3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Histologi Kolon dan Rektum Usus besar memanjang dari ujung akhir dari ileum sampai anus. Panjangnya bervariasi sekitar 1.5 m. Ukuran Usus besarberbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1.5 m (5 kaki) yang terbentang dari saekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6.5 cm (2.5 inci). Makin dekat anus diameternya akan semakin kecil. Usus besar terdiri dari 6 bagian yaitu saekum, kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.
Gambar 2.1. Anatomi Kolon dan Rektum Struktur usus besar: 1. Saekum Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Saekum terletak pada fossa iliakakanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale. Biasanya saekum seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai
Universitas Sumatera Utara
4
mesenterium. Terdapat perlekatan ke fossa iliaka di sebelah medial dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plika caecalis, menghasilkan suatu kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis. 2. Kolon asenden Bagian ini memanjang dari saekum ke fossa iliaka kanan sampai ke sebelah kanan abdomen.Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan dan di hati membelok ke kiri.Lengkungan ini disebut fleksura hepatika (fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan kolon transversum. 3. Kolon Transversum Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas karena
tergantung
pada
mesokolon,
yang
ikut
membentuk
omentum
majus.Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura coli dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis.Letaknya tidak tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga terletak di regio umbilikus. 4. Kolon desenden Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, dari atas ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum. 5. Kolon sigmoid Sering disebut juga kolon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim) sampai peralihan menjadi rektum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini ditandai dengan berakhirnya ketiga teniae coli dan terletak + 15 cm di atas anus.Kolon sigmoid tergantung oleh mesokolon sigmoideum pada dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile).
Universitas Sumatera Utara
5
6. Rektum Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu kolon sigmoid dengan panjang sekitar 15 cm. Rektum memiliki tiga kurva lateral serta kurva dorsoventral.Mukosa rektum lebih halus dibandingkan dengan usus besar. Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan Usus besar terdiri atas membrane mukosa tanpa adanya lipatan kecuali pada bagian distalnya (rektum).Vili usus tidak dijumpai pada usus ini.Kelenjar usus yang berukuran panjang ditandai dengan banyaknya sel goblet, sel absorptif dan sedikit sel enteroendokrin.Di dalam lamina propria, banyak dijumpai sel limfoid dan nodul yang sering kali menyebar sampai ke dalam submukosa.Banyaknya jaringan limfoid ini berkaitan dengan banyaknya bakteri di dalam usus besar.Muskularis terdiri atas berkas-berkas longitudinal luarnya mengelompok dalam 3 pita longitudinal yang disebut taenia coli.Pada kolon bagian intraperitoneal, lapisan/ tunika serosa ditandai dengan tonjolan kecil yang terdiri atas jaringan lemak, yaitu apendiks epiploika.Di daerah anus, membran mukosa membentuk sederetan lipatan memanjang, yaitu kolumna rektalis Morgagni. (Junqueira, 2007)
2.2. Fungsi kolon dan rektum Fungsi utama dari kolon adalah menyerap air dan elektrolit dari kimus menjadi bentuk padat feses dan menyimpan feses sampai bisa dieksresikan.Sekitar 1500 ml kimus biasanya melewati katub iliosaekal menuju usus besar setiap hari.
Universitas Sumatera Utara
6
Kebanyakan air dan elektrolit dalam kimus ini diserap di dalam kolon, biasanya hanya meninggalkan sekitar 100ml dari cairan yang akan dieksresikan ke dalam feses. Pada pokoknya semua ion diserap dan hanya meninggalkan 1 hingga 5 miliequivalen setiap ion sodium dan klorida di dalam feses.Kebanyakan penyerapan di usus besar terjadi di pertengahan proksimal dari kolon, sehingga dapat disebut juga kolon penyerapan (absorbing colon). (Guyton, 2006) Di dalam usus besar tidak terjadi pencernaan karena tidak terdapat enzimenzim pencernaan.Namun, bakteri kolon melakukan pencernaan terhadap sebagian selulosa
dan
menggunakannya
untuk
kepentingan
metabolisme
mereka
sendiri.Kontraksi haustra secara lambat mengaduk-aduk isi kolon maju mundur untuk dapat menyelesaikan penyerapan sisa cairan dan elektrolit.Tiga sampai empat kali sehari, umumnya setelah makan terjadi peningkatan nyata mortalitas.Terjadi kontraksi simultan segmen-segmen besar di kolon asenden dan transversum, sehingga dalam beberapa detik feses terdorong sepertiga sampai tiga perempat dari panjang kolon. Kontaksi-kontraksi massif yang diberi nama gerakan massa (mass movement) ini, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat isi tersebut di simpan sampai terjadi defekasi. Sewaktu gerakan masa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemes dan rektum serta kolon sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat.Apabila sfingter ani eksternus (yang terdiri dari otot rangka) juga melemas terjadi defekasi.Karena otot rangka sfingter ani eksternus berada dibawah kontrol kesadaran.Peregangan awal dinding rektum menimbulkan perasaan ingin buang air besar.Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan sfingter anus eksternus secara segaja walaupun terjadi refleks defekasi.Sekresi kolon terdiri dari larutan mukus alkalis yang fungsinya adalah untuk melindungi mukosa usus besar dari cedera kimiawi dan mekanis. (Sherwood, 2001)
Universitas Sumatera Utara
7
2.3. Kanker Kolorektal 2.3.1. Definisi Kanker Kolorektal Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon atau rektum atau keduanya. (Tao, 2013) 2.3.2. Epidemiologi Insiden kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya.Insiden pada pria sebanding dengan wanita. Sekitar 75% di usia muda temukan di rektosigmoid. Di negara Barat, perbandingan insiden lelaki dan perempuan adalah 3 banding 1. Kurang dari 50% kanker kolorektal ditemukan di rektosigmoid, dan merupakan penyakit orang usia lanjut. (Sjamsuhidajat, 2011) Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak didunia dan penyebab kematian kedua terbanyak di Amerika Serikat. Diperkirakan dalam tahun 2002 akan ditemukan kasus baru sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara tahun 1973 sampai 1995 di Amerika Serikat. Kematian akibat kanker kolonrektal menurun 20,8% dan insiden juga menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah 62,1%. Sekitar 6% penduduk Amerika diperkirakan bisa berkembang kanker kolorektal dalam hidupnya. Risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, risiko meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya. Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden kankerkolorektal Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk.Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang, melaporkan peningkatan kanker kolorektal, dimana Age Standardized Rate (ASR) per 100.000 penduduk untuk laki-laki tahun 1970-1974: 2,5 ; tahun 1980-1981: 3,2 ; sementara untuk wanita tahun 1970-1974: 2,2 ; tahun 1982: 3,4 dan menduduki urutan kelima diantara keganasan yang lain. Angka ini agaknya insiden minimal, karena tidak jarang ada
Universitas Sumatera Utara
8
kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat ke rumah sakit.( IKABDI, 2012).
2.4. Polip dan Molekular Pathogenesis. Kebanyakan dari kanker kolorektal, tanpa memperhatikan etiologinya berasal dari polip adenoma.Polip berupa tonjolan yang tampak jelas dari permukaan mukosa dan dapat diklasifikasikan menurut patologinya sebagai nonneoplasia hamartoma (polip juvenile), hyperplasia mukosa poloferasi (polip hiperplastik) atau polip adenoma.Hanya adenoma yang jelas merupakan premalignansi dan hanya sedikit lessi saja dapat berubah menjadi kanker. Polip adenoma dapat ditemukan pada kolon sebanyak sekitar 30% pada umur pertengahan dan sekitar 50% pada orang tua. Dimana hanya <1% dari polip yang berubah menjadi malignansi. Nomer dari molekular berubah diperhatikan dalam polip adenoma, lessi displasia dan polip yang menggandung bentuk mikroskopi dari sel tumor (karsinoma in situ), dimana mereka menggambarkan banyak langkah proses dari evolusi dari mukosa kolon normal menjadi karsinoma invasif yang mengancam nyawa. Perkembangan ini termasuk dengan pembentukan kanker, namun tidak membatasi juga. Titik mutasi dalam K-ras protooncogen, hypomethylation of DNA, aktivasi gen, loss of DNA (allelic loss) di daerah tumor-suppresor gen (adenomatosus poplysis coli (APC gen) dari lengan panjang kromosom 5 (5q21), kromosom 18q ( hilang dalam kanker kolorektal gen) kromosom 17p, berhubungan dengan mutasi p53 tumorsupprensor gen. Secara klinis kemungkinan polip adenoma menjadi kanker tergantung pada tonjolan lessi, bentuk histologi, dan ukurannya. ( Robert, 2010).
2.5. Etiologi dan Faktor Resiko 2.5.1. Diet Etiologi dari hampir semua kasus kanker pada kolorektal tampak berhubungan dengan faktor lingkungan. Biasanya penyakit ini lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
9
menyerang populasi masyarakat ekonomi menengah ke atas di daerah maju. Angka kematian dari kanker kolorektal berhubungan langsung dengan rata-rata konsumsi dari kalori, daging, lemak dan minyak yang meningkatkan konsentrasi dari kolesterol darah dan angka kematian karena penyakit arteri koroner. Perbedaan geografi dalam insiden tidak berhubungan dengan perbedaan genetik, semenjak grup migrasi mengansumsikan insiden kanker usus besar di daerah mereka. Tetapi grup populasi seperti Mormons dan Sevent Day Adventistsyang mempunyai kebiasaan pola hidup dan pola makan yang berbeda dari tetangga mereka memiliki perbedaan signifikan insiden dan angka kematian dari kanker kolorektal. Kanker
kolorektal juga
meningkat di Jepang semenjak negara nya mengadosi budaya “western” diet. Tiga hipotesis terakhir telah membuktikan hubungan terhadap diet. ( Lango, 2010) 2.5.2. Alkohol dan Rokok Penelitian prospektif dari laki-laki Jepang di Hawaii berhubungan dengan konsumsi alkohol dan kanker kolorektal, diakibatkan dari konsumsi bir bulanan 15 L atau lebih. Beberapa penelitian mempublikasi hubungan antara rokok dan kanker. Dalam penelitian tersebut tidak terdapat hubungan
antara merokok dan kanker
kolorektal. Laporan dari Quebec, Canada melaporkan efek dari merokok terhadap resiko kanker kolon berhubungan dengan daerah anatomi.Hubungan positif dari merokok dan kanker kolorektal masih terus di teliti. Tidak ada data yang signifikan antara hubungan merokok dan kanker kolon namun ada asosiasi positif dengan kanker kolon proksimal. (Corman, 2005) 2.5.3. Sindroma Polip Polip sindrom berbeda dalam manifestasi klinis, patologi, pola dari inhereditas dan predisposisi dari karsinoma. 1. Familial polip (FP) dan sindroma Gardner’s Kondisi ini biasanya berhubungan dan menunjukkan genetik sindroma yang sama: salah satunya inhereditas dalam pola autosomal dominan. Menyerang individu yang mempunyai banyak polip kolorektal dalam 3 dekade pertama hidupnya. Polip
Universitas Sumatera Utara
10
jugadapat ditemukan di dalam lambung dan usus halus. Jika kolon tidak direseksi, kemungkinan 100% pasien dapat berubah menjadi kanker. Sindroma Gardner’s dibedakan menjadi osteomas, fibromas dan yang lainnya yang termasuk dalam polip intestinal. Setiap tahun sigmoidoskopi fleksibel harus dimulai sejak umur 10 tahun pada asimptomatis individu yang membawa gen untuk FP. Colonoskopi dapat diindikasikan bila sigmoidoskopi fleksibel normal. Total protokolektomi dengan ileostomi atau prosedur penyelamatan anal spingter di lakukan bila diagnosis FP telah ditegakkan. 2.
Sindroma Turcot’s
Kasus ini jarang, polip kolon berasosiasi dengan tumor otak. Kedua pola resesif dan dominan dari transmisi gen telah dijabarkan. Skrining dan pengobatan pada individu yang terkena sama seperti FP. 3. Sindroma Peutz-Jeghers Dalam sindroma Peutz-Jeghers, intusepsi, obstruksi atau infark dari polip dapat berkembang dengan akibat nyeri abdomen dan pendarahan.Dengan alasan ini, operasi menjadi sebuah indikasi. Karena resiko dari kanker kurang dari 3%, operasi prophilaksis tidak diindikasikan. Sindroma polip lain tidak berhubungan dengan resiko kanker, kecuali pasien dengan polip juvenile mungkin mempunyai kanker lambung, usus halus, kolon, atau pangkreas. Bagaimanapun pasien dengan sindroma ini mungkin punya komplikasi dari polip seperti pendarahan dan obstruksi. Jika terapi konservatif gagal, wajib dilakukan operasi. (Avunduk, 2002) 2.5.4. Kolitis ulseratif Sejumlah penelitian mempunyai indikasi dengan pasien kolitis ulseratif punya 2-8,2 resiko relatif dari kanker kolorektal dibandingkan dengan populasi normal, sekitar 2% dari kanker kolorektal. Salah satu faktor yang mempengaruhi resiko individu adalah durasi dari kolitis – berakumulasi dengan meningkatnya kanker kolorektal 5% pada usia 15 tahun dan 8-13% pada usia 25 tahun. Luas
Universitas Sumatera Utara
11
dari kanker juga penting.Pasien dengan keterlibatan kolon tranversum dan kolon kanan meningkatkan resiko kanker kolorektal (resiko relatif pada pasien ini 15 dibanding dengan populasi normal). Koeksitas primary sklerosing cholangitis meningkatkan resiko relatif dari kolitis ulseratif asosiasi dengan neoplasia (UCAN) 3-15%. Tambahan, high grade displasia dalam random rektosigmoid biopsi asosiasi dengan unsuspek kanker di kolektomi dalam 33% pasien. (KEER, 2001)
2.6. Gambaran Klinis Gejala klinis kanker pada kolon kiri berbeda dengan kanan. Kanker pada kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena fesesnya sudah menjadi padat. Pada kanker kolon kanan, jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Gejala dan tanda dini kanker kolorektal tidak ada. Umumnya, gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, pendarahan atau akibat penyebaran. Kanker kolon kiri dan rektum menyebabkan pola defekasi, seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis seperti kotoran kambing atau lebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmi merupakan gejala yang biasa didapat pada kanker rektum. Pendarahan akut jarang dialami, demikian juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita dapat flatus, penderita akan merasa lega. Gambaran klinis tumor sekum dan kolon asendens tidak khas. Dispepsia, kelemahan umum, penurunan berat badan dan anemia merupakan gejala umum. Oleh karena itu penderita sering datang dalam keadaan menyedihkan. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata dari pada kolon kanan. Tempat yang di rasa nyeri berbeda karena asal embriogenik yang berlainan, yaitu dari usus tengah dan usus belakang. Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus, sedangkan dari kolon kanan di epigastrium. (Sjamsuhidajat, 2011)
Universitas Sumatera Utara
12
2.7. Stadium Abrams
mencoba
menghubungkan
ukuran
tumor,
ada atau tidaknya
ulserasi dan derajat differensiasi dengan stadium akhir berdasarkan pembagian Dukes. Ulserasi keseluruhan tumor
merupakan faktor penentu prognostik
yang
penting, di mana 63% karsinoma nonulserasi secara patologis terbatas hanya pada dinding usus , dibanding dengan hanya 28% pada karsinoma dengan lesi ulserasi. Sistem pembagian stadium berdasarkan klinis lainnya dibuat oleh suatu kelompok dari RS Princess Margaret di Toronto berdasarkan beberapa variabel prognostik, misalnya : ada atau tidak adanya metastasis, apakah tumor tersebut melekat atau mobil,
apakah bentuknya anular dan apakah terdapat gejala klinis
seperti penurunan berat badan, anoreksia, lemah dan anemia. Variabel - variabel ini digunakan untuk menentukan 4 kelas secara klinis :
Kelas I
: tidak ada satupun variabel-variabel tersebut di atas.
Kelas II
: tumor berbentuk anular atau adanya gejala sistemik.
Kelas III : tumor sudah melekat.
Kelas IV : sudah terdapat metastasis. Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita sangat berhubungan dengan
pembagian kelas-kelas ini dan pembagian stadium berdasarkan Dukes, tetapi tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan system Dukes. Mobilitas tumor merupakan
faktor
preoperasi yang
paling
penting yang berhubungan dengan
reseksi kuratif. Pembagian stadium secara klinikopatologi di Australia menggabungkan baik gambaran sistemik, stadium patologi dan stadium klinis, berdasarkan hanya pada karakteristik tumor lokal. York-Mason mengusulkan penggunaan sistem stadium klinis berdasarkan mobilitas tumor primer, yaitu:
Stadium Klinis I : tumor bergerak bebas.
Stadium Klinis II : tumor masih mobil.
Universitas Sumatera Utara
13
Stadium Klinis III : tumor dengan gerakan yang terbatas.
Stadium IV
: tumor yang sudah terfiksasi.
Stadium klinis I-II meliputi pasien - pasien yang masih dapat dilakukan eksisi lokal kuratif. Hasil terapi pembedahan pada karsinoma rektum dinilai dari ekstensi penyebarannya. Klasifikasi berdasarkan penyebaran ini pertama kali diajukan oleh
Dukes pada tahun 1930,
di mana
dinilai
berdasarkan ekstensi
penyebaran langsung dan adanya metastasis ke sistem limfatik. Dibagi menjadi 3 kategori :
Stadium A : pertumbuhan ke arah dinding rektum di mana tidak mengarah ke Jaringan di luar rektum dan sistim limfatik
Stadium B : pertumbuhan menye-bar ke arah jaringan di luar rektum, tetapi tidak mengenai sistim limfatik
Stadium C : pertumbuhan sudah mengenai sistim limfatik Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk
adanya metastasis jauh. Sistem klasifikasi yang kemudian digunakan adalah sistem Astler - Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, adanya metastasis jauh, yaitu :
Stadium A : hanya terbatas pada lapisan mukosa
Stadium B : sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan (B3)
Stadium C : bila sudah ada keterlibatan kelenjar (C1 sampai C3)
Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen Pada tahun 1987 American Joint Committee on Cancer dan International
Union against Cancer memperkenalkan sistem klasifikasi TNM (Tumor, Kelenjar, Metastasis ) di mana ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; adanya keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas : N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3
Universitas Sumatera Utara
14
bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; adanya metastasis jauh (M1). (IKABDI, 2012)
Tabel 2.1. Stadium dan Prognosis kanker kolorektal
Stadium
Deskripsi Histopatologi
Dukes
TNM
Derajat
A
T1N0M0
I
Kanker
terbatas
pada mukosa/ submukosa B1
T2N0M0
I
Kanker
mencapai
muskularis B2
T3N0M0
II
Kanker cenderung untuk masuk atau melewati
lapisan
serosa C
TxN1M0
III
Tumor melibatkan Kelenjar
Getah
Bening Regional D
TxNxM1
IV
Metastasis
2.8. Gambaran Histopatologi Secara
histologinya
kanker dapat terbagi menjadi well differentiated,
moderately differentiated dan poor differentiated.Tumor dapat memproduksi begitu banyak mukus sehingga
mendorong
salah
satu
sisi
dari sel, menghasilkan
gambaran signet ring. Tipe terakhir ini masih di perdebatkan untuk melihat hasil dari prognosisnya. Minsky telah meneliti insidensi dan kira - kira manifestasi klinis
Universitas Sumatera Utara
15
pada pasien kanker kolorektal. Dia
menemukan bahwa koloid karsinoma tidak
mempunyai faktor prognosis untuk bertahan hidup, namun percaya bahwa itu seharusnya di laporkan bersama dengan hasil pola histologi untuk memahami bagaimana riwayat naturalnya. Umumnya semakin menuju ke tumor poorly differentiated semakin invasif dari waktu diagnosisnya, dan
semakin
invasive
tumor, maka semakin buruk prognosisnya. ( Corman, 2005)
Universitas Sumatera Utara