BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Nagalakshmi dan Yadav (2014) melakukan eksperimen mengenai analisis performa dari sistem refrigerasi dengan menggunakan refrigeran R12 dan R134a. Pengujian dilakukan dengan memberikan variasi pada suhu kerja kondensor. Dari pengujian yang dilakukan, terlihat bahwa suhu kerja kondensor mempengaruhi kinerja sistem refrigerasi. Koefisien prestasi (COP) mengalami penurunan dengan naiknya suhu kerja kondensor. Thangavel et al (2013) melakukan analisa performa dari refrigeran R134a, R12 dan refrigeran campuran antara R290 dan R600a. Pengujian dilakukan dengan suhu kerja kondensor yang bervariasi, dari suhu 30oC hingga 50oC. Dari pengujian yang dilakukan, terlihat bahwa koefisien prestasi (COP) dari semua refrigeran mengalami penurunan disetiap naiknya suhu kerja kondensor, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Selain suhu kerja kondensor, beban pendinginan juga mempengaruhi kinerja sistem refrigerasi. Anwar (2010) telah melakukan penelitian mengenai efek beban pendinginan terhadap kinerja sistem mesin refrigerasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan beban pendinginan menyebabkan koefisien prestasi (COP) sistem pendingin mengalami kenaikan. Kapasitas refrigerasi (Qe) juga mengalami kenaikan dengan naiknya beban pendinginan.
Gambar 2.1. COP vs Condenser Temperatur (Thangavel, 2013)
5
6
Cabello et al (2015) melakukan pengujian penggunaan refrigeran R152a pada sistem refrigerasi yang menggunakan kompresor hermetik yang didesain untuk penggunaan refrigeran R134a. Kompresor menggunakan jenis single-stage reciprocating hermetic compressor berkapasitas 12,11 cm3 dengan putaran 2900rpm. Dari pengujian yang dilakukan, R152a yang memiliki rasio kompresi mirip dengan R134a dapat digunakan pada kompresor hermetik yang didesain untuk R134a. Tidak ada masalah yang ditemukan pada kompresor, pelumas (tipe POE), dan alat ekspansi (electronic expansion valve) yang digunakan. Razali et al (2000) melakukan penelitian mengenai penggunaan refrigeran HFC-134a sebagai pengganti refrigeran R-12 pada automitive air conditioning. Dari penelitian didapat hasil bahwa HFC-134a memberikan kapasitas refrigerasi yang lebih besar pada temperatur evaporator yang rendah dan temperatur kondensor yang tinggi. Performance dari kompresor lebih besar HFC-134a dibandingkan dengan refrigeran R-12. Refrigeran HFC-134a sesuai untuk menggantikan refrigeran R-12 pada automotive air conditioning. Hossain et al (2012) telah melakukan penelitian mengenai analisa performa dari tiga refrigeran yang berbeda, R-12 (CFC), R-22 (HCFC), dan R-134a (HFC). Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat uji buatan yang merepresentasikan vapor compression refrigeration cycle. Penelitian dari tiga jenis refrigeran menghasilkan COP yang berbeda – beda, dimana COP dari R-12 adalah 4.07, R22 adalah 3,97, dan R-134a adalah 3,8. Diantara tiga refrigeran tersebut, R-134a memiliki COP yang lebih rendah dari kedua refrigeran lainnya namun R-134a memiliki 0 ODP (Ozone Depletion Potential). Berdasarkan isu keselamatan lingkungan, maka seharusnya R-134a digunakan dalam sistem refrigerasi. Wilis (2011) melakukan penelitian mengenai kinerja refrigeran R22 dan R134a pada mesin pendingin. Pengujian dilakukan dengan kompresor AC mobil berkapasitas 2 HP, kondensor koil bersirip, evaporator, katup ekspansi termostatik dan orifice dengan diameter kecil 4,95 mm dan 19 mm pada diamater besar. Pembebanan dilakukan menggunakan beban lampu dengan variasi dari 100 watt hingga 600 watt. Diambil pada suhu 31OC dan pembebanan 500 watt didapat bahwa R22 dari segi prestasi kerjanya lebih baik daripada R134a, dimana koefisien prestasi dari R22 (3,45) lebih besar dari R134a (2,85).
7
Gambar 2.2. Variation of COP with refrigerant charge (Akintunde, 2013) Akintunde (2013) melakukan penelitian mengenai studi eksperimental dari campuran refrigeran R134a, R406a dan R600a sebagai refrigeran pengganti freon 12. Penelitian dilakukan dengan cara mencampurkan refrigeran R600a, R134a, dan R406a dengan berbagai macan rasio campuran. Alat uji yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 hp (1,492 kW) domestic refrigerator, yang didesain berdasarkan suhu 40OC condensing dan -10OC evaporating. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa campuran R134a/R600a dengan rasio 50:50 dapat digunakan sebagai alternatif refrigeran pengganti R-12 pada domestic refrigerator. Terbukti pada saat suhu evaporator -5OC dan suhu kondensor 40OC, koefisien prestasi (COP) dari R-12 bernilai 2,08 dimana campuran R134a/R600a dengan rasio campuran 50:50 menghasilkan nilai 2,30 pada kondisi operasi yang sama. 2.2. Dasar Teori 2.2.1. Refrigerasi Refrigerasi adalah suatu proses menghilangkan panas dari suatu zat untuk menurunkan temperatur dari zat tersebut. Panas merupakan bentuk energi, dan menghilangkan panas pada suatu zat sama dengan menghilangkan beberapa energi dari molekul – molekulnya. Untuk pengkondisian udara, permasalahannya adalah menghilangkan panas pada udara. Agar energi panas pada udara hilang (berpindah), maka udara harus bersentuhan dengan material yang mempunyai temperatur lebih rendah sehingga akan terjadi penurunan suhu. Material yang
8
digunakan pada proses pengkondisian udara yang berfungsi untuk menyerap panas pada udara disebut refrigerant. Refrigeran merupakan zat yang digunakan sebagai fluida kerja dalam proses penyerapan panas dan dapat dengan mudah diubah wujudnya dari gas menjadi cair atau sebaliknya. Berdasarkan prinsip kerjanya refrigeran dibedakan menjadi dua, yaitu refrigeran primer dan sekunder. Refrigeran primer adalah fluida yang digunakan langsung dalam sistem refrigerasi kompresi uap. Refrigeran ini mengalami kompresi, kondensasi, ekspansi dan evaporasi secara langsung sehingga terjadi perubahan fasa ketika mengalir dalam siklus. Sedangkan refrigeran sekunder adalah refrigeran yang membawa energi kalor bersuhu rendah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa mengalami perubahan fasa. Oleh karena itu, refrigeran sekunder juga sering disebut dengan fluida antibeku atau brines.
Gambar 2.3. Diagram skema sistem refrigerasi kompresi uap (Cengel & Boles, 2006) Tekanan dan temperatur jenuh dari refrigeran akan menentukan kondisi operasi di evaporator dan kondensor. Kondisi yang diinginkan adalah pada temperatur pendinginan yang diinginkan refrigeran masih mempunyai tekanan di atas tekanan atmosfer sehingga tidak ada tekanan vakum dalam sistem yang dapat menyebabkan masuknya udara dan uap air ke dalam sistem. Pada temperatur kondensor yang sedikit di atas temperatur kamar, diharapkan refrigeran mempunyai tekanan yang tidak terlalu tinggi sehingga tidak diperlukan kompresor
9
dengan perbandingan kompresi yang tinggi dan berdaya rendah. Disamping itu diinginkan refrigeran yang mempunyai tekanan kondensor dan evaporator yang tidak terlalu tinggi. Hal ini dimaksudkan agar tidak diperlukan struktur komponen yang kuat dan berat. Dengan mengetahui tekanan dan temperatur jenuh refrigeran, maka dapat diketahui apakah suatu refrigeran dapat beroperasi pada kisaran tekanan dan temperatur yang sama dan dapat saling menggantikan. Mesin refrigerasi atau mesin pendingin merupakan mesin yang dapat menimbulkan efek refrigerasi. Pada umumnya, Mesin refrigerasi siklus kompresi uap merupakan jenis mesin refrigerasi yang paling banyak digunakan saat ini. Mesin refrigerasi ini terdiri dari empat komponen utama, yaitu kompresor, kondensor, katup ekspansi, dan evaporator yang susunan antar komponennya dapat dilihat pada gambar 2.3. Prinsip kerja mesin refrigerasi secara umum yaitu pada saat gas dialirkan ke kompresor, kompresor berfungsi mengalirkan dan menaikkan tekanan gas refrigeran yang selanjutnya dicairkan di dalam kondensor. Dari kondensor, refrigeran cair diuapkan dengan menyemprotkannya melalui katup ekspansi ke dalam evaporator yang bertekanan rendah. Refrigeran yang menguap di dalam evaporator menyerap kalor dari udara yang ada disekitarnya. 2.2.2. Siklus Kompresi Uap Ideal Siklus kompresi uap ideal dapat dilihat pada diagram tekanan-entalpi dalam Gambar 2.4. Proses-proses yang membentuk siklus kompresi uap ideal adalah:
Gambar 2.4. Siklus kompresi uap standar: Diagram tekanan-entalpi (Cengel & Boles, 2006)
10
1. Proses 1-2 Refrigeran meninggalkan evaporator dalam wujud uap jenuh dengan temperatur dan tekanan rendah, kemudian oleh kompresor uap tersebut dinaikkan tekanannya menjadi uap dengan tekanan yang lebih tinggi (tekanan kondensor). Kompresi ini diperlukan untuk menaikkan temperatur refrigeran, sehingga temperatur refrigeran di dalam kondensor lebih tinggi daripada temperatur lingkungannya. Dengan demikian perpindahan panas dapat terjadi dari refrigeran ke lingkungan. proses kompresi ini berlangsung secara isentropik (adiabatik dan reversibel). 2. Proses 2-3 Setelah mengalami proses kompresi, refrigeran berada dalam fasa panas lanjut dengan tekanan dan temperatur tinggi. Untuk mengubah wujudnya menjadi cair, kalor harus dilepaskan ke lingkungan. hal ini dilakukan pada kondensor. Refrigeran mengalir melalui kondensor dan dialirkan fluida pendingin (udara) dengan temperatur lebih rendah daripada temperatur refrigeran. Oleh karena itu kalor akan berpindah dari refrigeran ke fluida pendingin dan sebagai akibatnya refrigeran mengalami penurunan temperatur dari kondisi uap panas lanjut menuju kondisi uap jenuh, selanjutnya mengembun menjadi wujud cair jenuh. Proses ini berlangsung secara reversibel pada tekanan konstan. 3. Proses 3-4 Refrigeran dalam wujud cair jenuh mengalir melalui katup ekspansi. Refrigeran mengalami ekspansi pada entalpi konstan dan berlangsung secara takreversibel. Selanjutnya refrigeran keluar dari katup ekspansi berwujud campuran uap-cair pada tekanan dan temperatur sama dengan tekanan serta temperatur evaporator. 4. Proses 4-1 Refrigeran, dalam fasa campuran uap-cair, mengalir melalui evaporator. Pada tekanan evaporator, titik didih refrigeran harus lebih rendah daripada temperatur lingkungan (media yang akan didinginkan), sehingga dapat terjadi perpindahan panas dari media yang akan didinginkan ke dalam refrigeran. Kemudian refrigeran yang masih berwujud cair menguap di dalam evaporator dan selanjutnya
11
refrigeran meninggalkan evaporator dalam fasa uap jenuh. Proses penguapan tersebut berlangsung secara reversibel pada tekanan konstan. (Susanti, 2007) 2.2.3. Prestasi Siklus Ideal Kompresi Uap Dengan bantuan diagram entalpi-tekanan pada Gambar 2.2, besaran-besaran yang penting dalam siklus kompresi uap dapat diketahui nilainya. Besaranbesaran ini antara lain kerja kompresi, laju pengeluaran kalor, dampak refrigerasi dan koefisien prestasi (COP). Kerja kompresi merupakan perubahan entalpi pada proses 1-2 dalam gambar 2.2. Hubungan ini merupakan turunan dari persamaan energy pada persamaan 2.1. (Cengel & Boles, 2006) 𝑑𝐸𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 𝑑𝑡
= 𝐸̇𝑖𝑛 − 𝐸̇𝑜𝑢𝑡 ......................................................................... (2.1)
Sistem mengalami proses steady-flow, dimana tidak ada perubahan selama proses berlangsung. Volume (𝑉), massa (𝑚) dan total energi (𝐸) tetap selama proses berlangsung, sehingga total massa atau energi yang memasuki sistem mempunyai nilai yang sama dengan total massa atau energi yang keluar dari sistem (
𝑑𝐸𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 𝑑𝑡
= 0). (Cengel & Boles, 2006)
𝐸̇𝑖𝑛 = 𝐸̇𝑜𝑢𝑡 ....................................................................................... (2.2) 2
𝑉 𝑄̇𝑖𝑛 + 𝑊̇𝑖𝑛 + 𝑚̇ (ℎ + 2 + 𝑔𝑧) 2
𝑉 𝑄̇ − 𝑊̇ = 𝑚̇ (ℎ + 2 + 𝑔𝑧)
𝑜𝑢𝑡
dimana: 𝐸̇
𝑖𝑛
= 𝑄̇𝑜𝑢𝑡 + 𝑊̇𝑜𝑢𝑡 + 𝑚̇ (ℎ +
− 𝑚̇ (ℎ +
: Rate of heat transfer (kJ/kg)
𝑊̇
: Power (kW)
𝑚̇
: Laju aliran massa (kg/s)
ℎ
: Entalpi (kJ/kg)
2
𝑔𝑧
2
2
+ 𝑔𝑧)
: Energi kinetik (kJ) : Energi potensial (kJ)
𝑜𝑢𝑡
+ 𝑔𝑧) ..................... (2.3) 𝑖𝑛
: Rate of net energy transfer by heat, work and mass (kW)
𝑄̇
𝑉2
𝑉2
𝑉2
12
Proses kompresi bersifat adiabatik sehingga perpindahan kalor bernilai nol 2
𝑉 (𝑄̇ = 0). Perubahan energi kinetik dan energi potensial juga diabaikan ( 2 =
0 ; 𝑔𝑧 = 0), sehingga persamaan menjadi: (Cengel & Boles, 2006)
−𝑊̇ = 𝑚̇(ℎ𝑜𝑢𝑡 ) − 𝑚̇(ℎ𝑖𝑛 ) .............................................................. (2.4) Pada Gambar 2.2 dapat dilihat titik 2 merupakan titik refrigeran keluar dari kompresor (ℎ𝑜𝑢𝑡 = ℎ2 ) dan titik 1 merupakan titik masuk refrigeran (ℎ𝑖𝑛 = ℎ1 ). Dengan membagi persamaan dengan 𝑚̇, maka persamaan kerja kompresi dirumuskan dalam persamaan 2.5. Perbedaan entalpi menghasilkan besaran negatif, yang mana menunjukan bahwa sistem membutuhkan kerja. (Stoecker & Jones, 1996) 𝑤 = ℎ1 − ℎ2 .................................................................................. (2.5) dimana: 𝑤 : Kerja kompresi (kJ/kg) ℎ1 : Entalpi refrigeran keluar kompresor (kJ/kg) ℎ2 : Entalpi refrigeran masuk kompresor (kJ/kg) Pelepasan kalor adalah perpindahan kalor dari refrigeran pada proses 2-3. Persamaan pelepasan kalor juga merupakan turunan dari steady flow of energy dalam persamaan 2.3, dimana energi kinetik, energi potensial, dan kerja diabaikan 2
𝑉 ( 2 = 0 ; 𝑔𝑧 = 0 ; 𝑊̇ = 0). (Cengel & Boles, 2006)
̇ = 𝑚̇(ℎ𝑜𝑢𝑡 ) − 𝑚̇(ℎ𝑖𝑛 ) ............................................................. (2.6) 𝑄𝑜𝑢𝑡 Pada Gambar 2.2 dapat dilihat titik 3 merupakan titik refrigeran keluar dari kondensor (ℎ𝑜𝑢𝑡 = ℎ3 ) dan titik 2 merupakan titik masuk refrigeran (ℎ𝑖𝑛 = ℎ2 ). Dengan membagi persamaan dengan 𝑚̇, persamaan pelepasan kalor dapat dirumuskan dalam persamaan 2.7. (Stoecker & Jones, 1996) 𝑞 = ℎ3 − ℎ2 .................................................................................. (2.7) dimana: 𝑞 : Pelepasan kalor (kJ/kg) ℎ3 : Entalpi refrigeran keluar kondensor (kJ/kg) ℎ2 : Entalpi refrigeran masuk kondensor (kJ/kg)
13
Besaran nilai pelepasan kalor bernilai negatif, yang mana menunjukan bahwa kalor dilepaskan dari refrigeran menuju ke lingkungan. Nilai pelepasan kalor diperlukan untuk merancang kondensor dan untuk menghitung besarnya aliran cairan pendingin kondensor. Dampak refrigerasi merupakan perpindahan kalor yang terjadi pada evaporator. Persamaan dampak refrigerasi merupakan turunan dari dari steady flow of energy dalam persamaan 2.1, dimana energi kinetik, energi potensial, dan 2
𝑉 kerja diabaikan ( 2 = 0 ; 𝑔𝑧 = 0 ; 𝑊̇ = 0). (Cengel & Boles, 2006)
𝑄̇𝑖𝑛 = 𝑚̇(ℎ𝑜𝑢𝑡 ) − 𝑚̇(ℎ𝑖𝑛 ) ................................................................ (2.8) Pada Gambar 2.2 dapat dilihat titik 1 merupakan titik refrigeran keluar dari evaporator (ℎ𝑜𝑢𝑡 = ℎ1 ) dan titik 4 merupakan titik masuk refrigeran (ℎ𝑖𝑛 = ℎ4 ). Dengan membagi persamaan dengan 𝑚̇, dampak refrigerasi dirumuskan dalam persamaan 2.9, dimana 𝑞𝑖𝑛 sama dengan RE. Besarnya harga pada proses ini sangat penting untuk diketahui, karena proses ini merupakan tujuan utama dari seluruh sistem. (Stoecker & Jones, 1996) 𝑅𝐸 = ℎ1 − ℎ4 ................................................................................ (2.9) dimana: 𝑅𝐸 : Dampak refrigerasi (q) (kJ/kg) ℎ1 : Entalpi refrigeran keluar evaporator (kJ/kg) ℎ4 : Entalpi refrigeran masuk evaporator (kJ/kg) Koefisien prestasi (COP) dari siklus kompresi uap ideal merupakan perbandingan antara dampak refrigerasi dengan kerja kompresor, yang dirumuskan dalam persamaan 2.10. (Stoecker & Jones, 1996) 𝐶𝑂𝑃 =
ℎ1 −ℎ4 ℎ2 −ℎ1
............................................................................... (2.10)
dimana: 𝐶𝑂𝑃 : Koefisien prestasi ℎ1
: Entalpi spesifik titik 1 (kJ/kg)
ℎ2
: Entalpi spesifik titik 2 (kJ/kg)
ℎ4
: Entalpi spesifik titik 4 (kJ/kg)
14
Kapasitas pendinginan (cooling capacity) merupakan jumlah aliran kalor yang diserap evaporator dari udara ruangan yang didinginkan. Kapasitas pendinginan dirumuskan dalam persamaan 2.11. – 2.13. 𝑄̇𝑖𝑛 = 𝑚̇𝑢𝑑 . (∆ℎ𝑢𝑑 ) ....................................................................... (2.11) 𝑄̇𝑖𝑛 = 𝑚̇𝑢𝑑 . (ℎ𝑢𝑑,𝑜𝑢𝑡 − ℎ𝑢𝑑,𝑖𝑛 ) ..................................................... (2.12) 𝑄̇𝑖𝑛 = 𝜌𝑢𝑑 . 𝑣𝑢𝑑 . 𝐴 . (ℎ𝑢𝑑,𝑜𝑢𝑡 − ℎ𝑢𝑑,𝑖𝑛 ) ......................................... (2.13) dimana: 𝑄̇𝑖𝑛
: Kapasitas pendinginan (kW)
𝑚̇𝑢𝑑
: Laju aliran massa udara (kg/s)
ℎ𝑢𝑑,𝑜𝑢𝑡 : Entalpi spesifik udara keluar (kJ/kg) ℎ𝑢𝑑,𝑖𝑛
: Entalpi spesifik udara masuk (kJ/kg)
𝜌𝑢𝑑
: Massa jenis udara (kg/m3)
𝑣𝑢𝑑
: Kecepatan aliran udara (m/s)
𝐴
: Luas penampang saluran (m2)
Energy Efficiency Ratio (EER) adalah suatu bilangan yang membandingkan besar kapasitas pendinginan dengan jumlah daya listrik yang dibutuhkan oleh sistem. Pada sistem refrigerasi kompresi uap secara umum terdapat tiga komponen yang membutuhkan energi listrik, yaitu kompresor, evaporator dan kondensor. Faktor energi dirumuskan dalam persamaan 2.14. – 2.16. (Jwo, 2009) 𝑄̇
𝐸𝐸𝑅 = 𝑃 𝑖𝑛 ..................................................................................... (2.14) 𝑡𝑜𝑡
𝐸𝐸𝑅 =
𝐸𝐸𝑅 =
𝑄̇𝑖𝑛 𝑃𝑐𝑜𝑚𝑝 + 𝑃𝑒𝑣𝑎𝑝 +𝑃𝑐𝑜𝑛𝑑
............................................................. (2.15)
𝑄̇𝑖𝑛 (𝑉.𝐼)𝑐𝑜𝑚𝑝 + (𝑉.𝐼)𝑒𝑣𝑎𝑝 +(𝑉.𝐼)𝑐𝑜𝑛𝑑
................................................ (2.16)
dimana: 𝐸𝐸𝑅 : Energy Efficiency Ratio 𝑄̇𝑖𝑛 : Kapasitas pendinginan (W) 𝑃𝑡𝑜𝑡 : Total daya listrik (V.A) 𝑉
: Tegangan listrik (Volt)
𝐼
: Kuat arus listrik (Ampere)
15
2.2.4. Siklus Kompresi Uap Aktual Pada kenyataannya siklus kompresi uap aktual mengalami penyimpangan dari kompresi uap ideal, dimana mengalami pengurangan efisiensi. Perbandingan dapat dilakukan dengan menempelkan diagram siklus aktual pada diagram tekanan-entalpi siklus ideal, seperti pada Gambar 2.5. Perbedaan penting siklus kompresi uap aktual dari siklus ideal, adalah: 1.
Terjadi penurunan tekanan di sepanjang pipa kondensor dan evaporator.
2.
Adanya proses pembawah dingin (sub-cooling) cairan yang meninggalkan kondensor sebelum memasuki alat ekspansi.
3.
Pemanasan lanjut uap yang meninggalkan evaporator sebelum memasuki kompresor.
4.
Terjadi kenaikan entropi pada saat proses kompresi (kompresi tak isentropik)
5.
Proses ekspansi berlangsung non-adiabatik. Walaupun siklus aktual tidak sama dengan siklus standar, tetapi proses ideal
dalam siklus standar sangat bermanfaat dan diperlukan untuk mempermudah analisis siklus secara teoritik. (Stoecker & Jones, 1996)
Gambar 2.5. Siklus kompresi uap aktual (Susanti, 2007) 2.2.5. Komponen Mesin Refrigerasi a. Kompresor Kompresor adalah jantung dari sistem kompresi uap dimana kompresor berfungsi mengalirkan serta menaikkan tekanan refrigeran dari tekanan evaporasi ke tekanan kondensasi. Meningkatnya tekanan berarti menaikkan temperatur. Uap
16
refrigeran bertekanan tinggi di dalam kondensor akan cepat mengembun dengan cara melepaskan panas ke sekelilingnya. Kompresor mesin refrigerasi dapat dikelompokan berdasarkan gerakan rotor dan berdasarkan letak motor – kompresor. Berdasarkan gerak rotor, kompresor dibagi menjadi dua, kompresor perpindahan positif (positive displacement) yang terdiri dari kompresor torak (reciprocating) dan kompresor rotary (screw, roller, vane) serta Kompresor sentrifugal. Sedangkan berdasarkan letak motor dan kompresor, dibagi menjadi tiga kelompok, kompresor tipe terbuka, kompresor hermetic dan kompresor semi hermetic. b. Kondensor Kondensor digunakan untuk mendinginkan gas refrigeran yang bertekanan dan bertemperatur tinggi (yang keluar dari kompresor), serta mengubahnya menjadi cairan refrigeran. Kondensor pendingin udara terdiri dari koil pendingin bersirip pelat. Udara mengalir dengan arah tegak lurus pada bidang pendingin. Gas refrigeran yang bertemperatur tinggi masuk ke bagian atas dari koil dan secara berangsur – angsur mencair dalam alirannya ke bagian bawah koil seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Sistem kerja kondensor Perpindahan panasnya dilakukan dengan aliran udara yang dipaksakan (force draught condenser) dengan menggunakan extra fan sebagai pengalir udara pada kondensor, dengan cara menghisap udara bebas melewati kondensor. Namun kondisi lingkungan kerja kondensor yang berubah-ubah dapat mempengaruhi kinerja dari kompresor. Reaksi dari kompresor terhadap perubahan suhu kondensor dapat dianalisa seperti halnya suhu evaporator
17
Gambar 2.7. Efisiensi volumetrik dan laju alir massa refrigeran untuk kompresor ideal (Stoecker & Jones, 1996) Gambar 2.7 menunjukan efisiensi volumetrik ruang sisa dari suatu kompresor dengan suhu evaporator -20oC. Dengan naiknya suhu kondensor, efisiensi volumetrik turun. Karena volume spesifik refrigeran di daerah hisap kompresor tetap konstan, maka hanya efisiensi volumetrik yang mempengaruhi laju alir massa, yang menunjukan suatu penurunan akibat naiknya suhu kondensor.
Gambar 2.8. Dampak refrigerasi dan kapasitas refrigerasi untuk kompresor ideal (Stoecker & Jones, 1996)
18
Gambar 2.8. menunjukan penurunan tersebut yang progresif. Kapasitas refrigerasi adalah hasil kali antara dampak refrigerasi dan laju aliran massa, yang keduanya akan turun bila suhu kondensor naik. Jadi kapasitas refrigerasi turun karena naiknya suhu kondensor. Karakteristik yang penting lagi adalah daya yang diperlihatkan pada Gambar 2.9. Bila suhu kondensor naik, maka kerja kompresori dan laju aliran massa menurun, sehingga daya naik mencapai puncak dan kemudian mulai turun.
Gambar 2.9. Kerja kompresi dan daya kompresor untuk kompresor ideal (Stoecker & Jones, 1996) Dari Gambar 2.7. hingga 2.9. dapat disimpulkan bahwa bila suhu kondensor naik, maka akan ada kenaikan daya pada kompresor, walupun kenaikan tersebut mungkin hanya sedikit. Kapasitas refrigerasi selalu turun bila suhu kondensor naik. Karakteristik lain yang peting adalah bahwa koefisien prestasi (COP) yang akan selalu turun bila suhu kondensor naik. Bertitik tolak dari daya dan efisiensi, diinginkan suhu kondensor yang rendah; jadi kondensor dalam kerjanya harus menggunakan udara atau air yang terdingin yang tersedia, mengalir secara maksimun dan ekonamis, serta permukaannya harus dijaga tetap bersih. Udara atau gas-gas yang tidak dapat mengembun
19
didalam kondensor juga mengakibatkan tingginya tekanan kondensor tersebut. (Stoecker & Jones, 1996) c. Expansion Valve Terdapat dua jenis katup ekspansi, yaitu: 1. Tipe tekanan tetap (constant pressure) 2. Tipe sensor panas (thermal=thermostatic) a. Jenis Internal Equalizing b. Jenis External Equalizing c. Jenis Box/Blok (dengan kontrol temperatur dan tekanan) Katup ekspansi tipe thermal inilah yang banyak digunakan pada sistem AC mobil. Pertimbangan penggunaan katup ekspansi adalah kondisi operasi kendaraan yang berubah-ubah. Salah satu perubahan kondisi operasi kendaraan adalah kecepatan putar mesin yang bervariasi. Pada sistem AC mobil dengan kompresor yang digerakkan langsung oleh mesin melalui kopling magnetik, perubahan putaran mesin akan mengakibatkan perubahan putaran kompresor. Jika digunakan pipa kapiler, perubahan laju aliran refrigeran akibat perubahan putaran kompresor tersebut tidak dapat dikontrol sehingga kondisi refrigeran keluar evaporator tidak dapat dikontrol. Lain halnya jika menggunakan katup ekspansi yang dilengkapi dengan sensing bulb dimana laju aliran refrigeran dapat dikontrol sehingga kondisi refrigeran selalu dalam keadaan superpanas. Dengan demikian penggunaan katup ekspansi dapat mencegah terjadinya kerusakan kompresor akibat masuknya refrigeran cair. Katup ekspansi ini akan mengatur jumlah aliran refrigeran yang diuapkan di evaporator, akibat dari pengaturan aliran refrigeran ini maka suhu ruangan dapat diturunkan berdasarkan beban panas yang ada pada evaporator. Pengaturan aliran ini dilakukan dengan cara mengatur bukaan celah katup sesuai dengan temperatur refrigeran keluar evaporator. Gerakan katup ini terjadi akibat adanya perbedaan tekanan antara tekanan di dalam sensing bulb (Pf), tekanan pegas (Ps), dan tekanan evaporator (Pe). Pada beban pendinginan tinggi (temperatur pada ruangan tinggi), tekanan uap keluaran evaporator tinggi. Akibatnya temperatur dan tekanan pada sensing bulb juga tinggi. Selanjutnya uap bertekanan tinggi di dalam sensing bulb akan
20
menekan katup ke bawah sehingga katup terbuka lebar, memungkinkan refrigeran mengalir lebih banyak. Sebaliknya ketika beban pendinginan rendah, katup akan membuka sedikit sehingga aliran refrigeran kecil. d. Evaporator Evaporator adalah penukar kalor yang memegang peranan yang paling penting di dalam siklus refrigerasi, dimana berfungsi untuk mendinginkan media sekitar (ruangan). Proses yang terjadi dalam evaporator adalah proses evaporasi, yaitu penguapan refrigeran fasa cair menjadi fasa uap. Beberapa macam konstruksi evaporator: 1.
Evaporator tabung dan koil
2.
Evaporator tabung dan pipa jenis expansi kering
3.
Koil dengan pendinginan udara
2.2.6. Komponen Pendukung a. Receiver /Filter-Dryer Receiver adalah komponen yang digunakan untuk menyimpan atau menampung sementara cairan refrigeran. Dryer dan filter di dalam receiver akan menyerap air dan kotoran terbawa bersirkulasi bersama refrigeran.
Gambar 2.10. Prinsip kerja receiver (Susanti, 2007) Prinsip kerja receiver/Drier adalah sebagai berikut: 1. Receiver memisahkan refrigeran dalam bentuk gas dari cairan refrigeran oleh perbedaan berat dan memastikan bahwa aliran yang mengalir ke katup ekspansi sudah berbetuk cairan.
21
2. Dryer juga berisi desiccant yaitu zeolite yang berfungsi menyerap uap air. 3. Sight glass dipasang diatas receiver. Jumlah refrigeran yang diisikan ke dalam sistem sirkulasi penting artinya pada efisiensi pendinginan AC. Sight glass digunakan untuk mengetahui jumlah refrigeran di dalam sirkulasi. Sight glass juga bisa dipasang pada liquid tube diantara receiver dan katup ekspansi. (Buku Pedoman Denso). Saringan (filter) dikonstruksi berupa tabung silinder yang di dalamnya terdapat sel silika yang menyerap uap air pada zat pendingin. Kadang-kadang saringan dilengkapi dengan tutup pengaman yang terbuat dari wood metal. Tutup pengaman ini akan cair bila temperatur zat pendingin sudah mencapai batas yang ditentukan. b. Pressure Relief Valve Pada beberapa jenis kompresor, pressure relieve valve dipasang sebagai pengaman dari tekanan tinggi yang berlebihan. Pada AC sistem lama yang menggunakan R-12, jika sisi tekanan tinggi pada sirkulasi tidak normal sehingga suhu refrigeran tinggi, timah pada flussible plug meleleh dan refrigeran terbuang bebas. Hal ini akan menghindarkan dari kerusakan komponen pada sistem. Pada sistem R-134a, pressure relief valve menggantikan kerja flusible plug ini, dimana pada kondisi tersebut aliran refrigeran yang terbuang ke udara bebas dibatasi pada batas minimum. c. Pelumas Kompresor Oli kompresor diperlukan untuk melumasi bantalan-bantalan kompresor (bearing), dan komponen yang bergerak dan bergesekan. Selain itu pelumas kompresor juga harus dapat bersirkulasi bersama-sama refrigeran melewati komponen-komponen utama AC, sehingga harus digunakan pelumas khusus yang dapat bercampur dengan refrigeran dan tidak membeku pada temperatur evaporator. Pelumas refrigeran secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu oli mineral yang berasal dari minyak bumi dan oli sintetik. Untuk refrigeran R-12 dan hidrokarbon pelumas kompresor yang digunakan adalah oli mineral. Pelumas kompresor R-12 dapat menyebabkan kerusakan serius pada kompresor
22
dan komponen lain, karena ketidakmampuannya larut dalam R-134a. Untuk R134a dengan kompresor swash plate menggunakan pelumas yang berasal dari oli sintetik, yaitu polyalkiyleneglycol (PAG). Agar tidak terjadi kesalahan biasanya pada rumah atau body kompresor terdapat perintah penggunaan oli. Kandungan minyak pelumas di dalam kompresor tidak boleh terlalu banyak atau sedikit. Jika jumlah pelumas terlalu banyak, maka pelumas akan menempel pada dinding pipa kondensor dan evaporator sehingga menghalangi perpindahan kalor. Akibatnya kapasitas pendinginan akan menurun. Jika pelumas dalam kompresor terlalu sedikit maka akan menyebabkan temperatur kompresor meningkat, komponen cepat aus dan rusak akibat temperatur yang tinggi. d. Blower Blower digunakan untuk menghisap udara segar atau udara yang telah disirkulasikan ke dalam ruangan kendaraan. Blower terdiri dari motor dan kipas (fan). Fan dapat dibagi menjadi tipe axial flow dan centrifugal flow, tergantung dari arah aliran udaranya. Pada tipe axial flow, udara ditarik dan dihembuskan sejajar dengan sumbu putar. Sedangkan pada tipe centrifugal, udara ditarik sejajar sumbu putar dan dihembuskan tegak lurus sumbu putar. e. Thermostat Thermostat terdiri dari capillary tube, diapraghma, dan micro switch. Capillary tube berisi gas khusus dan capillary tube ini disisipkan pada keluaran fin-fin evaporator. Tekanan gas didalam capillary tube berubah tergantung dari suhu sekelilingnya. Ketika suhu evaporator bertambah, tekanan di dalam capillary tube bertambah, sehingga akan menutup contact point pada micro switch (On). Sebaliknya ketika suhu evaporator berkurang, maka tekanan di dalam capillary tube berkurang sehingga akan membuka contact point pada micro switch (Off). Hasilnya adalah on dan off-nya magnetic clutch tergantung dari suhu keluaran evaporator, dan hal ini akan mengatur suhu ruang penumpang. (Yulistianto, 2007)
23
2.2.7. Analysis of Variance (Anova) Analisis varians (analysis of variance, ANOVA) merupakan suatu metode analisis statistika yang termasuk ke dalam cabang statistika inferensi. Anova merupakan pengembangan dari masalah Behrens-Fisher, sehingga uji-F juga dipakai dalam pengambilan keputusan. Dalam praktek, analisis varians dapat merupakan uji hipotesis maupun pendugaan. Secara umum, analisis varians menguji dua varians (atau ragam) berdasarkan hipotesis nol bahwa kedua varians itu sama. Varians pertama adalah varians antar contoh (among samples) dan varians kedua adalah varians di dalam masing-masing contoh (within samples). Dengan ide semacam ini, analisis varians dengan dua contoh akan memberikan hasil yang sama dengan uji-t untuk dua rerata (mean). Sesuai dengan kebutuhannya Anova dibedakan menjadi 2 yaitu Anova satu arah dan Anova dua arah. Anova satu arah hanya memperhitungkan 1 faktor yang menimbulkan variasi, sedangkan Anova dua arah memperhitungkan dua faktor yang menimbulkan variasi. Analisis Anova satu arah dapat dipakai untuk menghadapi kasus variabel bebas lebih dari satu. Hanya saja analisisnya dilakukan satu per satu, sehingga akan menghadapi banyak kasus ( N semakin banyak ). Dengan melakukan Anova dua arah akan dihindari pula terjadinya noise. Noise ini dapat dihindari pada Anova dua arah karena analis melibatkan kontor terhadap perbedaan variabel bebas. Anova dua arah digunakan peneliti untuk mengatasi perbedaan nilai variabel terikat yang dikategorikan berdasarkan variasi bebas yang banyak dan masing-masing variabel terdiri dari beberapa kelompok. Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam Anova: 1. Data berdistribusi normal 2. Varians atau ragamnya homogen 3. Masing-masing contoh saling bebas 4. Komponen-komponen dalam modelnya bersifat aditif Analisis varians relatif mudah dimodifikasi dan dapat dikembangkan untuk berbagai bentuk percobaan yang lebih rumit. Selain itu, analisis ini juga masih memiliki keterkaitan dengan analisis regresi. Penggunaannya sangat luas di berbagai bidang, mulai dari eksperimen laboratorium hingga eksperimen periklanan, psikologi, dan kemasyarakatan.
24
2.2.8. Analisis Varians Dua-Arah (Two-Way Analysis of Variance) Dalam analisis varians satu-arah, hanya ada satu sumber keragaman (source of variability) dalam variabel terikat (dependent variable), yakni: kelompok dalam populasi yang sedang dikaji. Terkadang kita juga perlu untuk mengetahui atau mengidentifikasi adanya 2 (dua) faktor yang mungkin menyebabkan perbedaan dalam variabel terikat (dependent variable). Untuk tujuan tersebut dilakukan analisis varians dua-arah (Two-way ANOVA). Dalam analisis varians dua-arah, kita harus mengukur setiap kombinasi dua faktor dari variabel terikat (dependent variable) yang sedang dikaji. Langkah penyelesaian analisis varians dua-arah: 1. Penentuan hipotesis nol (H0) baik antar-kolom maupun antar-baris 2. Penentuan tingkat signifikansi (α) 3. Perhitungan jumlah kuadrat antar-kolom 𝐽𝐾𝑘 = ∑𝐾 𝑘=1
𝑇𝑘 2 𝑛𝑘
−
𝑇2 𝑁
........................................................................ (2.17)
dimana: 𝐽𝐾𝑘 : Jumlah kuadrat antar-kolom 𝐾
: Kolom
𝑛𝑘 : Jumlah data dalam masing-masing kolom 𝑁
: Jumlah data keseluruhan
𝑇𝑘 2 : Kuadrat jumlah masing-masing kolom 𝑇 2 : Kuadrat jumlah keseluruhan 4. Perhitungan jumlah kuadrat antar-baris 𝐽𝐾𝑏 = ∑𝐵𝑏=1
𝑇𝑏 2 𝑛𝑏
−
𝑇2 𝑁
....................................................................... (2.18)
dimana: 𝐽𝐾𝑏 : Jumlah kuadrat antar-baris 𝐵
: Baris
𝑛𝑏 : Jumlah data dalam masing-masing baris 𝑁
: Jumlah data keseluruhan
𝑇𝑏 2 : Kuadrat jumlah masing-masing baris 𝑇 2 : Kuadrat jumlah keseluruhan
25
5. Perhitungan jumlah kuadrat keseluruhan 2 𝐽𝐾𝑡 = ∑𝐵𝑏=1 ∑𝐾 𝑘=1 𝑋𝑏𝑘 −
𝑇2 𝑁
......................................................... (2.19)
dimana: 𝐽𝐾𝑡 : Jumlah kuadrat keseluruhan 𝐵
: Baris
𝐾
: Kolom
𝑁
: Jumlah data keseluruhan
𝑋𝑏𝑘 : data dalam baris-b dan kolom-k 𝑇 2 : Kuadrat jumlah keseluruhan 6. Perhitungan jumlah kuadrat kesalahan (error) 𝐽𝐾𝑒 = 𝐽𝐾𝑡 − (𝐽𝐾𝑘 + 𝐽𝐾𝑏 ) ........................................................... (2.20) dimana: 𝐽𝐾𝑒 : Jumlah kuadrat error 𝐽𝐾𝑡 : Jumlah kuadrat keseluruhan 𝐽𝐾𝑘 : Jumlah kuadrat kolom 𝐽𝐾𝑏 : Jumlah kuadrat baris 7. Perhitungan derajat bebas (degree of freedom) a. Derajat bebas kolom 𝑑𝑏𝑘 = 𝑘 − 1 .................................................................. (2.21) b. Derajat bebas baris 𝑑𝑏𝑘 = 𝑘 − 1 .................................................................. (2.22) c. Derajat bebas error 𝑑𝑏𝑒 = (𝑏 − 1)(𝑘 − 1) ................................................... (2.23) d. Derajat bebas keseluruhan 𝑑𝑏𝑡 = 𝑁 − 1 .................................................................. (2.24) 8. Perhitungan kuadrat rata-rata a. Kuadrat rata-rata kolom 𝐽𝐾
𝐾𝑅𝑘 = 𝑑𝑏𝑘 ..................................................................... (2.25) 𝑘
26
b. Kuadrat rata-rata baris 𝐽𝐾
𝐾𝑅𝑏 = 𝑑𝑏𝑏 ..................................................................... (2.26) 𝑏
c. Kuadrat rata-rata error 𝐽𝐾
𝐾𝑅𝑒 = 𝑑𝑏𝑒 ..................................................................... (2.27) 𝑒
9. Perhitungan Rasio F (F-hitung) a. F-hitung kolom 𝐹ℎ𝑘 =
𝐾𝑅𝑘 𝐾𝑅𝑒
.................................................................... (2.28)
b. F-hitung baris 𝐹ℎ𝑏 =
𝐾𝑅𝑏 𝐾𝑅𝑒
..................................................................... (2.29)
10. Menentukan Ratio F kritik atau F-tabel (𝐹𝑡 ) 11. Keputusan statistik a. 𝐹ℎ lebih kecil daripada 𝐹𝑡 , maka hipotesis nol (H0) ditolak b. 𝐹ℎ lebih besar daripada 𝐹𝑡 , maka hipotesis nol (H0) diterima