BAB III KESETIMBANGAN GAYA DENGAN METODE POTONG
3.1. Kesimbangan Gaya dan Momen Pada Batang Untuk mencari keseimbangan gaya yang terjadi pada batang balok seperti pada gambar 4.1. diperlukan persamaan hukum neuton I yaitu jumlah seluruh gaya yang bekerja pada stuktur balok tersebut adalah nol. (ΣF = 0) dan jumlah semua momen yang bekerja juga sama dengan nol (ΣM = 0). Untuk arah vektor gaya dan momen gaya harus ditentukan sesuai dengan arah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Untuk keseimbangan gaya dan momen, untu kasus dua dimensi dan tiga dimensi adalah: …………………..….. (2.1) …………………..….. (2.2)
Gambar 3.1. katagori keseimbangan 3D (sumber: Meriam, wiley, 2002)
37
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
Contoh Soal Cari reaksi tumpuan pada titik B dan titik D dengan menggunakan metode potong pada gambar dibawah ini.
Jawab Untuk menyelesaikan soal ini, kita menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2). Diagram benda bebas:
Penyelesaian keseimbangan gaya dengan metode potong, adalah:
Dari diagram gamber:
Contoh soal 2
Cari reaksi tumpuan pada titik A dan titik D dengan menggunakan metode potong pada gambar dibawah ini.
38
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
2000 lb
A
M = 4800 lb.ft
C
B
Penyelesaian Dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2), maka: Diagran benda bebas
Penyelesaian keseimbangan gaya dengan metode potong, adalah:
39
D
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
Contoh soal 3
Cari reaksi pada lubang di titik B dan titik C dengan menggunakan metode potong pada gambar dibawah ini.
Penyelesaian Dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2), maka: Diagran benda bebas 6 kN M = 9 kN.m
A B
D
C 6m
3m
Penyelesaian keseimbangan gaya dengan metode potong, adalah:
40
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
3.2. Kesimbangan Gaya Pada Batang dengan gaya terdistribusi Merata Contoh soal 1
Cari reaksi di titik C dengan menggunakan metode potong pada gambar dibawah ini.
DBB potongan 1
Contoh 3
Cari reaksi tumpuan A, gaya geser dan momen di titik B, dengan menggunakan metode potong pada gambar dibawah ini.
41
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
Penyelesaian: Dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2), maka: Diagran benda bebas
Mencari Reaksi umpuan di titik A, adalah:
Mencari gaya geser dan momen di titik B, adalah: Diagram benda bebas di titik B
42
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
Latihan Soal-soal 1. Cari reaksi tumpuan A dan B serta reaki ditik c
2. Cari reaksi tumpuan A dan B serta reaki ditik c
3. Cari reaksi tumpuan A dan B serta reaki ditik c
4. Cari reaksi tumpuan A dan B serta momen lentur dan gaya geser pada jarak 1m dari titik B W = 10 kN/m B
A 3m
43
Bab III. Keseimbangan gaya dengan metode potong
5. Cari reaksi Tumpuan di A dan B dan Momen Lentur dan gaya geser W = 3 kN/m
5 kN B
A 1m
1,2 m 3m
6. Cari reaksi Tumpuan di A dan B dan Momen Lentur dan gaya geser 5 kN
W = 3 kN/m
ϴ= 25° A
B
1m
1,2 m 3m
7. Cari reaksi Tumpuan di A dan B dan Momen Lentur dan gaya geser 5 kN
W = 2 kN/m
1m A
B 2m
2m 4m
8. Cari reaksi Tumpuan di A Momen Lentur
1m A
0,3 m P = 10 kN
44
BAB IV GAYA GESER DAN MOMEN LENTUR
4.1. Gaya Geser dan Momen Lentur Elemen struktural biasanya dikelompokkan menurut jenis-jenis bahan yang dipikulnya. Sebagai contoh batang yang dibebani secara aksial memikul gaya-gaya yang mempunyai vektor disepanjang sumbu batang. Resultan tegangan pada balok statis tertentu dapat dihitung dari Persamaan keseimbangan. Dalam hal balok kantilever dalam Gambar 4.1 a, kita menggunakan diagram benda bebas dalam Gambar 4.1b. Dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam arah vertikal dan mengambil momen terhadap potongan, kita dapatkan:
P
m
A
B
n x (a)
P A
v
M
x (b) M
B v (c)
Gambar 4.1. Kantilever (Gere &Temoshenco 2000) ∑ 𝐹vert = 0 ∑𝑀 = 0
𝑃 − 𝑉 = 0 atau 𝑉 = 𝑃 𝑀 − 𝑃𝑥 = 0 atau 𝑀 = 𝑃𝑥
dimana 𝑥 adalah jarak dari ujung bebas balok ke potongan di mana 𝑉 dan 𝑀 dihitung. Jadi, dengan menggunakan diagram bebas dan dua Persamaan keseimbangan, maka kita dapat menghitung gaya geser dan momen lentur dengan mudah.
45
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
Perjanjian Tanda Unuk memperjelas perjanjian tanda, gaya geser positif dan negatif maupun momen lentur positif dan negatif dapat dijelaskan pada gambar 4.2a. sedangkan deformasi suatu elemen yang diakibatkan oleh gaya geser positif dan negatif maupun momen lentur positif dan negatif terlihat dalam Gambar 4.2b. Kita lihat bahwa gaya geser positif cenderung mengubah bentuk elemen dengan muka kanan bergerak ke bawah relative terhadap muka kiri, dan seperti telah disebutkan, momen lentur positif menekan (dan memperpendek) bagian atas dan menarik bawah balok. Perjanjian tanda untuk resultan tegangan disebut perjanjian tanda deformasi karena didasarkan atau bagaimana bahan berdeformasi. Sebaliknya, dalam menuliskan Persmaan keseimbangan kita menggunakan perjanjian tanda statikadi mana gaya-gaya adalah positif atau negatif bergantung pada arahnya di sepanjang sumbu koordinat.
M
v
v
M
v +
-
+ M
v
v v
v
v
M
M
M
(a)
+
M (b)
M
Gambar 4.2. Perjanjian tanda, arah gaya dan momen (Gere &Temoshenco 2000) Contoh 3-1 Sebuah balok sederhana 𝐴𝐵memikul dua beban, gaya 𝑃 dan kopel 𝑀0 , yang bekerja seperti terlihat dalam Gambar 4-3a. Carilah gaya geser 𝑉 dan momen lentur 𝑀 di balok di penampang yang terletak pada (a) dekat di sebelah kiri titik tengah balok, dan (b) dekat di sebelah kanan titik tengah balok. P Mo A
B
L/4
RA
L/4
(a) 46
L/2
RB
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
P
P
Mo
M
M
A
A
v
v
RA
RA
(c)
(b)
Gambar 4.3. contoh gaya geser dan momen lentur pada balok sederhana (Gere &Temoshenco 2000) Solusi Reaksi. Langkah pertama dalam analisis balok ini adalah mencari reaksi 𝑅𝐴 dan 𝑅𝐵 di tumpuan. Dengan mengambil momen terhadap ujung 𝐵 dan 𝐴 kita peroleh dua persamaan keseimbangan, sehingga 𝑅𝐴 =
3𝑃 4
−
𝑀0 𝑅 𝐿 𝐵
=
𝑃 4
−
𝑀0 𝐿
…………………….. (a)
(a). Gaya geser dan momen lentur di sebelah kiri titik tengah. Kita potong balok di potongan melintang sedikit di kiri titik tengah dan menggambar diagram benda bebas salah satu bagian balok. Dalam contoh ini kita pilih setengah kiri balok sebagai benda bebas (Gambar 4-3b). Benda bebas ini ditahan dalam keseimbangan oleh beban 𝑃, reaksi 𝑅𝐴 , dan dua resultan tegangan anu yaitu gaya geser 𝑉 dan momen lentur 𝑀, yang keduanya ditunjukkan dalam arah positif (lihat Gambar 4.2). Kopel 𝑀0 tidak bekerja di benda bebas ini karena balok ini dipotong sedikit di kiri lokasi kopel tersebut. Dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam arah vertikal kita peroleh: ∑ 𝐹vert = 0
𝑅𝐴 − 𝑃 − 𝑉 = 0
yang menghasilkan gaya geser: 𝑉 = 𝑅𝐴 − 𝑃 =
𝑃 4
−
𝑀0 𝐿
………………..………..(b)
Hasil ini membuktikan bahwa apabila 𝑃 dan 𝑀0 bekerja dalam arah seperti terlihat dalam Gambar 4-3a, maka gaya geser (dilokasi yang dipilih) adalah negatif dan bekerja dalam arah berlawanan dengan arah positif yang diasumsikan dalam Gambar 4-3b) maka: ∑𝑀 = 0
𝐿 𝐿 −𝑅𝐴 ( ) + 𝑃 ( ) + 𝑀 = 0 2 4
47
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
di
momen berlawanan jarum jam diambil positif. Dengan memecahkan persmaan
tersebut unutk mendapatkan momen lentur 𝑀, kita peroleh: 𝐿
𝐿
𝑀 = 𝑅𝐴 (2) − 𝑃 (4) =
𝑃𝐿 8
−
𝑀0 2
………………………. (c)
Momen lentur 𝑀 dapat positif atau negatif, bergantung pada besar beban 𝑃 dan 𝑀0 . Jika positif, maka momen tersebut bekerja dalam arah kebalikannya. (b) Gaya geser dan momen lentur di sebelah kanan titik tengah. Dalam hal ini kita potong balok di penampang sedikit di sebelah kanan tititk tengah dan menggambar diagram benda bebas bagian balok ke kiri (Gambar 4-3c). Perbedaan antara diagram ini dan yang tadi adalah bahwa kopel 𝑀0 sekarang bekerja di benda bebas. Dari dua persamaan keseimbangan, yang pertama untuk gaya dalam arah vertikal dan yang kedua untuk momen terhadap sumbu yang melalui potongan, kita peroleh 𝑉= −
𝑃 4
−
𝑀0 𝐿
𝑀=
𝑃𝐿 8
+
𝑀0 2
…………………(d,e)
Hasil ini menunjukkan bahwa apabila potongan digeser dari kiri ke kanan kopel 𝑀0 , maka gaya geser tidak berubah (karena gaya vertikal yang bekerja di benda bebas tidak berubah) tetapi momen lentur bertambah secara aljabar sebesar 𝑀0 (bandingkan Persamaan c dan e).
4.2. Hubungan Beban Antara Beban, Gaya Geser, dan Momen Lentur Perjanjian Tanda untuk beban tersebut adalah sebagai berikut. Beban terdistribusi dan beban terpusat adalah positif apabila bekerja ke bawah di balok dan negatif jika bekerja ke atas. Kopel yang bekerja sebagai beban di balok adalah positif jika berlawanan arah jarum jam dan negatif jika searah jarum jam. Jika perjanjian tanda lain digunakan, perubahan yang harus dilakukan hanyalah tanda dari suku-suku yang muncul
dalam
persamaan
yang
diturunkan
berikut
ini.
Gaya geser dan momen lentur yang bekerja di sisi-sisi elemen ditunjukkan dalam arah positif dalam Gambar 4.4. Pada umumnya gaya geser dan momen lentur bervariasi di sepanjang sumbu balok. Dengan demikian, harganya di muka kanan elemen dapat berbeda dengan harga di muka kiri. Dalam hal beban terdistribusi (Gambar 4.4a), pertambahan 𝑉 dan 𝑀 kecil sekali sehingga dapat kita tulis sebagai 𝑉 + 𝑑𝑉 dan 𝑀 + 𝑑𝑀. Dalam hal beban terpusat (Gambar 4.4b) atau kopel (Gambar4.c) pertambahan mungkin terhingga sehingga diberi notasi 𝑉1 dan 𝑀1 . Resultan tegangan untuk ini di muka kanan adalah 𝑉 + 𝑉1dan 𝑀 + 𝑀1 .
48
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
Gambar 4.4. Beban Terdistribusi (Gere &Temoshenco 2000) Jenis pertama dari pembebanan adalah beban terdistribusi dengan intensitas 𝑞, seperti terlihat dalam Gambar 4.4a. Keseimbangan gaya dalam arah vertikal (gaya ke atas adalah positif) menghasilkan ∑ 𝐹vert = 0
V − 𝑞𝑑𝑥 − (𝑉 + 𝑑𝑉) = 0
atau 𝑑𝑉 𝑑𝑥
………………… (4.1)
= −𝑞
Untuk mendemostrasikan Persamaan (4.1), tinjau balok kantilever dengan beban yang bervariasi secara linier. Beban di balok untuk bebean terdistribusi merata disepanjang batang adalah: 𝑞0 𝑥 𝐿 Perjanjian tanda bertanda positif karena bekerja ke bawah. Begitu juga gaya geser 𝑞=
adalah: 𝑉= −
𝑞0 𝑥 2 2𝐿
Dengan mengambil turunan 𝑑𝑉/𝑑𝑥 maka:
𝑑𝑉 𝑑𝑥
=
𝑑 𝑞0 𝑥 2 ( ) 𝑑𝑥 2𝐿
=-
𝑞0 𝑥 𝐿
= −𝑞
Hubungan penting mengenai gaya geser di dua potongan yang berbeda pada suatu balok dapat diperoleh dengan mengingrasikan Persamaan (4.1) di sepanjang sumbu balok. Untuk mendapatkan hubungan ini, kita kalikan kedua sisi Persamaan (4.1) dengan 𝑑𝑥 dan selanjutnya kita integrasikan diantara dua titik 𝐴 dan 𝐵 di sumbu balok; jadi, 𝐵
𝐵
∫𝐴 𝑑𝑉 = − ∫𝐴 𝑞 𝑑𝑥
49
……………………………..(a)
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
di mana kita asumsikan bahwa 𝑥 bertambah pada saat kita bergerak dari titik 𝐴 ke titik 𝐵. Sisi kiri dari persamaan ini sama dengan perbedaan (𝑉𝐵 − 𝑉𝐴 ) antara gaya geser di 𝐴 dan di 𝐵. Integral di sisi kanan menunjukkan luas diagram pembebanan antara 𝐴 dan 𝐵, yang ada pada gilirannya sama dengna besar resultan beban terdistribusi yang bekerja di anatara titik 𝐴 dan 𝐵. Jadi, dari Persamaan (a) kita dapatkan 𝐵
𝑉𝐵 − 𝑉𝐴 = − ∫𝐴 𝑞 𝑑𝑥 = −(luas diagram pembebanan antara 𝐴 dan 𝐵) ……..…… (4.2) Sekarang tinjau keseimbangan momen di elemen balok yang terlihat dalam Gambar 4-3a. Dengan menjumlahkan momen terhadap sumbu di sisi kiri elemen (sumbu teersebut tegak lurus bidang gambar), dan menganggap momen berlawanan jarum jam sebagai momen positif, kita dapatkan ∑𝑀 = 0
𝑑𝑥 − 𝑀 − 𝑞 𝑑𝑥 ( ) − (𝑉 + 𝑑𝑉)𝑑𝑥 + 𝑀 + 𝑑𝑀 = 0 2
Dengan menghasilkan hasil kali antara diferensial (karena dapat diaabaikan dibandingkan dengan suku-suku lainnya), kita dapatkan hubungan sebagai berikut: 𝑑𝑀 𝑑𝑥
= 𝑉
…….…………..(4.3)
Dengan menggunakan balok kantilever dalam Gambar 4.3 sebagai contoh, kita ingat bahwa momen lentur adalah: 𝑀=
𝑞0 𝑥 2 6𝐿
Jadi, turunan 𝑑𝑀/𝑑𝑥 adalah 𝑑𝑀 𝑑 𝑞0 𝑥 3 𝑞0 𝑥 2 = ( )= − 𝑑𝑥 𝑑𝑥 6𝐿 2𝐿
Dengan mengintegrasikan Persamaan (4.3) antara dua titik 𝐴 dan 𝐵 di sumbu balok maka 𝐵
𝐵
∫ 𝑑𝑀 = ∫ 𝑉 𝑑𝑥 𝐴
𝐴
Integral di sisi kiri Persamaan ini sama dengan perbedaan (𝑀𝐵 − 𝑀𝐴 ) antara momen lentur di 𝐵 dan 𝐴. Untuk menginterpretasikan integral di sisi kanan, kita perlu meninjau 𝑉 sebagai fungsi dari 𝑥 dan membayangkan diagram gaya geser yang menunjukkan variasi 𝑉 terhadap 𝑥. Selanjutnya kita lihat bahwa integral di sisi kanan menunjukkan luas di bawah diagram gaya geser di antara 𝐴 dan 𝐵. Dengan demikian, kita dapat menyatakan Persamaan (b) sebagai berikut:
50
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
𝐵
𝑀𝐵 − 𝑀𝐴 = ∫𝐴 𝑉 𝑑𝑥 = (luas diagram gaya geser di antara 𝐴 dan 𝐵)
…,,…… (4.4)
Persamaan ini berlaku juga pada kaus beban berpusat yang bekerja di balok diantara titik 𝐴 dan 𝐵. Namun, ini tidak berlaku jika ada kopel yang bekerja di antara 𝐴 dan 𝐵. Sutatu kopel menghasilkan perubahan mendadak dalam momen lentur, dan sisi kiri dari Persamaan (b) tidak dapat diintegrasi melalui diskontinuitas tersebut.
Beban Terpusat (Gambar 4.4b) Sekarang tinjau beban terpusat 𝑃 yang bekerja di elemen balok (Gambar 4.4b). Dari keseimbangan gaya dalam arah vertikal kita peroleh: 𝑉 − 𝑃 − (𝑉 + 𝑉1 ) = 0 atau 𝑉1 = −𝑃
…….(4.5)
Hasil ini berarti bahwa perubahan mendadak pada gaya geser terjadi di titik di mana beban terpusat kerja. Pada saat kita bergerak dari kiri ke kanan melalui titik bekerjanya beban, maka gaya geser berkurang dalam jumlah yang sama besar dengan beban terpusat ke bawah 𝑃. Dari keseimbangan momen terhadap muka kiri elemen (Gambar 4.4b), kita peroleh 𝑑𝑥 −𝑀 − 𝑃 ( ) − (𝑉 + 𝑉1 )𝑑𝑥 + 𝑀 + 𝑀1 = 0 2 atau 𝑀1 = 𝑃 (
𝑑𝑥 ) + 𝑉 𝑑𝑥 + 𝑉1 𝑑𝑥 2
Karena panjang 𝑑𝑥 dari suatu elemen sangat kecil, maka kita lihat dari persamaan ini bahwa pertambahan momen 𝑀1 juga kecil sekali. Jadi, momen lentur tidak berubah pada saat kita bergerak melalui titik bekerjanya beban terpusat. Meskipun momen lentur tidak berubah di lokasi beban terpusat, laju perubahan (𝑑𝑀/𝑑𝑥) mengalami perubahan mendadak. Di sisi kiri elemen (Gambar 4-10b), laju perubahan momen lentur (lihat Persamaan 4.4) adalah 𝑑𝑀/𝑑𝑥 = 𝑉. Di sisi kanan, laju perubahannya adalah 𝑑𝑀/𝑑𝑥 = 𝑉 + 𝑉1 = 𝑉 − 𝑃. Dengan demikian, di titik bekerjanya beban terpusat 𝑃, laju perubahan 𝑑𝑀/𝑑𝑥 berkurang secara mendadak sebesar 𝑃.
51
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
Beban Dalam Bentuk Kopel (Gambar 4.4c) Kasus terakhir yang akan ditinjau adalah beban dalam bentuk kopel 𝑀0 (Gambar 4.4c). Dari keseimbangan elemen adalah arah vertikal, kita dapatkan 𝑉1 = 0, yang menunjukkan bahwa gaya geser tidak berubah di titik bekerjanya kopel. Keseimbangan momen terhadap sisi kiri elemen menghasilkan −𝑀 + 𝑀0 − (𝑉 + 𝑉1 )𝑑𝑥 + 𝑀 + 𝑀1 = 0 Dengan megabaikan suku-suku yang mengandung diferensial (karena dapat jauh lebih kecil dibandingkan suku lainnya), kita peroleh: ………….…………….(4-6)
𝑀1 = −𝑀0
Persamaan ini menunjukkan bahwa momen lentur berkurang sebesar 𝑀0 apabila kita berjalan Jadi,
dari
momen
kiri lentur
ke
ke
berubah
kanan secara
melalui
titik
mendadak
di
titik
bekerjanya bekerjanya
beban. kopel.
Persaaman (4.1) sampai (4.6) berguna dalam membuat diagram momen lentur dan gaya geser di balok secara lengkap, sebagaimana dibahas dalam subbbab berikut ini.
4.3. Tegangan Pada Balok Dengan mengetahui tegangan dan regangan pada balok yang berkaitan dengan gaya geser dan momen lentur, kita dengan mudah menganalisis dan mereancang balok yang mengalami berbagai kondidi pembebanan. Pembebanan balok yang bekerja balok menyebabkan balok melentur, sehingga sumbunya mengalami terdeformasi dalam bentuk lengkungan, seperti ditunjukkan pada gambar 4.5. P A
B (a)
P
y
v A
B x
(b)
Gambar 4.5. Beban Terdistribusi (Gere &Temoshenco 2000)
52
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
Sebagai ilustrasi, pada gambar 4.5a.
sebuah balok kantilever AB yang mengalami
pembebanan P diujung bebas. Sumbu yang semula lurus akan melentur membentuk lengkung, seperti pada gambar 4.5b, yang disebut kurva defleksi (lendutan) balok tersebut. Sebagai acuan, kita buat sistem koordinat (gambar 4.5b) dengan titik pusat terletak dititik yag cocok di sumbu longitudinal balok. Pada ilustrasi ini, titik tumpuan (pusat) pada tumpuan jepit. Dengan sumbu x mempunyai arah ke kanan positif dan sumbu y mempunyai arah ke atas positif.
Balok yang diasumsikan simetri terhadap
bidang xy dimana sumbu y merupakan sumbu simetri penampang, dan beban bekerja juga harus dibidang xy juga. Dengan demikian, defleksi lentur terjadi di bidang xy yang disebut bidang lentur (plane of bending). Jadi kurva defleksi diperlihatkan pada gambar 4.5b.
4.4. Lentur Murni dan Lentur Tak Sragam. Dalam meganalisa suatu balok, sering dibutuhkan pembebanan murni dan lentur tak seragam. Lentur murni (pure bending) mempunyai arti lentur pada suatu balok akibat momen lentur konstan. Demikian juga, lentur murni hanya terjadi didaerah balok dimana gaya geser adalah nol (karena v= dM/dx). Sebaliknya, lentur tak seragam (nonuniform bending) mempunyai arti lentur yang disertai dengan adanya gaya geser, yang berati momen lentur berubah pada saat kita menyusuri sepanjang sumbu balok. M2
A
B
M1
1
(a) ML M 0 (b) Gambar 4.6. Balok sederhana yang mengalami lentur murni (M=ML) (Gere &Temoshenco 2000) Sebagai contoh lentur murni, seperti pada gambar 4.6, balok sederhana AB yang dibebani dengan dua momen kopel, yang mempunyai besar sama dan bekerja dalam arah yang berlawanan (gambar 4.6a). beban ini mengahsilkan momen lentur konstan M= M1, di
53
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
seluruh panjang balok, seperti yang terlihat pada gambar 4.6b. dan perhatikan bahwa haya geser v adalah nol disepanjang penampang balok. A
M2
B
M2
(a) 0 M -M2 (b) Gambar 4.7. Balok kantilever yang mengalami lentur murni (M= -M2) (Gere &Temoshenco 2000) Ilustrasi lain, ditunjukkan pada gambar 4.7a. dimana sebuah batang kantilever AB mengalami momen kopel searah jarum jam M2, diujung bebas. Tidak ada gaya geser dibalok ini dan momen lentur M adalah konstan disepanjang balok ini. Momen lentur adalah negatif (M= - M2), seperti yang terlihat pada gambar 4.7b.
4.5. Kelengkungan Balok P
P
A
B
a P
b (a)
v 0
-P (b)
M 0
Pa (c)
Gambar 4.8. Balok sederhana yang mengalami lentur murni dan lentur tak seragam (Gere &Temoshenco 2000)
54
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
Ketika beban bekerja disuatu balok, sumbu longitudinal balok tersebut akan berubah bentuk menjadi melengkung, seperti yang digambarkan pada gambar 4.8. regangan dan tegangan dibalik ini sebanding dengan kelengkungan (cultivature) dari kurva defleksi. P A
B (a) balok dengan beban O’ dθ
y
B m1
A
m2 x
x
dx
ds
(b) kurva defleksi
Gambar 4.9. Balok yang melentur; (Gere &Temoshenco 2000) Jarak m1O’ dari kurva pada gambar 4.9b, disebut pusat kelengkungan disebut radius kelengkungan, ρ (huruf yunani; rho),dan kelengkungan, κ (huruf yunani; kappa), yang didefinisikan sebagai kebalikan dari radius kelengkungan,:
𝜅 =
1 𝜌
…………………. (4.7)
Kelengkungan adalah ukuran seberapa tajam suatu balok melentur. Jika beban dibalok kecil, maka balok akan hampr lurus, radius kelengkungan semakin besar, dan kelengkungan akan kecil. Jika beban ditinggikan, besar momen lentur akan meningkat, radius kelengkungan akan menjadi kecil, dan kelengkunagn akan menjadi lebih bear. Dari geometri segitiga O’m1m2, pada gambar 4.9b, diperoleh:
𝜌 𝑑𝜃 = 𝑑𝑠
…………………. (4.8)
Dimana dθ (diukur dalam radian) adalah sudut sangat kecil Antara garis-garis normal dan ds adalah jarak sangat kecil disepanjang kurva antara titik m1 dan m2. Sehingga persamaan menjadi: 55
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
1
𝑑𝜃
𝜅 =𝜌=
…………………. (4.9)
𝑑𝑠
Defleksi kecil berarti bahwa kurva defleksi hampir datar, jarak ds disepanjang kurva dapat ditetapkan sama dengan proyeksi horzontal dx. Dalam kasus kondisi khusus persamaan menjadi:
…………………. (4.10)
1 𝑑𝜃 𝜅 = = 𝜌 𝑑𝑥 4.6. Regangan Longitudinal Balok y
y p
m
a M
e s
0
b
dx
M
f
y
s
z
x
0 (b)
q
n (a)
O’
M
ρ
a
dθ
b P
m e
s
y
dx
n
M f
s
q (c)
Gambar 4.10. deformasi Balok mengalami melentur murni; (Gere &Temoshenco 2000) Regangan longitudinal disuatu balok dapat diperoleh dengan menganalisis kelengkungan suatu balok beserta deformasinya seperti yang telihat pada gambar 4.10. tinjau bidang ab dari suatu balok yang mengalami lentur murni akibat momen kopel positif M, pada
56
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
gambar 4.10a. asumsi balok mula-mula mempunyai sumbu longitudinal lurus (sumbu x pada gambar) dan mempunyai penampang simetris terhadap sumbu y, seperti pada gambar 4.10b. aksi momen lentur tersebut , balok terdefleksi dalam bidang xy (bidang lenturan), dan sumbu longitudinal melentur menjadi kurva busur (kurva s-s) seperti diperlihatkan pada gambar 4.10c. Untuk mengevaluasi regangan normal, lihat garis e-f yang terletak dalam balok diantara bidang mn dan pq berupa garis lurus (lihat gambar 4.10a). akibat momen lentur maka garis e-f tersebut terdefleksi (lihat gambar 4.10c. jadi panjan L1 dari garis e-f sesudah lentur dapat dirumuskan menjadi: 𝐿1 = (𝜌 − 𝑦) 𝑑𝜃 = 𝑑𝑥 −
𝑦 𝑑𝑥 𝜌
Jika dθ = dx/ρ, karena panjang semula garis ef adalah dx, maka perpanjangannya adalah L1 – dx, atau –y dx/ρ, sehingga regangan logitudinal sama dengan perpanjangan dibagi dengan panjang semula dx, atau: 𝑦
𝜀 = − 𝜌 = −𝜅𝑦
………………………. (4.11)
4.7. Tegangan Normal di Balok (elastik linier) Tegangan yang bekerja diseluruh bagian penampang dari suatu balok
dan
intensitasnya bervariasi tergantung pada bentuk diagram tergangan dan regangan dan dimensi penampang. y y dA
δx C1 0 0
x
y
z C2
0 (b)
(a)
Gambar 4.11. Tegangan Normal di Balok Elastik; (Gere &Temoshenco 2000) Hubungan tegangan dan regangan yang paling umum dijumpai adalah persamaan untuk bahan elastik linier. Untuk bahan seperti ini, kita subsitusikan hukum hook untuk tegangan uniaksial (σ = E.ε) sehingga:
57
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
𝜎𝑥 = 𝐸. 𝜀𝑥 = −
𝐸.𝑦 𝜌
= − 𝐸. 𝜅. 𝑦
…………………. (4.12)
4.8. Hubungan Momen Kelengkungan Persamaan statika kedua mengatakan bahwa resultan momen dari tegangan normal σx yang bekerja pada seluruh penampang sama dengan momenlentur M (gambar 4.11a). elemen gaya σx dA yang bekerja pada elemen seluas dA (gambar 4.11b) ada di daerah positif dari sumbu x apabila σx positif ada di daerah negatif apabila σx negatif. Karena elemen dA terletak di atas sumbu netral, maka tegangan positif σx yang bekerja pada elemen tersebut menghasilkan elemen momen yang sama dengan σx y dA. Elemen momen ini bekerja berlawanan arah dengan momen lentur positif M yang terlihat dalam gambar 4.11a. Dengan demikian, pertambahan dM pada momen lentur adalah: 𝑑𝑀 = −𝜎𝑥 𝑦 𝑑𝐴 Integral dari semua momen elemental diseluruh penampang A harus sama dengan momen lentur: 𝑑𝑀 = − ∫ 𝜎𝑥 𝑦 𝑑𝐴 𝐴
Atau dengan memasukkan rumus σx, maka: 𝑀 = − ∫𝐴 𝜅𝐸 𝑦 2 𝑑𝐴 = 𝜅𝐸 ∫𝐴 𝑦 2 𝑑𝐴
…………………. (4.13)
Persamaan ini menghubungkan kelengkunagnsuatu balok dengan momen lentur M. Karena integral di dalam persamaan diatas merupakan besaran penampang, makan akan lebih mudah ditulis dalam bentuk: 𝑀 = 𝜅𝐸𝐼
…………………. (4.14)
Dimana inersia (I): 𝐼 = ∫𝐴 𝑦 2 𝑑𝐴
…………………. (4.15) Sekarang persamaan 4.17 disusun kembali untuk menyatakan kelengkungan dalam momen lentur dibalok, adalah:
𝜅 =
1 𝑀 = 𝜌 𝐸𝐼
…………………. (4.16)
Rumus tegangan Lentur dan tegangan maksimum. Dengan mensubstitusi rumus kelengkungan (persamaan 4.16) kedalam rumus tegangan σx (persamaan 4.12) diperoleh rumus:
58
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
𝜎𝑥 = −
𝑀𝑦 𝐼
…………………. (4.17)
Tegangan normal maksimum akibat momen lentur adalah:
𝜎1 = −
𝑀𝑐1 𝐼
𝑀
=𝑆
𝜎2 = −
1
𝑆1 =
1
𝐼
𝑀
=𝑆
……. (4.18a,b)
1
1
𝑆2 =
𝑐1
𝑀𝑐2
……. (4.19a,b)
𝑐2
Jika suatu penampang balok adalah simetris terhadap sumbu z dan terhadap sumbu y, maka c1 =c2 =c, dan tegangan tarik dan tekan maksimum secara numerik menjadi:
𝜎1 = −𝜎2 = −
𝑀𝑐 𝑀 =− 𝐼 𝑆
𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑆 =
1 𝑐
……... (4.20a,b)
Inersia Luas Penampang Untuk momen inersia luas penampang, tergantung dari bentuk. Untuk penampang persegi, momen inersia dan modulus penampang adalah: Momen inersia Persegi panjang
Momen inersia Persegi panjang:
𝑦
y
𝑏 /2 z 𝑧
0
ℎ
0
ℎ /2
d 𝑏 Gambar 4.16. Luas Penampang Inersia (Gere &Temoshenco 2000)
𝐼=
𝐼=
𝑏.ℎ3 12
𝜋.𝑑 4
𝑆=
𝑆=
64
𝑏.ℎ2 6
……... (4.21a,b)
𝜋.𝐷4 32
……... (4.22a,b)
Untuk Momen inersia luas penampang lainnya dapat dilihat di lampiran dan lampiran pada buku mekanika kekuatan materil dan statika sturktur.
59
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
Contoh soal 1.
Sebuah balok sederhana AB dengan panjang batang L=22 ft (lihat gambar)
memikul beban terbagi rata dengan inensitas rata-rata q = 1,5 k/ft dan beban terpusat P = 12 k. Beban terbagi rata tersebut memikul juga berat balok itu sendiri. Beban erpusat bekerja dititik 9,0 ft dari ujung balok. Balok ini terbuat dari kayu lapis dan mempunyai penampang dengan lebar b = 8,75 in. dan tinggi h = 27 in. tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum dibalok ini akibat lentur P
9 ft
q = 1,5 k/ft
A
h = 27 in
B L = 22 ft
b = 8,75 in (b)
(a) V +23,6 (k)
M (k-ft)
+10,1
+152
0 -1,9
0 (d)
(c)
-21,4
Gambar 6.17. contoh soal, tegangan dibalok Penyelesaian: Momen lentur maksimum. Dalam mulai menganalisis dengan membuat diagram gaya geser dan momen lentur seperti pada gambar 6.17c dan d. karena balok ini prismatis, maka tegangan lentur maksimum terjadi dipenampang dengan momen lentur terbesar, yang terletak dilokasi dimana tanda gaya geser berubah. Jadi momen maksimum adalah: 𝑀𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = 152 𝑘. 𝑓𝑡 Modulus penampang. Lita menghitung modulus penampang dengan menggunakan persamaan (4.21a,b): 𝑆=
𝑏ℎ2 1 = (8,75 𝑖𝑛)(27 𝑖𝑛)2 = 1063 𝑖𝑛3 6 6
Tegangan maksimum. Kita tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum σtarik , σtekan dari persamaan (4.20), adalah:
60
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
𝑖𝑛
(152 𝑘 𝑓𝑡) (12 ) 𝑀 𝑓𝑡 𝜎1 = −𝜎2 = − = = 1720 𝑝𝑠𝑖 3 𝑆 1063 𝑖𝑛 𝜎𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛 = 𝜎1 = −
𝑀 = −1720 𝑝𝑠𝑖 𝑆
Karena momen lentur adalah positif, maka tegangan tarik maksimum (σ tarik) terjadi dibawah balok dan tegangan tekan (σtekan) terjadi di atas.
Latihan Soal-soal
Sebuah balok sederhana ABC dengan panjang batang L=27 m (lihat gambar) mempunyai tumpuan di A dan B dan overstek dari B dan C. Beban terbagi rata dengan inensitas rata-rata q = 3,5 k/m dan beban terpusat P = 5 k. balok ini terbuat dari tiga plat baja (tebal t =12 mm yang dilas membentuk penampang kanal dengan lebar b= 300 mm dan tinggi h= 80 mm. asumsi filet dan las diabaikan. Tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum di balok ini akibat beban tersebut?
1. P
9m
q = 3,5 k/m
A
C
B L = 19 m
L=8m
(a) b= 300 mm
h t= 12 mm
t= 12 mm
(b) 2.
q = 1,5 k/m
A
C
B L=3m
L=2m
(a)
(b)
r= 0,05 m
61
Sebuah balok sederhana ABC dengan panjang batang L= 5m (lihat gambar) mempunyai tumpuan di A dan B dan overstek dari B dan C. Beban terbagi rata dengan inensitas rata-rata q = 1,5 k/m dan beban terpusat. balok ini terbuat dari r = 0,05m. asumsi filet dan las diabaikan. Tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum di balok ini akibat beban tersebut?
Bab IV. Gaya geser dan momen lentur
3. q = 1,2 k/m A
C
B L=4m
Tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum di balok ini akibat beban tersebut?
L = 1,5 m
(a)
r= 0,05 m
(b) 4.
q = 0,8 k/m Tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum di balok ini akibat beban tersebut?
A B L=3m
L = 1,5 m
(a) h= 30 mm b= 10 mm (b)
5. P = 50 kN 35°
B
A
C 4m (a) 20 mm
20 mm
(b)
62
Tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum di balok ini akibat beban tersebut?
BAB V Torsi 5.1. Definisi Torsi Bab ini membahas tentang perilaku jenis elemen struktur yang paling sederhana berupa batang lurus yang mengalami beban aksial. Torsi mengandung arti puntir yang terjadi pada batang lurus apabila batang tersebut dibebani momen (torsi) yang tendrung mengahasilkan rotasi terhadap sumbu longitudinal batang. Contoh aplikasi momen puntir (torsi) adalah batang penggerak (poros), batang baling-baling, batang bor, dan lain-lain. Kasus pembebanan torsi dapat dilihat pada gambar 5.1. yang menunjukkan sebuah batang lurus yang dipikul disatu ujung dan dibebani oleh dua pasang gaya yang sama besar dan berlawanan arah.
Gambar 5.1. Batang yang mengalami momen torsi (sumber: gere & Timoshenko 2000) Pasangan pertama terdiri dari gaya P1 yang bekerja pada didekat titik tengah batang dan pasangan kedua terdiri dari gaya P2 yang bekerja pada ujung. Setiap pasang gaya bekerja membentuk momen kopel yang cendrung memuntir batang terhadap sumbu longitudinal. Momen kopel adalah perkalian gaya dengan jarak yang tegak lurus antara garis gaya. Jadi momen pertama adalah T1 = P1 . d1 dan momen kedua adalah T2 = P2 . d2. Satuan untuk momen dalam USCS adalah lb-ft , lb-in, dan dalam SI adalah N.m. Momen yang menghasilkan puntir pada suatu batang seprti momen T1 dan T2 pada gambar 5.1 disebut momen torsi atau momen puntir. Sedangkan batang silendris yang menyalurkan daya melalui rotasi disebut poros atau as.
63
Bab V. Torsi
5.2. Deformasi Torsional Batang Lingkaran Pembahansan dimulai dengan meninjau batang prismatis berpenampang lingkaran yang dipuntir oleh Torsi yang bekerja pada ujung batang seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.2.
Gambar 5.2. Deformasi batang lingkaran akibat torsi murni (sumber: gere & Timoshenko 2000) Dengan asumsi bahwa luas penampang adalah konstan. Karena setiap penampang batang adalah identik, dan karena setiap batang tersebut mengalami torsi internal T, maka kita dapat mengatakan batang ini mengalami torsi murni.
Untuk mengambarkan deformasi batang, dari gambar 5.2. dengan ujung kiri batang mempunyai torsi tetap/ konsisi ujung kiri tetap (fix) . kemudian sisi kanan diberi torsi T sebesar sudut ø (sudut puntir), sehingga garis longitudinal pq permukaan batang menjadi melengkung helikal sejauh
𝑝𝑞 ′ , dimana 𝑞 ′ adalah posisi titik q sesudah
penampang ujung berotasi sebesar ø. Sudut puntir berubah sepanjang sumbu batang, dan pada suatu penampang sembarangan sudut tersebut mempunyai harga ø(x) yang berharga antara nol di sisi ujung kiri dan ø di ujung sisi kanan. Dan jika setiap penampang batang mempunyai jari-jari yang sama dan mempunyai puntir yang sama (torsi murni), maka sudut ø(x) akan bervariasi secara linear terhadap ujung-ujungnya. Tinjau elemen batang antara dua penampang yang jaraknya satu sama lain dx (gambar 5.3a). elemen ini ditunjukkan terisolasi di dalam gambar 5.3b. dipermukaan luarnya kita identifkasi elemen kecil abcd, degan sisi-sisi ab dan cd yang semula sejajar sumbu longitudinal. Selama terjadi puntir pada batang, penampang kanan berotasi terhadap terhadap peampang kiri dengan sudut puntir kecil dø, sehingga titik b dan c masing-masing bergerak ke b’ dan c’. Panjang sisi elemen yang sekarang elemen a’b’c’d’ tidak beubah selama rotasi kecil ini. Namun sudut-sudut dipojok tidak lagi sama 90ᴼ. Elemen ini ada dalam keadaan geser murni, dan besar regangan geser γ mak sama dengan
64
Bab V. Torsi
berkurangnya sudut dititik
a, yang berarti berkurangnya sudut bad . besar sudut
berkurangnya adalah: 𝛾𝑚𝑎𝑘 =
𝑏𝑏 ′ 𝑎𝑏
Dimana γmak dinyatakan dalam radian, bb’ adalah jarak yang dilalui gerakan titik b, dan ab adalah panjang elemen (sama dengan dx), apabila r merupakan jari-jari batang, maka kita dapat menyatakan bb’ sebagai r.dø, dimana dø juga dinyatakan dalam radian. Maka persamaan diatas menjadi: 𝛾𝑚𝑎𝑘 =
𝑟. 𝑑ø 𝑑𝑥
Persamaan ini menghubungkan regangan geser dipermukaan luar batang dengan sudut puntir. T
T dx L
x
(a)
𝛾𝑚𝑎𝑘𝑠
𝛾
b
a T
b' c
d
dø
dø ρ
T
r
c' dx
dx
(c) (b) Gambar 5.3. deformasi suatu elemen sepanjang dx (sumber: gere & Timoshenko 2000) Besaran dø/dx adalah besarnya perubahan sudut puntir ø terhadap jarak x yang diukur disepanjang sumbu batang. Kita akan menulis dø/dx menggunakan simbol θ dan kita sebut θ sebagai sudut puntir per panjang satuan, atau laju puntiran: 𝜃 =
𝑑ø 𝑑𝑥
Dengan menggunakan notasi ini, kita dapat menulis persamaan untuk regangan geser dipermukaan luas adalah: 𝛾𝑚𝑎𝑘𝑠 =
𝑟. 𝑑ø = 𝑟. 𝜃 𝑑𝑥 65
Bab V. Torsi
Pada umumnya, baik ø maupaun θ bervariasi terhadap x disepanjang sumbu batang. Dalam kasus khusus berupa torsi murni, laju puntiran adalah konstan dan sama dengan sudut puntir total ø dibagi dengan panjang L batang, jadi θ = ø.L. Dengan demikian, untuk torsi murni adalah: 𝑟. ø 𝐿 Persamaan ini dapat diperoleh secara langsung dari gambar 5.2. dengan melihat 𝛾𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑟. 𝜃 =
bahwa jarak qq’ sama dengan r.ø dan bahwa sudut 𝛾𝑚𝑎𝑘𝑠 adalah sudut antara garis-garis pq dan pq’, yaitu sudut qpq’. Jadi r.ø = 𝛾𝑚𝑎𝑘𝑠 . 𝐿 . Jadi elemen interior juga mengalami geser dengan regangan geser yang dinyatakan dengan persamaan: 𝜌 𝛾 𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠 Gambar 5.4. menunjukkan variasi linear pada tegangan geser antara regangan 𝛾 = 𝜌. 𝜃 =
maksimum
dipermukaan luar dan regangan minimum dipermukaan dalam. Regangan
minimum berhubungan dengan regangan maksimum melalui persamaan: 𝑟1 𝛾𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝛾 𝑟2 𝑚𝑎𝑘𝑠 γmak s
γmin
r
Dimana r1 dan r2 masingmasing adalah jari-jari dalam dan luar penampang tabung
1
r1 Gambar 5.4. variasi regangan geser pada tabung lingkaran (sumber: gere & Timoshenko 2000) 5.3. Batang Lingkaran dari Bahan yang Elastis Linier Karena kita telah menyelidiki regangan geser pada batang lingkaran yang mnegalami torsi (gambar 5.3. dan gambar 5.4), maka kita sudah siap untuk menentukan arah dan besar tegangan gesernya. Arah tegangan dapat dilihat pada gambar 5.5a. Pada gambar 5.5a terlihat bahawa torsi T cendrung memutar ujung kanan batang berlawanan jarum jam apabila dilihat dari kanan sehingga tegangan geser τ bebekrja dalam arah seperti telihat pada gambar 5.5
66
Bab V. Torsi
T
τ
(a) τ a ɤ
b b'
τ
τmax τ
τ d τ
ρ r
c c'
(c)
(b) Gambar 5.5. Tegangan geser pada batang akibat beban torsi (sumber: gere & Timoshenko 2000) Untuk menjelaskan elemen tegangan disisi batang pada gambar 5.5a, diperbesar pada gambar 5.5b, dimana regangan geser tegangan geser ditunjukkan. Besar tegangan geser dapat ditentukan dari hubungan tegangan-regangan untuk bahan pembentuk batang tersebut. Jika bahannya elastis linear, maka kita dapat menggunakan hukum Hook untuk geser: 𝜏 = 𝐺. ɤ Dimana G adalah modulus geser eleatis dan ɤ adalah regangan geser yang dinyatakan dalam radian. Dengan menggabungkan persamaan ini dengan persamaan sebelumnya diperoleh persamaan: 𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝐺. 𝑟. 𝜃 Dan 𝜏 = 𝐺. 𝜌. 𝜃 =
𝜌 𝜏 𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠
5.4. Rumus Torsi Untuk menentukan resulatan yang tedapat pada gambar 5.6, kita tinjau elemen luas dA yang terletak pada jarak radial ρ dari sumbu batang. Gaya geser yang bekerja di elemen ini sama dengan τ dA, dimana τ adalah tegangan geser pada radius ρ dari sumbu batang. Gaya geser yang bekerja di elemen ini sama dengan τ dA. Dari hasil substitusi diperoleh hasil:
67
Bab V. Torsi
𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 2 𝜌 𝑑𝐴 𝑟
𝑑𝑀 = 𝜏𝜌𝑑𝐴 =
dA
ρ
τ r Gambar 5.6. Penentuan Resultan Tegangan Geser (sumber: gere & Timoshenko 2000) Momen resultan (yang sama dengan puntir T) adalah penjumlahan momen elemental di seluruh luas penampang, yaitu: 𝑇 = ∫ 𝑑𝑀 = 𝐴
𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 ∫ 𝜌2 𝑑𝐴 = 𝐼𝑃 𝑟 𝑟 𝐴
IP adalah Momen inersia Polar untuk luas penampang lingkaran. Untuk lingkaran dengan jari-jari r dan diameter d, momen inersia polar adalah: 𝐼𝑃 = ∫ 𝜌2 𝑑𝐴 𝐴
𝐼𝑃 =
𝜋. 𝑟 4 𝜋. 𝑑4 = 2 32
Rumus untuk tegangan geser maksimum dapat diperoleh dengan: 𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 =
𝑇. 𝑟 𝐼𝑃
Persamaan ini dikenal dengan rumus Torsi, menunjukkan bahwa tegangan geser sebanding dengan puntir yang bekerja dan berbanding terbalik dengan momen inersia Polar. Satuan puntir (T) dalam SI adalah Newton meter (N.m). dengan jari-jari ® dalam satuan meter (m), momen inersia polar (IP) dalam meter pangkat empat (m4). Dan tegangan geser (τ) dalam pascal (Pa). sedangkan Satuan puntir dalam USCM adalah Torsi (T) dalam (lb-ft) atau (lb-in), jari-jari (r) dalam satuan inci (in), momen inersia polar (IP) dalam inchi pangkat empat (in4). Dan tegangan geser τ dalam pound/in2 (psi). Dengan menstitusikan r = d/2 dan Ip = π.d4/32 kedalam rumus torsi, maka tegangan maksimu menjadi : 𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 =
68
16 𝑇 𝜋𝑑3
Bab V. Torsi
Rumus ini berlaku hanya pada batang yang mempunyai penampang lingkaran solid. Sedangkan rumus torsi berlaku untuk batang solid maupun tabung lingkaran. Untuk mengetahui tegangan geser pada jarak ρ dari pusat batang, digunakan persamaan: 𝜏 =
𝜌 𝑇. 𝜌 𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑟 𝐼𝑃
Sudut puntir suatu batang dengan bahan elastik linier dapat dikaitkan dengan torsi T yang bekerja adalah: 𝜃 =
𝑇 𝐺. 𝐼𝑃
Rumus ini menunjukkan bahwa laju puntir θ sebanding dengan torsi T dan berbanding terbalik dengan hasil kali GIP, yang dikenal dengan rigiditas torsional batang tersebut. Untuk sebuah batang yang mengalami torsi murni, sudut puntir total φ sama dengan laju puntir dikali dengan panjang batang (artinya φ= θ.L), sehingga: Ф =
𝑇. 𝐿 𝐺. 𝐼𝑃
Untuk kasus tabung lingkaran, dimana ρ= r1 dan ρ=r2, maka momen inetsia polar menjadi: 𝐼𝑃 =
𝜋 4 𝜋 4 (𝑟2 − 𝑟14 ) = (𝑑 − 𝑑14 ) 2 32 2
Contoh soal Sebuah batang baja solid dengan penampang lingkaran (lihat gambar) mempunya diameter d=1,5 in, panjang L= 54 in., dan modulus elastistas geser G = 11,5 x 106 psi. batang mengalami torsi T yang bekerja pada ujung-ujungnya batang. (a) jika torsi besarnya T = 250 ib-ft, berapa tegangan geser maksimum dibatang ini? Berapa sudut puntir antara kedua ujung? (b). jika tegangan geser izin adalah 6000 psi dan sudut puntir izin adalah 2,5ᴼ. berapa torsi izin maksimum? d= 1,5 in T
T
T= 54 in Penyelesaian: (a). luas penampang merupakan bahan solid, maka tegangan geser maksimum adalah:
69
Bab V. Torsi
𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 =
16 𝑇 16 (250 𝑙𝑏. 𝑓𝑡) . (12 𝑖𝑛/𝑓𝑡) = = 4530 𝑝𝑠𝑖 𝜋𝑑3 3,14 . (1,5)3
Untuk mencari sudut puntir, maka: 𝜋 3,14 (𝑑)4 = (1,5 𝑖𝑛)4 = 0,4970 𝑖𝑛4 32 32 𝑇. 𝐿 (250 𝑙𝑏. 𝑓𝑡). (12 𝑖𝑛/𝑓𝑡). (54 𝑖𝑛) Ф = = = 0,02834 𝑟𝑎𝑑 = 1,62ᴼ 𝐺. 𝐼𝑃 (11,5 𝑥 106 𝑝𝑠𝑖). (0,4970 𝑖𝑛4 ) 𝐼𝑃 =
(b). torsi izin maksimum ditentukan dengan tegangan geser izin atau dengan sudut puntir izin. 𝑇1 =
𝜋𝑑4 𝜏𝑖𝑧𝑖𝑛 3,14 = (1,5 𝑖𝑛)4 (6000 𝑝𝑠𝑖) = 3980 𝑙𝑏. 𝑖𝑛 = 331 𝑙𝑏. 𝑓𝑡 16 16
Momen torsi yang lebih besar dari harga ini akan menyebabkan tegangan geser yang melebihi tegangan izin sebesar 6000 psi. Untuk menghitung momen torsi berdasarkan sudut puntir, diperoleh:
𝑇2 =
𝐺𝐼𝑃 𝜙𝑖𝑧𝑖𝑛 (11,5 𝑥 106 ). (0,4970 𝑖𝑛4 ). (2,5ᴼ). (𝜋 𝑟𝑎𝑑/180) = = 4618 𝑙𝑏. 𝑖𝑛 𝐿 54
𝑇2 = 385 𝑙𝑏. 𝑓𝑡 Momen torsi yang lebih besar adalah T2, akan menyebabkan dilampauinya sudut puntir izin. Torsi izin maksimum adalah nilai terkecil anatar T1 dan T2, adalah: 𝑇𝑚𝑎𝑘𝑠 = 331 𝑙𝑏. 𝑓𝑡 Contoh 2. Sebuah batang baja akan dibuat dengan penampang lingkaran solid atau dengan penampang lingkaran berlubang. Batang ini harus menyalurkan torsional sebesar 1200 N.m. tenpa melebihi tegangan geser izin sebesar 40 Mpa. Dan laju puntir izin 0,75ᴼ/m. (modulus geser elastisitas bahan baja adalah 78 Gpa). (a) tentuka diameter do untuk batang solid. (b). tentukan diameter luar d2 untuk batang berlubang jika tebal t untuk batang ditentukan sebesar 1/10 dari diameter terluar. (c). tentukan ratio diameter (artinya, ratio d2/do) dan ratio berat banatng berpenampang berlubang terhadap yang mempunyai penampang solid.
70
Bab V. Torsi
d1 d2
do
Penyelesaian. (a). Batang Solid. Diameter do ditentukan dari tegangan geser izin atau dari laju puntir izin. Dalam hal tegangan izin, di dapatkan: 𝑑𝑜3 =
16 𝑇 16. (1200 𝑁. 𝑚) = = 152,8 𝑥 10−6 𝑚3 𝜋. 𝜏𝑖𝑧𝑖𝑛 3,14. (400 𝑀𝑃𝑎)
Sehingga: 𝑑𝑜 = 0,0535 𝑚 = 𝟓𝟑, 𝟓 𝑚𝑚 Dalam hal laju puntir izin, momen inersia polarnya adalah: 𝐼𝑃 =
𝑇 1200 𝑁. 𝑚 = = 1175 𝑥 10−9 𝑚4 𝐺. 𝜃𝑖𝑧𝑖𝑛 (78 𝐺𝑃𝑎)(0,75ᴼ/𝑚)(𝜋 𝑟𝑎𝑑/180ᴼ)
Karena momen inersia polar sama dengan πd4/32, maka diameter yang dibutuhkan adalah: 𝑑𝑜4 =
32 𝐼𝑃 32 (1175 𝑥10−9 𝑚4 = = 11,97 𝑥 10−6 𝑚4 𝜋 3,14
𝑑𝑜 = 0,0588 𝑚 = 𝟓𝟖, 𝟖 𝑚𝑚
Atau:
Dengan membandingkan kedua harga do, laju puntiran menentukan desain dan diameter yang dibutuhkan untuk batang solid adalah: do= 58,8 mm. Dalam desain praktis, diameter yang dipilih harus lebih besar sedikit dari harga d o yang dihitung. (60 mm) (b). Batang berlubang. Diameter yang diperlukan didasarkan pada tegangan izin atau laju puntir izin. Diameter luar batang d2 adalah: 𝑑2 = 𝑑2 − 2𝑡 = 𝑑2 − 2(0,1𝑑2 ) = 0,8 𝑑2 Momen inersia polar adalah: 𝜋 4 𝜋 4 𝜋 𝐼𝑃 = (𝑑2 − 𝑑14 ) = (𝑑2 − (0,8𝑑2 )4 ) = (0,5904𝑑2 4 ) = 0,05796 𝑑2 4 32 32 32 Tegangan geser izin adalah:
71
Bab V. Torsi
𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 =
𝑇. 𝑟 𝑇 (𝑑2 )/2 𝑇 = = 4 𝐼𝑃 0,05796𝑑2 0,1159𝑑2 3
Untuk mencari diameter d2 diperoleh: 𝑑2 3 =
𝑇 1200 𝑁. 𝑚 = = 258,8 𝑥10−6 𝑚3 0,1159 𝜏𝑚𝑎𝑘𝑠 0,1159(40 𝑀𝑃𝑎) 𝑑2 = 0,0637 𝑚 = 63,7 𝑚𝑚
Ini adalah diameter terluar yang diperlukan berdasarkan tinjauan tegangan geser. Dalam hal laju puntir izin, diperoleh: 𝜃𝑖𝑧𝑖𝑛 =
𝑇 𝑇 = 𝐺. 𝐼𝑃 𝐺. (0,05796𝑑2 4 )
Sehingga: 𝑑2 4 =
𝑇 1200 𝑁. 𝑚 = 0,05796. 𝐺. 𝜃𝑖𝑧𝑖𝑛 0,05796. (78 𝐺𝑃𝑎)(0,75ᴼ/𝑚)(𝜋 𝑟𝑎𝑑/180ᴼ)
𝑑2 4 = 20,28 𝑥 10−6 𝑚4
𝑑2 = 0,0671 𝑚 = 𝟔𝟕, 𝟏 𝑚𝑚
Diameter dalam diperlukan d1 sama dengan 0,8.d2, atau setara dengan 53,7 mm Sedang diameter nilai praktis dipilih d2 = 70 mm dan d1 = 0,8.d2 = 56 mm. (c). rasio diameter dan berat. Rasio diameter luar berpenampang berlubang terhadap penampang solid dapat ditentukan dengan: 𝑑2 67,1 𝑚𝑚 = = 1,14 𝑑𝑜 58,8 𝑚𝑚 Karena berat batang adalah sebanding dengan luas penampang. Ration berat batang berlubang terhadap berat batang solid adalah: 𝑊𝑏𝑒𝑟𝑙𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔 𝐴𝑏𝑒𝑟𝑙𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔 𝜋(𝑑22 − 𝑑22 ) 𝑑22 − 𝑑22 = = = 𝑊𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 𝐴𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 (𝜋𝑑𝑜2 )/4 𝑑𝑜2 𝑊𝑏𝑒𝑟𝑙𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔 (67,1 𝑚𝑚)2 − (53,7 𝑚𝑚)2 = = 0,47 𝑊𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 (58,8 𝑚𝑚)2 Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa batang berlubang hanya menggunakan 47% bahan dibandingkan dengan batang solid. Dan diameternya sekitar 14% lebih besar.
72
Bab V. Torsi
Latihan Soal-soal 1. Sebauah poros berlubang dan poros solid yang terbuat dari bahan yang sama mempunyai panjang sama dengan jari-jari luar R (lihat gambar). Jari-jari dalam batang berlubang adalah 0,6R. (a). dengan menganggap bahwa kedua poros mengalami torsi yang sama, bandingkan tegangan geser, sudut puntir, dan berat keduanya. (b) tentukan rasio kekuatan terhadap berat untuk kedua poros. R
R 0,6R
(a)
(b)
2. Sebuah batang generator didalam hydraelectric plant kecil berputar pada 120 rpm dan menghasilkan 50 Hp. (a). Jika diameter baang adalah d = 3,0 in. berapa tegangan geser maksimum dibatang. (b). jika tegangangeser dibatasi pada 4000 psi, berapa seharusnya diameter d untuk batang tersebut?
120 rpm
d
50 hp
3. Sebuah motor penggerak batang pada 120 Hz dan menghasilkan daya 20 Watt. (a). Jika mempunyai diameter d = 30 mm. berapa tegangan geser maksimum dibatang. (b). jika tegangan geser izin maksimum adalah diameter d yang diperlukan untuk batang tersebut? 120 Hz
d
20 kW
73
40 MPa, berapa
BAB VI TRUSS DAN FRAME
6.1. Truss Struktur Rangka Batang (Truss) adalah struktur yang terdiri dari elemen-elemen batang dimana ujung-ujungnya dihubungkan pada satu titik dengan hubungan sendi, dan direncanakan untuk menerima beban yang cukup besar (dibandingkan berat sendirinya) yang bekerja pada titik-titik hubungnya, untuk membentuk sebuah struktur yang stabil.Bentuk truss yang sederhana adalah tetrahedron, yang dibentuk dari sambungan enam batang benda bersama-sama. Contoh penggunaan truss dapat dilihat pada gambar 6.1
Gambar 6.1. Truss dan aplikasi truss (sumber: R.C. Hibbeler)
6.1.1. Type-type Truss 1. Roof Trusses: Pada umumnya, beban atap yang bekerja pada truss di teruskan melalui purlin (gording). Rangka atap ditumpu oleh kolom. Type trus ini dapat dilihat pada gambar 6.2
Gambar 6.2. Roof Truss (sumber: R.C. Hibbeler)
74
Bab VI. Truss dan Frame
2. Bridge Trusses: Beban diteruskan dari lantai kendaraan ke struktur rangka melalui sistem lantai yang terdiri dari balok memanjang dan balok melintang yang ditumpu pada dua buar struktur rangka batang yang paralel. Gambar trus ini dapat diliha pada gambar 6.2
Gambar 6.3. Bridge Truss (sumber: R.C. Hibbeler) 6.1.2. Prosedur Analisa Truss Ada beberapa metoda/cara yang digunakan untuk mengalisa truss, yaitu : Metode Sambungan (Method of Joint), Metode Potongan (Method of sections), Metode Finite Elemen (Methode of Finite Element). Adapun metode-metode ini dapat dilihat seperti pada gambar 6.4.
(a)
(b)
(c)
Gambar 6.4. Bridge Truss: (a) metode sambungan, (b) metode potong, (c) metode elemen hingga. (sumber: R.C. Hibbeler)
Dalam menganalisa gaya yang bekerja pada truss dapat dilakukan bebearapa cara seperti yang telah dijelaskan diatas.
75
Bab VI. Truss dan Frame
Analisa Metode Sambungan (Method of Joint) Jika gaya-gaya yang bekerja pada seluruh batang truss dapat ditentukan dengan metode sambungan. Metode ini sangat sederhana dan mudah dalam analisa, yaitu dengan metode keseimbangan gaya ΣFx, ΣFy, ΣFz.
Contoh soal Tentukan gaya pada tiap batang truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan
Penyelesaian Soal Dalam menyelesaikan soal truss ini kita menggunakan DBB sebagai berikut:
B
500 N 45°
F BC
F AB
F R
AX
AB
F
A F R
45° AC
F AY
AC
BC
C R
CY
76
Bab VI. Truss dan Frame
B
500 N 45°
F BC
F AB
F 45°
F
AC
BC
C R
CY
77
Bab VI. Truss dan Frame
F R
AX
AB
A F R
AC
AY
78
Bab VI. Truss dan Frame
Latihan Soal 1.
Tentukan gaya pada tiap batang truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan.
2. Tentukan gaya pada tiap batang truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan.
3. Tentukan gaya pada tiap batang truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan.
79
Bab VI. Truss dan Frame
Metode Potongan (Method of Sections). Penyelesaian dengan metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan analisa potangan truss dalam beberapa bagian (sections) truss. Jika diasumsikan truss dibagi dalam dua segment truss dan gaya yang bekerja pada satu segment truss, maka analisa yang dibutuhkan dalam menyelesaikan problem ini adalah:
ΣFx= 0, ΣFy= 0, ΣFz.= 0, ΣMx = 0, Σmy = 0, ΣMz = 0.
Gambar 6.5. Metode Potong Truss (sumber: R.C. Hibbeler) Contoh soal Gaya pada batang GE, GC dan BC. Tentukan gaya pada tiap batang truss seperti pada gambar dibawah ini. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan.
80
Bab VI. Truss dan Frame
Diagram benda bebas adalah:
Analisa gaya dan reaksi pada tiap-tiap batang adalah:
Analisa gaya titik B-C adalah:
Analisa gaya titik G-E adalah:
Analisa gaya titik G-C adalah:
81
Bab VI. Truss dan Frame
Laihan Soal 1. Tentukan gaya pada batang C-F pada truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan
apakah
pada
tiap
batang
mengalami Tarik atau tekan.
2. Tentukan gaya pada batang E-B pada truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan
apakah
pada
tiap
batang
mengalami Tarik atau tekan.
3. Tentukan gaya pada batang B-C, C-F, F-C, pada truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan.
4. Tentukan gaya pada batang E-F, C-F, B-C, pada truss seperti pada gambar disamping. Dan tentukan apakah pada tiap batang mengalami Tarik atau tekan.
82
Bab VI. Truss dan Frame
6.2. Frame
Frame dan mesin dua jenis struktur yang sering terdiri dari batang-batang dengan multiforce yang terhubung dengan pin-, yaitu, bagian-bagian yang mengalami lebih dari dua gaya. Frame digunakan untuk mendukung beban. sedangkan mesin terdiri dari bagian yang bergerak dan dirancang untuk mengirim dan mengubah efek dari gaya. keberadaan frame atau mesin tidak lebih untuk mendukung atau bagian-bagian yang diperlukan untuk mencegah keruntuhannya. gaya yang bekerja pada sendi dan dukungan dapat ditentukan dengan menerapkan persamaan keseimbangan untuk setiap anggotanya. Setelah gaya ini diperoleh, kemudian memungkinkan untuk merancang ukuran koneksi batang-batang, dan mendukung menggunakan teori mekanika bahan dan kode desain teknik yang sesuai. Dalam menentukan gaya yang bekerja pada sambungan dan support dari frame dan machine, struktur harus dibuat dalam bentukd iangram benda bebas (free body diagram). Adapun bentuk frame dapat dilihat pada gambar 6.5.
Gambar 6.6. crane adalah contoh bentuk framework (sumber: R.C. Hibbeler) Contoh Gaya yang bekerja pada tiap batang Frame yang ditunjukkan pada gambar disamping. Gambarkan Diagram benda bebas dari: a. Tiap-tiap batang b. Pada pin B c. Dua batang yang dihubungkan bersama.
83
Bab VI. Truss dan Frame
Diagram benda bebas distribusi gaya-gaya adalah:
84
DAFTAR PUSTAKA
1. Gere & Timoshenco, Mekanika Kekuatan Material, Jilit 1, Edisi keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1996. 2. E.P. Popov, Mechanics of Material,S.I. Version, second Edition,Prentice-Hall of India Private Limited, New Delhi, 1981. 3. Ansel C. Ugural, Mechanical Design, Mc Graw Hill, International Edition, New Jersey Institute of Technologi, 2004. 4. R.C. Hibbeler, Engineering Statics, Statics, twelfth Edition, JOHN W ILEY & SONS, INC. 2002 5. J.L. Meriam, L.G. Kraige, Engineering Statics, Statics, Fifth Edition, Virginia Polytechnic Institute and State University, JOHN W ILEY & SONS, INC. 2002. 6. Asyari Darami Yunus, Mekanika Kekuatan Material, Diktat, Teknik Mesin, Universitas Darma Persada, 2010.
85