Edisi 10 | III | oktober 2014
Untuk Kemandirian, Integritas dan Kredibilitas Penyelenggara Pemilu
Kupas Tuntas
DKPP Gelar Sidang 19 Perkara di Papua hlm. 4-6
Perspektif
DKPP Sebagai Centre of Excellencess
Kuliah Etika
Gejala Pemisahan dan Differensiasi Sistem Norma dalam Sejarah
hlm. 14-15
hlm. 7
Resensi Buku
Reformasi Birokrasi Bagi Penyelenggara Pemilu
Mereka Bicara
Berpijak pada Asas Kepastian Hukum untuk Menegakkan Keadilan
hlm. 13
www.dkpp.go.id | facebook:
[email protected] | twitter @DKPP_RI
hlm. 10-11
Sekapur Sirih
Simbiosis Mutualisme
T
ahun 2014 disebut-sebut sebagai tahun politik. Tidaklah salah akan sebutan itu. Bagi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pada tahun ini layak disebut dengan tahun pengaduan. Pasalnya, pada tahun ini merupakan tahun paling banyak menerima pengaduan terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. Laporan pengaduan seiring adanya kekecewaan dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 khususnya pada Tahapan Pungut Hitung pada waktu Pemilu Legislatif. Selama tahun 2014 sebanyak 891 pengaduan yang masuk ke DKPP. Dari jumlah pengaduan yang masuk itu, 558 perkara dismiss alias tidak naik sidang karena tidak memenuhi syarat baik formil maupun materiil, dan sebanyak 332 masuk sidang. Dibandingkan dengan tahun 2013. DKPP menerima pengaduan sebanyak 577 perkara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 141 pengaduan atau 24 persen yang memenuhi syarat untuk sidang sisanya, 436 kasus atau 76 persen tidak memenuhi syarat. Sebagian besar perkara terkait dengan pelaksanaan Pemilukada baik bupati atau walikota serta gubernur dan wakil gubernur. Untuk menangani perkara-perkara, DKPP melibatkan Tim Pemeriksa Daerah, khususnya sidang pemeriksaan KPU kabupaten atau kota. Sedangkan perkara KPU Provinsi, langsung ditangani DKPP. DKPP sangat berterimakasih atas peran Tim Pemeriksa Daerah. Mereka yang
terdiri dari unsur tokoh masyarakat/ akademisi, dan masing-masing satu orang dari KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi telah berhasil menangani perkara-perkara pelanggaran kode etik di daerah. Tim Pemeriksa Daerah telah mengurangi beban anggota DKPP. Tidak terbayang seandainya, DKPP tidak membentuk tim ini. Para anggota DKPP sudah bisa dipastikan akan kewalahan. Dengan adanya Tim Pemeriksa Daerah saja, jadwal sidang anggota DKPP sangat padat. Apalagi bila anggota DKPP juga harus melakukan sidang pemeriksaan langsung di daerah. Sudah menjadi rutinitas bila, satu orang anggota DKPP bersidang pada hari ini di Provinsi A, besoknya di Provinsi B dengan menyeberang pulau. Rata-rata anggota majelis menangani lima perkara. Sidang dan sidang terus. Begitulah kegiatannya. Penanganan peradilan etika yang digelar secara terbuka merupakan “barang” baru di Indonesia. Bahkan di dunia sekalipun. Dengan demikian, ini menjadi ilmu baru bagi Tim Pemeriksa Daerah. Apalagi para anggota Tim Pemeriksa Daerah sebagian besar adalah para akademisi di perguruan tinggi. Ini menjadi simbiosis mutualisme DKPP dengan para anggota TPD. Peran TPD diharapkan juga bisa menularkan ilmu yang telah di dapat di “Kampus DKPP” kepada mahasiswa sekaligus juga kepada masyarakat. Dengan begitu, masyarakat khususnya penyelenggara Pemilu menjadi mengerti akan pentingnya penegakan etika berikut permasalahannya. n
Warta DKPP DKPP Gelar Diskusi dengan Media Sikapi Hasil Pemilu 2014 hlm. 3 Kupas Tuntas DKPP Gelar Sidang 19 Perkara di Papua hlm. 4-5 Perspektif DKPP Sebagai Centre of Excellencess
hlm. 7
Ragam Sudah Ukur Jas, Caleg Terpilih Tak Jadi Dilantik hlm. 8 Pakai Halikopter Jemput C-1, Ketua KPU Halteng Disoal hlm. 9 Mereka Bicara Berpijak pada Asas Kepastian Hukum untuk Menegakkan Keadilan hlm. 10 Sisi Lain Anggota DKPP Diberi Kejutan Oleh Panwas Se-Jatim hlm. 12 Resensi Buku Reformasi Birokrasi Bagi Penyelenggara Pemilu
hlm. 13
Kuliah Etika Gejala Pemisahan dan Differensiasi Sistem Norma dalam Sejarah hlm. 14-15 Parade Foto
hlm. 16
Susunan Redaksi Penerbit: DKPP RI Pengarah: Prof. Jimly Asshiddiqie, SH., Nur Hidayat Sardini, S.Sos, M.Si., Saut H Sirait, M.Th., Prof. Anna Erliyana, SH, MH., Dr. Valina Singka Subekti, Ida Budhiati, SH, MH., Ir. Nelson Simanjuntak Penanggung Jawab: Gunawan Suswantoro, SH, M.Si., Redaktur: Ahmad Khumaidi, SH, MH., Editor: Yusuf, S.Si, MA, Dini Yamashita S.Pi, MT, Dr. Osbin Samosir Sekretariat: Umi Nazifah, Diah Widyawati, Rahman Yasin, Susi Dian Rahayu, Sandhi Setiawan Desain Grafis dan Fotografer: Irmawanti, Teten Jamaludin, Arif Syarwani Pembuat Artikel: Tim Humas DKPP Alamat Redaksi: Jalan M. H. Thamrin No. 14 Lt. 5 Jakarta Pusat, 10350. Telp./Fax: (021) 391 4194
2
Warta DKPP
DKPP Gelar Diskusi dengan Media Sikapi Hasil Pemilu 2014
P
emilu 2014 telah melahirkan DPR dan pemerintahan yang baru. Akan tetapi masih menyisakan masalah. Dua koalisi dalam Pemilu 2014, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), terus berseteru. Yang terakhir adalah ketika pembentukan alat kelengkapan dewan. Kelompok KIH yang tidak mendapatkan jatah pimpinan pun membentuk DPR tandingan. Kondisi ini menjadi perhatian Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie. “DKPP ini sebenarnya kan urusannya etika dan integritas penyelenggara Pemilu. Tapi melihat hasil Pemilu sekarang, ini juga menjadi tanggung jawab,” ujar Jimly saat mengadakan diskusi dengan wartawan di Kantor DKPP, Jakarta, Kamis (30/10). Didampingi pakar hukum tata negara, Refly Harun dan Pegiat Pemilu Said Salahudin, Jimly menyayangkan konflik yang terjadi antara KMP dan KIH, khususnya yang terjadi di legislatif. Hal ini, kata dia, tidak sejalan dengan upaya dialog yang telah dilakukan para elite, yakni dialog Presiden Jokowi dengan pimpinan DPR/MPR. “Upaya elite seharusnya ditindaklan-
“Upaya elite seharusnya ditindaklanjuti dengan dialog di lapis kedua. Kalau pengelompokan struktural dipelihara, ini akan memberi dampak buruk bagi pendidikan masyarakat. Kita semua punya tanggung jawab moral untuk mendorong itu.”
juti dengan dialog di lapis kedua. Kalau pengelompokan struktural dipelihara, ini akan memberi dampak buruk bagi pendidikan masyarakat. Kita semua punya tanggung jawab moral untuk mendorong itu,” tutur guru besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Prof. Jimly Asshiddiqie juga menyarankan agar tidak perlu takut adanya pemakzulan (impeach) terhadap pemerintahan Jokowi. Kedudukan presiden dalam sistem presidensil Indonesia itu kuat. Presiden RI, menurutnya, memiliki kedudukan lebih kuat dibandingkan praktik sistem presidensil di Amerika Serikat sekalipun. Hanya saja, tidak semua orang menyadari dan belum pernah dipraktikan. Lebih lanjut, Jimly menambahkan, impeach itu lebih sulit daripada perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945, pasal mengenai impeach itu merupakan fasilitas konstitusional guna melindungi presiden. “Impeach itu perlindungan bagi presiden. Berbeda dengan di sistem parlementer, impeach merupakan suatu ancaman,” terang dia. n
Arif Syarwani
3
Kupas Tuntas
DKPP Gelar Sidang 19 Perkara di Papua
A
wal Oktober 2014, tepatnya Rabu – Kamis (1-2/10) DKPP menggelar sidang untuk 19 perkara di Jayapura, Papua. Sidang ini dibagi dalam dua tempat, yakni di Polda Papua dan KPU Papua. Sidang yang digelar selama dua hari ini, digelar secara marathon dari pagi – malam hari. Empat Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Valina Singka Subekti dan Nelson Simanjuntak hadir ke Jayapura untuk menangani perkara ini. Merekapun dibantu dengan tim Pemeriksa Daerah asal Papua yakni Marthen Ferry Kareth, Robbert Y Horik, Feggie Wattimena, dan Tarwinto. Hari Pertama, Rabu (1/10) pukul 09.30 WIT digelar sidang untuk tiga perkara yakni perkara no 161/DKPP-PKEIII/2014, perkara no 264/DKPP-PKEIII/2014 dan perkara no 296/DKPP-PKEIII/2014 yang ketiga nya mengadukan Ketua dan Anggota KPU Provinsi Papua. Pengadu nya yakni Amos Edoway yang merupakan Calon Legislatif dari PKB no urut 1, Robert Suyanto Liusyadi, Calon Legislatif no urut 6 DPDRD provinsi Papua dari partai Hanura, dan Keneius Haselo dari PKPI. Amos Edoway mengadukan KPU Provinsi Papua karena dianggap tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu Prov. Papua No. 208/V/2014 tanggal 8 Mei 2014 tentang pengembalian suara salah satu caleg yaitu dirinya (red : Amos Edoway). Selanjutnya, Pengadu Robert Suyanto Liusyadi menyangkakan KPU Provinsi Papua telah mengurangi perolehan suara terhadap dirinya, dengan menambahkan perolehan suara kepada salah satu caleg, sehingga merugikan Pengadu. Menurut Robert, hasil Pleno KPU Provinsi untuk Dapil 7 Papua untuk Kab. Mappi tidak sesuai dengan hasil Pleno KPU Kab. Mappi, Papua. Sedangkan Keneius Haselo, mengadukan KPU Prov Papua karena dianggap telah melakukan pengurangan suara a.n Irianto No urut 6 Caleg dari PKPI Papua sebesar 494 suara ditingkat Provinsi berubah menjadi 11 suara. Selain itu, KPU Provinsi Papua dituduh tidak mengindahkan Rekomendasi Bawaslu Provinsi Papua yang merekomendasikan untuk mengembalikan suara Irianto sebesar 512 pada bulan Mei
4
2014 dengan Nomor surat rekomendasi 209/Bawaslu-Papua/V/2014. Ketiga perkara ini, digabung dalam satu sidang dimana Panel Majelis sidangnya ialah empat Anggota DKPP yaitu Saut Hamonangan Sirait sebagai Ketua Panel Majelis didampingi Anggota Nur Hidayat Sardini, Valina Singka Subekti dan Nelson Simanjuntak. Sidang digelar di Polda Papua. Selanjutnya, pada pukul 13.00 WIT masih dihari yang sama, DKPP secara bersamaan menggelar dua sidang di tempat yang berbeda. Pertama sidang untuk perkara no 150/DKPP-PKEIII/2014 dan Perkara no 158/DKPP-PKEIII/2014, dimana para Teradu nya ialah Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Yapen. Sidang ini digelar di Polda Papua, dengan Ketua Panel Majelis Saut Hamonangan Sirait bersama Anggota DKPP Valina Singka Subekti dan Tim Pemeriksa Daerah Tarwinto dan Feggie Wattimena. Pengadunya ialah Moris Cerullo Muabuai dan Bobby Hendra Pengurus PKS. Para Pengadu mendalilkan bahwa KPU Kepulauan Yapen telah melakukan penggelembungan dan pengalihan suara di tingkat PPS, PPD dan Kabupaten terhadaap perolehan suara partai kepada suara caleg dan suara caleg kepada caleg lain. Selain itu, Bobby juga mendalilkan bahwa pada pleno KPU Kab. Kep. Yapen tgl 19 Mei 2014 tentang Pene-tapan Perolehan Kursi dan Caleg Ter-pilih Anggota DPRD Kab. Kep. Yapen. Ketua KPU a.n. Benyamin Wayangkau telah melakukan pemalsuan data atau perubahan terhadap rekapitulasi perolehan suara di tingkat PPD Yapsel di Dapil I yaitu perolehan suara PKS pada pleno PPD tgl 27 April 2014 sebesar 1.660 diubah oleh Ketua KPU menjadi 1.460 sehingga PKS di Dapil I tidak memperoleh kursi. Kedua, sidang untuk perkara no 298/ DKPP-PKE-III/2014 dan perkara no 197/ DKPP-PKE-III/2014, yang mana dalam perkara ini Teradunya ialah Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Mimika, digelar di kantor KPU Provinsi Papua. Dalam sidang ini, bertindak selaku Ketua Panel Majelis Sidang Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini bersama Nelson Simanjuntak dan Tim Pemeriksa Daerah asal Papua Robert Y Howrik dan Marthen Ferry Kareth.
Pengadu dalam perkara ini yakni M. Nurman S. Karupukaro dan Johan Fransiskus Wenehen. Pokok aduannya yaitu Ketua dan Anggota KPU Mimika dianggap telah melakukan penggelembungan DPT dan penggelembungan suara kepada Caleg tertentu untuk DPR dengan cara seakan-akan tidak ada surat suara sisa dan surat suara tidak sah. Selain itu, Pengadu juga mendalilkan bahwa para Teradu tidak melaksanakan rekomendasi Panwas Kabupaten Mimika dan Bawaslu Provinsi Papua. Berikutnya, masih di hari yang sama pula, tepatnya pukul 15.30 WIT, DKPP kembali menggelar sidang untuk tiga perkara yang berbeda. Ketiga perkara tersebut meliputi Perkara no 196/DKPPPKE-III/2014 dengan Teradu Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Boven Digoel, selanjutnya Perkara no 154/DKPP-PKEIII/2014 dan 155/DKPP-PKE-III/2014 kedua Perkara ini mengadukan Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Yahukimo. Untuk Perkara no 196/DKPP-PKEIII/2014, sidangnya digelar di Kantor KPU Provinsi Papua dengan Panel Majelis yang sama dengan sidang sebelumnya. Pengadu dalam perkara ini ialah Dauter Master Purba dengan pokok aduannya yakni Penetapan Kursi oleh KPU Boven Digoel tanggal 15 Mei 2014 tidak sesuai pleno rekapitulasi penghitungan suara tingkat Kabupaten yang tertuang dalam form DB-1 oleh KPU Kabupaten Boven Digoel tanggal 22 April 2014. Sedangkan untuk dua perkara yang menimpa KPU Kabupaten Yahukimo, Pengadunya ialah Selvianus Yual (wiraswasta) dan Matias Heliku (anggota Panwaslu Kabupaten Yahukimo). Selvianus Yual mengadukan Ketua dan anggota KPU Kabupaten Yahukimo dengan tuduhan telah terjadi Penggelembungan suara yang dilakukan oleh Taradu, dengan cara melakukan pergantian dan perombakan Anggota dan Ketua PPD tanpa ada persoalan dan proses pergantian PPD sebelum pemilihan Legislatif, yang dulunya Ketua PPD di ganti menjadi Anggota PPD dan yang Anggota PPD di ganti menjadi Ketua PPD. Dengan kejadian itu terjadi kecurangan dalam proses perhitung-an suara dan penyelubungan suara yang dibuktikan dengan Berita Acara PPD yang berbeda dengan Pleno penghitungan suara di
Kantor KPU Kab. Yahukimo. Sedangkan Matias Heliku melaporkan para Teradu dengan dakwaan bahwa mereka tidak menindaklanjuti temuan Panwaslu kab. Yahukimo tanggal 28 April 2014 tentang jumlah perolehan suara. Sidang dihari pertama ini ditutup sekitar pukul 18.00 WIT. Usai sidang, para Majelis berdiskusi dengan Tim Pemeriksa Daerah terkait perkara yang baru saja mereka tangani. Untuk hari pertama di Papua ini, DKPP telah menyidangkan sebanyak 10 perkara. Esoknya, DKPP akan menyidangkan sembilan perkara lagi. Hari kedua, Kamis (2/10) dimulai pukul 09.30 WIT, DKPP menyidangkan Ketua dan Anggota KPU dan Panwaslu Kabupaten Jayapura di KPU Provinsi Papua. Sedangkan, di tempat berbeda DKPP juga menyidangkan Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Tolikara. Ketua dan Anggota KPU serta Panwaslu Kabupaten Jayapura diadukan oleh Martinus Kasuai dan Sehan Hanubun. Keduanya mendakwakan para Teradu dengan tuduhan bahwa beberapa Teradu (Ketua KPU dan tiga anggota nya) telah menerima sejumlah uang dari peserta Pemilu untuk mengamankan posisi kursinya. Sedangkan satu anggota yang lain diadukan karena tidak pernah hadir dalam pertemuan sebanyak 9 kali pertemuan dengan alasan sedang studi di Makassar. Sedangkan untuk Panwaslu Kabupaten Jayapura diadukan karena dianggap tidak menempatkan Pengawas di seluruh TPS di Jayapura. Di Polda Papua, DKPP menyidang-
kan Ketua, Anggota dan Sekretaris KPU Kabupaten Tolikara berdasarkan aduan dari Aloysius Renwarin dkk. Para Teradu dituduh telah melakukan pemalsuan data dengan cara menghilangkan rekapitulasi penghitungan perolehan suara, pengurangan suara dan pengalihan suara seluruh caleg Partai Nasdem Kab. Tolikara. Selanjutnya, pada pukul 13.00 WIT, DKPP menyidangkan KPU Kabupaten Waropen dan KPU Kabupaten Lanny Jaya. Untuk perkara KPU Kabupaten Waropen, mereka diadukan oleh Yohan Benyamin Alex Reri yang merupakan Pengurus Harian dari Partai Golkar di Kabupaten Waropen. Pokok aduannya yakni para Teradu dianggap telah KPU mengubah hasil suara Caleg No. Urut 8 a.n Yohan B.A Reri dari 267 menjadi 257 saura. Sedangkan untuk perkara KPU Kabupaten Lanny Jaya, Pengadunya ialah Wermus Wenda salah satu Caleg dari Partai Gerindra. Dalam pokok aduannya, Wermus mengatakan bahwa para Teradu dalam Penetapan Rekapitulasi Perolehan suara dan Kursi Legislatif DPRD Kab. Lany Jaya Prov. Papua, tidak sesuai dengan perolehan suara dari KPPS, PPS, dan PPD di beberapa distrik, yang dihilangkan atau di kurangi prolehan suara oleh Kinerja KPU Kab. Lanny Jaya. Selain itu, Pengadu juga menyoal terkait dokumen Model C.1 dan DA.1 yang dibawa oleh Teradu tanpa pemberitahuan kepada setiap partai Politik dengan alasan keamanan, karena Pleno di tingkat Kabupaten akan diadakan di Ibukota Provinsi Papua.
Berikutnya, pukul 15.30 WIT, DKPP menggelar sidang untuk perkara 279/ DKPP-PKE-III/2014 dengan Teradu Ketua Panwaslu Kabupaten Sarmi dan Perkara 300/DKPP-PKE-III/2014 dengan Teradu Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Jayawijaya. Ketua Panwaslu Kabupaten Sarmi a.n Alfonsius Ambani diadukan oleh rekannya sendiri yakni Yunitha Yaas. Menurut Yunitha, Teradu telah bertindak tidak transparan terkait pencairan dana hibah dari Pemerintah Kabupaten Sarmi untuk Panwaslu Kabupaten Sarmi. Selain itu, Pengadu juga menerangkan bahwa selama menjabat sebagai Ketua Panwaslu Sarmi, Teradu lebih sering menghabiskan waktunya di Jakarta daripada di Sarmi. Sedangkan untuk perkara yang melibatkan Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Jayawijaya diadukan oleh Aser Hubi dkk. Pokok aduannya yakni para Teradu dianggap telah tidak menindaklanjuti Rekomendasi Panwaslu Kab. Jayawijaya terkait penetapan DPRD terpilih. Dari semua perkara yang telah disidangkan diatas, ada beberapa perkara yang masih perlu sidang lanjutan, untuk mendengarkan keterangan Saksi dan penyampaian bukti-bukti. Dengan terselenggaranya sidang untuk 19 perkara dalam waktu yang sangat singkat ini, DKPP berterimakasih kepada Polda dan KPU Provinsi Papua yang telah memfasilitasi persidangan. Tak hanya itu, Polda pun menerjunkan sekitar 70 anggotanya untuk menjaga keamanan persidangan DKPP. n
Susi Dian Rahayu
5
Ketok Palu
DKPP Berhentikan Empat Penyelenggara Pemilu
K
epada para penyelenggara Pemilu, disarankan untuk tetap menjaga etika perilaku penyelenggara Pemilu. Pasalnya, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak memiliki limitasi waktu. Sewaktu-waktu Pengadu bisa kapan saja mengadukan para Penyelenggara Pemilu ke DKPP. Berbeda dengan pelanggaran-pelanggaran baik administrasi Pemilu maupun dengan sengketa pemilu. Seperti halnya, pada Jumat (17/10), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terpaksa harus memberhentikan Penyelenggara Pemilu yang memang betul-betul terbukti melanggar kode etik kelas berat. Para penyelenggara Pemilu yang diberhentikan adalah Ketua Panwaslu Konawe Utara Marwan Khalid, Ketua dan anggota KPU Deliserdang masing-masing Erwin Lubis, Rahmad dan Abror M Daud Faza. Semua perkara yang diadukan masih terkait dengan Pemilu Legislatif. Marwan Khalid dinilai tidak mandiri, dan hal ini diperkuat dengan kesediannya menjadi saksi yang meringankan terdakwa tindak pidana pemilu politik uang yang diadukan oleh Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara. Tindakan ini oleh hakim sebagai tindakan berpihak dibanding membela atau mempertahankan organisasi sebagai pengawas pemilu yang harus bersikap netral dalam menegakan integritas pemilu. Ada pun mengenai sanksi kepada ketua dan tiga anggota KPU Deliserdang, Erwin Lubis, Rahmad dan Abror M Daud Faza, mereka cenderung bersembunyi di balik mekanisme prosedural dan kurang tanggap dalam menyelesaikan seketika setiap keberatan yan gterjadi saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan perolehan suara tingkat kabupaten. Akibatnya, sikap tersebut menimbulkan kecurigaan yang secara tidak langsung meragukan kejujuran dan netralitas aparat penyelenggara Pemilu. Dalam fakta di persidangan terungkap, telah terjadi kesalahan dalam pengisian data Model DA-1 di Ke-
6
camatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Sunggal. Kesalahan tersebtu diperkuat dengan keberatan para saksi partai yang menyatakan adanya perbedaan data dalam model D-1 PPS dengan model DA-1 PPK. Setelah mengetahui permasalahan tersebut, majelis mengatakan, menurut etika sepatutnya para Teradu menggali kebenaran menyelesaikan permasalahan seterang-terangnya dengan berbagai alat bukti termasuk membuka kotak suara untuk mengambil dokumen Model D-1 serta melakukan kroscek dengan Model DA-1 yang diragukan keberannya oleh para saksi partai dan Panwaslu. “Para saksi mampu menunjukan Model D-1 asil i yang berstempel basah,” kata majelis saat membacakan Putusan. Kepada Naima, anggota Panwaslu Konawe Utara, dua anggota KPU Deli Serdang Timo Dahlia Daulay dan Arifin Sihombing, DKPP menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras. Sedangkan kepada Ketua Panwaslu Kotawaringin Timur Eka Sazli, DKPP memberikan peringatan. Tidak semua Teradu diberikan peringatan. Dari jumlah total sebanyak 17 Teradu, DKPP merehabilitasi sembilan penyelenggara Pemilu. Mereka adalah Ketua dan Anggota Bawaslu Sulawesi Tenggara Hamiruddin, Hadi Machmud, Munsir Alam, Ketua KPU
Kotawaringin Timur Sahlin. Teradu lainnya yang mendapat rehabilitasi DKPP, ketua dan anggota KPU Sumatera Sulatan; Aspahani, Liza Lizuarni, Henny Susantih, Ahmad Naafi dan Alexander Abdullah. “Dengan demikian, secara statistik jumlah Teradu yang direhabilitasi sebanyak 52.94 persen. Jumlah Teradu yang terbukti melanggar kode etik 47.06 persen. Dari jumlah Teradu yang melanggar itu, sebanyak 23.53 persen mendapat peringatan dan pemberhentian tetap 23.53 persen,” tutup ketua majelis. Selaku ketua majelis Jimly Asshiddiqie dan anggota majelis Nelson Simanjuntak, Anna Erliyana dan Valina Singka Subekti. Vonis tersebut disampaikan dalam sidang dengan agenda pembacaan Putusan, Jumat (17/10), di Ruang Sidang DKPP, Jalan MH Thamrin No.14. Sidang ini juga disiarkan melalui video conference dengan Bawaslu terkait, Bawaslu Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah. Pada agenda pembacaan Putusan, majelis juga membacakan tiga Ketetapan. Yaitu kepada Suwarman, mantan ketua Panwaslu Wakatobi, mantan Ketua PPK Teluk Sampit Razeli dan dua mantan Ketua PPK Sugal dan PPK Percut Sie Tuan masing-masing Sunggal Kamil dan Sutan Harahap. n
Teten Jamaludin
Perspektif
DKPP Sebagai Centre of Excellencess
D
ua agenda politik besar telah terselenggara pada tahun 2014 ini. Pertama, Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) 9 April 2014. Kedua, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014. Bagi semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu tersebut segala persiapan sudah pasti harus dimatangkan. Termasuk di sini adalah memperhitungkan antisipasi-antisipasi apa yang akan diambil sesuai tanggung jawabnya. Tak ketinggalan dalam persiapan tersebut adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebagai dewan penegak kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dengan KPU dan Bawaslu. Penegakan kode etik yang dilakukan oleh DKPP tidak lain untuk mendukung terwujudnya Pemilu yang berintegritas, di mana proses, penyelenggaraan hingga hasilnya diharapkan dapat berkualitas dan memiliki legitimasi. DKPP telah bekerja sesuai asas “good governance”, antara lain profesional, adil, kepastian hukum, proporsional, transparan, dan akuntabel. Profesional, sejak dibentuk hingga 6 Oktober 2014 DKPP menerima sebanyak 1.532 pengaduan. Dari 1.532 laporan/aduan tersebut yang dismiss sebanyak 1.035 pengaduan dan yang disidangkan sebanyak 480. Hasil putusan DKPP yakni merehabilitasi 829 penyelenggara pemilu, memberikan peringatan tertulis 429, pemberhentian sementara 18, pemberhentian tetap 275 dan ketetapan DKPP sebanyak 47. Kepastian hukum maksudnya seorang Pengadu bisa mengikuti perkembangan kasus yangg dilaporkan ke DKPP sejak pintu pertama masuk yaitu penerimaan pengaduan, sidang, hasil dan tindaklanjutnya dengan demikian asas kepastian hukum ditegakkan oleh DKPP. Keadilan di sini menyangkut perlakuan yang adil dan setara tidak saja kepada para Teradu tetapi juga kepada Pengadu. DKPP menempatkan asas praduga tak bersalah sebelum Teradu diputus setelah sebelumnya melalui mekanisme persidangan. Dalam asas ini maksudnya DKPP tidak mengada-ada,
“adanya jangan ditiadakan tapi kalau tidak ada jangan diada-adakan,” kata jurubicara DKPP Nur Hidayat Sardini. Kemudian, Proposional dalam asas ini tampak sekali dalam cara memperlakukan baik Pengadu maupun Teradu. Contohnya pemanggilan dilakukan secara patut lima hari sebelum sidang digelar. DKPP memberikan kesempatan kepada Pengadu untuk menyiapkan materi pengaduan dalam waktu yang cukup, demikian kepada para Teradu kami berikan waktu cukup juga untuk menyiapkan jawaban atas dalil yang diadukan. Selain diberikan waktu yang sama apabila Pengadu dan Teradu ingin menghadirkan saksi dan ahli apabila dirasa belum cukup baik dengan usulan para pihak atau dengan pertimbangan asas keadilan. Kami menginisiasi untuk menghadirkan pihak terkait. Semuanya diperlakukan secara proposional sesuai waktu, tempat dan perkara yang ditangani dengan proporsi yang sama. Akuntabel adalah cara kerja organisasi publik yang berorientasi pada tanggung jawab sesuai ketentuan dan perundang-undangan. DKPP rutin melaporkan kinerja kepada pemerintah dan DPR sesuai ketentuan undang-undang penyelenggara pemilu, di samping itu DKPP mentradisikan annual report pada tanggal 12 Juni setiap tahunnya saat ulang tahun dalam bentuk laporan setahun berjalan. Selain itu di tiap akhir tahun DKPP menggelar “DKPP Outlook” yang dilakukan di KPU atau di tempat lain dalam sebuah forum terbuka yang bisa dihadiri oleh semua orang termasuk media masa dan dalam forum itu DKPP membuka diri bahkan untuk “mengkritik”. Meskipun pengalaman selama ini DKPP tidak pernah “dikuliti” Rencana DKPP Tahun 2015 Di tahun 2015 banyak rencana yang ingin dilakukan DKPP sesuai yang ditelah tetapkan. Pada intinya adalah untuk meningkatkan kualitas kinerja dan kualitas produk DKPP. Kualitas kinerja dan kualitas produk. DKPP ingin mengembangkan peningkatan kualitas kinerja/kapasitas staf. DKPP menyadari potensi-potensi yang belum dioptimalkan di jajaran staf. Selain
ingin melakukan capacity building kepada semua jajaran, baik yang terkait dengan bagian umum, pengaduan, maupun persidangan. Fungsi penerimaan pengaduan, persidangan, fungsi fasilitasi, fungsi publikasi atau kehumasan masih kami bangun. DKPP akan memperbanyak pelatihanpelatihan bagi staf melalui in house training, juga akan mengirimkan staf ke pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh pihak lain. DKPP juga akan terus menyusun dan meningkatkan SOP (standard operating procedure). Kualitas produk berbasis pada meningkatnya kualitas Putusan. Produk utama DKPP adalah Putusan karena Putusan mencerminkan kualitas kinerja. DKPP menyadari adanya sejumlah kelemahan meski tidak prinsip namun akan ditingkatkan. Di samping itu di tahun 2015 berbarengan dengan tahun ke 3 dibentuknya lembaga etik ini, DKPP ingin mengembangkan lembaga sebagai “centre of excellencess” pusat pengembangan etika berbangsa dan bernegara melalui pengembangan etika berpemilu yang dimulai dari penerbitan jurnal dan buku sudah ditetapkan sebagai program yang di tempatkan sebagai prioritas akan dilaksanakan pada 2015. Selama ini rencana penerbitan sudah dirintis sejak awal, namun membludaknya perkara tahun 2014 terkait dengan Pileg dan Pilpres yang harus ditangani sehingga rencana ini belum dapat direalisasikan. Tahun 2015 ini paling kurang dengan batas waktu bulan Juni penerbitan jurnal etika dan buku-buku sudah harus terealisasi. Selain itu menghadapi tahun 2015 jika diasumsikan bahwa model Pilkada sebagaimana yang sekarang yaitu pemilihan secara langsung maka dengan mengambil data dari proses persidangan pra Pileg dan Pilpres, potensi pengaduan yang masuk ke DKPP masih akan besar karena tahun 2015 akan terdapat 204 Pilkada di seluruh Indonesia. DKPP harus mampu mengantisipasinya. DKPP tidak terlalu khawatir soal ini karena telah membentuk Tim Pemeriksa Daerah (TPD) dan juga telah menjalin kerjasama penggunaan fasilitas video conference dengan Kejaksaan RI dan Mabes Polri. n
Diah Widyawati
7
Ragam
Sudah Ukur Jas, Caleg Terpilih Tak Jadi Dilantik
B
ukan takdirnya. Mungkin kata itu yang cukup mewakili nasib nahas Wawan Setiawan, salah seorang calon DPRD Provinsi Jawa Barat dari Partai Demokrat. Dia sudah ditetapkan oleh KPU Jawa Barat sebagai caleg terpilih. Namun harapan itu pupus setelah Putusan MK membatalkan kemenangannya. “Saya merasa malu. Saya sudah dinyatakan caleg terpilih oleh KPU tapi dibatalkan. Padahal saya sudah mengukur baju jas untuk pelantikan,” kata Wawan yang juga sebagai Pengadu kepada majelis dalam sidang kode etik KPU Jawa Barat dan KPU Cianjur, di Ruang Sidang DKPP, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu, 15 Oktober 2014. Lanjut Wawan, dia mengadu perkara ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini untuk mendapatkan keadilan. Dia melihat ada kelalaian dalam menjaga dokumen negara yang dilakukan oleh para Teradu. “Saya menyadari bahwa Putusan MK itu final dan mengikat. Jadi tidak bisa diutak-atik. Tapi saya ingin mencari keadilan. Cing atuh, di sana kalah. Susuganan di sini mah menang (mudah-mudahan di sini, DKPP, dapat kemenangan, red),” katanya dengan dialek Sundanya yang kental. Wawan menjelaskan, hasil pleno KPU Cianjur dia meraih 25.100 suara dan Kota Bogor sebesar 3.434 suara. Akumulasi perolehan suara sebesar 28.534 suara dengan selisih 2.303 suara dengan Hedi Permadi Boy, caleg DPRD Provinsi Jawa Barat nomor urut 2 dari dapil yang sama. Karena ada isu penggelembungan suara di sejumlah kecamatan di Kabupaten Cianjur, Bawalu Provinsi Jawa Barat merekomendasikan kepada KPU Jawa Barat melakukan validasi data atau hitung ulang. Hasil validasi ada sejumlah caleg yang tadinya terpilih menjadi tidak terpilih. Sementara dia masih dalam posisi aman dengan berselisih 45 suara dari pesaingnya, Hedi Permadi Boy nomor urut 2. “KPU menetapkan saya sebagai
8
caleg terpilih dengan keputusan KPU No.411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 bersama 99 caleg DPRD Provinsi Jawa terpilih,” katanya. Lanjut Wawan, karena tidak puas, Hedi Permadi Boy mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi. Hasil Putusan MK memerintahkan KPU Provinsi Jawa Barat untuk melakukan penghitungan ulang berdasarkan model C-1 plano di 11 Desa di wilayah Kecamatan Cianjur Kota. Itu artinya, dari 11 desa tersebut berjumlah 344 model C-1 Plano dari 344 TPS. Tapi menurut berita acara KPU Kabupaten Cianjur, model C1 plano hanya ditemukan model C-1 237 dan sisanya 107 C-1 plano dari 107 TPS dinyatakan hilang atau tidak ditemukan. “Menurut saya, ada kelalaian KPU Kabupaten Cianjur yang tidak bisa menjaga dokumen negara. Sementara saya menganggap dan menyakini bahwa potensi suara saya ada di C-1 plano yang hilang tersebut,” jelas dia. Dia menambahkan, yang membuatnya lebih kaget adalah pada saat rapat pleno KPU Provinsi Jawa Barat pada 2 Juli, KPU Jawa Barat tiba-tiba mengganti C-1 plano yang menjadi dasar ulang sesuai dengan putusan MK malah mengganti dengan C-1 berho-
logram untuk dasar penghitungan ulangnya. “Saya menginginkan agar pada waktu sidang di Mahkamah Konsitusi pihak KPU itu menginformasikan sebanyak 107 C-1 plano itu hilang. Nanti biarlah majelis MK yang memutuskan. Saya menanggap KPU Jawa Barat tidak melaksanakan amar putusan MK,” katanya. Wasikin pun mengaku heran atas hilangnya model C-1 plano. Pasalnya, pelaksanaan penghitungan suara itu baru selesai dua bulan lalu. Model C1 plano merupakan satu-satunya dokumen yang tidak bisa diotak-atik. “C1 Plano itu kan tidak kecil. Lebarnya segeda meja. Kenapa bisa hilang. ini hilang atau dihilangkan?” katanya. Sementara itu, Yayat Hidayat mengatakan, pihaknya sudah memerintahkan KPU Kabupaten Cianjur untuk melakukan pengumpulan model C1 plano di 344 TPS yang tersebar di 11 desa. Dalam laporannya, KPU Kabupaten Cianjur telah berupaya sungguhsungguh untuk menemukan model C-1 plano, namun hasil pencarian ditemukan 237 TPS sementara sisanya 107 TPS tidak ditemukan. Dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,
Ragam maka KPU Jawa Barat berpendapat di TPS yang tidak ditemukan C1 plano digunakan C-1 hologram dengan data pembanding C-1 Panwaslu dan C-1 saksi. “MK dalam pertimbangan hukumnya paragraf 3.7 menyebutkan bahwa meskipun terdapat 107 TPS dengan menggunakan C1 berhologram, namun pelaksanaan hasil pelaksanaan putusan dimaksud harus dianggap sah menurut hukum sebab dalam pelakasanaannya dihadiri oleh pihakpihak sesuai dengan amar putusan dan hasilnya sama atau tidak berbeda dengan yang ada pada masing-masing pihak,” jelasnya. Anggy Shofia Wardany mengakui hilangya C-1 plano kerena pihaknya tidak terinventarisir logitik di gudang KPU dengan baik. Logistik pemilu legislatif sudah bercampur akibat dari pengosongan kotak suara untuk kepentingan Pemilihan Presiden. Pihaknya sudah berupaya melakukan pencarian dari tanggal 27 -30 Juni, namun yang ditemukan hanya 237. Hal itu karena minimnya waktu untuk melakukan pencarian. Pihaknya sudah mengerahkan sumber daya dari mulai anggota KPU,kesekretariatan dan kepolisian untuk melakukan pencarian. “Namun kami hanya menemukan 237 c-1 plano,” katanya. Sambung dia, meskipun penghitungan suara ulang sudah selesai dilaksanakan, pihaknya terus melakukan upaya pencarian hinggal tanggal 14 Oktober. “Hasilnya, kami kembali menemukan sebanyak model 40 C-1 plano,” tutup perempuan berjilbab itu. Ketua majelis Jimly Asshiddiqie dan anggota majelis Ida Budhiati serta Valina Singka Subekti. Selaku Teradu, Yayat Hidayat, Ferdhiman P Bariguna, Endun Abdul Haq, Nina Yuningsih dan Agus Rustandi, masing-masing sebagai ketua dan anggota KPU Jawa Barat. Teradu dari KPU Cianjur, Anggy Shofia Warny, Kusnadi, Baban Marhaenda, Hilman Wahyudi, Selly Nurdinah. Mereka hadir lengkap. Pihak Terkait yang hadir, Harminus Koto dan H Wasikin, ketua dan anggota Bawaslu Jabar. Saksi yang dihadirkan dari pihak Pengadu, Maman Agustiawan dan J Fernando. n Teten Jamaludin
Pakai Halikopter Jemput C-1, Ketua KPU Halteng Disoal
K
etua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Halmahera Tengah (KPU Halteng) Heruddin Amir diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pasalnya, dinilai melanggar karena dia telah menggunakan helikopter tanpa melalui pleno. Muksin Amrin dan Julfi Jamil, selaku Pengadu, menceritakan, pada 10 Juli 2014, pihaknya menemukan Teradu, Heruddin, telah menggunakan helikopter, fasilitas milik perusahaan Weda Bay Nikel, untuk menjemput form C-1 Pilpres dari Patani. Bahkan, penggunaan helikopter dilakukan secara sepihak tanpa melalui rapat pleno. “Dengan menggunakan helikopter ditengarai ketua KPU Halteng berpotensi tidak netral. Apalagi helikopter tersebut merupakan milik perusahaan asing,” kata Muksin Amrin dalam sidang perdana melalui video conference di Kejagung dan Kejati Maluku Utara, Rabu (22/10). Selaku ketua majelis Nur Hidayat Sardini, anggota majelis Sultan Alwan, Sri Haryanti, Syawal Abdul Ajid. Kemudian pihaknya mengklarifikasi terhadap Teradu. Namun Teradu beralasan bahwa dia telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. “Namun hasil pemeriksaan kami, Teradu tidak bisa membuktikan telah berkoordinasi dengan Pemda,” jelas dia. Akibat dari penggunaan fasilitas itu, sambung dia, terjadi keresahan di masyarakat Halmahera Tengah. Bahkan pernah di muat di salah satu koran lokal di Halteng. Teradu, Heruddin Amir, mengakui bahwa dia telah menggunakan halikopter guna menjemput C-1. Dia menggunakan fasilitas itu karena tiga pertimbangan. “Pertama, untuk mempercepat rekapitulasi online secara nasional. Kedua, kondisi alam yang tidak bersahabat. Ketiga mempertimbangkan kondisi wilayah. Desa Latif masuk dalam zona
merah, termasuk wilayah yang rawan terjadinya kecurangan dan terjadinya konflik dalam pemilu,” beber dia. Dia pun mengakui bahwa dirinya menggunakan helikopter itu tidak melalui rapat pleno. Tetapi terkait hal tersebut sudah dikomunikasikan kepada seluruh komisioner. “Hanya tidak melalui tertulis. Hanya lisan. Dan tidak ada yang keberatan,” kilahnya. Sedangkan mengenai adanya keresahan dari masyarakat terkait masalah penggunaan helikopter, dia pun membantah. “Tidak ada gejolak di masyarakat,” ujar dia.
Keempat komisioner KPU, yang juga selaku Terkait, membenarkan Teradu. Penggunakan fasilitas helikopter itu tanpa melalui pleno. Namun memang pernah dikomunikasikan. “Penggunaan helikopter itu bukan hanya lingkup pemerintahan. Dalam keadaan genting, siapa saja boleh menggunakan karena memang perusahaan menyediakan. Masarakat berhak meminjam pesawat itu,” kata Vera N Kolondan, salah anggota komisioner KPU. Dia pun menambahkan, selain itu, kondisi wilayah yang tidak memungkinkan ditempuh melalui jalur laut. “Cuaca pada saat itu lagi tidak bersahabat. Dari tanggal 6-9 Juli. Di wilayah Patani, memang dipasang bendera hitam. Badai mencapai empat meter. Kami tinggal di Patani Barat. Saya berangkat duluan ke Patani naik perahu boat. Ketika kami berangkat, kami biasanya jam delapan pagi, namun harus lebih pagi pukul empat Subuh untuk menghindari badai,” katanya. n Teten Jamaludin
9
Mereka Bicara
Berpijak pada Asas Kepastian Hukum untuk Menegakkan Keadilan (Sebuah Renungan Bagi Para Penyelenggara Pemilu, dan Tim Pemeriksa Pelanggaran Kode Etik)
Oleh Aminuddin Kasim
K
PU, BAWASLU, dan DKPP telah menetapkan standar etika dan prilaku bagi Penyelenggara Pemilu lewat Peraturan Bersama No. 13, No.11, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Menurut Pasal 10 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP bahwa salah satu standar etik dan prilaku bagi Penyelenggara Pemilu dalam pelaksanaan asas keadilan adalah kewajiban memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon pemilih, dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu. Selanjutnya, dalam Pasal 11 ditegaskan mengenai batas-batas standar etik dan prilaku bagi Penyelenggara Pemilu dalam melaksanaan asas kepastian hukum, yakni: (a) melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan; (b) melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan yurisdiksinya; (c) melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, menaati prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; dan (d) menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak berpihak dan adil. Meski dua standar etik dan prilaku di atas (pelaksanaan asas keadilan dan kepastian hukum) dicantumkan dalam pasal yang berbeda (terpisah), namun dua standar etik dan prilaku tersebut tidak bisa dipisahkan. Nilai etika pada dasarnya berhubungan dengan prilaku baik dan buruk, yakni nilai-nilai berlawanan yang bersandar pada dua atau lebih fakta atau objek (prilaku) yang ditampilkan oleh satu subjek pelaku. Untuk menyatakan suatu prilaku bernilai baik (lazim disebut beretika), maka harus ada bandingannya berupa prilaku bernilai buruk (lazim disebut tidak beretika) yang ditampilkan oleh subjek pelaku yang sama. Sebaliknya, untuk menyatakan suatu prilaku bernilai buruk, maka harus ada bandingannya berupa prilaku bernilai baik dari subjek pelaku yang sama pula. Hal demi-
10
[Bagian dua dari dua tulisan]
kian juga berlaku ketika menyatakan prilaku seorang Penyelenggara Pemilu dikatakan bernilai baik, atau sebaliknya bernilai buruk. Seorang Penyelenggara Pemilu dinilai berprilaku baik manakala melakukan tindakan atau mengambil keputusan sesuai prinsip dasar etika yang telah ditetapkan (sesuai Pasal 11 Peraturan Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP No. 13, No.11, dan No. 1 Tahun 2012. Sebaliknya, seorang Penyelenggara Pemilu dinilai berprilaku buruk manakala melakukan tindakan atau mengambil keputusan hukum yang menyimpang dari prinsip kode etik Penyelenggara Pemilu yang ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP No. 13, No.11, dan No. 1 Tahun 2012. Dalam hal Penyelenggara Pemilu melaksanakan peraturan perundang-undangan Pemilu, penegakan asas kepastian hukum wajib berpijak pada ketentuan Pasal 11 huruf d Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, yakni kewajiban untuk men-
jamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak berpihak dan adil. Makna frasa tidak berpihak dan adil berhubungan erat dengan standar etik dalam konteks pelaksanaan asas keadilan sebagaimana tersurat dalam Pasal 10 huruf b Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, yakni memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon pemilih, dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu. Jadi, kewajiban menegakkan asas kepastian hukum - dalam arti menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak berpihak dan adil, pada dasarnya juga menegakkan asas keadilan – dalam arti memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon pemilih, dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu. Menurut H.L.A. Hart (1994:159), bahwa elemen sentral tentang gagasan keadilan adalah yang memperlakukan sama – kasus-kasus yang sama, dan memperlakukan beda – kasus yang berbeda pula (treat like cases alike, and different cases differently). Gagasan keadilan ini memang terasa belum lengkap tanpa mempertimbangkan konteks waktu (kapan), tujuan, serta substansi kasus yang mendasari adanya persamaan dan perbedaan perlakuan. Oleh karena itu, dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, patokan penilaian mengenai ada dan tidaknya asas keadilan yang mendasari para Penyelenggara Pemilu dalam melakukan tindakan atau pengambilan keputusan terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, tentu tidak hanya cukup bersandar pada satu perbuatan hukum fakta dari suatu laporan pengaduan, dan atau pada satu kasus Pemilu saja, akan tetapi juga perlu bersandar pada dua atau lebih fakta atau kasus Pemilu. Jadi, perlakuan secara sama kepada setiap Parpol peserta Pemilu atau Caleg masih harus dilihat dalam konteks kasus per-kasus dan berpijak pada peraturan perundang-undangan Pemilu yang berlaku.
Mereka Bicara Kilas Balik Kasus Penetapan TMS Caleg Dalam DCS/DCT Pada Pemilu Legislatif 2014 yang lalu, tercatat beberapa kasus Pemilu di Daerah yang memberi pelajaran berharga terkait dengan keputusan para Penyelenggara Pemilu (komisioner KPUD dan Lembaga Pengawas Pemilu) dalam menjalankan prinsip dasar etika dan prilaku dalam konteks penegakan asas kepastian hukum dan asas keadilan. Contoh kasus yang diajukan di sini adalah kasus penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar Calon Tetat (DCT) anggota DPRD Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Pada saat proses pendaftaran Caleg Parpol berlangsung di Provinsi Sulawesi Tengah, tercatat ada 2 (dua) Caleg DPRD Kabupaten dinyatakan TMS untuk ditetapkan dalam DCS dan DPT. Dua Caleg DPRD Kabupaten dimaksud, berasal dari 2 (dua) Parpol peserta Pemilu yang berbeda, serta berasal dari 2 (dua) kabupaten yang berbeda pula (Caleg Partai Nasdem di Kab. Tolitoli dan Caleg Partai Demokrat di Kab. Tojo Una-Una). Keputusan KPU Kabupaten (Tolitoli dan Tojo Una-Una) yang menyatakan dua Caleg dari Parpol yang berbeda adalah TMS, selanjutnya dikuatkan dengan keputusan KPU Sulteng tentang Penetapan DCT Anggota DPRD Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tengah. Keputusan ini bersandar pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU No. 8 Tahun 2012 jo. Peraturan KPU No. 07 Tahun 2013, selanjutnya diubah kembali dengan Peraturan KPU No 13 Tahun 2013. Ketentuan dimaksud mensyaratkan bahwa Caleg Parpol tidak pernah dijatuhi hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
Meski dua standar etik dan prilaku di atas (pelaksanaan asas keadilan dan kepastian hukum) dicantumkan dalam pasal yang berbeda (terpisah), namun dua standar etik dan prilaku tersebut tidak bisa dipisahkan.
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah prinsip dasar etika dan prilaku yang dilanggar oleh komisioner KPU Kabupaten (Tolitoli dan Tojo Una-Una) dan komisioner KPU Sulteng sehingga harus terlapor dan menjalani sidang di DKPP? Termasuk pula komisioner Bawaslu Sulteng karena menolak permohonan Pelapor (Partai Nasdem) lewat sidang sengketa? Jawabannya tentu saja TIDAK. Sebab, semua komisioner Penyelenggara Pemilu telah berpegang pada prinsip dasar etika dalam rangka melaksanakan asas kepastian hukum. Bukankah Pasal 11 Peraturan Bersama tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sudah tegas menyatakan bahwa Penyelenggara Pemilu wajib melakukan tindakan yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan, serta kewajiban menaati prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, keputusan Penyelenggara Pemilu yang menyatakan TMS dua Caleg dari Parpol yang berbeda adalah tindakan yang menegakkan asas kepastian hukum. Pertanyaan berikutnya adalah: adakah nilai keadilan dari adanya keputusan Penyelenggara Pemilu yang menyatakan TMS dua Caleg dari Parpol Peserta Pemilu yang berbeda? Dengan merujuk pada konsep keadilan dari H.L.A. Hart, maka keputusan Penyelenggara Pemilu yang menyatakan TMS dua Caleg dari Parpol yang berbeda pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip dasar etika dalam rangka melaksanakan asas mandiri dan adil (Pasal 10 Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu). Sebaliknya, suatu tindakan tidak adil jika Caleg Partai Nasdem di Tolitoli dinyatakan MS (lolos dalam DCS/DCT), sementara Caleg Partai Demokrat di Tojo Una-Una dinyatakan TMS. Jadi, nilai keadilan tampak ketika Penyelenggara Pemilu memutuskan sama terhadap kasus yang sama. Sebaliknya, memutuskan berbeda terhadap kasus yang berbeda pula, misalnya; kasuskasus yang terkait dengan ketidak-terpenuhan syarat 30% kuota perempuan dalam daftar Caleg yang diajukan oleh Parpol peserta Pemilu. Jadi, kilas balik dari kasus di atas memberi pelajaran bahwa dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, pelaksanaan asas kepastian hukum bisa mewujudkan keadilan, meski hanya sebatas keadilan prosedural. Sekali lagi bisa dengan berpijak pada asas kepastian hukum untuk menegakkan keadilan. n
selesai
[Penulis adalah anggota Tim Pemeriksa Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dari unsur akademisi – red]
Bung Palu Bulan Oktober 2014, DKPP masih banyak menanggung hutang pengaduan yang harus segera disidangkan: n Semuanya terkait Pemilu Legislatif 2014. n Papua memecahkan rekor sebagai provinsi dengan jumlah pengaduan terbanyak n Berdasarkan pengalaman DKPP, 11 kali sidang untuk satu provinsi di Papua ini menjadi rekor tersendiri.
11
Sisi Lain
Anggota DKPP Diberi Kejutan Oleh Panwas Se-Jatim Dalam acara tersebut, NHS menyarankan kepada para anggota KPU agar tidak perlu takut diperkarakan ke DKPP hanya karena tidak melaksanakan rekomendasi Panwaslu atau Bawaslu. Malah dia menganjurkan untuk mengabaikan rekomendasi.
A
nggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) DKPP Nur Hidayat Sardini mendapat kejutan usai menjadi narasumber pada acara Rapat Koordinasi Penyampaian Laporan Akhir Hasil Pengawasan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Batu, Jawa Timur, 23.45 WIB. Pesertanya, seluruh anggota Panwaslu kabupaten/kota se-Jawa Timur. Pria yang kerap disapa NHS menjadi nara sumber dari pukul 22.30 - 23.45 WIB. Selaku moderator acara Ketua Bawaslu Jatim, Sufyanto. “Pak Nur ada kenang-kenangan dari saya,” kata Sufyanto sembari menyerahkan sebuah buku International Journal of Humanities and Social Science vol. 3 No. 20. December 2013 usai penutupan. Buku itu diterima NHS. Dia berterimakasih. Namun, baru saja membuka beberapa halaman, listrik ruangan acara dimatikan. Ruangan pun gelap gulita. NHS heran. Dia meminta agar lampu dinyalakan. Namun permintaannya diindahkan. Suara musik melalui piano organ memecah kesunyian tengah
12
malam. Tidak berapa lama, salah seorang staf Bawaslu Jatim muncul di balik pintu masuk. Dia membawa kue tart dengan angka 45 yang dikelilingi lilin-lilin yang menyala. “Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat panjang umur, kita kan doakan. Selamat sejahtera.... Sebuah lagu perayaan ulang tahun diiringi piano disertai tepuk tangan peserta yang hadir. Lalu Ketua dan anggota-anggota Bawaslu Jatim menyalami. Seluruh peserta yang hadir pun turut memberikan selamat. Dosen Fisip Undip itu merasa terharu atas surprise yang telah diberikan Bawaslu Jatim kepadanya. Ia pun menyampaikan terimakasih. Mantan ketua Bawaslu RI itu pun meniup lilin. “Saya berterimakasih atas kejutan ini. Saya juga berterimakasih kepada Allah yang telah memberikan nikmat ini,” katanya Hari Jumat 10 Oktober 2014 pukul 00.00 WIB pria kelahiran Pekalongan itu menginjak usia ke-45. Terimakasih kepada ketua dan anggota Jawa Timur serta kepada seluruh ketua anggota
Panwaslu kabupaten/kota yang telah memberikan surprise ini, tutup dia. Sebelum mengisi di Panwaslu kabupaten/kota se-Jawa Timur, pada sorenya, Nur Hidayat Sardini menjadi narasumber pada acara Rapat Evaluasi Penyusunan Laporan Tahapan Pemilu Tahun 2014 Antara KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota se- Jawa Timur. Kegiatan ini diselenggarakan oleh KPU Jawa Timur. Dalam acara tersebut, NHS menyarankan kepada para anggota KPU agar tidak perlu takut diperkarakan ke DKPP hanya karena tidak melaksanakan rekomendasi Panwaslu atau Bawaslu. Malah dia menganjurkan untuk mengabaikan rekomendasi. Pasalnya, berdasarkan jumlah perkara yang pernah disidangkan DKPP, tidak sedikit pula rekomendasi itu malah menjadi masalah. “Rekomendasi itu harus berdasarkan hasil kajian, bukan secarik kertas. Enak saja rekomendasi itu harus dilaksanakan oleh hanya secarik kertas. Abaikan saja itu rekomendasi,” jelas dia. n Teten Jamaludin
Resensi Buku
Reformasi Birokrasi Bagi Penyelenggara Pemilu
R
eformasi merupakan tuntutan zaman di era Orde Reformasi pasca Ode Baru runtuh. Reformasi memiliki arti perubahan secara drastis ke arah tatanan yang lebih baik di suatu masyarakat atau negara. Istilah reformasi ini muncul, di saat tatanan Orde Baru yang dinilai rusak. Korupsi, kolusi dan nepotisme begitu menggurita pada orde itu. Runtuhnya Orde Baru, rakyat menghendaki adanya perubahan, salah satunya adalah reformasi birokrasi. Reformasi biroksasi bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, akuntabilitas, tranparansi, kepastian hukum, memiliki daya tanggap tinggi, efisiensi dan efektivitas, partisipasi, profesionalisme, dan berwawasan ke depan. Namun, reformasi birokrasi tidak serta merta meninggalkan yang lama, Arif Ma’ruf (penulis-red)sebagaimana mengutip istilah ulama yang artinya kurang lebih berpesan, memelihara akumulasi nilai lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang lebih bagus (hal.19). Lebih simpelnya, buang yang buruk-buruknya, ambil yang baik-baiknya. Untuk mendukung reformasi birokrasi, Arif Ma’ruf dalam bukunya memberikan tips ideal. Ada tiga hal yang mesti dimiliki. Pertama, organisasi ideal. Maksudnya, kelembagaan yang mesti disusun dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pengorganisasian yang rasional dan objektif serta memerhatikan visi, misi, tugas pokok, fungsi, peran dan
wewenang. Kedua, tata laksana yang jelas. Tata laksana ini terbagi dua, ke dalam dan keluar. Ke dalam, menyangkut prosedur dan mekanisme kerja dalam pengelolaan administrasi perkantoran, pengelolaan administrasi kepegawaian, administrasi keuangan dan pengelolaan aset atau kekayaan, sarana prasarana kerja organisasi yang tepat guna. Sedangkan keluar, menyangkut tata hubungan kerja dengan instansi lain dan tata laksana pelayanan kepada masyarakat pelanggan, penataan sistem koordinasi integrasi dan sinkronisasi antarinstansi pemerintah yang mempunyai keterkaitan erat dalam mengemban tugas tertentu. Ketiga, aparatur andal dan profesional, yaitu aparatur yang profesional, berakhlak mulia, netral dan sejahtera. Untuk menghasilkan pegawai yang ideal perlu melalui proses perekrutan
yang ideal pula, yaitu dengan merekrut bibit-bibit unggul yang siap berpacu dengan dinamika tuntutan dan perubahan zaman. Setelah perekrutan ditindaklanjuti dengan pembinaan karier yang secara berkelanjutan melalui pendidikan, pelatihan, evaluasi kerja dan sistem penggajian yang berdasarkan prestasi. Terakhir, pelayanan publik yang prima. Untuk mendapatkan pola seperti itu, perlu didukung dengan terbangunannya kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, efektif, akuntabel dan transparan. Buku ini juga mengupas pelaksanaan Penyelenggara Pemilu dari masa orde lama, orde baru hingga orde reformasi. Buku ini juga membahas mengenai performa pelayanan yang mesti dimiliki oleh penyelenggara Pemilu. Buku Reformasi Birokrasi Pelayanan Prima Pemilu juga memperkenalkan lembaga baru, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Lembaga ini tidak pernah ada pada saat penyelenggaraan pemilu di era-era sebelumnya. Namun cikal bakalnya telah ada, yaitu dimulai dari Dewan Kehormatan KPU yang merupakan lembaga ad hoc. DKPP ini baru berdiri 12 Juni 2012 dan menjadi lembaga permanen sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Lembaga ini hanya mengurusi kode etik atau perilaku penyelenggara Pemilu. Meski baru berdiri, namun sepak terjangnya cukup diperhitungkan dan turut memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tatanan demokrasi di Indonesia. n Teten Jamaludin
13
Kuliah Etika
Gejala Pemisahan dan Differensiasi Sistem Norma dalam Sejarah Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI
P
embedaan dan pemisahan pengertian-pengertian tentang norma atau kaedahkaedah tentang perilaku manusia dapat dikatakan tumbuh dan berkembang dinamis dalam sejarah. Ketika Plato menulis buku ‘Nomoi’ yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan istilah ‘The Laws’, memuat kandungan makna yang jauh berbeda dan jauh lebih luas daripada istilah yang sama yang dipahami umat manusia dewasa ini. Dalam bahasa Inggeris pun istilah ‘The Laws’ yang dimaksud sangat berbeda dari kata ‘the law’ yang dipahami sekarang. Di dalam konsepsi Plato tentang ‘nomoi’ terkandung banyak pengertian yang mencakup juga pengertian moral atau etika dan bahkan juga tercampur aduk dengan pengertian-pengertian tentang hukum-hukum agama yang dianut dan diyakini oleh masyarakat Yunani kuno ketika itu. Kecenderungan untuk membedakan dan bahkan memisahkan pelbagai jenis norma atau kaedah perilaku manusia dalam pengertian-pengertian tentang norma hukum, norma etika, dan norma agama sebagai tiga kategori yang berbeda dan bahkan terpisah dan dipisahkan sama sekali satu sama lain, terjadi karena pengaruh gerakan politik dan perkembangan ilmu pengetahuan rasional manusia. Gerakan politik dimulai dengan pemisahan antara negara dari agama (gereja) yang kemudian dike-
nal sebagai gerakan sekularisme yang ditopang secara rasional oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin lama berusaha untuk semakin menjauhi hal-hal yang berbau religius dan metafisis. Perkembangan ilmu pengathuan rasional manusia secara logis semakin memperlihatkan adanya faktor-faktor pembeda antara satu jenis kaedah dengan kaedah yang lain, sehingga muncullah pengertian norma agama, norma etika, dan norma hukum sebagai tiga kategori kaedah oleh aliran positivisme diidealkan untuk dipisahkan secara tegas satu dengan yang lain. Adalah filosof Perancis Auguste Comte (1798–1857) yang pertama kali memperkenalkan perspektif positivist ke dalam filsafat ilmu pengetahuan modern, yaitu dalam karyanya The Course in Positive Philosophy. Buku ini dihimpun dari pelbagai tulisan yang terbit antara tahun 1830 sampai tahun 1842 yang selanjutnya diikuti buku yang ditulisnya pada tahun 1844 dengan judul, A General View of Positivism (terbit dalam bahasa Perancis 1848 dan Inggeris 1865). Dalam karyanya ini, Auguste Comte membagi tahap perkembangan pemikiran manusia menjadi tiga tahapan secara gradual meninggalkan tahap-tahap sebelumnya, yaitu tahap teologis, metafisis, dan tahap positivist. Tahap perkembangan terakhir inilah yang dinamakannya sebagai tahap ‘scientific or positive’, yang pada pokoknya terpusat pada pengertian
bahwa hak-hak individu lebih penting daripada aturan dari siapapun. Menurutnya, ide tentang kemampuan manusia untuk mengurus dan memimpin dirinya sendiri itulah yang menjadi pembeda antara tahap positivist ini dari tahap perkembangan sebelumnya. Dalam bidang hukum, filsafat Auguste Comte ini sangat berpengaruh, dan mendorong lahirnya aliran yang dikenal sebagai mazhab positivisme hukum (legal positivism school of thought). Pemikiran filsafat hukum pada abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh mazhab positivisme hukum ini. Hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan etika dan apalagi dengan paham-paham keagamaan yang disebut oleh Auguste Comte sebagai tahap paling terbelakang dari taraf perkembangan pemikiran umat manusia dalam sejarah. Norma atau kaedah hukum dan norma etika harus dipisahkan, apalagi dengan kaedah-kaedah agama. Dalam pandangan Hans Kelsen yang dikenal dengan teorinya yang disebut Teori Murni tentang Hukum atau ‘Pure Theory of Law’ (Reine Rechtslehre) juga demikian. Hukum Hans Kelsen harus dimurnikan dari pengaruh-pengaruh non-hukum, seperti fakta sosial, kaedah moral, dan apalagi pengaruh agama. Pandangan-pandangan seperti inilah yang dibentuk oleh aliran positivisme hukum yang pengaruhnya terus
Norma atau kaedah hukum dan norma etika harus dipisahkan, apalagi dengan kaedahkaedah agama. Dalam pandangan Hans Kelsen yang dikenal dengan teorinya yang disebut Teori Murni tentang Hukum atau ‘Pure Theory of Law’ (Reine Rechtslehre) juga demikian. Hukum Hans Kelsen harus dimurnikan dari pengaruh-pengaruh non-hukum, seperti fakta sosial, kaedah moral, dan apalagi pengaruh agama.
14
Kuliah Etika
berkembang sampai sekarang, yang dibangun oleh para pemikir filsafat hukum abad ke-18 dan 19 yang dikenal luas, seperti antara lain Jeremy Bentham, John Austin, Hans Kelsen, Ronald Dworkin, H.L.A. Hart, dan Joseph Raz. Yang dapat dikatakan paling berpengaruh adalah H.L.A. Hart dengan bukunya, The Concept of Law dan Hans Kelsen dengan bukunya General Theory of Law and State yang kritik-kritiknya mengembangkan perspektif-perspektif baru sehingga positivisme hukum menjadi semakin kaya. H.L.A. Hart dan juga Joseph Raz (salah seorang murid Hart) dapat dikatakan paling dikenal di kalangan negara-negara ‘common-law’, sedangkan Hans Kelsen sangat dikenal di lingkungan negara-negara ‘civil law’, terutama yang berbahasa Jerman, baik di lingkungan yang dikenal sebagai mazhab Wina (Vienna, Austria) maupun mazhab Brno di Cekosklovakia (Cecks dan Slovak). Semua pemikiran filsafat hukum aliran positivisme pada pokoknya
bersumber dari cara pandang individualisme dan liberalisme yang kuat, yang salah satu karakteristik kuncinya terlihat pada orientasinya untuk sangat memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan hukum sebagai produk berupa pernyataan-pernyataan linguistik dan numerik (focus on science as a product, a linguistic or numerical set of statements). Di samping itu, ilmu hukum dalam cara pandang positivisme sangat mementingkan aksioma yang mendemonstrasikan struktur dan koherensi logis dari pernyataan-pernyataan linguistik dan numerik itu. Pada abad ke-20, gelombang pertama sosiologi mazhab Jerman, termasuk Max Weber dan Georg Simmel menolak doktrin positivisme Comte dengan membangun tradisi baru, yaitu sikap anti-postivisme dalam sosiologi. Para pengusung ide ‘antipositivists’ dan ‘critical theorists’ menghubungkan positivisme dengan ‘scientism’ yang menganggap ilmu pengetahuan sebagai ideologi (science as
ideology). Positivisme logis atau ’neopositivists’ menolak spekulasi metafisis dan mencoba untuk mereduksi pernyataan-pernyataan dan proposisiproposisi menjadi logika murni (pure logic). Kritik yang sangat keras terhadap pendekatan ini datang dari para filosof, seperti Karl Popper, Willard Van Orman Quine and Thomas Kuhn yang sangat berpengaruh dan mendorong munculnya paham yang disebut ‘postpositivism’. Untuk selanjutnya muncul pula berbagai pandangan baru yang mencoba mengimbangi, termasuk munculnya gerakan-gerakan baru, seperti realisme kritis (critical realism) yang berusaha merekonsiliasikan ide-ide ‘postpositivist’ dengan pelbagai perspektif yang biasa disebut ’postmodern perspectives’ tentang pengetahuan sosial. Pendek kata, aliran pandangan positivisme dalam filsafat dan termasuk dalam positivime hukum sudah banyak yang harus ditinggalkan, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. n
15
Parade Foto foto: Irma
DKPP merupakan modal sekaligus model bagi peradilan etik di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Jimly saat berdiskusi dengan belasan pegiat Hukum Tata Negara di tempat kerjanya Jumat(10/10), gedung DKPP Jl MH Thamrin No 14, Jakarta Pusat. foto: teten
DKPP bersama TPD Prov. Papua gelar sidang kode etik Rabu (1/10) untuk 11 perkara dari beberapa kabupaten di Papua. Sidang ini Majelis dipimpin oleh Saut Hamonangan Sirait didampingi tiga Anggota, yakni Nur Hidayat Sardini, Valina Singka Subekti, dan Nelson Simanjuntak. foto: Irma
Bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, DKPP menggelar rapat rencana kerja untuk tahun 2015. Hadir Prof. Anna Erliyana dan Valina Singka Subekti, Ahmad Khumaidi, Dr. Ihat Subihat, Dr. Firdaus, Dr. Syopiansyah Jaya Putra Yusuf,Dini Yamashita dan Osbin Samosir.
16
foto: teten
DKPP gelar sidang kode etik Kamis (9/10) untuk KPU Kota Bengkulu. Bertindak selaku Ketua Majelis Saut Hamonangan Sirait didampingi TPD, Zainan Sagiman, Wismalinda Rita dan Ediansyah Hasan di kantor Bawaslu Prov. Bengkulu. foto: Sandhi
Rabu (22/10) DKPP menggelar acara “Pembahasan Revisi Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu,” bertempat di Royal Amoroossa Hotel, Bogor.
foto: irma
DKPP menggelar diskusi dengan mengundang Refli Harun dan Said Salahudin sebagai narasumber, yang membahas tentang permasalahan pemilu 2014 dengan mengundang wartawan sebagai pesertanya, Kamis (30/10)