3.1. Fungsi Produksi Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Secara umuni hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Y =f (XI,X2,
X3,
... ....... ... ... ... ... ... ., . ... ... .. . .. . ... ... . . . ... ..(1)
x4)
dimana : Y
= Output (Kglha)
XI
= Lahan (ha)
x2
= Modal
x3
= Tenaga kej a
x4
= Faktor produksi
(Rplha) (HOKIha) lainnya
Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi maksimum dengan tingkat harga tertentu. Produksi maksimum hams memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condrtion). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal faktor produksi sama dengan harga faktornya, sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu, jika fungsi
produksinya cembung, dan nilai
determinan Hessian
lebih besar dari no1
(Koutsoyiannis, 1979). Jika digambarkan secara sederhana fungsi produksi dari padi adalah: ..................................................................... .(2)
Y=f ( FP, FL) dimana:
Y
= produksi
FP
= faktor produksi
FL
= faktor produksi
padi
lainnya.
Pada tingkat harga gabah tertentu (HG), maka fungsi keuntungan produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut: R
=HG*f(FP,FL)-HFP*FP-HFL*FL
............................(3)
dimana:
rr
= keuntungan
HG
= harga
outputlpadi (Rpkg)
HFP
= harga
faktor produksi (Rpkg)
HFL
= harga
faktor produksi lainnya (Rpkg)
(Rpkg)
Fungsi keuntungan maksimum diperoleh jika turunan pertama dari fungsi keuntungan sarna dengan no1 dan turunan keduanya mempunyai nilai Hessian Determinan lebih besar dari no]. Dengan melakukan prosedw penurunan secara matematis dari persamaan 3 di atas maka diperoleh :
dn = HG * FP' - HFP = 0 dFP
atau HG * FP = HFP
....................(4)
an -=HG*FL-HFL=O
atau
aFL
HG*FL=HFL
.................... (5)
Dimana FP' dan FL' adalah produk marginal dan masing-masing produksi. Oleh sebab itu keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk (gabah). Atau dapat juga dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor produksinya (NPM
=
P). Dan persarnaan 4 dan 5 fungsi permintaan
faktor produksi oleh petani dirurnuskan sebagai berikut: FP = fp (HG,HFP,HFL) ...........................................................(6) FL = fl (HG, HFP, HFL)
.........................................................(7)
Dengan mensubstitusikan persamaan 6 dan 7 ke persamaan 2 maka diperoleh fungsi penawaran padi sebagai berikut Qs=q,(HG,HFP,HFL)
........................................................ (8)
Dolan (1974), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi, yaitu harga komoditi itu sendiri, harga komoditi lain (sebagai kompetitifhya), biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pupuk, subsidi, harapan harga dan keadaan alam.
3.2. Fungsi Permintaan Fungsi permintaan seorang konsumen (dlsebut sebagai fungsi permintaan Marsllallian) yaitu menunjukkan jumlah komoditi (beras) yang akan dibelinya dan jumlah komoditi lain yang dikonsumsinya. Fungsi utilitas seorang konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut :
U=f(B,L)
......................................................................(9)
dimana: U = Total utilitas dari beras B = Jumlah beras yang dikonsumsi (unit)
L = Jumlah komoditi lain yang dikonsumsi (unit) Konsumen yang rasional akan memaksimumkan utilitinya dari mengkonsumsi suatu komoditi pada tingkat h a r p yang berlaku serta pada tingkat pendapatan tertentu. Sehingga dengan demikian sebagai kendala untuk memaksimumkan fungsi utilitasnya adalah sebagai berikut:
Y = H B * B + H L * L ...........................................................(10) dimana:
Y
= tingkat pendapatan
HB
= harga beras (Rpikg)
HL
= harga
komoditi lain (Rpikg)
Dari persamaan 9 dan 10 dapat dirumuskan fimgsi kepuasan seorang konsumen yang akan dimaksimumkan yaitu Z=f(B,L)+h(Y-HB*B-HL*L
)
..................................(11)
dimatla A adalah "Lagrange Multiplier". Kepuasan maksimum terjadi apabila syarat turunan parsial dari persamaan "LagrangeMultiplier " di atas hams sama dengan nol. Dengan melakukan prosedur p e n m a n secara matematik, maka dari persamaan 11 akan diperoleh: B ' - h H B = O a t a u B ' = h H B ................................................... (12)
L'-hHL=OatauL'=hHL ..................................................... Y-hHB*B-HL*L=O
(13)
.............................. .......... ............... (14)
dimana B' adalah utilitas marginal dari beras dan L' adalah utilitas marginal dari komoditi lain, sehingga jika dilakukan penyusunan kembali maka diperoleh persamaan seperti berikut ini.
dari persamaan 15. diketahui bahwa tingkat kepuasan maksimum tercapai jika utilitas marginal dibagi harganya hams sama bagi kedua komoditi tersebut dan juga hams sama dengan utilitas marginal dari pendapatan ( h ). Dari persamaan 14 dan 15 diketahui, bahwa HB (harga beras), HL (harga komitliti lainnya), dan Y (pendapatan) merupakan peubah eksogen yang mempengaruhi permintaan suatu komodti (beras). Oleh karena itu, maka fungsi permintaan beras dapat dirumuskan sebagai berikut: B = b(HB,HL,Y)
........................................................... (16)
Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa jumlah beras yang diminta merupakan fungsi dari harga beras (HB), harga komoditi lainnya (HL) dan pendapatan (Y). Menurut Dolan, (1974) permintaan suatu barang dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang lain, selera, pendapatan, distribusi pendapatan, jumlah penduduk dan harapan harga.
3.3. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian
Seperti yang kita ketahui, bawah karakteristik utama produk pertanian adalah adanyii tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Hasil yang tliperoleh petani yang didasarkan pada perkiraan-perkiraan dimasa mendatang serta pengalamannya dimasa lalu. Karena pada kenyataannya komoditi pertanian, harga output tidak dapat dipastikan saat produk itu ditanam. Dengan kata lain bahwa, para petani harus mengambil keputusan produksi berdasarkan perkiraan atas harga produknya tahun lalu. Persoalan di atas mengacu pada bedakala (lag) diantara dua periode, yaitu saat penanaman dan panen. Respon petani tejadi setelah bedakala sebagai dampak perubahan pada harga-harga input dan produk serta kebijakan pemerintah. Jika peningkatan harga ini diperkirakan petani akan bertahan terus pada periode berikutnya maka petani meruban komposisi sumberdayanya pa& masa tanam mendatang, sehingga pengaruh kenaikan harga tersebut terlihat pada periode tanam berikutnya. Bila praduga adanya ekspektasi demikian dapat diterima maka hubunganhubungan yang spesifik diantara harga harapan dengan harga dimasa lalu dapat dibuat. Sehingga model dapat dkembangkan menjadi dinamik yang dirintis antara lain oleh Nerlove melalui penyesuaian parsial. Nerlove (1958), mengemukakan bahwa, para petani setiap saat periode produksi merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai proporsi yang normal terhadap perbedaan yang tejadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Dengan kata lain, petani menyesuaikan prakiraan harga dimasa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara prakiraan dengan kenyataan.
3.3.1.
Model Nerlove Model penyesuaian parsial (Nerlove's Model), didasarkan atas hipotesis
perilaku satuan-satuan ekonomi yang lebih realistis dalam bentuk model-model lag. Model penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer digunakan dalam studi-studi ekonometrika dalam ha1 ini respon penawaran. Dalam bentuknya yang paling sederhana misalnya dalam konteks respon areal padi. Areal panen padi yang diinginkan (Y,') dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi ( 4 ) , maka persamaannya dituliskan sebagai berikut:
r: =p,,+p,p,+u,
............................................................. (17)
dimana:
K*
= areal panen yang diinginkan tahun ke t
4
= harga tahun ke
t
Pada persarnaan di atas perubahan Y,' tidak terarnati (not observable) karena masih merupakan target (bukan aktual), atau dengan kata lain areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. Oleh karena itu peubah ini hams diganti untuk menaksir modelnya dengan menghipotesiskan perilakunya, sebagai berikut ini: Y,-Y,_, =6(~,'-Y,_,)+v, ........................................................(18)
dimana:
Y, - Y,_, Y,'
-
= perubahan yang sesungguhnya
Y,-, = perubahan yang dibutuhkan
= koefisien penyesuaian
Sf
parsial dan nilainya ( 0 < 6 < 1 )
Perubahan areal yang sebenarnya tejadi merupakan proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan. Proporsi ini disebut koefisien penyesuaian parsial (F), jika nilai F
= 0,
berarti tidak ada perubahan apapun dalam areal, dan jika F = 1, maka
areal yang diharapkan sama dengan yang dibutuhkan. Areal panen padi yang diamati pada periode tahun ke t dipengarubi oleh luas areal yang diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode sebelumnya. Substitusikan persaman 17 ke persamaan 18, maka akan diperoleh persamaan berikut ini: Y, -Y,_, =s[(p,,+p,e +u,)-Y,-,]+v,
Y, =sp, +sp,,p, +(I-S)Y,_,+(v, dimana: 6
fi adalah konstanta, S
.................................
+m,) .....................................
(19) (20)
dan (1-6) adalah paremeter yang diduga
sedangkan (V, + XlJ adalah merupakan peubah pengganggu. Persamaan di atas rnenunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis. Untuk mengetahui dalam model ini apakah galat tidak mengalami korelasi serial dapat diuji dengan melihat nilai perhitungan uji Durbin Watson (Koutsoyiannis, 1977). Nerlove (1958), mengemukakan bahwa tidaklah mudah untuk menghitung elastisitas penawaran jangka pendek karena sebenarnya rnerupakan elastisitas titik (point elasticityl sehingga nilainya berubah-ubah pada titik yang berbeda. Sedangkan
elastisitas jangka panjang sukar dihitung secara langsung. Sehingga ditawarkannya cara haru dengan model distribusi beda kala penyesuaian parsial. Elastisitas jangka pendek selalu lebih kecil daripada jangka panjang karena dalam periode jangka panjang dapat tejadi pergeseran fungsi penawaran dan penyesuaian sumberdaya. Dia
berpendapat masalah formulasi hubungan-hubungan ekonomi yang memasukkan distrihusi beda kala terletak pada bagaimana memformulasikan hubungan-hubungan diantara peubah yang dapat diamati. Masalah pada dugaan distribusi beda kala sesungguhnya terletak pada dugaan elastisitasjangka panjang.
3.3.2. Model Respon Penawaran Padi
Model empiris yang digunakan dalam studi ini pada dasarnya menggunakan model penyesuaian Nerlove, serperti yang telah dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto (1987), dimana untuk memperoleh dugaan penawaran dilakukan dengan menghmakan pendugaan tak langsung. Dalam bentuk sederhana output dispesifikasikan sebagai perkalian antara luas panen dan produktivitas, sehingga dapat dituliskan: Q=A*Y
...................................................................... (21)
dimana:
Q = output 0%) A = luas areal panen (ha)
Y = produktivitas (Kglha) Dalam bentuk logaritma natural (In) InQ
=
I n A + InY
............................................................(22)
Selanjutnya diasumsikan bahwa produktivitas (Y) dan luas panen (A) respon terhadap perubahan harga (P), juga diasumsikan bahwa produktivitas respon terhadap perubahan areal. Jika didiferensialkan secara total terhadap harga (P ), maka akan diperoleh:
1 d --=--
1 dA A dP
Q dl' dY dY -=-+-dl'
ap
+--1 dY
Y dP
dY dA a~ a p
..............................................................
(24)
Artinya bahwa perubahan produktivitas karena terjadi perubahan harga terdiri atas perubahan produktivitas secara partial terhadap harga dan perubahan produktivitas karena terjadi perubahan areal akibat dari perubahan harga. Apabila persamaan 24 disubstitusikan ke dalam persamaan 23, maka akan diperoleh penjabaran sebagai berikut:
Jika kedua ruas kiri dan ruas kanan dikalikan dengan P, maka:
Jika d~nyatakandalarn bentuk elastisitas maka; EQP)
=
E(y,p)+ E(A,P)(1 + E(yA))
........................................... (28)
dimana: E(QP)
= Elastisitas penawaran (produksi)
E[yP)
= Elastisitas produktivitas terhadap harga
E(M)
= Elastisitas luas panen
terhadap harga
E(YAl = Elastisitas produktivitas terhadap areal panen.
Sehingga dengan demikian maka respon penawaran secara agregat (E(pp,) dapat diduga secara tidak langsung dengan menduga terlebih dahulu elastisitas produktivitas terhadap harga, elastisitas luas panen terhadap harga dan elastisitas produktivitas terhadap areal. Untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktorfaktor yang mempengaruhinya, dapat digunakan konsep elastisitas. Untuk model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun persamaan untuk mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang adalah : Elastisitas Jangka Pendek (ESR)
Elastisitas Jangka Panjang (ELR)
dimana: b
= parameter
dugaan dari peubah eksogen
bs,
= parameter
dugaan dari lag endogen
X
= rata-rata
Y
= rata-rata peubah
peubah eksogen endogen
3.4. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen
Kebijakan harga dasar dilakukan untuk melindungi produsen, dan harga batas tertinggi dilakukan untuk melindungi konsumen sementara dalam ha1 perdagangan dunia, pemerintah dapat melindungi produsen maupun konsumen domestik berupa kebijakan tarif, pembatasan (restriction, quota) dan monopoli impor untuk kasus negard pengimpor, atau subsidi ekspor untuk negara pengekspor. Kebijakan ini umumnya berdampak terhadap produsen, konsumen maupun pemerintah. Dampak yang ditimbulkan dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (WaIfare Economics), yaitu dengan konsep pengukuran surplus konsumen (consumer S surplm) dan surplus produsen (producer'ssurplus). Surplus konsumen dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah maksimum nilai uang yang ingin dibayar oleh konsumen dengan nilai yang benarbenar dibayar terhadap jumlah tertentu dari suatu produk. Surplus produsen adalah perbedaan antara jumlah nilai uang yang benar-benar diterima produsen dengan jumlah nilai minimum yang diinginkan produsen tersebut. Menurut Vesdapunt (1984), menyatakan ada tiga dasar postulat yang penting dalam. penggunaan surplus konsumen dan surplus produsen untuk mengukur kesejahteraan yaitu : (1) permintaan merupakan refleksi dari keinginan untuk membayar, (2) penawaran merupakan refleksi dari biaya marginal (marginal cost), dan (I;) perubahan pada pendapatan individu bersifat penambahan (additive). Secara grafik penjelasan surplus produsen dan konsumen ini secara sederhana dijelaskan dalam Gambar 1. Apabila dilakukan suatu kebijakan dengan mengadakan subsidi positif terhadap input (harga pupuk) maka harga input akan menjadi lebih
rendah, maka kurva penawaran akan bergeser ke sebelah kanan. Jika diasumsikan tidak ada perdagangan ke luar negeri, maka pada keadaan awal (P, dan Q,), maka surplus konsumen adalah sebesar P,EB dan surplus produsen adalah sebesar P&A. Apabila subsidi pupuk dilakukan, maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan, surplus konsumen menjadi PlFB dan surplus produsen menjadi PIFC. Harga
Gambar 1. Surplus Produsen dan Konsumen dengan Pemberian Subsidi Kelemahan pengukuran surplus konsumen dengan kurva permintaan biasa adalah tidak mempertimbangkan efek pendapatan akibat dari perubahan harga, sehingga konsep surplus konsumen kurang menggambarkan kondisi keinginan konsumen untuk membayar atau menerima (consumer wiNingnes to pay or to accept). Secara matematis, surplus produsen dan konsumen diukur dengan mengintegralan fungsi penawaran dan fungsi permintaan (Chiang, 1984; Boediono, 1986).
dimar~a: Cs
=
besar surplus konsumen (Rp)
Ps
=
besar surplus produsen (Rp)
Pe
=
harga keseimbangan (Rp)
Pd
=
harga pada perpotongan kurva permintaan dengan sumbu harga
Pm = harga pada perpotongan kurva penawaran dengan sumbu harga
3.5. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan.
3.5.1. Kebijakan Harga Dasar dan Subsidi Pupuk
Banyaknya kasus harga gabah yang jatuh pada tahun 2000 telah memunculkan berbagai analisis dan pemikiran tentang tidak efektifnya harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. Masalah tersebut menjadi berkembang dan bahkan menghasilkan pemikiran untuk menghapus harga dasar dan atau menggantikan dengan kebijaksanaan lain yang dianggap lebih baik. Ada dua tipe dasar kebijaksaan pemerintah di bidang pertanian yaitu yang bersifat development policy dan compensating policy. Development policy biasanya dllakukan pemerintah untuk mendorong produksi pertanian. Dalam development
policy ada dua ha1 yang akan dicapai yaitu peningkatan produksi dan juga pendapatan petani. Namun dalam compemating policy, tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan petani. Bahkan ada kecenderungan untuk menekan produksi (Saihllah, 2001).
Development policy banyak dilakukan oleh negara yang defisit suatu produk pertanian. Sedang compensating policy banyak dilakukan oleh negara yang
mengalami surplus yang sulit memasarkan produknya. Kebijaksaan pemerintah bidang pertanian di Indonesia dapat dikategorikan sebagai development policy. Kebijaksanaan Harga Dasar Gabah dan kebijakan subsidi pupuk. Tujuamya adalah mendorong agar produksi beras dapat meningkat dalam rangka ketahanan pangan, dan pc:tani padi mendapatkan harga yang wajar. Dampak kebijakan harga dasar gabah dan subsid1 pupuk terhadap perubahan surplus produsen dan konsumen secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut:
Harga
Gambar 2. Evaluasi dan Model Kebijakan Harga Dasar clan Subsidi Pupuk Keterangan
Surplus Produsen P,ec
Konsumen P,eb
Free Trade
p&f
Pwib
Harga Dasar
chPd
Pwib
Subsidi Pupuk
P,,ai
Pwib
Autarki
L
Pada Gambar 2. tersebut diasumsikan bahwa harga beras impor sama dengan harga beras yang ditargetkan dan harga yang dipertahankan pemerintah (Pd = P,), jika harga yang ditargetkan pemerintah (OPd), maka jumlah yang hams tersedia untuk konsumen sebesar OQ,.
Ada beberapa alternatif yang dapat
dicapai untuk
memperoleh target sebesar OQ, , yaitu mengimpor beras sebesar fi, membuat harga dasar sebesar OPd atau memberikan subsidi harga input untuk menggeser kurva penawaran dari So ke S1.
3.5.2. Tarif atau Bea Masuk
Dalam arti luas kebijakan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kompsisi, arah serta bentuk daripada perdagangan dan pembayaran intemasional. Kebijaksanaan ini dapat berupa tarifiea masuk, pelarangan impr, quota, subsidi (Nopirin, 1992; Boediono, 1981). Menurut tujuannya, kebijakan tarif bea masuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Tarif proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah I membatasi impor barang tertentu, b) Tarif revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan tujuan tersebut, maka fungsi tarif bea masuk menurut Hady (2000) adalah untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negeri (fung.sr regulend), sebagai salah satu sumber penerimaan negara Vungsi budgeter) clan fungsipemerataan, yaitu untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional.
Analisis efek dari tarif secara parsial dapat dilihat pada Gambar 2. Pada saat harga POtitik keseimbangan adalah e dimana perekonomian berada dalam keadaan autarki, dengan kondisi tidak ada ekspor dan impor, produksi dalam negeri sama dengan konsumsi dalam negeri. Pada harga P,, perekonomian berada dalam keadaan Free trade, dimana produksi dalam negeri sebesar OQ1 sementara konsumsi dalam negeri OQz sehmgga dibutuhkan impor sebesar QlQz. Terhadap impor ini pemerintah mengenakan tarif sebesar P, sehingga berdampak kepada harga naik dari P, menjadi Pt (price effect), konsumsi dalam negeri berkurang dari OQz menjadi OQ4 (consumptioneffect). Sementara produksi dalam negeri meningkat dari OQ1 menjadi OQ3 (import substirution effect/protective) sehingga impor akan berkurang menjadi Q3Q4.
Selanjutnya pemerintah mendapat penerimaan sebesar ruang FGKJ (revenue effect), dari analisis di atas juga dapat diketahui bahwa redistribusi income atau subsidi dari
konsumen kepada produsen sebesar ruang PwPthf. Haraa I
I
O
QI
Q3
Qo
Q4
Gambar 3. Analisis Efek Tarif Sumbtx: Caves, et al. 1993 dan Hady, 2000.
QZ
Jumlah
Bagi konsumen tarif ini merugikan sebab hams membayar harga yang lebih tinggi. Kerugian ini akan diimbangi oleh adanya pendapatan pemerintah (FGKJ) dan ekstra pendapatan yang diterima oleh produsen dalam negeri (P,P,hf),
sehingga
kerugian neto masyarakat (dead weigh loss) akibat tarif tersebut adalah HFG dan JKI. Khuslnnya bagi konsumen beras dampak tarif impor akan meningkatkan harga beras dalam negeri sehingga harga yang diterima oleh konsumen juga akan meningkat, sehingga dalam ha1 ini produsen dan pemerintah memperoleh keuntungan.
3.5.3. Liberalisasi Perdagangan Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, khususnya komoditi beras, instrumen kebijakan tarif impor m e ~ p a k a nsalah satu instrumen yang penting dalam perdagangan intemasional. Menurut Amang clan Sawit (2001), tarif impor &pat digolongkan pada dua jenis lairf, yaitu tarif spesifik (specrfic furl@ ataufixed variety dan ad valorem. Tarif spesifik ditetapkan misalnya sekian Rp. perunit barang impor, sedangkan a d valorem ditentukan atas dasar persentase nilai impor (volume dikali harga CIF). Tarif lebih transparan dan pihak pemerintah memperoleh pendapatan dari kebijakan tarif tersebut, sebaliknya untuk monopoli impor. Akan tetapi monopoli impor dapat membendung pasokan beras masuk ke pasar domestik, karena monopoli impor ini dilakukan hanya satu lembaga dalam ha1 ini Bulog. Tugas Bulog bukanlah tergolong monopolistik, karena tidak untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi, bertujuan untuk service maximization. Hal ini diperjelas lagi oleh mantan Presiden Soeharto pada awal Agustus 1995, "Bulog
diperlukan untuk membantu petani dan menjamin kecukupan pangan bagi penduduk". Ini yang membedakannya dengan monopoli dunia usaha yang &lam buku leks disebut bertujuan memaksimalkan laba (profit mmarrmrzatron). Bulog justru ingin mematahkan dominasi pelaku pasar yang berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besamya dengan melakukan kalkulasi untung-rugi internal, termasuk untuk berspekulasi mengenai kemampuan pemerintah dalam mengendzlikan pasar atau memprediksi cuaca. Bulog memiliki sejumlah perangkat yang dapat mendeteksi situasi pasar kapan dan dimanapun. Sebagaimana yang telah dlsepakati, tarif hanya sebesar 0 - 5 persen untuk tanaman pangan. Khususnya beras, tarif &pat diberlakukan Rp 430 kg atau sebesar 30 persen. Fenomena ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat akibat
penunman tarif impor. Dampak perdagangan bebas dijelaskan dengan menggunakan konsep staticpartial welfare analysrs pada Gambar 4 (Erwidodo, 2000).
Gambar 4. Analisis Dampak Pengurangan Tarif Impor Sumber:
Erwidodo, 2000.
dimana: Pw= harga dunia P1=P,+T1 P2=Pw+ Tz MI ;M2 = Impor
S, = Penawaran dunia PI = harga domestik; TI = tarif impor Pz = harga domestik; Tz = tarif impor dimana: TI > T2
Dampak Pengurangan tarif impor adalah Keterangan Tarif Harga Total Permintaan Total Produksi Total Impor Penenmaan Pemerintah (Tarif) Surplus Konsumen (Gain) sebesar Surplus Produsen (Loss) sebesar Government Surplus (Gain) sebesar Kehilangan sosial Keterzmgan: ( - ) = berkurang l t u r n ( + ) = bertambah / naik