II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul ampifilik atau ampifatik yang terdiri dari dua gugus yaitu gugus hidrofobik yang bersifat non polar dan gugus hidrofilik yang bersifat polar (Gervasio, 1996). Semua jenis surfaktan mempunyai struktur dasar yang sama yaitu hidrofilik (suka air) disebut “kepala” dan hidrofobik (takut air) disebut “ekor” selalu berupa sebuah rantai panjang dari atom-atom karbon. Bagian ekor, hidrofobik, berinteraksi dengan fasa nonaqueous atau permukaan (atau dirinya sendiri) ketika bagian kepala mencoba untuk meningkatkan interaksi dalam sistem aqueous. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air atau minyak yang sesuai, yang menunjukkan aktivitas surfaktan yang berbeda dengan sistem larutan alami dan berbeda pada kondisi yang digunakan. Menurut terminologi “kepala” menunjuk pada gugus yang melarut disebut gugus lyophilic atau hidrofilik pada sistem aqueous dan “ekor” menunjuk pada gugus lyophobic atau hidrofobik pada air (Myers, 1946). CH3 CH2 (CH2)n ekor
S kepala
Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)
Gugus hidrofobik di dalam air contohnya adalah hidrokarbon, flourokarbon, dan polimer rantai pendek dengan ukuran yang sesuai untuk memproduksi karakteristik kelarutan yang diinginkan ketika berikatan pada gugus hidrofilik yang sesuai. Pada sistem aqueous, gugus hidrofilik (kepala) akan menjadi ion atau kepolaran tinggi, hal ini memiliki fungsi melarutkan. Di larutan non polar seperti heksana, dalam teorinya gugus hidrofilik memiliki fungsi yang berlawanan dengan gugus hidrofobik. Pengaruh suhu, tekanan, larutan surfaktan yang ditambahkan, perubahan pH atau penambahan elektrolit dalam sistem aqueous menghasilkan perubahan yang nyata dalam larutan dan karakteristik antar muka dari surfaktan yang dihasilkan (Myers, 1946).
Surfaktan digunakan dalam industri berupa surfaktan yang diturunkan dari petrokimia atau dari oleokimia sebagi bahan bakunya. Surfaktan terpenting digunakan dalam penggunaan deterjen adalah jenis anionik dan nonionik. Seiring dengan perkembangan zaman, diperlukan peningkat penggunaan produk yang ramah lingkungan dalam bahan-bahan kimia pertanian. Bahan baku alami lebih mudah didegradasi secara biologis dan dapat diperbarui, telah diteliti dapat menggantikan bahan kimia turunan dari petrokimia sebagai bahan baku untuk pelarut, surfaktan, dan formulasi bahan kimia pertanian. Bahan alami sebagai oleokimia dasar dan turunannya seperti fatty acid, metyl ester, fatty alcohol , dan APG, dapat digunakan untuk pestisida (Spitz, 2004). Menurut Myers (1946), pentingnya aplikasi jumlah surfaktan yang akan digunakan sebagai faktor analisis ekonomi. Kelompok hidrofobik umumnya adalah sebuah rantai panjang hidrokarbon, walaupun beberapa merupakan rantai flour, oksigen hidrokarbon, atau rantai siloxane. Gugus hidrofil (kepala) akan menjadi ion atau gugus dengan polaritas tinggi yang dapat larut dalam molekulmolekul air. Klasifikasi penggunaan dari surface active agent berdasarkan pada sifat alami dari gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelas yaitu : 1. Anionik, yaitu gugus hidrofil memiliki muatan negatif seperti karboksil (RCOO-M+), sulfonat (RSO3-M+), sulfat (ROSO3-M+), atau fosfat (ROPO3-M+). 2. Kationik, yaitu gugus hidrofil mempunyai muatan positif seperti kuartener ammonium halida (R4N+X-) dimana 4 gugus R mungkin dapat sama atau tidak sama untuk semuanya (tetapi pada umumnya R sama). 3. Nonionik, yaitu gugus hidrofil tidak memiliki muatan, tetapi turunannya dapat larut dalam air dari gugus polar yang tinggi seperti polioxyetilene (POE atau ROCH2CH2O-) atau gugus R-polyol meliputi gula. 4. Amfoterik (zwitterionic) yaitu molekul paduannya bermuatan positif dan negatif, seperti sulfobataine RN+(CH3)2CH2CH2SO3-. Surfaktan nonionik merupakan kelompok surfaktan yang berkembang dengan pesat. Surfaktan nonionik adalah surfaktan dimana gugus hidrofilnya tidak memiliki muatan. Surfaktan ini tersusun dari molekul organik yang tidak terionisasi, sehingga tidak memiliki muatan pada kutubnya (Makmur dan Sudibjo, 2000). Surfaktan ini berbeda dengan surfaktan jenis lain, karena
tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi pada molekulnya. Beberapa surfaktan jenis ini dapat digunakan pada berbagai nilai pH dan sangat toleran terhadap konsentrasi elektrolit. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol (Swern, 1979). Menurut Porter (1991), sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya gugus yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya gugus tersebut adalah gugus hidroksil (R-OH) dan gugus eter (R-O-R’). Surfaktan sebagai molekul ampifilik memiliki sifat-sifat yang khas dalam suatu larutan yang berbeda kepolarannya. Sifat-sifat surfaktan yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja surfaktan antara lain kestabilan dalam emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, pembentukan micelle, dan nilai HLB.
1. Kestabilan Emulsi Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan, dengan cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fasa terdisfersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdisfersi dalam sistem dan bersifat stabil (Fennema, 1985). Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel, 1991). Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al., 2000).
2. Tegangan Permukaan dan Tegangan Antar Muka Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada permukaan cairan.
Molekul-molekul ini saling tarik
menarik. Gaya tarik-menarik molekul-molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989). Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik ditarik menuju molekul air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain). Kondisi kontradiktif terjadi karena molekul surfaktan lebih memilih berada dalam permukaan cairan dimana orientasi gugus lipofilik jauh dari air (Gambar 2). Efek molekul pada permukaan dikenal sebagai adsorpsi dan menjadi dasar untuk mengetahui perilaku molekul surfaktan. Akibat dari mekanisme ini adalah efek terhadap tegangan permukaan dapat terjadi dalam waktu singkat (Hargreaves, 2003).
Gambar 2. Ilustrasi Molekul Surfaktan pada Permukaan Cairan (Myers, 1946)
Tegangan antar muka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antar muka antara dua fasa cair yang tidak dapat tercampur (Moecthar, 1989). Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar muka antara fasa
yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antar muka ini menurunkan energi antar muka dan menghasilkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Georgeiou et al., 1992). 3. Pembentukan Micelle Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya Van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 3. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan di bawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky, 1998). Grafik hubungan antara konsentrasi surfaktan dengan tegangan permukaan dan antar muka cairan disajikan pada Gambar 4.
micelle Gaya Van der Waals
Gaya tolak ionik
Gambar 3. Ilustrasi Pembentukan Micelle (Hargreaves, 2003)
CMC Tegangan permukaan
Konsentrasi Surfaktan
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Surfaktan dengan Tegangan Permukaan dan Antar Muka Cairan (Tadros, 1992) 4. Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) Hydrophile-Lipophile
Balance
adalah
ukuran
empiris
untuk
mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan (Suryani et al., 2002). Umumnya HLB digunakan hanya untuk surfaktan nonionik. Surfaktan dengan nilai HLB rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O). Sebaliknya surfaktan dengan nilai HLB tinggi larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam air (O/W). Nilai HLB berkisar 1 hingga 20 (Holmberg et al., 2003). HLB merupakan nilai yang bergantung pada perbandingan antara rantai hidrofilik dan lipofilik suatu molekul surfaktan. Semakin panjang rantai hidrofilik maka semakin tinggi nilai HLB. Sebaliknya semakin panjang rantai lipofilik maka semakin rendah nilai HLB (Suryani et al., 2000). Nilai HLB berkisar diantara 1 hingga 20. Jika suatu produk 100% hidrofilik, maka nilai HLBnya adalah 20. Jadi nilai HLB pada dasarnya merupakan indikasi persentase berat dari bagian hidrofilik molekul emulsifier nonionik (Kamel, 1991).
2.2. MINYAK KELAPA Minyak kelapa adalah bahan baku untuk pembuatan oleokimia. Oleokimia adalah bahan kimia turunan dari minyak dan lemak. Oleokimia dasar
meliputi asam lemak, metil ester, fatty alcohol, fatty amines, dan gliserol (Gambar 5). Oleokimia dasar dapat dikonversi menjadi oleokimia turunan melalui berbagai macam proses seperti ethoxylation, sulfonasi, sulfatasi, hidrogenasi, dan epoksidasi. Dalam produksi oleokimia, pada reaksi-reaksi awal yang mengikutinya akan menghasilkan produk asam lemak, metil ester, gliserin dal lain-lain. Dari kedua produk asam lemak dan metil ester dapat dikonversi menjadi fatty alcohol dengan proses hidrogenasi. Fatty alcohol juga dapat diturunkan dari petroleum, biasanya dari etilen atau olefin (Spitz, 2004).
Gambar 5. Proses Produksi Oleokimia Dasar (Spitz, 2004)
2.3. FATTY ALCOHOL Menurut Hall (2000), fatty alcohol yang diturunkan dari minyak nabati seperti minyak sawit disebut sebagai fatty alcohol alami, sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) disebut sebagai fatty alcohol sintesis. Fatty alcohol dominan digunakan sebagai bahan baku untuk detergen dan sabun. Selain itu, bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku produk lain seperti shampo, kosmetik, tambahan minyak pelumas dan sebagainya. Fatty alcohol sebanyak 80 persen digunakan sebagai surfaktan, zat yang dapat menurunkan daya rintangan antara dua cairan yang tidak dapat bercampur.
Gambar 6. Struktur Kimia Fatty Alcohol (Buchanan et al., 1998)
Hall (2000) menambahkan bahwa fatty alcohol alami dapat digantikan oleh fatty alcohol sintesis. Permintaan fatty alcohol alami meningkat di atas permintaan fatty alcohol sintesis. Hal itu dikarenakan fatty alcohol alami lebih mudah didegradasi oleh lingkungan. Fatty alcohol alami dapat didegradasi dan dibuat dari sumber yang dapat diperbarui, misalnya minyak inti sawit. Fatty alcohol dapat diperoleh melalui dua proses, yaitu: - Minyak sawit ditransesterifikasi menjadi metil ester, lalu dihidrogenasi menjadi fatty alcohol. - Minyak sawit dihidrolisis menjadi asam lemak, lalu dihidrogenasi menjadi fatty alcohol. Menurut Spitz (2004), fatty alcohol dibuat dari hidrogenasi metil ester dari palm kernel oil (PKO) yang selanjutnya difraksinasi menjadi bermacammacam grade untuk berbagai aplikasi yang berbeda-beda. Sebagian besar fatty alcohol dikonversi menjadi turunannya seperti fatty alcohol sulphates, fatty alcohol ethoxylates, fatty alcohol ester sulphates dan alkyl polyglycosides. Fatty alcohol C10 memiliki rumus molekul C10H22O. Nama umum fatty alcohol C10 adalah alkohol kaprat dan nama IUPAC adalah 1-decanol. Fatty alcohol C10 berbentuk cair pada suhu ruang dan memiliki melting point 7 oC. Pada tekanan 1 atm memiliki titik didih pada suhu 230 oC dan pada kondisi vakum pada suhu 158,3 oC (Presents, 2000).
2.4. TAPIOKA (PATI SINGKONG) Pati singkong (Manihot utilissima) adalah pati yang dihasilkan dari umbi ubi kayu atau singkong. Pati ini dikenal dengan nama tapioka. Pati diperoleh dengan cara mengekstraknya dari singkong dengan menggunakan air untuk kemudian diendapkan. Hasil endapan tersebut yang disebut pati (Anonim, 2006). Produksi ubi kayu nasional pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 22.375.949 ton/tahun (Biro Pusat Statistik, 2009). Granula pati tapioka berwarna putih dengan ukuran diameter yang bervariasi antara 55 - 35 µm dengan rata-rata 17 µm. Granula ini sering berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak tetapi selama pengolahan granula pati tersebut akan menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya (Brautlecht,
1953). Pati tapioka mengandung amilosa 17% dan dalam pemanasan tapioka akan memiliki gel yang lunak (Tjokroadikoesoemo, 1986). Pati tapioka memiliki suhu gelatinisasi 58,5 oC – 70 oC, sedangkan pati kentang dan pati jagung berturut-turut adalah 56 oC – 66 oC dan 62 oC – 71 oC (Balagopalan et al., 1988).
Pembentukan Asetal dari Pati Polisakarida yang tersimpan dalam tumbuhan. Merupakan komponen utama pada biji-bijian, kentang, jagung dan beras. Tersusun atas unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik α(1,4). Rantai cabang dihubungkan oleh ikatan glikosidik α(1,6). Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila dibubur dengan air: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut). Hidrolisis lengkap amilosa menghasilkan hanya D-glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltosa sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa maltosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara(1,4). Amilopektin merupakan suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai utama dari amilopektin mengandung α(1,4)-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung untuk kira-kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan α(1,6)-D-glikosida. Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan Dglukosa. Namun, hidrolisis tak lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltosa dan isomaltosa, yang kedua ini berasal dari percabangan-(1,6). Monosakarida yang mengandung gugus aldehida dirujuk sebagai aldosa (aldehid plus –osa). Glukosa, galaktosa, ribosa dan deoksiribosa semuanya aldosa. Monosakariada yang mengandung gugus ketosa dirujuk sebagai ketosa (keton plus –osa), misalnya fruktosa. Seperti air, suatu alkohol dapat mengadisi suatu gugus karbonil (salah satunya aldehid dan keton). Dalam kebanyakan hal, keseimbangan terletak pada sisi aldehid atau keton, sama seperti reaksi dengan air.
Produk adisi satu molekul suatu alkohol pada suatu aldehida disebut suatu hemiasetal, sedangkan produk adisi dua molekul alkohol (dengan hilangnya H 2O) disebut asetal (hemiketal dan ketal merupakan nama padanan untuk produk keton). Semua reaksi ini dikatalisis oleh asam kuat (Gambar 7).
Gambar 7. Reaksi Pembentukan Asetal dari D-Glukosa (Fessenden dan Fessenden, 1982)
Bila suatu hemisetal diolah dengan suatu alkohol, akan terbentuk suatu asetal. Asetal monosakarida disebut glikosida dan memperoleh nama berakhir dengan –osida. Karbon glikosida (karbon 1 dalam suatu aldosa) mudah dikenal karena mempunyai dua gugus OR yang terikat pada karbon 1 itu. Meskipun suatu hemisetal dari suatu monosakarida berada dalam keseimbangan dengan bentuk rantai terbuka dan dengan anomernya dalam larutan air, suatu asetal bersifat stabil dalam larutan netral dan basa (Fessenden dan Fessenden, 1982).
2.5. ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) Alkil poliglikosida merupakan surfaktan nonionik. Alkil poliglikosida adalah asetal rantai panjang dari polisakarida. Produk komersial biasanya mempunyai rantai pendek (rata-rata 10-12 atom karbon). Alkil poliglikosida menunjukkan sifat wetting, foaming, detergency, dan
biodegradation mirip
dengan sifat alkohol etoksilat, tetapi memiliki daya larut yang lebih tinggi di dalam air dan dalam larutan elektrolit. Alkil poliglikosida juga dapat larut dan stabil dalam larutan sodium hidroksida, sifat ini berlawanan dengan alkohol etoksilat. Walaupun efektif mengangkat lemak, alkil poliglikosida sangat rendah menyebabkan iritasi kulit dan direkomendasikan untuk cairan pencuci tangan dan pembersih lapisan yang keras (Rosen, 2004). Penggunaan APG telah meningkat untuk produk-produk deterjen pencuci dan shampo, karena karakteristik APG yang mempunyai daya pembusaan dan deterjensi yang baik dan rendahnya menyebabkan iritasi kulit. APG juga digunakan dalam industri bahan-bahan pembersih dan pertanian (Spitz, 2004) Alkil poliglikosida diproduksi melalui asetalisasi karbohidrat dengan suatu katalis, lebih disukai dari glukosa, atau melalui transasetalisasi butil poliglukosida dengan fatty alcohol. Secara kimia, alkil poliglikosida adalah asetal. Selain itu, alkil poliglikosida memiliki pyranosides sebagai komponen utamanya, dan mengandung furanosides dalam jumlah kecil. Alkil pologlikosida memiliki tingkat yang rendah sebagai penyebab keracunan dan aman secara ekologi, sehingga dapat dianggap memiliki kesamaan dengan kelompok biosurfaktan. Alkil poliglikosida pada awalnya dikenalkan oleh E. Fischer. Glikosidasi dengan proses Fischer telah lama diketahui untuk membuat alkil glikosida. Di dalam proses Fischer, sakarida direaksikan dengan alkohol dengan hadirnya asam kuat yang menghasilkan formasi alkil glikosida dengan air sebagai hasil samping (Balzer, 2000).
Gambar 8. Struktur Kimia Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) (Buchanan et al., 1998)
Pati merupakan sebuah polisakarida yang terbentuk dari unit-unit Dglukosa, menjadi sebuah pilihan sebagai bahan baku yang potensial untuk membuat alkil poliglikosida. Keberadaan pati melimpah di alam dan memiliki harga yang lebih rendah bila dibandingkan dengan D-glukosa. Granula pati berisikan polisakarida amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah sebuah polisakarida yang tidak bercabang dimana unit-unit D-glukosa bergabung antar lainnya dengan ikatan α(1,4) glikosida. Amilopektin, kebalikannya, adalah sebuah polisakarida bercabang yang juga dibentuk dari unit-unit D-glukosa dan menunjukkan ikatan α(1,4) glikosida dalam rantai polisakarida dan ikatan α(1,6) glikosida pada titik-titik percabangannya. Alkoholisis pati menjadi alkil glukosida memerlukan kondisi yang lebih komplek daripada glikosidasi dari D-glukosa atau transglikosidasi dari alkil glikosida sederhana. Penyebabnya adalah struktur molekul dari pati yang tersusun dari amilosa dan amilopektin yang memiliki kemampuan swelling terbatas pada alkohol, khususnya alkohol hidrofobik, dan berkurangnya jembatan hidrogen antar molekul. Ikatan α(1,6) glikosida pada atom karbon kedua menunjukkan kestabilan yang lebih besar daripada ikatan atom yang pertama pada alkil glikosida sederhana. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kesulitan alkoholisis pati sebanding dengan peningkatan panjang rantai yang dihasilkan (Balzer, 2000). Sintesis alkil glukosida dengan alkoholisis pati dengan 1-butanol memerlukan kondisi yang lebih ekstrim daripada metanol. Rute sintesis via butil glukosida memerlukan pemisahan produk samping yang tidak diinginkan selama butanolisis pati (Balzer, 2000). Metil glukosida juga dapat langsung dibentuk dalam transglikosidasi dengan fatty alcohol (selain via butil glukosida). Alkoholisis dari pati dengan metanol menghasilkan methyl glucoside diubah menjadi alkyl polyglucosides rantai panjang dengan proses transglikosidasi menggunakan dodecanol (Gambar 9). Jika jumlah rantai panjang alkil poliglikosida telah cukup, untuk mendapatkan produk akhir yang diinginkan maka terjadi proses konversi metil glukosida dan menghilangkan ekses fatty alcohol untuk mendapatkan yield surfaktan alkil poliglikosida. Katalis asam dengan asam p-toluena pada suhu 110-120 oC menjadi
kondisi reaksi yang diperlukan. Keseimbangan reaksi menjadi produk dengan mengevaporasi metanol yang terjadi selama transglikosidasi (Balzer, 2000).
Gambar 9. Proses Produksi Dodecyl Polyglucosides dari Pati (Balzer, 2000)