PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berubahnya pola hidup masyarakat yang lebih mengarah kepada makanan siap saji yang berdampak pada munculnya berbagai penyakit degeneratif. Pola makan yang tidak tepat mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dalam tubuh sehingga muncul beragam penyakit seperti kanker, diabetes melitus, aterosklerosis, katarak, dan penyakit jantung koroner (Napoli et al 2001). Namun, saat ini masyarakat mulai sadar dan mengubah pola hidupnya untuk kembali pada alam (back to nature), termasuk dalam hal memelihara dan menjaga kesehatan. Keberadaan radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan reaktif di dalam tubuh dapat mengakibatkan kerusakan seluler, jaringan, dan genetik (mutasi DNA). Radikal bebas dapat dikurangi dengan mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang cukup. Secara alami, tubuh mempunyai benteng yang dapat mencegah serangan berbagai penyakit yang disebut antioksidan. Antioksidan memiliki fungsi untuk menghentikan atau memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas yang terdapat dalam tubuh sehingga dapat menyelamatkan sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas (Hernani & Rahardjo 2005). Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi tidak cukup kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh sendiri setiap harinya (Hernani & Rahardjo 2005). Kekurangan antioksidan dalam tubuh dapat diatasi melalui asupan dari luar yang banyak mengandung antioksidan. Masyarakat tradisional umumnya telah memanfaatkan beberapa tanaman obat yang berpotensi sebagai antioksidan, salah satunya salam (Eugenia polyantha Wight.). Tanaman salam biasa ditanam oleh petani untuk kebutuhan sebagai bumbu masak sehari-hari. Lingkungan agrobiofisik sekitar tanaman salam sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi daun salam. Iklim, ketersediaan unsur hara tanah, dan topografi daerah tempat tumbuh tanaman salam sangat menentukan kandungan bahan aktif daun salam yang berpotensi sebagai antioksidan. Dalam penelitian ini akan digunakan daun salam dari berbagai daerah dengan lingkungan agrobiofisik yang berbeda, yaitu Sukabumi, Bogor, dan Cianjur. Masalah dari penelitian ini adalah belum adanya penelitian ilmiah secara in vitro yang membuktikan adanya pengaruh lingkungan
agrobiofisik terhadap khasiat antioksidasi dari ekstrak daun tanaman salam (Eugenia polyantha Wight.) belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan khasiat antioksidasi ekstrak daun salam (Eugenia polyantha Wight.) pada lingkungan agrobiofisik yang berbeda dengan mengukur konsentrasi malondialdehida menggunakan metode asam tiobarbiturat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai khasiat antioksidasi tanaman salam (Eugenia polyantha Wight.) secara in vitro sehingga dapat dijadikan dasar pengembangan tanaman salam (Eugenia polyantha Wight.) menjadi fitofarmaka. TINJAUAN PUSTAKA Salam (Eugenia polyantha Wight.) Menurut Tjitrosoepomo (2005), salam yang merupakan salah satu jenis tanaman obat yang tergolong dalam Ordo: Myrtales, Famili: Myrtaceae, Genus: Eugenia, dan Spesies: Eugenia polyantha Wight. Tanaman ini juga memiliki nama latin lain yaitu Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. (Wijayakusuma et al 1996). Salam memiliki beberapa nama lain di Indonesia yaitu meselangan, ubar serai, gowok, manting, dan kastolam. Salam dapat tumbuh liar di hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan rumah. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran rendah hingga daerah yang ketinggiannya mencapai 1800 meter di atas permukaan laut (Wijayakusuma et al. 1996) bahkan hingga mencapai 2000 meter di atas permukaan laut (PSB 2006). Salam dapat dikembangbiakkan dengan cara stek batang, cangkok, dan biji (Dalimartha 2000). Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa salam merupakan pohon bertajuk rimbun dengan tinggi mencapai 25 m, batang bulat dengan permukaan licin, dan berakar tunggang. Daun salam memiliki beberapa karakteristik seperti tunggal, pertulangan menyirip, letaknya berhadapan, berbentuk lonjong sampai elips atau bundar telur sungsang, dan berwarna hijau. Daun salam memiliki tangkai yang panjangnya 0.5-1 cm, panjang daun 5-15 cm dan lebar daun 3-8 cm (Gambar 1). Bunga salam majemuk tersusun, berwarna putih, dan harum. Buahnya merupakan buah buni yang berbentuk bulat dengan diameter 8-9 mm, memiliki rasa sepat, dan berwarna hijau saat muda, setelah masak warnanya berubah menjadi merah gelap.
Bijinya berwarna cokelat dan berbentuk bulat dengan penampang sekitar 1 cm. Pohon salam memiliki khasiat sebagai tanaman obat terutama daunnya, meskipun demikian kandungan senyawa kimia yang berkhasiat obat terdapat diseluruh bagian tanaman seperti kulit batang, akar dan buah. Salam mengandung zat-zat kimia, seperti minyak atsiri yang terdiri sitral dan eugenol, tanin, dan flavonoida (Wijayakusumah et al. 1996). Selain untuk obat, pohon salam digunakan pula sebagai bahan pewarna barang anyaman terutama kulitnya, sedangkan kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan (Heyne 1987).
Gambar 1 Salam (Eugenia polyantha Wight.). Pengaruh Agrobiofisik terhadap Bahan Aktif Tanaman salam (Eugenia polyantha Wight.) dapat tumbuh di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi dengan curah hujan yang cukup basah. Suhu rata-rata tahunan yang dibutuhkan tanaman salam untuk tumbuh sekitar 18-30 ºC dan ketersediaan air yang cukup tinggi yaitu bulan basah > 6 bulan dan bulan kering < 6 bulan. Tekstur tanah yang baik untuk pertumbuhan salam adalah tekstur lempung pasir (Sandy loam) hingga liat (Clay). Produksi daun tanaman salam sangat tergantung iklim dan sering tidaknya dilakukan pemanenan. Semakin sering pemanenan daun salam maka pertumbuhan batang terhambat sehingga produksi daun salam semakin menurun. Produksi daun salam yang tinggi berada pada lingkungan dengan suhu rata-rata 22–25 ºC, bulan basah sekitar 6–8 bulan, dan bulan kering sekitar 3–4 bulan (PSB 2006). Sedangkan daerah topografinya berada pada ketinggian 800–1000 meter diatas permukaan laut, keberadaan lereng sekitar 15%, dan tekstur tanahnya lempung.
Produksi bahan aktif daun salam sangat tergantung dengan ketersediaan unsur hara tanah dan kondisi terain (lereng dan persentasi batuan permukaan) lokasi tumbuh. Semakin tinggi ketersediaan hara maka semakin tinggi produksi bahan aktif daun salam. Untuk kondisi terain, semakin rendah persentasi lereng dan batuan permukaan maka semakin tinggi produksi bahan aktif daun salam. Persentasi kondisi terain yang ideal untuk produksi bahan aktif daun salam sekitar < 20% untuk kondisi lereng dan < 7% untuk kondisi batuan permukaan. Dalam penelitian ini digunakan daun salam berasal dari daerah Sukabumi, Bogor, dan Cianjur. Daerah ini dikenal dengan daerah yang dikelilingi oleh gunung di Jawa Barat dan memiliki daerah yang berbukit serta berlereng. Meskipun demikian daerah tersebut berpotensi sebagai tempat tumbuh tanaman salam. Daerah Sukabumi memiliki tekstur permukaan bergelombang berupa dataran rendah di bagian selatan, sedangkan tekstur permukaan yang berbukit-bukit di bagian tengah dan utara. Sukabumi terletak pada daerah ketinggian antara 0-2960 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan tanah antara 15-34%. Jenis tanah yang dimiliki daerah Sukabumi bermacam-macam, antara lain aluvial, andosol, latosol, laterit, regosol, mediteran, podsolik merah kuning, litosol, renzina, dan brown forest soil. Sukabumi memiliki iklim basah dengan curah hujan antara 1378-3597 mm/tahun, suhu udara 1830 ºC, dan kelembaban 80-95%. Daerah Bogor yang terkenal dengan julukan kota hujan terletak pada daerah ketinggian antara 500-700 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan tanah 1530%. Bogor memiliki berbagai macam jenis tanah, yaitu latosol, litosol, aluvial, dan podsolik merah kekuningan. Bogor termasuk dalam iklim basah dengan curah hujan tertinggi di Jawa Barat antara 2916-4500 mm/tahun, suhu udara 21.8-26 ºC, dan kelembaban kurang lebih 70%. Daerah Cianjur yang dijuluki sebagai kota beras terletak pada ketinggian antara 0-2962 meter di atas permukaan laut. Cianjur memiliki daerah yang sebagian besar berupa pegunungan serta berbukit-bukit dan sebagian kecil dataran rendah dengan kemiringan 0>40%. Cianjur memiliki berbagai macam jenis tanah, yaitu aluvial, andosol, brown forest soil, grumusol, latosol, litosol, mediteran, organosol, podsolik, podsolik merah kuning, regosol, renzina, dan tanah-
tanah berglei. Cianjur memiliki iklim basah dengan curah hujan 107–2260 mm/tahun. Radikal Bebas Penyebab Penyakit Degeneratif Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu senyawa kimia yang memiliki atom atau molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Hernani & Rahardjo 2005). Adanya elektron yang berpasangan membuat molekul menjadi tidak stabil dan bersifat reaktif karena berusaha untuk mendapatkan pasangan elektron (Muhilal 1991). Radikal bebas memiliki peran dalam berbagai terjadinya penyakit degeneratif. Hal ini disebabkan sifat senyawa radikal bebas yang sangat reaktif sehingga mampu bereaksi dengan makromolekul protein seperti halnya enzim, lipid, karbohidrat, atau DNA yang ada dalam tubuh (Musthafa et al 2000). Radikal bebas yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan seluler, jaringan, dan genetika (mutasi DNA). Kerusakan seluler dan jaringan tersebut dapat menimbulkan peradangan jaringan dan mendorong terjadinya keganasan (Lautan 1997). Hal tersebut disebabkan adanya efek mutagenik molekul radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk pada saat peradangan. Reaksi antara radikal bebas dengan molekul non radikal akan menghasilkan suatu radikal bebas yang baru dan selanjutnya menimbulkan reaksi berantai. Menurut Sofia (2005), senyawa radikal bebas terbentuk dari dua macam sumber yaitu endogenus dan eksogenus. Pembentukan radikal bebas secara endogenus dapat melalui reaksi autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transpor elektron di mitokondria, dan oksidasi ion-ion logam transisi dalam tubuh. Sedangkan pembentukan radikal bebas secara eksogenus akibat bahan kimia yang bersifat karsinogenik, radiasi sinar UV, sinar X, dan sinar gamma. Radikal bebas yang terbentuk secara endogenus dapat berasal dari metabolisme normal tubuh. Salah satu contohnya proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transport elektron pada rantai respirasi mitokondria. Oksigen dimetabolisme menjadi H2O dengan penambahan 4 elektron melalui beberapa tahapan reaksi (Siregar 1992). Reaksi molekul oksigen dengan elektron pertama akan membentuk anion radikal superoksida (O2-), kemudian anion radikal superoksida direaksikan dengan elektron kedua dan dua atom hidrogen menghasilkan
hidrogen peroksida (H2O2). Penambahan elektron ketiga pada molekul hidrogen peroksida akan memicu pembentukan radikal hidroksil (OH•). Molekul H2O akan terbentuk melalui reaksi radikal hidroksil dengan elektron keempat dan sebuah atom hidrogen (Tabel 1). Radikal bebas juga dapat dihasilkan dari berbagai proses kimia atau enzimatik dalam metabolisme tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun inorganik seperti Fe. Radikal hidroksil (OH•) dapat terbentuk melalui reaksi nonenzimatik dari senyawa hidroperoksida (H2O2) yang dikatalisis oleh ion Fe2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+ sehingga reaksi ini dikenal sebagai reaksi Fenton. Selain melalui reaksi Fenton, Radikal hidroksil (OH•) juga dapat terbentuk melalui reaksi Haber-Weiss dengan menggunakan radikal superoksida (O2-) dan hidroperoksida (H2O2) sebagai substrat yang dikatalisis oleh besi, sesuai dengan reaksi sebagai berikut: H2O2 + Fe2+ Fe3++ OH- + OH• H2O2 + O2 O2 + OH- + OH• Reaksi ini terjadi secara berantai dan terus menerus sampai ada molekul yang memberikan elektron yang dibutuhkan radikal bebas atau dapat berakhir bila dua buah gugus radikal bebas saling berinteraksi membentuk ikatan non radikal (Murray 2003). Jenis radikal bebas yang berperan dalam berbagai reaksi-reaksi destruktif pada tubuh manusia adalah spesies oksigen reaktif. Senyawa yang termasuk dalam spesies oksigen reaktif yang dapat ditemukan dalam tubuh yaitu peroksida lipid (LOOH), Hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (IO2), ion hipoklorit (OCl-), radikal bebas superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH+), radikal bebas alkoksi (RO•), dan radikal peroksil (ROO•) (Lautan 1997). Menurut peneliti lainnya ROS mempunyai peranan penting dalam patofisiologi manusia seperti kanker, kardiovaskuler, dan penyakit neurodegeneratif seperti alzheimer dan parkinson (Tuminah 2000). Tabel 1 Reaksi pembentukan molekul H2O Reaksi O2 + e
Hasil reaksi -
O2-
O2 + e- + 2H+ -
H2O2
H2O2 + e
OH• + OH-
OH+ + e- + H+
H2O
-
+
OH + H O2 + 4 e- + 4 H+
H2O 2H2O
Reactive Oxygen Species (ROS) terbentuk dari reaksi pembentukan energi yang tidak sempurna pada mitokondria. Molekul oksigen dan glukosa yang masuk dalam mitokondria diubah menjadi energi dan ROS. Reaktifitas ROS dapat distabilkan oleh enzim superoksida dismutase membentuk senyawa hidrogen peroksida, kemudian senyawa tersebut dinetralkan menjadi air dan oksigen oleh enzim katalase. Namun, konsentrasi ROS yang tinggi dalam tubuh akan menyerang sel lain seperti sel syaraf motorik (Gambar 2).
Gambar 2 Reaksi pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS).
molekul lipid lainnya yang berdekatan untuk membentuk hidroperoksida lipid dan juga membentuk radikal karbon lain sehingga reaksi peroksidasi lipid akan terjadi secara terus menerus. Tahap terminasi akan terjadi bila ada reaksi antara radikal bebas sendiri atau adanya senyawa antioksidan. Reaksi peroksidasi secara enzimatik dan nonenzimatik dikatalisis oleh ion logam transisi seperti Fe2+ (Cornwell & Morisaki 1984). Peroksidasi lipid menghasilkan produk akhir malonaldehida (MDA). Konsentrasi MDA dapat diukur dengan metode asam tiobarbiturat (TBA) karena MDA akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat membentuk produk berwarna merah yang diukur pada panjang gelombang 532 nm (Gambar 4). Kadar lipid peroksida dalam tubuh manusia tidak boleh lebih dari 4 nmol/ml. Kelebihan lipid peroksida dalam darah dan hati dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit seperti kanker, jantung koroner, stroke, katarak, autoimun, dan penuaan dini (Yagi 1994).
Tahapan Reaksi Peroksidasi Lipid Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi antara radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA) pada membran sel yang sedikitnya mengandung tiga ikatan rangkap. Radikal bebas bersifat sangat reaktif jika bereaksi dengan PUFA sehingga akan menghasilkan radikal lipid bebas (R•). Apabila radikal lipid bebas bereaksi dengan O2 akan terbentuk radikal peroksi lipid (ROO•) yang dapat menghasilkan endoperoksida lipid atau lipid peroksida. Reaksi ini terjadi secara berantai dan terus menerus karena menghasilkan radikal lipid bebas (R•) lain yang menyebabkan peroksidasi lebih lanjut (Gambar 3). Peroksidasi lipid juga dikatalisis secara in vivo oleh senyawa heme dan enzim lipoksigenase yang ditemukan di dalam trombosit serta leukosit (Murray 2003). Reaksi peroksidasi lipid dimulai dengan tahapan inisiasi yaitu pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup metilena (-CH2-) PUFA. Reaksi ini menghasilkan pembentukan suatu radikal karbon (-•CH-) pada PUFA. Radikal karbon distabilkan melalui suatu pengaturan ulang ikatan rangkap yang menghasilkan pembentukan diena terkonjugasi. Pada tahap propagasi, radikal peroksida lipid dapat juga menghilangkan sebuah atom hidrogen dari
Gambar 3 Reaksi peroksidasi lipid.
Gambar 4 Reaksi antara malondialdehida dan asam tiobarbiturat.
Peranan Antioksidan di Bidang Kesehatan Kerusakan yang ditimbulkan oleh spesies oksigen reaktif dapat diatasi oleh tubuh sendiri melalui mekanisme pertahan preventif. Sistem pertahanan tubuh ini dilakukan oleh enzim-enzim pembersih (scavenger enzyme), diantaranya superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (Tuminah 2000). Enzim SOD terdapat hampir semua jaringan terutama pada kompartemen sitosol dan mitokondria yang berfungsi mengubah radikal superoksida (O2-•) menjadi H2O2 dan O2 dengan reaksi sebagai berikut: Superoksida dismutase O2- + O2- + 2 H+
H2O2
+
O2 Katalase terdapat pada peroksisom dan sitosol berfungsi untuk menetralkan H2O2 menjadi O2 dan H2O. Sedangkan glutation peroksidase terdapat pada sitosol dan mitokondria akan mengkatalisis reaksi antara glutation (GSH) dan H2O2 menjadi GSSG dan H2O. Gugus tiol (-SH) pada glutation peroksidase akan bereaksi dengan radikal superoksida sehingga dapat mencegah kerusakan komponen sel lainnya (Siregar 1992). Namun, dalam kondisi tertentu (sakit, stress, polusi, dan radiasi) produksi radikal bebas dapat melebihi kemampuan sistem pertahanan tubuh. Keterbatasan mekanisme tubuh untuk menetralkan reaksi oksidasi telah mendorong penggunaan antioksidan dari luar tubuh. Antioksidan merupakan senyawa penting dalam menjaga kesehatan tubuh yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas dalam tubuh. Secara khusus, antioksidan diartikan sebagai zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid walaupun dengan konsentrasi lebih rendah dibandingkan substrat yang dapat dioksidasi (Trilaksani 2003). Menurut Murray (2003), antioksidan berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi dua macam, yaitu antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus rantai. Antioksidan pencegah berfungsi mengurangi inisiasi rantai oksidasi seperti katalase dan peroksidase yang bereaksi dengan hidroperoksida lipid (ROOH), transferin dan feritin yang mencegah pembentukan Fe2+ bebas, serta seruplasmin dan albumin yang mencegah pembentukan Cu+ bebas. Antioksidan pemutus rantai bekerja dengan mempengaruhi
tahap propagasi pada pembentukan radikal bebas seperti vitamin E, fenol, dan amina aromatik yang berfungsi menangkap radikal peroksi (ROO•) dan radikal alkoksi (RO•). Contoh lainnya antara lain vitamin A dan vitamin C. Berdasarkan mekanisme kerjanya, senyawa antioksidan terbagi menjadi tiga macam yaitu antioksidan primer yang bekerja untuk mengurangi pembentukan radikal bebas dengan memutuskan reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Senyawa yang termasuk antioksidan primer diantaranya superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan sekunder berperan mengikat senyawa radikal bebas dan mencegah amplifikasi radikal. Antioksidan sekunder terdiri atas vitamin A, vitamin C, vitamin B, vitamin E, β-karoten, dan senyawa-senyawa fitokimia. Sedangkan antioksidan tersier berperan sebagai mekanisme biomolekuler, seperti enzim perbaikan DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Kartikawati 1999). Senyawa Antioksidan Alami Senyawa antioksidan dapat diperoleh dalam berbagai tumbuh-tumbuhan. Beberapa antioksidan alami dapat dihasilkan dari rempah-rempah, tanaman herbal, sayuran dan buah. Namun, herbal tanaman obat mempunyai daya aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan buah dan sayuran (Hernani & Rahardjo 2005). Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa perlawanan berbagai macam penyakit degeneratif seperti kanker dapat dilakukan dengan mengkonsumsi sayuran dan buah yang banyak mengandung senyawa antioksidan untuk mengurangi reaksi berantai radikal bebas. Senyawa kimia yang tergolong dalam kelompok antioksidan yang ditemukan pada tanaman, antara lain dari golongan polifenol, flavonoid, vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Antioksidan dari golongan polifenol sangat mudah larut dalam air dan lemak. Pada umumnya senyawa antioksidan tersebut digunakan untuk mencegah kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi, dan plastik. Senyawa polifenol memiliki fungsi sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari ion-ion logam yang mengalami kerusakan. Antioksidan golongan flavonoid merupakan antioksidan yang berpotensial untuk mencegah pembentukan radikal bebas.
Flavonoid diperkirakan hampir 90 persen sebagai glikosida dan 10 persen sebagai aglikon. Senyawa flavonoid dapat dikelompokkan dalam dalam golongan flavon, flavonol, flavanon, antosianidin, katekin, dan isoflavon (Hernani & Rahardjo 2005). Kuersetin (3,4-dihidroksiflavonol) adalah senyawa flavonoid dari golongan flavonol yang terdapat tanaman teh, tomat, apel, kakao, anggur, dan bawang. Keberadaan kuersetin juga telah dibuktikan secara ilmiah pada tanaman salam (PSB 2005). Aktivitas kuersetin dalam menghambat reaksi oksidasi low-density lipoprotein (LDL) dapat ditunjukkan secara in vitro (Sibuea 2004). Aktivitas antioksidan kuersetin dari anggur merah sebanding dengan α-tokoferol dalam menghambat peroksidasi lipid. Isoflavon merupakan sejenis senyawa oestrogen yang mempunyai aktivitas antioksidan yang cukup tinggi karena telah terbukti bahwa senyawa ini dapat mengurangi resiko terhadap penyakit kanker, jantung koroner, dan osteoporosis. Vitamin C adalah suatu senyawa asam Laskorbat (2-ketoglukonolakton) yang memiliki multifungsi. Vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam, pereduksi, dan penangkap oksigen. Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Vitamin E berfungsi untuk memproteksi sel-sel membran serta LDL kolesterol dari reaksi oksidasi (Tuminah 1999), membantu memperlambat penuaan, dan melindungi tubuh dari kerusakan sel yang dapat menimbulkan penyakit kanker. Karotenoid adalah molekul-molekul yang dapat memberikan warna-warna terang pada tanaman, buah-buahan, dan sayuran. Senyawa yang tergolong karotenoid antara lain αkaroten, β-karoten, likopen, lutein, zeaksantin, dan β-kriptoksantin (Tuminah 1999). Senyawa karotenoid dapat mengurangi resiko terkena penyakit kanker. Zat antioksidan alami lainnya adalah saponin dari turunan glikosida yang berikatan dapat menurunkan kolesterol dalam darah dan menghambat penyakit kanker (Hernani & Rahardjo 2005). Teknik Penentuan Potensi Antioksidan Pengujian potensi antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: metode oksigen aktif (active oxygen methode, AOM), metode asam tiobarbiturat (2thiobarbituric acid, TBA), metode tiosianat,
metode bilangan ansidin, dan metode Kreis (Santoso 2002). Metode oksigen aktif merupakan metode untuk mengukur nilai peroksida yang dihasilkan dari oksidasi asam lemak tak jenuh dalam kondisi jenuh udara pada suhu 98ºC. Metode TBA untuk mengukur produk oksidasi asam linoleat (malondialdehida) yang akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan produk berwarna merah yang diukur pada λ 532 nm. Metode tiosianat untuk mengukur peroksida yang akan membentuk kompleks warna Fe[Fe(SCN)6]. Metode bilangan ansidin untuk mengukur senyawa aldehid hasil oksidasi yang bereaksi dengan pansidin. Sedangkan metode Kreis untuk mengukur hasil oksidasi lemak yang akan bereaksi dengan fluoroglusinol. Uji potensi antioksidan yang digunakan adalah metode TBA. Alasan penggunaan metode TBA dalam penelitian ini antara lain: metode TBA merupakan cara analisis antioksidan yang telah lama digunakan untuk mengukur peroksidasi asam lemak pada membran sel dan makanan, pereaksi TBA memiliki sifat sensitif terhadap peroksida lipid, serta reaksi yang ditimbulkan antara malondialdehida dengan asam tiobarbiturat menghasilkan produk yang sama dengan reaksi yang ditimbulkan antara lipid peroksida dengan asam tiobarbiturat (Yagi 1994). Uji potensi antioksidan dilakukan setelah pengukuran hidroperoksida yang merupakan produk primer oksidasi asam linoleat dengan metode tiosianat. Pengukuran hidroperoksida bertujuan untuk menentukan waktu inkubasi asam linoleat. Menurut Kikuzaki dan Nobuji (1993), pengukuran potensi antioksidan dengan metode TBA lebih baik dilakukan setelah satu atau beberapa hari dari puncak absorbansi asam linoleat. Hal ini dilakukan karena hidroperoksida akan mengalami dekomposisi membentuk malondialdehida. Metode Diena Terkonjugasi Metode diena terkonjugasi merupakan metode yang digunakan untuk mengukur serapan yang disebabkan oleh struktur diena terkonjugasi yang terdapat di dalam sampel lemak dan minyak (White 1995, dalam Krisnayunita 2002). Asam yang mengandung dua ikatan rangkap terkonjugasi menunjukkan penyerapan pada panjang gelombang 234 nm. Serapan yang terukur adalah nilai penyerapan yang disebabkan oleh strukur diena terkonjugasi yang terdapat di dalam sampel lemak dan minyak.
Menurut Shahidi & Wanasundara (1997) metode diena terkonjugasi dapat digunakan sebagai indeks kestabilan lipid menggantikan bilangan peroksida karena lebih cepat daripada penentuan bilangan peroksida, jauh lebih sederhana, tidak tergantung dari reaksi kimia atau perubahan warna, dan membutuhkan sampel dalam ukuran yang lebih kecil (Tensiska 2001). Metode ini prinsipnya adalah mengukur hidroperoksida diena terkonjugasi yang terdapat dalam emulsi (o/w) 10%. Hasil analisis diena terkonjugasi dinyatakan dalam mmol hidroperoksida/kg minyak. Kebanyakan metode diena terkonjugasi digunakan pada minyak yang benyak mengandung asam linoleat atau asam lemak tidak jenuh lainnya. Struktur 1,4-pentadiena di dalam linoleat membuatnya menjadi sangat mudah mengalami oksidasi. Bahkan 20 kali lebih mudah teroksidasi daripada struktur propena pada oleat (Fennema 1996, dalam Krisnayunita 2002). Grup metil pada posisi 11 menjadi sangat reaktif karena diapit oleh dua ikatan rangkap dua (Gambar 5). Perpindahan posisi atom hidrogen menghasilkan sebuah pentadienyl radical intermediate, yang pada reaksi dengan molekul oksigen menghasilkan campuran yang seimbang dari 9- dan 13- diena hidroperoksida terkonjugasi. Bukti-bukti yang ada selama ini mengindikasikan bahwa 9- dan 13-cis, trans-hidroperoksida mengalami interkonversi, dengan adanya isomerasi geometris, membentuk trans, trans-isomer. Walaupun demikian, masing-masing hidroperoksida (9- dan 13-) ditemukan dalam bentuk cis-trans maupun dalam bentuk transtrans. 13
12
11 10
9
-C = C -C -C = C - C = C - C. - C = C -
- C = C - C. - C = C - C = C - C = C - C. - C. - C = C - C = C -
O2
O2 9
11
-C = C -C -C = C O O.
RH 11
-C = C -C -C = C O O H
-C = C -C = C -C O O. 13 -C -C = C -C = C O O. RH 9
-C = C -C = C -C O O H 13 + -C -C = C -C = C O O H
Gambar 5 Pembentukan diena terkonjugasi pada asam lemak linoleat.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang akan digunakan yaitu daun salam diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka–Institut Pertanian Bogor, akuades, etanol 70% (v/v), kloroform, amoniak, H2SO4 pekat, pereaksi Dragendorf, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, metanol 30%, NaOH 10% (b/v), eter, pereaksi Lieberman Burchard, etanol 75%, tetrametoksipropana (TMP), TBA 1% (b/v) dalam asam asetat 50%, asam trikloro asetat (TCA) 20%, asam linoleat 50 mM dalam etanol 99.8%, bufer fosfat 0.1 M pH 7, dan αtokoferol. Peralatan yang diperlukan yaitu refluks, rotary vapour evaporator, oven, spektrofotometer UV, penangas air, dan sentrifus. Metode Penelitian Tahapan penelitian yang telah dilakukan antara lain ekstraksi senyawa aktif daun salam, analisis fitokimia, analisis hidroperoksida dari oksidasi asam linoleat menggunakan metode diena terkonjugasi, penentuan konsentrasi optimum potensi antioksidan menggunakan metode TBA, dan analisis konsentrasi MDA (Malondialdehida) dengan metode TBA. Ekstraksi Daun Salam Serbuk kering daun salam dari kota Bogor, Cianjur, dan Sukabumi diekstrak dengan pelarut organik etanol. Alkohol adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Etanol 70% merupakan pelarut yang sering digunakan untuk ekstraksi karena mampu menghasilkan bahan aktif tanaman yang optimal dan jumlah pengotor yang ikut dalam larutan pengekstraksi sangat kecil (Harbone 1987). Serbuk kering daun salam diekstraksi dengan metode refluks. Serbuk kering daun salam sebanyak 20 gram diekstraksi dengan 200 mL pelarut etanol 70% selama 2 jam pada suhu 70 ºC menggunakan refluks. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring dengan kertas saring. Ekstrak yang telah disaring diuapkan dengan rotary vapour evaporator pada suhu 50 ºC dan dioven pada suhu 40 ºC maka diperoleh ekstrak kasar. Analisis Fitokimia Sampel (Harbone 1987) Uji Alkaloid. 0.1 gram hasil ekstraksi ditambahkan 3 mL kloroform dan 3 tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan