laki-laki dan 24 orang perempuan. Dengan sasaran utama meningkatkan hasil belajar matematika di kelas tersebut.
Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri atas dua siklus. Adapun langkah-langkah dalam siklus tersebut terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan dan evaluasi (observing and evaluation), serta refleksi (reflecting). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Belajar Siswa Hasil tes siklus I menunjukan bahwa pemahaman siswa tentang materi pembelajaran 80
yang diajarkan masih tergolong rendah karena belum memenuhi standar ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah yaitu 80% siswa telah mencapai nilai minimal 70. Berdasarkan hasil evaluasi siklus I ini, diperoleh persentase ketuntasan belajar klasikal sebesar 52,5%, dimana dari 40 orang siswa yang menjadi subyek penelitian hanya 21 orang siswa saja yang mencapai ketuntasan belajar individual sedangkan sisanya sebanyak 19 orang atau sekitar 47,5% siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Berdasarkan dari hasil evaluasi pada pelaksanaan tindakan siklus I yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan sekolah maka penelitian ini dilanjutkan pada siklus II. Dengan harapan pembelajaran dapat ditingkatkan dan mencapai target ketuntasan belajar pada pelaksanaan tindakan siklus II. Selanjutnya, hasil tes siklus II menunjukan bahwa terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar klasikal siswa jika dibandingkan dengan tes siklus I yaitu dari 40 orang siswa, yang dinyatakan tuntas adalah 33 orang siswa atau sekitar 82,5% sedangkan sisanya sebanyak 7 orang atau sekitar 17,5% siswa saja yang belum mencapai ketuntasan belajar . Hal ini menunjukan bahwa ketuntasan hasil belajar tersebut telah mencapai indikator yang telah ditentukan yaitu 80% siswa telah mendapatkan nilai minimal ≥70.
persentase aktivitas siswa pada pertemuan kedua caranya adalah jumlah skor perolehan semua kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum semua kelompok dan dikalikan dengan 100%, sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa pada pertemuan kedua siklus I ini adalah 87,85%. Hal ini jika dibandingkan dengan pertemuan pertama aktivitas siswa mengalami peningkatan sebesar 11,43%. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa pada pelaksanaan tindakan siklus II, jumlah skor yang diperoleh pada pertemuan pertama adalah 134 dari jumlah skor maksimum 140 dengan skor maksimum setiap kelompok adalah 20. Untuk menentukan persentase aktivitas siswa pada pertemuan pertama ini caranya adalah jumlah skor perolehan semua kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum semua kelompok dan dikalikan dengan 100%, sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa pada pertemuan pertama siklus I ini adalah 95,71%. Pada pertemuan kedua jumlah skor yang diperoleh adalah 136 dari jumlah skor maksimum 140 dengan skor maksimum setiap kelompok adalah 20. Untuk menentukan persentase aktivitas siswa pada pertemuan kedua caranya adalah jumlah skor perolehan semua kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum semua kelompok dan dikalikan dengan 100%, sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa pada pertemuan kedua siklus I ini adalah 97,14%. Hal ini jika dibandingkan dengan pertemuan pertama aktivitas siswa mengalami peningkatan sebesar 1,43%.
Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa pada pelaksanaan tindakan siklus I, jumlah skor yang diperoleh pada pertemuan pertama adalah 107 dari jumlah skor maksimum 140 dengan skor maksimum setiap kelompok adalah 20. Untuk menentukan persentase aktivitas siswa pada pertemuan pertama ini caranya adalah jumlah skor perolehan semua kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum semua kelompok dan dikalikan dengan 100%, sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa pada pertemuan pertama siklus I ini adalah 76,42%. Pada pertemuan kedua jumlah skor yang diperoleh adalah 123 dari jumlah skor maksimum 140 dengan skor maksimum setiap kelompok adalah 20. Untuk menentukan
Aktivitas Guru dalam Pembelajaran Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas guru pada pelaksanaan tindakan siklus I, jumlah skor yang diperoleh pada pertemuan pertama adalah 31 dari jumlah skor maksimum 40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4, jadi diperoleh persentase keterlaksanaan skenario pembelajaran oleh guru dengan membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah skor maksimum dan dikalikan 100 % maka, diperoleh hasil 77,5%. Pada pertemuan kedua jumlah skor yang diperoleh adalah 34 dari jumlah skor maksimum 40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4, 81
jadi diperoleh persentase keterlaksanaan skenario pembelajaran oleh guru dengan membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah skor maksimum dan dikalikan 100 % maka, diperoleh hasil 85%. Hal ini jika dibandingkan dengan pertemuan pertama aktivitas guru mengalami peningkatan sebesar 7,5%. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas guru pada pelaksanaan tindakan siklus II, jumlah skor yang diperoleh pada pertemuan pertama adalah 36 dari jumlah skor maksimum 40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4, jadi diperoleh persentase keterlaksanaan skenario pembelajaran oleh guru dengan membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah skor maksimum dan dikalikan 100 % maka, diperoleh hasil 90%. Pada pertemuan kedua jumlah skor yang diperoleh adalah 39 dari jumlah skor maksimum 40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4, jadi diperoleh persentase keterlaksanaan skenario pembelajaran oleh guru dengan membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah skor maksimum dan dikalikan 100 % maka, diperoleh hasil 97,5%. Hal ini jika dibandingkan dengan pertemuan pertama aktivitas guru mengalami peningkatan sebesar 7,5%.
3. Persentase aktivitas guru pada pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan pertama sebesar 77,5%, dan pada pertemuan kedua meningkat menjadi 85%. Untuk persentase pelaksanaan tindakan siklus II pertemuan pertama aktivitas guru mengalami peningkatan keberhasilan yaitu sebesar 90%. Keberhasilan ini juga meningkat menjadi 97,5% pada pertemuan kedua. 4. Persentase aktivitas siswa pada pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan pertama sebesar 76,42%, dan pada pertemuan kedua meningkat menjadi 87,85%. Untuk persentase pelaksanaan tindakan siklus II pertemuan pertama aktivitas guru mengalami peningkatan keberhasilan yaitu sebesar 95,71%. Keberhasilan ini juga meningkat menjadi 97,14% pada pertemuan kedua.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Bagi guru-guru sekolah dasar, dapat menerapkan metode pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika karena dengan menerapkan metode pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. 2. Bagi Sekolah, dapat mengadakan pelatihan metode pembelajaran termasuk metode pemecahan masalah sehingga dapat memperkaya pengetahuan guru dalam memperbaiki kinerjanya. 3. Bagi peneliti lain, yang hendak melaksanakan penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini, dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dengan mengkaji lebih luas pembahasan yang ada di dalamnya.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil belajar siswa kelas V C pada materi pecahan di SDN 01 Poasia dapat ditingkatkan melalui metode pemecahan masalah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar siswa pada siklus I yaitu dari 40 orang siswa yang menjadi subyek penelitian sebanyak 52,5% siswa atau sekitar 21 orang siswa yang mencapai ketuntasan belajar individual, pada siklus II meningkat menjadi 82,5% atau sekitar 33 orang siswa yang mencapai ketuntasan belajar individual, dengan peningkatan sebesar 30%. 2. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I adalah 79,48 sedangkan hasil belajar siswa pada siklus II adalah 89,84, dengan peningkatan sebesar 10,36 poin. 82
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Muchtar A. 2007. Pendidikan Matematika II. Jakarta: Universitas Terbuka.
Anitah W., Sri. 2009. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Muhsetyo, Gatot, dkk. 2008. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Adnan. 2012. Penerapan Metode Problem Solving (PS) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Materi Operasi Hitung Campuran Bilangan Bulat Siswa Kelas IV B di SDN 01 Poasia Kota Kendari. Skripsi Mahasiswa Program Studi PGSD FKIP Universitas Haluoleo Kendari.
Musfiqon, HM. 2012. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Sanjaya, Wina. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Syamrilaode. 2010. http://id.shvoong.com/writing-andspeaking/presenting/2063168-konseppecahan-dalam-matematika/ (diakses 6 Januari 2013).
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Aina Mulyana. 2012. http://ainamulyana.blogspot.com/2012/02/m etode-pemecahan-masalah-problem.html (diakses 6 Januari 2013)
Thobroni, Muhammad & Arif Mustofa. 2011. Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: ArRuzz Media.
Idris, Nurfatanah. 2011. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa pada Materi Pokok Operasi Hitung Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan Melalui Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) di Kelas V SD Negeri 01 Poasia. Skripsi Mahasiswa Program Studi PGSD FKIP Universitas Haluoleo Kendari.
Winataputra, Udin S. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Wilis Dahar, Ratna. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Gelora Aksara Pratama.
Kaimudin, L. 2008. Pengantar Dasar matematika. Kendari: Universitas Haluoleo
83
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SEARCH SOLVE CREATE AND SHARE (SSCS) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MATERI GERAK LURUS KELAS X2 SMAN 1 KABANGKA TAHUN AJARAN 2012/2013 Oleh: La Harudu1 Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang pelaksanaannya dibantu dengan tujuan mendeskripsikan aktivitas hasil belajar IPA Fisika siswa kelas X SMA Negeri I Kabangka pada materi pokok gerak lurus. Setelah diajarkan dengan model pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) diperoleh data hasil analisis bahwa : (I) aktivitas belajar siswa kelas X.2 SMA Negeri I Kabangka tahun 2012/2013 meningkat dari kategori cukup berubah menjadi baik melalui kegiatan proses belajar-mengajar siklus I dan siklus II, (II) hasil belajar IPA Fisika siswa kelas X.2 SMA Negeri I Kabangka yang diajar dengan menggunakan search, solve, create and share (SSCS) diperoleh sebesar nilai keberhasilan sebagai berikut : pada siklus I skor terendah 42,5 dan tertinggi 82,5 dengan rata-rata 64,4 dimana 5 orang siswa atau 48,4% belum tuntas dan 16 orang siswa atau 51,6% belum tuntas ini berubah setelah proses pembelajaran pada siklus II dengan presentase keberhasilan 77,4% siswa telah tuntas dan 22,6 % siswa belum tuntas dengan presentase peningkatan ketuntasan sebesar 29%. Kata kunci : pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) melalui fase pembelajaran, hasil belajar.
dari model pembelajaran yang dipilih oleh guru mata pelajaran. Salah satu indikator yang meyebabkan ketidak capaian kompentensi yang diajarkan guru fisika dikabupaten muna khususnya SMAN 1 KABANGKA menunjaukan bahwa guru kurang kereatif dalam melakukan inovasi pembelajaran baik dalam pemilihan materi ajaran, model pembelajaran, metode, maupun media pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif dan bosan dalam menghadapi atmosfer pembelajaran dikelas.suasana kelas bagaikan penjara yang pengap,tanpa ada alas an kebebasan bagi peserta didik untuk menikmati kegiatan pembelajaran yang menarik dan menyenagkan. (moh.salam dkk,2011). Hal ini di jumpai oleh hasil penilitian bakwa guru fisika yang mengajar di kelas 2 SMAN I KABANGKA yakni sebagai berikut: 1. Siswa selalu ramai pada saat pembelajaran berlangsung sehingga konsetraksi siswa tidak terfokus 2. Keberadaan guru di kelas kurang mendapat perhatian siswa. 3. Siswa kurang tertarik dengan cara guru menyampaikan materi .
LATAR BELAKANG Undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional telah ditetapkan degan peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 telah digariskan ketentuan minimum bagi satuan pendidikan formal harus dapat memenuhi mutu pendidikan yang dapat diatasi degan kebijakan pemerintah berdasarkan data-data yang handal dari lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan. Mutu adalah sebuah peroses struktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan (Jeromes.arcaro,2007), selajutnya umaedi (1999 mejelaskan bahwa mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upah) baik berupa barang maupun jasa. Dalam konteks hasil pendidikan mutu mengacu pada perstasi yang dicapai oleh sekolah dalam pada kurun waktu tertentu . Akan tetapi capaian pendidikan (hasil belajar) tergantung pada bahan ajaran yang berkulitas (mohamad nuh , uji publik kurikulum 2013;31 mei 2013) makin baik bahan ajaran yang digunakan maka capaian pandidikan makin baik pula. Bahan ajaran sesunguhanya direncanakan 1
Dosen Pend. Fisika FKIP Universitas Halu Oleo 84
4. Tidak ada keberanian siswa dalam mengajukaan pertanyaan 5. Proses pembelajaran fisika cenderung berpusat pada guru ,Partisipasi siswa pada saat pembelajara cenderung hanya mencacat dan mendengarkan penjelasan guru,cenderung diam sehingga intraksi antara guru dengan siwa berlangsung satu arah.Inilah yang menyebabkan nilai hasil belajaran siswa pada kelas 2 SMAN I KABANGKA .
menggunkaan model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS). KAJIAN PUSTAKA Model pembelajaran Search Solve Create and Share ( SSCS) adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam meyelidiki sesuatu, membangkitkan minat bertanya serta memecahkan masalah-masalah nyata (Pizzin,Ramos,2010;15-19) yang terdiri dari empat (4) fase yakni; 1. Fase search terfokus pada ide-ide yang dapat memudahkan mengidentifikasi serta mengembangkan pertanyan yang akan diselidiki. 2. Fase solve berpusat pada masalah spesifik yang telah diidentifikasi pada search sehingga siswa dapat menghasilkan dan menetukan jawaban yang benar . masalah sepesifik yang sudah terjawab semianya dihubungkan kedalam suatu sekema konseptual siswa . 3. Fase create mengharuskan siswa untuk menghasilkan suatu produk terkait permasalahan,membandikan data degan masalah, melakukan generalisasi, memproduksi data mejadi tingkat paling sederhana . sehingga dapat mengembangkan suatu produk invofatif yang mengkomunikasikan fase search ke fase solva. 4. Fase share adalah melibatkan siswa dalam megkomunikasikan jawaban terhadap masalah / pertanyaan.
Berdasarkan uraian di atas maka perluh di upayakan untuk menerapkan model pembelajaran agar sedapat mungkin bisa mengatasi peingkatan hasil belajar siswa . sehingga penelitian tertarik untuk menerapkan model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share (SSCS). Di mana model pembelajaran ini di fokuskan pada siswa dalam menyelidiki sesuaatu,membangkitkan minat bertanya serta memecahkan masalah-masalah nyata. Materi gerak lurus sangat membuhtuhkan alur proses model pembelajaran (SSCS). Karena model pembelajaran ini sudah di rancang mengajarakan sepuluh konsep kepada siswa untuk berpikir tingkat tinggi. sehingga terdapat beberapah masalah yang di pandang sebagai latar belakang penelitian yakni sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran aktifitas belajar fisika siswa kelas X2 SMAN 1KABANGKA .Materi gerak lurus di ajarakan dengan model pembelajaraan Search,Solve,Create,And Share ( SSCS). 2. Bagaimana gambara hasil belajar fisika kelas X2 SMAN 1 KABANGKA materi gerak lurus setalah di ajara dengan menggunkan model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS). 3. Bagaimana peningkatan hasil belajaran fiksika siwa kelas X2 SMAN 1 KABANGKA materi gerak lurus setelah di ajarkan model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS). 4. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan adalah untuk mendeskripsikan aktifitas belajar siswa ,hasil belajar siswa ,dan peningkatan hasil belajar siswa kelas X2 SMAN I KABANGKA dengan
Aktifitas siswa pada kegiatan belajar megajar dapat diamati dari seringnya siswa bertanya pada guru, berani menjawab pertanyaan , mau megerjakan tugas, mgemukakan pendapan dan sebagainya. Sehingga aktifitas siswa merupakan keterlibatan siswa dalam bentuk sikapa, pikiran, dan perhatian, sedangkan guru sebagai pembimbing dab meyediakan bahwa pelajaran berperilaku sebagai mediator, dan faselitator. Arikunto dalam iskandar (2008.128) Aktifitas belajar siswa berujung pada hasil belajar merupakan capaian pendidikan dalam peroses belajar megajar dikelasifikasikan dalam tiga keyakinan yakni sebagai berikut:
85
Ranah hasil belajarkongnitif berkenaan degan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enama aspek yakni pengetahuan, pemahaman aplikasi, analisis, sintensis, dan evalusi. Ranah hasial belajar efektif berkenaan degan partisipasi siswa dalam pelajaran, sikap khusus siswa,respon siswa dalam kegiatan membaca,meyimak, maupun menulis (susanto,2009;7). Ranah hasil belajar psikomotorik berkenaan degan hasial belajar keterampilan dan kemampuan bertindak.menurut Arikunto(2005) pengukuran ranah pesikomotorik dilakukan degan hasil – hasil belajar yang berupa penampilan seperti keterampilan meyiapkan alat, memperhatikan kebersihan serta kerja sama.
METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus dengan menerapkan Model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS),siklus 1 dua kali pertemuan dan siklu 2 satu kali pertemuan dengan indicator ketuntasan minimum sebesar 64, penelitian ini dilakasanakan pada semester genap tahun 2012 dikelas x2 SMAN 1KABANGKA tahun ajaran 2011/2012 diikuti oleh 31 orang siswa terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 15 orang siswi perempuan. Faktor yang diselidiki yakni sebagai berikut ; (1) Aktifitas belajar siswa (2) Hasil belajar siswa dan (3) Peningkatan hasil belajar siswa Hasil observasi awal bersama guru bidang studi fisika ditetapkan tindakan yang digunakan dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa dan hasil belajar siswa adalah degan mengunakan Model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS) degan tahap-tahap. 1. Perencanan meliputi kegiatan sebagai berikut ; membuat rencanan prosese pembelajaran RPP01,lembar kegiatan siswa (lks),instrument keaktivan siswa, keaktivan guru, soal tes evaluasi hasil belajar besrta kuncinya untuk tes siklus 1guru, soal tes evaluasi hasil belajar besrta kuncinya untuk tes siklus 1. 2. Pelaksanan tindakan ; meliputi pelaksanan scenario pembelajaran dalam menerapakan Model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS) pada materi gerak lurus model degan langkah-langkah kegiatan berikut ; (1) Pendahuluan (2) Kegiatan inti dan (3) Kegiatan menutup pembelajaran 3. Observasi meliputu kegiatan ; mengamati pelaksanaan Model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS) yang dilakukan guru mengamati aktivitas belajar siswa 4. Evaluasi ; dilaksaankan pada setiap akhir siklus pelaksanaan tindakan dagan harapan untuk ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa terhadap konsep-konsep gerak lurus
Hasil belajar menurut ahli psikologi modern dibagi tiga perinsip ; 1) Belajar selalu di mulai degan suatu masalah dan berlangsung sebagai usaha untuk memecahkan masalah . 2) Peroses belajar selalu merupakan usaha untuk memecahkan atau memahami hubungan antara bagian –bagian masalah itu. 3) Belajar itu berhasil bila disadari telah ditemikan hubungan di antara unsur-unsur dalam masalah itu sehigga diperoleh insting atau wawasan. (Rusyam ,at.1989;90). Sedangkan menurut wawan (2009) ada empat (4) perinsip belajar ; 1) Perinsip kesiapan; tingkat keberhasilan belajar tergantung pada kemampuan siswa. 2) Prinsip asosi; tingkat keberhasilan tergantung pada kemampuan siswa megasosiasikan hubugan – hubugan apa yang sedang dipelajari . 3) Prinsip latihan; mempelajari sesuatu itu perlu berulang–ulang baik memepelajari pengetahuan keterampilan. 4) Prinsip efek (akibat); situasi emosional pada saat belajar akan memepegaruhi hasil belajarnya.
86
degan meggunakan Model pembelajaran Search Solve Create And Share ( SSCS) serta aktivitas belajar siswa. 5. Refleksi ; data yang diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi dianalisis untuk melihat kelemahan dan keuggulan pelaksanan Model pembelajaran Search,Solve,Create,And Share ( SSCS) materi gerak lurus sehigga dapat menetapkan langka – langkah lebih lanjut pada siklus berikutnya. Degan target keberhasilan penelitian dan ketentuan belajar klasikal yang ditentukan minimal 75% dan skor hasil belajar paling rendah kkm yang ditetapkan sekolah adalah 65.
langkah-langkah berikut: (a) Pendahualua, (b) kegiatan inti, dan (c) kegiatan menutup pembelajaran. 3. Observasi meluputi kegiatan ; mengamati pelaksanaan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) yang dilakukan guru mengamati aktifitas belajar siswa. 4. Evalusai ; dilaksanakan pada setiap akhir siklus pembelajaran tindakan dengan harapan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil pelajar terhadap konsepkonsep guru harus dengan menggunakan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) serta aktivitas belajar siswa. 5. Refleksi ; data yang diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi di analysis untuk melihat kelemahan dan keunggulan pelaksanaan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) materi gerak lurus sehingga dapat menetapkan langkah-langkah lebih lanjut pada siklus berikutnya.
METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus dengan menerapkan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS), siklus I dua kali pertemuan dan siklus II satu kali pertemuan yang diamati langsung oleh guru fisika. Dengan indikator ketuntasan minimum sebesar 64 ,Penelitian ini dilaksanakan pada semester Genap tahun 2012 di kelas X2 SMAN kabangka tahun ajaran 2011/2012 di ikuti oleh 3 orang siswa Terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 15 orang siswa perempuan Faktor yang di diselidiki yakni Sebagai berikut : (1) aktifitas belajar siswa (2) hasil blajar siswa dan (3) peningkatan hasil belajar siswa Hasil observasi awal bersama guru bidang studi fisika ditetapkan tindankan yg di gunakan dapat Menigkatkan aktifitas belajar siswa dan hasil belajar siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dengan tahap- tahap : 1. Perencanaan meliputi kegiatan berikut; membuat rencana proses pembelajaran RPP01, lembar Kegiatan siswa ( LKS), instrument keaktifan siswa, keaktifan guru, soal teks efaluasi hasil Belajar besrta kuncinya untuk teks siklus 1. 2. Pelaksanaan tindakan ; meliputi kegiatan pelaksannan sekenario pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran searah: Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dilakukan oleh dua orang guru model dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas siswa dalam proses belajarmengajar dengan menggunakan model pembelajarn Search, Solve, Create, and Share (SSCS) diamati disajikan pada tabel I. Tabel I Rata-rata aktivitas siswa pada setiap siklus No Aspek yang dinilai Siklus I II 1 Mendengarkan dan 3,5 3,7 memperhatikan pejelasan guru 2 Melakaukan pendidikan 2,8 3,5 awal tentang suatu masalah yang diberikan 3 Meletakkan ide-ide mereka 3,0 3,4 dalam sebuah daftar apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan 4 Mencari solusi dan 2,7 3,3 masalah yang ada 5 Mengumpulkan data dan 2,7 3,4 menganalysis serta 87
No
Aspek yang dinilai I menyelesaikannya Menghasilkan produk yag berupa solusi masalah yang di buat dalam daftar benar atau salah Menyusun hasil penyelidikan Memprestasekan hasil penelitian Menanggapi setiap hasil penyelidika yang di paparka oleh kelompok lain
6
7 8 9
Siklus II
No 10
2,7
3,5
3,0
3,1
2,8
3,5
3,0
3,6
Mengajukan pertanyaan tenteng konsep/ perinsip yang belum di mengerti daari materi yang di ajarkan Rata-rata aktifitas siswa Kategori
AG AK AB DP DA HJ HN HS IP IF JA JS LS LF LD LT MU MM MB MH NR NT NA RN SR SS ST SN WE WH LI
64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64
Siklus I II 2,7 3,1
2,9
3,4
cuk up
Bai k
Selanjutnya data hasil belajar siswa setelah dianalisis secara deskritis pada materi gerak lurus yang di laksanakan dua siklus di sajikan pada tabel 2.
Tabel : 2 hasil belajar siswa dalam setiap siklus. Siklus I No Urutan siswa KKM Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Aspek yang dinilai
77,5 70,0 60,0 62,5 72,5 62,5 72,5 82,5 61,0 55,0 80,0 80,0 82,5 65,0 47,5 72,5 62,5 77,5 47,5 52,5 57,5 80,0 60,0 55,0 42,5 75,0 70,0 50,0 50,0 60,0 65,0
88
Kategori ST ST BT BT ST BT ST ST ST BT ST ST ST ST BT ST BT ST BT BT BT ST BT BT BT ST ST BT BT BT ST
Siklus II Nilai 90,9 84,1 63,6 86,4 86,4 75,0 81,8 81,8 77,3 99,1 84,1 84,1 68,2 68,2 61,4 79,5 81,8 86,4 61,4 79,5 61,4 95,5 77,3 63,6 63,6 79,5 77,3 77,3 81,8 77,3 88,6
Kategori ST ST BT ST ST ST ST ST ST BT ST ST ST ST BT ST ST ST BT ST BT ST ST BT BT ST ST ST ST ST ST
Dari data pada tabel tersebut diatas, dapat diringkas sebagai berikut: Nilai rata-rata Nilai tertinggi Nilai terendah Standar deviasi Jumlah ST Jumlah BT % sudah tuntas % Belum Tuntas
64,4 82,5 42,5 11,2 15 16 48,4 51,6
76,8 95,5 59,1 9,9 24 7 77,4 22,6
Keterangan ; ST = SUdah Tuntas dan BT = Belum Tuntas telah memenuhi KKM dan 7 orang siswa atau 22,6% belum memenuhi KKM. Peningkatan hasil belajar dari siklus I ke siklus II sebesar 12,4 ini adalah efek dari model pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) yang dilakukan peneliti pada pokok bahasan gerak lurus.
PEMBAHASAN Analisis deskriptis menunjukkan rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus I sebesar 2,9 berada pada kategori cukup yang didominasi oleh indikator-indikator berikut: mencari solusi dari masalah yang ada, mengumpulkan produk, dan mengajukan pertanyaan. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi model pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) yang dilaksanakan guru, hal baru bagi siswa sehingga suasana kelas tidak kondusif. Untuk mengatasi hal itu peneliti bersama guru mata pelajaran fisika melakukan refleksi yaitu sebagai berikut: memberikan motivasi dan apresepsi, menciptakan situasi membimbing dan mengarahkan siswa, membantu siswa dalam mengaitkan pengalaman, penguasaan kelas semuanya itu masih berada pada kategori cukup. Indikator-indikator ini yang diperbaiki pada siklus II menunjukkan adanya peningkatan dimana dari kategori cukup meningkat menjadi baik (2,9 berubah menjadi 3,4) ini terlihat indikator aktivitas siswa semuanya berada dalam kategori baik dan sangat baik. Hasil belajar berdasarkan analisis deskriptif yang ditunjukkan pada setiap siklus mengalami peningkatan. Pada siklus I skor capaian yang dicapai siswa bervariasi dengan rincian skor minimum 42,5 dan skor maksimum 82,5 dan rata-rata skor hasil belajar siswa sebesar 64,4, dimana 15 orang siswa atau 48,4% telah mencapai KKM dan 16 orang siswa atau 51,6 % belum mencapai KKN. Pada siklus II, skor minimum hasil belajar siswa sebesar 59,1, skor maksimum 95,5 dan rata-rata hasil belajar sebesar 76,8, dimana 24 orang siswa atau 77,4 %
KESIMPULAN Berdasarkan analisis deskriptif terhadap data penelitian ini maka dapat diungkapkan beberapa kesimpulan: 1. Aktivitas belajar siswa kelas X.2 SMA Negeri I Kabangka tahun ajaran 2012/2013 yang diajar dengan model pembbelajaran search, solve, create and share (SSCS) yang dilaksanakan melalui siklus I ke siklus II mengalami peningkatan dari kategori cukup (2,9) berubah menjadi baik (3,4) 2. Hasi belajar siswa pada siklus I cukup bervariasi mulai dari skor 42,5 hingga 82,5 dengan skor rata-rata kelas 64,4. Ini menunjukkan telah mencapai KKM yang ditentukan sekolah sedang pada siklus II juga bervariasi dari skor 59, hingga 95,5 dengan rata-rata sebesar 78,8. 3. Hasil belajar siswa setelah diajarkan dengan model pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) meningkat dimana ratarata hasil belajar siswa pada siklus I 64,4 berubah pada siklus II 76,8 dengan presentase ketuntasan juga meningkat dari 68,4 % menjadi 77,4 %.
89
DAFTAR PUSTAKA Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jakarta.
Ramsan. 2010. Model Pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Berpikir Kritis Siswa SMP topic Cahaya Tesis Paada SP Supi Bandung.
Muh Salam dkk. 2011. Laporan Penelitian Pemetaan Kompetensi Dan Pengembanggan Mutu Pendidikan SMA di Kota Kendari dan Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
Iskandar. 2008. Penelitian Tindak Cipayung Gaurg Persada Pers.
Kelas.
Nuh Muhammad. 2013. Seminar Nasional Uji Publik Kurikulum 2013. Unhalu Kendari.
Susanto P. 2006. Pengajaran Mikro berbasis Kompetensi Malang UPT PPL UM.
Jamiludin. 2011. Laporan Penelitian Pemetaan Kompetensi dan Pengembangan Mutu Pendidikan SMA Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
Rusyam, AT. Dkk. 1989 Pendekatan dalam Proses belajar mengajar Bandung Remaja Rosa Karya.
90
IDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA KELAS XII IA SMA NEGERI 6 KENDARI PADA PELAJARAN BIOLOGI MATERI TRANSPOR MEMBRAN Oleh: M. Sirih, Murni S. Martini, Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan miskonsepsi siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari pada materi transpor membran. Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari yang berjumlah 122 orang. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif untuk mendeskripsikan miskonsepsi siswa pada materi transpor membran. Pengumpulan data menggunakan tes tertulis berupa tes pilihan ganda beralasan yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil analisis rerata persentase tingkat pemahaman siswa menunjukan bahwa siswa memiliki tingkat pemahaman konsep sebesar 16,38%, miskonsepsi sebesar 39,30% dan salah konsep sebesar 44,78%. Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa siswa mengalami miskonsepsi terbesar pada konsep krenasi sebesar 63,11% dan terendah pada konsep isotonik sebesar 8,19%. Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa siswa mengalami miskonsepsi mengenai penggunaan istilah-istilah pada transpor membran seperti krenasi, plasmolisis, osmosis, difusi, hipotonik, hipertonik, isotonik, endositosis, eksositosis, hidrofilik dan hidrofobik. Siswa juga masih mengalami miskonsepsi dalam menentukan tinggi rendahnya konsentrasi suatu larutan serta menentukan arah perpindahan molekul pada peristiwa difusi dan osmosis. Kata Kunci: Miskonsepsi, siswa, transpor membran.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru cenderung kurang memperhatikan mengenai upaya-upaya pemberian konsepkonsep ilmiah kepada siswa. Guru hanya berupaya memperbaiki pola dan metode pembelajaran yang akan dilakukan di kelas. Sementara itu Irawan dalam Sidauruk dalam Kustiyah (2007:24) mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan pendidikan yang amat mencolok tetapi kurang diperhatikan adalah tingkat pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pembelajaran yang masih sangat buruk. Hal ini disebabkan karena adanya miskonsepsi terhadap materi-materi yang dipelajari. . Pola pembelajaran yang sangat instan juga sering diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, dimana siswa dituntun agar mampu menghafal materi pembelajaran yang dipelajari tetapi tidak ada penekanan kepada siswa agar memahami setiap konsep yang ada. Pola pembelajaran dengan cara menghafal ini sering diterapkan pada pelajaran biologi, padahal pemahaman konsep itu jauh lebih penting dari sekedar menghafal materi.
PENDAHULUAN Dalam suatu kegiatan pembelajaran, penguasaan dan pemahaman konsep merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi siswa. Dalam pemahaman konsep ini, siswa terkadang dapat mengalami miskonsepsi yaitu suatu keadaan dimana siswa memiliki konsep-konsep yang tidak tepat karena berbeda dari konsep yang disajikan oleh para ilmuan (Fisher, 1985 dalam Tekkaya, 2002: 259). Menurut Tekkaya (2002: 259) siswa sebelum datang ke sekolah sebenarnya telah memiliki pengetahuan awal tentang fenomena fisik yang diperoleh sebelum belajar, atau dari interaksi mereka dengan dunia fisik dan sosial. Menurut Gustone, et.al., dalam Sudiatmika (1997: 69) konsep yang dimiliki siswa itu masih bersifat pribadi dan tidak sesuai dengan konsep ilmiah, sehingga sangat penting bagi guru dalam memperhatikan konsep-konsep awal yang dimiliki oleh siswa, kemudian guru membenarkan konsep tersebut dengan menanamkan konsep-konsep baru yang bersifat ilmiah.
91
Menurut Eckstein & Shemesh dalam Adisenjaja (2007: 69) konsep awal siswa merupakan faktor penting yang membantu siswa memahami konsep-konsep IPA. Konsep awal yang dimiliki oleh siswa terbentuk dari pengalaman sehari-hari siswa itu sendiri. Sangat penting untuk mengungkapkan mengenai miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan pada tahap selanjutnya. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian tentang miskonsepsi yang dialami oleh siswa, khususnya materi biologi salah satunya mengenai transpor membran. Transpor membran merupakan materi dengan konsep abstrak yang menjelaskan mengenai pengangkutan dan perpindahan molekul melalui membran plasma. Siswa memiliki kesulitan dalam membedakan setiap konsep-konsep mengenai transpor membran. Konsep-konsep dalam materi transpor membran ini menjadi dasar dalam penguasaan konsep-konsep lainnya, sehingga sangat penting bagi siswa dalam memahami konsep-konsep dari materi ini. Sekolah dengan akreditasi baik maupun sekolah yang memiliki akreditasi kurang, tidak menjadi patokan dalam menentukan miskonsepsi siswa. Setiap siswa memiliki kemungkinan yang sama untuk mengalami miskonsepsi, baik itu siswa dari tingkatan sekolah dasar maupun tingkat perguruan tinggi. SMA Negeri 6 Kendari merupakan salah satu sekolah di kota Kendari yang memiliki sistem pengajaran baik dengan guru-guru yang sudah berpengalaman. Berdasarkan observasi dengan guru biologi di SMA Negeri 6 Kendari diketahui bahwa siswa masih memiliki kesulitan dalam memahami dan membedakan setiap mekanisme pengangkutan pada transpor membran. Hal ini terlihat dari kurangnya kemampuan siswa dalam mengaitkan materi transpor membran dengan materi selanjutnya pada jenjang kelas yang lebih tinggi, dimana siswa mengalami kesulitan dalam memahami penerapan transpor membran seperti difusi, osmosis, endositosis dan eksositosis ketika dihadapkan pada contoh lain selain yang diterangkan oleh guru. Ini menunjukan kurangnya pemahaman siswa terhadap konsepkonsep tersebut.
METODOLOGI Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari yang terdafar Tahun Ajaran 2012/2013 yang berjumlah 122 orang. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik sampling jenuh (sensus), yaitu suatu teknik pengambilan sampel dimana semua anggota populasi dijadikan sampel (Ramly, 2008: 61). Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai miskonsepsi yang dialami oleh siswa pada materi transpor membran. Pada penelitian ini diberikan tes pada siswa dengan menggunakan soal pilihan ganda beralasan untuk mengidentifikasi adanya miskonsepsi pada siswa pada materi transpor membran. Tes ini disusun berdasarkan pada silabus dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan oleh guru. Tes ini diberikan pada siswa yang telah mempelajari materi transpor membran yaitu siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari yang berjumlah 122 orang. Tiap butir soal pada soal tes pilihan ganda beralasan ini terdiri atas dua bagian yaitu bagian pertama berisi pertanyaan dengan lima alternatif jawaban dan bagian kedua yang berisi alasan dari jawaban dengan lima alternatif alasan pula. Berdasarkan hasil tes pilihan ganda beralasan diperoleh tiga alternatif tingkat pemahaman konsep siswa yaitu tidak paham konsep apabila jawaban dan alasan salah, miskonsepsi apabila jawaban benar alasan salah maupun jawaban salah alasan benar, dan paham konsep apabila jawaban dan alasan benar. Pemberian skor untuk setiap butir soal pilihan ganda pada tes pilihan ganda beralasan yaitu 2 jika jawaban pertanyaan benar dan alasan benar, 1 jika jawaban pertanyaan benar dan alasan salah atau sebaliknya dan 0 jika jawaban pertanyaan dan alasan salah. HASIL PENELITIAN Tingkat Pemahaman Siswa Rerata persentase tingkat pemahaman siswa mengenai konsep-konsep transpor membran sebesar 16,38% tingkat paham konsep, 39,30% tingkat miskonsepsi dan 44,78% tingkat 92
belum paham konsep. Analisis tingkat pemahaman siswa dari hasil penelitian seperti
terlihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Analisis Tingkat Pemahaman Siswa Mengenai Konsep- Konsep Transpor Membran No
Nomor Item Soal 2. 1. 11. 5. 18. 14. 13. 19. 24. 17. 16. 23. 20. 10. 22. 25. 9. 4. 15. 21. 8. 12. 3. 6. 7. Rerata
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
NSP
%
0 1 3 5 5 7 8 8 8 9 11 11 15 17 18 19 25 27 31 31 43 43 46 51 58
0 0.81 2.45 4.09 4.09 5.73 6.55 6.55 6.55 7.37 9.01 9.01 12.29 13.93 14.75 15.57 20.49 22.13 25.40 25.40 35.24 35.24 37.70 41.80 47.54 16.38
Tingkat pemahaman siswa Nomor NM % Item Soal 10 22 23 24 27 34 35 37 38 46 47 47 47 49 54 55 58 59 60 64 70 71 72 73 77
12. 3. 2. 15. 9. 4. 23. 22. 7. 18. 14. 16. 20. 13. 8. 1. 6. 5. 21. 24. 10. 19. 25. 17. 11.
8.19 18.03 18.85 19.67 22.13 27.86 28.68 30.32 31.14 37.70 38.52 38.52 38.52 40.16 44.26 45.08 47.54 48.36 49.18 52.45 57.37 58.19 59.01 59.83 63.11 39.30
Nomor Item Soal
NBP
%
6. 8. 7. 21. 10. 17. 19. 11. 24. 25. 3. 5. 4. 16. 20. 13. 22. 1. 12. 9. 14. 15. 18. 23. 2.
13 25 26 31 36 40 43 45 49 49 54 59 60 63 63 65 65 66 66 68 68 68 72 75 96
10.65 20.49 21.31 25.40 29.50 32.78 35.24 36.88 40.16 40.16 44.26 48.36 49.18 51.63 51.63 53.27 53.27 54.09 54.09 55.73 55.73 55.73 59.01 61.47 78.68 44.78
kemampuan tinggi dengan nilai 45,95 keatas, 63,93% tingkat kemampuan sedang dengan nilai antara 24,44 dan 45,96 serta 19,67% tingkat kemampuan rendah dengan nilai 24,44 kebawah.
Pengelompokkan Tingkat Kemampuan Siswa Persentase tingkat pemahaman siswa yang dibagi dalam tiga tingkatan yaitu 16,39% tingkat Tabel 2. Analisis Tingkat Kemampuan Siswa NO.
Tingkat kemampuan siswa
1. Kemampuan tinggi 2. Kemampuan sedang 3. Kemampuan rendah
Jumlah siswa 20 78 24
PEMBAHASAN Berdasarkan data pengamatan diketahui bahwa siswa mengalami miskonsepsi terhadap
Persentase (%) 16,39 63,93 19,67
Rentang nilai >45,95 Antara 24,44 dan 45,96 <24,44
konsep-konsep transpor membran. Dari data pengamatan terlihat bahwa miskonsepsi terbesar 93
terdapat pada soal nomor 11 sebesar 63,11% mengenai sebab terjadinya krenasi sedangkan miskonsepsi terendah terdapat pada soal nomor 12 sebesar 8,19% mengenai larutan isotonik. Miskonsepsi juga terjadi pada soal nomor 17 sebesar 59,83% mengenai osmosis, soal nomor 25 sebesar 59,01% mengenai contoh proses eksositosis, soal nomor 19 sebesar 58,19% mengenai arah perpindahan molekul pada proses osmosis, soal nomor 10 sebesar 57,37% mengenai proses difusi, soal nomor 24 sebesar 52,45% mengenai contoh proses endositosis, soal nomor 21 sebesar 49,18% mengenai arah perpindahan pelarut dari hipotonik ke hipertonik, soal nomor 5 sebesar 48,36% mengenai letak protein perifer, soal nomor 6 sebesar 47,54% mengenai dari molekul penyusun membran plasma, soal nomor 1 sebesar 45,08% mengenai jenis molekul yang dapat melewati membran plasma, soal nomor 8 sebesar 44,26% mengenai transpor aktif, soal nomor 13 sebesar 40,16% mengenai larutan hipotonik, soal nomor 20 sebesar 38,52% perpindahan molekul pada peristiwa osmosis, soal nomor 16 sebesar 38,52% mengenai penerapan proses osmosis, soal nomor 14 sebesar 38,52% mengenai larutan hipertonik, soal nomor 18 sebesar 37,70% mengenai pertambahan volume larutan pada peristiwa osmosis, soal nomor 7 sebesar 31,14% mengenai transpor pasif, soal nomor 22 sebesar 30,32% mengenai penyebab terjadinya plasmolisis, soal nomor 23 sebesar 28,68% mengenai proses endositosis, soal nomor 4 sebesar 27,85% mengenai letak protein integral, soal nomor 9 sebesar 22,13% mengenai penentuan arah perpindahan molekul serta penentuan konsentrasi larutan, soal nomor 15 sebesar 19,67% mengenai penerapan proses osmosis, soal nomor 2 sebesar 18,85% mengenai molekul yang dapat langsung melewati membran sel serta jenis molekul hidrofobik dan hidrofilik, dan soal nomor 3 sebesar 18,03% mengenai sifat permeabilitas membran terhadap suatu molekul. Adanya perbedaan persentase miskonsepsi pada tiap item soal menunjukkan adanya perbedaan penguasaan tiap konsep dari materi transpor membran ini. Secara keseluruhan siswa masih mengalami miskonsepsi terhadap konsep-konsep transpor membran, dimana siswa tidak mampu dalam membedakan setiap konsep
pada transpor membran. Misalnya perbedaan antara konsep difusi dan osmosis, transpor aktif dan transpor pasif, plasmolisis dan krenasi, hidrofobik dan hidrofilik, isotonik, hipotonik dan hipertonik, serta endositosis dan eksositosis. Penemuan miskonsepsi yang dialami siswa terhadap materi transpor membran, didukung oleh penelitian yang memiliki pokok masalah hampir sama yang telah dilakukan Kustiyah (2007) pada siswa MAN Model Palangkaraya. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa sebagian besar siswa MAN Model Palangkaraya mengalami miskonsepsi terhadap konsep difusi dan osmosis. Berdasarkan hal tersebut, maka diketahui bahwa setiap siswa memiliki kemungkinan yang sama untuk mengalami miskonsepsi terhadap suatu konsep yang sama. Hal ini diperjelas dengan pernyataan Adeniyi (1985) dan Fisher (1985) dalam Tekkaya (2002: 259), bahwa miskonsepsi bersifat meluas yaitu dialami oleh individu yang berbeda. Berdasarkan hasil tes pilihan ganda beralasan diketahui bahwa pemahaman konseptual siswa masih relatif rendah, khususnya mengenai difusi dan osmosis, arah perpindahan pelarut selama osmosis, penentuan tinggi dan rendahnya konsentrasi suatu larutan serta keadaan sel jika berada pada larutan hipertonik dan hipotonik. Adanya miskonsepsi yang dialami oleh siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari terhadap konsep-konsep transpor membran, menunjukkan bahwa miskonsepsi itu bersifat stabil (Adeniyi, 1985 dan Fisher, 1985 dalam Tekkaya, 2002: 259), sebab materi ini telah diajarkan pada jenjang kelas XI. Ini menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami oleh siswa akan selalu terbawa oleh siswa tersebut bahkan ketika siswa itu memasuki jenjang kelas yang lebih tinggi. Kegiatan pembelajaran biologi khususnya pada konsep-konsep yang bersifat abstrak, misalnya transpor membran lebih menekankan pada penghafalan materi dari pada pemahaman terhadap konsep. Ketika menghafal siswa seringkali menumbuhkan pemahaman sendiri terhadap konsep yang dipelajarinya. Siswa juga menggunakan bahasa sehari-hari yang akan memudahkan dalam memahami konsep yang dibuat oleh siswa tersebut. Hal ini 94
dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi sebab penggunaan bahasa sehari-hari akan berbeda dari konteks ilmiah (Tekkaya, 2002: 260). Selain itu konsep yang dibangun sendiri oleh siswa seringkali berbeda dengan konsep ilmiah. Miskonsepsi yang berhubungan dengan transpor membran dapat berasal dari buku teks dan penjelasan yang diberikan di kelas. Hal-hal tersebut dapat terjadi mengingat dalam kegiatan pembelajaran khususnya pelajaran biologi siswa sangat tergantung pada informasi yang terdapat pada buku teks, terlebih lagi informasi dari guru yang diperoleh siswa melalui pembelajaran di kelas. Guru menjadikan buku teks sebagai satusatunya sumber informasi dan pedoman dalam kegiatan pembelajaran, padahal buku teks masih banyak mengandung kesalahan dan miskonsepsi (Adisendjaja, 2007: 9). Seperti yang dikemukakan oleh Storey (1990) dalam Adisendjaja (2007: 4) bahwa terdapat kesalahan dan miskonsepsi pada buku teks biologi tentang konsep struktur sel, termasuk di dalamnya transpor membran. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Adisendjaja (2007), menyatakan bahwa buku teks biologi masih mengalami kesalahan dan juga mengalami miskonsepsi, salah satunya tentang struktur dan fungsi sel. Menurut Tekkaya (2002: 260), buku teks mengandung banyak kekeliruan dan informasi yang salah, sedangkan guru cenderung tergantung pada buku teks dalam mengajar (hasil penelitian Redhana dan Simamora, 2007). Jika demikian, maka miskonsepsi yang dialami siswa, selain berasal dari buku teks dapat juga dikatakan berasal dari guru, dimana informasi yang diperoleh guru melalui buku teks akan diajarkan kepada siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Tekkaya (2002: 260) bahwa salah satu penyebab terbentuknya miskonsepsi adalah guru, dimana miskonsepsi diturunkan oleh guru melalui kesalahan atau ketidak tepatan dalam mengajar. Pemberian ilustrasi-ilustrasi yang kurang tepat mengenai materi transpor membran saat kegiatan pembelajaran, juga memicu siswa mengalami miskonsepsi, sebab siswa akan salah dalam menafsirkan konsep yang sebenarnya. Penggunaan charta/ gambar tanpa diiringi
penjelasan yang tepat dapat pula membuat siswa mengalami miskonsepsi, dimana siswa akan membentuk konsep berdasarkan apa yang dilihatnya dari gambar. Hal ini dapat terjadi sebab siswa akan membentuk konsepnya sendiri hanya dengan memperhatikan aspek-aspek tertentu dalam suatu situasi (Driver, 1985 dalam Dahar, 2006: 154). Selain itu, penyebab lain miskonsepsi dapat pula berasal dari penggunaan istilah-istilah selama pembelajaran, misalnya hidrofobik, hidrofilik, isotonik, hipotonik, hipertonik. Penjelasan istilah-istilah tersebut berbeda antara buku teks yang satu dan yang lainnya. Jika demikian, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memahami setiap konsep, jika tidak ada penanaman konsep yang tepat selama kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat terjadi mengingat miskonsepsi tertanam dalam ekologi kognitif siswa dan menimbulkan masalah konseptual dalam pikiran siswa (Tekkaya, 2002: 260). Guru juga harus memperhatikan konsepsi awal yang dimiliki siswa mengenai materi trasnpor membran, sebab salah satu penyebab miskonsepsi adalah adanya konsepsi awal siswa yang berbeda dengan konsepsi ilmiah. Konsepsi awal ini dapat mempengaruhi pembelajaran, sebab kadang konsepsi awal ini sesuai dengan konsepsi ilmiah dan kadang pula tidak sesuai atau bertentangan dengan konsepsi ilmiah (Chinn, 2011: 66). Siswa terkadang enggan untuk menerima konsepsi yang sebenanrnya, sehingga siswa mengembangkan konsepsi alternatif baru dengan menggabungkan elemen dari konsepsi awal yang dimiliki siswa dengan elemen dari konsepsi ilmiah (Chinn, 2011: 85). Maka, hal ini semakin memperbesar miskonsepsi siswa terhadap suatu topik. Karena itu sangat penting bagi guru dalam memberikan konsep-konsep ilmiah kepada siswa, terlebih lagi mengarahkan konsep yang dibangun siswa agar sesuai dengan konsep ilmiah. Guru juga harus memperhatikan penggunaan buku teks, terutama penggunaan istilah-istilah karena guru akan menyalurkan informasi tersebut kepada siswa. Hal ini dilakukan untuk mencegah terbentuknya miskonsepsi lebih lanjut.
95
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari mengalami miskonsepsi terhadap konsep-konsep transpor membran. Siswa mengalami miskonsepsi mengenai penggunaan istilah-istilah pada transpor membran seperti krenasi, plasmolisis, osmosis, difusi, hipotonik, hipertonik, isotonik, endositosis, eksositosis, hidrofilik dan hidrofobik. Siswa juga masih mengalami miskonsepsi dalam menentukan tinggi rendahnya konsentrasi suatu larutan serta menentukan arah perpindahan molekul pada peristiwa difusi dan osmosis. Saran yang diajukan yaitu: 1) bagi pemerintah, dalam kegiatan pelatihan guru, sebaiknya menanamkan pemberian konsepkonsep ilmiah kepada guru, agar guru memiliki konsep-konsep ilmiah yang dapat diajarkan kepada siswa, sehingga dapat mengurangi miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa, 2) bagi guru, dalam kegiatan pembelajaran memperhatikan pemberian kosnep-konsep terutama yang berhubungan dengan penggunaan istilah selain bahasa Indonesia, dan 3) bagi peneliti lain, yang berniat untuk melanjutkan penelitian ini dengan menggunakan materi yang sama dan instrument yang sama maka dapat melakukan validasi kembali, selain itu dapat pula menelusuri secara lebih lanjut mengenai miskonsepsi terhadap konsep difusi dan osmosis.
Adisenjaja, Y.H., 2007. Identifikasi Kesalahan dan Miskonsepsi Buku Teks Biologi SMU. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia, 25 –26, Mei. Chinn, C.A., 2011. Education Psychology: Understanding Students’ Thinking. Rutgets University. Dahar, R.W., 2006. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Erlangga. Jakarta. Kustiyah, 2007. Miskonsepsi Difusi dan Osmosis pada Siswa MAN Model Palangkaraya. Jurnal Ilmiah Guru kanderang Tingang, Vol.1 NO.1, Desember. Ramly, 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Program Pasca Sarjana Universitas Haluoleo. Kendari. Redhana, I.W.. dan Simamora, M., 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA. Undiksha, 1(2), 148-160. Tekkaya, C., 2002. Misconception as Barrier to Understanding Biology. Hacettepe Universitesi Egitim Fakultesidergisi, 23, 259-266.
96
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING BERBANTUAN MEDIA SLIDE SHOW ANIMATION UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR FISIKA PADA MATERI POKOK GERAK LURUS SISWA KELAS X3 SMA NEGERI 2 KENDARI1 Oleh: La Sahara2 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran aktivitas siswa dan peningkatan hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus melalui penerapan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa dan hasil belajar fisika siswa pada materi pokok gerak lurus dapat ditingkatkan dari siklus I sampai siklus II dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation. Hal ini ditunjukkan dengan skor rata-rata aktivitas siswa pada siklus I sebesar 2,56 (kategori cukup) dapat ditingkatkan pada siklus II sebesar 3, 28 (kategori baik). Selanjutnya hasil belajar fisika siswa juga menunjukkan peningkatan yang signifikan yakni nilai rata-rata hasil belajar pada siklus I sebesar 72,5 dengan standar deviasi 11,0 meningkat pada siklus II sebesar 79,0 dengan standar deviasi 7,1. Hal ini didukung pula dengan meningkatnya persentase ketuntasan hasil belajar siswa dimana dari 40 siswa, yang mencapai ketuntasan belajar pada siklus I sebesar 65,0% (26 orang), meningkat pada siklus II sebesar 75% (30 orang). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus dapat ditingkatkan dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation. Kata Kunci: Aktivitas, hasil belajar, model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation
masalah (problem solving) merupakan pusat pembelajaran fisika. Salah satu masalah yang dihadapi oleh siswa dalam mempelajari fisika adalah kurangnya upaya guru untuk membangkitkan motivasi siswa dalam mengembangkan atau mengkonstruksi struktur dan konsep berpikirnya melalui kegiatan penyajian masalah fisika dalam materi yang disajikan pada proses pembelajaran dan penyajian materi fisika di kelas secara kontekstual (nyata) dengan melalui tampilan animasi agar pembelajaran fisika lebih bermakna dan mudah dipahami oleh siswa, sehingga pada tataran aplikasinya siswa tidak hanya menuliskan rumus/persamaan fisika tanpa memahami dengan baik maknanya dan hubungan persamaan/rumus tersebut dengan kejadian sehari-hari. Hal tersebut juga dialami oleh siswasiswa di SMA Negeri 2 Kendari dalam kegiatan pembelajarannya, dimana berdasarkan wawancara dengan guru Fisika kelas X3 bahwa
PENDAHULUAN Salah satu model pembelajaran yang dikembangkan dari pendekatan konstruktivisme adalah model pembelajaran creative problem solving. Dalam model pembelajaran ini siswa dihadapkan dengan suatu permasalahan atau pertanyaan, selanjutnya siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah dengan memilih dan mengembangkan respon terhadap masalah yang dihadapi sehingga siswa dapat memperluas proses berpikirnya. Fisika sebagai ilmu pengetahuan yang erat kaitannya berbagai peristiwa dan kejadian di alam dalam proses pembelajarannya tidak terlepas dari masalah. Olehnya itu pemahaman dan keterampilan memecahkan masalah merupakan hal penting terhadap proses belajar fisika. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gerace, W.J & Beatty, I.D, (2005) bahwa pemecahan
1 2
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen Pend. Fisika FKIP Universitas Halu Oleo 97
pembelajaran Fisikakhususnya pada materi pokok gerak lurus, proses pembelajaran dilakukan menggunakan metode ceramah dan sesekali diskusi informasi serta pemberian pertanyaan atau tugas kepada siswa hanya berdasarkan soal-soal yang ada di buku panduan belajar atau buku cetak. Guru kurang menyajikan permasalahan fisika untuk dipecahkan oleh siswa dengan memilih dan mengembangkan respon dari berpikirnya. Selain itu kurangnya inovasi guru dalam mensimulasikan materi pelajaran gerak lurus sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi tersebut dan bahkan sulit membedakan antara konsep yang satu dengan konsep lainnya, seperti jarak dan perpindahan, akibatnya siswa cenderung pasif, hanya menulis dan menerima apa yang diberikan oleh guru. Hal ini berimplikasi terhadap rendahnya nilai ulangan harian pada materi pokok gerak lurus yang diperoleh siswa kelas X3 pada tahun ajaran 2011/2012 yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 60 dan persentase jumlah siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah hanya 55,3% dari 38 orang siswa dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditetapkan sekolah sebesar 65 dengan persentase ketuntasan secara klasikal sebesar > 75% (sumber: guru bidang studi fisika). Menyingkapi permasalahan yang dihadapi tersebut, maka diperlukan inovasi diantaranya dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa, mengembangkan dan mengkostruksi konsep berpikir siswa, meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah fisika dan memahami konsep fisika melalui simulasi dari animasi konsep-konsep fisika khususnya pada materi pokok gerak lurus.
itu tidak lagi sesuai. Siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Menurut teori konstruktivis, guru dapat memberikan kemudahan untuk membangun sendiri pengetahuannya dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan menanamkan kesadaran menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Teori ini berpandangan bahwa belajar adalah hasil konstruksi sendiri untuk belajar (Trianto, 2007). Model pembelajaran creative problem solving adalah model pembelajaran yang memusatkan proses pembelajaran pada keterampilan memecahkan masalah dengan penguatan keterampilan. Ketika siswa dihadapkan dengan masalah/pertanyaan, maka siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan responnya sehingga dapat memperluas proses berpikirnya (Pepkin, 2004:1). Langkah-langkah model pembelajaran creative problem solving menurut Pepkin (2004: 2) adalah sebagai berikut: Pertama: Klarifikasi masalah, yakni pemberian penjelasan tentang masalah yang diajukan sehingga siswa dapat memahami bagaimana penyelesaian masalah yang diharapkan. Kedua: Pengungkapan Pendapat, yakni siswa diberikan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. Ketiga: Evaluasi dan Pemilihan, pada tahap ini siswa mendiskusikan berbagai pendapat atau strategistrategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.Keempat:Implementasi, yakni siswa menerapkan strategi yang telah dipilih sampai menemukan penyelesaian dari masalah yang diberikan. Secara Operasional menurut Saminanto (2010: 106), langkah-langkah menerapkan model pembelajaran creative problem solving dengan media video compack disk sebagai berikut: (1) Guru memberikan apersepsi tentang materi pokok yang akan diajarkan, (2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, (3) Guru memutarkan CD Pembelajaran atau animasi tentang konsep yang dipelajari, (4) Guru
TINJAUAN PUSTAKA Menurut pandangan teori belajar konstruktivis, belajar adalah proses untuk menyesuaikan model mental untuk mengakomodasi pengalaman. Teori belajar ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya bila aturan 98
memberikan soal/ masalah tentang konsep yang dipelajari, (5) Dengan langkah creative problem solving siswa diminta untuk menyelesaikan masalah tersebut, (6) Guru memandu siswa untuk menyamakan persepsi mereka, (7) menyimpulkan kegiatan pembelajaran, (8) Guru melakukan tes Media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. Dalam penggunaannya media harus sejalan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, karena salah satu fungsi media adalah untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran yang sulit diajarkn oleh guru sehingga siswa dapat memahaminya dengan baik. Dengan demikian media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu pembagian media ditinjau dari jenisnya adalah media audiovisual yang memiliki unsur suara dan gambar. Jenis media audiovisual juga terbagi 2 macam yakni (1) audiovisual diam yaitu media yang menampilkan suara dan gmbar diam seperti sound slides, film rangkai suara dan cetak suara, dan (2) audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video cassette (Bahri, S.D, 2006).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMA Negeri 2 Kendari, dan dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012 pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013 pada materi pokok Gerak lurus. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari, yang berjumlah 40 orang yang terdiri dari 17 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Prosedur Penelitian Prosedur pelaksanaan tindakan kelas ini terdiri dari 2 (dua) siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai seperti yang dirancang dalam rumusan masalah. Secara singkat prosedur penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: 1. Perencanaan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: (a) Merancang pembelajaran RPP, (b) Membuat Lembar Kegiatan Siswa, (c) Membuat animasi tentang konsep gerak lurus di komputer, (d) Membuat instrumen observasi terhadap siswa dan guru dalam proses pembelajaran, (e) Menyusun soal evaluasi hasil belajar tes siklus I dan II beserta kunci jawabannya. 2. Pelaksanaan Tindakan. Pada tahap ini guru melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation pada materi pokok gerak lurus guru sesuai dengan RPP yang telah disusun sesuai dengan tahapan dalam model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation 3. Observasi dan Evaluasi. Pada tahap ini dilakukan observasi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan menggunakan lembar observasi yang telah dirancang sebelumnya. Selain itu dilakukan evaluasi hasil belajar pada materi gerak lurus dengan menggunakan tes hasil belajar. 4. Refleksi. Hasil yang diperoleh dari observasi dan evaluasi selanjutnya dikumpulkan dan
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan aktivitas belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus yang diajar melalui model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation, (2) Mendekripsikan hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus yang diajarkan melalui model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation. (3) Mendekripsikan peningkatan hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus yang diajarkan melalui model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation
99
dianalisis pada tahap ini. Berdasarkan hasil analisis dan telaah, maka keunggulankeunggulan aktivitas guru dipertahankan dan ditingkatkan, sedangkan kelemahankelemahan yang terjadi diperbaiki pada siklus berikutnya. Hasil refleksi tersebut digunakan untuk menetapkan langkahlangkah kegiatan pembelajaran pada siklus berikutnya.
Kategori cukup Kategori kurang (Ramly, 2006)
dan (Sudjana, 1996) Dengan :
Xi N
= Nilai rata-rata
HASIL PENELITIAN
= Jumlah nilai yang diperoleh setiap siswa
Deskripsi Aktivitas Belajar Siswa Sesuai dengan pengamatan aktivitas belajar siswa dalam model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation pada siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari ditunjukkan pada Gambar 1 berikut:
= Jumlah siswa
2.
Menentukan persentase ketuntasan belajar dengan rumus: %
tuntas
=
TB x100% N
(Usman dan Setiawati, 2001) Dengan:
TB = Jumlah siswa yang tuntas belajar
N
3.
2 ≤ Xi < 3 1 ≤ Xi < 2
Indikator keberhasilan tindakan pada penelitian ini meliputi indikator proses dan hasil belajar selama guru menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation, yakni: (a) dari segi proses pembelajaran keberhasilan tindakan ditandai oleh adanya rata-rata aktivitas siswa lebih besar 70% dari rata-rata aktivitas ideal 4. (b) dari segi hasil belajar, penelitian tindakan ini berhasil jika persentase ketuntasan belajar dari siswa yang memperoleh nilai ≥ 74 dari nilai ideal 100 dalam penelitian ini adalah minimal 75% dengan jumlah subjek 40 orang siswa.
Menentukan nilai rata-rata hasil belajar siswa ( ) dan standar deviasi (Sd) dengan rumus:
X
:
Indikator Keberhasilan Tindakan
Teknik Analisis Data 1.
:
= Jumlah siswa secara keseluruhan
Menghitung dan mengkategorikan rata-rata aktivitas siswa dengan rumus: N
i =
Xi i 1
N
Keterangan : = Rata-rata skor aktivitas siswa i Xi = Total nilai siswa N = Total item per kelompok dengan kategori aktivitas siswa sebagai berikut. Kategori sangat baik : Xi = 4 Kategori baik : 3 ≤ Xi < 4 100
Gambar 1(a) Gambaran Skor Rata-rata Tiap Satuan Aktivitas Belajar Siswa pada Setiap Siklus. (b) Gambaran Rata-rata Aktivitas Belajar Siswa pada Setiap Siklus Keterangan : 1: Mendengarkan/memperhatika n penjelasan awal guru 2: Membaca dan menelaah buku teks dan LKS. 3: Meklarifikasi Masalah. 4: Mengungkapkan Pendapat.
5: 6: 7: 8:
Mengevaluasi dan memilih alternatif pemecahan masalah. Menerapkan alternatif pemecahan masalah Mempresentasikan hasil yang diperoleh. Memberikan tanggapan terhadap hasil persentasi dari kelompok lain.
Dari Gambar 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa aktivitas siswa pada siklus I pada umumnya masih rendah, seperti aspek: memberikan tanggapan terhadap hasil persentasi dari kelompok lain dengan skor ratarata 2,0 dan aspek mengungkapkan pendapat, memilih alternatif pemecahan masalah dan menerapkan alternatif pemecahan masalah dengan skor rata-rata 2,4 yang semuanya masih berada pada kategori cukup. Sedang aktivitas belajar siswa yang tinggi hanya aspek mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru dan membaca dan menelaah buku teks/LKS dengan skor rata-rata 3,0 (kategori baik) dan secara keseluruhan skor rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 2,5 (kategori cukup). Namun, secara umum semua aktivitas belajar siswa dari siklus I sampai siklus II mengalami peningkatan untuk aktivitas yang diamati dengan skor ratarata satuan aktivitas tertinggi pada aspek
mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru dan membaca dan menelaah buku teks/LKS dengan skor rata-rata 3,6 (kategori baik) dan secara keseluruhan skor rata-rata aktivitas belajar pada siklus II sebesar 3,2 (kategori baik). atau 80 % dari skor ideal 4. Pengamatan Aktivitas Guru Pada pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru yang menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation pada Siklus I umumnya sudah cukup baik, hanya ada beberapa aspek yang belum optimal yakni melakukan refleksi dan penguatan terhadap hasil pemecahan masalah dan melakukan evaluasi terhadap pemahaman siswa serta membimbing siswa untuk menyimpulkan materi yang dipelajari. Dengan melalui kegiatan refleksi oleh guru maka pada Siklus II, maka aktivitas guru yang kurang dan 101
aktivitas belajar siswa yang belum optimal menjadi perhatian untuk diperbaiki dan ditingkatkan pada siklus II, sehingga aktivitas guru pada siklus II sebagian besar sudah sangat baik dalam menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation.
kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari. Selanjutnya guru melakukan refleksi terhadap pelaksanaan pembelajaran dan hasil analisis terhadap hasil belajar siswa pada siklus I, maka dilakukan perbaikan dan peningkatan aktivitas guru dan aktivitas siswa yang belum optimal selama proses pembelajaran pada siklus II. Upaya ini berdampak terhadap hasil belajar fisika siswa pada materi pokok gerak lurus pada siklus II, dimana rata-rata hasil belajar fisika meningkat dari 72,5 pada siklus I menjadi menjadi 79,0 pada siklus II dengan standar deviasi 7,1. Ketuntasan belajar yang juga meningkat yakni siswa yang tuntas belajar menjadi 30 orang (75,0%) dan yang belum tuntas menurun menjadi 10 orang (25,0%) dari 40 orang siswa. Secara lengkap gambaran hasil belajar dan ketuntasan hasil belajar siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus disajikan pada Gambar 2 berikut:
Deskripsi Hasil Belajar Siswa Deskripsi hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation pada siklus I diperoleh rata-rata hasil belajar fisika sebesar 72, 5 dan standar deviasi 11,0. Setelah dilakukan analisis sesuai indikator kinerja yang ditetapkan dengan mengacu nilai KKM sekolah sebesar 74, maka dari segi ketuntasan belajar diperoleh bahwa siswa yang tuntas sebanyak 26 orang (65,0 %) dan siswa yang belum tuntas sebanyak 14 orang (35,0%) dari 40 orang siswa
Gambar2
(a) Deskripsi Hasil Belajar Siswa pada Setiap Siklus. (b) Persentase Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Setiap Siklus
mengikuti pembelajaran seperti model pembelajaran ini, siswa kesulitan memilih dan menerapkan alternatif pemecahan masalah yang mereka pilih, disamping itu animasi konsep gerak lurus yang di tampilkan belum mereka optimalkan dan memahami konsep gerak lurus, sehingga berdampak terhadap hasil belajar siswa yang belum mencapai indikator kinerja secara klasikal yakni hanya 65,0% siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu ≥ 74 dari yang
PEMBAHASAN Sesuai dengan temuan hasil penelitian yang menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation, menunjukkan bahwa pada siklus I aktivitas belajar siswa belum optimal, sebagaimana hasil refleksi yang dilakukan oleh guru dimana pada siklus I sebagian besar aktivitas belajar siswa masih rendah. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa
102
ditetapkan sebesar ≥75% dari 40 siswa, dengan nilai rata-rata hasil belajar sebesar 72,5. Olehnya itu melalui hasil refleksi pada siklus I, maka guru berupaya memperbaiki berbagai kelemahan aspek pembelajaran yang terjadi pada siklus II dan meningkatkan aspek pembelajaran lainnya serta mengoptimalkan animasi konsep fisika dan pemilihan alternatif pemecahan masalah dalam menyelesaikan konsep gerak lurus. Hal ini berdampak meningkatknya setiap satuan aktivitas siswa pada siklus II dengan skor rata-rata sebesar 3,2. Selain itu juga berdampak terhadap peningkatan ratarata hasil belajar siswa pada siklus II menjadi 79,0 dengan ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 75,0% . Meskipun persentase ketuntasan belajar siswa hanya mencapai standar ketuntasan belajar secara klasikal, hal ini terjadi karena KKM yang ditetapkan sekolah pada materi pokok gerak lurus adalah tinggi yakni 74 dibandingkan sebelumnya sebesar 65 dari nilai ideal 100. Peningkatan rata-rata hasil belajar yang cukup tinggi sebesar 79 tersebut didukung oleh aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam menerapkan pembelajaran model creative problem solving berbantuan media slide show animation yang semakin meningkat pada siklus II dan siswa memiliki motivasi tinggi dalam belajar dengan senantiasa berlatih menyelesaikan masalah pada konsep gerak lurus. Hal ini sejalan dengan pendapat Gerace, J.W. (2005) bahwa kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, tidak hanya ditentukan oleh pola pikiran melainkan dipengaruhi oleh kerja maupun latihan. Berdasarkan deskripsi data-data tersebut, menunjukkan bahwa hasil penelitian ini telah mencapai indikator keberhasilan kinerja baik dari segi proses maupun dari segi hasil belajar. Hal berarti bahwa model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation yang diterapkan oleh guru menjadi solusi yang tepat untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Gambaran aktivitas belajar siswa yang diajar melalui model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation dapat ditingkatkan pada setiap satuan aktivitas belajar dari siklus I ke siklus II dengan skor rata-rata pada siklus I sebesar 2,5 (kategori cukup) meningkat pada siklus II menjadi 3,2 ( kategori baik). 2. Gambaran hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus adalah pada siklus I diperoleh: nilai maksimum 96,4 dan nilai minimum 51,8 dengan nilai rata-rata 72,5 dan standar deviasi 11,0 ; dan pada siklus II diperoleh: nilai maksimum 96,0 dan nilai minimum 64,0 dengan nilai rata-rata 79,0 dan standar deviasi 7,1. 3. Model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation menjadi solusi yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar fisika materi pokok gerak lurus pada siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari dengan persentase ketuntasan belajar klasikal pada siklus I sebesar 65% meningkat pada siklus II menjadi 75% dari 40 siswa. Saran Agar penerapan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation optimal, maka diharapkan: 1. Model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation dapat diterapkan pada materi pokok fisika lainnya khususnya konsep-konsep yang berkaitan dengan pemecahan masalah dengan berbagai alternatif pemecahannya. 2. Dalam menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation, kiranya media animasi yang ditampilkan dapat membantu siswa untuk memahami konsep-konsep fisika dengan tetap memperhatikan aspek kontekstual konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. 103
3. Kepada peneliti lainnya yang akan menerapkan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation kiranya dapat memahami beberapa alternatif pemecahan masalah dari suatu konsep fisika agar dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah dalam konsep fisika. DAFTAR PUSTAKA Gerance, J. W. & Beatty, I.D, 2005. Develop Problem Solving Skill: The McMaster Problem Solving Program. Journal Engineering Education. Pepkin, K.L, 2004. Creative Problem Solving in Math. Tersedia di: http://www.uh.edu/hti/cu/2004/04/htm [diakses 16 April 2012] Ramly, 2006. Metodologi Penelitian Pendidikan. Kendari Universitas Haluoleo Saminanto, 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Semarang: RaSAIL Media Group Sudjana, 1996. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Usman dan Setiawati, 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Trianto,
2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Syaiful Bahri D. dan Aswan Zain., 2006.Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
104
JENIS-JENIS TUMBUHAN PAKU (Pteridophyta) DI KAWASAN HUTAN NANGA-NANGA PAPALIA KELURAHAN ANDUONOHU KECAMATAN POASIA KOTA KENDARI1 Oleh: 2
Asmawati Munir , Lili Darlian3, Niluh Sri Buana
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan paku yang terdapat di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari. Metode yang digunakan adalah metode eksplorasi dengan teknik jelajah dimana menjelajahi lokasi penelitian sambil mengumpulkan sampel. Teknik analisis data secara deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan ciri-ciri morfologi setiap jenis tumbuhan Paku yang ditemukan di lokasi penelitian dengan mengacu pada buku-buku identifikasi. Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis tumbuhan paku (Pterydophyta) yang terdapat di lokasi penelitian adalah 12 familia, 20 genus, 27 jenis. Jenis-jenis tumbuhan paku yang ditemukan yaitu: Adiantum cuneatum Lungs. dan Fisch, Anthrophyum semicostatum Desv, Asplenium polyodon G. Forster, Amphineuron terminans (Hook.) Holttum, Bolbitis sp., Ceratopteris thalictroides (L.) Borgn, Christella dentata (Forsk) Browsey & Jermy, Christensenia aescufolia (Bl.) Maxon, Cyathea contaminans (Hook.) Copel, Davallia denticulata (Burm.) Mett, Drynaria sparsisora (Desv.) Moore, Elaphoglossum angulatum (Blume), Elaphoglossum rimbachii J, Gleichenia linearis (Burm.) Clarke, Grammitis sp., Lygodium circinatum Sw, Lygodium flexuosum (L.) sw, Nephrolepis bisserata (Sw.) Schott, Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, Pteris vittata L.spec, Pteris semipinnata L. Spec, Pteris umbrossa L.Spec, Selaginella plana Hieron, Tectaria branchiata, Tectaria sp., Trichomanes javanicum Blume, Trichomanes sp. Kata Kunci : Tumbuhan Paku (Pteridophyta), Hutan Nanga-Nanga Papalia
ditemukan hidup mulai dari lumut, paku-pakuan, herba, liana, epifit dan tegakan. Tumbuhan paku (Pterydophyta) merupakan tumbuhan kormus, memiliki sistem pembuluh sederhana, sistem transpor internal dan hidup di tempat yang lembap. Tumbuhan paku (Pterydophyta) memiliki ciri khas berupa daun yang menggulung saat muda. Akar berupa rhizoma, ujung akar dilindungi kaliptra. Sel-sel akar membentuk epidermis, korteks, dan silinder pusat (terdapat xilem dan floem). Secara tidak langsung tumbuhan paku bermanfaat dalam memelihara ekosistem hutan, yaitu dalam hal pengamanan tanah terhadap erosi, serta berperan membantu proses pelapukan di dalam tanah. Tumbuhan paku (Pteridophyta) yang mempunyai morfologi tubuh menarik dapat digunakan sebagai tanaman hias. Selain itu, beberapa jenis tumbuhan paku dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obatobatan tradisional, tali dan bahan baku kerajinan
PENDAHULUAN Sulawesi Tenggara merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah hutan yang sangat luas, dengan beraneka ragam jenis tumbuhtumbuhan. Salah satu hutan di Sulawesi Tenggara adalah Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia yang terletak di Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari. Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia yang ada di kawasan pegunungan Nanga-Nanga Kota Kendari merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis di Sulawesi Tenggara dengan total luas areal yakni 2.273 ha yang terdiri atas 973 ha hutan lindung dan 1.300 ha hutan produksi. Kawasan hutan ini membentang dan melingkari Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Keberadaannya tidak hanya menjadi ciri khas Kota Kendari, namun juga sebagai daerah tangkapan air. Potensi flora dan fauna cukup tinggi dengan komposisi flora yang 1
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen Pend. Biologi FKIP Universitas Halu Oleo
2,3
105
seperti tas, tikar dan lain-lain (Sastrapradja, 1980:11). Di Kawasan Hutan Nanga-Nanga kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari dijumpai berbagai jenis tumbuhan paku. Akan tetapi banyak jenis tumbuhan paku yang belum diketahui secara jelas jenis-jenis tumbuhan paku apa saja yang tumbuh di daerah ini. Oleh karena itu, untuk mengetahui jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang terdapat di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) apa sajakah yang terdapat di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari?” Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang terdapat di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari.
sebelah kiri dan kanan jalan setapak, dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Penjelajahan dimulai dari jarak 5 m dari jalan raya mengikuti jalan setapak, pengambilan sampel mulai dilakukan setelah 1 m kekanan dan 0,5 m kekiri dari jalan setapak dan masuk ± 1 km ke dalam kearah kanan dan kearah kiri jalan setapak. b. Mengumpulkan sampel tumbuhan paku sambil mengamati ciri-ciri morfologi setiap jenis sampel dan memberikan etiket gantung pada setiap sampel yang ditemukan. c. Melakukan pengukuran parameter lingkungan (kelembaban udara, intensitas cahaya dan pH tanah) pada titik awal, tengah dan akhir tempat pengambilan sampel dengan mempertimbangkan topografi lokasi penelitian. d. Mengoleksi sampel tumbuhan paku dengan membuat herbarium e. Selanjutnya sampel tumbuhan paku diidentifikasi lebih lanjut dengan mengacu pada buku identifikasi: van Steenis (2005), Andrews, S. B., (1990), Sastrapradja (1980), Holttum (1965). Holttum (1988). Holttum (1991). A. Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) yang Ditemukan di Lokasi Penelitian
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yakni dengan menjelajahi lokasi penelitian sambil mengumpulkan sampel tumbuhan paku (Pteridophyta) yang dapat mewakili setiap jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang ditemukan dilokasi penelitian.
Jenis-jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang ditemukan di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia kota Kendari dapat dilihat pada Tabel berikut.
Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menjelajahi sepanjang kawasan Hutan NangaNanga Papalia sampai tidak ditemukan lagi spesies baru, dimana daerah yang dijelajahi yaitu
106
Tabel Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) yang Ditemukan di Lokasi Penelitian. No.
Familia
Genus
Species
1
Cyatheaceae
Cyathea
Cyathea contaminans (Hook.) Copel.
2
Dryopteridaceae
Tectaria
1. Tectaria branchiata 2. Tectaria sp.
3
Gleicheniaceae
Gleichenia
Gleichenia linearis (Burm.) Clarke.
4
Grammitidaceae
Grammitis
Grammitis sp.
5
Hymenophyllaceae Trichomanes
1. Trichomanes javanicum Blume. 2. Trichomanes sp.
7
Lomariopsidaceae
Bolbitis
Bolbitis sp.
8
Parkeriaceae
Ceratopteris
Ceratopteris thalictroides (L.) Borgn.
9
Polypodiaceae
Adiantum
Adiantum cuneatum Lungs. dan Fisch.
Anthrophyum
Anthrophyum semicostatum Desv.
Asplenium
Asplenium polyodon G. Forster.
Davallia
Davallia denticulata (Brum.) Mett.
Drynaria
1. Drynaria sparsisora (Desv.) Moore. 2. Elaphoglossum angulatum (Blume).
Elaphoglossum
Elaphoglossum rimbachii J.
Nephrolepis
1. Nephrolepis bisserata (Sw.) Schott. 2. Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Pteris
1. Pteris vittata L. Spec. 2. Pteris semipinnata L. Spec. 3. Pteris umbrossa L. Spec.
10
Thelypteridaceae
Amphineuron
Amphineuron terminans (Hook.) Holttum.
Christella
Christella dentata (Forssk) Browsey & Jermy
11
Selaginellaceae
Selaginella
Selaginella plana Hieron.
12
Schizaeaceae
Lygodium
Lygodium circinatum Sw. (Pteridophyta) dapat tumbuh dengan baik, Tjitrosoepomo (1980) mengemukakan bahwa tumbuhan paku menyukai tempat-tempat yang teduh dan lembab. Keberadaan tumbuhan paku di Hutan Nanga-Nanga disebabkan oleh kemampuan
PEMBAHASAN Kawasan hutan Nanga-Nanga papalia memiliki kondisi lingkungan yang cukup lembab sehingga memungkinkan tumbuhan paku
107
adaptasi yang baik dari masing-masing spesies tumbuhan paku tersebut serta kemampuannya dalam berinteraksi dengan kondisi lingkungan dan tanah. Berdasarkan hasil penelitian faktor lingkungan yang diukur adalah suhu udara antara 25-28 0C, kondisi ini sesuai dengan suhu yang dibutuhkan oleh tumbuhan paku yang ditandai dengan banyaknya jenis tumbuhan paku yang dijumpai dilokasi penelitian. Kelembaban udara 47-58 %, suhu tanah 20-27 0C, pH tanah 6,2 6,8, intensitas cahaya 10.330-25.300 Lux dan ketinggian tempat 60-130 m dpl. Syafei (1994: 180) keasaman tanah sangat penting untuk menunjukkan kehadiran bahan-bahan mineral, pada pH tanah sekitar 6,5 bahan-bahan mineral yang terlarut dapat memenuhi kebutuhan tumbuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pH tanah yang terukur di Kawasan Hutan NangaNanga Papalia sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan paku (Pteridophyta). Selain itu Menurut Syafei (1994: 168) bertambah tingginya suatu tempat berasosiasi dengan meningkatnya keterbukaan, selain mengakibatkan penurunan suhu juga mempengaruhi kelembaban. Ketinggian mengakibatkan tumbuhan yang berada didaerah-daerah pegunungan menerima hujan lebih banyak daripada daerah rendah, sehingga memungkinkan tumbuhan paku (Pteridophyta) dapat tumbuh dengan baik. Penyebaran habitat tumbuhan paku (Pteridophyta) yang ditemukan di Kawasan Hutan Nanga-Nanga papalia terdiri atas habitat terestrial, epifit dan paku air. Berdasarkan data yang diperoleh, tumbuhan paku (Pteridophyta) yang habitatnya terestrial yakni hidup di tanah ditemukan 18 jenis, yang habitatnya epifit 3 jenis, yang dapat hidup pada habitat terestrial dan epifit 5 jenis dan paku air 1 jenis. Dalam penelitian ini dilakukan 3 titik pengukuran parameter lingkungan untuk menandai keberadaan tumbuhan paku. Dari titik awal ketitik tengah sebelah kanan jalan setapak ditemukan 11 sampel yakni Amphineuron, Cyatheaceae, Chirtenssenia, Adiantum, Asplenium, Davallia, Drynaria, Grammitis, Elaphoglossum, dan Sellaginella. Selanjutnya dari titik tengah sampai akhir dijumpai 6 sampel yang termasuk dalam genus Nephrolepis, Pteris dan Christella. Dari titik awal hingga tengah sebelah kiri jalan setapak dijumpai 4 sampel dari
genus Ceratopteris, Gleichenia, dan Lygodium, selanjutnya dari titik tengah sampai akhir dijumpai 6 sampel yang termasuk dalam genus Tectaria, Trichomanes, Anthrophyum dan Bolbitis. Familia Cyathaceae merupakan tumbuhan paku yang berbentuk pohon. Spesies yang ditemukan adalah Cyathea contaminans (Hook.) Copel. Menurut Sastrapradja (1980:77), jenis paku ini bentuknya khusus, hampir menyerupai bentuk kelapa sehingga mudah dibedakan dengan jenis paku yang lainnya. Paku ini tumbuhnya tidak menyendiri, melainkan bercampur dengan jenis-jenis lain. Kadangkadang berkelompok dan dapat dijumpai pada lereng-lereng pegunungan baik yang terbuka maupun tempat-tempat yang terlindung. Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu 27 oC. Pada ketinggian tempat 90- 120 m dpl. Intensitas cahaya 25.300 lux. Kelembaban udara 50% dan pH tanah yang terukur 6,7. Sesuai dengan pernyataan Sastrapradja (1980) tumbuhan ini menyukai tempat yang tidak begitu kering, dekat dengan aliran sungai, tanah dengan nutrisi cukup, dan tumbuh baik di ketinggian 1- 2000 m dpl. Familia Dryopteridacea yang ditemukan di lokasi penelitian 2 jenis tumbuhan yaitu Tectaria branchiata dan Tectaria sp. Tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan paku yang hidup didaerah agak terbuka dan tidak terlalu kering. Jenis ini ditemukan di tepi aliran sungai pada kondisi lingkungan dengan suhu tanah 25-27 oC. Intensitas cahaya 10.330-10.800 Lux. Kelembaban udara 50-58 oC, dengan pH tanah yang terukur 6,2-6,4 pada ketinggian 60-90 m dpl. Menurut Holttum (1965), jenis ini dapat tumbuh berkelompok ditepi sungai hingga pegunungan, di ketinggian 40- 1500 m dpl. Familia Gleicheniaceae yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu Gleichenia linearis (Burm.) Clarke. Jenis paku ini memiliki daun panjang yang setiap cabangnya akan bercabang lagi. Gleichenia merupakan tumbuhan paku yang tempat hidupnya meliputi daerah-daerah di tepi tebing, di pinggir-pinggir kali atau sungai. Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu berkisar antara 27- 28 o C. Intensitas cahaya 10.440 - 25.300 lux. Kelembaban udara 50 – 58% pada pH tanah yang 108
terukur 6,2 - 6,8 dan ketinggian tempat 60 - 80 m dpl. Sesuai dengan pernyataan van Steenis (2005: 76), tumbuhan ini banyak dijumpai di daerah yang terkena cukup air seperti tepi sungai, terkena cahaya matahari dan tumbuh baik pada ketinggian 30 - 2.800 m dpl. Familia Hymenophyllaceae yang ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 2 jenis yaitu Trichomanes javanicum Blume dan Trichomanes sp. Tumbuhan ini dijumpai di tanah yang lembab dan ternaung. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 25 - 27 oC. Intensitas cahaya 10.330 25.300 Lux. Kelembaban udara 50 - 58 % dengan pH tanah yang terukur 6,2 - 6,7 pada ketinggian 60 - 120 m dpl. Menurut Sastrapradja (1980), tumbuhan ini hidupnya di tanah, terdapat di daerah terbuka maupun di daerah lembab, dapat dijumpai didataran rendah hingga pegunungan. Familia Lomariopsidaceae merupakan tumbuhan paku terestrial yang banyak dijumpai di daerah ternaung dibawah pepohonan, dengan intensitas cahaya rendah, kelembaban tinggi dan berada di tepi sungai serta mengandung unsur hara yang cukup. Pada familia ini dijumpai 1 spesies yakni Bolbitis sp. Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu tanah 27 oC. Intensitas cahaya 10.330 lux. Kelembaban udara 58% dengan pH tanah yang terukur 6,4 pada ketinggian 90 m dpl. Menurut van Steenis & Holttum (1982) jenis tumbuhan dari suku Lomariopsidaceae ditemukan pada ketinggian 50 - 1200 m dpl, hanya beberapa spesies saja yang ditemukan pada ketinggian di atas 1500 m dpl. Sangat baik tumbuh pada daerah berbatu dan di tepi sungai. Familia Marattiaceae yang ditemukan di lokasi penelitian adalah jenis Christensenia aescufolia (Bl) Maxon, merupakan jenis tumbuhan paku terestrial yang dapat berkembang di daerah terdedah maupun ternaung dan tanah agak kering. Tumbuhan ini di temukan pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 27 - 28 o C, kelembaban udara 47 - 50 %, suhu tanah 25 27 oC, intensitas cahaya 10.330 - 25.300 Lux dengan pH tanah yang terukur 6,2 - 6,8 pada ketinggian 90 - 130 m dpl. Menurut Tjitrosoepomo (1989), paku ini berupa paku
tanah, tumbuh diatas tanah yang agak kering dan terkena sinar matahari. Familia Parkeriaceae yang ditemukan di lokasi penelitian adalah jenis Ceratopteris thalictroides (L) Borgn, merupakan tumbuhan paku air namun tetap mengambil zat makanan dari dalam tanah. Tumbuhan ini ditemukan di bagian tepi pada air yang tergenang, pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 27 oC. Kelembaban udara 50 %. Intensitas cahaya 10.440 Lux pada ketinggian 60 m dpl. Menurut Sastrapradja (1980), jenis paku ini tumbuh di air yang tidak mengalir deras, di sawah, di rawa, di tepi-tepi sungai yang berlumpur dan menyukai daerah yang kena sinar matahari. Familia Polypodiaceae merupakan kelompok tumbuhan paku yang paling banyak dijumpai jenisnya, karakteristik hidup dari beberapa jenisnya menempel pada tumbuhan yang ditumpanginya tetapi tidak bersifat merugikan, tetapi dapat pula tumbuh diatas tanah atau serasah. Banyaknya ditemukan jenis suku ini disebabkan oleh kondisi faktor lingkungan dilokasi penelitian sesuai bagi perkembangan tumbuhan suku ini. Familia Polypodiaceae banyak ditemukan di lokasi penelitian secara terestrial maupun epifit. Menurut van Steenis (2005: 84) tumbuhan pada familia ini menyukai tempat ternaung dan terdedah. Selain itu familia ini cocok pada struktur tanah dengan topografi datar dan berbukit dapat dijumpai mulai ketinggian 0 -1. 300 m dpl, dari daerah mangrove sampai daerah gunung yang rendah. Selain itu Holttum (1967) menyatakan bahwa suku Polypodiaceae mempunyai jumlah anggota terbesar di Kawasan Malesiana yang sebagian besar terdapat di kepulauan Indonesia, dan menyukai tempat ternaung maupun terdedah. Pada familia Polypodiaceae ditemukan 9 genus dan 12 spesies, yaitu genus Adiantum, Anthrophyum, Asplenium, Davallia, Drynaria, Elaphoglossum, Nephrolepis dan Pteris. Anthrophyum, Drynaria dan Elaphoglossum tumbuh sebagai paku epifit yang menempel pada pohon, Nephrolepis, Asplenium, dan Davallia tumbuh pada tanah yang lembab, tetapi ada juga yang tumbuh sebagai epifit, sedangkan Adiantum dan Pteris tumbuh pada tanah yang lembab, agak kering dan tanah gembur. Pernyataan ini didukung oleh Sastrapradja (1980: 44), bahwa 109
kelompok paku Polypodiaceae biasanya menumpang pada tumbuhan lain, tetapi dapat pula tumbuh di tanah cadas atau gembur berpasir. Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu berkisar antara 25 – 28 o C. Intensitas cahaya 10.330 - 13-980 lux. Kelembaban udara 47 - 50% pada pH tanah yang terukur 6,2 - 6,8 dan pada ketinggian 90 120 m dpl. Familia Schizaceae yang ditemukan sebanyak 2 spesies yaitu Lygodium circinatum Sw., dan Lygodium flexuosum (L.) Sw. Paku ini merupakan jenis paku yang tumbuh membelit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrapradja (1980:81), bahwa Lygodium merupakan tumbuhan paku yang menjalar dan merambat pada tumbuhan lain. Hidup di dataran rendah terutama pada tempat-tempat yang terbuka yang terkena cahaya matahari dan hujan yang cukup, dapat tumbuh pada ketinggian 1 - 1.200 m dpl. Di lokasi penelitian tumbuhan ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu berkisar antara 25 – 27 oC. Intensitas cahaya 10.330 25.300 lux. Kelembaban udara 50 - 56% pada pH tanah yang terukur 6,2 - 6,8 dan ketinggian tempat 60 - 80 m dpl. Familia Selaginellaceae merupakan tumbuhan paku terestrial yang tumbuh di lereng bukit yang ternaung dan lembab, jenis yang ditemukan adalah Selaginella plana Hieron. Tumbuhan ini ditemukan pada kondisis lingkungan dengan suhu tanah berkisar antara 20 – 27 oC. Intensitas cahaya 13..980 - 25-300 lux. Kelembaban udara 47 - 50% dengan pH tanah yang terukur 6,2 - 6,7 pada ketinggian 90 - 120 mdpl. Hal ini sesuai dengan (Sastrapradja, 1980:95) jenis Selaginella sering dijumpai tumbuh dilereng bukit yang lembab dan teduh di lereng-lereng bukit pada ketinggian 40 - 1.800 m dpl. A. Familia Thelypteridaceae merupakan paku terestrial yang hidup pada lereng gunung (Holttum, 1991: 509) bahwa paku ini, hidupnya bercampur dengan jenis tumbuhan lain. Jenis yang ditemukan adalah Christella dentata (Forst.) Brawsney dan Jermy dan Amphineuron terminans (Hook). Holttum familia ini ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu berkisar antara 20 – 27 oC. Intensitas cahaya 10.330 - 25.300 lux. Kelembaban udara 47 –
50%, pH tanah yang terukur 6,2 - 6,8 pada ketinggian 90 - 130 m dpl. Keberadaan tumbuhan paku di kawasan Hutan Nanga-Nanga didukung berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu udara, intensitas cahaya, kelembaban udara dan pH tanah. Menurut Syafei (1994;128) Semua faktor lingkungan tersebut bervariasi, organisme yang hidup bereaksi terhadap variasi lingkungan, sehingga hubungan yang nyata antara lingkungan dan organisme hidup akan membentuk komunitas dan ekosistem tertentu baik berdasarkan ruang dan waktu. Kandungan energi yang dibutuhkan tumbuhan di pengaruhi oleh faktor lingkungan tersebut. Energi cahaya dari lingkungan yang dapat ditangkap oleh tumbuhan akan dimanfaatkan untuk prosesproses metabolisme sedangkan yang tidak dapat diabsorbsi akan direfleksikan ke lingkungan sehingga ikut memanaskan lingkungan tersebut. Hal ini ikut mempengaruhi jenis-jenis tumbuhan apa saja yang dapat tumbuh pada komunitas hutan tersebut, salah satunya adalah tumbuhan paku (Pteridophyta). Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang terdapat di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari ditemukan 12 familia, 20 genus, 27 jenis. Tumbuhan paku (Pteridophyta) yang ditemukan tumbuh pada tanah (terestrial) sebanyak 18 jenis, tumbuh di air 1 jenis, menempel pada batang tumbuhan lain (epifit) sebanyak 3 jenis, dan dapat hidup pada keduanya (epifit maupun terestrial) sebanyak 5 jenis. Saran Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang jenis-jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang bermanfaat bagi kehidupan, terutama yang dapat dikonsumsi atau paku yang dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan, khususnya bagi masyarakat di sekitar lokasi penelitian dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada umumnya.
110
DAFTAR PUSTAKA Andrews, S. B., 1990. Ferns of Queensland Departement of Primary. Brisbane. BPS Kota Kendari, 2010. Kecamatan Poasia dalam Angka 2009; Katalog BPS 1403.7471.020. Kendari. Dinas Kehutanan Kota Kendari, 2011. Data Kawasan Hutan. Kendari. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2012. Peta Kawasan Hutan NangaNanga. Kendari. Hidayat, A., Jurnalitri. Keanekaragaman Tumbuhan Paku di Sulawesi Tenggara.12.80.2. Holttum, R. E., 1965. Flora of Malaya Volume II. Authority Government Printing Office. Singapore. Holttum, R. E., 1988. Ferns of Malaysia in Colour. Tropical Press. Kuala Lumpur. Holttum, R. E., 1991. Flora Malesiana Volume II. Leyden University The Netherlands. Amsterdams. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Loveless, A.R., 1989. Prisip-Prinsip Tumbuhan Untuk Daerah Tropik Jilid II. Gramedia. Jakarta. Polunin, N., 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta. Sastrapradja, 1980. Jenis Paku Indonesia. Balai Pustaka. Bogor. Steenis van C.G.G.J., 2005. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Syafei, E. S., 1994. Pengantar Tumbuhan. FMIPA. ITB. Bandung.
Ekologi
Yanney, J.E., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung.
111
PETUNJUK BAGI PENULIS GEMA PENDIDIKAN 1. 2.
3.
Artikel yang dimuat harus berupa hasil penelitian dan belum pernah dimuat dijurnal lain Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia/Bahasa Inggris, kertas ukuran A4, maksimal 12 halaman dengan spasi 1.5. Format Artikel sebagai berikut : Judul Penelitian* Nama Penulis ** (*=catatan Kaki) Abstrak : maksimal 150 kata (Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris) Kata-kata kunci : A.
PENDAHULUAN (memuat latar belakang masalah dan tujuan penelitian) B. KAJIAN PUSTAKA C.
METODE PENELITIAN
D.
HASIL DAN PEMBAHASAN
E.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA (Pustaka yang dimasukkan hanya yang dirujuk dalam uraian) 4. 5.
6.
Artikel disetor kepada pengelola dalam bentuk CD dengan file ASII Microsoft Word dan satu rangkap print out. Artikel yang diusulkan harus sudah diterima oleh Pengelola selambatlambatnya satu bulan sebelum penerbitan (terbit : Januari dan Juli setiap tahun). Artikel yang diproses adalah yang memenuhi persyaratan di atas.
Informasi lain dapat diperoleh di Sekretariat Gema Pendidikan dengan alamat: Kantor Perpustakaan FKIP Universitas Halu Oleo. Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari KP. 93232 Telp/HP. 081343901405.
0